Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Apakah Benar 1 Juni adalah Hari Lahir Pancasila?

Dr.Endang saefuddin anshori memberi sebuah pendahuluan tentang argument dasar perumusan pancasila.

Aktualisasi Pancasila

Dalam 10 tahun terakhir ini banyak bermunculan kasus – kasus sosial. Mulai dari ringan, sedang hingga yang berat, dalam bentuk tindak pelanggaran, perilaku menyimpang dan tindak kriminal.

PERAN MASYARAKAT DALAM BADAN PENGWAS PEMILU

Pemilu berkualitas akan terwujud jika prosesnya dijaga, dipantau, dan diawasi agar tidak dicurangi.

PENGINGKARAN HAK-HAK BURUH OLEH KAPITALIS

Pengingkaran hak-hak buruh dalam model kerja outsourcing, sebagian telah dijelaskan dalam pembahasan terdahulu.

OUTSOUCING DALAM PERINDUSTRIAN INDONESIA

Perkembangan kapitalisme di era modern telah mencapai pada puncaknya menghegemoni dunia.

Tuesday, September 25, 2018

MAZHAB/TEORI HUKUM ALAM, SEJARAH DAN TEOKRASI

MAZHAB/TEORI HUKUM ALAM, SEJARAH DAN TEOKRASI

(C.S.T Kansil)
Tanpa mempertanyakan adanya sanksi terhadap pelanggaran kaidah hukum, timbul sebuah pertanyaan "dari manakah asal hukum itu, mengapa hukum ditaati orang dan mengapa kita harus tunduk kepada hukum?". Persoalan ketaatan terhadap Hukum telah menimbulkan berbagai teori dan aliran pendapat atau mazhab-mazhab dalam ilmu pengetahuan Hukum. 

Ada beberapa mazhab yang harus kita ketahui jika kita ingin memahami ilmu hukum dari akarnya, berikut merupakan beberapa penjelasan mengenai mazhab hukum.

aristoteles (salah satu pencetus mazhab hukum alam)
Mazhab Hukum Alam, teori ini berpendapat bahwa hukum terbagi menjadi dua macam berdasarkan sejarah berlakunya pertama hukum itu berlaku karena penetapan penguasa negara dan kedua hukum itu berlaku bukan dari ketergantungan terhadap manusia tentan baik dan buruknya, bukan yang asli. Menurut Aristoteles salah satu pencetus mazhab ini, dia berpendapat bahwa tanggapan orang terhadap "keaslian" adalah tidak sama, sehingga seakan akan tak ada hukum alam yang asli, namun harus lah diakui, bahwa keaslian suatu benda atau tidaklah tergantung pada waktu dan tempat kekecualian dalam suatu hal tertentu ada.

Thomas van aquino(1225-1274) berpendapat bahwa kejadian dialam dunia ini diperintahkan dan dikemudikan oleh suatu "Undang-Undang abadi" (lex aterna) yang menjadi dasar kekuasaan dari semua peraturan-peraturan lainnya. adapun sumber hukum alam menurut hugo de goor adalah pikiran atau akal manusia.

Friedrich Carl Von Savigny
Mazhab Sejarah, mazhab ini merupakan reaksi beberapa ahli dari mazhab hukum alam, aliran ini timbul dieropa yang diplopori oleh Friedrich Carl Von Savigny (1774-1861) von savigny berpendapat, bahwa hukum itu harus dipandang sebagai suatu penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa, seelalu ada hubungan yang erat antara hukum dan kepribadian suatu bangsa. Von Savigny berpendapat bahwa hukum itu diciptakan bukan oleh orang, tetapi hukum itu timbul sendiri di teengah-tengah masyarakat, hukum itu penjelmaan dari kehendak rakyat yang pada suatu saat juga akan mati apabila suatu bangsa kehilangan kepribadiannya, maka dari itu dalam teori ini jelas bahwa hukum itu senantiasa berubah-ubah menurut tempat dan waktu.

Pendapat Von Savigny jelas sangat bertentangan dengan mazhab hukum alam yang berpendapat bahwa hukum alam itu berlaku abadi dimana-mana bagi seluruh manusia.

Hukum itu berasal dari tuhan
Teori Teokrasi, Teori ini muncul dari para ahli fikir atau filosof pada masa lampau dieropa yang menganggap dan mengajarkan bahwa hukum itu berasal dari tuhan yang maha esa, dan oleh karena itulah maka manusia diperintahkan tuhan harus tunduk pada hukum. Tinjauan mengenai hukum dikaitkan deengan kepercayaan dan agama, dan ajaran tentang legitimasi kekuasaan hukum berdasarkan atas kepercayaan dan agama. 
Penguasa yang menetapkan dan membuat peraturan atau hukum, oleh para ahli teori ini disebut bahwa penguasa tersebut mendapat kuasa oleh tuhan, jadi seolah olah para raja dan penguasa lainnya merupakan wakil tuhan

Share:

Sunday, September 23, 2018

MAKNA DARI PERKAWINAN YANG SEBENARNYA

MAKNA PERKAWINAN MENURUT UU PERKAWINAN NO.1/1974 DAN KHI


Perkawinan merupakan perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk menempuh kehidupan rumah tangga. Sejak mengadakan perjanjian melalui akad, kedua belah pihak telah terikat dan sejak itulah mereka mempunyai kewajiban dan hak, yang tidak mereka miliki sebelumnya.

Baik dalam Undang-Undang Perkawinan ataupun KHI telah merumuskan dengan jelas bahwa tujuan perkawinan adalah  untuk membina keluarga yang bahagia, kekal, abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terwujudnya tujuan perkawinan tersebut tentu sangat tergantung pada maksimalisasi peran dan tanggung jawab masing-masing pihak, istri dan suami.

Namun, walaupun sudah jelas masih banyak masyarakat yang belum mengetahui atau sudah tahu tapi tetap tidak melaksanakan Hak dan Kewajiban suami istri itu sendiri. Padahal bisa jadi ini menjadi pemicu terjandinya kerenggangan dalam hubungan perkawinan keduanya.

Seperti fakta yang ada dimasyarakat banyak terjadinya KDRT atau Kekerasan dalam Rumah Tangga padahal sudah jelas disebutkan dalam Pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya” Padahal dalam pasal ini sudah jelas disebutkan”Wajib melindungi”tapi sebangai laki laki bukannya melundungi masih banyak suami yang justru menyakiti istrinya.

Perlu diketahui bahwa, ketika sudah menjadi suami dan istri, ada beberapa hal yang harus masing-masing individu pahami. Termasuk Hak dan kewajiban suami istri, Ada hak suami dan ada juga hak istri. Begitupula, ada kewajiban suami terhadap istri dan ada juga kewajiban istri terhadap suami.

Semua itu sudah jelas diatur didalam Undang-Undang Perkawinan, kompilasi hukum islam, dan juga didalam syari’at agama islam. Semua itu perlu dipahami oleh semua orang, terutama bagi suami dan istri. Karena dengan memahami hak dan kewajiban suami istri, diharapkan dapat menjadikan keluarga tersebut menjadi keluarga yang dapat mencapai tujuan perikahan, yaitu sakinah, mawaddah dan warahmah.

Share:

Saturday, September 22, 2018

HAPTUN/PAN Oleh Muhammad Nuh.S.H.,M.H.,B.E.,ADv

PENGANTAR HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH MUHAMMAD NUH


Pada dasarnya Hukum Peradilan Tata Usaha Negara atau Hukum Peradilan Administrasi Negara adalah "rangkaian peraturan-peraturan yang memuat bagaimana cara orang harus bertindak terhadap dan bertindak dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan Hukum Tata Usaha Negara atau Hukum Administrasi Negara". Itulah penjelasan yang diutarakan oleh dosen HAPTUN UIN SGD BDG sekaligus pengacara senior di Provinsi Jawa Barat.

Muhammad Nuh sapaan beliau, beliau menjelaskan bahwa objek dari Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah keputusan badan atau pejabat negara (Beschikking).

Kuliah umum

Berbeda dengan hukum acara yang lain yang memiliki hukum formil dan materil yang berbeda, contoh hukum Materil dari hukum perdata adalah BW (burgerlijk wetboek) sedangkan hukum formillnya adalah Herzien Inlandsch Reglement (HIR). Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara ini hukum formil dan materilnya satu yakni UU No.5 Tahun 1986 jo UU No.9 Tahun 2004 jo UU no 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Administrasi Negara.

Muhammad Nuh juga menyampaikan dalam kuliahnya bahwa surat keputusan yang diedarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara harus terdapat minimal 3 aspek yang membuat keputusan itu memiliki kepastian hukum yang pertama adalah konkrit maksud dari konkrit disini beliau menjelaskan bahwa keputusan yang dibuat harus jelas subjek dan objek nya mau ditujukan kepada siapa.

Yang kedua adalah individual keputusan badan atau pejabat tata usaha negara harus bersifat individual artinya keputusan yang diedarkan atau tetapkan harus ditujukan kepada satu pihak artinya tidak ditujukan untuk umum. Yang ketiga unsur yang harus ada adalah final artinya keputusan yang dibuat harus definitif dan menimbulkan akibat hukum.
Share:

Monday, August 13, 2018

KEKUASAAN NEGARA MENURUT UUD 1945


PEMBAGIAN KEKUASAAN MENURUT UUD 1945

Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim (1988) pemisahan kekuasaan dalam arti materil dapat disebut sebagai pemisahan kekuasaan. Sementara pemisahan kekuasaan dalam arti formil disebut dengan pembagian kekuasaan. Jimly Assiddiqie, berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (check and balances). Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.

Menurut Jimly, menyatakan bahwa selama ini (sebelum amandemen), UUD 1945 menganut paham pembagian kekuasaan yang bersifar vertikal, bukan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal. Kedaulatan rakyat dianggap terwujud penuh dalam wadah MPR yang dapat ditafsirkan sebagai lembaga tertinggi ataupun sebagai forum tertinggi. Dari sini, fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan kewenangan lembaga-lembaga tinggi negara yang ada dibawahnya, yaitu Presiden, DPR, MA, dan seterusnya.[1]

Setelah UUD 1945 diamandemen, terjadi perubahan mendasar bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilaksanakan oleh banyak lembaga negara menurut ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang dasar. Hal ini berarti bahwa tugas dan wewenang lembaga-lembaga negara mendapat atribusi langsung dari UUD 1945 sebagai manifestasi kehendak rakyat. Akibatnya terjadi perubahan struktur dan mekanisme kelembagaan negara, dimana MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga negara tertinggi. MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, MA, MK dan Badan Pemerikasa Keuangan berkedudukan sebagai lembaga negara tinggi. Hal ini berarti telah terjadi pergeseran prinsip dari pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal menjadi pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal.

Materi perubahan pada Perubahan Keempat UUD 1945 telah mereposisi
kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara. Penguatan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan sistem pemerintahan presidensil telah menimbulkan pergeseran kekuasaan diantara eksekutif dan legislatif, serta menempatkan lembaga yudisial sebagai penegak supremasi hukum.

Dalam ketatanegaraan yang lazim melakukan kekuasaan legilastif adalah parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sedangkan kekuasaan eksekutif ada pada Presiden atau Kabinet yang dipimpin Perdana Menteri, dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh badan peradilan seperti Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya.[2]


Menurut Moh. Kosnardi dan Bintan R. Saragih (1994) bahwa UUD 1945 tidak menganut asas pemisahan kekuasaan, dengan tidak hanya menunjuk kerja sama antara DPR dan Pemerintah dalam tugas legslatif saja. Selain itu, pada Pasal 24 Ayat 1 UUD 1945 tidak menjelaskan kekuasaan kehakiman, hanya saja pada Ayat 2 dirumuskan, bahwa kekuasaan kehakiman ini tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan lain.[3]
Adalah menjadi kebiasaan di Eropa barat untuk membagi tugas pemerintahan kedalam tiga bidang kekuasaan, yaitu:
1.      Kekuasaan legislatif, kekuasaan untuk membuat undang-undang.
2.      Kekuasaan eksekutif, kekuasaan untuk menjalankan undang-undang.
3.      Kekuasaan legislatif, kekuasaan untuk mempertahankan undang-undang (kekuasaan untuk mengadili)
Pemisahan dari ketiga kekuasaan ini sering kita temui dalam sistem ketatanegaraan berbagai negara, walaupun batas pembagian itu tudak selalu sempurna karena kadang-kadang satu sama lainnya tidak benar-benar terpisah bahkan saling pengaruh dmempengaruhi.
Orang-orang yang mengemukakan teori pemisahan kekuasaan negara ialah : John Locke dan Montesquieu. John Locke seorang ahli tata negara ingrris adalah orang yang pertama kali dianggap membicarakan ini.
Dalam bukunya yang berjudul Two Treatises on Civil Goverment (1690), John Locke memisahkan kekuasaan tiap-tiap negara dalam:
a.       Kekuasaan legislatif, kekuasaan untuk membuat undang-undang
b.      Kekuasaan eksekutif, kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang
c.       Kekuasaan federatif, kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri.
Menurut John Locke ketiga kekuasaan ini harus dipisahkan satu sama lainnya. Setengah abad kemudian dengan diilhami oleh pembagian kekuasaan dari John Locke, Montesquieu (1689-1755) seorang pengarang, ahli politik dan filsafat Prancis menulis sebuah buku berjudul L’Esprit des lois (jiwa undand-undang) yang diterbitkan di Jenewa pada tahun 1748 (2 jilid).
Dalam hasil karya ini Montesquieu menuli tentang Konstitusi Inggris. Yang antara lain mengatakan, bahwa dalam setiap pemerintahan terdapat tiga jenis kekuasaan yang diperincinya dalam : kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Ketiga kekuasaan ini melaksanakan semata-mata dan selengkap-lengkapnya kekuasaan yang ditentukan kepadanya masing-masing.[4]
Pendapat yang dikemukakan oleh Montesquieu merupakan penyempurnaan dari pendapat John Locke. Kekuasaan federatif oleh Montesquieu dimasukkan ke dalam kekuasaan eksekutif, fugsi mengadili dijadikan kekuasaan yang berdiri sendiri. Teori Montesquieu ini lebih dikenal dengan istilah Trias Politika.[5]



[1] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), Hal. 29.
[2] C.S.T Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), Hal. 11.
[3] Moh. Kusnardi dan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), Hal. 32.
[4] C.S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008, hlm. 73-74
[5] Maolioka, Sistem Pembagian Kekuasaan Negara Republik Indonesia, http://www.maolioka.com/2016/08/sistem-pembagian-kekuasaan-negara.html?m=1, diakses 20 Oktober 2017 jam 10:30 WIB

Share:

Wednesday, June 27, 2018

PEMIILU SERENTAK 2018

PESTA DEMOKRASI DAN KEBEBASAN RAKYAT DALAM MEMILIH
TPS RW04/Kap.Samoga/Des.Gardusayang/Kec.Cisalak/Kab.Subang
Masalah mendasar yang menentukan bangunan suatu negara adalah konsep kedaulatan yang dianut. Kedaulatan merupakan konsepsi yang berkaitan dengan kekuasaan tertinggi dalam organisasi negara. “Kekuasaan tertinggi tersebut biasanya dipahami sebagai sesuatu yang bersifat abstrak, tunggal, dan utuh, serta tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi.”( Saldi Isra, Jakarta, 2013)

Sekalipun demikian, pengakuan terhadap pemegang kekuasaan tertinggi di suatu negara tidak mutlak. Ia mengalami perkembangan baik dari sisi pemikiran maupun praktik ketatanegaraan, mulai dari kedaulatan tuhan hingga gagasan kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat.

Dalam pandangan Thomas Hobbes dalam bukunya De Cive (1642), yang dikutip oleh Saldi Isra, menyatakan bahwa: “Kedaulatan merupakan fungsi essensial yang ada pada negara.” Dalam bukunya konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia (2005), Jimly Asshidiqie menggambarkan padangan Thomas Hobbes yang menyatakan: “konsep kedaulatan yang membedakan organisasi negara dari organisasi sosial lainya, kedaulatan adalah jiwa dari lembaga politik yang disebut negara, yang disimbolkan sebagai makhluk yang kebal dan tak terkalahkan, yang disebut sebagai leviathan.” ( Saldi Isra, Jakarta, 2013)

Sebagai pengaruh dari ajaran kedaulatan tersebut, dalam studi hukum dan politik kedaulatan dicirikan sebagai kekuasaan yang mutlak, abadi, utuh dan tunggal tak terbagi dan bersifat lebih tinggi. Pada masa sekarang konsep kedaulatan yang absolut seharusnya tidak dipertahankan lagi. Konsep kedaulatan haruslah dipahami sebagai konsep kekuasaan tertinggi yang dapat saja dibagi dan dibatasi. Siapapun pemegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan, harus selalu ada pembatasan oleh hukum dan konstitusi, sebagai wujud hukum tertinggi yang dibuat oleh pemilik kedaulatan itu sendiri.

Dalam khazanah pemikiran tentang negara dan praktik kenegaraan sepanjang peradaban manusia, dikenal lima teori atau ajaran tentang kedaulatan. Kelima teori itu adalah kedaulatan tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan negara, kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Sejak perkembangan peradaban rasionalisme, teori kedaulatan yang saat ini paling banyak dianut oleh negara-negara di dunia adalah kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum.

Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi. Istilah demokrasi berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem demokrasi di banyak negara.
Secara etimologis, demokrasi berasal bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk dan cratein yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Dengan demikian, secara bahasa demokrasi adalah keadaan negara di mana kedaulatan atau kekuasaan tertingginya berada di tangan rakyat.

Demokrasi telah ada sejak zaman Yunani Kuno. Presiden Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln mengatakan demokrasi adalah government of the people, by the people and for the people atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Demokrasi telah menjadi arus utama negara-negara modern. Demokrasi berdiri berdasarkan prinsip persamaan, yaitu bahwa setiap warga negara memiliki kesamaan hak dan kedudukan didalam Pemerintahan, karena itu setiap warga negara sejatinya memiliki kekuasaan yang sama untuk memerintah. Kekuasaan rakyat inilah yang menjadi sumber legitimasi dan legalitas kekuasaan negara.

Dikebanyakan negara demokrasi, Pemilu dianggap lambang, sekaligus tolak ukur dari demokrasi. Hasil Pemilu yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat.
Dengan adanya Pemilu diharapkan dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat yang mampu mengerti mengenai aspirasi dari rakyat terutama dalam proses perumusan kebijakan publik dengan adanya sistem pergiliran kekuasaan. Pemilu juga memberikan peluang bagi terpentalnya sejumlah partai politik dari parlemen pada setiap Pemilu berikutnya. Sehingga kekuasaan dalam membentuk UndangUndang tidak serta merta menjadikan partai politik yang berada di parlemen lupa sehingga setiap partai politik tidak dapat mempertahankan kekuasaannya.

Peserta Pemilu adalah partai politik. Partai politik mengajukan kandidat dalam Pemilu untuk kemudian dipilih oleh rakyat. Partai politik sendiri, berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, merupakan organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemilu merupakan arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintah yang didasarkan pada pemilihan formal dari warganegara yang memenuhi syarat. Secara universal pemilu adalah instrument mewujudkan kedaulatan rakyat yang bermaksud membentuk pemerintahan yang absah serta sarana mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat. Pemilihan umum adalah salah satu cara untuk menentukan para wakilwakil rakyat yang akan duduk dilembaga legislatif, maka dengan sendirinya terdapat berbagai sistem pemilihan umum.

Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat, sesuai dengan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjelaskan: Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kedaulatan yang dipunyai oleh rakyat itu antara lain tercemin dengan dilaksanakannya pemilihan umum dalam waktu-waktu tertentu. Pemilihan umum adalah salah satu hak asasi warga negara yang sangat prinsipiil. Karenanya dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi adalah suatu keharusan bagi pemerintah untuk melaksanakan pemilihan umum. Didalam konstitusi kita Undang-Undang Dasar 1945 mengatur tentang adanya pemilu yaitu di bab VIIB Pasal 22E yaitu tentang Pemilihan Umum.

Sesuai dengan asas bahwa rakyatlah yang berdaulat, maka semuanya itu harus dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Adalah suatu pelanggaran terhadap hak-hak asasi apabila pemerintah tidak mengadakan pemilihan umum atau memperlambat pemilihan umum tanpa persetujuan dari wakil-wakil rakyat.

Wakil-wakil rakyat tersebut bertindak atas nama rakyat, dan wakil-wakil rakyat tersebutlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan, serta tujuan apa yang hendak dicapai baik dalam waktu yang relatif pendek, maupun dalam jangka waktu yang panjang.
Dalam perkembangannya, demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat secara sepenuhnya hanya mungkin terjadi pada negara yang wilayahnya dan jumlah warganya sangat kecil, seperti di negara kota (polis) pada masa Yunani Kuno.  Hal ini melahirkan sistem demokrasi perwakilan yang bertujuan agar kepentingan dan kehendak warga negara tetap dapat menjadi bahwa pembuatan keputusan melalui orang-orang yang mewakili mereka. Didalam gagasan demokrasi perwakilan kekuasaan tertinggi (kedaulatan) tetap ditangan rakyat, tetapi dijalankan oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat sendiri. Agar wakil-wakil rakyat tersebut benar-benar dapat bertindak atas nama rakyat maka wakilwakil rakyat itu harus ditentukan sendiri oleh rakyat.

Demokrasi perwakilan yang konstitusional merupakan cara untuk melaksanakan demokrasi. Dahl berpendapat bahwa demokrasi perwakilan merupakan bentuk demokrasi dalam skala besar yang membutuhkan lembaga-lembaga politik tertentu sebagai jaminan terlaksananya demokrasi, yaitu:
1.Para Pejabat yang dipilih
2.Pemilihan umum yang bebas, adil dan berkala
3.Kebebasan berpendapat
4.Sumber informasi alternative
5.Otonomi asosiasional
6.Hak kewarganegaraan yang inklusif.

Demokrasi perwakilan adalah demokrasi yang dibuat untuk dapat dipraktikan dalam jangka waktu yang lama dan mencakup wilayah yang luas. Menurut Hans Kelsen sebagaimana dikutip oleh Janedjri M. Gaffar menyatakan, “bahwa dalam demokrasi perwakilan, fungsi pemerintahan diahlikan dari warga negara kepada organ-organ negara, untuk mengisi organ-organ negara dilakukan melalui nominasi yang demokratis, yaitu pemilihan umum.”( Janedjri M. Gaffar, Jakarta, 2013)

Sebagai elemen kunci pelaksanaan demokrasi, tentu saja Pemilu harus diselenggarakan secara demokratis pula. Pemilu harus mencerminkan prinsip dan nilai demokrasi, serta dapat menjadi jalan bagi pelaksanaan demokrasi itu sendiri. Sifat demokratis Pemilu diperlukan untuk menjaga bahwa Pemilu sebagai suatu mekanisme demokrasi dapat mewujudkan tujuan yang hendak dicapai. Melalui Pemilu, rakyat tidak hanya memilih orang yang akan menjadi wakilnya dalam menyelenggarakan negara, tetapi juga memilih program yang dikendaki sebagai kebijakan negara pada pemerintahan selanjutnya.

Tujuan pelaksanaan Pemilu adalah terpilihnya wakil rakyat dan terselenggaranya pemerintahan yang benar-benar sesuai dengan pilihan rakyat. Pemilu yang tidak mampu mencapai tujuan itu hanya akan bersifat formalitas sebagai pemberian legitimasi bagi pemegang kekuasaan negara, Pemilu demikian adalah Pemilu yang kehilangan ruh demokrasi.

Sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Pemilu bagi bangsa Indonesia memiliki arti yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara. Suatu Pemilu dikatakan sukses tidak hanya dilihat dari terlaksananya semua tahapan sampai terisinya jabatan-jabatan yang dipilih, yaitu anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Tidak dapat dikatakan sebagai Pemilu yang berhasil, jika mereka terpilih melalui cara-cara yang penuh dengan pelanggaran dan kecurangan yang bertentangan dengan asas Luber dan Jurdil.( Topo Santoso,Didik Supriyanto Jakarta, 2004)

Asas langsung, umum, bebas dan rahasia terkait dengan cara pemilih menyampaikan suaranya, yaitu harus secara langsung tanpa diwakilkan berlaku umum bagi semua warga negara, dilakukan secara bebas tanpa adanya paksaan, dan secara rahasia. Asas jujur mengandung arti bahwa Pemilu harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang berhak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya, dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Sesuai dengan asas jujur, tidak boleh ada suara pemilih yang dimanipulasi. Sedangkan asas adil, adalah perlakuan yang sama terhadap peserta Pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta Pemilu atau pemilih tertentu.

Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara Pemilu. Asas jujur dan adil tidak hanya terwujud dalam mekanisme prosedural pelaksanaan Pemilu, tetapi juga harus terwujud dalam segala tindakan penyelenggaraan, peserta, pemilih, bahkan pejabat pemerintah. Dengan demikian, asas jujur dan adil menjadi spirit keseluruhan pelaksanaan Pemilu. Menurut Jimly Asshiddiqie, “asas luber menyangkut sifat objektif yang harus ada dalam proses pelaksanaan atau mekanisme Pemilu, terutama pada saat seseorang melaksanakan hak pilihnya, sedangkan asas Jurdil terutama terkait dengan sikap subjektif penyelenggara dan pelaksana Pemilu yang harus bertindak jujur dan adil.”( Jimly Asshiddiqie, Jakarta, 2002)

Untuk memastikan bahwa seluruh warga negara yang memiliki hak pilih dapat menggunakan haknya tentu diperlukan prosedur tertentu, Prosedur juga diperlukan untuk menghindari kemungkinan kecurangan Pemilu yang bertentang dengan asas Luber dan Jurdil, semisal kemungkinan seorang pemilih menggunakan hak pilihnya lebih dari satu kali. Selain itu, prosedur juga diperlukan sebagai satu kesatuan perencanaan penyelenggaraan Pemilu terkait dengan logistik Pemilu penentuan pembagian TPS, serta distribusi logistik. Namun demikian pembentukan prosedur tidak boleh menghalangi hal yang substansial, yaitu memenuhi hak pemilih untuk memilih.

Salah satu masalah prosedural yang mengemuka baik dalam Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden adalah menyangkut tentang DPT yang banyak menuai kritik dari berbagai pihak. Kecaman itu datang akibat kelemahan dalam susunan DPT, yakni adanya warga negara yang terdaftar lebih dari satu kali dalam DPT, sebaliknya disisi lain banyak warga negara yang memiliki hak pilih tetapi tidak terdaftar dalam DPT.

Kondisi tersebut berpotensi mengakibatkan terlanggarnya hak pilih (rights to vote) warga negara yang merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu tentu bertentangan dengan substansi demokrasi sebagai sistem penyelenggaraan pemerintahan rakyat melalui mekanisme pemilu.

Di sisi lain, hal itu akan mempengaruhi jumlah partisipasi warga negara dalam Pemilu yang pada akhirnya mengurangi legitimasi hasil pemilu. Jika masalah tersebut tidak diselesaikan, bukan tidak mungkin akan muncul pandangan bahwa Presiden Wakil Presiden, atau anggota Legislatif yang dipilih bukan merupakan pilihan rakyat yang sesungguhnya.


Share: