PEMBAGIAN KEKUASAAN MENURUT UUD 1945
Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim (1988) pemisahan
kekuasaan dalam arti materil dapat disebut sebagai pemisahan kekuasaan.
Sementara pemisahan kekuasaan dalam arti formil disebut dengan pembagian
kekuasaan. Jimly Assiddiqie, berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan bersifat horizontal
dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin
dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (check
and balances). Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti
perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada
lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
Menurut Jimly, menyatakan bahwa selama ini (sebelum amandemen), UUD
1945 menganut paham pembagian kekuasaan yang bersifar vertikal, bukan pemisahan
kekuasaan yang bersifat horizontal. Kedaulatan rakyat dianggap terwujud penuh
dalam wadah MPR yang dapat ditafsirkan sebagai lembaga tertinggi ataupun
sebagai forum tertinggi. Dari sini, fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai
tugas dan kewenangan lembaga-lembaga tinggi negara yang ada dibawahnya, yaitu
Presiden, DPR, MA, dan seterusnya.[1]
Setelah
UUD 1945 diamandemen, terjadi perubahan mendasar bahwa kedaulatan rakyat tidak
lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilaksanakan oleh banyak lembaga
negara menurut ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang dasar. Hal ini
berarti bahwa tugas dan wewenang lembaga-lembaga negara mendapat atribusi
langsung dari UUD 1945 sebagai manifestasi kehendak rakyat. Akibatnya terjadi
perubahan struktur dan mekanisme kelembagaan negara, dimana MPR tidak lagi
berkedudukan sebagai lembaga negara tertinggi. MPR, DPR, DPD, Presiden dan
Wakil Presiden, MA, MK dan Badan Pemerikasa Keuangan berkedudukan sebagai
lembaga negara tinggi. Hal ini berarti telah terjadi pergeseran prinsip dari
pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal menjadi pemisahan kekuasaan yang
bersifat horizontal.
Materi
perubahan pada Perubahan Keempat UUD 1945 telah mereposisi
kelembagaan negara dan hubungan antar
lembaga negara. Penguatan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan sistem pemerintahan
presidensil telah menimbulkan pergeseran kekuasaan diantara eksekutif dan
legislatif, serta menempatkan lembaga yudisial sebagai penegak supremasi hukum.
Dalam ketatanegaraan yang lazim melakukan kekuasaan
legilastif adalah parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sedangkan
kekuasaan eksekutif ada pada Presiden atau Kabinet yang dipimpin Perdana
Menteri, dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh badan peradilan seperti Mahkamah
Agung dan peradilan di bawahnya.[2]
Menurut
Moh. Kosnardi dan Bintan R. Saragih (1994) bahwa UUD 1945 tidak menganut asas
pemisahan kekuasaan, dengan tidak hanya menunjuk kerja sama antara DPR dan
Pemerintah dalam tugas legslatif saja. Selain itu, pada Pasal 24 Ayat 1 UUD
1945 tidak menjelaskan kekuasaan kehakiman, hanya saja pada Ayat 2 dirumuskan,
bahwa kekuasaan kehakiman ini tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan lain.[3]
Adalah menjadi kebiasaan di Eropa
barat untuk membagi tugas pemerintahan kedalam tiga bidang kekuasaan, yaitu:
1.
Kekuasaan
legislatif, kekuasaan untuk membuat undang-undang.
2.
Kekuasaan
eksekutif, kekuasaan untuk menjalankan undang-undang.
3.
Kekuasaan
legislatif, kekuasaan untuk mempertahankan undang-undang (kekuasaan untuk
mengadili)
Pemisahan dari ketiga kekuasaan ini sering
kita temui dalam sistem ketatanegaraan berbagai negara, walaupun batas
pembagian itu tudak selalu sempurna karena kadang-kadang satu sama lainnya
tidak benar-benar terpisah bahkan saling pengaruh dmempengaruhi.
Orang-orang yang mengemukakan teori
pemisahan kekuasaan negara ialah : John Locke dan Montesquieu. John Locke
seorang ahli tata negara ingrris adalah orang yang pertama kali dianggap
membicarakan ini.
Dalam bukunya yang berjudul Two
Treatises on Civil Goverment (1690), John Locke memisahkan kekuasaan
tiap-tiap negara dalam:
a.
Kekuasaan
legislatif, kekuasaan untuk membuat undang-undang
b.
Kekuasaan
eksekutif, kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang
c.
Kekuasaan
federatif, kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan
dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri.
Menurut John Locke ketiga kekuasaan
ini harus dipisahkan satu sama lainnya. Setengah abad kemudian dengan diilhami
oleh pembagian kekuasaan dari John Locke, Montesquieu (1689-1755) seorang
pengarang, ahli politik dan filsafat Prancis menulis sebuah buku berjudul L’Esprit
des lois (jiwa undand-undang) yang diterbitkan di Jenewa pada tahun 1748 (2
jilid).
Dalam hasil karya ini Montesquieu
menuli tentang Konstitusi Inggris. Yang antara lain mengatakan, bahwa dalam
setiap pemerintahan terdapat tiga jenis kekuasaan yang diperincinya dalam :
kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Ketiga
kekuasaan ini melaksanakan semata-mata dan selengkap-lengkapnya kekuasaan yang ditentukan
kepadanya masing-masing.[4]
Pendapat yang dikemukakan oleh
Montesquieu merupakan penyempurnaan dari pendapat John Locke. Kekuasaan
federatif oleh Montesquieu dimasukkan ke dalam kekuasaan eksekutif, fugsi
mengadili dijadikan kekuasaan yang berdiri sendiri. Teori Montesquieu ini lebih
dikenal dengan istilah Trias Politika.[5]
[1] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan
dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), Hal. 29.
[2] C.S.T Kansil, Sistem Pemerintahan
Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), Hal. 11.
[3] Moh. Kusnardi dan R. Saragih, Susunan
Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1994), Hal. 32.
[4] C.S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2008, hlm. 73-74
[5] Maolioka, Sistem Pembagian Kekuasaan Negara Republik Indonesia, http://www.maolioka.com/2016/08/sistem-pembagian-kekuasaan-negara.html?m=1,
diakses 20 Oktober 2017 jam 10:30 WIB
0 komentar:
Post a Comment