Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Apakah Benar 1 Juni adalah Hari Lahir Pancasila?

Dr.Endang saefuddin anshori memberi sebuah pendahuluan tentang argument dasar perumusan pancasila.

Aktualisasi Pancasila

Dalam 10 tahun terakhir ini banyak bermunculan kasus – kasus sosial. Mulai dari ringan, sedang hingga yang berat, dalam bentuk tindak pelanggaran, perilaku menyimpang dan tindak kriminal.

PERAN MASYARAKAT DALAM BADAN PENGWAS PEMILU

Pemilu berkualitas akan terwujud jika prosesnya dijaga, dipantau, dan diawasi agar tidak dicurangi.

PENGINGKARAN HAK-HAK BURUH OLEH KAPITALIS

Pengingkaran hak-hak buruh dalam model kerja outsourcing, sebagian telah dijelaskan dalam pembahasan terdahulu.

OUTSOUCING DALAM PERINDUSTRIAN INDONESIA

Perkembangan kapitalisme di era modern telah mencapai pada puncaknya menghegemoni dunia.

Tuesday, September 25, 2018

MAZHAB/TEORI HUKUM ALAM, SEJARAH DAN TEOKRASI

MAZHAB/TEORI HUKUM ALAM, SEJARAH DAN TEOKRASI

(C.S.T Kansil)
Tanpa mempertanyakan adanya sanksi terhadap pelanggaran kaidah hukum, timbul sebuah pertanyaan "dari manakah asal hukum itu, mengapa hukum ditaati orang dan mengapa kita harus tunduk kepada hukum?". Persoalan ketaatan terhadap Hukum telah menimbulkan berbagai teori dan aliran pendapat atau mazhab-mazhab dalam ilmu pengetahuan Hukum. 

Ada beberapa mazhab yang harus kita ketahui jika kita ingin memahami ilmu hukum dari akarnya, berikut merupakan beberapa penjelasan mengenai mazhab hukum.

aristoteles (salah satu pencetus mazhab hukum alam)
Mazhab Hukum Alam, teori ini berpendapat bahwa hukum terbagi menjadi dua macam berdasarkan sejarah berlakunya pertama hukum itu berlaku karena penetapan penguasa negara dan kedua hukum itu berlaku bukan dari ketergantungan terhadap manusia tentan baik dan buruknya, bukan yang asli. Menurut Aristoteles salah satu pencetus mazhab ini, dia berpendapat bahwa tanggapan orang terhadap "keaslian" adalah tidak sama, sehingga seakan akan tak ada hukum alam yang asli, namun harus lah diakui, bahwa keaslian suatu benda atau tidaklah tergantung pada waktu dan tempat kekecualian dalam suatu hal tertentu ada.

Thomas van aquino(1225-1274) berpendapat bahwa kejadian dialam dunia ini diperintahkan dan dikemudikan oleh suatu "Undang-Undang abadi" (lex aterna) yang menjadi dasar kekuasaan dari semua peraturan-peraturan lainnya. adapun sumber hukum alam menurut hugo de goor adalah pikiran atau akal manusia.

Friedrich Carl Von Savigny
Mazhab Sejarah, mazhab ini merupakan reaksi beberapa ahli dari mazhab hukum alam, aliran ini timbul dieropa yang diplopori oleh Friedrich Carl Von Savigny (1774-1861) von savigny berpendapat, bahwa hukum itu harus dipandang sebagai suatu penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa, seelalu ada hubungan yang erat antara hukum dan kepribadian suatu bangsa. Von Savigny berpendapat bahwa hukum itu diciptakan bukan oleh orang, tetapi hukum itu timbul sendiri di teengah-tengah masyarakat, hukum itu penjelmaan dari kehendak rakyat yang pada suatu saat juga akan mati apabila suatu bangsa kehilangan kepribadiannya, maka dari itu dalam teori ini jelas bahwa hukum itu senantiasa berubah-ubah menurut tempat dan waktu.

Pendapat Von Savigny jelas sangat bertentangan dengan mazhab hukum alam yang berpendapat bahwa hukum alam itu berlaku abadi dimana-mana bagi seluruh manusia.

Hukum itu berasal dari tuhan
Teori Teokrasi, Teori ini muncul dari para ahli fikir atau filosof pada masa lampau dieropa yang menganggap dan mengajarkan bahwa hukum itu berasal dari tuhan yang maha esa, dan oleh karena itulah maka manusia diperintahkan tuhan harus tunduk pada hukum. Tinjauan mengenai hukum dikaitkan deengan kepercayaan dan agama, dan ajaran tentang legitimasi kekuasaan hukum berdasarkan atas kepercayaan dan agama. 
Penguasa yang menetapkan dan membuat peraturan atau hukum, oleh para ahli teori ini disebut bahwa penguasa tersebut mendapat kuasa oleh tuhan, jadi seolah olah para raja dan penguasa lainnya merupakan wakil tuhan

Share:

Sunday, September 23, 2018

MAKNA DARI PERKAWINAN YANG SEBENARNYA

MAKNA PERKAWINAN MENURUT UU PERKAWINAN NO.1/1974 DAN KHI


Perkawinan merupakan perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk menempuh kehidupan rumah tangga. Sejak mengadakan perjanjian melalui akad, kedua belah pihak telah terikat dan sejak itulah mereka mempunyai kewajiban dan hak, yang tidak mereka miliki sebelumnya.

Baik dalam Undang-Undang Perkawinan ataupun KHI telah merumuskan dengan jelas bahwa tujuan perkawinan adalah  untuk membina keluarga yang bahagia, kekal, abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terwujudnya tujuan perkawinan tersebut tentu sangat tergantung pada maksimalisasi peran dan tanggung jawab masing-masing pihak, istri dan suami.

Namun, walaupun sudah jelas masih banyak masyarakat yang belum mengetahui atau sudah tahu tapi tetap tidak melaksanakan Hak dan Kewajiban suami istri itu sendiri. Padahal bisa jadi ini menjadi pemicu terjandinya kerenggangan dalam hubungan perkawinan keduanya.

Seperti fakta yang ada dimasyarakat banyak terjadinya KDRT atau Kekerasan dalam Rumah Tangga padahal sudah jelas disebutkan dalam Pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya” Padahal dalam pasal ini sudah jelas disebutkan”Wajib melindungi”tapi sebangai laki laki bukannya melundungi masih banyak suami yang justru menyakiti istrinya.

Perlu diketahui bahwa, ketika sudah menjadi suami dan istri, ada beberapa hal yang harus masing-masing individu pahami. Termasuk Hak dan kewajiban suami istri, Ada hak suami dan ada juga hak istri. Begitupula, ada kewajiban suami terhadap istri dan ada juga kewajiban istri terhadap suami.

Semua itu sudah jelas diatur didalam Undang-Undang Perkawinan, kompilasi hukum islam, dan juga didalam syari’at agama islam. Semua itu perlu dipahami oleh semua orang, terutama bagi suami dan istri. Karena dengan memahami hak dan kewajiban suami istri, diharapkan dapat menjadikan keluarga tersebut menjadi keluarga yang dapat mencapai tujuan perikahan, yaitu sakinah, mawaddah dan warahmah.

Share:

Saturday, September 22, 2018

HAPTUN/PAN Oleh Muhammad Nuh.S.H.,M.H.,B.E.,ADv

PENGANTAR HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH MUHAMMAD NUH


Pada dasarnya Hukum Peradilan Tata Usaha Negara atau Hukum Peradilan Administrasi Negara adalah "rangkaian peraturan-peraturan yang memuat bagaimana cara orang harus bertindak terhadap dan bertindak dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan Hukum Tata Usaha Negara atau Hukum Administrasi Negara". Itulah penjelasan yang diutarakan oleh dosen HAPTUN UIN SGD BDG sekaligus pengacara senior di Provinsi Jawa Barat.

Muhammad Nuh sapaan beliau, beliau menjelaskan bahwa objek dari Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah keputusan badan atau pejabat negara (Beschikking).

Kuliah umum

Berbeda dengan hukum acara yang lain yang memiliki hukum formil dan materil yang berbeda, contoh hukum Materil dari hukum perdata adalah BW (burgerlijk wetboek) sedangkan hukum formillnya adalah Herzien Inlandsch Reglement (HIR). Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara ini hukum formil dan materilnya satu yakni UU No.5 Tahun 1986 jo UU No.9 Tahun 2004 jo UU no 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Administrasi Negara.

Muhammad Nuh juga menyampaikan dalam kuliahnya bahwa surat keputusan yang diedarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara harus terdapat minimal 3 aspek yang membuat keputusan itu memiliki kepastian hukum yang pertama adalah konkrit maksud dari konkrit disini beliau menjelaskan bahwa keputusan yang dibuat harus jelas subjek dan objek nya mau ditujukan kepada siapa.

Yang kedua adalah individual keputusan badan atau pejabat tata usaha negara harus bersifat individual artinya keputusan yang diedarkan atau tetapkan harus ditujukan kepada satu pihak artinya tidak ditujukan untuk umum. Yang ketiga unsur yang harus ada adalah final artinya keputusan yang dibuat harus definitif dan menimbulkan akibat hukum.
Share:

Monday, August 13, 2018

KEKUASAAN NEGARA MENURUT UUD 1945


PEMBAGIAN KEKUASAAN MENURUT UUD 1945

Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim (1988) pemisahan kekuasaan dalam arti materil dapat disebut sebagai pemisahan kekuasaan. Sementara pemisahan kekuasaan dalam arti formil disebut dengan pembagian kekuasaan. Jimly Assiddiqie, berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (check and balances). Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.

Menurut Jimly, menyatakan bahwa selama ini (sebelum amandemen), UUD 1945 menganut paham pembagian kekuasaan yang bersifar vertikal, bukan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal. Kedaulatan rakyat dianggap terwujud penuh dalam wadah MPR yang dapat ditafsirkan sebagai lembaga tertinggi ataupun sebagai forum tertinggi. Dari sini, fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan kewenangan lembaga-lembaga tinggi negara yang ada dibawahnya, yaitu Presiden, DPR, MA, dan seterusnya.[1]

Setelah UUD 1945 diamandemen, terjadi perubahan mendasar bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilaksanakan oleh banyak lembaga negara menurut ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang dasar. Hal ini berarti bahwa tugas dan wewenang lembaga-lembaga negara mendapat atribusi langsung dari UUD 1945 sebagai manifestasi kehendak rakyat. Akibatnya terjadi perubahan struktur dan mekanisme kelembagaan negara, dimana MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga negara tertinggi. MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, MA, MK dan Badan Pemerikasa Keuangan berkedudukan sebagai lembaga negara tinggi. Hal ini berarti telah terjadi pergeseran prinsip dari pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal menjadi pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal.

Materi perubahan pada Perubahan Keempat UUD 1945 telah mereposisi
kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara. Penguatan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan sistem pemerintahan presidensil telah menimbulkan pergeseran kekuasaan diantara eksekutif dan legislatif, serta menempatkan lembaga yudisial sebagai penegak supremasi hukum.

Dalam ketatanegaraan yang lazim melakukan kekuasaan legilastif adalah parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sedangkan kekuasaan eksekutif ada pada Presiden atau Kabinet yang dipimpin Perdana Menteri, dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh badan peradilan seperti Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya.[2]


Menurut Moh. Kosnardi dan Bintan R. Saragih (1994) bahwa UUD 1945 tidak menganut asas pemisahan kekuasaan, dengan tidak hanya menunjuk kerja sama antara DPR dan Pemerintah dalam tugas legslatif saja. Selain itu, pada Pasal 24 Ayat 1 UUD 1945 tidak menjelaskan kekuasaan kehakiman, hanya saja pada Ayat 2 dirumuskan, bahwa kekuasaan kehakiman ini tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan lain.[3]
Adalah menjadi kebiasaan di Eropa barat untuk membagi tugas pemerintahan kedalam tiga bidang kekuasaan, yaitu:
1.      Kekuasaan legislatif, kekuasaan untuk membuat undang-undang.
2.      Kekuasaan eksekutif, kekuasaan untuk menjalankan undang-undang.
3.      Kekuasaan legislatif, kekuasaan untuk mempertahankan undang-undang (kekuasaan untuk mengadili)
Pemisahan dari ketiga kekuasaan ini sering kita temui dalam sistem ketatanegaraan berbagai negara, walaupun batas pembagian itu tudak selalu sempurna karena kadang-kadang satu sama lainnya tidak benar-benar terpisah bahkan saling pengaruh dmempengaruhi.
Orang-orang yang mengemukakan teori pemisahan kekuasaan negara ialah : John Locke dan Montesquieu. John Locke seorang ahli tata negara ingrris adalah orang yang pertama kali dianggap membicarakan ini.
Dalam bukunya yang berjudul Two Treatises on Civil Goverment (1690), John Locke memisahkan kekuasaan tiap-tiap negara dalam:
a.       Kekuasaan legislatif, kekuasaan untuk membuat undang-undang
b.      Kekuasaan eksekutif, kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang
c.       Kekuasaan federatif, kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri.
Menurut John Locke ketiga kekuasaan ini harus dipisahkan satu sama lainnya. Setengah abad kemudian dengan diilhami oleh pembagian kekuasaan dari John Locke, Montesquieu (1689-1755) seorang pengarang, ahli politik dan filsafat Prancis menulis sebuah buku berjudul L’Esprit des lois (jiwa undand-undang) yang diterbitkan di Jenewa pada tahun 1748 (2 jilid).
Dalam hasil karya ini Montesquieu menuli tentang Konstitusi Inggris. Yang antara lain mengatakan, bahwa dalam setiap pemerintahan terdapat tiga jenis kekuasaan yang diperincinya dalam : kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Ketiga kekuasaan ini melaksanakan semata-mata dan selengkap-lengkapnya kekuasaan yang ditentukan kepadanya masing-masing.[4]
Pendapat yang dikemukakan oleh Montesquieu merupakan penyempurnaan dari pendapat John Locke. Kekuasaan federatif oleh Montesquieu dimasukkan ke dalam kekuasaan eksekutif, fugsi mengadili dijadikan kekuasaan yang berdiri sendiri. Teori Montesquieu ini lebih dikenal dengan istilah Trias Politika.[5]



[1] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), Hal. 29.
[2] C.S.T Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), Hal. 11.
[3] Moh. Kusnardi dan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), Hal. 32.
[4] C.S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008, hlm. 73-74
[5] Maolioka, Sistem Pembagian Kekuasaan Negara Republik Indonesia, http://www.maolioka.com/2016/08/sistem-pembagian-kekuasaan-negara.html?m=1, diakses 20 Oktober 2017 jam 10:30 WIB

Share:

Wednesday, June 27, 2018

PEMIILU SERENTAK 2018

PESTA DEMOKRASI DAN KEBEBASAN RAKYAT DALAM MEMILIH
TPS RW04/Kap.Samoga/Des.Gardusayang/Kec.Cisalak/Kab.Subang
Masalah mendasar yang menentukan bangunan suatu negara adalah konsep kedaulatan yang dianut. Kedaulatan merupakan konsepsi yang berkaitan dengan kekuasaan tertinggi dalam organisasi negara. “Kekuasaan tertinggi tersebut biasanya dipahami sebagai sesuatu yang bersifat abstrak, tunggal, dan utuh, serta tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi.”( Saldi Isra, Jakarta, 2013)

Sekalipun demikian, pengakuan terhadap pemegang kekuasaan tertinggi di suatu negara tidak mutlak. Ia mengalami perkembangan baik dari sisi pemikiran maupun praktik ketatanegaraan, mulai dari kedaulatan tuhan hingga gagasan kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat.

Dalam pandangan Thomas Hobbes dalam bukunya De Cive (1642), yang dikutip oleh Saldi Isra, menyatakan bahwa: “Kedaulatan merupakan fungsi essensial yang ada pada negara.” Dalam bukunya konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia (2005), Jimly Asshidiqie menggambarkan padangan Thomas Hobbes yang menyatakan: “konsep kedaulatan yang membedakan organisasi negara dari organisasi sosial lainya, kedaulatan adalah jiwa dari lembaga politik yang disebut negara, yang disimbolkan sebagai makhluk yang kebal dan tak terkalahkan, yang disebut sebagai leviathan.” ( Saldi Isra, Jakarta, 2013)

Sebagai pengaruh dari ajaran kedaulatan tersebut, dalam studi hukum dan politik kedaulatan dicirikan sebagai kekuasaan yang mutlak, abadi, utuh dan tunggal tak terbagi dan bersifat lebih tinggi. Pada masa sekarang konsep kedaulatan yang absolut seharusnya tidak dipertahankan lagi. Konsep kedaulatan haruslah dipahami sebagai konsep kekuasaan tertinggi yang dapat saja dibagi dan dibatasi. Siapapun pemegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan, harus selalu ada pembatasan oleh hukum dan konstitusi, sebagai wujud hukum tertinggi yang dibuat oleh pemilik kedaulatan itu sendiri.

Dalam khazanah pemikiran tentang negara dan praktik kenegaraan sepanjang peradaban manusia, dikenal lima teori atau ajaran tentang kedaulatan. Kelima teori itu adalah kedaulatan tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan negara, kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Sejak perkembangan peradaban rasionalisme, teori kedaulatan yang saat ini paling banyak dianut oleh negara-negara di dunia adalah kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum.

Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi. Istilah demokrasi berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem demokrasi di banyak negara.
Secara etimologis, demokrasi berasal bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk dan cratein yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Dengan demikian, secara bahasa demokrasi adalah keadaan negara di mana kedaulatan atau kekuasaan tertingginya berada di tangan rakyat.

Demokrasi telah ada sejak zaman Yunani Kuno. Presiden Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln mengatakan demokrasi adalah government of the people, by the people and for the people atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Demokrasi telah menjadi arus utama negara-negara modern. Demokrasi berdiri berdasarkan prinsip persamaan, yaitu bahwa setiap warga negara memiliki kesamaan hak dan kedudukan didalam Pemerintahan, karena itu setiap warga negara sejatinya memiliki kekuasaan yang sama untuk memerintah. Kekuasaan rakyat inilah yang menjadi sumber legitimasi dan legalitas kekuasaan negara.

Dikebanyakan negara demokrasi, Pemilu dianggap lambang, sekaligus tolak ukur dari demokrasi. Hasil Pemilu yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat.
Dengan adanya Pemilu diharapkan dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat yang mampu mengerti mengenai aspirasi dari rakyat terutama dalam proses perumusan kebijakan publik dengan adanya sistem pergiliran kekuasaan. Pemilu juga memberikan peluang bagi terpentalnya sejumlah partai politik dari parlemen pada setiap Pemilu berikutnya. Sehingga kekuasaan dalam membentuk UndangUndang tidak serta merta menjadikan partai politik yang berada di parlemen lupa sehingga setiap partai politik tidak dapat mempertahankan kekuasaannya.

Peserta Pemilu adalah partai politik. Partai politik mengajukan kandidat dalam Pemilu untuk kemudian dipilih oleh rakyat. Partai politik sendiri, berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, merupakan organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemilu merupakan arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintah yang didasarkan pada pemilihan formal dari warganegara yang memenuhi syarat. Secara universal pemilu adalah instrument mewujudkan kedaulatan rakyat yang bermaksud membentuk pemerintahan yang absah serta sarana mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat. Pemilihan umum adalah salah satu cara untuk menentukan para wakilwakil rakyat yang akan duduk dilembaga legislatif, maka dengan sendirinya terdapat berbagai sistem pemilihan umum.

Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat, sesuai dengan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjelaskan: Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kedaulatan yang dipunyai oleh rakyat itu antara lain tercemin dengan dilaksanakannya pemilihan umum dalam waktu-waktu tertentu. Pemilihan umum adalah salah satu hak asasi warga negara yang sangat prinsipiil. Karenanya dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi adalah suatu keharusan bagi pemerintah untuk melaksanakan pemilihan umum. Didalam konstitusi kita Undang-Undang Dasar 1945 mengatur tentang adanya pemilu yaitu di bab VIIB Pasal 22E yaitu tentang Pemilihan Umum.

Sesuai dengan asas bahwa rakyatlah yang berdaulat, maka semuanya itu harus dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Adalah suatu pelanggaran terhadap hak-hak asasi apabila pemerintah tidak mengadakan pemilihan umum atau memperlambat pemilihan umum tanpa persetujuan dari wakil-wakil rakyat.

Wakil-wakil rakyat tersebut bertindak atas nama rakyat, dan wakil-wakil rakyat tersebutlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan, serta tujuan apa yang hendak dicapai baik dalam waktu yang relatif pendek, maupun dalam jangka waktu yang panjang.
Dalam perkembangannya, demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat secara sepenuhnya hanya mungkin terjadi pada negara yang wilayahnya dan jumlah warganya sangat kecil, seperti di negara kota (polis) pada masa Yunani Kuno.  Hal ini melahirkan sistem demokrasi perwakilan yang bertujuan agar kepentingan dan kehendak warga negara tetap dapat menjadi bahwa pembuatan keputusan melalui orang-orang yang mewakili mereka. Didalam gagasan demokrasi perwakilan kekuasaan tertinggi (kedaulatan) tetap ditangan rakyat, tetapi dijalankan oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat sendiri. Agar wakil-wakil rakyat tersebut benar-benar dapat bertindak atas nama rakyat maka wakilwakil rakyat itu harus ditentukan sendiri oleh rakyat.

Demokrasi perwakilan yang konstitusional merupakan cara untuk melaksanakan demokrasi. Dahl berpendapat bahwa demokrasi perwakilan merupakan bentuk demokrasi dalam skala besar yang membutuhkan lembaga-lembaga politik tertentu sebagai jaminan terlaksananya demokrasi, yaitu:
1.Para Pejabat yang dipilih
2.Pemilihan umum yang bebas, adil dan berkala
3.Kebebasan berpendapat
4.Sumber informasi alternative
5.Otonomi asosiasional
6.Hak kewarganegaraan yang inklusif.

Demokrasi perwakilan adalah demokrasi yang dibuat untuk dapat dipraktikan dalam jangka waktu yang lama dan mencakup wilayah yang luas. Menurut Hans Kelsen sebagaimana dikutip oleh Janedjri M. Gaffar menyatakan, “bahwa dalam demokrasi perwakilan, fungsi pemerintahan diahlikan dari warga negara kepada organ-organ negara, untuk mengisi organ-organ negara dilakukan melalui nominasi yang demokratis, yaitu pemilihan umum.”( Janedjri M. Gaffar, Jakarta, 2013)

Sebagai elemen kunci pelaksanaan demokrasi, tentu saja Pemilu harus diselenggarakan secara demokratis pula. Pemilu harus mencerminkan prinsip dan nilai demokrasi, serta dapat menjadi jalan bagi pelaksanaan demokrasi itu sendiri. Sifat demokratis Pemilu diperlukan untuk menjaga bahwa Pemilu sebagai suatu mekanisme demokrasi dapat mewujudkan tujuan yang hendak dicapai. Melalui Pemilu, rakyat tidak hanya memilih orang yang akan menjadi wakilnya dalam menyelenggarakan negara, tetapi juga memilih program yang dikendaki sebagai kebijakan negara pada pemerintahan selanjutnya.

Tujuan pelaksanaan Pemilu adalah terpilihnya wakil rakyat dan terselenggaranya pemerintahan yang benar-benar sesuai dengan pilihan rakyat. Pemilu yang tidak mampu mencapai tujuan itu hanya akan bersifat formalitas sebagai pemberian legitimasi bagi pemegang kekuasaan negara, Pemilu demikian adalah Pemilu yang kehilangan ruh demokrasi.

Sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Pemilu bagi bangsa Indonesia memiliki arti yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara. Suatu Pemilu dikatakan sukses tidak hanya dilihat dari terlaksananya semua tahapan sampai terisinya jabatan-jabatan yang dipilih, yaitu anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Tidak dapat dikatakan sebagai Pemilu yang berhasil, jika mereka terpilih melalui cara-cara yang penuh dengan pelanggaran dan kecurangan yang bertentangan dengan asas Luber dan Jurdil.( Topo Santoso,Didik Supriyanto Jakarta, 2004)

Asas langsung, umum, bebas dan rahasia terkait dengan cara pemilih menyampaikan suaranya, yaitu harus secara langsung tanpa diwakilkan berlaku umum bagi semua warga negara, dilakukan secara bebas tanpa adanya paksaan, dan secara rahasia. Asas jujur mengandung arti bahwa Pemilu harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang berhak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya, dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Sesuai dengan asas jujur, tidak boleh ada suara pemilih yang dimanipulasi. Sedangkan asas adil, adalah perlakuan yang sama terhadap peserta Pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta Pemilu atau pemilih tertentu.

Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara Pemilu. Asas jujur dan adil tidak hanya terwujud dalam mekanisme prosedural pelaksanaan Pemilu, tetapi juga harus terwujud dalam segala tindakan penyelenggaraan, peserta, pemilih, bahkan pejabat pemerintah. Dengan demikian, asas jujur dan adil menjadi spirit keseluruhan pelaksanaan Pemilu. Menurut Jimly Asshiddiqie, “asas luber menyangkut sifat objektif yang harus ada dalam proses pelaksanaan atau mekanisme Pemilu, terutama pada saat seseorang melaksanakan hak pilihnya, sedangkan asas Jurdil terutama terkait dengan sikap subjektif penyelenggara dan pelaksana Pemilu yang harus bertindak jujur dan adil.”( Jimly Asshiddiqie, Jakarta, 2002)

Untuk memastikan bahwa seluruh warga negara yang memiliki hak pilih dapat menggunakan haknya tentu diperlukan prosedur tertentu, Prosedur juga diperlukan untuk menghindari kemungkinan kecurangan Pemilu yang bertentang dengan asas Luber dan Jurdil, semisal kemungkinan seorang pemilih menggunakan hak pilihnya lebih dari satu kali. Selain itu, prosedur juga diperlukan sebagai satu kesatuan perencanaan penyelenggaraan Pemilu terkait dengan logistik Pemilu penentuan pembagian TPS, serta distribusi logistik. Namun demikian pembentukan prosedur tidak boleh menghalangi hal yang substansial, yaitu memenuhi hak pemilih untuk memilih.

Salah satu masalah prosedural yang mengemuka baik dalam Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden adalah menyangkut tentang DPT yang banyak menuai kritik dari berbagai pihak. Kecaman itu datang akibat kelemahan dalam susunan DPT, yakni adanya warga negara yang terdaftar lebih dari satu kali dalam DPT, sebaliknya disisi lain banyak warga negara yang memiliki hak pilih tetapi tidak terdaftar dalam DPT.

Kondisi tersebut berpotensi mengakibatkan terlanggarnya hak pilih (rights to vote) warga negara yang merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu tentu bertentangan dengan substansi demokrasi sebagai sistem penyelenggaraan pemerintahan rakyat melalui mekanisme pemilu.

Di sisi lain, hal itu akan mempengaruhi jumlah partisipasi warga negara dalam Pemilu yang pada akhirnya mengurangi legitimasi hasil pemilu. Jika masalah tersebut tidak diselesaikan, bukan tidak mungkin akan muncul pandangan bahwa Presiden Wakil Presiden, atau anggota Legislatif yang dipilih bukan merupakan pilihan rakyat yang sesungguhnya.


Share:

Tuesday, June 26, 2018

PERAN MASYARAKAT DALAM BADAN PENGAWAS PEMILU

PENTINGNYA PERAN MASYARAKAT DALAM TUGAS DAN WEWENANG BAWASLU DAN BADAN PENGAWAS PEMILU LAINNYA

Pemilu berkualitas akan terwujud jika prosesnya dijaga, dipantau, dan diawasi agar tidak dicurangi. Pemantauan pemilu merupakan salah satu bentuk partiipasi masyarakat. Pada pemilu 1999, pemantauan lebih ditujukan untuk melawan bangkitnya kekuasaan rezim Orde Baru. Selanjutnya berkembang memberi masukan dalam pembuatan rancangan peraturan penyelenggaraan pemilu, pendataan pemilih, pemilu inklusif hingga publikasi hasil pemilu.

Kerjasama Bawaslu dengan pemantau pemilu untuk mengoptialkan peran pengawasan, penyediaan dana dari APBN kepada pemantau pemilu yang terakreditasi dalam bentuk block grant, dan memasukkan pemantauan pemilu ke dalam bab partiipasi masyarakat dalam UU Pemilu diperlukan untuk mendorong partiipasi masyarakat dalam pemantauan pemilu.

Dalam hal ini masyarakat merupakan komponen terpenting dari sebuah Negara, apalagi bagi negara yang menerapkan sistim pemerintahan Demokrasi, yang mana semuanya berasal dari rakyat dan kembali kepada rakyat. Dalam hal pemilu contohnya suara terbanyak dari rakyat merupakan suara tuhan  ini merupakan kalimat yang sering kita dengar dari negara yang menerapkan sistim pemerintahan demokrasi.

You can have election without demoracy, but you can not have democray without election (Surbakti,2016).
Kalimat tersebut menunjukkan betapa pemilu sangat pentig bagi negarayang menjalankan sistem demokrasi. Proses penyelenggaraan pemilu akan berjalan secara demokratis apabila memenuhi sejumlah indikator (Surbakt & Supriyanto, 2013)

Pertama, sistem pemilu sesuai dengan karakteristi masyarakat dan sistem politi demokrasi yang hendak diwujudkan. Kedua, payung hukum seluruh tahapan proses penyelenggaraan pemilu harus menjamin kepastin hukum yang dirumuskan berdasarkan asas pemilu yang demokrati. Ketiga, kompetii peserta pemilu yang bebas dan adil. Keempat, penyelenggara pemilu yang professional dan independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Kelima, proses pemungutan dan penghitungan suara yang dilaksanakan dengan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Keenam, sistem penegakan hukum pemilu yang dilakukan secara adil dan tepat waktu. Ketujuh, partiipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemilu.

Sebagai salah satu bentuk partisipasi masyarakat, pemantauan pemilu merupakan hal penting dalam proses penyelenggaraan pemilu. Rakyat tiak hanya sekedar berhak menggunakan hak pilihnya, tetapi juga berhak mendambakan proses dan hasil pemilu yang baik. Untuk itu perlu dibuka seluas-luasnya ruang bagi publik untuk memantau jalannya proses tahapan pemilu, dari awal hingga akhir.

Di Indonesia, pengawasan terhadap proses pemilu dilembagakan dengan adanya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Disamping itu, terdapat juga pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap proses penyelenggaraan pemilu yang disebut dengan kegiatan pemantauan pemilu.
Anggota Bawaslu 

Badan Pengawas Pemilihan  Umum (Bawaslu) merupakan lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pelaksanaan tugasnya Bawaslu dibantu oleh badang-badan pengawas pemilu lainnya seperti halnya Petugas Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS), petugas pengawas tempat pemungutan suara ini merupakan badan pengawas penyelenggaraan pemilu ditempat pemungutan suara.

Menyikapi Pengawas Tempat Pemungutan Suara(PTPS) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum) dalam melaksanakan tugasnya banyak masyarakat yang tidak faham bahkan tidak mengerti sebenarnya apa tugas dan wewenang dari petugas PTPS dan Bawaslu tersebut, masyarakat hanya bisa menyimpulkan dari apa yang diliatnya kebanyakan masyarakat melihat petugas PTPS dan Bawaslu hanaya bekerja dilapangan sebagai petugas yang mengawasi jalannya pemilihan dan yang menghitung hasil dari pilihan masyarakat dibilik suara.

Masyarakat menafsirkan sesuai yang mereka lihat, tetapi dibalik itu ada banyak tugas dan wewenang dari petugas PTPS dan Bawaslu yang bertugas ditempat pemilihan, sebelum beranjak kepada pembahasan mengenai tugas dan wewenang kita kupas dulu dasar hukum dibentuknya petugas PTPS dan Bawaslu ini.

Berikut dasar hukum dari petugas PTPS dan Bawaslu dIbentuk:
a. Bawaslu diatur dalam Bab II Undang Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Pasal 89 ayat (2), Bawaslu terdiri atas :
•Bawaslu
•Bawaslu Provinsi
•Bawaslu Kabupaten/Kota
•Panwaslu Kecamatan
•Panwaslu Kelurahan/Desa
•Panwalu LN
•Pengawas TPS
b. Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
c .Undang-Undang nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai Undang-Undang.
d. Undang-Undang No 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai Undang-Undang.
e. PKPU Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2018.
f. Berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pembentukan, Pemberhentian, dan Penggantian antar Waktu Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi, Badan Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kecamatan, Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kelurahan/Desa, Panitia Pengawas Pemilihan Umum Luar Negeri, dan Pengawas Tempat Pemungutan Suara.

Bawaslu menurut UU No 15 Tahun 2011 jo UU No 7 Tahun 2017 diatas memeiliki beberapa fungsi, Fungsi pertama, yakni fungsi Pengawasan atas pelaksanaan seluruh tahapan proses penyelenggaraan Pemilu, dilaksanakan oleh berbagai unsur organisasi masyarakat sipil, seperti lembaga pemantau Pemilu, media massa, bahkan partai politik. Fungsi kedua, yakni fungsi menampung, mengkaji dan meneruskan laporan mengenai dugaan pelanggaran Ketentuan Administrasi Pemilu yang dapat dilaksanakan secara langsung oleh KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten-Kota tanpa perantara.
Fungsi ketiga, yakni menampung, mengkaji dan meneruskan laporan mengenai dugaan pelanggran Ketentuan Pidana Pemilu kepada Kepolisian RI. Fungsi ini juga dapat dilaksanakan secara langsung oleh Polri, seperti yang dilakukan oleh Polri atas pengaduan dugaan pelanggaran jenis tindak Pidana lain. Fungsi keempat, yakni menampung gugatan Peserta Pemilu terhadap putusan KPU, dan menyelesaikan sengketa Pemilu baik yang bersifat fial mengikat maupun yang tidak bersifat fial mengikat, yang sesungguhnya dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara seperti kasus sengketa mengenai Peserta Pemilu dan Daftar Calon.

Tugas dan wewenang dari petugas PTPS dibagi kedalam beberapa bagian diantaranya:
A.mengawasi persiapan pemungutan dan penghitungan suara meliputi;
a.Keabsahan KPPS (SK Pengangkatan)
b.Pendistribusian C6 dari KPPS ke Pemilih (jumlah C6 yang telah disampaikan dan tidak tersampaikan)
c.Pendistribusian Logistik dari PPS ke KPPS (data jumlah logistik)
d.Pembangunan TPS (Letak, Kelayakan, Aksesibilitas, dll)
e.Memastikan tidak ada APK APS, atribut pasangan calon, partai politik pengusung  dll)
B.mengawasi pelaksanaan pemungutan suara meliputi;
a.Pemasangan DPT dan Daftar Pasangan Calon
b.Pembukaan pukul 07.00 WIB Penutupan pukul 13.00 WIB
c.Pengambilan Sumpah KPPS
d.Menghitung kesesuaian jumlah logistik
e.Memastikan urutan pemilihan tidak terlewati
f.Memastikan pemilih DPTB memilih setelah pukul 12.00 WIB
C.mengawasi persiapan penghitungan suara meliputi;
a.Perubahan Denah Penghitungan Suara
b.Pemasangan C1 Plano (menastikan tidak ada lagi pemilih setelah sidang pemungutan saura ditutup)
c.Menghitung surat suara terpakai berdasarkan daftar hadir
D.mengawasi pelaksanaan penghitungan suara meliputi;
a.Pembukaan kotak suara dan Menghitung jumlah surat suara dari kotak suara
b.Penghitungan suara (jumlah surat suara sah, surat suara tidak sah, surat suara tidak di coblos)
E.menyampaikan keberatan kepada KPPS dalam hal ditemukan dugaan pelanggaran, kesalahan, dan/atau penyimpangan administrasi pemungutan dan penghitungan suara; dan
F.menerima salinan berita acara dan sertifikat pemungutan dan penghitungan suara dari KPPS.

Ada banyak bukan tugas dan wewenang dari petugas PTPS dan Bawaslu itu, itu semua merupakan tugas dan wewenang dari petugas PTPS dan Bawaslu yang sering kita jumpai di TPS-TPS sekitar kita.

Keanggotaan dari pada Bawaslu,Panwaslu dan petugas PTPS diatur oleh Undang-Undang UU No.15 Th. 2011 jo UU No.7 Th. 2017 yang menyatakan bahwa Jumlah Anggota : Bawaslu sebanyak 5 Orang; Bawaslu Provinsi sebanyak 3 Orang; Panwaslu Kabupaten/ Kota sebanyak 3 Orang; Panwaslu Kecamatan sebanyak 3 Orang; Pengawas Pemilu Lapangan 1 Orang(UU No.15 Tahun 2011)
Dan UU No.7 Tahun 2017 Jumlah Anggota :Bawaslu sebanyak 5 Orang; Bawaslu Provinsi sebanyak 5 Orang atau 7 Orang; Bawaslu Kabupaten/ Kota sebanyak 3 Orang atau 5 Orang; Panwaslu Kecamatan sebanyak 3 Orang; Panwaslu Kelurahan / Desa 1 Orang; Pengawas TPS 1 Orang.

Mereka merupakan anggota dari tiap-tiap badan pengawas pemilu yang dipilih oleh Banwaslu Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa untuk bertugas didaerah wewenangnya masing-masing.

Ketika menjalankan tugasnya tidak sedikit dari mereka yang mendapatkan beberapa pelanggan ketika penghitungan suara atau bahkan ketika masyarakat memilih dibilik suara, dari kewenangannya menindak pelanggaran yang terjadi ketika pemilu badan-badan tersebut bekerja sama dengan masyarakat untuk saling menjaga ketertiban saat pemilihan dan pemungutan suara  berlangsung, karena dari itu jika masyarakat menemukan kegiatan yang diduga pelanggaran pemilu, maka diharapkan untuk langsung melapor kepada petugas yang sedang bertugas yang untuk selanjutnya ditindak oleh petugas bagi orang yang telah melakukan pelanggaran tersebut.

Kewenangan petugas menindak para pelaku pelanggaran dilindungi oleh Undang-Undang, berikut pasal yang mengatur kewenangan petugas pengawas pemilu dalam menindak lanjuti pelanggaran tersebut : pasal 124 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 menyatakan bahwa: Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas, PPL dan Pengawas TPS menerima laporan pelanggaran pemilihan pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan.

Dan Undang-Undang Pasal 2 Ayat 1 PeBawaslu No 14 Tahun 2017 menyatakan bahwa: Penanganan laporan dugaan pelanggaran pemilihan dilaksanakan oleh pengawas pemilihan yang terdiri atas: a. Bawaslu Provinsi; b. Panwas Kab/Kota; c. Panwas/nama lain; d. PPL; e. Pengawas TPS.

Proses penyelesaian sengketa Pemilu tersebut harus Adil dan TepatWaktu (just and fair and in timely manner), namun waktu yang tersedia bagi Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan Negeri (dan Pengadilan Tinggi bila terjadi naik banding) sangat terbatas, sehingga pengaduan yang langsung diterima oleh KPU untuk dugaan pelanggaran Ketentuan Administrasi Pemilu atau oleh Polri untuk dugaan pelanggaran Ketentuan Pidana Pemilu akan dapat mempercepat proses penyelesaian sengketa Pemilu.
Selanjutnya merupakan bagan sumber dugaan pelanggaran:

Dalam penanganannya petugas memiliki batas waktu dalam penanganan pelanggaran tersebut, yang pertama waktu penanganan atas laporan/temuan dugaan pelanggaran pemilihan oleh pengawas pemilihan paling lama 3 hari sejek laporan diterima. Kedua jika pengawas memerlukan keterangan tambahan dapat diperpanjang 2 hari, catatan:total waktu penanganan 5 hari.

Dari uraian tersebut diharapkan masyarakat bisa faham dan bekerja sama dengan petugas pengawas pemilu disetiap daerah nya untuk menciptakan pemilihan yang bebas dari kecurangan-kecurangan dari pihak yang tidak bertanggung jawab, masyarakat bisa melaporkan apabila terjadi kecurangan kepada petugas PTPS atau Bawaslu yang ada ditempat pemilihan atau melaporkan secara langsung ke kantor kesekteriatan Bawaslu tiap-tiap daerahnya.

Semoga artikel mengenai pembahasan tugas dan wewenang badan pengawas pemilu dalam hal ini Bawaslu, panwaslu,ppl, dan petugas tps bisa memberikan gambara dari tugas-tugas badan tersebut, dan masyarakat bisa lebih cerdas dalam menyikapi setiap pemilu yang berlangsung. “MARI  KITA TENTUKAN PILIHAN KITA, DAN PILIHLAH PEMIMPIN YANG BENAR-BENAR PRO TERHADAP RAKYAT”.



Sumber:
-Materi Bimtek Bawaslu Kabupaten Sumedang, tahun 2018
-DKPP. (2006). DKPP Outlook 2016 Reflksi dan Proyeksi. Jakarta.
-DKPP. (2015). DKPP Di Tahun Politi (Sebuah Catatan Reportase). Jakarta.
-Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
-Undang-Undang No.15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu


Share:

Sunday, June 24, 2018

KOMPETENSI RELATIF

KOMPETENSI RELATIF BADAN PERADILAN DI INDONESIA (PTUN)
Gugatan diajukan ditempat tinggal tergugat/gugatan diajukan ditempat perbuatan hukum terjadi (Pidana)

Kompetensi relatif adalah kewenagan dari pengadilan sejenis yang mana yang berwenang untuk memeriksa,mengadili, dan memutus suatu perkara yang bersangkutan. Dalam kaitanya di dalam peradialan tata usaha Negara, maka  kempetensi relatifnya adalah menyangkut kewenagan pengadilan tata usaha mengadili, dan memutus perkara tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, maka di atas pasal 54 UU PTUN menyebutkan gugatan dapat diajukan kepada PTUN tempat kedudukan (domisisli) tergugat. Apabila tergugatnya lebih dari satu, maka gugatan dapat diajukan kepada PTUN dari tempat kedududkan salah satu tergugat.

Kompetensi relatif adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili perkara berdasarkan wilayah perkara.
•Tingkatan pengadilan :
1.Pengadilan tingkat Pertama (Pengadilan Negeri)
2.Pengadilan tingkat Kedua (Pengadilan Tinggi/Banding)
3.MA/Kasasi

Pengadilan tingkat I dan Tingkat II masih mencari fakta hukum, sedangkan pada MA/Kasasi sudah pada penetapan hukum. Kompetensi relatif adalah kewenangan suatu pengadilan ditentukan berdasarkan wilayah hukum yang menjadi wilayah kewenangannya.

Gugatan dapat juga diajukan melalui PTUN tempat kedudukan penggugat untuk di teruskan kepada PTUN tempat kedudukan (domosili) dari tergugat. Apabila penggugat dan tergugat berdomisisli di luar negri, sedangkan apabila tergugat berkedudukan di dalam negri, sedangkan penggugat berkedudukan di luar negri, maka gugatan dapat diajukan kepada PTUN tempat kedudukan tergugat.
Dalam hukum acara perdata,   menurut Pasal 118 ayat (1) HIR,  yang berwenang mengadili suatu perkara perdata adalah Pengadilan Negeri (PN) yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat (actor sequitur forum rei). Mengajukan gugatan pada pengadilan diluar wilayah hukum tempat tinggal tergugat, tidak dibenarkan.

Opsi lainnya adalah gugatan diajukan kepada PN yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, yaitu dengan patokan apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui. Agar tidak dapat dimanipulasi oleh penggugat, tidak diketahuinya tempat tinggal tergugat itu perlu mendapat surat keterangan dari pejabat yang bersangkutan yang menyatakan bahwa tempat tinggal tergugat tidak diketahui. Misalnya, surat keterangan dari kepala desa.

Jika obyek gugatan mengenai benda tidak bergerak (benda tetap), misalnya tanah, maka gugatan diajukan kepada PN yang daerah hukumnya meliputi benda tidak bergerak itu berada. Jika keberadaan benda tidak bergerak itu meliputi beberapa wilayah hukum, maka gugatan diajukan ke salah satu PN atas pilihan penggugat.

Kewenangan dari pengadilan sejenis yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan pengadilan tata usaha negara, maka kompetensi relatifnya adalah menyangkut kewenangan pengadilan tata usaha negara untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut. Apakah itu PTUN Ujung Pandang, Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta, Palembang, Medan, dan sebagainya.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas Pasal (54 UU 09/2004 PTUN) menyebutkan gugatan dapat diajukan  kepada PTUN dari tempat kedudukan salah satu tergugat. Gugatan dapat juga diajukan melalui PTUN tempat kedudukan penggugat untuk diteruskan kepada tempat kedudukan (domisili) tergugat. PTUN Jakarta, apabila penggugat dan tergugat berdomisili di luar negeri sedangkan apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri, sedangkan penggugat berkedudukan di luar negeri, maka gugatan dapat diajukan kepada PTUN tempat kedudukan tergugat.

Pengadilan harus menyatakan tidak berwenang untukmemeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tersebut, apabila bukan menjadi kompetensinya baik secara absolut maupun secara relatif. Kesalahan dalam mengajukan gugatan akan sangat merugikan penggugat tidak hanya dari segi waktu, dan biaya, tetapi yang jauh lebih penting adalah dapat berakibat gugatan menjadi daluwarsa. Sebagaimana diketahui tenggang waktu mengajukan gugatan berdasarkan (Pasal 55 09/2004 UU PTUN) hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara.

Yaitu kewenangan mengadili antar pengadilan dalam satu lingkungan peradilan. Kewenangan tersebut terletak dipengadilan manakah yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkaratertentu. Sedangkan kompetensi Relative Peradilan Tata Usaha Negara diaturdalamPasal 54 ayat 1 s/d Pasal6 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan:
1.Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
Contoh:
Bila Penggugat beralamat di kota Surabaya, sedangkan Tergugat adalah Walikota Bandung, maka menurut ketentuan ayat ini gugatan diajukan di PTUN Surabaya, karena Walikota Bandung berkedudukan di daerah hukum PTUN Semarang.
2.Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum pengadilan, gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salahsatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Contoh:
Bila Penggugat beralamat di Bandung, sedangkan yang digugat adalah Kepala Kantor Pertanahan Kota Semarang (Tergugat I), Kakanwil BPN Provinsi Jawa Tengah (Tergugat II); Tergugat III (Kepala BPN Pusat); Tergugat IV (Ketua DPR), maka gugatan dapat diajukan di:
1.PTUN Semarang, yang daerah hukumnya meliputi salah satu Tergugat , atau
2.PTUN Jakarta, yang daerah hukumnya meliputi salah satuTergugat.
Yang perlu diperhatikan dalam menentukan pengadilan yang akan mengadili adalah kedekatan dengan saksi maupun obyek yang disengketakan.
3.Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan kepengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan penggugat, untuk selanjutnya diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan.
Contoh:
Penggugat kedudukannya didaerah hukum PTUN Bandung, sedangkan Tergugat kedudukannya di daerah hukum PTUN Makasar, makagugatan dapat diajukan ke PTUN Makasar untuk selanjutnya diteruskan ke PTUN Makasar.
Hal ini karena untuk mengajukan gugatan di PTUN dibatasi waktu, sehingga agar tidak lewat waktu maka dipergunakan pengadilan perantara, hitungan waktunya adalah sejak Penggugat mendaftarkan perkara di pengadilan perantara yaitu PTUN Bandung.
4.Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.
5.Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada pengadilan di Jakarta.
6.Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar negeri ,gugatan diajukan kepada pengadilan ditempat kedudukan tergugat.

Wewenang ini berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan. Gugatan harus diajukan kepada pengadilan negeri di tempat tergugat tinggal (Actor sequitor forum rei) Psl 118 ayat 1 HIR, Pasal 142 ayat 1 Rbg. Yang berwenang adalah PN tempat tinggal tergugat (Domisili). Contohnya jika penggugat di Yogyakarta dan tergugat berada di Bandung maka gugatan diajukan di PN bandung.
Jika yang digugat lebih dari satu tergugat dan mereka ini tidak tinggal dalam suatu wilayah hukum suatu PN, maka gugatan diajukan ke PN di tempat salah satu seorang tergugat tinggal. Penggugat dapat memilih salah satu (Pasal 118 ayat 2 HIR, Pasal 142 ayat 3 Rbg).

Apabila tergugat itu terdiri dari orang-orang yang berhutang (Debitur) dan penanggung, maka gugatan diajukan kepada PN di tempat orang yang berhutang (Debitur) Pasal 118 ayat 2 HIR dan Pasal 142 ayat 5 Rbg.

Penyimpangan  asas Actor sequitor forum rei  yakni dalam hal tergugat tidak punya tempat tinggal yang dikenal maupun tempat tinggal yang nyata/ apabila tergugat tidak dikenal. Dalam hal ini gugatan diajukan kepada PN di tempat penggugat tinggal. Pasal 118 ayat 3 HIR, Pasal 142 ayat 3 Rbg. Apabila gugatan itu mengenai benda tetap, maka gugatan diajukan kepada pengadulan negeri di tempat benda titu terletak (Forum rei sitae). Hal ini diatur pada pasal 118 ayat 3 HIR, dan Pasal 142 ayat 5 Rg).

Banding administratif adalah dalam hal penyelesaian sengketa KTUN harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan. Keberatan adalah dalam hal penyelesaian KTUN tersebut harus dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan itu. Dalam prosedur banding administratif dan prosedur keberatan dilakukan penilaian yang lengkap, baik dari segi penerapan hukum maupun dari segi kebijkasanaan oleh instansi yang memutus. Apabila seluruh prosedur dan kesempatan tersebut telah ditempuh dan pihak yang bersangkutan masih tetap belum merasa puas, maka barulah persoalannya dapat digugat dan diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (Pasal 51 ayat (3).

Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang menjadi kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman di salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu.

Pengaturan kompetensi relatif peradilan tata usaha negara terdapat dalam Pasal 6 dan Pasal 54 :
Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 menyatakan :
(1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota.
(2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.

Untuk saat sekarang PTUN masih terbatas sebanyak 26 dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) ada 4 yaitu PT.TUN Medan, Jakarta, Surabaya dan Makasar di seluruh wilayah Indonesia, sehingga PTUN wilayah hukumnya meliputi beberapa kabupaten dan kota. Seperti PTUN Medan wilayah hukumnya meliputi wilayah provinsi Sumatera Utara dan PT.TUN wilayah hukumnya meliputi provinsi-provinsi yang ada di Sumatera.

Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat kediaman para pihak, yakni pihak Penggugat dan Tergugat.
Dalam Pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 diatur sebagai berikut :
Gugatan sengketa tata usaha negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
(1) Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
(2) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman Penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
(3) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa tata usaha negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat.
(4) Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
(5) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan Tergugat.
Dengan demikian gugatan pada prinsipnya diajukan ke pengadilan di tempat tergugat dan hanya bersifat eksepsional di tempat penggugat diatur menurut Peraturan Pemerintah. Hanya saja sampai sekarang Peraturan Pemerintah tersebut belum ada.

Share:

KOMPETENSI ABSOLUT

KOMPETENSI ABSOLUT DALAM SISITEM PERADILAN INDONESIA (PTUN)

Kompetensi absolute yaitu kewenangan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan  lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kompetensi absolut adalah kewenangan peradilan baik itu peradilan agama, TUN, Militer, umum untuk mengadili suatu perkara berdasarkan jenis perkara.

Kompetensi absolut adalah menyangkut kewenangan badan peradilan apa untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Kompetensi absolut dari peradilan umum adalah memeriksa, mengadili, memutuskan, perkara pidana yang dilakukan oleh orang-orang sipil dan perkara perdata, kecuali suatu peraturan perundang-undangan menentukan lain.

Dalam hal ini kompetensi absolute dari PTUN sesuai dengan ketentuan Pasal 4 UU No. 5/1986 adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Keputusan tata usaha Negara yang dapat digugatkan di PTUN adalah sebagaimana yang tersebut dalam : (Pasal 1 angka 3 + Pasal 3) – (Pasal 2 + Pasal 49).

Dengan terhadap keputusan tata usaha Negara yang masuk dalam Pasal 2 UU 5/1986 termasuk perubahannya tidak dapat digugat di PTUN, demikian pula terhadap keputusan yang dikeluarkan sebagaimana tersebut dalam Pasal 49 pengadilan tidak berwenang untuk mengadili.

Berdasarkan penjelasan Undang-undang No. 14 Tahun 1970, pembagian itu berdasarkan pada lingkungan kewenangan yang dimiliki masing-masing berdasarkan diversity jurisdic diction,  kewenangan  tersebut  memberikan  kewenangan  absolut  pada  masing-masing lingkungan peradilan sesuai dengan subject matter of jurisdiction, sehingga masing-masing lingkungan berwenang mengadili sebatas kasus yang dilimpahkan undang-undang kepadanya. Lingkungan kewenangan mengadili itu meliputi:
•Peradilan Umum berdasarkan UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, memeriksa dan memutus perkara dalam hukum Pidana (umum dan khusus) dan Perdata (umum dan niaga).
•Peradilan Agama berdasarkan  UU No. 7 Tahun 1989  Tentang   Peradilan Agama, memeriksa dan memutus perkara perkawinan, kewarisan, wakaf  dan shadaqah.
•Peradilan Tata  Usaha Negera  berdasarkan   UU No. 5 Tahun 1986  Tentang  Peradilan Tata Usaha Negara, memeriksa dan memutusa sengketa Tata Usaha Negara.
•Peradilan Militer yang  berwenang  memeriksa  dan  memutus  perkara  perkara pidana  yang  terdakwanya  anggota TNI dengan pangkat tertentu.

Kompetensi absolut dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah  memeriksa, mengadili, dan memutuskan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara seseorang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian (Pasal 1 ayat 4 UU 09/2004 PTUN) dan tidak dikeluarkannya suatu keputusan yang dimohonkan yang dimohonkan seseorang sampai batas waktu yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan, sedangkan hal itu telah merupakan kewajiban badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan (Pasal 3 UU 09/2004 PTUN).

Pasal 2 UU 5/1986 dan perubahannya disebutkan bahwa tidak termasuk pengertian keputusan Tata Usaha Negara dalam undang-undang adalah:
1.Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
Contoh:
Pemerintah melakukan jual-beli ,wanprestasi , gadai dll perbuatan yang didasarkan pada kaidah hukum perdata kalau ada sengketa PTUN tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus
2.Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
Contoh:
PERDA tentang MIRAS ,maka apabila adap ihak yang merasa dirugikan gugatannya tidak ke PTUN, terus kemana untuk menguji terhadap peraturan perundang-undangan:
1.DibawahUndang- Undang, yang berwenang menguji adalah Mahkamah Agung.
2.Undang- Undang ke atas, yang berwenang menguji adalah Mahkamah Konstitusi.
        3.Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan. Jenis keputusan ini adalah keputusan yang belum final sehingga belum memiliki akibat hukum.
Contoh:
Keputusan Walikota Semarang tentang Pemberhentian SEKDA yang klausulnya bahwa “keputusan ini akan berlaku sejak mendapat persetujuan dari Gubernur”, maka ketika keputusan tersebut belum mendapat persetujuan Gubernur maka keputusan itu belum mengikat, sehingga belum memiliki kekuatan hukum.
4.Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan KUHAP ; KUHP dan peraturan lain yang bersifat hukum pidana.
Contoh:
Keputusan KAPOLRESTABES Pamekasan untuk menangkap si A karena diduga melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 284 KUHP, maka apabila si A merasa dirugikan upaya pencarian keadilannya bukan ke PTUN namun melalui lembaga praperadilan di PeradilanUmum
5.Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6.Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tatausaha Negara TentaraNasional Indonesia.
7.Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik dipusat maupun di daerah ,mengenai hasil pemilihan umum.

Sekali lagi PTUN tidak berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa terhadap keputusan- keputusan sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 diatas.
Dalam Pasal 49 disebutkan bahwa pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:
1.Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan Negara dan/atau kepentingan masyarakat bersama dan/atau kepentingan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Menyangkut kewenangan badan peradilan apa untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara; sebagaimana diketahui berdasarkan pasal 10 UU 35/1999 kita mengenal 4 (empat) lingkungan peradilan, yakni; peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara
1.Kompetensi Absolut Dari Peradilan Umum adalah memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara pidana yang dilakukan oleh orang-orang sipil dan perkara perdata, kecuali suatu peraturan perundang-undangan menentukan lain (Pasal 50 UU 2/1999).
2.Kompetensi Absolut Dari Peradilan Agama adalah memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara-perkara orang yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, warisan, wasiat, hibah, waqaf, dan shadaqah (Pasal 49 UU 50/2009).
3.Kompetensi Absolut Dari Peradilan Militer adalah memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara pidana yang dilakukaN oleh anggota militer (baik dari angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara , dan kepolisian).
4.Kompetensi absolut dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah memeriksa, mengadili, dan memutuskan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara seseorang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian (Pasal 1 ayat 4 UU 09/2004 PTUN) dan tidak dikeluarkannya suatu keputusan yang dimohonkan yang dimohonkan seseorang sampai batas waktu yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan, sedangkan hal itu telah merupakan kewajiban badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan (Pasal 3 UU 09/2004 PTUN).

Seorang Hakim PTUN harus ekstra cermat mengingat sebuah K. TUN yang digugat memiliki peluang bersinggungan dengan komptensi pengadilan lain. Apalagi saat ini sudah banyak model pengadilan khusus yang terkait dengan keluarnya K. TUN. ” Kompetensi Absolut akan selalu berkaitan dengan titik singgung dengan kompetensi lain ;seperti kompetensi Peradilan Perdata, kompetensi Pengadilan Niaga, Kompetensi pengadilan Pajak dan yang lainnya” urai Kadar Slamet.

Lebih jauh menerangkan bahwa dalam kasus-kasus tertentu sering terjadi antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Badan peradilan lain sama-sama merasa memeriksa dan memutus terhadap obyek gugatan yang sama. Akibatnya sering menimbulkan putusan yang berbeda atau bertentangan satu sama lain. Hal ini muncul karena disebabkan oleh materi yang dipersengketakan penggugat ada titik singgung kewenangan mengadili antara PTUN dengan pengadilan lain;misalnya antara sertifikat tanah dan hak milik.

Untuk mencegah hal tersebut, Hakim Pengawas MA ini memberi rekomendasi pada hakim; Pertama, harus mempu menguasai Kewenangan absolut PTUN; kedua, memahami secara detail subyek atau pihak-pihak yang bersengketa di PTUN; ketiga, memahami secara utuh obyek sengketa yang dapat diperiksa dan diputus oleh PTUN; keempat, harus dikuasai asas-asas hukum yang berlaku di PTUN, seperti hukum administrasi, doktrin, dan yurisprudensi putusan-putusan PERATUN.
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Adapun yang menjadi obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004.

Kompetensi absolut PTUN adalah sengketa tata usaha negara yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004).

Obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan tata usaha negara sesuai Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004.
Namun ini, ada pembatasan-pembatasan yang termuat dalam ketentuan Pasal-Pasal UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 yaitu Pasal 2, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 142. Pembatasan ini dapat dibedakan menjadi : Pembatasan langsung, pembatasasn tidak langsung dan pembatasan langsung bersifat sementara.

1) Pembatasan Langsung
Pembatasan langsung adalah pembatasan yang tidak memungkinkan sama sekali bagi PTUN untuk memeriksa dan memutus sengketa tersebut. Pembatasan langsung ini terdapat dalam Penjelasan Umum, Pasal 2 dan Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986. Berdasarkan Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 menentukan, bahwa tidak termasuk Keputusan tata usaha negara menurut UU ini :
1.Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
2.Keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
3.Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan.
4.Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
5.Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6.Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia.
7.Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
•Pasal 49, Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu dikeluarkan :
1.Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pembatasan Tidak Langsung
Pembatasan tidak langsung adalah pembatasan atas kompetensi absolut yang masih membuka kemungkinan bagi PT.TUN untuk memeriksa dan memutus sengketa administrasi, dengan ketentuan bahwa seluruh upaya administratif yang tersedia untuk itu telah ditempuh.
Pembatasan tidak langsung ini terdapat di dalam Pasal 48 UU No. 9 Tahun 2004 yang menyebutkan,
(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya adminisratif yang bersangkutan telah digunakan.

Pembatasan langsung bersifat sementara
Pembatasan ini bersifat langsung yang tidak ada kemungkinan sama sekali bagi PTUN untuk mengadilinya, namun sifatnya sementara dan satu kali (einmalig). Terdapat dalam Bab VI Ketentuan Peralihan Pasal 142 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 yang secara langsung mengatur masalah ini menentukan bahwa, “ Sengketa tata usaha negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan menurut UU ini belum diputus oleh Pengadilan menurut UU ini belum diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum”.

Share:

Friday, June 22, 2018

PENGINGKARAN HAK-HAK BURUH OLEH KAPITLIS

PENGINGKARAN HAK-HAK BURUH OLEH KAPITALIS DALAM SISTEM OUTSOURCING
Bentuk protes buruh yang merasa direbut haknya oleh sistim outsourcing
Pengingkaran hak-hak buruh dalam model kerja outsourcing, sebagian telah dijelaskan dalam pembahasan terdahulu. Indikasi pelanggaran kapitalis (pemilik modal) dapat dilihat dari laporan Organisai Nirlaba "Global Alliance for Workers and Communities" mengenai kondisi kerja di sembilan Perusahaan NIKE. Hasil laporan dari wawancara dengan 4.450 buruh, bahwa terjadi penyiksaan dan perlakuan tidak sewajarnya oleh pekerja kontrak (outsourcing), sejumlah 30 persen buruh mengaku pernah melihat atau mengalami pelecehan atau penyiksaan baik secara verbal maupun fisik, termasuk pelecehan seksual (Sri Haryani, 2002 : 45). Laporan tersebut merupakan sebagian kecil dari gambaran bagaimana kondisi buruh dalam sistem outsouring. Untuk memperjelas mengenai indikasi tersebut disini akan digunakan persfektif alienasi dan nilai surplus Karl Marx.

a) Alienasi Buruh Dalam Sistem Outsourcing
Manusia merupakan mahluk produktif yang mampu menggunakan seperangkat kemampuannya untuk bekerja. Kerja adalah sebuah proses dimana manusia dan alam terlibat dalam sebuah kegiatan produktif. Manusia mempunyai kemampauan untuk mengatur, memulai, dan mengontrol reakasi-reaksi material antara dirinya dan alam.

`Marx dalam teori alienasi mengungkapkan empat bentuk alienasi, dalam menganalisis buruh dan perkembangan buruh pada masa kapitalisme awal. Perkembangan kapitalisme dan juga perangkat-perangkat pendukungnya semakin menguatkan eksploitasi dan ekspansi. Buruh outsourcing baik secara struktural maupun fungsional teralienasi. Sistem outsourcing yang melibatkan broker sebagai pihak perantara penyedia buruh, dan juga perusahaan inti yang memanfaatkan buruh telah melakukan praktek alienasi yang tidak bisa ditolerir. Praktik ini sesungguhnya mirip "jual beli manusia" (human trafficking) yang dilegalisasi oleh negara.

Beberapa indikator dari alienasi buruh dalam sistem kerja outsourcing yaitu, pertama; buruh kehilangan kesempatan untuk menyalurkan dan mengontrol sendiri hasilnya kerjanya. Dalam bahasa Marx, buruh teralienasi dari aktivitas produktif, dalam pengertian bahwa buruh tidak bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka, melainkan mereka bekerja untuk kapitalis (Ritzer, 2008 : 56)
Buruh dicetak dan dibentuk seperti mesin yang bekerja untuk pemilik mesin. Buruh kehilangan kreativitas dan kemampuan dasarnya sebagai mahluk produktif untuk mencukupi kebutuhan sendiri. Mereka telah kehilangan hak-hak untuk menciptakan produk sesuai dengan keinginan dan untuk kebutuhan mereka sendiri. Outsourcing melanggengkan perangkap terhadap buruh yang sudah lama terbentuk. Kondisi ini juga didukung dengan kuatnya penguasaan broker dan perusahaan inti terhadap buruh. Senada dengan gambaran diatas dalam kongres ICEM menyatakan bahwa kami memandang outsourcing sebagai bentuk dari perbudakan dan ketidakadilan bagi kemanusiaan (Celia Mather, 2008 : 39).

Kedua, buruh teralienasi dari produk hasil kerja mereka. Buruh tidak memiliki hak untuk memiliki produk hasil produksi mereka, karena produk tersebut hak milik kapitalis. Asumsi ini masih dalam satu rangkaian dengan tipe aleinasi yang pertama. Buruh diposisikan sebagai faktor produksi yang memproduksi barang untuk kepentingan kapitalis dan akan mereka jual dipasar. Sebagai contoh buruh outsourcing di perusahan Nike, tidak dapat serta merta dapat memiliki hasil dari kerjanya. Meraka bisa memiliknya ketika mereka membeli produk itu dipasar tetapi harganya tidak bakanlan terjangkau oleh mereka.

Ketiga, buruh teralienasi dari sesama pekerja. Fenomena ini sebenarnya telah lama terjadi, tetapi dalam kasus kerja outsourcing ada varian lain, tidak seperti yang ditemukan pada kapitalisme awal, dimana hubungan buruh hanya antara kelas borjuis dan proletar (buruh). Keterasingan pekerja sesama pekerja outsourcing mencapai pada puncaknya, mereka menjadi aktor yang harus loyal karena perjanjian outsourcing telah mereka sepakati. Persyarakatan yang memberatkan pihak buruh sehingga pelanggaran terhadap perjanjian akan mengakibatkan pemecatan. Struktur yang dibangun benar-benar menjadi kekautan yang menghegemoni buruh untuk tunduk. Sehingga berimplikasi mereka tidak dapat berinteraksi dengan buruh-buruh yang lain. Selain itu ada juga kecenderungan buruh outsourcing tidak dapat masuk kedalam serikat-serikat buruh karena waktu kontrak yang terbatas, dan terjadi hambatan untuk merekrut buruh kedalam serikat buruh yang akan memperjaungkan hak-hak dasar mereka.

Keempat, buruh tealienasi dari kemanusiaan mereka sendiri, hal ini dikarenakan kerja tidak lagi menjadi transformasi dan pemenuhan sifat dasar manusia. Kondisi ini juga terjadi dalam sistem kerja outsourcing, regulasi-regulasi yang cukup kuat mencengkram buruh menjadikan buruh tidak merdeka sepenuhnya. Buruh hanya menerima gaji yang minimum dengan pengerukan tenaga dan usaha yang maksimum. Outsourcing atau kerja kontrak memposisikan buruh dalam keadaan yang sangat sulit, tidak mempunyai posisi tawar yang memadai, sehingga penindasan terhadap hak-hak buruh menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem tersebut.

1. Nilai Surplus Dalam Sistem outsourcing
Buruh outsoursing sangat rentan dengan eksploitasi secara besar-besaran oleh pemilik modal atau kapitalisme. Sistem outsourcing mengakibatkan buruh bena-benar berada pada titik kulminasi, tidak mampu berbuat apapun demikian juga untuk membela hak-haknya. Penerapan outsourcing yang dilegalkan dengan adanya undang-udang memberikan landasan hukum dibolehkannya praktek pengingkaran terhadap hak-hak buruh oleh negara.

Kerja buruh seharusnya di nilai dengan harga dan bayaran yang seimbang. Idealnya begitu yang diharapkan oleh buruh baik secara personal maupun dalam gerakan kolektif srikat buruh. Tuntutan akan pemenuhan hak-hak dasar menjadi agenda utama dalam setiap aksi-aksi serikat buruh. Walaupun demikian tuntutan itu belum terwujud hingga saat ini.

Salah satu tujuan outsourcing yaitu untuk efisiensi dan mengurangi biaya produksi. Nilai surplus merupakan keuntungan yang telah dipersiapkan atau sudah direkayasa dalam sistem outsouricing melalui perjanjian kerja. Ada kepentingan pemilik modal yang mendominasi dalam mekanisme tersebut. Menarik lebih jauh bahwa dibalik semua proses ini adalah wujud dari ketergantungan negara berkembang (satelit) terhadap negara maju (metropolis). Menurut Frank kapitalisme pada dasarnya ingin mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, kaum kapitalisme dinegara-negara metropolis bekerjasama dengan pejabat pemerintah negara satelit. Akibat dari kerjasama antara modal asing dan pemerintah muncullah kebijakan-kebijakan pemerintah yang menguntungakan modal asing dan borjuasi lokal dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak negara tersebut (Arief Budiman, 2000 : 66).

Nilai surplus yang diungkapkan Marx, mengasumsikan bahwa buruh berada pada posisi yang dikeruk dan dieksploitasi secara maksimal oleh kapitalis. Buruh di ingkari haknya, dijadikan mesin yang bekerja patuh dengan batas waktu yang tidak tidak ditentukan. Sebagai contoh dalam waktu enam jam seorang buruh sudah selesai dan mampu untuk melaksankan kewajiban dasar kerja mereka, tetapi lebih dari waktunya masih diperas oleh kapitalisme untuk keuntungan mereka, inilah bentuk dari nilai surplus. Marx menyebut rasio antara kerja yang diperlukan dan kerja suplus sebagai tingkat nilai surplus atau tingkat pemerasan (Anthony Giddens, 2007 : 61).

Sistem outsourcing merupakan bentuk dari pemerasan terhadap nilai surplus yang dihasilkan buruh. Pada masa kolonial pengambilan nilai surplus dilakukan dengan perburuhan yang tidak manusiawi melalui kerja paksa, misal sistem pajak dan penanaman tanaman wajib bagi para petani, sehingga eksploitasi massal terjadi di berbagai tempat dan kapasitas.

Pada era ini negara memberikan kelonggaran kepada pihak kapitalis untuk melanggengkan usahanya dengan sistem outsourcing yang dilindungi oleh undang-undang. Lalu dimanakah peran negara dalam melindungi hak-hak buruh ini menjadi permasalahan lain lagi dalam bingkai permasalahan perburuhan yang cukup luas. Inilah yang selalu diperjuangkan oleh serikat-serikat buruh agak keadilan negara didalam memberikan perlindungan dan memberikan hak-hak rakyat tercapai.

Dalam banyak kasus, dalam salah satu artikel, penulis mewawancarai dengan salah satu buruh outsouring perusahaan Transnasional Philips di Batam. Informan merupakan salah satu supervisor di perushaan tersebut, menurut dia bahwa mereka bekerja dibawah tekanan, dimana tergetan-targetan harus dicapai secara maksimal. Ketika tergetan tersebut belum tercapai maka dalam waktu 24 jam mereka harus lembur untuk memproduksi barang yang di tergetkan tersebut, hari liburpun mereka tetap masuk. dan bahkan ketika tergetan tersebut tercapai, saat pesanan atau order untuk penjulan dipasar meningkat maka targetan-targetan tersebut semakin di persempit dalam artian mereka harus menyelesaiakan tergartan dalam jangka waktu yang lebih sedikit, kemudian lebih waktu tersebut di kuras lagi untuk mengerjakan targetan yang berikutnya. Kerja seperti ini sudah menjadi rutinitas yang kami lakukan, protes-protes tidak pernah dilakukan oleh karyawan disini (Informan Buruh Outsourcing PT. Philips di Batam).
Inilah gambaran dari banyak kasus yang menimpa buruh, mereka dalam ketidakberdayaan, kerja dalam tekanan dan kepatuhan yang luar biasa sehingga kesadaran kelas sulit untuk tumbuh, hal ini karena mereka tidak mempunyai waktu yang cukup untuk berinterkasi sesama pekerja apalagi dengan serikat-serikat buruh. Sistem outsoursing adalah modela rekayasa kerja yang paling menguntungkan pihak kapitalisme. Nilai surplus merupakan salah satu dari banyak keuntungan yang diambil oleh pihak kapitalisme, melalui perusahaan-perusahaan mereka yang telah menyebar dan menjalar keseluruh negara khususnya negara-negara berkembang, yang sekaligus dijadikan pasar, dan akumulasi modal mengalir keluar yaitu kepihak kapitalis.

Hal ini senada dengan pendapat Paul Baran, bahwa munculnya kekuatan ekonomi asing dalam bentuk modal kuat dari dunia barat ke negara-negara dunia ketiga, membuat surplus yang terjadi disana, diambil alih oleh kaum pendatang, melalui berbagai macam cara. Maka yang terjadi di negara-negara pinggiran bukanlah akumulasi modal melainkan penyusutan modal (Arief Budiman, 2000 : 58).

Share: