BAB I
PENDAHULUAN
Penulis: Apippudin Mu'adz
A.
Latar Belakang
Masalah
Nabi Muhammad saw diutus untuk
menyempurnakan akhlak. Kemuliaan akhlak ini haruslah tercermin dalam berbagai
segi kehidupan untuk mewujudkan bahwa manusia adalah makhluk yang beradab dan
memiliki aturan yang berbeda dengan makhluk lain. Oleh sebab itu, dalam islam
diatur pula hubungan antara sesama manusia khususnya atau dalam lingkup paling
besar hubungan antar negara. Sebagaimana diketahui bahwa syarat terbentuknya
suatu negara diataranya adalah ada suatu wilayah, penduduk/masyarakat dan ada
pemerintahan yang berdaulat. Berbedanya wilayah dan penduduk yang mendiami,
membuat perbedaan karakter suatu negara, sehingga adanya suatu
pembagian-pembagian mengenai negara. Tidak hanya itu, kemajemukan penduduk
suatu negara membuat adanya suatu perbedaan yang dilihat dari berbagai faktor.
Dalam islam, perbedaan penduduk ini bisa dilihat dari agama yang dianutnya
maupun wilayah tempat ia berdomisili. Akibat dari suatu pembedan ini, berbeda
pula hak maupun kewajiban yang diterima.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Sejarah Siyasah Dauliyah ?
2.
Apa Pengertian
Siyasah Dauliyah ?
3.
Apa saja ruang
lingkup Siyasah Dauliyah ?
4.
Apa Dasar-dasar
Siyasah dauliyah ?
5.
Apa saja
Hubungan Internasional Siyasah Dauliyah ?
6.
Bagaimana
Pembagian Negara dalam Islam ?
7.
Bagaimana
Pembagian Penduduk dalam Islam ?
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk
mengetahui Sejarah Siyasah Dauliyah
2.
Untuk
mengetahui Pengertian Siyasah Dauliyah
3.
Dapat
menjelaskan ruang lingkup Siyasah Dauliyah
4.
dapamengetahui
Dasar-dasar Siyasah dauliyah
5.
Hubungan Internasional Siyasah Dauliyah
6.
Bagaimana
Pembagian Negara dalam Islam
7.
Bagaimana
Pembagian Penduduk dalam Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Siyasah
Dauliyah
1.
Pada masa
sebelum Islam
Keinginan untuk
hidup berdampingan secara damai diantara berbagai bangsa di dunia ini telah ada
sebelum ajaran islam datang. Keinginan ini terwujudkan dalam berbagai
perjanjian antar negara serta adat kebiasaan. Keduanya, yaitu perjanjian dan
adat kebiasaan internasional, menjadi dua sumber terpenting dalam hubungan
damai antara negara masa itu. Walaupun demikian gejala hubungan antar negara
yang sering terjadi pada saat itu lebih banyak ditandai dengan peperangan.
Setiap negara yang ada selalu dituntut untuk senantiasa mempersiapkan diri
untuk perang, baik dengan cara mempersenjatai pasukan ataupun membangun benteng
perlindungan dari serangan musuh.
Perjanjian
antara Ramses III (Fir’aun raja mesir) dengan Kheta (raja asia kecil) pada abad
III sebelum masehi, menurut Ameer Ali, merupakan salah satu perjanjian yang
paling tua diantara dua negara. Isi perjanjian tersebut antara lain tentang
penghentian peperangan dan perjanjian ekstradisi bagi rakyat yang lari dari
negara asalnya.
Pada zaman
yunani kuno, kota merupakan kesatuan negara. Setiap negara kota atau (city
state), seperti Sparta, Athena, dan Apolonia, merupakan sebuah negara yang
berdiri sendiri. Hubungan antara negara kota yang satu dengan negara kota yang
di yunani terikat oleh perasaan satu warga, satu bahasa, dan satu agama.
J. G. Starke
menyatakan bahwa sesungguhnya sumbangan langsung yunani dan romawi terhadap
perkembangan hukum internasional relatif kurang, kondisi-kondisi yang mendukung
pertumbuhan hukum bangsa-bangsa baru muncul, pada abad ke-15 pada saat di erofa
mulai bermunculan negara-negara beradab yang merdeka.[1]
2.
Pada masa Islam
Kekuatan
sosial, politik Islam pada masa kurang lebih tujuh ratus tahun Islam pernah berkuasa
dan bersentuhan dengan budaya Romawi Timur di Damaskus, Mesir sampai Andalusia.
Di beberapa kota, berdiri beberapa perguruan tinggi, yaitu di Andalusia,
Kordoba, Mesir, dan Baghdad. Para mahasiswa bukan saja orang Islam, tapi juga
orang kristen, yaitu para anak bangsawan dari pelosok-pelosok Eropa yang jauh.
Selain
itu,dunia Islam juga memiliki tokoh internasional. Yang paling terkenal
Muhammad bin Hasan Al Syaibani (132-189 H), MURID Imam Abu Hanifah, dan guru
Imam As Syafi’i. Al Syaibani mengarang buku yang berjudul Al-Siyar Al-Kabir. Di
dalam kitabnya itu, Al Syaibani berbicara antara lain tentang status orang
asing dan para duta besar. Pembagian dunia menjadi negeri yang damai, negeri
yang netral, dan negeri yang menyerang. Wajibnya menepati perjanjian yang
disepakati, etika di dalam peperangan, hal-hal yang berhubungan dengan hukum
perdata internasional dan lain-lainnya. Ali Mansur berpendapat, bahwa hukum
Islam besar pengaruhnya terhadap hukum internasional, dengan alasan:
a.
Diantara
berbagai peradaban yang ada di dunia ini dapat dipastikan bahwa peradaban yang
terdahulu akan memberikan pengaruh pada peradaban yang datang kmudian. Dengan
demikian kebudayaan Islam memberikan pengaruh kepad kebudayaan barat yang
datang kemudian. Oleh karena itu, apabila terdapat aturan=aturan hukum
internasional sekarang sama dengan kaidah-kaidah yang diatur di dalam ajaran
Islam, baik dalam keadaan damai maupun perang, maka yang tersirat di dalam
pikiran adalah:”Aturan yang terakhir itu mrngambil dari yang terdahulu. Hal ini
bukan faktor kebetulan karena tidak mungkin terjadi kebetulan kalau persamaanya
sangat jelas dan rinci dalam banyak hal”.
b.
Islam pada
waktu perang (perang salib) memperkenalkan perilaku-perilaku dan keperwiran
muslim di dalam perang, baik terhadap musuh, terhadap tawanan perang dan
prinsip-prinsip serta tata cara dan etika perang dalam Islam. Untuk hal ini,
bisa dibaca dalam buku sejarah.
c.
Guru besar ilmu
hukum internasional pada akademik ilmu negara di Dehaag Belanda, yaitu baron
michel de tubb, membuktikan di dalam kuliah-kuliahnya tahun 1926 bahwa:
“Victoria (1480-1546) dan Suarez (1558-1617) yng dianggap sebagai
penulis-penulis pelopor yang memberikan sumbangan-sumbangan penting terhadap
hukum internasional, semuanya meniru dan mengambil dasar-dasar hukum
internasional dari syari’at Islam.”[2]
B. Pengertian Siyasah Dauliyah
Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan,
wewenang. Sedangkan Siyasah Dauliyah bermakna sebagai kekuasaan Kepala Negara
untuk mengatur negara dalam hal hubungan Internasional, masalah territorial,
nasionalitas, ektradisi, tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga
negara asing. Selain itu, juga mengurusi masalah kaum dzimmi, perbedaan agama,
akad timbal balik dan sepihak dengan kaum dzimmi, hudud dan qishash. Atau dapat
dikatakan yang mengatur hubungan antar Negara tersebut (Politik Hukum
Internasional).[3]
C. Dasar-dasar Siyasah Dauliyah
1. Kesatuan Umat Manusia
Meskipun manusia ini berbeda suku berbangsa-bangsa, berbeda
warna kulit, berbeda tanah air bahkan berbeda agama, akan tetapi merupakan satu
kesatuan manusia karena sama-sama makhluk Allah, sama bertempat tinggal di muka
bumi ini, sama-sama mengharapkan hidup bahagia dan damai dan sama-sama dari
Adam. Dengan demikian, maka perbedaan-perbedaan diantara manusia harus disikapi
dengan pikiran yang positif untuk saling memberikan kelebihan masing-masing dan
saling menutupi kekurangan masing-masing.
213. manusia itu adalah
umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi,
sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang
benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah
didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka
keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka
Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi
petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.
2. Al-‘Adalah (Keadilan)
Ajaran islam mewajibkan penegakan keadilan baik terhadap
diri sendiri, keluarga, tetangga, bahkan terhadap musuh sekalipun kita wajib
bertindak adil. Banyak ayat-ayat yang berbicara tentang keadilan antara lain:
8. Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
3. Al-Musawah (Persamaan)
Manusia memiliki hal-hal kemanusiaan yang sama, untuk
mewujudkan keadilan adalah mutlak mempersamakan manusia dihadapan hukum.
Demikian pula setiap manusia adalah subyek hukum, penanggung hak dan kewajiban
yang sama.
124.
Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita
sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka
tidak dianiaya walau sedikitpun.
4. Karomah Insaniyah (Kehormatan
Manusia)
Karena kehormatan manusia inilah, maka manusia tidak boleh
merendahkan manusia lainnya. Kehormatan manusia berkembang menjadi kehormatan
terhadap satu kaum atau komunitas dan bisa dikembangkan menjadi suatu
kehormatan suatu bangsa atau negara.
70.
dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan[862], Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan.
[862]
Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan
dan di lautan untuk memperoleh penghidupan.
5. Tasamuh (Toleransi)
Allah mewajibkan menolak permusuhan dengan tindakan yang
lebih baik, penolakan dengan lebih baik ini akan menimbulkan persahabatan bila
dilakukan pada tempatnya setidaknya akan menetralisir ketegangan.
34.
dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara
yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada
permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.
6. Kerja Sama Kemanusiaan
6. Kerja Sama Kemanusiaan
Kerjasama kemanusiaan ini adalah realisasi dari dasar-dasar
yang telah dikemukakan di atas, kerja sama di sini adalah kerja sama di setiap
wilayah dan lingkungan kemanusiaan. Kerja sama ini diperlukan karena ada saling
ketergantungan baik antara individu maupun antara negara di dunia ini.
7. Kebebasan, Kemerdekaan/Al-Huriyah
Kemerdekaan yang sesungguhnya dimulai dari pembebasan diri
dari pengaruh hawa nafsu serta mengendalikan dibawah bimbingan keimanan dan
akal sehat. Dengan demikian, kebebasan bukanlah kebebasan mutlak, akan tetapi
kebebasan yang bertanggung jawab terhadap Allah, terhadap keselamatan hidup
manusia di muka bumi, kebebasan bisa diperinci seperti kebebasan berfikir,
kebebasan baragama, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan menuntut ilmu,
kebebasan memiliki harta.
8. Perilaku Moral yang Baik (Al-Akhlakul Karimah)
Prilaku yang baik merupakan dasar moral di dalam hubungan
antara manusia, antara umat dan antara bangsa di dunia ini selain itu prinsip
ini juga diterapkan terhadap seluruh makhluk Allah di muka bumi termasuk flora
dan fauna.
5. dan Kami hendak
memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan
hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang
mewarisi (bumi)[1112],
[1112]
Maksudnya: negeri Syam dan Mesir dan negeri-negeri sekitar keduanya yang pernah
dikuasai Fir'aun dahulu. sesudah kerjaan Fir'aun runtuh, negeri-negeri ini
diwarisi oleh Bani Israil.[4]
D. Hubungan Internasional Siyasah Dauliyah
1. Hubungan-hubungan Internasional
Diwaktu Damai.
Damai adalah asas hubungan Internasional. Selain kewajiban
suatu negara terhadap negara lain, yakni tentang menghormati hak-hak negara
lain yang bertetangga dengan negara yang ditempati dan mengadakan
perjanjian-perjanjian Internasional.
Menurut Abdul Wahab Khalaf bahwa hukum asal hubungan
Internasional ada dua pendapat, pendapat yang pertama mengacu pada ayat-ayat
perang (al-Baqarah:216, an-Nisa`:74, al-Anfal:65, at-Taubah:29), dan sabda
Nabi: saya diperintahkan untuk memeragi manusia sampai merreka mengucapkan
syahadat, melaksanakan sholat, dan mengeluarkan zakat. Kesimpulan dari kelompok
pertama adalah inti hukum asal dalam hubungan internasional adalah perang.
Pendapat yang ke dua adalah sebaliknya bahwa hukum asal
dalam hubungan internasional adalah adalah damai. Alasannya perang itu
diperkenankan karena ada sebabnya, yaitu menolak kedzaliman, menghindari fitnah
dalam rangka mempertahankan diri sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran. Adapun
hadits nabi di atas menurut kelompok ini, berlaku bagi orang atau kelompok yang
merasuki atau memerangi islam untuk menolak kdzaliman mereka. Selain itu,
pemaksaan di dalam memeluk agama pun tidak diperkanankan.[5]
2.
Hubungan-hubungan Internasional Diwaktu Perang
Sebab
terjadinya perang:
a. Mempertahankan Diri Dari kitab-kitab sejarah tarikh, cara
Nabi Mohammad saw menhimpun kekuatan dan mempertahankan negeri madinah dari
serangan-serangan musuhnya orang kafir kuraisy. Dalam perang badar, bukan Nabi
yang menyerang akan tetapi musuh nabi yang menyerang ka Madinah. Adapan waktu
fathu Makkah, rasulullah datang ke Makkah bukan sebagai perang atau penakluk,
meainkan sebagai pemberi amnesti umum disertai tetap menghormati harga diri
tokoh-tokoh mekkah, seperti Abu Sofyan yang pada waktu itu masih kafir.
b. Dalam Rangka Dakwah Perang juga
bisa terjadi di dalam rangka menjamin jalannya dakwah. Artinya, dakwah kepada
kebenaran dan keadilan serta pada prinsip-prinsip yang mulia tidak boleh dihalangi
dan ditindas oleh penguasa manapun. Telah dijelaskan bahwa Islam tidak
menghendaki pemaksaan beragama. Apabila penguasa memaksakan agamanya dan
menindas kepada orang-orang muslim, penguasa-penguasa itu dikualifikasikan
kepada penguasa yang dzalim. Prilaku seperti itulah yang dipertontonkan oleh
penguasa Persia dan Romawi pada waktu itu yaitu tidak memberikan kebebasan
kapada rakyatnya untuk memeluk agama yang diyakininya.[6]
c. Etika dan Aturan Perang di dalam
Siyasah Dauliyah
· Dilarang membunuh anak.
· Dilarang membunuh wanita yang tidak
berperang.
· Dilarang membunuh orang tua yang
tidak ikut perang.
· Tidak memotong dan merusak tanaman,
sawah dan ladang.
· Tidak membunuh binatang ternak
· Tidak menghancurkan tempat ibadah.
· Dilarang mencincang mayat musuh.
· Dilarang membunuh pendeta dan
pekerja.
· Bersikap sabar, berani dan ikhlas.
· Tidak melampaui batas.
E.
Pembagian
Negara dalam Islam
Jumhur ulama membagi negara kepada dua bagian, yaitu dar
al-Islam/ dar al-waqf (Syiah Zaidiyah)/ dar al-tauhid (Khawarij sekte Ibadiyah
) dan dar al-harb/ dar al-fasiq (Syiah Zaidiyah)/ dar al-syirk (Khawarij sekte
Ibadiyah). Sementara ulama Syafi’iyah menambahkan kategori dar al-‘ahd atau dar
al-aman disamping keduanya. Dar al-‘ahd adalah negara-negara yang berdamai
dengan dar al-Islam, dengan peranjian tersebut, maka semua penduduk dar al-‘ahd
tidak boleh diganggu jiwanya, hartanya, dan kehormatan kemanusiaannnya.
Meskipun penduduknya tidak beragaa Islam, mereka diperlakukan seperti orang
Islam dalam arti dilindungi hak-haknya.
Sedangkan menurut A. Djazuli, pembagian dunia pada masa sekarang adalah:
Sedangkan menurut A. Djazuli, pembagian dunia pada masa sekarang adalah:
1. Al-Alam al-Islami (dunia Islam) yang
terdiri dari:
a. Dawlah Islamiyah (negara
Islam/Islamic States).
b. Baldah Islamiyah (negeri
muslim/negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam/Muslim
Countries).
2.
Al-Alam al-‘Ahd: negara-negara yang berdamai dengan negara
Islam.
a. Kriteria Dar al-Islam
a. Kriteria Dar al-Islam
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan identitas suatu
negara apakah termasuk dar al-Islam. Diantara mereka ada yang melihat dari sudut
hukum yang berlaku di negara tersebut. Ada pula yang memandang dari sisi
keamanan warganya menjalankan syari’at Islam. Semantara ada juga yang melihat
dari sisi pemegang kekuasaan tersebut.
· Dari sudut hukum yang berlaku di negara
tersebut
Imam Abu Yusuf, tokoh terbesar madzhab Hanafi berpendapat bahwa suatu negara disebut dar al-Islam bila berlaku hukum Islam di dalamnya, meskipun mayoritas warganya tidak muslim. Sementara dar al-harb, menurutnya adalah negara yang tidak meberlakukan hukum Islam, meskipun sebagian besar penduduknya beragama Islam.
Dalam pemikiran modern, pandangan demikian dianut oleh Sayyid Quthb. Ia memandang bahwa negara yang menerapkan hukum islam adalah dar al-Islam, tanpa mensyaratkan penduduknya harus muslim. Pendapat ini berbeda dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang mensyaratkan penduduknya harus mayoritas muslim.
Imam Abu Yusuf, tokoh terbesar madzhab Hanafi berpendapat bahwa suatu negara disebut dar al-Islam bila berlaku hukum Islam di dalamnya, meskipun mayoritas warganya tidak muslim. Sementara dar al-harb, menurutnya adalah negara yang tidak meberlakukan hukum Islam, meskipun sebagian besar penduduknya beragama Islam.
Dalam pemikiran modern, pandangan demikian dianut oleh Sayyid Quthb. Ia memandang bahwa negara yang menerapkan hukum islam adalah dar al-Islam, tanpa mensyaratkan penduduknya harus muslim. Pendapat ini berbeda dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang mensyaratkan penduduknya harus mayoritas muslim.
· Dari sisi keamanan warganya menjalankan
syariat Islam
Imam Abu Hanifah membedakan dar al-Islam dan dar al-harb berdasarkan rasa aman yang dinikmati penduduknya. Bila umat Islam merasa aman dalam menjalankan aktivitas keagamaan mereka, maka negara tersebut termasuk dar al-Islam. Sebaliknya, bila tidak ada rasa aman, maka negara tersebut termasuk dar al-harb.
Imam Abu Hanifah membedakan dar al-Islam dan dar al-harb berdasarkan rasa aman yang dinikmati penduduknya. Bila umat Islam merasa aman dalam menjalankan aktivitas keagamaan mereka, maka negara tersebut termasuk dar al-Islam. Sebaliknya, bila tidak ada rasa aman, maka negara tersebut termasuk dar al-harb.
· Dari sisi pemegang kekuasaan negara tersebut
Menurut al-Rafi’i (salah seorang tokoh madzhab Syafi’i), suatu negara dipandang sebagai dar al-Islam apabila dipimpin oleh seorang muslim.
Menurut Javid Iqbal, dar al-Islam adalah negara yang pemerintahannya dipegang umat Islam, mayoritas penduduknya beragama Islam dan menggunakan hukum Islam sebagai undang-undangnya. Karena kekuasaan mutlak berada pada Allah, maka dar al-Islam harus menjunjung tinggi supremasi hukum Islam; selanjutnya, karena masyarakat muslim harus diperintah menurut hukum Islam, maka pemimpin pemerintahannya juga harus muslim agar mereka dapat melaksanakan hukum Islam.
Menurut al-Rafi’i (salah seorang tokoh madzhab Syafi’i), suatu negara dipandang sebagai dar al-Islam apabila dipimpin oleh seorang muslim.
Menurut Javid Iqbal, dar al-Islam adalah negara yang pemerintahannya dipegang umat Islam, mayoritas penduduknya beragama Islam dan menggunakan hukum Islam sebagai undang-undangnya. Karena kekuasaan mutlak berada pada Allah, maka dar al-Islam harus menjunjung tinggi supremasi hukum Islam; selanjutnya, karena masyarakat muslim harus diperintah menurut hukum Islam, maka pemimpin pemerintahannya juga harus muslim agar mereka dapat melaksanakan hukum Islam.
Dalam
perkembangan dunia modern, kriteria ini telah bergeser. Suatu negara disebut
dar al-Islam bila penduduknya mayoritas beragama Islam, meskipun negara
tersebut tidak sepenuhnya menjalankan hukum Islam contohnya Indonesia dan
Mesir. Di samping itu, kriteria penerapan hukum Islam dalam suatu negara tentu
merupakan hal terpenting dalam menentukan suatu negara disebut dar al-Islam,
meskipun tidak sepenuhnya penduduknya beragama Islam, contohnya Iran, Malaysia,
dan Pakistan. Kedua kriteria inilah yang digunakan oleh Organisasi Konperensi
Islam (OKI) dalam menetapkan hukum Islam.
b. Pembagian Dar al-Islam
Berdasarkan tingkat kesucian wilayah
dan hak non-muslim untuk menetap di wilayah Dar al-Islam, maka dar al-Islam
terbagi dalam 3 bagian, yaitu: tanah suci, Hijaz, dan selain keduanya.
·
Tanah suci (Kota Mekah dan wilayah sekitarnya).
Menurut jumhur ulama kota Madinah termasuk dalam wilayah ini. Di kedua wilayah ini non-muslim tidak boleh menetap. Bahkan untuk kota Mekah, di sekitar al-Masjid al-Haram, non-muslim sama sekali tidak boleh memasukinya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, kafir dzimmi dan kafir mu’ahid boleh memasuki Makkah tidak untuk menetap di dalamnya.
Menurut jumhur ulama kota Madinah termasuk dalam wilayah ini. Di kedua wilayah ini non-muslim tidak boleh menetap. Bahkan untuk kota Mekah, di sekitar al-Masjid al-Haram, non-muslim sama sekali tidak boleh memasukinya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, kafir dzimmi dan kafir mu’ahid boleh memasuki Makkah tidak untuk menetap di dalamnya.
·
Wilayah Hijaz
Wilayah ini boleh dimasuki non-muslim dengan mendapat
jaminan keamanan dari pemerintahan Islam. Tetapi mereka tidak boleh menetap di
wilayah ini melebihi 3 hari. Ketentuan ini berdasarkan keputusan Khalifah ‘Umar
bin Khaththab yang mengijinkan orang-orang Yahudi tinggal di Hijaz selama 3
hari untuk urusan dagang. Dalam al-Ahkam al-Shulthaniyah dijelaskan bahwa jika
mereka bertempat tinggal di salah satu tempat di Hijaz lebih dari 3 hari, maka
mereka dikenakan ta’zir jika mereka tidak diberi izin sebelumnya.
·
Wilayah dan negara-negara Islam lainnya
Di wilayah ini, pemerintah Islam
boleh melakukan akad dzimmah dengan non-muslim. Mereka boleh masuk dan menetap
di wilayah ini untuk sementara waktu berdasarkan perjanjian yang disetujui
kedua belah pihak.
c. Pembagian Dar al-Harb
Muhammad Iqbal dalam bukunya
menjelaskan bahwa dar al-harb dibedakan menjadi 3 kategori:
·
Negara yang di dalamnya tidak terpenuhi unsur pokok dar al-Islam,
yaitu pemberlakuan hukum Islam dan kekuasaan politik yang berada di tangan
non-muslim.
·
Negara yang hanya memenuhi salah satu unsur pokok dar
al-Islam, meskipun tidak utuh. Wilayahnya dikuasai non-muslim dan hukum yang
berlaku bukan hukum Islam, namun umat Islam yang menetap dinegara tersebut
diberi kelonggaran untuk melaksanakan sebagian hukum Islam.
·
Negara yang dikategorikan sebagai dar al-harb. Wilayah ini
dikuasai oleh pemerintahan non-muslim dan tidak memberlakukan hukum Islam.
Penduduk Muslim yang menetap di sini tidak mendapat kesempatan untuk
menjalankan ajaran agamanya. Dar al-harb dalam bentuk ini terbagi menjadi dua,
yaitu Dar al-harb yang menjadi tempat harbiyyun dan tidak terikat perjanjian
atau hubungan diplomatik dengan negara Islam; dan Dar al-Muwada’ah atau dar
al-Muhadanah.[7]
F.
Pembagian
Penduduk dalam Islam
Dengan berlandaskan pada agama yang diyakini seseorang, mempertimbangkan
Negara yang menjadi tempat tinggalnya dan ada atau tidaknya ikatan perjanjian
dengan pemerintahan Islam, para ulama fiqih membagi kewarganegaraan seseorang
menjadi muslim dan non-muslim. Orang non-muslim terdiri dari ahl al-zimmi,
musta’min, dan harbiyun. Penduduk Dar al-islam terdiri dari muslim, ahl
al-zimmi dan musta’min, sedangkan penduduk dar al-harb terdiri dari muslim dan
harbiyun.
1.
Muslim
Berdasarkan tempat menetapnya, muslim dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya. Pertama mereka yang menetap di dar al-Islam dan mempunyai komitmen yang kuat untuk mempertahankan dar al-Islam. Termasuk kedalam kelompok ini adalah orang Islam yang menetap sementara waktu di dar al-Islam sebagai musta’min dan tetap komitmen kepada Islam serta mengakui pemerintahan Islam. Kedua, muslim yang tinggal menetap di dar al-harb dan tidak berkeinginan untuk hijrah ke dar al-Islam. Status mereka, menurut Imam Malik, SYafi’i dan Ahmad, sama dengan muslim lainnya di dar al-Islam. Harta benda dan jiwa mereka tetap terpelihara. Namun menurut Abu Hanifah, mereka berstatus sebagai penduduk harbiyun, karena berada di negara yang tidak dikuasai Islam. Konsekuensinya, harta benda dan jiwa mereka tidak terjamin.
Berdasarkan tempat menetapnya, muslim dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya. Pertama mereka yang menetap di dar al-Islam dan mempunyai komitmen yang kuat untuk mempertahankan dar al-Islam. Termasuk kedalam kelompok ini adalah orang Islam yang menetap sementara waktu di dar al-Islam sebagai musta’min dan tetap komitmen kepada Islam serta mengakui pemerintahan Islam. Kedua, muslim yang tinggal menetap di dar al-harb dan tidak berkeinginan untuk hijrah ke dar al-Islam. Status mereka, menurut Imam Malik, SYafi’i dan Ahmad, sama dengan muslim lainnya di dar al-Islam. Harta benda dan jiwa mereka tetap terpelihara. Namun menurut Abu Hanifah, mereka berstatus sebagai penduduk harbiyun, karena berada di negara yang tidak dikuasai Islam. Konsekuensinya, harta benda dan jiwa mereka tidak terjamin.
2.
Ahl al-Zimmi
Kata dzimmah berarti perjanjian,
atau jaminan dan keamanan. Disebut demikian karena mereka mempunyai jaminan
perjanjian (‘ahd) Allah dan Rasul-Nya, serta jamaah kaum Muslim untuk hidup
dengan rasa aman di bawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan masyarakat
Islam. Mereka (orang-orang kafir ini) berada dalam jaminan keamanan kaum Muslim
berdasarkan akad dzimmah. Implikasinya adalah, mereka termasuk ke dalam warga
negara Darul Islam. Akad dzimmah mengandung ketentuan untuk membiarkan
orang-orang non muslim tetap berada dalam keyakinan/agama mereka, disamping
menikmati hak untuk memperoleh jaminan keamanan dan perhatian kaum Muslim.
Syaratnya adalah mereka membayar jizyah serta tetap berpegang teguh terhadap
hukum-hukum Islam di dalam persoalan-persoalan publik. Landasan adanya
penarikan jizyah dari ahl al-zimmi yaitu dalam Surat At Taubah ayat 29. Unsur-unsur
seseorang dikatakan ahl al-zimmi yaitu: Non-muslim, baligh, berakal, laki-laki,
bukan budak, tinggal di dar al-Islam dan mampu membayar jizyah. Yang dikatakan
non-muslim adalah ahl al-Kitab, murtad, dan orang musyrik.
a.
Sebagaimana pendapat Abu Bakar ibnu Ali al-Jashshash yang
dikutip oleh Dr. Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqih Siyasah, ahl al-Kitab yang
tergolong ahl al-zimmi yaitu Yahudi dan Nasrani, serta Majusi.
b.
Mayoritas ulama sepakat mengenai ketidakbolehan orang-orang
murtad melakukan akad zimmah dengan pemerintahan Islam, berdasarkan firman
Allah QS. Al-Fath, 48:16, yang artinya: Kamu perangi mereka, atau mereka sendiri
menyerah masuk Islam.
c.
Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan menerima orang
musyrik sebagai ahl al-zimmi. Mazhab Syafi’i, Hambali, Zahiri, dan Syi’ah
Imamiyah berpendapat bahwa pemerintahan Islam tidak boleh menerima orang
musyrik yang bukan ahl al-Kitab sebagai ahl al-zimmi dan memungut jizyah
mereka. Mereka berlandaskan pada QS. Al-Taubah, 9:5: Perangilah orang-orang
musyrik dimana pun kamu bertemu dengan mereka. Sedangkan Imam Malik, al-Auza’i
dan Ibn Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa jizyah boleh diambil dari orang
non-muslim mana pun, tanpa memandang mereka sebagai ahl al-Kitab atau bukan.
3.
Musta’min
Menurut Ahli Fiqih, musta’min adalah
orang yang memasuki wilayah lain dengan mendapat jaminan keamanan dari
pemerintah setempat, baik ia muslim maupun harbiyun. Menurut al-Dasuki yang
dikutip oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqih Siyasah, antara musta’min dan
mu’ahid mempunyai pengertian sama. Mu’ahid adalah orang non muslim yang
memasuki wilayah Dar al-Islam dengan memperoleh jaminan keamanan dari
pemerintah Islam untuk tujuan tertentu, kemudian ia kembali ke wilayah Dar
al-Harb. Para Ulama berbeda pendapat mengenai masa berlakunya perjanjian
jaminan keamanan bagi musta’min. Menurut Mazhab Syafi’i tidak boleh melebihi
empat bulan. Menurut Mazhab Maliki yaitu jika perjanjian tersebut tidak
dibatasi oleh waktu, maka dalam waktu empat bulan berakhir dengan sendirinya.
Sedangkan jika dibatasi oleh waktu, maka perjanjian berakhir sesuai
kesepakatan. Menurut Mazhab Hanafi dan Syi’ah Zaidiyah, maksimal selama satu
tahun. Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal menentukan paling lama, yaitu
empat tahun.
4. Harbiyun
Kafir Harbi adalah setiap orang
kafir yang tidak tercakup di dalam perjanjian (dzimmah) kaum Muslim, baik orang
itu kafir mu’ahid atau musta’min, atau pun bukan kafir mu’ahid dan kafir
musta’min. Ditinjau dari aspek hukum, kafir harbi dibagi menjadi dua, yaitu (1)
kafir harbi hukman, artinya secara de jure (secara hukum) kafir harbi, dan (2)
kafir harbi fi’lan atau kafir harbi haqiqatan (de facto) yakni orang-orang
kafir yang tengah berperang/memerangi kaum Muslim.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Siyasah Dauliyah bermakna: kekuasaan Kepala Negara untuk
mengatur negara dalam hal hubungan Internasional, masalah territorial,
nasionalitas, ektradisi, tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga
negara asing. Selain itu, juga mengurusi masalah kaum dzimmi, perbedaan agama,
akad timbal balik dan sepihak dengan kaum dzimmi, hudud dan qishash.
Dasar-dasar Siyasah Dauliyah, diantaranya adalah: kesatuan umat manusia,
al-‘adalah, musawah, karomah insaniyah, tasamuh, kerja sama kemanusiaan, hurriyah,
dan akhlakul karimah. Hubungan Internasional dibagi menjadi dua yaitu hubungan
Internasional dalam waktu damai dan hubungan internasional dalam waktu perang.
2.
Jumhur ulama’ membagi negara menjadi dua, yaitu dar al-Islam
dan dar al-harb.Berdasarkan tingkat kesucian wilayah dan hak non-muslim untuk
menetap di wilayah Dar al-Islam, maka dar al-Islam terbagi dalam 3 bagian,
yaitu: tanah suci, wilayah Hijaz, dan selain keduanya. Sedangkan dar al-harb
dibedakan menjadi 3, yaitu: negara yang di dalamnya tidak terpenuhi unsur pokok
dar al-Islam, negara yang hanya memenuhi salah satu unsur pokok dar al-Islam,
dan negara yang dikategorikan sebagai dar al-harb.
3.
Berdasarkan agama yang diyakini seseorang, Negara yang
menjadi tempat tinggalnya dan ada atau tidaknya ikatan perjanjian dengan
pemerintahan Islam, maka para ulama fiqih membagi kewarganegaraan seseorang
menjadi muslim dan non-muslim. Orang non-muslim terdiri dari ahl al-zimmi,
musta’min, dan harbiyun. Penduduk Dar al-islam terdiri dari muslim, ahl
al-zimmi dan musta’min, sedangkan penduduk dar al-harb terdiri dari muslim dan
harbiyun.
[1]Prof. H.A. Djazuli, Fiqih Siyasah implementasi kemashlahatan umat
dalam rambu-rambu Syari’ah, Jakarta, Kencana Prenada Group, 2003, hlm. 120.
[2] Prof. H.A. Djazuli, Fiqih Siyasah, hlm. 122.
[3] Fatabiruu.blogspot.com
[5]Prof. H.A. Djazuli, Fiqih Siyasah, hlm. 133-141
[6] Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag. Fiqih Siyasah kontektualisasi Doktrin
Politik Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama,2007, hlm 256
[7]Ibid, hlm. 221-231
0 komentar:
Post a Comment