BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari banyak
orang-orang yang tidak sadar bahwa setiap harinya mereka melakukan perikatan.
Hal-hal seperti membeli suatu barang atau menggunakan jasa angkutan umum,
perjanjian sewa-menyewa hal-hal tersebut merupakan suatu perikatan. Perikatan
di Indonesia diatur pada buku ke III KUHPerdata (BW). Dalam hukum perdata
banyak sekali hal yang dapat menjadi cangkupannya, salah satunya adalah
perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan
antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan
pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini
merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa
hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam
lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu
berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum
dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu
perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang
di atas dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yang menjadi dasar pembahasan
materi kami, diantaranya :
1. Apa Istilah dan Pengertian Perikatan ?
2. Subjek dan Objek Perikatan ?
3. Schuld dan Haftung ?
4. Sistem Pengaturan Buku III BW ?
5. Sumber-Sumber Perikatan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Istilah dan Pengertian
Perikatan
1. Istilah Perikatan
Berbagai kepustakaan hukum
Indonesia memakai berbagai macam istilah untuk menterjemahkan ”VERBINTENIS” DAN
“OVEREENKOMST”, yaitu :
1.
KUH Perdata, Subekti dan Tjiptosidibio
menggunakan istilah perikatan untuk “VERBINTENIS” dan Persetujuan untuk
“OVEREENKOMST”. [1]
2.
Utrecht dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum
Indonesia memakai istilah Perutangan untuk “VERBINTENIS” dan Perjanjian untuk
“OVEREENKOMST”. [2]
3.
Achmad Ichsan dalam bukunya Hukum Perdata IB
menterjemahkan “VERBINTENIS” dengan Perjanjian dan “OVEREENKOMST”
dengan persetujuan. [3]
Dari uraian di atas ternyata untuk
“VERBINTENIS” dikenal tiga istilah yaitu : Perikatan, Perutangan dan
Perjanjian, sedangkan untuk “OVEREENKOMST” dipakai dua istilah yaitu :
Perjanjian dan Persetujuan. “VERBINTENIS” berasal dari kata krja Verbiden yang
artinya mengikat. Jadi Verbitenis menunjuk kepada adanya “Ikatan” atau
“Hubungan”. Hal ini memang sesua dengan definisi Verbintenis sebagai suatu hubungan
hukum. “OVEREENKOMST” berasal dari kata kerja :Overeenkomen” yang artinya
“setuju” atau “sepakat”. Jadi Overeenkomst mengandung kata sepakat sesuai
dengan asas konsensualisme yang dianut oleh BW. Oleh karena itu, istilah
terjemahannya pun harus dapat mencerminkan asas kata sepakat tersebut. [4]
2. Pengertian Perikatan
Perikatan berasal dari bahasa Belanda “Verbintenis” atau dalam bahasa
Inggris “Binding”. Verbintenis berasal dari perkataan bahasa Perancis
“Obligation” yang terdapat dalam “code civil Perancis”, yang selanjutnya
merupakan terjemahan dari kata “obligation” yang terdapat dalam Hukum Romawi
”Corpusiuris Civilis”.
Menurut Hofmann, Perikatan atau ”Verbintenis” adalah suatu hubungan
hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum, sehubungan dengan itu,
seseorang mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu
terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu[5],
sedangkan menurut Pitlo, perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat
harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu
berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.
Dari pengertian di atas, perikatan (verbintenis) adalah hubungan
hukum(rechtsbetrekking) oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara
penghubungannya. Oleh karena itu, perjanjian yang mengandung hubungan hukum
antara perorangan (person) adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam
lingkungan hukum. Hubungan hukum dalam perjanjian bukan merupakan suatu
hubungan yang timbul dengan sendirinya, akan tetapi hubungan yang tercipta
karena adanya ”tindakan hukum”(rechtshandeling). Tindakan atau perbuatan hukum
yang dilakukan oleh pihakpihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian,
sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak lain untuk memperoleh
prestasi, sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan
kewajiban untuk menunaikan prestasi[6].
B.
Subjek dan Objek Perikatan
1.
Subjek
Perikatan
Subjek perikatan disebut juga pelaku
perikatan. Perikatan yang dimaksud meliputi perikatan yang terjadi karena
perjanjian dan karena ketentuan undang-undang pelaku perikatan dapat terdiri
atas manusia pribadi dan dapat juga badan hokum atau persekutuan. Setiap pelaku
perikatan yang mengadakan perikatan dapat:
1. Ada kebebasan menyatakan kehendaknya sendiri;
2. Tidak ada paksaan dari pihak mana pun;
3. Tidak ada penipuan dari salah satu pihak; dan
4.
Tidak ada kehilafan pihak-pihak yang bersangkutan.
Pelaku perikatan dalam
hubungan jual beli, sewa-menyewa, sewa beli, atau utang-piutang dapat
bersetatus sebagai kreditor dan debitor. Pelaku perikatan dalam hubungan kerja
dapat bersetatus sebagi pemberi kerja dan pekerja. Pelaku perikatan dalam
hubungan keluarga dapat bersetatus sebagai pengasuh dan anak asuh. Pelaku
perikatan dalam hubungan perkawinan dapat berstatus sebagai suami dan istri.
Dalam hubungan pewarisan dapat berstatus sebagai pewaris dan ahli waris pelaku
perikatan dalam hubungan pewasiatan dapat bersetatus sebagai pemberi wasiat dan
penerima wasiat.
2. Objek Perikatan
Objek perikatan dalam hukum perdata
selalu berupa benda. Benda adalah setiap barang dan hak halal yang dapat
dimiliki dan dinikmati orang. Dapat dimiliki dan dinikmati maksudnya
memberi manfaat atau mendatangkan
keuntungan secara halal bagi orang yang memilikinya. Selain itu benda dapat
berupa benda berujud, yaitu benda yang dapat diraba, dilihat, atau ada bentuk
nyata seperti buku, rumah, atau kendaraan bermotor. Sedangkan benda tidak
berwujud yaitu benda yang tidak berbentuk, tidak dapat diraba atau tidak dapat
dilihat, seperti hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak cipta,
hak merek dan hak paten.
Benda
objek perikatan harus benda perdagangan sesuai dengan undang-undang, ketertiban
umum, dan kesusilaan masyarakat dan bermanfaat. Benda yang dilarang untuk
diperjual beli kan didepan umum karena merugikan jasmani dan rohani, seperti
narkoba dan yang lainnya, benda mendatangkan mudhorot seperti mengandung racun,
formalin,dan lain sebagainya seemua itu dilarang dan tidak boleh dijadikan
objek perikatan.
Benda objek perikatan dapat berupa benda bergerak dan benda
tidak bergerak. Benda bergerak adalah benda yang dapat diangkat, diangkut dan
dipindahkan. Benda tidak bergerak adalah benda yang tidak dapat ditarik,
diangkut dan dipindahkan. Apabila benda dijadikan objek perikatan, benda
tersebut harus memenuhi syarat seperti yang di tetapkan oleh undang-undang.
Syarat-syarat tersebut adalah:
1.
Benda dalam perdagangan
2.
Benda tertentu dan dapat
di tentukan
3.
Benda bergerak atau tidak
bergerak, berwujud atau tidak berwujud
4.
Benda itu dilarang oleh
undang-undang atau benda halal
5.
Bnda itu ada pemiliknya
dan dalam kepemilikan pemiliknya
6.
Benda itu dapat diserahkan
oleh pemiliknya
7.
Benda itu dalam
kepemilikan orang lain berdasar atas hak sah
Dalam
konsep hukum modern, pengertian benda sebagai objek perikatan meliputi juga
modal, piutang, keuntungan dan jasa.[7]
C.
Schuld dan Haftung
Schuld adalah
kewajiban debitur membayar utang-utang nya sedangkan huftung adalah kewajiban
seorang debitur membiarkan kereditur mengambil harta kekayaannya sebesar
kewajiban pelunasan utang nya. Dalam hubungannya dengan hukum perikatan atau
dengan cara khusus diartikan dengan perutangan, terdapat akibat hukum yang
secara absolut harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak, yaitu pihak yang
menerima dan yang melaksanakan kewajiban. Oleh karena itu dalam perikatan atau
perjanjian, ada disebut deengan huftung dan schuld. Debitor yang mengikatkan
diri dalam utang piutang wajib meelaksanakan pasal-pasal yang memuat kewajiban
sebagai deebitor yaitu membayar utang-utangnya jika pihak debitor tidak bisa
membayar utang-utangnya maka kreditor berhak menyita harta kekayaan yang
dijaminkan sesuai deengan jumlah utang yang ditanggung debitor. Itulah yang
disebut schuld dan hafting.
Adanya
kewajiban debitor membayar utang-utangnya kepada kreditor dan membiaarkan
kreditor mengambil harta benda debitor disebabkan terjadinya suatu perikatan
yang tertuang dalam perjajian utang piutang. Dengan demikian, dalam perikatan
terdapat hubungan hukum, yaitu hubungan yang didalmnya melekat hak pada salah
datu pihak dan melekat kewajiban pada pihak lainnya. Perikatan adalah suatu
hubungan hukum , artinya hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum, yaitu oleh
undang-undang , yang melahirkan akibat hukum lain, seperti membiarkan menyita
harta benda kreditor sebagai bentuk yang dibenarkan oleh hukum. [8]
Untuk membedakan perbuatan hukum merupakan
peristiwa hukum yang ada sebenarnya dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar
diatas, menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
1.
Fakta hukum adalah
fakta/kenyataan yang melahirkan akibat hukum, yaitu terjadinya, berubahnya,
hapusnya, beralihnya hak subjek, baik dalam bidang hukum keluarga, hukum benda
maupun hukum perseorangan
2.
Kelahiran adalah fakta
hukum, sedangkan akibat hukum adalah kewajiban-kewajiban untuk memelihara dan
memberikan pendidikan; perikatan adalah akibat hukum dari persetujuan.
3.
Perbuatan hukum adalah
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang menimbulkan akibat hukum lain.
4.
Perbuatan hukum yang
merupakan bukan perbuatan hukum. adakalanya undang undang memberi akibat hukum
pada perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sebelumnya tidak memikirkan
akibat hukumnya, atau perbuatan hukum yang pada dasarnya tidak bermaksud untuk
menimbulkan akibat hukum. Perbuatan yang bukan merupakan perbuatan huku di bagi
menjadi dua perbuatan menurut hukum (misalnya perwkilan sukarela dan pembayaran
tidak terutang) dan melawan hukum (pasal 1365 sampai dengan pasal 1380 KUHPerdata).
5.
Peristiwa yang bukan
kehendak manusia, misalnya kelahiran mengakibatkan orang tua mempunyai
kewajiban untuk memelihara anak dan mendidiknya, kematian mengakibatkan adanya
hak waris-mewarisi, yang secara alamiah akibat hukum nya lahir begitu saja
tanpa diikat oleh undang-undang keperdataan. Tetapi dalam kehidupan ini
peraturan tersebut memeperoleh peraturan yang mengikat.
6.
Hukum perikatan merupakan
bagian dari hukum harta kekayaan (vermognsrecht) dan bagaian lain dari hukum
harta kekayaan adalah hukum benda. Perikatan yang dinilai dengan uang berlaku
pada harta kekayaan yang bersifat absolut, baik kekayaan berupa benda yang
bergerak maupun tiidak bergerak, akan tetapi harta kekayaan yang bukan absolut,
penilaian dengan uang, bukan merupakan ukuran pasti.
7.
Berkaitan dengan
perikatan antara debitor dan kreditor, terjadilah hubungan hukum antara
kreditor dan debitor. Para pihak pada suaatu perikatan disebut subjek-subjek
perikatan, yaitu kreditor yang berhak dan debitor yang berkewajiban atas prestasi
, kreditor biasanya disebut sebagai pihak yang aktif, sedangkan debitor adalah
pihak yang pasif.
Pihak
kreditor sebelum melakukan perjanjian dan perikatan harus mengamati seluk-beluk
debitor, misalnya melakukan pengamatan mengenai riwayat kehidupan, jenis mata
pencaharian, tempat tinggal, saudara kandung terdekat yang mudah dihubungi dan
pengamatan pada prestasi hidup kaitannya dengan utang piutang debitor kepada
pihak lain. dengan pengamatan tersebut debitor akan mudah menghubungi debitor
apabila terjadi keterlambatan pelaksanaan kewajiban-kewajibannya. Dari
uraian-uraian diatas penting untuk di pertegas, bahwa pada setiap perikatan
selalu terdapat dua pihak, yaitu kreditor pihak yang aktif dan debitor pihak
yang pasif. Berikut skemanya:
Pada debitor terdapat dua unsur,
yaitu schuld dan hafting. Schuld adalah utang debitor kepada kreditor. Seetiap
kreditor mempunyai piutang terhadap debitor. Untuk itu kreditor mempunyai hak
menagih piutang, apabila debitor tidak memenuhi kewajiban membayar utangnya,
kreditor mempunyai hak menagih kekayaan debitor sebesar piutangnya pada
debitor. Schuld dan Hufting sifatnya integral dan saling kebergantungan.
Asas bahwa kekayaan debitor
dipertanggungjawabkan bagi pelunasan utang-utangnya tercantum didalam ketentuan
pasal 1131 kuhperdata, baik undang-undang maupun para pihak dapat menyimpan
dari asa tersebut, antara lain dalam hal berikut:
1.
Schuld tanpa Haftung
Schuld tanpa Huftung terdapat dalam
perikatan alam. Dalam perikatan alam debitor mempunyai utang (Schuld) kepada
kreditor, hanya jika debitor inkar janji pihak kreditor tidak berhak melakukan
tuntutan apa pun.
2.
Schuld dengan hafting
terbatas
Schuld dengan huftung terbatas artinya
debitor tidak tanggung jawab dengan seluruh harta kekayaan , tetapi terbatas
sampai jumlah tertentu atau atas barang tertentu.debitor hanya mengakui dan
mengetahui kekayaan yang ada pada dirinya dan yang menjadi miliknya, tidak
berkaitan dengan kekayaan diluar kepemilikannya.
3.
Haftung dengan Schuld
pada orang lain
Hafting dengan schuld pada orang lain
artinya pihak debitor berutang kepada kreditor dengan jaminan dari pihak ketiga
tidak berutang kepada debitor, sehingga meskipun pihak ketiga tidak berutang
kepada kreditor ia tetap bertanggung jawab atas utang debitor melalui harta
yang dijaminkannya. [9]
D.
Sistem Pengaturan
Buku III BW
Perikatan
diatur dalam buku III KUHPdt. Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi
karena perjanjian dan undang-undang. Aturan mengenal perikatan meliputi bagian
umum dan bagian khusus. Bagian umum meliputi semua aturan yang berlaku bagi
perikatan umum. Sedangkan bagian khusus meliputi semua aturan yang berlaku bagi
perjanjian bernama sebagai perjanjian khusus yang banyak digunakan dalam
masyarakat.
Bagian umum meliputi aturan yang
tercantum dalam Bab I , Bab II , Bab III ( Pasal 1352 dan 1353 ) , dan Bab IV
KUHPdt yang berlaku bagi perikatan umum. Adapun bagian khusus meliputi Bab III
( kecuali pasal 1352 dan 1353 ) dan Bab V sampai dengan BabXVIII KUHPdt yang
berlaku bagi perjanjian-perjanjian tertentu saja, yang sudah ditentukan namanya
dalam bab-bab yang bersangkutan.
Pengaturan perikatan didasarkan pada “sistem terbuka” , maksudnya setiap
orang boleh mengadakan perikatan apa
saja, baik yang sudah ditentukan namanya maupun yang belum ditentukan namanya
dalam undang-undang. Akan tetapi, sistem terbuka itu dibatasi oleh tiga hal,
yaitu:
1.
Tidak dilarang
undang-undang
2.
Tidak bertentangan dengan
ketertiban umum; dan
3.
Tidak bertentangan dengan
kesusilaan. [10]
E.
Sumber-Sumber
Perikatan
Pasal
pertama dari buku III undang-undang menyebutkan tentang terjadinya
perikatan-perikatan dan mengemukakan bahwa perikatan-perikatan timbul dari
persetujuan atau undang-undang. Perikatan-perikatan yang timbul dari
undang-undang lebih lanjut membagi ke dalam: perikatan-perikatan yang hanya
terjadi karena undang-undang saja, dan perikatan-perikatan yang timbul dari
undang-undang karena perbuatan manusia, di mana yang terakhir dibagi lebih
lanjut ke dalam perbuatan menurut hokum dan melawan hokum (pasal1352 BW dan
seterusnya). Dibedakannya sumber perikatan ke dalam persetujuan dan
undang-undang menimbulkan kritik dari beberapa pengarang, yaitu bahwa:
1.
Dalam pasal 1233 BW
undang-undang dibedakan dari persetujuan. Pendapat ini ditentang oleh Pluto,
yang mengemukakan bahwa pendapat yang demikian itu tidaklah dapat dipertanggung
jawabkan, karena sekalipun undang-undang tidak menyebutkan persetujuan sebagai
sumberperikatan, ia tetap masih merupakan sumber perikatan. Hal ini disebabkan
karena kehidupan bersama menuntut bahwa manusia itu dapat menepati
perkataannya. Eggens[11]
mengatakan bahwa menepati perikatan merupakan tuntutan kesusilaan.
2.
Perikatan tidak pernah
akan timbul hanya dari undang-undang saja; karena undang-undang tidak mungkin
menciptakan suatu perikatan dari hal yang tidak ada. Menurut Pitlo[12]
pembentukan undang-undang adalah bahwa perikatan yang terjadi karena
undang-undang saja sebagai lawan daripada perikatan yang ditimbulkan oleh
perbuatan hukum.
3.
Dalam menentukan
sumber-sumber perikatan undang-undang tidak mencakup seluruh sumber perikatan .
Apabila seseorang dalam surat wasiat membuat suatu legaat, maka pada waktu
orang itu timbul suatu perikatan antar para ahliwaris dengan legataris
perikatan yang timbul dari putusan hakim. [13]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Subekti
dan Tjiptosudibio, Kitab Undang Undang
Hukum Perdata, PT Paramita Jakarta 1974.
Utrecth,
Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT
Penerbit BalaiBuku Ikhtiar 1959, Cetakan V.
A.
Ichsan, Hukum Perdata IB, PT
Pembimbing Masa Jakarta.
R.
Setiawan, Pokok Pokok Hukum Perikatan,
Putraabardin 1999, Cetakan ke VI.
L.C.
Hoffman, sebagaimana dikutip dari R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin, 1999.
M.
Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian,
Alumni, Bandung, 1986.
Abdulkadir
Muhammad, Hukum Perdata Indonesia,PT.
Cita Aditya Bakti, Bandung,2014.
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan
dalam Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011.
Firman Floranta, Aspek-Aspek Hukum Perikatan, Bandung: Mandar Maju,2014.
R.
Subekti, Aneka Perjanjian, Penerbit
Alumni, Bandung: 1975.
A.
Pitlo, Het Verbintennisenrecht naar be
Nederlands Burgerlijk Wetboek, ILD. Tjeenid Zoon, NV Harlen, 1952.
[1] Subekti dan Tjiptosudibio,
Kitab Undang Undang Hukum Perdata, PT
Paramita Jakarta 1974, halaman 291 dan halaman 304.
[2] Utrecth, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT
Penerbit BalaiBuku Ikhtiar 1959, Cetakan V, halaman 320 dan 621.
[5] L.C. Hoffman, sebagaimana
dikutip dari R. Setiawan, Pokok-Pokok
Hukum Perikatan, Putra Abardin, 1999, hal. 2.
[8]
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan
Dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia,
2011,hlm 33.
[12] A. Pitlo, Het Verbintennisenrecht naar be Nederlands
Burgerlijk Wetboek, ILD. Tjeenid Zoon, NV Harlen, 1952, halaman 32.
0 komentar:
Post a Comment