Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Saturday, April 28, 2018

PENGANTAR HUKUM PERIKATAN


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang-orang yang tidak sadar bahwa setiap harinya mereka melakukan perikatan. Hal-hal seperti membeli suatu barang atau menggunakan jasa angkutan umum, perjanjian sewa-menyewa hal-hal tersebut merupakan suatu perikatan. Perikatan di Indonesia diatur pada buku ke III KUHPerdata (BW). Dalam hukum perdata banyak sekali hal yang dapat menjadi cangkupannya, salah satunya adalah perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.

Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
Text Box: 1
 

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yang menjadi dasar pembahasan materi kami, diantaranya :
1. Apa Istilah dan Pengertian Perikatan ?
2. Subjek dan Objek Perikatan ?
3. Schuld dan Haftung ?
4. Sistem Pengaturan Buku III BW ?
5. Sumber-Sumber Perikatan ?
























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Istilah dan Pengertian Perikatan
1.      Istilah Perikatan
     Berbagai kepustakaan hukum Indonesia memakai berbagai macam istilah untuk menterjemahkan ”VERBINTENIS” DAN “OVEREENKOMST”, yaitu :
1.      KUH Perdata, Subekti dan Tjiptosidibio menggunakan istilah perikatan untuk “VERBINTENIS” dan Persetujuan untuk “OVEREENKOMST”. [1]
2.      Utrecht dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakai istilah Perutangan untuk “VERBINTENIS” dan Perjanjian untuk “OVEREENKOMST”. [2]
3.      Achmad Ichsan dalam bukunya Hukum Perdata IB menterjemahkan “VERBINTENIS” dengan Perjanjian dan   “OVEREENKOMST” dengan persetujuan. [3]
Text Box: 3     Dari uraian di atas ternyata untuk “VERBINTENIS” dikenal tiga istilah yaitu : Perikatan, Perutangan dan Perjanjian, sedangkan untuk “OVEREENKOMST” dipakai dua istilah yaitu : Perjanjian dan Persetujuan. “VERBINTENIS” berasal dari kata krja Verbiden yang artinya mengikat. Jadi Verbitenis menunjuk kepada adanya “Ikatan” atau “Hubungan”. Hal ini memang sesua dengan definisi Verbintenis sebagai suatu hubungan hukum. “OVEREENKOMST” berasal dari kata kerja :Overeenkomen” yang artinya “setuju” atau “sepakat”. Jadi Overeenkomst mengandung kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang dianut oleh BW. Oleh karena itu, istilah terjemahannya pun harus dapat mencerminkan asas kata sepakat tersebut. [4]
2.      Pengertian Perikatan
Perikatan berasal dari bahasa Belanda “Verbintenis” atau dalam bahasa Inggris “Binding”. Verbintenis berasal dari perkataan bahasa Perancis “Obligation” yang terdapat dalam “code civil Perancis”, yang selanjutnya merupakan terjemahan dari kata “obligation” yang terdapat dalam Hukum Romawi ”Corpusiuris Civilis”.
Menurut Hofmann, Perikatan atau ”Verbintenis” adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum, sehubungan dengan itu, seseorang mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu[5], sedangkan menurut Pitlo, perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.
Dari pengertian di atas, perikatan (verbintenis) adalah hubungan hukum(rechtsbetrekking) oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara penghubungannya. Oleh karena itu, perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perorangan (person) adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum. Hubungan hukum dalam perjanjian bukan merupakan suatu hubungan yang timbul dengan sendirinya, akan tetapi hubungan yang tercipta karena adanya ”tindakan hukum”(rechtshandeling). Tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihakpihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak lain untuk memperoleh prestasi, sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi[6].

B.     Subjek dan Objek Perikatan
1.      Subjek Perikatan
      Subjek perikatan disebut juga pelaku perikatan. Perikatan yang dimaksud meliputi perikatan yang terjadi karena perjanjian dan karena ketentuan undang-undang pelaku perikatan dapat terdiri atas manusia pribadi dan dapat juga badan hokum atau persekutuan. Setiap pelaku perikatan yang mengadakan perikatan dapat:
1.      Ada kebebasan menyatakan kehendaknya sendiri;
2.      Tidak ada paksaan dari pihak mana pun;
3.      Tidak ada penipuan dari salah satu pihak; dan
4.      Tidak ada kehilafan pihak-pihak yang bersangkutan.
        Pelaku perikatan dalam hubungan jual beli, sewa-menyewa, sewa beli, atau utang-piutang dapat bersetatus sebagai kreditor dan debitor. Pelaku perikatan dalam hubungan kerja dapat bersetatus sebagi pemberi kerja dan pekerja. Pelaku perikatan dalam hubungan keluarga dapat bersetatus sebagai pengasuh dan anak asuh. Pelaku perikatan dalam hubungan perkawinan dapat berstatus sebagai suami dan istri. Dalam hubungan pewarisan dapat berstatus sebagai pewaris dan ahli waris pelaku perikatan dalam hubungan pewasiatan dapat bersetatus sebagai pemberi wasiat dan penerima wasiat.

2.      Objek Perikatan
      Objek perikatan dalam hukum perdata selalu berupa benda. Benda adalah setiap barang dan hak halal yang dapat dimiliki dan dinikmati orang. Dapat dimiliki dan dinikmati maksudnya memberi  manfaat atau mendatangkan keuntungan secara halal bagi orang yang memilikinya. Selain itu benda dapat berupa benda berujud, yaitu benda yang dapat diraba, dilihat, atau ada bentuk nyata seperti buku, rumah, atau kendaraan bermotor. Sedangkan benda tidak berwujud yaitu benda yang tidak berbentuk, tidak dapat diraba atau tidak dapat dilihat, seperti hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak cipta, hak merek dan hak paten.
        Benda objek perikatan harus benda perdagangan sesuai dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan masyarakat dan bermanfaat. Benda yang dilarang untuk diperjual beli kan didepan umum karena merugikan jasmani dan rohani, seperti narkoba dan yang lainnya, benda mendatangkan mudhorot seperti mengandung racun, formalin,dan lain sebagainya seemua itu dilarang dan tidak boleh dijadikan objek perikatan.
        Benda objek perikatan dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda bergerak adalah benda yang dapat diangkat, diangkut dan dipindahkan. Benda tidak bergerak adalah benda yang tidak dapat ditarik, diangkut dan dipindahkan. Apabila benda dijadikan objek perikatan, benda tersebut harus memenuhi syarat seperti yang di tetapkan oleh undang-undang. Syarat-syarat tersebut adalah:
1.      Benda dalam perdagangan
2.      Benda tertentu dan dapat di tentukan
3.      Benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud
4.      Benda itu dilarang oleh undang-undang atau benda halal
5.      Bnda itu ada pemiliknya dan dalam kepemilikan pemiliknya
6.      Benda itu dapat diserahkan oleh pemiliknya
7.      Benda itu dalam kepemilikan orang lain berdasar atas hak sah

        Dalam konsep hukum modern, pengertian benda sebagai objek perikatan meliputi juga modal, piutang, keuntungan dan jasa.[7]




C.    Schuld dan Haftung
      Schuld adalah kewajiban debitur membayar utang-utang nya sedangkan huftung adalah kewajiban seorang debitur membiarkan kereditur mengambil harta kekayaannya sebesar kewajiban pelunasan utang nya. Dalam hubungannya dengan hukum perikatan atau dengan cara khusus diartikan dengan perutangan, terdapat akibat hukum yang secara absolut harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak, yaitu pihak yang menerima dan yang melaksanakan kewajiban. Oleh karena itu dalam perikatan atau perjanjian, ada disebut deengan huftung dan schuld. Debitor yang mengikatkan diri dalam utang piutang wajib meelaksanakan pasal-pasal yang memuat kewajiban sebagai deebitor yaitu membayar utang-utangnya jika pihak debitor tidak bisa membayar utang-utangnya maka kreditor berhak menyita harta kekayaan yang dijaminkan sesuai deengan jumlah utang yang ditanggung debitor. Itulah yang disebut schuld dan hafting.
      Adanya kewajiban debitor membayar utang-utangnya kepada kreditor dan membiaarkan kreditor mengambil harta benda debitor disebabkan terjadinya suatu perikatan yang tertuang dalam perjajian utang piutang. Dengan demikian, dalam perikatan terdapat hubungan hukum, yaitu hubungan yang didalmnya melekat hak pada salah datu pihak dan melekat kewajiban pada pihak lainnya. Perikatan adalah suatu hubungan hukum , artinya hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum, yaitu oleh undang-undang , yang melahirkan akibat hukum lain, seperti membiarkan menyita harta benda kreditor sebagai bentuk yang dibenarkan oleh hukum. [8]
     Untuk membedakan perbuatan hukum merupakan peristiwa hukum yang ada sebenarnya dapat digambarkan sebagai berikut.


 





Gambar diatas, menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
1.      Fakta hukum adalah fakta/kenyataan yang melahirkan akibat hukum, yaitu terjadinya, berubahnya, hapusnya, beralihnya hak subjek, baik dalam bidang hukum keluarga, hukum benda maupun hukum perseorangan
2.      Kelahiran adalah fakta hukum, sedangkan akibat hukum adalah kewajiban-kewajiban untuk memelihara dan memberikan pendidikan; perikatan adalah akibat hukum dari persetujuan.
3.      Perbuatan hukum adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang menimbulkan akibat hukum lain.
4.      Perbuatan hukum yang merupakan bukan perbuatan hukum. adakalanya undang undang memberi akibat hukum pada perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sebelumnya tidak memikirkan akibat hukumnya, atau perbuatan hukum yang pada dasarnya tidak bermaksud untuk menimbulkan akibat hukum. Perbuatan yang bukan merupakan perbuatan huku di bagi menjadi dua perbuatan menurut hukum (misalnya perwkilan sukarela dan pembayaran tidak terutang) dan melawan hukum (pasal 1365 sampai dengan pasal 1380 KUHPerdata).
5.      Peristiwa yang bukan kehendak manusia, misalnya kelahiran mengakibatkan orang tua mempunyai kewajiban untuk memelihara anak dan mendidiknya, kematian mengakibatkan adanya hak waris-mewarisi, yang secara alamiah akibat hukum nya lahir begitu saja tanpa diikat oleh undang-undang keperdataan. Tetapi dalam kehidupan ini peraturan tersebut memeperoleh peraturan yang mengikat.
6.      Hukum perikatan merupakan bagian dari hukum harta kekayaan (vermognsrecht) dan bagaian lain dari hukum harta kekayaan adalah hukum benda. Perikatan yang dinilai dengan uang berlaku pada harta kekayaan yang bersifat absolut, baik kekayaan berupa benda yang bergerak maupun tiidak bergerak, akan tetapi harta kekayaan yang bukan absolut, penilaian dengan uang, bukan merupakan ukuran pasti.
7.      Berkaitan dengan perikatan antara debitor dan kreditor, terjadilah hubungan hukum antara kreditor dan debitor. Para pihak pada suaatu perikatan disebut subjek-subjek perikatan, yaitu kreditor yang berhak dan debitor yang berkewajiban atas prestasi , kreditor biasanya disebut sebagai pihak yang aktif, sedangkan debitor adalah pihak yang pasif.
           Pihak kreditor sebelum melakukan perjanjian dan perikatan harus mengamati seluk-beluk debitor, misalnya melakukan pengamatan mengenai riwayat kehidupan, jenis mata pencaharian, tempat tinggal, saudara kandung terdekat yang mudah dihubungi dan pengamatan pada prestasi hidup kaitannya dengan utang piutang debitor kepada pihak lain. dengan pengamatan tersebut debitor akan mudah menghubungi debitor apabila terjadi keterlambatan pelaksanaan kewajiban-kewajibannya. Dari uraian-uraian diatas penting untuk di pertegas, bahwa pada setiap perikatan selalu terdapat dua pihak, yaitu kreditor pihak yang aktif dan debitor pihak yang pasif. Berikut skemanya:
 





            Pada debitor terdapat dua unsur, yaitu schuld dan hafting. Schuld adalah utang debitor kepada kreditor. Seetiap kreditor mempunyai piutang terhadap debitor. Untuk itu kreditor mempunyai hak menagih piutang, apabila debitor tidak memenuhi kewajiban membayar utangnya, kreditor mempunyai hak menagih kekayaan debitor sebesar piutangnya pada debitor. Schuld dan Hufting sifatnya integral dan saling kebergantungan.
            Asas bahwa kekayaan debitor dipertanggungjawabkan bagi pelunasan utang-utangnya tercantum didalam ketentuan pasal 1131 kuhperdata, baik undang-undang maupun para pihak dapat menyimpan dari asa tersebut, antara lain dalam hal berikut:
1.      Schuld tanpa Haftung
      Schuld tanpa Huftung terdapat dalam perikatan alam. Dalam perikatan alam debitor mempunyai utang (Schuld) kepada kreditor, hanya jika debitor inkar janji pihak kreditor tidak berhak melakukan tuntutan apa pun.
2.      Schuld dengan hafting terbatas
      Schuld dengan huftung terbatas artinya debitor tidak tanggung jawab dengan seluruh harta kekayaan , tetapi terbatas sampai jumlah tertentu atau atas barang tertentu.debitor hanya mengakui dan mengetahui kekayaan yang ada pada dirinya dan yang menjadi miliknya, tidak berkaitan dengan kekayaan diluar kepemilikannya.
3.      Haftung dengan Schuld pada orang lain
      Hafting dengan schuld pada orang lain artinya pihak debitor berutang kepada kreditor dengan jaminan dari pihak ketiga tidak berutang kepada debitor, sehingga meskipun pihak ketiga tidak berutang kepada kreditor ia tetap bertanggung jawab atas utang debitor melalui harta yang dijaminkannya. [9]

D.    Sistem Pengaturan Buku III BW
      Perikatan diatur dalam buku III KUHPdt. Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi karena perjanjian dan undang-undang. Aturan mengenal perikatan meliputi bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum meliputi semua aturan yang berlaku bagi perikatan umum. Sedangkan bagian khusus meliputi semua aturan yang berlaku bagi perjanjian bernama sebagai perjanjian khusus yang banyak digunakan dalam masyarakat.
      Bagian umum meliputi aturan yang tercantum dalam Bab I , Bab II , Bab III ( Pasal 1352 dan 1353 ) , dan Bab IV KUHPdt yang berlaku bagi perikatan umum. Adapun bagian khusus meliputi Bab III ( kecuali pasal 1352 dan 1353 ) dan Bab V sampai dengan BabXVIII KUHPdt yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian tertentu saja, yang sudah ditentukan namanya dalam bab-bab yang bersangkutan.
      Pengaturan perikatan didasarkan pada “sistem terbuka” , maksudnya setiap orang  boleh mengadakan perikatan apa saja, baik yang sudah ditentukan namanya maupun yang belum ditentukan namanya dalam undang-undang. Akan tetapi, sistem terbuka itu dibatasi oleh tiga hal, yaitu:
1.      Tidak dilarang undang-undang
2.      Tidak bertentangan dengan ketertiban umum; dan
3.      Tidak bertentangan dengan kesusilaan. [10]





E.     Sumber-Sumber Perikatan
      Pasal pertama dari buku III undang-undang menyebutkan tentang terjadinya perikatan-perikatan dan mengemukakan bahwa perikatan-perikatan timbul dari persetujuan atau undang-undang. Perikatan-perikatan yang timbul dari undang-undang lebih lanjut membagi ke dalam: perikatan-perikatan yang hanya terjadi karena undang-undang saja, dan perikatan-perikatan yang timbul dari undang-undang karena perbuatan manusia, di mana yang terakhir dibagi lebih lanjut ke dalam perbuatan menurut hokum dan melawan hokum (pasal1352 BW dan seterusnya). Dibedakannya sumber perikatan ke dalam persetujuan dan undang-undang menimbulkan kritik dari beberapa pengarang, yaitu bahwa:

1.      Dalam pasal 1233 BW undang-undang dibedakan dari persetujuan. Pendapat ini ditentang oleh Pluto, yang mengemukakan bahwa pendapat yang demikian itu tidaklah dapat dipertanggung jawabkan, karena sekalipun undang-undang tidak menyebutkan persetujuan sebagai sumberperikatan, ia tetap masih merupakan sumber perikatan. Hal ini disebabkan karena kehidupan bersama menuntut bahwa manusia itu dapat menepati perkataannya. Eggens[11] mengatakan bahwa menepati perikatan merupakan tuntutan kesusilaan.

2.      Perikatan tidak pernah akan timbul hanya dari undang-undang saja; karena undang-undang tidak mungkin menciptakan suatu perikatan dari hal yang tidak ada. Menurut Pitlo[12] pembentukan undang-undang adalah bahwa perikatan yang terjadi karena undang-undang saja sebagai lawan daripada perikatan yang ditimbulkan oleh perbuatan hukum.

3.      Dalam menentukan sumber-sumber perikatan undang-undang tidak mencakup seluruh sumber perikatan . Apabila seseorang dalam surat wasiat membuat suatu legaat, maka pada waktu orang itu timbul suatu perikatan antar para ahliwaris dengan legataris perikatan yang timbul dari putusan hakim. [13]




























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan




























Text Box: 14
 

DAFTAR PUSTAKA
Subekti dan Tjiptosudibio, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, PT Paramita Jakarta 1974.
Utrecth, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT Penerbit BalaiBuku Ikhtiar 1959, Cetakan V.
A. Ichsan, Hukum Perdata IB, PT Pembimbing Masa Jakarta.
R. Setiawan, Pokok Pokok Hukum Perikatan, Putraabardin 1999, Cetakan ke VI.
L.C. Hoffman, sebagaimana dikutip dari R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin, 1999.
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia,PT. Cita Aditya Bakti, Bandung,2014.
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011.
Firman Floranta, Aspek-Aspek Hukum Perikatan, Bandung: Mandar Maju,2014.
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung: 1975.
A. Pitlo, Het Verbintennisenrecht naar be Nederlands Burgerlijk Wetboek, ILD. Tjeenid Zoon, NV Harlen, 1952.


Text Box: 15
 



[1] Subekti dan Tjiptosudibio, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, PT Paramita Jakarta 1974, halaman 291 dan halaman 304.
[2] Utrecth, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT Penerbit BalaiBuku Ikhtiar 1959, Cetakan V, halaman 320 dan 621.
[3] A. Ichsan, Hukum Perdata IB, PT Pembimbing Masa Jakarta, halaman 7 dan 14.
[4] R. Setiawan, Pokok Pokok Hukum Perikatan, Putraabardin 1999, Cetakan ke VI, halaman 1.
[5] L.C. Hoffman, sebagaimana dikutip dari R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin, 1999, hal. 2.
[6]  M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 7.
[7] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia,PT. Cita Aditya Bakti, Bandung,2014, hlm 232-236.
[8] Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011,hlm 33.
[9]  Firman Floranta, Aspek-Aspek Hukum Perikatan, Bandung: Mandar Maju,2014, hlm.5-10.
[10] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia,PT. Cita Aditya Bakti, Bandung,2014, hlm 231.
[11] R. Subekti, Aneka Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung: 1975, halaman 14.
[12] A. Pitlo, Het Verbintennisenrecht naar be Nederlands Burgerlijk Wetboek, ILD. Tjeenid Zoon, NV Harlen, 1952, halaman 32.
[13] R. Setiawan, Pokok Pokok Hukum Perikatan, Putraabardin 1999, Cetakan ke VI, halaman 13-14.

Share:

0 komentar:

Post a Comment