Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Sunday, April 29, 2018

PERADILAN AGAMA SEBAGAI INSTITUSI PENEGAK HUKUM ISLAM DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN

I.I. Latar Belakang
PeradilanAgama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia di samping tiga peradilan yang lain, yakni Peradilan Negeri, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Keberadaan Peradilan Agama di Indonesia sudah dimulai sejak Indonesia belum merdeka, yaitu sejak masa pemerintahan kolonial Belanda.
Dalam perjalanan sejarahnya, Peradilan Agama menempuh proses yang cukup panjang hingga dimantapkannya kedudukan Peradilan Agama oleh pemerintah Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA). Dengan UUPA ini maka kedudukan Peradilan Agama sama dan setingkat dengan tiga peradilan lainnya dalam lingkup peradilan nasional. Peradilan Agama memiliki wewenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara umat Islam dalam bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.
Dengan kedudukan dan wewenang Peradilan Agama seperti di atas, Peradilan Agama dapat dikatakan sebagai salah satu institusi penegak hukum di Indonesia khususnya dalam bidang hukum Islam. Namun, harus diakui bahwa jangkauan Peradilan Agama masih sangat terbatas. Peradilan Agama baru menangani perkara-perkara umat Islam dalam ketiga hukum keperdataan seperti di atas, belum menjangkau bidang hukum yang lain, seperti hukum pidana dan hukum-hukum lainnya.


I.II. Rumusan Makalah
1.      Bagaimana sejarah Peradilan Agama di Indonesia?
2.      Apa saja wewenang Peradilan Agama?
3.      Bagaimana Peradilan Agama dapat menjadi Institusi Penegak Hukum di Indonesia?
I.III. Tujuan Penulisan
Peradilan Agama merupakan proses pemberian keadilan berdasarkan hukum Islam kepada orang-orang Islam yang di lakukan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Keberadaan Peradilan Agama, dalam sistem peradilan nasional Indonesia, merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Di samping Peradilan Agama, di Indonesia juga dikenal tiga lembaga peradilan lain yang mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat dengan kekuasaan yang berbeda, yaitu Peradilan Umum (Peradilan Negeri), Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara (Ali, 1996: 251).
 Peradilan Agama telah tumbuh dan melembaga di bumi nusantara sejak agama Islam dianut oleh penduduk yang berada di wilayah ini, berabad-abad sebelum kehadiran penjajah. Keberadaan Peradilan Agama pada waktu itu belum mempunyai landasan hukum secara formal. Peradilan Agama ini muncul bersamaan dengan adanya kebutuhan dan kesadaran hukum umat Islam Indonesia (Munawir Sjadzali, 1991: 42).
Pengakuan akan adanya Peradilan Agama secara resmi sangatlah berarti bagi tumbuhnya salah satu institusi penegak keadilan di nusantara ini, meskipun dalam prakteknya pelaksanaan lembaga peradilan ini selalu disetir oleh pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu, keberadaan Peradilan Agama seperti itu belum menjamin terlaksananya lembaga peradilan yang didasarkan pada nilai-nilai keislaman. Berbagai usaha telah dilakukan oleh umat Islam dalam rangka mewujudkan lembaga Peradilan Agama yang diimpikan. Usaha ini ternyata memakan waktu yang cukup lama. Setelah melalui berbagai tahapan, baru pada tahun 1989 pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang No. 7 tahun 1989 yang khusus mengatur Peradilan Agama. Dengan keluarnya undang-undang ini maka keberadaan Peradilan Agama mempunyai landasan hukum yang formal (landasan yuridis formal) dan diakui sejajar dengan badan-badan peradilan lainnya yang sama-sama melaksanakan fungsi kehakiman di Indonesia.
Tulisan ini bermaksud memaparkan eksistensi lembaga Peradilan Agama di Indonesia yang merupakan salah satu lembaga penegak hukum Islam baik dalam bentuk syariah maupun fikih. Sebelum menguraikan masalah tersebut ada baiknya diungkap terlebih dahulu sejarah singkat Peradilan Agama di Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN

II.I Sejarah Peradilan Agama di Indonesia
Peradilan Agama dalam bentuknya yang sederhana berupa tahkim (lembaga penyelesaian sengketa antara orang-orang Islam yang dilakukan oleh para ahli agama), telah lama ada dalam masyarakat Indonesia, yakni sejak agama Islam masuk ke Indonesia. Lembaga tahkim ini berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Muslim di kepulauan nusantara. Keberadaan Peradilan Agama baru diakui secara resmi oleh pemerintah Belanda pada tahun 1882, yaitu ketika diresmikannya Pengadilan Agama di Jawa dan Madura berdasarkan Stbl. 1882 No. 152 (Amrullah Ahmad, 1996: 4).
Dengan keberadaan lembaga semisal Peradilan Agama tersebut pemerintah Belanda merasa bahwa hukum Islam benar-benar telah diberlakukan oleh umat Islam di Indonesia. Karena itulah, pemerintah Belanda berusaha untuk menghalangi berlakunya hukum Islam lebih luas lagi. Atas nasehat C. Snouck Hurgronje pemerintah Belanda memberlakukan teori receptie yang memberlakukan hukum Islam apabila sudah diterima oleh hukum adat (Mohammad Daud Ali, 1996: 218). Teori receptie ini diberlakukan dalam rangka menentang berlakunya teori receptio in complexu yang dikemukakan oleh LWC van den Berg yang mengakui berlakunya hukum Islam di Indonesia sejak umat Islam ada di situ.
Dengan diberlakukannya teori receptie pemerintah Belanda mulai mengganti undang-undang yang diberlakukan di Indonesia. Tahun 1919, misalnya, pemerintah Belanda mengganti undang-undang dari Regeeringsreglement (RR) menjadi Indische Staatsregeling (IS). Tahun 1937 keluar Stbl. 1937 No. 116 yang membatasi wewenang Peradilan Agama hanya pada masalah perkawinan. Sedangkan masalah waris diserahkan kepada Pengadilan Umum (Sjadzali, 1991: 46).
 Perubahan tatanan peradilan nasional, khususnya Peradilan Agama, mulai berubah setelah Indonesia merdeka. Perubahan ini bertitik tolak pada ketentuan konstitusi di samping memperhatikan perkembangan aspirasi dan tatanan masyarakat secara luas. Dasar yang dijadikan rujukan dalam perubahan itu adalah padal 24 dan 25 UUD 1945. Sedangkan perkembangan aspirasi masyarakat tercermin dalam artikulasi politik dari berbagai kekuatan politik melalui infra struktur dan supra struktur politik dalam mewujudkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pembinaan Peradilan Agama yang semula berada di tangan Kementrian Kehakiman diserahkan kepada Departemen Agama melalui PP No. 5/SD/1946. Tahun 1948 keluar Undang-undang No. 19 yang memasukkan Peradilan Agama ke Peradilan Umum (Peradilan Negeri). Namun, undang-undang ini tidak pernah berlaku, karena tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Tahun 1951 pemerintah memberlakukan Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 yang tetap mempertahankan eksistensi Peradilan Agama dan menghapus Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat. Sebagai kelanjutannya pemerintah memberlakukan Undang-undang No, 45 Tahun 1957 yang mengatur pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan Kalimantan Selatan. Selanjutnya tahun 1964 keluar Undang-undang No. 19 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Tahun 1979 Undang-undang No. 19/1964 tersebut diganti dengan Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang ini mengakui eksistensi Peradilan Agama sejajar dengan ketiga lembaga peradilan lainnya di Indonesia.

II.II Wewenang Peradilan Agama
Tanggal 29 Desember 1989 terjadi peristiwa penting yang berkenaan dengan berlakunya sebagian hukum Islam dan penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia. Peristiwa itu adalah pengesahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini merupakan salah satu peraturan perundangundangan untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam upaya mewujudkan suatu tatanan hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undangundang Dasar 1945. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 ini berangkai dengan Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undnag-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 terdiri atas 7 bab yang meliputi 108 pasal. Ketujuh bab tersebut berisi Ketentuan Umum (Bab I), Susunan Pengadilan (Bab II), Kekuasaan Pengadilan (Bab III), Hukum Acara (Bab IV), Ketentuanketentuan Lain (Bab V), Ketentuan Peralihan (Bab VI), dan Ketentuan Penutup (Bab VII). Undang-undang ini, sebagai pengganti undang-undang sebelumnya, memuat beberapa perubahan penting dalam penyelenggaraan Peradilan Islam di Indonesia, Perubahan-perubahan tersebut di antaranya berkenaan dengan (1) dasar hukum penyelenggaraan peradilan; (2) kedudukan badan Peradilan; (3) susunan pengadilan; (4) kedudukan, pengangkatan, dan pemberhentian hakim; (5) kekuasaan pengadilan; (6) hukum acara peradilan; (7) penyelenggaraan administrasi peradilan; dan (8) perlindungan terhadap wanita (Cik Hasan Bisri, 1997: 126).
Wewenang Pengadilan Agama ditegaskan dalam pasal 49 ayat (1) Undangundang Nomor 7 Tahun 1989: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan shadaqah”. Dengan demikian, jelaslah bahwa wewenang Pengadilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan permasalahan kaum Muslim dalam bidang-bidang tertentu, yakni bidang perkawinan dan berbagai hal yang terkait dengannya, bidang kewarisan dan berbagai hal yang terkait dengannya, serta bidang perwakafan dan berbagai hal yang terkait dengannya. Ketiga bidang tersebut diperjelas dengan keluarnya Instruksi Presiden tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang terdiri dari tiga buku, yaitu: Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, dan Buku III tentang Perwakafan.. Menurut ketentuan pasal 49 juga dijelaskan bahwa wewenang Pengadilan Agama hanya mengadili perkara-perkara tersebut di tingkat pertama. Adapun pada tingkat banding (yang lebih tinggi) yang menanganinya adalah Pengadilan Tinggi Agama (pasal 51).
Dalam sejarahnya, wewenang Pengadilan Agama ini tidak begitu saja langsung menangani perkara-perakara seperti di atas, akan tetapi melalui proses yang cukup panjang, yaitu mulai tahun 1882 sejak masih berbentuk Priesterrad (Majelis atau Pengadilan Pendeta) yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Perkaraperkara yang ditangani ditentukan oleh Pengadilan Agama sendiri, yaitu perkaraperkara yang berkaitan dengan perwalian, kewarisan, hibah, shadaqah, baitulmal, dan wakaf (Sajuti Thalib, 1980: 25). Jadi, wewenang Pengadilan Agama sudah meliputi ketiga perkara yang disebut dalam Kompilasi Hukum Islam yang ada sekarang.
Pada tahun 1922 pemerintah Belanda membentuk suatu komisi yang bertugas meninjau kembali kedudukan dan wewenang Pengadilan Agama. Komisi yang pada hakekatnya dikuasai penuh oleh Betrand ter Haar ini berhasil melaksanakan tugasnya dan memberi rekomendasi kepada gubernur jenderal Hindia Belanda untuk meninjau kembali wewenang Pengadilan Agama. Tujuan Pokok dari saran komisi tersebut adalah menyangkut wewenang Pengadilan Agama, yakni pencabutan wewenang Pengadilan Agama untuk mengadili masalah wakaf dan masalah kewarisan. Pencabutan ini, menurut para pemimpin Islam, merupakan langkah mundur ke zaman Jahiliyah dan dipandang menentang sendi-sendi iman orang Islam (Mohammad Daud Ali, 1989: 223).
Pada tahun 1937 keluar Stbl. 1937 No. 116. Dengan Stbl. ini wewenang Pengadilan Agama untuk mengadili masalah kewarisan dialihkan kepada Pengadilan Negeri. Dengan demikian, wewenang Pengadilan Agama hanya mengurusi masalah perkawinan. Sementara itu di Kalimantan Selatan didirikan Kerapatan Qadli dan Kerapatan Qadli Besar dengan Stbl. 1937 No. 638 dan 639 yang wewenangnya persis seperti Pengadilan Negeri.
Setelah Indonesia merdeka, langkah yang diambil pemerintah Indonesia ialah menyerahkan pembinaan Peradilan Agama dari Departemen Kehakiman kepada Departemen Agama melalui PP. 5/SD/1946. Tahun 1948 keluar Undang-undang No. 190 yang memasukkan Peradilan Agama ke dalam Peradilan Umum, meskipun hal ini tidak pernah berjalan. Tahun 1957 pemerintah mengatur pemberntukan Peradilan Agama di luar Jawa Madura dan Kalimantan Selatan melalui PP. No. 45 Tahun 1957. Wewenang Peradilan Agama di luar Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan meliputi perkara-perkara (1) nikah, (2) talak, (3) rujuk, (4) fasakh, (5) nafkah, (6) mas kawin, (7) tempat kediaman, (8) mut’ah, (9) hadlanah, (10) perkara waris, (11) wakaf, (12) hibah, (13) sedekah, dan (14) baitulmal (Amrullah ahmad, 1996: 6).
Pada perkembangan selanjutnya, tahun 1958 pemerintah membentuk Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di berbagai tempat yang memerlukan. Tahun 1964 pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 19 Tahun 1964 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang disusul keluarnya Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan undang-undang ini kedudukan Peradilan Agama setingkat dengan peradilan-peradilan lainnya. Pada akhirnya, dengan keluarnya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Peradilan Agama benar-benar memiliki legitimasi yang kuat dan benarbenar sama dan setingkat dengan tiga peradilan lainnya yang ada dalam lingkup peradilan di Indonesia.
Yang perlu dicatat di sini adalah bahwa wewenang Peradilan Agama baru terbatas pada perkara-perkara perdata dan hanya menyangkut perkara-perkara umat Islam. Jadi, Peradilan Agama belum menjangkau perkara-perkara lain di luar perdata, seperti pidana, dan juga belum melibatkan penganut selain Islam dalam berperkara.
II.III Peradilan Agama sebagai Institusi Penegak Hukum Islam
Di atas sudah dijelaskan bahwa Peradilan Agama memiliki wewenang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Ketiga masalah ini merupakan bagian dari objek garapan fikih muamalah, dan secara integral merupakan bagian dari ruang lingkup hukum Islam, baik yang berdimensi syariah maupun yang berdimensi fikih.
Syariat Islam yang diperjelas dengan fikih sudah mengatur permasalahan hukum yang cukup detail. Aturan-aturan ini dijadikan sebagai pegangan oleh umat Islam di dalam menyelesaikan problematika yang muncul berhubungan dengan masalah hukum. Namun, karena muncul perbedaan pendapat dari para ulama mengenai kepastian aturan tersebut, maka seringkali problematika yang muncul tidak bisa diselesaikan dengan tuntas.
Munculnya hukum modern menuntut untuk diwujudkan sumber atau landasan hukum yang formal di setiap negera sebagai rujukan dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul. Begitu juga, hukum Islam yang sudah ada dalam bentuk syariat maupun fikih masih dituntut untuk diformulasikan dalam bentuk kodifikasi hukum atau undang-undang agar mempunyai kekuatan hukum yang bisa mengikat setiap orang yang berkaitan dengan hukum. Karena itu, di negara-negara Islam atau negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam bermunculan undangundang untuk mengatur permasalahan hukum di negaranya masing-masing. Hal seperti ini juga terjadi di negara kita Indonesia.
Kalau dilihat pelaksanaan hukum Islam di Indonesia, dapatlah dikatakan bahwa hukum Islam yang berlaku bagi umat Islam dapat dibagi menjadi dua, yaitu hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis dan hukum Islam yang berlaku secara normatif (Mohammad Daud ali, 1991: 75). Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis adalah hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan mengatur hubungan manusia dengan benda di dalam masyarakat yang disebut dengan istilah mu’amalah. Hukum Islam ini menjadi hukum positif karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis ini memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk menjalankannya secara sempurna dengan cara misalnya mendirikan Peradilan Agama yang menjadi salah satu unsur dalam sistem peradilan nasional. Adapun hukum Islam yang berlaku secara normatif adalah hukum Islam yang mempunyai sanksi kemasyarakatan. Pelaksanaannya bergantung kepada kuat-lemahnya kesadaran masyarakat Muslim dalam berpegang kepada hukum Islam yang bersifat normatif ini. Hukum Islam seperti ini tidak memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk melaksanakannya. Hampir semua hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dalam arti ibadah murni (‘ibadah mahdlah), termasuk dalam kategori hukum Islam ini, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Pelaksanaan hukum Islam yang normatif ini tergantung kepada tingkatan iman dan takwa serta akhlak umat Islam sendiri.
Untuk menegakkan hukum Islam yang bersifat formal yuridis, pemerintah Indonesia telah membuat peraturan perundang-undangan, seperti Undang-undang No. 5 Tahun 1946, PP. No, 45Tahun 1957, Undang-undang No. 19 Tahun 1964, Undangundang No. 14 Tahun 1970, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dan Undang-undang No. 7 Tahun 1989. Dengan undang-undang seperti ini diharapkan permasalahan yang berkaitan dengan hukum Islam, khususnya masalah keperdataan, dapat diselesaikan secara formal yuridis. Dari beberapa undang-undang tersebut dapat dipahami bahwa permasalahan hukum Islam yang menyangkut keperdataan haruslah diselesaikan melalui suatu lembaga yang disebut Peradilan Agama. Melalui lembaga inilah perkara-perkara itu diproses dan diselesaikan.
Dalam perjalanannya, eksistensi Peradilan Agama di Indonesia mengalami berbagai persoalan. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang sangat merugikan eksistensi Peradilan Agama ternyata berlanjut sampai era pasca kemerdekaan. Baru tahun 1989, yaitu dengan keluarnya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA), eksistensi Peradilan Agama di Indonesia bisa memenuhi harapan umat Islam Indonesia, terutama berkaitan dengan status hukum dan kewenangannya.
Pengesahan UUPA merupakan peristiwa penting bagi umat Islam Indonesia. Dengan disahkannya UUPA tersebut semakin mantaplah kedudukan Peradilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri di tanah air kita dalam menegakkan hukum berdasarkan hukum Islam mengenai perkara-perkara di bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan yang sudah menjadi hukum positif di negara kita.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa beberapa bagian hukum Islam dalam bidang muamalah (keperdataan) berdasarkan peraturan perundang-undangan secara formal yuridis telah menjadi bagian dari hukum positif kita. Untuk menegakkannya telah pula dimantapkan eksistensi Peradilan Agama, yang menjadi bagian dari sistem peradilan nasional, sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dengan UUPA eksistensi Peradilan Agama sebagai lembaga penegak hukum Islam memeiliki landasan hukum yang kuat.
Di negara yang berdasarkan hukum, seperti Indonesia, hukum berlaku kalau didukung oleh tiga hal, yaitu lembaga penegak hukum yang diandalkan, peraturan hukum yang jelas, dan kesadaran hukum masyarakat. Inilah yang dikenal dengan doktrin hukum nasional yang kebenarannya juga berlaku bagi hukum Islam (Bustanul Arifin, 1996: 56).
Lembaga penegak hukum yang dimaksud di atas adalah Peradilan Agama, terutama hakim-hakimnya. Para hakim Pengadilan Agama dipersyaratkan memiliki ijazah kesarjanaan baik sarjana hukum Islam maupun sarjana hukum umum. Dengan persyaratan seperti ini diharapkan para hakim Pengadilan Agama tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Pada masalah yang kedua, yakni peraturan hukum yang jelas, belum dijamin keberadaannya secara total, karena peraturanperaturan hukum Islam (fikih) masih belum bisa terhindar dari perbedaan pendapat, sehingga sangat sulit untuk mengarah kepada unifikasi hukum Islam. Oleh karena itu, keperluan akan adanya suatu kompilasi atau kodifikasi hukum sebenarnya adalah hal yang sangat wajar. Di sinilah perlunya kompilasi hukum Islam agar peraturan hukum Islam menjadi jelas dan terhindar dari perbedaan pendapat, sehingga dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dengan mudah. Atas dasar inilah para ulama Indonesia kemudian membuat draf kompilasi hukum Islam yang memuat tiga kitab hukum, yaitu hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan. Draf ini kemudian diresmikan berlakunya berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 (Abdurrahman, 1992: 50).
Namun, harus diakui bahwa perkara-perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sangat terbatas, yakni hanyalah masalah-masalah keperdataan. Hingga sekarang ini belum ada upaya yang jelas yang mengarah kepada perluasan kewenangan Peradilan Agama. Bidang kewenangan yang sebenarnya sangat pokok dan segera untuk ditangani sampai sekarang belum pernah disinggung-singgung dalam wacana perdebatan nasional, yakni masalah pidana (hukum pidana). Semakin banyaknya tindak kriminalitas di negara kita saat ini barangkali juga akibat tidak adanya penanganan yang jelas dalam masalah ini, terutama dalam menerapkan sanksi terhadap tindakan kriminalitas tersebut. Umat Islam yang berperkara dalam masalah pidana ini masih berurusan dengan Pengadilan Negeri, padahal aturan yang dipakai di Pengadilan Negeri masih aturan-aturan pidana warisan pemerintah Belanda yang kurang sesuai dengan ketentuan hukum pidana Islam. Jika hukum pidana Islam ini ditetapkan di Indonesia sebagai hukum positif yang harus diterapkan dengan melibatkan Peradilan Agama sebagai institusi penegak hukumnya, maka kedudukan dan wewenang Peradilan Agama akan semakin mantap di negara kita dan eksistensi hukum Islam juga semakin kuat dan mengikat semua umat Islam di Indonesia.
Karena kondisi seperti itulah, maka untuk suksesnya pelaksanaan hukum Islam di negara kita, yang sangat dibutuhkan sekarang adalah faktor yang ketiga, yaitu adanya kesadaran hukum yang tinggi dari umat Islam. Tanpa adanya kesadaran hukum ini, akan sulit bagi Pengadilan Agama untuk menegakkan hukum Islam di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, kredibilitas Peradilan Agama sebagai institusi penegak keadilan sangat tergantung kepada umat Islam yang bertanggung jawab mengemban dan melaksanakan peradilan tersebut. Dalam rangka inilah pembinaan organisasi, administrasi, personal, dan keuangan Peradilan Agama haruslah diusahakan dengan sebaik-baiknya agar eksistensi Peradilan Agama ini benar-benar mantap nantinya. Inilah tanggung jawab besar yang harus dipikul oleh Departemen Agama sebagai lembaga yang menaungi keberadaan Peradilan Agama di Indonesia.



BAB III
PENUTUP

III.I Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga Peradilan Agama di Indonesia sebenarnya sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun, karena pada waktu itu Indonesia berada dalam kekuasaan pemerintah Belanda, maka keberadaan Peradilan Agama sangat diwarnai oleh kepentingan pemerintah Belanda. Dan inilah yang terkadang sering berbenturan dengan aspirasi masyarakat Indonesia yang mayoritasnya menganut agama Islam.
Setelah Indonesia merdeka, eksistensi Peradilan Agama masih belum mantap dibandingkan dengan eksistensi peradilan lainnya hingga ditetapkannya Undangundang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dengan UUPA ini, Peradilan Agama benar-benar mantap dan mempunyai status hukum yang kuat dan memiliki kedudukan yang sama dan setingkat dengan peradilan-peradilan lainnya dengan kekuasaan dan wewenang yang berbeda. Harus diakui juga, bahwa wewenang Peradilan Agama masih terbatas pada perkara-perkara umat Islam dalam bidang perkawinan, kewarisan, serta perwakafan, dan belum menjangkau bidang hukum yang lain.
Eksistensi Peradilan Agama sangat berarti bagi umat Islam Indonesia, terutama dalam menegakkan pelaksanaan hukum Islam yang bersifat formal yuridis. Namun, keberadaan Peradilan Agama ini belum bisa menjamin berlakunya hukum Islam tersebut dengan baik jika tidak ditunjang oleh kesadaran yang tinggi dari umat Islam sendiri. Kesadaran yang tinggi ini sangat membantu Peradilan Agama dalam melaksanakan fungsinya sebagai lembaga penegak hukum syariat atau fikih di Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo. Cet. I.
Amrullah Ahmad (et al.). 1996. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Th. Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, S.H. Jakarta: Gema Insani Press. Cet. I.
Bustanul Arifin. 1996. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press. Cet. I.
Cik Hasan Bisri. 1997. Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet. I.
Mohammad Daud Ali. 1989. “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia”. Dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddique (ed.). Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Terj. oleh Rochman Achwan. Jakarta: LP3ES. Cet. I.
 _______________. 1991. “Hukum Islam: Peradilan dan Masalahnya”. Dalam Tjun surjaman (ed.). Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet. I.
_______________. 1996. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Edisi Kelima. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Cet. V.
Munawir Sjadzali. 1991. “Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama di Indonesia”. Dalam Tjun Surjaman (ed.). Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet. I.
Sajuti Thalib. 1980. Receptio a Contrario. Jakarta: Academica. Cet. I.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.


Share:

0 komentar:

Post a Comment