BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia dalam berinteraksi satu sama lainnya dalam kehidupan masyarakat
sering menimbulkan konflik. Konflik ini adakalanya dapat diselesaikan secara damai,
tetapi adakalanya konflik tersebut menimbulkan ketegangan yang terus menerus
sehingga menimbulkan kerugian pada kedua belah pihak. Agar dalam mempertahankan
hak masing-masing pihak itu tidak melampaui batas-batas dari norma yang
ditentukan maka perbuatan sekehendaknya sendiri haruslah dihindarkan. Apabila
para pihak merasa hak-haknya terganggu dan menimbulkan kerugian, maka orang
yang merasa haknya dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan sesuai
dengan prosedur yang berlaku.
Dalam rangka menegakkan hukum perdata materiil, fungsi Hukum Acara
perdata sangat menentukan. Hukum Perdata Materiil tidak dapat dipaksakan
berlakunya tanpa adanya dukungan dari Hukum Acara Perdata . Hukum Acara Perdata merupakan hukum yang
mengatur tentang tata cara mengajukan perkara kepada pengadilan, bagaimana
pihak tergugat mempertahankan diri dari gugatan penggugat, bagaimana para hakim
bertindak baik sebelum dan sedang pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara
hakim memutus perkara yang diajukan oleh.
penggugat tersebut serta bagaimana cara melaksanakan putusan tersebut sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga hak dan kewajiban sebagaimana yang telahdiatur dalam hukum Perdata dapat berjalan sebagaimana mestinya. Diharapkan dengan adanya Hukum Acara Perdata ini, para pihak yang bersengketa dapat memulihikan hak-haknya yang telah dirugikan oleh pihak lain melalui pengadilan. tidak main hakim sendiri. Dalam Hukum Acara Perdata ini diatur hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak yang berperkara secara seimbang didepan sidang pengadilan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hukum acara perdata termasuk dalam ruang lingkup hukum privat (Private Law) disamping Hukum Perdata Materiil.
Hukum
Acara Perdata disebut Hukum Perdata Formil, karena ia mengatur tentang proses
penyelesaian perkara melalui pengadilan sesuai dengan norma-norma yang telah
ditentukan secara formal. Pada prinsipnya penyelesaian perkara di Pengadilan
Agama adalah mengacu pada hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan di
lingkungan Peradilan umum kecuali yang telah diatur secara khusus sebagaimana
yang diatur pada Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Dalam memeriksa dan menyelesaikan sengketa perkawinan pada umumnya dan
utamanya dalam perkara perceraian berlaku hukum acara khusus yaitu diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam.
Secara
kelembagaan, subtansi, dan kultural lembaga peradilan agama dapat disebut
sebagai Peradilan islam. menurut Cik Hasan Bisri apakah lembaga Peradilan Agama
di Indonesia sama dengan lembaga peradilan Islam (Al-Qadha fil Islam), maka
perlu dibutuhkan landasan yang logis dan ditunjang oleh data empiris, secara
sederhana ada beberapa landasan yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi
Peradilan Agama sebagai Peradilan Islam, yaitu pertama; landasan teologis yang
mengacu pada kekuasaan dan kehendak Allah yang berkenaan dengan penegakan hukum
dan keadilan. ( Abdul Manan, 2007 : 256)
Kedua; landasan historis yang menghubungkan mata rantai paeradilan agama
dan peradila Islam, yang menurut pandangan fuqaha dan pakar hukum islam, tumbuh
dan berkembang sejak masa Rasullulah.
Ketiga;
landasan yuridis yaitu mengacu pada dan konsisten dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di negara Republik Indonesia. Keempat; landasan
sosiologis yang menunjukkan bahwa peradilan Agama merupakan pruduk interaksi
antara elite Islam dengan elite nasional lainnya, terutama penguasa(the ruling
elite). (Abdul Manan, 2007 : 256) Dari definisi diatas jelas bahwa lembaga
peradilan dimaksud khusus diperuntukkan bagi umat Islam saja. Sedangkan
selebihnya, bagi orang-orang yang beragama bukan Islam seperti Kristen, Hindu dan
lainlain tidak termaksud di dalamnya.
Hal itu menunjukkan pula bagi umat Islam yang
berperkara dapat menyelesaikannya melalui peradilan yang hakim-hakimnya
beragama Islam serta diselesaikan menurut ajaran Islam, walaupun tidak seluruh
macam perkara merupakan wewenang Peradilan Agama.(Gatot Supramono, 1993 : 6)
Melihat kondisi sekarang, hidup era globalisasi menyebabkan kodisi kehidupan yang semakin kompleks dan kondisi
masyarakat dari segala segi terjadi pembauran. Misalnya lingkungan pemukiman
yang tidak hanya dihuni oleh penduduk yang beragama muslim tetapi juga dihuni
oleh penduduk yang beragama non-Muslim. Lingkungan pendidikan atau bahkan
lingkungan pekerjaan terjadi pembauran antara penduduk yang Muslim dengan
Penduduk yang beragama non-Muslim.
Kemungkinan
berperkara antara orang muslim dengan orang nonMuslim tetap ada, dan juga
banyak peristiwa hukum yang terjadi diantara orang muslim yang disaksikan oleh
orang non-muslim. Membicarakan saksi non-muslim sebagai salah satu alat bukti
di dalam persidangan mejelis hakim, dalam hal ini ada dua hal yang perlu
mendapat perhatian yaitu kesaksian non-muslim sesama non-muslim dan kesaksian
non-muslim terhadap kaum muslim. Hal ini penting dibicarakan karena dalam
praktek Peradilan Agama sering terjadi kedua hal tersebut dalam penyelesaian
suatu perkara. Imam malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa
kesaksian non muslim tidak dapat diterima secara mutlak, baik agama mereka sama
maupun agama mereka berbeda. Pendapat ini didasarkan kepada firman Allah dalam
surat al-Baqarah ayat 282 yang mengemukakan bahwa orang yang bukan Islam ,
bukanlah orang yang bersifat adil dan bukan dari orangorang yang ridho kepada
kaum muslimin. (Abdul Manan, 2000 : 231) Allah SWT menyifatkan mereka sebagai
orang yang suka dusta dan fasik, sedangkan orang yang demikian itu tidak dapat
dijadikan saksi.
Menerima
kesaksian mereka berarti memaksa hakim untuk menghukum dengan kesaksian yang
dusta dan fasiq, sedangkan orang Islam tidak boleh dipaksa dengan kesaksian
orang kafir itu dan tidak berhak menjadi saksi sesama mereka, kalau kesaksian
mereka diterima berarti sama saja dengan memuliakan mereka dan mereka
mengangkat derajatnya, sedangkan agama islam melarang yang demikian. (Abdul
Manan, 2000 : 231)
Para
ahli Hukum Islam telah sepakat bahwa kesaksian orangorang non-muslim terhadap
orang islam tidak diperkenangkan secara mutlak. Mereka berpendapat bahwa
kesaksian itu adalah masalah kekuasaan (tauliyah), sedangkan orang-orang
non-muslim tidak berkuasa atas orang-orang mulim sebagaiman tersebut dalam
an-Nisa’ ayat 140 dikemukakan bahwa Allah tidak akan menjadikan jalan bagi
orang-orang non-mulim berkuasa atas orang-orang muslim. Demikian juga tersebut
dalam surah at-Thalaq ayat 2 dikemukakan bahwa, Allah SWT memerintahkan agar dalam
menyelesaikan segala masalah agar dipersaksikan dengan dua orang saksi yang
adil dari golonganmu (orang Islam). (Abdul Manan, 2000 : 232)
Para
ahli hukum di kalangan Hanabilah membolehkan kesaksian dari saksi non muslim
atas orang-orang islam dalam bidang wasiat apabila dilaksanakan dalam
perjalanan (musafir) dan tidak ada orang lain yang dapat diangkat menjadi saksi
di kalangan orang islam, kecuali mereka yang beragama non muslim.
Abu
Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i menolak kesaksian orang-orang muslim
secara mutlak kecuali dalam hal yang sangat darurat seperti kesaksian dokter
non muslim terhadap suatu peristiwa atau kejadian. Dan yang lebih penting
adalah para praktisi hukum di Pengadilan Agama harus membedakan saksi antara status
saksi sebagai syarat hukum Islam dengan status saksi sebagai alat bukti. (Abdul
Manan, 2000 : 234) Apabila ia tidak dibenarkan memberikan kesaksian di
pengadilan tentu akan merugikan orang islam. Bertitik tolak dari pemikiran di
atas, serta kenyataan yang ada dalam kehidupan ketatanegaraan Negara Indonesia
dan Pancasila sebagai sumber hukum, maka perlu adanya pemikiran jauh kedepan
tentang hadirnya saksi non-muslim dalam persidangan Pengadilan Agama.
Maka
status keabsahan orang non muslim dalam memberikan kesaksian dan kedudukan
saksi non-muslim di peradilan agama menarik untuk diteliti. Berdasarkan
uraian-uraian di atas melatar belakangi penulis untuk menyusun makalah dengan
judul “Kedudukan Saksi Non-Mulim dalam Praktik Hukum Acara di Lingkungan Peradilan
Agama”.
B.
Rumusan
Masalah
Menilik
uraian latar belakang tersebut maka yang menjadi rincian permasalahan dalam
makalah " Kedudukan Saksi Non-Mulim dalam Praktik Hukum Acara di
Lingkungan Peradilan Agama”.sebagai beikut :
1. Bagaimana
pandangan hukum islam terhadap jenis alat bukti saksi non muslim?
2. Bagaimana
kedudukan saksi non-muslim dalam praktik hukum acara di lingkungan Peradilan
Agama ?
3. Bagaimana
kekuatan pembuktian saksi nonmuslim dalam praktik hukum acara di lingkungan
Peradilan Agama?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui keabsahan saksi non-muslim dalam praktik.
2. Untuk
mengetahui kekuatan pembuktian saksi non-muslim dalam praktik hukum acara di
Peradilan Agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pandangan
Hukum Islam Terhadap Jenis Alat Bukti Saksi Non Muslim
Menurut Drs. H. Roihan A Rasyid, SH, MH (1994-156) bahwa alat bukti
saksi, dalam hukum islam disebut dengan syahid (saksi laki-laki) atau syahidah
(saksi perempuan) yang terambil dari kata musyahadah yang artinya menyaksikan
dengan mata kepala sendiri, dan saksi adalah manusia hidup. Yang dimaksud
dengan syahadah yaitu keterangan orang yang dapat dipercaya di depan
sidangPengadilan dengan lafadh kesaksian untuk menetapkan hak atas orang lain.
Oleh karena itu, dalam pengertian kesaksian dapat pula dimaksudkan disini
kesaksian yang didasarkan atas hasil pendengaran, seperti syubhat. Menurut
Muhammad Salam Madzkur (1993:104). Para Jumhur Fuqaha menyamakan pengertian
pengertian kesaksian (syahadah) dengan bayyinah (pembuktian). (Abdul Manan,
2000 : 255)
Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad berpendapat bahwakesaksian saksi
non muslim tidak dapat diterima secara mutlak, baik agama mereka sama maupun
agama mereka berbeda karena orang yang bukan Islam, bukanlah orang yang
bersifat adil dan bukan dari orang yang bukan Islam, bukanlah orang bersifat
adil dan bukan dari orang yang ridha kepada kaum muslim, Allah mensifatkan
mereka sebagai orang yang suka dusta dan fasiq sehingga tidak dapat dijadikan
saksi. Menerima kesaksian mereka berarti memaksa hakim untuk memutus dengan
kesaksian yang dusta dan fasiq. Sedangkan orang Islam tidak boleh dipaksa
dengan kesaksian orang yang bukan Islam, karena jika kesaksian mereka diterima
berarti sama dengan memuliakan dan mengangkat derajat mereka, sedangkan Islam
melarang yang demikian itu. (Ibnu Rusyd, 1989 : 685) Menurut Ibnu Ruyd dalam
kitabnya Biayatul Mujtahid bahwa secara garis besar ada lima sifat saksi yang
harus dipegangi oleh hakim dalam memeriksa saksi yaitu :
1. Adil
2. Dewasa
3. Islam
4. Merdeka
bukan budak
5. Beritikad
baik memberikan kesaksiannya di dalam persidangan. (Ibnu Rusyd, 1989 : 684)
Al Mahalli
berpendapat bahwa masalah sifat adil di dalam seorang saksi merupakan suatu hal
yang pokok yang telah disepakati oleh kaum muslimin dalam menerima kesaksian
seseorang, dan syarat adil yang hakiki adalah menjauhkan diri dari semua
dosa-dosa besar, juga menjauhkan diri dari terus menerus melakukan dosa kecil.
Dengan melakukan dosa besar dan dosa kecil dalam segala bentuknya, maka
hilanglah sifat keadilannya. (Ibnu khazim : 319) Para ahli Hukum Islam telah sepakat bahwa
kesaksian orang-orang non muslim terhadap orang Islam tidak diperkenankan , hal
ini karena kesaksian itu adalah masalah tauliyah ( kekuasaan ) sedangkan
orangorang non muslim tidak berkuasa atas orang-orang Islam.
Sedangkan
perceraian dengan alasan-alasan tertentu atau secara kasuistik, seperti halnya
perceraian karena alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dan
tidak dapat dirukunkan lagi ( Pasal 19 huruf f PP Nomor 9 Tahun 1975 ), hakim
menerima kesaksian dari saksi keluarga / orang dekat para pihak tanpa
mempersoalkan agama. Hal ini sesuai dengan pasal 22 Peraturan Pemerintah
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Para ahli Hukum Islam di kalangan Hanabilah
membolehkan kesaksian dari saksi non muslim atas orangorang Islam dalam bidang
wasiat apabila dilaksanakan dalam perjalanan ( musafir ) dan tidak ada orang
lain yang dapat diangkat menjadi saksi dari kalangan orang Islam. (Ibnu Rusyd,
1989 : 686)
Menurut
Ibnu Mudzin, pendapat ini dipakai juga oleh syuraih, An Nukha’I dan Al Ausat
dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya. Hanya saja mereka berselisih
tentang pengertian non muslim, syuraih mengatakan bahwa hal itu hanya mencakup
orang non muslim yang ahli kitab saja, sedang yang lain mengatakan bahwa non
muslim adalah mencakup semua orang di luar Islam. Abu Hanifah, Imam Malik dan
Imam Syafi’I menolak kesaksian non muslim secara mutlak, kecuali dalam hal yang
sangat darurat seperti kesaksian dokter non muslim terhadap suatu peristiwa.
Sifat darurat ini merupakan alasan yang diterapkan juga oleh Majelis Hakim
Pengadilan Agama Makassar sebagaimana Qaidah Fiqhiyah :“Kesempitan itu menurut
syara’ bisa ditiadakan dan diterima “ (Abdul Wahab : 349 ) Dalam masalah
persaksian yang penting adalah saksi tersebut dapat mengungkapkan kebenaran dan
saksi non muslim pun ada yang dapat dijamin kepercayaanya sehingga kesaksiannya
dapat diterima sebagai alat bukti. Sedangkan alasan diterimanya saksi non
muslim yang adalah bahwa saksi bukan sebagai syarat Hukum sebagaimana syarat
sahnya perkawinan sesuai dengan ketentuan syari’at sebagaimana hadist Nabi SAW
yang diriwayatkan oleh HR.Daruqthni : “ Tidak sah nikah kecuali ada wali dan
dua orang saksi ”. (Ibnu Rusyd, 1989 : 416) Akan “tidak sah” disini berarti
menunjukkan bahwa saksi nikah merupakan syarat dalam perkawinan, dengan
demikian tidak adanya saksi saat ijab qabul dinyatakan tidak sah. Saksi dalam
perkara
B.
Kedudukan Saksi Non-Muslim Dalam Praktik Hukum
Acara Di Lingkungan Peradilan Agama
Pada dasarnya asas keislaman adalah asas utama yang melekat pada
undang-undang peradilan agama yang mempunyai makna bahwa pihak yang tunduk dan
dapat ditundukkan kepada kekuasaan di lingkungan peradilan agama hanya karena
yang beragama Islam. Keislaman seseoranglah yang menjadi dasar kewenangan
pengadilan agama di lingkungan peradilan agama. Dengan kata lain, seorang
penganut agama non Islam tidak tunduk dan tidak dapat dipaksakan tunduk kepada
kekuasaan peradilan agama. Asas ini diatur dalam Pasal 2, Penjelasan Umum angka
2 alinea ketiga dan Pasal 49 ayat (1) UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006.
Penegasan asas personalitas dapat dianalisis sebagai berikut : (Ahmad Roikan
2013 : 71)
a. Menunjuk
pada para pihak yang berperkara ataupun yang menjadi bagian dalam penyelesaian
perkara harus beragama Islam, Jika salah satu pihak atau yang menjadi bagian
dalam perkara tersebut tidak beragama Islam, maka perkaranya tidak dapat
ditundukkan kepada kewenangan pengadilan di lingkungan peradilan agama.
b. Menunjuk
pada hukum yang melandasi hubungan hukum tersebut. Dalam hal ini haruslah hukum
Islam, jika hubungan hukum yang terjadi bukan berdasarkan hukum Islam, maka
perkara tersebut tidak menjadi kewenangan pengadilan agama. Asas personalitas
keislaman penerapannya menjadi mutlak apabila didukung dan tidak dipisahkan
dengan unsur hubungan hukum yang telah mendasarinya yaitu hukum Islam. Untuk
itu diperlukan pegangan yang dapat dijadikan acuan kapan pengadilan agama
berwenang dan menyelesaiakan permasalahan yang terjadi.
Kompetensi atau wewenang Pengadilan Agama adalah
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antar
orang-orang yang beragama Islam dalam bidang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah,
Waqaf, Zakat, Infaq, Shadaqoh dan Ekonomi Syariah. Kewenangan tersebut diatur
dalam ketentuan pasal 2 dan pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 bahwa
Pengadilan Agama hanya berwenang mengadili perkara perdata tertentu di antara
orang-orang yang beragama Islam dan dilaksanakan berdasarkan Hukum Islam. Adapun
dalam proses nya harus ada yang namanya pembuktian, yang didalamnya harus
terdapat saksi dan alat bukti.
Saksi dalam hukum Acara Perdata termasuk dalam hukum
Pembuktian. Pembuktian itu diperlukan oleh hakim untuk mencari kebenaran fakta
dan peristiwa yang dijadikan dalil gugat oleh penggugat dalam menuntut haknya.
Pembuktian diperlukan apabila timbul suatu perselisihan terhadap suatu hal di
muka pengadilan, di mana seseorang mengaku bahwa sesuatu hal tersebut adalah
haknya sedangkan pihak lain menyangkal terhadap pengakuan yang dikemukakan oleh
seseorang itu. Jadi pembuktian itu adalah untuk meyakinkan hakim tentang
kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan seseorang dalam suatu
sengketa. (Abdul Manan, 2000:225)
Pembuktian bertujuan untuk mendapatkan kebenaran suatu
peristiwa atau hak yang diajukan kepada hakim. Para praktisi hukum membedakan
tentang kebenaran yang dicari dalam hukum perdata dan hukum pidana. Dalam hukum
perdata, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran formil, sedangkan
dalam hukum pidana, kebenaran yang dicari adalah kebenaran materiil. Dalam
praktik Peradilan, sebenarnya seorang hakim dituntut untuk mencari kebenaran
materil terhadap perkara yang sedang diperiksanya. Karena tujuan pembuktian itu
adalah untuk meyakinkan hakim atau memberikan kepastian kepada hakim tentang
adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Kebenaran formil yang dicari oleh hakim
dalam arti bahwa hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh
pihak yang berperkara. (Abdul Manan, 2000:129)
Supaya saksi-saksi yang diajukan oleh para pihak dapat didengar sebagai
alat bukti, maka harus memenuhi syarat-syarat formil dan materiil. (Abdul
Manan, 2000 : 144)
1. Syarat
formil alat bukti saksi antara lain:
1) Memberikan
keterangan di depan sidang pengadilan
2) Bukan
orang yang dilarang untuk didengar sebagai saksi. Berdasarkan pasal 145 HIR dan
pasal 172 RBg ada pihak-pihak yang dilarang untuk didengar sebagai saksi yakni
keluarga sedarah atau semenda karena perkawinan menurut garis lurus dari pihak
yang berperkara, istri atau suami dari salah satu pihak yang berperkara
meskipun telah bercerai, anak-anak dibawah umur dan orang yang tidak waras atau
gila.
3) Bagi
kelompok yang berhak mengundurkan diri, menyetakan kesediaannya untuk diperiksa
sebagai saksi. Berdasarkan pasal 146a (4) HIR dan pasal 174 RBg orang yang
berhak mengundurkan diri sebagai saksi yaitu saudara dan ipar dari salah satu
pihak yang berperkara, keluarga istri atau suami dari kedua belah pihak sampai
derajat kedua, orang-orang karena jabatannya diharuskan menyimpan rahasia
jabatan.
4) Mengangkat
sumpah menurut agama yang dianutnya.
2. Syarat
materiil alat bukti saksi antara lain:
1) Keterangan
yang diberikan mengenai peristiwa yang dialami, didengar dan dilihat sendiri
oleh saksi. Keterangan saksi yang tidak didasarkan atas sumber pengetahuan yang
jelas pada pengalaman, pendengaran dan penglihatan sendiri tentang suatu
peristiwa, dianggap tidak memenuhi syarat materiil. Keterangan saksi yang
demikian dalam hukum pembuktian disebut “testimonium de auditu”. Keterangan
seperti ini tidak punya kekuatan dalam hukum pembuktian.
2) Keterangan
yang diberikan itu harus mempunya sumber pengetahuan yang jelas. Ketentuan ini
didasarkan pada pasal 171a (1) HIR dan pasal 308a (1) RBg. Pendapat atau
persangkaan saksi yang disusun berdasarkan akal pikiran tidak bernilai sebagai
alat bukti yang sah sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 171a (1) HIR dan
pasal 308a (1) RBg.
C. Kekuatan
Pembuktian Saksi Nonmuslim Dalam Praktik Hukum Acara Di Lingkungan Peradilan
Agama
Kekuatan pembuktian atau biasa disebut sebagai efektivitas alat bukti
terhadap suatu kasus sangat bergantung dari beberapa faktor. Faktor-faktor
tersebut dapat berupa psiko-sosial (kode etika, kualitas sikap penegak hukum,
hubungan dengan masyarakat). Salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun
sebagai sikap tindakan atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku
manusia. Dalam menilai suatu kekuatan pembuktian mengenai adanya keterangan
saksi, hakim harus sunggu-sungguh memperhatikan beberapa hal, yaitu:
a. Singkronisasi
antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lain;
b. Singkronisasi
antara keterangan saksi satu dengan alat bukti yang lain;
c. Alasan
yang digunakan oleh saksi dalam memberi keterangan tertentu;
d. Cara
hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umunya dapat
mempengaruhi/ tindakannya keterangan saksi dipercaya.
(http://raypratama.blogspot.com/2012/02/kekuatanpembuktian. Diakses pada 14
oktober 2014)
Kekuatan pembuktian antara saksi non muslim dan saksi muslim dalam proses
beracara di pengadilan agama, tidak dibedakan. Kedua duanya memiliki kekuatan
pembuktian yang sama. Dan hal ini sesuai dengan pasal 54 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 yaitu yang berbunyi sebagai berikut : “ Hukum acara yang berlaku
pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara Perdata
yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang
telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini”.
BAB III
KESIMPULAN
A. Simpulan
Dalam
pandangan islam saksi non muslim tidak diterima secara mutlak sebagai mana para
ulama madzhab berpendapat seperti imam asyafi’i, ahmad, maliki dan imam-imam
madzab lainnya, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad berpendapat
bahwakesaksian saksi non muslim tidak dapat diterima secara mutlak, baik agama
mereka sama maupun agama mereka berbeda karena orang yang bukan Islam, bukanlah
orang yang bersifat adil dan bukan dari orang yang bukan Islam, bukanlah orang
bersifat adil dan bukan dari orang yang ridha kepada kaum muslim, Allah
mensifatkan mereka sebagai orang yang suka dusta dan fasiq sehingga tidak dapat
dijadikan saksi. Menerima kesaksian mereka berarti memaksa hakim untuk memutus
dengan kesaksian yang dusta dan fasiq. Sedangkan orang Islam tidak boleh
dipaksa dengan kesaksian orang yang bukan Islam, karena jika kesaksian mereka
diterima berarti sama dengan memuliakan dan mengangkat derajat mereka,
sedangkan Islam melarang yang demikian itu. (Ibnu Rusyd, 1989 : 685)
Pada dasarnya asas keislaman adalah asas utama yang
melekat pada undang-undang peradilan agama yang mempunyai makna bahwa pihak
yang tunduk dan dapat ditundukkan kepada kekuasaan di lingkungan peradilan
agama hanya karena yang beragama Islam. Keislaman seseoranglah yang menjadi
dasar kewenangan pengadilan agama di lingkungan peradilan agama. Dengan kata
lain, seorang penganut agama non Islam tidak tunduk dan tidak dapat dipaksakan
tunduk kepada kekuasaan peradilan agama.
Kekuatan pembuktian antara saksi non muslim dan saksi
muslim dalam proses beracara di pengadilan agama, tidak dibedakan. Kedua duanya
memiliki kekuatan pembuktian yang sama. Dan hal ini sesuai dengan pasal 54
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yaitu yang berbunyi sebagai berikut : “ Hukum
acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah
hukum acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Manan. 2000. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
cetakan pertama, Jakarta: Yayasan
Al-Hikmah
Abdul
Manan. 2007. Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, cetakan pertama,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Kitab
Undang-undang Hukum Perdata Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan
Atas undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
http://library.walisongo.ac.id/
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kekuatan
Kesaksian Testimonium De Auditu Dalam Hukum Acara Perdata. Diakses pada 1 April
2018.
http://raypratama.blogspot.com/2012/02/kekuatan-pembuktian.
Diakses pada 1 April 2018.
0 komentar:
Post a Comment