Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Tuesday, April 24, 2018

Kedudukan Saksi Non-Mulim dalam Praktik Hukum Acara di Lingkungan Peradilan Agama


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia dalam berinteraksi satu sama lainnya dalam kehidupan masyarakat sering menimbulkan konflik. Konflik ini adakalanya dapat diselesaikan secara damai, tetapi adakalanya konflik tersebut menimbulkan ketegangan yang terus menerus sehingga menimbulkan kerugian pada kedua belah pihak. Agar dalam mempertahankan hak masing-masing pihak itu tidak melampaui batas-batas dari norma yang ditentukan maka perbuatan sekehendaknya sendiri haruslah dihindarkan. Apabila para pihak merasa hak-haknya terganggu dan menimbulkan kerugian, maka orang yang merasa haknya dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Dalam rangka menegakkan hukum perdata materiil, fungsi Hukum Acara perdata sangat menentukan. Hukum Perdata Materiil tidak dapat dipaksakan berlakunya tanpa adanya dukungan dari Hukum Acara Perdata .  Hukum Acara Perdata merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara mengajukan perkara kepada pengadilan, bagaimana pihak tergugat mempertahankan diri dari gugatan penggugat, bagaimana para hakim bertindak baik sebelum dan sedang pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara hakim memutus perkara yang diajukan oleh.

penggugat tersebut serta bagaimana cara melaksanakan putusan tersebut sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga hak dan kewajiban sebagaimana yang telahdiatur dalam hukum Perdata dapat berjalan sebagaimana mestinya.  Diharapkan dengan adanya Hukum Acara Perdata ini, para pihak yang bersengketa dapat memulihikan hak-haknya yang telah dirugikan oleh pihak lain melalui pengadilan. tidak main hakim sendiri. Dalam Hukum Acara Perdata ini diatur hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak yang  berperkara secara seimbang didepan sidang pengadilan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hukum acara perdata termasuk dalam ruang lingkup hukum privat (Private Law) disamping Hukum Perdata Materiil.
Hukum Acara Perdata disebut Hukum Perdata Formil, karena ia mengatur tentang proses penyelesaian perkara melalui pengadilan sesuai dengan norma-norma yang telah ditentukan secara formal. Pada prinsipnya penyelesaian perkara di Pengadilan Agama adalah mengacu pada hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan di lingkungan Peradilan umum kecuali yang telah diatur secara khusus sebagaimana yang diatur pada Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam memeriksa dan menyelesaikan sengketa perkawinan pada umumnya dan utamanya dalam perkara perceraian berlaku hukum acara khusus yaitu diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam.
Secara kelembagaan, subtansi, dan kultural lembaga peradilan agama dapat disebut sebagai Peradilan islam. menurut Cik Hasan Bisri apakah lembaga Peradilan Agama di Indonesia sama dengan lembaga peradilan Islam (Al-Qadha fil Islam), maka perlu dibutuhkan landasan yang logis dan ditunjang oleh data empiris, secara sederhana ada beberapa landasan yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi Peradilan Agama sebagai Peradilan Islam, yaitu pertama; landasan teologis yang mengacu pada kekuasaan dan kehendak Allah yang berkenaan dengan penegakan hukum dan keadilan. ( Abdul Manan, 2007 : 256)  Kedua; landasan historis yang menghubungkan mata rantai paeradilan agama dan peradila Islam, yang menurut pandangan fuqaha dan pakar hukum islam, tumbuh dan berkembang sejak masa Rasullulah.
Ketiga; landasan yuridis yaitu mengacu pada dan konsisten dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Republik Indonesia. Keempat; landasan sosiologis yang menunjukkan bahwa peradilan Agama merupakan pruduk interaksi antara elite Islam dengan elite nasional lainnya, terutama penguasa(the ruling elite). (Abdul Manan, 2007 : 256) Dari definisi diatas jelas bahwa lembaga peradilan dimaksud khusus diperuntukkan bagi umat Islam saja. Sedangkan selebihnya, bagi orang-orang yang beragama bukan Islam seperti Kristen, Hindu dan lainlain tidak termaksud di dalamnya.
 Hal itu menunjukkan pula bagi umat Islam yang berperkara dapat menyelesaikannya melalui peradilan yang hakim-hakimnya beragama Islam serta diselesaikan menurut ajaran Islam, walaupun tidak seluruh macam perkara merupakan wewenang Peradilan Agama.(Gatot Supramono, 1993 : 6) Melihat kondisi sekarang, hidup era globalisasi menyebabkan kodisi  kehidupan yang semakin kompleks dan kondisi masyarakat dari segala segi terjadi pembauran. Misalnya lingkungan pemukiman yang tidak hanya dihuni oleh penduduk yang beragama muslim tetapi juga dihuni oleh penduduk yang beragama non-Muslim. Lingkungan pendidikan atau bahkan lingkungan pekerjaan terjadi pembauran antara penduduk yang Muslim dengan Penduduk yang beragama non-Muslim.
Kemungkinan berperkara antara orang muslim dengan orang nonMuslim tetap ada, dan juga banyak peristiwa hukum yang terjadi diantara orang muslim yang disaksikan oleh orang non-muslim. Membicarakan saksi non-muslim sebagai salah satu alat bukti di dalam persidangan mejelis hakim, dalam hal ini ada dua hal yang perlu mendapat perhatian yaitu kesaksian non-muslim sesama non-muslim dan kesaksian non-muslim terhadap kaum muslim. Hal ini penting dibicarakan karena dalam praktek Peradilan Agama sering terjadi kedua hal tersebut dalam penyelesaian suatu perkara. Imam malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa kesaksian non muslim tidak dapat diterima secara mutlak, baik agama mereka sama maupun agama mereka berbeda. Pendapat ini didasarkan kepada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 282 yang mengemukakan bahwa orang yang bukan Islam , bukanlah orang yang bersifat adil dan bukan dari orangorang yang ridho kepada kaum muslimin. (Abdul Manan, 2000 : 231) Allah SWT menyifatkan mereka sebagai orang yang suka dusta dan fasik, sedangkan orang yang demikian itu tidak dapat dijadikan saksi.
Menerima kesaksian mereka berarti memaksa hakim untuk menghukum dengan kesaksian yang dusta dan fasiq, sedangkan orang Islam tidak boleh dipaksa dengan kesaksian orang kafir itu dan tidak berhak menjadi saksi sesama mereka, kalau kesaksian mereka diterima berarti sama saja dengan memuliakan mereka dan mereka mengangkat derajatnya, sedangkan agama islam melarang yang demikian. (Abdul Manan, 2000 : 231)
Para ahli Hukum Islam telah sepakat bahwa kesaksian orangorang non-muslim terhadap orang islam tidak diperkenangkan secara mutlak. Mereka berpendapat bahwa kesaksian itu adalah masalah kekuasaan (tauliyah), sedangkan orang-orang non-muslim tidak berkuasa atas orang-orang mulim sebagaiman tersebut dalam an-Nisa’ ayat 140 dikemukakan bahwa Allah tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang non-mulim berkuasa atas orang-orang muslim. Demikian juga tersebut dalam surah at-Thalaq ayat 2 dikemukakan bahwa, Allah SWT memerintahkan agar dalam menyelesaikan segala masalah agar dipersaksikan dengan dua orang saksi yang adil dari golonganmu (orang Islam). (Abdul Manan, 2000 : 232)
Para ahli hukum di kalangan Hanabilah membolehkan kesaksian dari saksi non muslim atas orang-orang islam dalam bidang wasiat apabila dilaksanakan dalam perjalanan (musafir) dan tidak ada orang lain yang dapat diangkat menjadi saksi di kalangan orang islam, kecuali mereka yang beragama non muslim.
Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i menolak kesaksian orang-orang muslim secara mutlak kecuali dalam hal yang sangat darurat seperti kesaksian dokter non muslim terhadap suatu peristiwa atau kejadian. Dan yang lebih penting adalah para praktisi hukum di Pengadilan Agama harus membedakan saksi antara status saksi sebagai syarat hukum Islam dengan status saksi sebagai alat bukti. (Abdul Manan, 2000 : 234) Apabila ia tidak dibenarkan memberikan kesaksian di pengadilan tentu akan merugikan orang islam. Bertitik tolak dari pemikiran di atas, serta kenyataan yang ada dalam kehidupan ketatanegaraan Negara Indonesia dan Pancasila sebagai sumber hukum, maka perlu adanya pemikiran jauh kedepan tentang hadirnya saksi non-muslim dalam persidangan Pengadilan Agama.
Maka status keabsahan orang non muslim dalam memberikan kesaksian dan kedudukan saksi non-muslim di peradilan agama menarik untuk diteliti. Berdasarkan uraian-uraian di atas melatar belakangi penulis untuk menyusun makalah dengan judul “Kedudukan Saksi Non-Mulim dalam Praktik Hukum Acara di Lingkungan Peradilan Agama”.
B.     Rumusan Masalah
Menilik uraian latar belakang tersebut maka yang menjadi rincian permasalahan dalam makalah " Kedudukan Saksi Non-Mulim dalam Praktik Hukum Acara di Lingkungan Peradilan Agama”.sebagai beikut :
1.      Bagaimana pandangan hukum islam terhadap jenis alat bukti saksi non muslim?
2.      Bagaimana kedudukan saksi non-muslim dalam praktik hukum acara di lingkungan Peradilan Agama ?
3.      Bagaimana kekuatan pembuktian saksi nonmuslim dalam praktik hukum acara di lingkungan Peradilan Agama?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui keabsahan saksi non-muslim dalam praktik.
2.      Untuk mengetahui kekuatan pembuktian saksi non-muslim dalam praktik hukum acara di Peradilan Agama.








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pandangan Hukum Islam Terhadap Jenis Alat Bukti Saksi Non Muslim
Menurut Drs. H. Roihan A Rasyid, SH, MH (1994-156) bahwa alat bukti saksi, dalam hukum islam disebut dengan syahid (saksi laki-laki) atau syahidah (saksi perempuan) yang terambil dari kata musyahadah yang artinya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, dan saksi adalah manusia hidup. Yang dimaksud dengan syahadah yaitu keterangan orang yang dapat dipercaya di depan sidangPengadilan dengan lafadh kesaksian untuk menetapkan hak atas orang lain. Oleh karena itu, dalam pengertian kesaksian dapat pula dimaksudkan disini kesaksian yang didasarkan atas hasil pendengaran, seperti syubhat. Menurut Muhammad Salam Madzkur (1993:104). Para Jumhur Fuqaha menyamakan pengertian pengertian kesaksian (syahadah) dengan bayyinah (pembuktian). (Abdul Manan, 2000 : 255)
Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad berpendapat bahwakesaksian saksi non muslim tidak dapat diterima secara mutlak, baik agama mereka sama maupun agama mereka berbeda karena orang yang bukan Islam, bukanlah orang yang bersifat adil dan bukan dari orang yang bukan Islam, bukanlah orang bersifat adil dan bukan dari orang yang ridha kepada kaum muslim, Allah mensifatkan mereka sebagai orang yang suka dusta dan fasiq sehingga tidak dapat dijadikan saksi. Menerima kesaksian mereka berarti memaksa hakim untuk memutus dengan kesaksian yang dusta dan fasiq. Sedangkan orang Islam tidak boleh dipaksa dengan kesaksian orang yang bukan Islam, karena jika kesaksian mereka diterima berarti sama dengan memuliakan dan mengangkat derajat mereka, sedangkan Islam melarang yang demikian itu. (Ibnu Rusyd, 1989 : 685) Menurut Ibnu Ruyd dalam kitabnya Biayatul Mujtahid bahwa secara garis besar ada lima sifat saksi yang harus dipegangi oleh hakim dalam memeriksa saksi yaitu :
1.      Adil
2.      Dewasa
3.      Islam
4.      Merdeka bukan budak
5.      Beritikad baik memberikan kesaksiannya di dalam persidangan. (Ibnu Rusyd, 1989 : 684)
Al Mahalli berpendapat bahwa masalah sifat adil di dalam seorang saksi merupakan suatu hal yang pokok yang telah disepakati oleh kaum muslimin dalam menerima kesaksian seseorang, dan syarat adil yang hakiki adalah menjauhkan diri dari semua dosa-dosa besar, juga menjauhkan diri dari terus menerus melakukan dosa kecil. Dengan melakukan dosa besar dan dosa kecil dalam segala bentuknya, maka hilanglah sifat keadilannya. (Ibnu khazim : 319)  Para ahli Hukum Islam telah sepakat bahwa kesaksian orang-orang non muslim terhadap orang Islam tidak diperkenankan , hal ini karena kesaksian itu adalah masalah tauliyah ( kekuasaan ) sedangkan orangorang non muslim tidak berkuasa atas orang-orang Islam.
Sedangkan perceraian dengan alasan-alasan tertentu atau secara kasuistik, seperti halnya perceraian karena alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dan tidak dapat dirukunkan lagi ( Pasal 19 huruf f PP Nomor 9 Tahun 1975 ), hakim menerima kesaksian dari saksi keluarga / orang dekat para pihak tanpa mempersoalkan agama. Hal ini sesuai dengan pasal 22 Peraturan Pemerintah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Para ahli Hukum Islam di kalangan Hanabilah membolehkan kesaksian dari saksi non muslim atas orangorang Islam dalam bidang wasiat apabila dilaksanakan dalam perjalanan ( musafir ) dan tidak ada orang lain yang dapat diangkat menjadi saksi dari kalangan orang Islam. (Ibnu Rusyd, 1989 : 686) 
Menurut Ibnu Mudzin, pendapat ini dipakai juga oleh syuraih, An Nukha’I dan Al Ausat dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya. Hanya saja mereka berselisih tentang pengertian non muslim, syuraih mengatakan bahwa hal itu hanya mencakup orang non muslim yang ahli kitab saja, sedang yang lain mengatakan bahwa non muslim adalah mencakup semua orang di luar Islam. Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’I menolak kesaksian non muslim secara mutlak, kecuali dalam hal yang sangat darurat seperti kesaksian dokter non muslim terhadap suatu peristiwa. Sifat darurat ini merupakan alasan yang diterapkan juga oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Makassar sebagaimana Qaidah Fiqhiyah :“Kesempitan itu menurut syara’ bisa ditiadakan dan diterima “ (Abdul Wahab : 349 ) Dalam masalah persaksian yang penting adalah saksi tersebut dapat mengungkapkan kebenaran dan saksi non muslim pun ada yang dapat dijamin kepercayaanya sehingga kesaksiannya dapat diterima sebagai alat bukti. Sedangkan alasan diterimanya saksi non muslim yang adalah bahwa saksi bukan sebagai syarat Hukum sebagaimana syarat sahnya perkawinan sesuai dengan ketentuan syari’at sebagaimana hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh HR.Daruqthni : “ Tidak sah nikah kecuali ada wali dan dua orang saksi ”. (Ibnu Rusyd, 1989 : 416) Akan “tidak sah” disini berarti menunjukkan bahwa saksi nikah merupakan syarat dalam perkawinan, dengan demikian tidak adanya saksi saat ijab qabul dinyatakan tidak sah. Saksi dalam perkara

B.     Kedudukan Saksi Non-Muslim Dalam Praktik Hukum Acara Di Lingkungan Peradilan Agama
Pada dasarnya asas keislaman adalah asas utama yang melekat pada undang-undang peradilan agama yang mempunyai makna bahwa pihak yang tunduk dan dapat ditundukkan kepada kekuasaan di lingkungan peradilan agama hanya karena yang beragama Islam. Keislaman seseoranglah yang menjadi dasar kewenangan pengadilan agama di lingkungan peradilan agama. Dengan kata lain, seorang penganut agama non Islam tidak tunduk dan tidak dapat dipaksakan tunduk kepada kekuasaan peradilan agama. Asas ini diatur dalam Pasal 2, Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga dan Pasal 49 ayat (1) UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006. Penegasan asas personalitas dapat dianalisis sebagai berikut : (Ahmad Roikan 2013 : 71)
a.       Menunjuk pada para pihak yang berperkara ataupun yang menjadi bagian dalam penyelesaian perkara harus beragama Islam, Jika salah satu pihak atau yang menjadi bagian dalam perkara tersebut tidak beragama Islam, maka perkaranya tidak dapat ditundukkan kepada kewenangan pengadilan di lingkungan peradilan agama.
b.      Menunjuk pada hukum yang melandasi hubungan hukum tersebut. Dalam hal ini haruslah hukum Islam, jika hubungan hukum yang terjadi bukan berdasarkan hukum Islam, maka perkara tersebut tidak menjadi kewenangan pengadilan agama. Asas personalitas keislaman penerapannya menjadi mutlak apabila didukung dan tidak dipisahkan dengan unsur hubungan hukum yang telah mendasarinya yaitu hukum Islam. Untuk itu diperlukan pegangan yang dapat dijadikan acuan kapan pengadilan agama berwenang dan menyelesaiakan permasalahan yang terjadi.
Kompetensi atau wewenang Pengadilan Agama adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antar orang-orang yang beragama Islam dalam bidang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Waqaf, Zakat, Infaq, Shadaqoh dan Ekonomi Syariah. Kewenangan tersebut diatur dalam ketentuan pasal 2 dan pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 bahwa Pengadilan Agama hanya berwenang mengadili perkara perdata tertentu di antara orang-orang yang beragama Islam dan dilaksanakan berdasarkan Hukum Islam. Adapun dalam proses nya harus ada yang namanya pembuktian, yang didalamnya harus terdapat saksi dan alat bukti.
Saksi dalam hukum Acara Perdata termasuk dalam hukum Pembuktian. Pembuktian itu diperlukan oleh hakim untuk mencari kebenaran fakta dan peristiwa yang dijadikan dalil gugat oleh penggugat dalam menuntut haknya. Pembuktian diperlukan apabila timbul suatu perselisihan terhadap suatu hal di muka pengadilan, di mana seseorang mengaku bahwa sesuatu hal tersebut adalah haknya sedangkan pihak lain menyangkal terhadap pengakuan yang dikemukakan oleh seseorang itu. Jadi pembuktian itu adalah untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan seseorang dalam suatu sengketa. (Abdul Manan, 2000:225)
Pembuktian bertujuan untuk mendapatkan kebenaran suatu peristiwa atau hak yang diajukan kepada hakim. Para praktisi hukum membedakan tentang kebenaran yang dicari dalam hukum perdata dan hukum pidana. Dalam hukum perdata, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran formil, sedangkan dalam hukum pidana, kebenaran yang dicari adalah kebenaran materiil. Dalam praktik Peradilan, sebenarnya seorang hakim dituntut untuk mencari kebenaran materil terhadap perkara yang sedang diperiksanya. Karena tujuan pembuktian itu adalah untuk meyakinkan hakim atau memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Kebenaran formil yang dicari oleh hakim dalam arti bahwa hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh pihak yang berperkara. (Abdul Manan, 2000:129)
Supaya saksi-saksi yang diajukan oleh para pihak dapat didengar sebagai alat bukti, maka harus memenuhi syarat-syarat formil dan materiil. (Abdul Manan, 2000 : 144)
1.      Syarat formil alat bukti saksi antara lain:
1)      Memberikan keterangan di depan sidang pengadilan
2)      Bukan orang yang dilarang untuk didengar sebagai saksi. Berdasarkan pasal 145 HIR dan pasal 172 RBg ada pihak-pihak yang dilarang untuk didengar sebagai saksi yakni keluarga sedarah atau semenda karena perkawinan menurut garis lurus dari pihak yang berperkara, istri atau suami dari salah satu pihak yang berperkara meskipun telah bercerai, anak-anak dibawah umur dan orang yang tidak waras atau gila.
3)      Bagi kelompok yang berhak mengundurkan diri, menyetakan kesediaannya untuk diperiksa sebagai saksi. Berdasarkan pasal 146a (4) HIR dan pasal 174 RBg orang yang berhak mengundurkan diri sebagai saksi yaitu saudara dan ipar dari salah satu pihak yang berperkara, keluarga istri atau suami dari kedua belah pihak sampai derajat kedua, orang-orang karena jabatannya diharuskan menyimpan rahasia jabatan.
4)      Mengangkat sumpah menurut agama yang dianutnya.
2.      Syarat materiil alat bukti saksi antara lain:
1)      Keterangan yang diberikan mengenai peristiwa yang dialami, didengar dan dilihat sendiri oleh saksi. Keterangan saksi yang tidak didasarkan atas sumber pengetahuan yang jelas pada pengalaman, pendengaran dan penglihatan sendiri tentang suatu peristiwa, dianggap tidak memenuhi syarat materiil. Keterangan saksi yang demikian dalam hukum pembuktian disebut “testimonium de auditu”. Keterangan seperti ini tidak punya kekuatan dalam hukum pembuktian.
2)      Keterangan yang diberikan itu harus mempunya sumber pengetahuan yang jelas. Ketentuan ini didasarkan pada pasal 171a (1) HIR dan pasal 308a (1) RBg. Pendapat atau persangkaan saksi yang disusun berdasarkan akal pikiran tidak bernilai sebagai alat bukti yang sah sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 171a (1) HIR dan pasal 308a (1) RBg.

C.     Kekuatan Pembuktian Saksi Nonmuslim Dalam Praktik Hukum Acara Di Lingkungan Peradilan Agama
Kekuatan pembuktian atau biasa disebut sebagai efektivitas alat bukti terhadap suatu kasus sangat bergantung dari beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut dapat berupa psiko-sosial (kode etika, kualitas sikap penegak hukum, hubungan dengan masyarakat). Salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindakan atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia. Dalam menilai suatu kekuatan pembuktian mengenai adanya keterangan saksi, hakim harus sunggu-sungguh memperhatikan beberapa hal, yaitu: 
a.       Singkronisasi antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lain;
b.      Singkronisasi antara keterangan saksi satu dengan alat bukti yang lain;
c.       Alasan yang digunakan oleh saksi dalam memberi keterangan tertentu;
d.      Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umunya dapat mempengaruhi/ tindakannya keterangan saksi dipercaya. (http://raypratama.blogspot.com/2012/02/kekuatanpembuktian. Diakses pada 14 oktober 2014)
Kekuatan pembuktian antara saksi non muslim dan saksi muslim dalam proses beracara di pengadilan agama, tidak dibedakan. Kedua duanya memiliki kekuatan pembuktian yang sama. Dan hal ini sesuai dengan pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yaitu yang berbunyi sebagai berikut : “ Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini”.

























BAB III
KESIMPULAN
A.    Simpulan
Dalam pandangan islam saksi non muslim tidak diterima secara mutlak sebagai mana para ulama madzhab berpendapat seperti imam asyafi’i, ahmad, maliki dan imam-imam madzab lainnya, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad berpendapat bahwakesaksian saksi non muslim tidak dapat diterima secara mutlak, baik agama mereka sama maupun agama mereka berbeda karena orang yang bukan Islam, bukanlah orang yang bersifat adil dan bukan dari orang yang bukan Islam, bukanlah orang bersifat adil dan bukan dari orang yang ridha kepada kaum muslim, Allah mensifatkan mereka sebagai orang yang suka dusta dan fasiq sehingga tidak dapat dijadikan saksi. Menerima kesaksian mereka berarti memaksa hakim untuk memutus dengan kesaksian yang dusta dan fasiq. Sedangkan orang Islam tidak boleh dipaksa dengan kesaksian orang yang bukan Islam, karena jika kesaksian mereka diterima berarti sama dengan memuliakan dan mengangkat derajat mereka, sedangkan Islam melarang yang demikian itu. (Ibnu Rusyd, 1989 : 685)
Pada dasarnya asas keislaman adalah asas utama yang melekat pada undang-undang peradilan agama yang mempunyai makna bahwa pihak yang tunduk dan dapat ditundukkan kepada kekuasaan di lingkungan peradilan agama hanya karena yang beragama Islam. Keislaman seseoranglah yang menjadi dasar kewenangan pengadilan agama di lingkungan peradilan agama. Dengan kata lain, seorang penganut agama non Islam tidak tunduk dan tidak dapat dipaksakan tunduk kepada kekuasaan peradilan agama.
Kekuatan pembuktian antara saksi non muslim dan saksi muslim dalam proses beracara di pengadilan agama, tidak dibedakan. Kedua duanya memiliki kekuatan pembuktian yang sama. Dan hal ini sesuai dengan pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yaitu yang berbunyi sebagai berikut : “ Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini




DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan. 2000. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cetakan pertama, Jakarta:  Yayasan Al-Hikmah

Abdul Manan. 2007. Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, cetakan pertama, Jakarta:  Kencana Prenada Media Group

Kitab Undang-undang Hukum Perdata Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

http://library.walisongo.ac.id/ Tinjauan Hukum Islam  Terhadap Kekuatan Kesaksian Testimonium De Auditu Dalam Hukum Acara Perdata. Diakses pada 1 April 2018.

http://raypratama.blogspot.com/2012/02/kekuatan-pembuktian. Diakses pada 1 April 2018.

Share:

0 komentar:

Post a Comment