Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Sunday, April 22, 2018

PERKAWINAN SIRI DALAM HUKUM PERDATA DAN AKIBAT HUKUMNYA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang terinstitusi dalam satu lembaga yang kokoh dan diakui baik secara agama maupun negara, secara normatif banyak menganjurkan manusia untuk hidup berpasang-pasangan yang bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan tentram. Berkaitan dengan status perkawinan, Al-qur’an juga menyebut dalam suarah An-Nisa 4:21, bahwa perkawinan sebagai mitsaaqan galidhan, yakni sebuah ikatan yang kokoh. Ikatan tersebut mulai diakui setelah terucapnya sebuah perjanjian yang tertuang dalam bentuk ijab dan qabul.[1]
Salah satu kerangka awal untuk mendapatkan jaminan hukum dalam sebuah perkawinan adalah dengan mencatatkannya kepada instansi yang berwenang. Hal ini tidak hanya berlakiu bagi orang yang beragama Islam saja, melainkan juga bagi mereka yang beragama Kristen, Katholik, Hindu maupun Budha.Sebagaimana tertuang dalam UU No. 22 tahun 1946 jo. UU No. 32 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (Penjelasan Pasal 1) juga dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 2, yang diperkuat dengan Inpres RI No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 dan 6.

Dalam Hukum Islam, Hukum perkawinan merupakan salah satu aspek yang paling banyak diterapkan oleh kaum muslimin di seluruh dunia dibanding dengan hukum-hukum muamalah yang lain.[2]Perkawinan adalah mitsaqan ghalidan, atau ikatan yang kokok yang dianggap sah bila telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Berdasarkan Al-qur’an dan hadis, para ulama menyimpulkan bahwa ha-hal yang termasuk rukun pernikahan adalah calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan qabul. Kewajiban akan adanya saksi ini adalah pendapat Syafi’i, Hanafi dan Hanbali. [3]Adapun syarat sahnya nikah, menurut Wahbah Zuhaili adalah antara suami Istri tidak ada hubungan nasab, sighat ijab qabul tidak dibatasi waktu, adanya persaksian, tidak ada paksaan, ada kejelasan calon suami istri, tidak sedang ihram, ada mahar, tidak ada kesepakatan untuk menyembunyikan akad nikah salah satu calon mempelai tidak sedang menderita penyakit kronis, adanya wali..[4]
Melihat kriteria rukun maupun persyaratan nikah diatas , tidak ada penyebutan tentang pencatatan. Keberadaan saksi sianggap telah memperkuat keabsahan suatu perkawinan. Pihak-pihak terkait tidak bisa mengadakan pengingkaran akan akad yang sudah terjadi. Biasa jadi ini didasarkan pada pernikahann masa Rasulullah sendiri tidak ada yang dicatatkan. Dalam kitab fikih klasikpun tidak ada pembahasan tentang pencatatan pernikahan. Muncul beberapa dugaan tentang alasan mengapa nikah siri dengan segala resioknya masih dijadikan sebagai alternatif. Dikalangan masyarakat yang awam hukum dan masyarakat ekonomi lemah, bisa dimungkinkan karena keterbatasan dana sehingga dengan rosedur yang praktis tanpa dipungut biaya, pernikahan bisa dilaksanakan. Bila dilihat dari aspek agama, ada kemungkinan karena khawatir melakukan dosa dan terjebak dalam perbuatan maksiat, maka pernikahan dengan prosedur yang cepat dan dianggap sah telah memberikan ketenangan batin tersendiri maka dalam hal ini muncul lah apa yang dinamakan dengan nikah siri.
Nikah sirri atau nikah dibawah tangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama (KBBI; 2010), Pengertian diatas berbeda ketika dikembalikan kepada arti asal nikah sirri dalam kajian ilmu fiqh. Dalam kajian fiqh terdapat perbedaan dalam mengartikannya yang intinya adalah  pernikahan yang mana suami berpesan kepada saksi agar menyembunyikan perihal pernikahannya kepada istri dan masyarakat bahkan termasuk keluarganya (Az Zuhaili: 7;71).
Dalam hukum positif tidak mengenal nikah sirri dan juga tidak mengenal nikah di bawah tangan, UUD 1945 telah menjamin kebebasan warganya dalam melaksanakan ajaran agama dan beribadat  sesuai agama dan keyakinannya (pasal 29 ayat (2)) namun kebebasan ini telah dibatasai oleh UU No.1 tahun 1974 yang mengatur perkawinan dengan untuk tujuan ketertiban administrasi kependudukan yang harus ditaati oleh seluruh warga negara Indonesia sebagaimana dalam pasal 27 UUD 1945 ayat (1) “Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wadjib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”  Nikah siri oleh sebagian masyarakat Indonesia dianggap sah karena, menurut mereka telah sesuai dengan Syariat Islam. Dalam  syariat tidaklah mungkin terjadi perbedaan pendapat karena syariat adalah ketentuan dari Allah dan Rosulnya karena itu bersifat abadi dan berlaku untuk selama lamanya (Daud Ali: 1990: 51), sementara kita tahu bahwa dalam hal syarat dan rukun  nikah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, dalam Madzhab syafi‟i saja hukum yang terkait masalah nikah terjadi perbedaaan yang beragam apalagi kalau ditarik keluar madzhab pasti akan terjadi banyak perbedaan pendapat (Syarifuddin: 2007: 22). Artinya hukum  Keabsahan nikah bukan bagian dari Syariat semata tetapi sudah menjurus kearah fiqh yang dikenal dengan Fiqh Munakahat. Dengan mengacu pada maqasidur syar,i dan dasar dasar untuk melakukan ijtihad dalam beristimbat suatu hukum.
Ketidak pastian hukum bagi anak yang lahir dari nikah sirri dan status hukum bagi wanita itu sendiri, telah menimbulkan kerusakan (mafsadat) pada banyak pihak dan pada saat yang sama ulama‟ sepakat bahwa tujuan dari syariah (al maqosid as Syar’iyah ) adalah  untuk mewujudkan kemaslahatan dan menjauhi kerusakan (Jalb al masalih wa daf’ul mafasid) . menjadi patut dipertanyakan kembali apabila ada fiqh yang merupakan produk mujtahid masa lalu yang berbeda kondsi sosial politiknya tetap menjadi pegangan saat sekarang yang ternyata berbeda dan bahakan menyalahi ketentuan syariat Islam itu sendiri.

B.     Rumusan Masalah
Menilik uraian latar belakang tersebut maka yang menjadi rincian permasalahan dalam makalah "perkawinan siri" yaitu sebagai beikut :
1.      Bagaimana pandangan hukum perkawinan siri menurut hukum islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia (Hukum Perdata) ?
2.      Apa dampak yang di timbulkan dari perkawinan siri ini terhadap wanita dan anak yang lahir dari perkawinan siri.
C.    Tujuan
1.      Memahami lebih lanjut mengenai landasan hukum perkawinan siri baik dari segi hukum islam maupun hukum positif yang berlaku diIndonesia dan dampak dari perkawinan  siri bagi wanita dan anak yang terlahir dari hasil perkawinan siri.
2.      Menambah wacana keilmuan bagi penulis khususnya dan  juga pembaca pada umumnya dalam memahami lebih mendalam perihal hukum perkawinan siri terutama dalam keilmuan keperdataan.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS
A.    Pengertian Perkawinan
Kata kawin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , berarti membentuuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri, menikah. Kata kawin cakupannya lebih umum dari pada dengan kata nikah yang berarti akad atau ikatan perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.[1]
Dalam dalam UU no 1 tahun 1974 pasal 1 dinyatakan “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang  pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan  Yang Maha Esa”
Pencantuman berdasarkan ketuhanan yang maha esa adalah karena Negara Indonesia berdasarkan kepada pancasila, yang sila pertamanya adalah ketuhanan yang maha esa. Samapai disini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsure lahir/jasmani tetapi juga memiliki unsure batin/rohani.[2]
Menurut Bachtiar (2004), Definisi perkawinan adalah pintu bagi bertemunya dua hati dalam naungan pergaulan hidup yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama, yang di dalamnya terdapat berbagai hak dan kewajibannya yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pihak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, bahagia, harmonis, serta mendapat keturunan. Perkawinan itu merupakan ikatan yang kuat yang didasari oleh perasaan cinta yang sangat mendalam dari masing-masing pihak untuk hidup bersama guna memelihara kelangsungan manusia dibumi.
Terruwe (dalam Yuwana dan Maramis, 2003) menyatakan bahwa perkawinan merupakan suatu persatuan. Persatuan itu diciptakan oleh cinta dan dukungan yang diberikan oleh seorang pria pada isterinya, dan wanita pada suaminya.
Menurut Goldberg (Yuwana dan Maramis, 2003), perkawinan merupakan suatu lembaga yang sangat popular dalam masyarakat, teteapi sekaligus juga bukan suatu lembaga yang tahan uji. Perkawinan sebagai kesatuan tetap menjanjikan suatu keakraban yang bertahan lama dan bahkan abadi serta pelestarian kebudayaan yang terpenuhi kebutuhan-kebutuhan interpersonal.
Menurut Saxton (1986), perkawinan mengatakan bahwa memiliki dua makna yaitu :
1.      Sebagai suatu institusi sosial.
suatu solusi kolektif terhadap kebutuhan sosial. Eksistensi dari perkawinan itu memberikan fungsi pokok untuk kelangsungan hidup suatu kelompok dalam hal ini adalah masyarakat.
2.      Makna individual.
Perkawinan sebagai bentuk legistimasi (pengesahan ) terhadap peran sebagai individual, tetapi yang terutama perkawinan dipandang sebagai sumber kepuasan fungsional.
Beberapa sumber lain menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan atau komitmen emosional dan legal antara seoramg pria dengan seorang wanita yang terjalin dalam waktu yang panjang dan melibatkan aspek ekonomi, sosial, tanggungjawab pasangan, kedekatan fisik, serta hubungan seksual (Regan, 2003; Olson & DeFrain, 2006; Seccombe & Warner, 2004).
Adapun menurut agama islam, pernikahan berasal dari kata “nikah”, menurut pengertian bahasa mempumyai arti sebenarnya dan mempunyai arti kiasan. Arti sebenarnya yaitu “dham” yang berarti menghimpit”, “menindih”, atau “berkumpul” sedangkan menurut arti kiasannya berarti “watha” yang berarti bersetubuh atau “akad” yang berarti “mengadakan perjanian perkawinan.
Menurut alquran, perkawinan adalah menciptakan kehidupan keluarga antara suami isteri dan anak-anak serta orangtua agar terjadi suatu kehidupan yang aman dan tenteram (sakinah), pergaulan yang saling mencintai, dan saling menyantuni.(sajuti; hal 47).
Menurut imam syafii pengertian nikah adalah suatu akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut arti majazi nikah iru artinya hubungan seksual.
Dari beberapa pengertian perkawinan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah kebolehan hukum antar seorang laki-laki dan seorang perempuan atas dasar kerelaan dan kesukaan untuk melakukan pergaulan yang semua dilarang menjadi boleh. Dewasa ini sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat pemikiran manusia, pengertian perkawinan telah memasukan unsure lainnya yang timbul adanya pernikahan tersebut.
Perkawinan juga merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus memperhatikan norma kaidah dalam bermasyarakat. Serta dengan berbagai macam alasan yang bisa dibenarkan perkawinan sering dilakukan dalam berbagai macam model seperti kawin bawa lari, kawin bawah tangan dan juga kawin kontrak sehingga muncullah kawin yang skarang paling popular dimasyarakat yakni kawin sirri. Perkawinan yang tidak dicatatkan ini adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatatan nikah (KUA).
Adapun masalah pencatatan perkawinan yang tidak dilaksanakan tidaklah menggangu keabsahan suatu perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai hukum islam. Karena sekedar menyangkut aspek administratif. Hanya saja jika suatu perkawinan tidak di catatkan, maka suami-istri tersebut tidak memiliki bukti otentik bahwa mereka telah melaksanakan suatu perkawinan yang sah. Akibatnya, dilihat dari aspek yuridis, perkawinan tersebut tidak diakui pemerintah, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum.
B.     Pengertian Perkawinan Siri
Didalam kamus bahasa arab al-munawwir kata sirri berasal dari kata assiro yang mempunyai arti rahasia. Nikah siri disebut juga nikah dibawah tangan. Niukah siri cukup dengan adanya wali dari memepelai perempuan. Ijab qabul, mahar dandua orang saksi laki-laki srta tidak perlu melibatkan petugas adari kantor urusan agama setempat. Nikah siri biasanya dilaksanakan karena kedua belah pihak belum siap meresmikan atau meramaikannya dengan resepsi. Selain itu, biasa alasannya untuk menjaga agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang dilarang agama.[3]
Pengertian Nikah Siri  adalah pernikahan yang dilaksanakan  dengan tidak memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundangan. Terdapat perbedaan pendapat tentang sah tidaknya nikah siri atau pernikahan di bawah tangan, hal ini dikarenakan adanya perbedaan penafsiran terhadap ketentuan UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam UU mengharuskan pencatatan pernikahan dan mengatur tentang sahnya pernikahan yang harus dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan.
Menurut Hukum Islam, Pengertian Nikah Siri adalah sah, asalkan telah terpenuhi syarat rukun pernikahan. Namun dari aspek peraturan UU perkawinan model ini belum lengkap dikarenakan belum dicatatkan. Pencatatan pernikahanhan yang merupakan perbuatan administratif  yang tidak berpengaruh pada sah tidaknya pernikahan.[4]
Para ulama besar seperti Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafii, tidak membolehkan nikah siri. Sehingga nikah siri menurut para ulama tersebut harus dihapuskan. Sedangkan para saksi yang dipesan oleh wali nikah untuk merahasiakan pernikahan yang mereka saksikan, para ulama berbeda pendapat Imam malik berpendapat pernikahan semacam itu termasuk nikah siri dan harus di fasakh. Sementara menurut Abu Hanifah, Imam Syafii dan Abu Hanafi dan Abu Mundzir berpendapat bahwa nikah tersebut sah-sah saja.
            Menurut Alawi, sebelum lahir undang-undang perkawinan, dimasyarakat telah ada pernikahan yang disebut dengan nikah siri. Pengertian nikah siri mengalami perkembangan dan diartikan secara lebih luas, zuhdi membagi pengertian nikah siri tiga bagian :
1.      Nikah siri diartikan sebagai nikah yang dilangsngkan menurut ketentuan syaria’t agama, bersifat intern keluarga dan belum dilakukan pencatatan oleh PPN serta belum dilakukan resepsi pernikahan, suami-isteri belum tinggal dan hidup bersama sebagai suami isteri karena isteri pada umumnya masih anak-anak.
2.      Nikah siri diartikan sebagai nikah yang telah memenuhi ketentuan syari’at islam. Dan sudah dilakukan pencatatan oleh PPN dan memperoleh akta nikah. Namun, nikahnya bersifat intern keluarga dan belum hidup bersama sebagai suami isteri karena mungkin salah satu keduanya masih menyelesaikan studinya atau belum memperoleh pekerjaan.
3.      Nikah siri diartikan sebagai nikah yang hanya dilangsungkan menurut ketentuan syari’at islam karena terbentur dengan peraturan pemerintah. Pada pernikahan ini calon suami menikahi calon istri secara diam-diam dan merahasiakan hubungan mereka sebagai suami isteri untuk menghindari hukuman disiplin oleh pejabat yang berwenang. Pada umumnya nikah ini tanpa persetujuan isteri terdahulu, atasannya, dan pejabat yang berwenang serta izin pengadilan agama dan mempunyai motif untuk menghindari dari zina.[5]
Ramulyo (1999) berpendapat bahwa nikah siri adalah suatu pernikahan yang yang dilakukan oleh orang-orang islam indonesia dengan memenuhi rukun nikah dan syariatnya, tetapi tidak di daftarkan oleh Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Dari pengertian tersebut nikah siri mempunyai kekurangan apabila dilihat dari segi hukum. Sehingga pernikahan tersebut menimbulkan masalah bagi perempuan yang menjalaninya. Berbagai masalah yang timbul akibat dari nikah siri adalah suami dengan mudah berpoligami, tidak member nafkah bulanan kepada isteri dan lain-lain.
Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.
Nikah siri dalam konteks masyarakat di Indonesia sering dimaksudkan yaitu perkawinan yang dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, tanpa mengundang orang luar selain dari kedua keluarga mempelai, kemudian tidak mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama (KUA) bagi orang muslim dan Kantor Catatan Sipil bagi nonmuslim, sehingga perkawinan mereka tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum positif di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Perkawinan yang dilakukannya tersebut selama rukun dan syaratnya terpenuhi sesuai Hukum agama maka perkawinannya adalah sah dan isteri serta hasil keturunannya berhak atas warisan jika suaminya meninggal dunia, namun perkawinannya tidak mempunyai kekuatan hukum di mata negara atau standy in judicio.

BAB III
PEMBAHASAN
A.    Pandangan nikah siri menurut hukum islam dan hukum positif khususnya UUD yang berlaku di Indonesia.
Sudah menjadi catatan sejarah bahwa dari dulu kaum perempuan selalu ditempatkan dalam posisi yang tersubordinasi. Hal ini terjadi karena berbagai mitos yang memojokan kaum perempuan selalu di pertahankan, hingga menjadi semacam dogma yang mengakar pada masyarakat setempat. Salah satu mitos tersebut adalah cerita tentang penciptaan perempuan dan kewwluarnya adam dari surgake bumi. Hawa diciptakan dari tulang rusuk adam, oleh karena itu fungsi diciptakannya adalah untuk melengkapi hasrat adam, dan Hawalah penyebab jatuhnya Adam dari surge ke bumi. Perempuan dianggap sebagai sumber godaan syetan, penyebab terjadinya tindakan pelecehan seksual, berbahaya dan membutuhkan control dari laki-laki.[1] Mitos-mitos tersebut akan semakin kuat bila factor agama turut berperan didalamnya, hingga eksistensi mitos sendiri akan terhapus dan justru terlegistimasi dengan unsur teologis.
Tidak hanya bagi kaum laki-laki, perempuan sendiri merasa yakin dengan menempatkan diri pada posisi itu, dan beranggapan bahwa hal tersebut datangnya dari Tuhan. Sehingga batas-batas antara laki-laki dan perempuan semakin jelas baik dalam pandangan kosmos maupun secara struktur social. Konidisi semacaam ini dalam perkembangannya semakin dikuatkan oleh penafsiran-penafsiran yang keliru terhadap perempuan.
       Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang terintitusi dalam satu lembaga yang kokoh dan di akui baik secara agama maupun secara hukum. Alquran, secara normative banyak menganjurkan manusia untuk hidup berpasang-pasangan yang bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan tentram. Berkaitan dengan status perkawinan. Alquran juga menyebut dalam surah Annisa 4:21, bahwa perkawinan sebuah ikatan yang kokoh. Ikatan tersebut mulai diakui setelah terucapnya sebuah perjanjian yang tertuang dalam bentuk ijab dan qabul.[2]
Dalam KUHPerdata, pengertian perkawinan tidak dengan tegas diatur ketentuannya seperti pasal 26 yang memandang perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata dan pasal 27 bahwa perkawinan menganut prinsip monogamy. Pasal 103 menyatakan bahwa suami dan istri harus saling setia, tolong menolong, dan bantu membantu. Meskipun tidak dijumpai sebuah definisi tentang perkawinan, menurut ilmu hukum perkawinan sebagai ikatan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui sah oleh perundang-undangan Negara dan bertujuan untuk membentuk dan membina kehidupan keluarga yang kekal dan abadi.[3]
Berdasarkan rumusan tersebut, unsure perkawinan antara lain sebagai berikut.
  1. Suatu perkawinan agar menjadi sah, harus dilangsungkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  2. Perkawinan menurut KUHPerdata berasaskan asas Monogami (pasal 27 KUHPerdata), sehingga bigamy, dan poligami dianggap bertentangan dengan KUHPerdata.
  3. Perkawinan asasnya harus berlangsung kekal dan abadi.
Secara umum, prinsip perkawinan menurut KUHPerdata adalah sebagai berikut.
  1. Perkawinan adalah sah apabila dipenuhi syarat-syarat hukum dari perkawinan yang ditetapkan oleh undang-undang (pasal 26 KUHPerdata)
  2. KUHPerdata tidak memandang faktor hukum agama sebagai syarat sahnya perkawinan (Pasal 81 KUHPerdata).
Perkembangan zaman saat ini menuntut suatu penyelesaian yang tegas secara hukum dari berbagai problematika pernikahan. Oleh karenanya, keberadaan dua orang saksi dianggap belum cukup karena mobilitas manusia yang semakin tinggi dan menurut adanya bukti autentik. Meskipun secara hukum islam tidak termasuk dalam syarat dan rukun nikah, pencatatan pernikahan merupkan bagian dari yang wajib guna menghindari kesulitan di masa yang akan datang. Dalam Bab II pasal 2 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebut dengaan pencatatan perkawinan dengan berbagai tatacaranya., yaitu “ (1) Perkawina adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, dan ayat (2) tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perrundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut dijelaskan dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) pasal 5 (1) yang menyebutkan “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat.” Begitu juga dalam pasal 6(2) ditegaskan bahwa “perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum”.
            Dalam kenyataannya, praktek perkawinan yang terjadi di lingkungan masyarakat tidak sepenuhnya mengacu pada Undang-undang. Beberapa proses perkawinan mengacu kepada lembaga masing-masing. Fakta ini harus diakui karena pengakuan negara terjhadap pluralism hukum tidak bisa diabaikan. Konsekuensinya pilihan hukum dalam bidang keluarga cenderung diserahkan sebagai kewenangan pribadi. Sebgai contoh, kasus nikah siri adalah pilihan hukum yang didasarkan kepada konteks agama yang penekanan esensinya tidak sekedar hubungan hukum saja, tetapi lebih kepada factor konsekuensi pengamalan ibadah kepada alloh.
Kata ”siri” menurut Aberan, khususnya dalam asas-asas perkawinan dari segi etimologi yang berasal dari bahasa Arab sirra, israr yang secara harfiah mengandung arti rahasia.[4]
Nikah siri dalam konteks masyarakat di Indonesia sering dimaksudkan yaitu perkawinan yang dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, tanpa mengundang orang luar selain dari kedua keluarga mempelai, kemudian tidak mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama (KUA) bagi orang muslim dan Kantor Catatan Sipil bagi nonmuslim, sehingga perkawinan mereka tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum positif di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Perkawinan yang dilakukannya tersebut selama rukun dan syaratnya terpenuhi sesuai Hukum agama maka perkawinannya adalah sah dan isteri serta hasil keturunannya berhak atas warisan jika suaminya meninggal dunia, namun perkawinannya tidak mempunyai kekuatan hukum di mata negara atau standy in judicio.
Menurut Dadang Hawari, riwayat pernikahan siri zaman dahulu berbeda dengan zaman sekarang, dahulu belum ada negara dan belum ada administrasi yang mengaturnya. Namun kini, segala urusan termasuk pernikahan sudah diatur dan harus tercatat secara resmi. Di samping itu, bukan hanya untuk kepentingan negara melainkan juga demi menjaga kehormatan wanita.
Dalam Pasal 3 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan, bahwa seorang pria hanya boleh memiliki satu istri dan demikian sebaliknya. Kalaupun pria tersebut hendak menikah lagi untuk yang kesekian kalinya, dalam Pasal 4 diatur, bahwa ada syarat bagi si pria untuk melakukannya, syarat tersebut antara lain harus mendapatkan izin pengadilan setempat, kemudian si istri tidak dapat melahirkan keturunan, tidak bisa melakukan kewajiban sebagai seorang istri, serta memiliki cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Kalaupun kemudian semua syarat itu terpenuhi, dalam Pasal 5 juga diatur bahwa pernikahan tersebut juga harus mendapat izin sang istri. Selain itu, ada kepastian bahwa suami mampu menjamin kebutuhan istri dan anak mereka, serta suami bisa berlaku adil kepada istri dan anak-anak mereka. Persyaratan inilah yang harus dipenuhi oleh pria-pria yang akan menikah lagi. Namun karena dirasa sulit dan merepotkan, banyak pria yang demi untuk menikah lagi, pada akhirnya membuat keterangan palsu atau menikah kucing-kucingan. Inilah yang menurut Dadang Hawari menjadi alasan haramnya nikah siri.
Kebanyakan orang meyakini bahwa pernikahan siri dipandang sah menurut islam apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, meskipun pernikahan tersebut tidak di catatkan resmi. Begitu pula sebaliknya, suatu perceraian di pandang sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya, meskipun perceraian itu dilakukan di luar siding pengadilan. Akibat kenyataan tersebut, maka timbul semacam dualism hukum yang berlaku di Negara Indonesia, yaitu dari satu sisi pernikahan harus dicatatkan di kantor urusan agama (KUA), namun di sisi lain tanpa dicatatkan pun ternyata tetap sah apabila memenuhi ketentuan syariat agama.
Adapun syarat perkawinan menurut UU No.1 tahun 1974 adalah sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 s.d 12 adalah sebagai berikut
  1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai.
  2. Adanya izin kedua orang tua (wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun 0p.
  3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita mencapai 16 tahun.
  4. Antara calon mempelai pria dan wanita tidak ada hubungan darah.
  5. Tidak ada dalam ikatan perkawinan.
  6. Tidak melarang ketiga kalinya untuk menikah.
  7. Tidak dalam masa iddah bagi calon mempelai wanita.
Adapun menurut agama islam rukun sahnya perkawinan yaitu :
Rukun nikah :
1.      Pengantin lelaki (suami).
2.      Pengantin perempuan (isteri).
3.      Wali.
4.      Dua orang saksi lelaki.
5.      Ijab dan qabul.

Menurut ketentuan perundang-undangan perkawinan yang sah adalah :
a.       Sahnya perkawinan menurut perundangan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama calon suami/istri .
b.      Dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan dikatakan perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan ini berguna untuk mendapatkan akta nikah yang nantinya digunakan sebagai pembuktian dan sebagai dasar hukum yang kuat untuk perbuatan hukum di masa yang akan datang, seperti kelahiran, pewarisan, dll.
Perkawinan harus dicatat oleh pegawai pencatat nikah (PPN) dalam perundang-undangan disebutkan :
1)      Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU no 1 tahun 1974, pasal 2 ayat (2)).
2)      Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah (PPN)(KHI Pasal 5).
3)      Pegawai pencatat nikah atau PPN adalah pejabat yang melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat dan bimbingan perkawinan.
4)      PPN dijabat oleh kepala KUA dan dalam melaksanakan tugasnya dapat diwakili oleh penghulu atau pembantu PPN (PMA 11 tahun 2007 Pasal 2 dan 3)
5)      Pelaksanaan wali hakim adalah kepala KUA (Pasal 1, PMA no.30 tahun 2005 jo PMA 11 tahun 2007 pasal 18 ayat 4).
Tentang pencatatan perkawinan, dijelaskan pada bab II Pasal 2 PP No.9 Tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan, bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatakan perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain islam, cukup melakukan di kantor catatan sipil.
Dalam BAB IV PERKAWINAN pada pasal 12 dinyatakan bahwa :
Akte perkawinan memuat :
  1. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/ kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami isteri; apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu.
  2. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka.
  3. Izin yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) undang-undang.
  4. Dispensasi sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) udang-undang.
  5. Izin pengadilan sebagaimana di sebutkan dalam dalam pasal 4 undang=undang.
  6. Perjanjian sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) undang-undang.
  7. Izin dari pejabat yang ditunjuk oleh menteri HANKAMPANGAB bagi anggota angkatan bersenjata,
  8. Perjanjian perkawinan bila ada.
  9. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para saksi dan wali nikah bagi yang beragama islam.

Menurut ketentuan pasal 100 BW suatu perkawinan pada asasnya hanya dapat dibuktikan dengan akte perkawinan yang dibuat oleh pejabat catatn sipil. Alat-alat bukti lainnya tidak dapat digunakan sebagai bukti suatu perkawinan.
            Apabila akte perkawinan itu dapat diperlihatkan, maka akte tersebut merupakan satu-satunya bukti dan merupakan bukti yang sempurna (volledig bewijs). Dengan memperlihatkan akte perkawinan tersebut maka tidak boleh dimintakan bukti lain lagi sebagai tambahan. Selain itu, orangpun tidak dapat mengajukan bukti sebalinya terhadap akte perkawinan tersebut. Dengan bukti yang sempurna itu, akte perkawinan kekuatannya tidak bisa dilemahkan dan tanpa itu, orang hanya dapat menuduh bahwa akte perkawinan itu palsu. Sebaliknya, jika mereka menyangkal akan keabsahan akte tersebut, maka harus dibuktikan adanya kepalsuan itu. Oleh karena ada hal-hal yang dapat menyebabkan akte perkawinan tidak mungkin diperlihatkan, maka undang-undang mengadakan beberapa perkecualian atas ketentuan pokok dalam pasal 100 BW itu.
Beberapa hal yang melatarbelakani terjadinya perkawinan siri adalah :
1.      Zina Akibat Ber-Khalwat
Tidak semua orang memiliki kesiapan mental untuk menikah, apalagi disebabkan oleh factor hubungan seksual di luar nikah (Zina) akibat pacaran (Khalwat) yang berkepanjangan. Rasa penyesalan atas dosa yang telah dilakukan serta tuntutan tanggung jawab untuk melanjutkan hubungan kasih saying, terkadang memaksa seseorang untuk keluar dari kenyataan, meskipun dengan cara yang terkadang tidak lazim, seperti melakukan pernikahan siri. Bagi seorang laki-laki pernikahan dapat dijadikan sebagai  jalan untuk membuktikan adanya kasih sayang dan tuntutan rasa tanggung jawab dari seorang wanita yang baru dikenalnya. Bahkan dengan janji-janji manis untuk menikah tersebut, tidak sedikit wanita yang tergoda begitu saja untuk menyerahkan dirinya kepada seorang laki-laki.
Kenyataan menunjukan, bahwa nikah siri sering dijadikan media bagi sepasang kekasih yang ber-khalwat untuk melegalkan perikatan. Khalwat (pacaran) adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih berlainan jenis yang bukan muhrim tanpa ikatan perkawinan. Karena itu menurut pandangan syariat, pacaran (khalwat) hukumnya diharamkan. Adapun yang menjadi dasar hukum bahwa khalwat hukumnya haram adalah QS. Al Isra : 32 yang artinya: “dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji (fahisyah) dan suatu jalan yang buruk”.
2.      Nikah Untuk Bercerai
Biasanya orang yang mempunyai niat menikah tetapi hanya un tuk sementara waktu  (bercerai), ada kecenderungan akan mengambil jalan nikah siri. Trend nikah siri dijadikan sebagai pilihan, karena dinilai selain lebih mudah, dari segi prosedur juga dapat membebaskan para pelakunya dari beban hukum. Akibatnya, mempelai wanita yang seharusnya mendapatkan perlindungan hukum terkait dengan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam rumah tangga justru menjadi tdak menentu nasibnya. Suatu pernikahan yang sejak awalnya di niatkan dengan baik bisa saja gagal ditengah jalan, apalagi pernikahan karena alasan dan tujuan tertentu, misalnya hanya sekadar menghalalkan nafsu birahi yang muncul sesaat. Apabila nafsu birahi sudah hilang, maka dengan seenaknya para pelaku nikah siri keluar dari komitmen mereka. Suami dengan seenaknya meninggalkan istri-anaknya dan menikah dengan wanita lain. Begitu pula sebaliknya, istri dengan seenaknya menelantarkan suami dan lari ke pelukan laki-laki lain. Tidak ada kekuatan hukum Negara yang dapat menghukum mereka, kecuali sebelunya terdaftar secara resmi.
3.      Poligami
Jika dikaitkan, poligami dapat mempunyai hubungan yang erat dengan nikah siri, terutama ketika makna nikah siri dipahami sebagai pernikahan yang sembunyi-sembunyi ( tanpa sepengetahuan pemerintah melalui pegawai pencatat nikah ). Dikatakan berpoligami ( ta’addud zaujat ), apabila seorang laki-laki menikah lebih dari satu oaring istri pada waktu yang bersamaan.
Pengadilan dapat member izin kepada suami untuk beristri lebih dari satu orang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Izin dari peradilan agama dapat diberikan kepada seorang suami yang akan berpoligami apabila berlaku ketentuan:
a.       Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri
b.      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c.       Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Namun untuk dapat berpoligami syarat lain yang harus dipenuhi adalah:
a.       Adanya persetujuan dari pihak istri, ( baik secara lisan maupun tertulis )
b.      Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c.       Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Berlakunya peraturan poligami yang mengharuskan adanya persetujuan dari pihak istri yang mendapatkan pengesahan dari pengadilan agama, ternyata menyebabkan seseorang yang mempunyai niat untuk poligami berusaha mengambil jalan pintas dengan melangsungkan pernikahan secara siri. Melalui pernikahan ini, mereka yakin akan mendapatkan kemudahan, disamping dapat menghindari dari beban hukum yang mungkin diterimanya.
B.     Dampak yang ditimbulkan dari perkawinan siri terhadap anak dan wanita.
Pernikahan adalah suatu proses hukum, sehingga hal-hal atau tindakan yang muncukl akibat pernikahan adalah tindakan hukum yang mendapat perlindungan secara hukum. Bila perkawinan tidak dicatatkan secara hukum, maka hal-hal yang berhubungan dengan akibat dari pernikahan tidak bisa diselesaikan secara hukum. Sebagai contoh, hak isteri untuk mendapatkan nafkah lahir dan batin, akte kelahiran anak tidak bisa diurus, hak pengasuhan anak, hak pendidikan anak, hak waris isteri, hak perwalian bagi anak perempuan yang akan menikah dan masih banyak problem-problem lain.
sebetulnya, alasan perkawinan perlu dicatatkan ke KUA, adalah guna mengatur dan melindungi peran maupun hak warga negara terutama untuk perempuan dan anak. Maka jika pernikahan tidak dicatatkan perlindungan terhadap perempuan dan anak tidak mendapat payung hukum karena pernikahan dilakukan diluar pengawasan pegawai KUA. Perempuan tidak bisa menuntut haknya sebagai istri secara hukum jika terjadi permasalahan. Sementara, laki-laki bisa lepas dan meninggalkan istri begitu saja. Laki-laki juga bisa menceraikan istri dengan mudah baik dengan kesepakatan istri maupun sepihak. Dan, yang menjadi korban tidak hanya perempuan namun juga anak-anak hasil pernikahan siri, jika yang mengasuh anak dilimpakan pada pihak perempuan tentunya menambah beban tersendiri untuk perempuan. Selain itu, pernikahan siri juga memberi peluang untuk melakukan poligami, tidak menjadi masalah jika dilakukan sesuai UU perkawinan. Namun, jika tidak tentunya menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Dan, jika seorang melakukan pernikahan siri hendaknya ia harus tunduk pada syariat agama dan kepercayaanya berikut sanksinya. Laki-laki harus tetap bertanggung jawab pada pemenuhan kehidupan anak-anaknya, sehingga tidak terlantar begitu saja, karena bagaimanapun ikatan antara anak dan orang tua tidak putus hanya karena perceraian. Maka dari itu, perlu adanya undang-undang yang tegas mengatur tentang pernikahan siri berikut dengan sanksinya untuk menghindarkan tujuan-tujuan yang salah kaprah.
Sesuai dengan Pasal 43 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatakan bahwa :
  1. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
  2. Kedudukan anak tersebut (1) selanjutnya akan diatur dalam PP.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, yang dimaksud dengan hubungan hukum anak sah dan anak tidak sah terhadap orang tuanya adalah : “Hubungan hukum itu ialah hubungan yang ditur oleh hukum, yang mempunyai 2 (dua) segi yakni: pada satu segi ia merupakan hak dan pada segi pihak lain merupakan kewajiban.[5]
Anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan (anak sah), mempunyai hubungan hukum atau hubungan keperdataan terhadap ayah dan ibunya. Anak luar nikah (anak tidak sah) tidak mempunyai hubungan hukum atau hubungan keperdataan dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan hukum atau keperdataan dengan ibunya yang melahirkan, akan tetapi menurut undang-undang aneh sekali, agar ada hubungan keperdataan antara anak yang dilahirkan di luar perkawinan dan ibunya, maka ibu harus mengakui anaknya.
Sementara terhadap anak, tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni:
Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 UU Perkawinan, pasal 100 KHI). Di dalam akte kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.
Ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. 
Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya
Kedudukan Anak Setelah Adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010. Sebagaimana pada penjelasan sebelumnya, bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat (1). Namun, Pasal ini dimaknai berbeda setelah adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 yang dikeluarkan pada tanggal 17 Februari 2012, yang pada pokoknya sebagai berikut:
1.      Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;
2.      Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;
Putusan diatas, didasarkan pada pertimbangan bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan”. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak. Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.
Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak. Berdasarkan uraian di atas, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”, dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

BAB IV
KESIMPULAN
A.    Simpulan
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang terintitusi dalam satu lembaga yang kokoh dan di akui baik secara agama maupun secara hukum. Alquran, secara normative banyak menganjurkan manusia untuk hidup berpasang-pasangan yang bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan tentram. Berkaitan dengan status perkawinan. Alquran juga menyebut dalam surah Annisa 4:21, bahwa perkawinan sebuah ikatan yang kokoh. Ikatan tersebut mulai diakui setelah terucapnya sebuah perjanjian yang tertuang dalam bentuk ijab dan qabul.
Dalam KUHPerdata, pengertian perkawinan tidak dengan tegas diatur ketentuannya seperti pasal 26 yang memandang perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata dan pasal 27 bahwa perkawinan menganut prinsip monogamy. Pasal 103 menyatakan bahwa suami dan istri harus saling setia, tolong menolong, dan bantu membantu. Meskipun tidak dijumpai sebuah definisi tentang perkawinan, menurut ilmu hukum perkawinan sebagai ikatan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui sah oleh perundang-undangan Negara dan bertujuan untuk membentuk dan membina kehidupan keluarga yang kekal dan abadi
Nikah siri dalam konteks masyarakat di Indonesia sering dimaksudkan yaitu perkawinan yang dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, tanpa mengundang orang luar selain dari kedua keluarga mempelai, kemudian tidak mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama (KUA) bagi orang muslim dan Kantor Catatan Sipil bagi nonmuslim, sehingga perkawinan mereka tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum positif di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Menurut ketentuan perundang-undangan perkawinan yang sah adalah :
1.      Sahnya perkawinan menurut perundangan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama calon suami/istri .
2.      Dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan dikatakan perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan ini berguna untuk mendapatkan akta nikah yang nantinya digunakan sebagai pembuktian dan sebagai dasar hukum yang kuat untuk perbuatan hukum di masa yang akan datang, seperti kelahiran, pewarisan, dll.
Sebetulnya, alasan perkawinan perlu dicatatkan ke KUA, adalah guna mengatur dan melindungi peran maupun hak warga negara terutama untuk perempuan dan anak. Maka jika pernikahan tidak dicatatkan perlindungan terhadap perempuan dan anak tidak mendapat payung hukum karena pernikahan dilakukan diluar pengawasan pegawai KUA. Perempuan tidak bisa menuntut haknya sebagai istri secara hukum jika terjadi permasalahan. Sementara, laki-laki bisa lepas dan meninggalkan istri begitu saja. Laki-laki juga bisa menceraikan istri dengan mudah baik dengan kesepakatan istri maupun sepihak
Sementara terhadap anak, tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni:
Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 UU Perkawinan, pasal 100 KHI).

Daftar Pustaka

ABD. Shomad, 2010. Hukum Islam (PenormaanPrinsipSyariahdalamHukum Indonesia).
Aberan,2004. Asas-asas Perkawinan Menurut Islam,  Dalam Jurnal Kanun No.38 Tahun XIV April 2004. Banda Aceh: FH. Universitas Kuala.
Beni Ahmad Saebani, 2011. Hukum Perdata Islam di Indonesia  . Bandung : Pustaka setia bandung.
J.N.D Anderson,1994 Hukum Islam di Dunia Modern . Yogyakarta: Tiara Wacana.
Lukman A. Irfan , 2007, Nikah . Pustaka Insani Madani:  Yogyakarta 2007.
Jakarta: mediagrup.
Mahmud Yunus, 1996. Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hanbali. Jakarta: Hidakarya Agung.
Martiman Projohamidjojo, 1991. Tanya Jawab UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan, Jakarta: Pradnya Paramita
Muhammad Idris Ramulyo, 1995. Asas-asas Hukum Islam. Sinar Grafika: Jakarta.
Neng Yani Nurhayani, 2015. Hukum Perdata . Bandung :Pustaka setia.
Nikki R Keddi, 1991. Women in Middle Eastern History, Shifting Boundaries in Sex and Gender New Heaven: Yale University Press.
R.Soetojo Prawirohamidjojo, 1991. Hukum Orang dan keluarga (Personen en familie recht) Surabaya : airlangga university press .
Shomad, 2010.  Hukum Islam (penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia) Jakarta: kencana.
Soedharya Soimin,2004. Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat edisin revisi .Sinar Grafika: Jakarta.
Syukri Fathudin AW dan Vita Fitria, 2008.Problematika Nikah Siri dan Akibat Hukummnya Bagi Perempuan, Penelitian
Wahbah Zuhaili, 1989. All-Fiqh al-Islam wa adillatuhu .Beirut: Dar-al-Fikr.
WJS Poerwadarminta, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka:Jakarta






[1] Nikki R Keddi, Women in Middle Eastern History, Shifting Boundaries in Sex and Gender (New Heaven: Yale University Press, 1991). Hal. 13
[2] Syukri Fathudin AW dan Vita Fitria, Problematika Nikah Siri dan Akibat Hukumnya Bagi Perempuan (Peneltian 2008). Hal 1.
[3] Soedharya Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat edisin revisi ,  Sinar Grafika ,Jakarta 2004 hal. 6
[4] Aberan, Asas-asas Perkawinan Menurut Islam,  Dalam Jurnal Kanun No.38 Tahun XIV April 2004, (Banda Aceh: FH. Universitas Kuala, 2004), hlm. 215.
[5] Martiman Projohamidjojo, Tanya Jawab UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan, Pradnya Paramita, Jakarta, 1991) hlm. 37





[1] WJS Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, Jakarta 2008)
[2] Amiur, Hukum, 43; Muhammad Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam, (Sinar Grafika, Jakarta, 1995)
[3] Lukman A. Irfan , Nikah ,(Pustaka Insani Madani, Yogyakarta 2007). Hal 84
[4]ABD. Shomad, Hukum Islam (PenormaanPrinsipSyariahdalamHukum Indonesia),(jakarta:mediagrup 2010)hlm.28
[5] Shomad, Hukum Islam (penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia) Jakarta, kencana 2010 hal 309.




[1]Syukri Fathudin AW dan Vita Fitria, Problematika Nikah Siri dan Akibat Hukummnya Bgai Perempuan, (Penelitian, 2008), hlm.1.
[2]J.N.D Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm.46.
[3]Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hanbali (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), hlm.18.
[4]Wahbah Zuhaili, All-Fiqh al-Islam wa adillatuhu (Beirut, Dar-al-Fikr, 1989), hlm 62.

Share:

0 komentar:

Post a Comment