Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Tuesday, April 24, 2018

PELANGGARAN HAK DALAM HUKUM PIDANA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang masalah
Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan kepada suatu kebutuhan yang mendesak, kebutuhan pemuas diri dan bahkan kadang-kadang karena keinginan atau desakan untuk mempertahankan status diri. Secara umum kebutuhan setiap manusia itu akan dapat dipenuhi, walaupun tidak seluruhnya, dalam keadaan yang tidak memerlukan desakan dari dalam atau orang lain. Terhadap kebutuhan yang mendesak pemenuhanya dan harus dipenuhi dengan segera biasanya sering dilaksanakan tanpa pemikiran matang yang dapat merugikan lingkungan atau manusia lain.
Hal seperti itu akan menimbulkan suatu akibat negatif yang tidak seimbang dengan suasana dari kehidupan yang bernilai baik. Untuk mengembalikan kepada suasana dan kehidupan yang bernilai baik itu di perlukan suatu pertanggung jawaban dari pelaku yang berbuat sampai ada ketidak seimbangan. Dan pertanggung jawaban yang wajib dilaksanakan oleh pelakunya berupa pelimpahan ketidak enakan masyarakat supaya dapat dirasakan juga penderitaan atau kerugian yang dialami.

Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari persinggungan atau interaksi antar sesama. Karena bagaimanapun manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya. Sudah merupakan sifat dasar manusia untuk bertidak egois. Sehingga apabila sifat tersebut terus menerus dibiarkan, maka yang terjadi adalah ketidak beraturan yang menyebabkan kehancuran. Oleh karenanya manusia membutuhkan aturan-aturan yang mengatur hak dan kewajiban satu antar lainnya. Demi mewujudkan kehidupan yang aman dan sejahterah. Sesuai dengan saran tujuan KUHP nasional
“Untuk mencegah penghambatan atau penghalang-halangan datangnya masyarakat yang dicita-citakan oleh bangsa indonesia, yaitu dengan jalan penentuan perbuatan-perbuatan manakah yang pantang dan tidak boleh dilakukan, serta pidana apakah yang diancamkan kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu..”
Hukum adalah sebuah aturan mendasar dalam kehidupan masyarakat yang dengan hukum itulah terciptanya kedamaian ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Terciptanya keharmonisan dalam tatanan masyarakat sosial juga tidak terlepas dengan adanya hukum yang mengatur. Dalam hukum dikenal dengan istilah perbuatan pidana.
Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang merugikan masyarakat. Sehingga sudah selayaknya kita tidak melakukan hal tersebut.Bila kita ingin menjauhi sesuatu, maka kita harus mengetahui dulu apakah itu. Sehingga dikemudian hari kita tidak salah dalam memilih sebuah perbuatan. Maka dirasa penting bagi kami untuk mengankat judul “Pengertian, Unsur-Unsur dan norma-norma  Perbuatan Pidana”.
Perbuatan pidana adalah suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana.
 Perbuatan pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga perbuatan pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.
Adakalanya istilah dalam pengertian hukum telah menjadi istilah dalam kehidupan masyarakat, atau sebaliknya istilah dalam kehidupan masyarakat yang dipergunakan sehari-hari dapat menjadi istilah dalam pengertian hukum, misalnya istilah percobaan, sengaja, dan lain sebagainya. Sebelum menjelaskan arti pentingnya istilah perbuatan pidana sebagai pengertian hukum, terlebih dahulu dibentangkan tentang pemakaian istilah perbuatan pidana yang beraneka ragam.Untuk mengetahui perbuatan-perbuatan pidana lebih lanjut, kita akan membahasnya di dalam makalah ini.
                Oleh karna itu dalam penulisan makalah ini kami akan menjelaskan mengenai penyalahgunaan hak dalam hukum pidana, meliputi definisi penyalahgunaan/ pelanggaran hukum pidana dan beberapa kasus beserta bagaimana cara penyelesaian dan juga sanksinya.

B.     Rumusan Masalah
1)      Apa yang dimaksud dengan perbuatan pidana ?
2)      Bagaimana cara merumuskan perbuatan penyalahgunaan tindak pidana?
3)      Apa yang dimaksud dengan sanksi perbuatan pidana?
C.    Tujuan
1)      Untuk mengetahui lebih lanjut perbuatan tindak pidana
2)      Untuk lebih mengetahui bagaimana cara perumusan penyalahgunaan tindak pidana
3)      Untuk lebih memahami tentang sanksi perbuatan tindak pidana



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hukum
Hukum adalah seluruh norma sosial yang telah diformalkan oleh intitusi-intitusi kekuasaan negara. Dengan demikian menurut Soetandyo Wignjosoebrototak salah kiranya apabila dikatakan bahwa hukum dalam modelnya sebagai undang-undang adalah invasi negara bangsa yang terjadi di kawasan negri-negri eropa barat dalam kurun sejarah yang mengabarkan pula bangkitnya kesadaran berbangsa penduduk negri diwilayah itu, yang kemudian dari pada itu mengakhiri sejarah eropa sebagai sejarah raja-raja. Itulah kurun waktu yang mengatakan betapa “ the making of europa is the making of kings and queens no more, but the making of nations”. Seiring  dengan pertumbuhan konsep negara-negara bangsa yang secara cepat atau lambat mengakhiri negara-negara kerajaan, telah berkonsekuensi pada kebutuhan akan suatu perangkat hukum baru, ialah hukum nasional. Mengenai perjalanan hukum dari hukum-hukum kerajaan ke hukum nasional soetandyo mengilustrasikan sebagai berikut: “ apabila hukum raja-raja dipandang sebagai hukum kaum elit-otokrat yang berbasis pada titah-titah sepihak para penguasa, hukum nasioanal di benarkan sebagai huku, yang lahir dari paradigm baru, bahwa suara rakyat (yang disatukan secara rasional lewat kesepakatan) adalah suara tuhan’. Vox populi vox dei. Hasil kesepakatan rakyat inilah, secara langsung atau melalui wakil-wakilnya yang kelak diinstutisionalkan lewat lembaga legislatf atau referendum, akan di positifkan sebagai hukum yang akan menjamin kepastian secara adil dan benar”.
Menurut atjipto raharjo

B.     Cara Merumuskan Perbuatan Pidana
Didalam KUHP, juga didalam Perundang-undangan pidana yang lain. Tindak pidana dirumuskan didalam  pasal-pasal. Perlu diperhatikan bahwa di bidang hukum pidanakepastian hukum atau lex certa merupakan hal yang esensial, dan ini telah ditandai oleh asas legalitas pada pasal 1 ayat 1 KUHP. Untuk benar-benar yang apa yang diamaksudkan didalam pasal-pasl itu masih diperlukan penafsiran.
Dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana di Negara-negara civil law lainnya, tindak pidana umumnya di rumuskan dalam kodifikasi. Namun demikian, tidak terdapat ketentuan dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya, yang merinci lebih lanjut mengenai cara bagaimana merumuskan suatu tindak pidana. Dalam buku  II dan III KUHP Indonesia  terdapat berbagai cara atau teknik perumusan perbuatan pidana (delik), yang menguraikan perbuatan melawan hukum yang dilarang atau yang diperintahkan untuk dilakukan, dan kepada barangsiapa yang melanggarnya atau  tidak menaatinya diancam dengan pidana maksimum. Selain unsur-unsur perbuatan yang dilarang dan yang diperintahkan untuk dilakukan dicantumkan juga sikap batin yang harus dipunyai oleh pembentuk delik agar ia dapat dipidana.
Teknik yang paling lazim digunakan untuk merumuskan delik menurut jonkers (terjemahan Bina Aksara 1987 : 136-137) ialah dengan menerangkan atau menguraikannya, misalnya rumusan delik menurt pasal 279, 281, 286, 242 KUHP. Cara yang kedua ialah pasal undang-undang tertentu menguraikan unsur-unsur perbuatan pidana, lalu ditambahkan pula kualifikasi atau sifat dan gelar delik itu, misalnya pemalsusan tulisan (pasal 263 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP), penggelapan (pasal 372 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP). Cara yang ketiga ialah pasal undang-undang tertentu hanay menyebut kualifiasi (sifat, gelar) tanpa uraian unsur-unsur perbuatan lebih lanjut. Uraian unsur-unsur delik diserahkan kepada yurisprudensi dan doktrin. Misalnya, perdagangan perempuan dan perdagangan laki-laki yang belum cukup umur (minderjarige), pengania (pasal 351 KUHP). Kedua pasal tersebut tidak menjelaskan arti perbuatan tersebut, menurut teori dan yurisprudensi, penganiayaan diartikan sebagai “ menimbulkan mestapa atau derita atau rasa sakit pada orang lain.
Dalam KUHP terdapat 3 dasar pembedaan cara dalam merumuskan tindak pidana :
1)      Dari Sudut Cara Pencantuman Unsur-Unsur Dan Kualifikasi Tindak Pidana
Dari sudut ini, maka dapat dilihat bahwa setidak-tidaknya ada 3 cara perumusan, ialah:
a)      Mencantumkan Unsur Pokok, Kualifikasi dan Ancaram Pidana
Cara pertama ini adalah merupakan cara yang paling sempurna. Cara ini diguanakan terutama dalam hal merumuskan tindak pidana dalam bentuk pokok/standard, dengan mencantumkan unsur-unsur objektif maupun unsur subyektif, misalnya pasal: 338 (pembunuhan), 362 (pencurian), 368 (pemerasan), 372 (penggelapan), 378 (penipuan), 406 (perusakan). Dalam hal tindak pidana yang tidak masuk dalam kelompok bentuk standard diatas, juga ada tindak pidana lainnya yang dirumuskan secara sempurna demikian dengan kualifikasi tertentu, misalnya 108 (pemberontakan).
Dimaksudkan unsur pokok atau unsur esensiel adalah berupa unsur yang membentuk pengertian yuridis dari tindak pidana tertentu. Unsur-unsur ini dapat dirinci secara jelas, dan untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan tindak pidana tersebut dan menjatuhkan pidana, maka semua unsur itu harus dibuktikan dalam persidangan.
b)      Mencantumkan Semua Unsur Pokok Tanpa Kualitatif Dan Mencantumkan Ancaman Pidana
Cara inilah yang paling banyak digunakan dalam merumuskan tindak pidana dalam KUHP. Tindak pidana yang menyebutkan unsur-unsur pokok tanpa menyebut kualitatif, dalam praktek kadang-kadang terhadap suatu rumusan diberi kualifikasi tertentu, misalnya terhadap tindak pidana pada pasal 242 di beri kualifikasi sumpah palsu, stellionat (305), penghasutan (160), laporan palsu (220), membuang anak (305), pembunuhan anak (341), penggelapan oleh pegawai negri (415).
c)      Mencantumkan Kaulifikasi dan Ancaman Pidana
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara ini adalah yang paling sedikit. Hanya dijumpai pada pasal tertentu saja. Model perumusan ini dapat dianggap sebagai perkecualian. Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara yang sangat singkat ini dilatarbelakangi oleh semua ratio tertentu, misalnya pada kejahatan penganiayaan (351). Pasal 351 (1) dirumuskan dengan sangat singkat yakni, penganiayaan (mishandeling) diancam dengan pidala penjara paling lama dua  tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2)      Dari Sudut Titik Beratnya Larangan
Dari sudut titik beratnya larangan maka dapat diberikan pula antara merumuskan dengan cara formil (pada tindak pidana formil) dan dengan cara materiil (pada tindak pidana materiil).
a)   Dengan Cara Formil
perbuatan pidana yang dirumuskan secara formil disebut dengan tindak pidana formil (formeel delict). Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan secara tegas perihal larangan melakukan perbuatan tertentu. Jadi yang menjadi pokok larangan dalam rumusan itu adalah melakukan perbuatan yang melawan hukum tertentu. Apabila dengan selesainya tindak pidana, maka jika perbuatan yang menjadi larangan itu selesai dilakukan, maka tindak pidana itu selesai pula, tanpa bergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan yang melawan hukum tersebut. Misalnya pasal 362 KUHP merumuskan kelakuan yang dilarang yaitu mengambil barang yang seluruhnya atau sebagiannya kepunyaan orang lain. Namun kelakuan mengambil saja tidak cukup untuk memidana seseorang, diperlukan pula keadaan yang menyertai pengambilan itu “ adanya maksud pengambilan untuk memilikunya dengan melawan hukum”.
Unsur tindak pidana ini dinamakan unsur melawan hukum yang subyektif, yaitu kesengajaan pengambilan barang itu diarahkan ke perbuatan melawan hukum, sehingga menjadi unsur objektif bagi para sarjana hukum yang berpendapat monitis terhadap tindak pidana, atau merupakan unsur actus reus, criminal act, perbuatan kriminal bagi yang perpendapat dualisasi terhadap tindak pidana.
b)   Dengan Cara Materiil
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara materiil disebut dengan tindakan pidan materiil (materieel delict). Perumusan perbuatan pidana dengan cara materiil maksudnya ialah perbuatan pidana yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang ditimbulkan dari perbuatan pidana tersebut, sedangkan wujud dari perbuatan pidananya tidak menjadi persoalan. Dan  diancam dengan pidana oleh undang-undang. Misalnya pada pasal 338 (pembunuhan) yang menjadi larangan ialah menimbulkan akibat hilangnya nyawa orang lain, sedangkan wujud dari perbuatan menghilangkan nyawa (pembunuhan) itu idaklah menjadi persoalan, apakah dengan menembak, meracuni dan sebagainya.
Dalam hubungannya dengan selesainya perbuatan pidana, maka untuk selesinya perbuatan pidana bukan bergantung pada selesainya wujud berbuatan, akan tetapi bergantung pada apakah dari wujud perbuatan pidana itu akaibatnya telah timbul apa belum. Jika wujud perbuatan telah selesai, namun akibatnya belum timbul, maka perbuatan pidana itu belum selesai, yang terjadi adalah percobaannya.[1]
3)      Dari Sudut Pembedaan Tindak Pidana Antara Bentuk Pokok, Bentuk Yang Lebih Berat Dan Yang Lebih Ringan
a)      Perumusan Dalam Bentuk Pokok
Jika dilihat dari sudut sistem pengelompokan atau pembedaan perbuatan pidana antara bentuk standar (bentuk pokok) dengan bentuk yang diperberat dan bentuk yang lebih ringan, juga cara merumuskannya dapat dibedakan antara merumuskan perbuatan pidana dalam bentuk pokok dan dalam bentuk yeng diperberat dan atau yeng lebih ringan. Dalam hal bentuk pokok pembentukan UU selalu merumuskan secara sempurna, yaitu dengan mencantumkan semua unsur-unsurnya secara lengkap. Dengan demikian rumusan bentuk pokok ini adalah merupakan pengertian yuridis dari tindak pidana itu. Misalnya pasal 338, 362, 378, 369, 406.
b)      Perumusan Dalam Bentuk Yang Diperingan dan yang Diperberat
Rumusan dalm bentuk yang lebih berat dan atau lebih ringan dari perbuatan pidana yang bersangkutan, unsur-unsur bentuk pokoknya tidak diulang kembali atau dirumuskan kembali, melainkan menyebut saja pasal bentuk pokok (misalnya: 364, 373, 379) atau kualifikasi bentuk pokok (misalnya: 339, 363, 365). Kemudian menyebutkan unsur-unsur yang menyebabkan diperingan atau diperberatnya perbuatan pidana itu. Cara yang demikian dapat diterima, mengingat merumuskan perbuatan pidana prinsip penghematan kata-kata (ekonomis) namun tegas dan jelas tetap harus dipegang teguh.
4)      Dari beberapa teori perumusan pelanggaran tindak pidana
a)      Teori absolut (teori retributife) memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalsan atas kesalahan yang telah dilakukan, teori absolut in berorientasi pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri pemidanaan diberikan karna pelaku harus menerima sanksi itu karna kesalahannya, menurut teori ini dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri karna telah menimbulkan penderitiaan bagi orang lain, sebagai balasannya pelaku harus diberi penderitaan.
b)      Teori relatif (deterrence)dimana teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan dimana sebagai sarana pencegahan umum yang ditukuan kepada masyarakat, berdasarkan teori ini hukuman yang dijatuhkan yakni memperbaiki kehidupan masyarakat .
c)      Teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asa tertib pertahanan, teori gabungan ini pada dasar penjatuhan hukumannya adalah untuk mempertahankan tata tertib dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi sipelaku. 


C.    Sanksi Perbuatan Pidana

1.      Pengertian Sanksi Pidana
Sanksi Pidana adalah suatu hukuman sebab akibat, sebab adalah kasusnya dan akibat adalah hukumnya, orang yang terkena akibat akan memperoleh sanksi baik masuk penjara ataupun terkena hukuman lain dari pihak berwajib. Sanksi Pidana merupakan suatu jenis sanksi yang bersifat nestapa yang diancamkan atau dikenakan terhadap perbuatan atau pelaku perbuatan pidana atau tindak pidana yang dapat menggangu atau membahayakan kepentingan hukum. Sanksi pidana pada dasarnya merupakan suatu penjamin untuk merehabilitasi perilaku dari pelaku kejahatan tersebut, namun tidak jarang bahwa sanksi pidana diciptakan sebagai suatu ancaman dari kebebasan manusia itu sendiri
Jenis-jenis Pidana sebagaimana telah diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
Pidana terdiri atas:
1)      Pidana Pokok
a)      pidana mati;
b)      pidana penjara;
c)      pidana kurungan;
d)     pidana denda;
e)      pidana tutupan.( UU No.20/1946 )
2)   Pidana Tambahan
a)  pencabutan hak-hak tertentu;
b)  perampasan barang-barang tertentu;
c)  pengumuman putusan hakim.
 Tujuan pemidanaan adalah mencegah dilakukannya kejahatan pada masa yang akan datang, tujuan diadakannya pemidanaan diperlukan untuk mengetahui sifat dasar hukum dari pidana. Bahwa dalamkonteks dikatakan Hugo De Groot “malim pasisionis propter malum actionis” yaitu penderitaan jahat menimpa dikarenakan oleh perbuatan jahat. Berdasarkan pendapat tersebut, tampak adanya pertentangan mengenai tujuan pemidanaan, yakni antara mereka yang berpandangan pidana sebagai sarana pembalasan atau teori absolute dan mereka yang menyatakan  bahwa pidana mempunyai tujuan yang positif atau teori tujuan, serta pandangan yang menggabungkan dua tujuan pemidanaan tersebut.
Muladi mengistilahkan teori tujuan sebagai teleological theories dan teori gabungan disebut sebagai pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan yang beranggapan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan yang plural, yang merupakan gabungan dari pandangan utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan, keadilan tidak boleh melalui pembebanan penderitaan yang patut diterima untuk tujuan penderitaan itu sendiri, misalnya bahwa penderitaan pidana tersebut tidak boleh melebihi ganjaran yang selayaknya diberikan pelaku tindak pidana.[2]

2.      Pengertian Pelaku dan Residivis
Ketentuan Pasal 55 Ayat (1) KUHP dapat dirumuskan yang dimaksud dengan pelaku ialah “mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan turut serta melakukan perbuatan, dan mereka yang menganjurkan orang lain melakukan perbuatan”. Dapat disimpulkan bahwa pelaku adalah setiap orang yang memenuhi semua unsur yang terdapat dalam perumusan tindak pidana. Dalam istilah hukum positif Pengertian pengulangan tindak pidana (residivis) adalah dikerjakannya suatu tindak pidana oleh seseorang sesudah ia melakukan tindak pidana lain yang telah mendapat keputusan akhir. Artinya, pemberatan pidana terhadap residivis dapat berlaku apabila ia telah mendapatkan keputusan hukum yang tetap atas perbuatan yang sama. [3]Adapun sebab-sebab terjadinya pemberatan pidana adalah sebagai berikut:
1)      Pelakunya adalah orang yang sama.
2)      Terulangnya tindak pidana dan untuk tindak pidana terdahulu telah dijatuhi pidana oleh suatu  keputusan hakim
3)      Si pelaku sudah pernah menjalani hukuman atau hukuman penjara yang dijatuhkan terhadapnya.
4)      Pengulangan terjadi dalam waktu tertentu.
Pengertian sehari-hari bahwa seorang residivis adalah seorang yang telah melakukan beberapa kali kejahatan karena melakukan berbagai kejahatan. Menurut Satochid Kartanegara residive adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, yang merupakan beberapa delik yang berdiri sendiri, akan tetapi atas salah satu atau lebih perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi hukuman. Ada 2 (dua) arti residivis yaitu menurut masyarakat (sosial), dan dalam arti hukum pidana. 
Menurut arti yang pertama, masyarakat menganggap bahwa setiap orang yang setelah dipidana, menjalaninya yang kemudian melakukan tindak pidana lagi, disini ada pengulangan, tanpa memperhatikan syarat-syarat lainnya.  Tetapi residivis dalam arti hukum pidana, yang merupakan dasar pemberat pidana ini, tidaklah cukup hanya melihat berulangnya melakukan tindak pidana, tetapi dikaitkan pada syarat-syarat tertentu yang ditetapkan undang-undang. Pada umumnya masyarakat tidak mengetahui bahwa residive tersebut masih dapat digolongkan dalam beberapa bagian. Oleh karenanya apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh seseorang dan tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana pengulangan. Pada dasarnya residive tersebut digolongkan kedalam 2 bagian, yaitu:
1)      Residive umum (generale residive);
apabila seseorang melakukan kejahatan, terhadap kejahatan yang mana telah dijatuhi hukuman, maka apabila ia kemudian melakukan kejahatan lagi yang dapat merupakan bentuk kejahatanapapun, ini dapat dipergunakan sebagai alasan untuk memperberat hukuman.
2)      Residive khusus (special residive).
apabila seseorang melakukan kejahatan, dan terhadap kejahatan itu telah dijatuhi hukuman oleh hakim, kemudian ia melakukan kejahatan lagi yang sama (sejenis) dengan kejahatan yang pertama, maka persamaan kejahatan yang dilakukan kemudian merupakan dasar untuk memperberat hukuman. Mengingat pentingnya tujuan pidana sebagai pedoman dalam pemberian atau menjatuhkan pidana dimuat dalam konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), di samping itu juga adanya perkembangan pemikiran mengenai teori pemidanaan mengakibatkan tujuan pemidanaan yang ideal. Dalam perkembangannya, pengulangan tindak pidana dapat dibagi menjadi beberapa golongan.
Dari sudut ilmu pengetahuan hukum pidana, pengulangan tindak pidana dibedakan atas 3 jenis, yaitu:
1)      Pengulangan tindak pidana yang dibedakan berdasarkan cakupannya antara lain: 
Pengertian yang lebih luas yaitu bila meliputi orang-orang yang melakukan suatu rangkaian tanpa yang diseiringi suatu penjatuhan pidana/ condemnation. Pengertian yang lebih sempit yaitu bila si pelaku telah melakukan kejahatan yang sejenis (homolugus recidivism) artinya ia menjalani suatu pidana tertentu dan ia mengulangi perbuatan sejenis tadi dalam batas waktu tertentu misalnya 5 (lima) tahun terhitung sejak terpidana menjalani sama sekali atau sebagian dari hukuman yang telah dijatuhkan.
2)      Pengulangan tidak pidana yang dibedakan berdasarkan sifatnya antara lain:
Accidentale recidive yaitu apabila pengulangan tindak pidana yang dilakukan merupakan akibat dari keadaan yang memaksa dan menjepitnya. Habituele recidive yaitu pengulangan tindak pidana yang dilakukan karena si pelaku memang sudah mempunyai inner criminal situation yaitu tabiat jahat sehingga kejahatan merupakan perbuatan yang biasa baginya. 
3)      Selain kepada kedua bentuk di atas, pengulangan tindak pidana dapat juga   dibedakan atas:
Recidive umum, yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan/ tindak pidana yang telah dikenai hukuman, dan kemudian melakukan kejahatan/ tindak pidana dalam bentuk apapun maka terhadapnya dikenakan pemberatan hukuman.
Recidive khusus, yaitu apabila seseorang melakukan perbuatan kejahatan/ tindak pidana yang telah dikenai hukuman, dan kemudian ia melakukan kejahatan/ tindak pidana yang sama (sejenis) maka kepadanya dapat dikenakan pemberatan hukuman. Persolalan tentang pengertian residivis dalam KUHP Indonesia belum secara jelas tertulis tetapi yang ada hanyalah syarat umum yang mengatakan bahwa seorang itu residivis kalau terhadap perbuatannya ada ancaman hukuman yang diperberat atau ditambah dengan duapertiganya. Materi yang diatur dalam Pasal 486. Pasal 487 dan Pasal 488 KUHP tersebut adalah:
a)      Pasal 486 KUHP adalah kejahatan-kejahatan ulangan yang menyangkut harta kekayaan dan penipuan.
b)      Pasal 487 KUHP adalah kejahatan-kejahatan ulangan terhadap pribadi.
c)      Pasal 488 KUHP adalah kejahatan-kejahatan ulangan yang menyangkut penghinaan.
Dari uraian tersebut dapat ditegaskan bahwa seorang dikatakan residive, karena sudah ada putusan hakim terlebih dahulu. Putusan terlebih dahulu itu akan menentukan berat ringannya hukuman yang diberikan dalam putusan baru ini, apakah si penjahat telah menjadi residivis. [4]

3.      Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhi Pidana
Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.7 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan:
Ketentuan Pasal 4 menyebutkan bahwa:
1)      Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
2)      Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dari rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Ketentuan Pasal 6 menjelaskan bahwa:
1)      Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan, kecuali undang-undang menentukan lain. 
2)      Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena
alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.  Ketentuan Pasal 7 menjelaskan bahwa:
“Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.”
Pada kenyataannya dalam praktik, walaupun telah bertitik tolak dari sikap-sikap seseorang hakim yang baik, kerangka landasan berfikir atau bertindak dan melalui empat buah titik pertanyaan dalam putusan hakim yaitu : benarkah putusanku ini, jujurkah aku dalam mengambil keputusan, adilkah bagi pihak–pihak yang bersangkutan, bermanfaatkah putusanku ini. Hakim ternyata seorang manusia biasa yang tidak luput dari kelalaian, kekeliruan (rechterlijk dwaling), rasa rutinitas, kekurangan hati-hatian, dan kesalahan. Dalam praktik peradilan, ada saja aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap kurang diperhatikan hakim dalam membuat keputusan.
Menurut Al. Wisnubroto, ada beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan, adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam mempertimbangkan suatu keputusan adalah.[5]
Keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan telah dilaksanakan, dijadikan sebagai dokumen yang dinamakan yurisprudensi. Dokumen ini banyak mengandung nilai-nilai hukum yang telah diperlukan dan bahkan tidak sedikit yang berlandaskan pada pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan, agama, adat dan filsafat hukum.
Pada hakekatnya dengan adanya pertimbangan–pertimbangan tersebut diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi hukum (van rechtswege nietig atau null and void) karena kurang pertimbangan hukum. Selanjutnya setelah fakta-fakta dalam persidangan tersebut diungkapkan, pada putusan hakim kemudian akan dipertimbangkan terhadap unsur-unsur dari tindak pidana yang telah didakwakan oleh jaksa penuntut umum.

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

A.    Simpulan
Perbuatan pidana atau yang biasa disebut tindak pidana merupakan suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang melanggar hukum, dimana bagi yang melakukannya akan dikenakan hukuman pidana. Cara merumuskan dalam suatu tindak pidana terdiri dari 3 cara, yaitu cara pertama dengan merumuskan delik dengan menguraikan tindak pidana tersebut. Cara kedua ialah dimana pasal-pasal UU tertentu menguraikan unsur-unsur perbuatan pidana, lalu ditambahkan kualifikasi atau sifat dan gelar delik tersebut. Cara ketiga yaitu dimana pasal-pasal UU tertentu hanya menyebut kualifikasi (sifat dan gelar) tanpa uraian unsur-unsur perbuatan dan kemudian unsur-unsur tadi diserahkan kapada yurisprudensi dan doktrin. Teori dalam pemidanaan ada 3, diantaranya teori absolut, teori relatif, dan teori gabungan. Sanksi pidana ialah suatu hukuman yang diberikan kepada seseorang karena telah melakukan tindak pidana, dimana dapat mengganggu dan membahayakan kepentingan umum.
                                                                                                                             
B.     Saran
Kami sadar bahwa masih banyak kekurangan yang kami miliki, baik dari segi tulisan maupun bahasa yang kami sajikan, oleh karena itu  kami berpesan kepada pembaca, ambilah sesuatu yang positif dari sebuah coretan yang  kami buat, dan semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kami maupun pembaca. 

DAFTAR PUSTAKA
             
Cansil dan Cristhine Cansil, 2007 Pokok-Pokok Hukum Pidana. Jakarta : Pradnya Paramita
Moeljatno, 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rieneka Cipta
Prodjodikoro, Wirjono. 2008 Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Refika Aditama
Muladi, 2008, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung, Alumni
R. Soenarto Suerodibroto, 2004, KUHP dan KUHAP, Jakarta, Raja Grafindo,
Zulkarnain,sanksi dalam perbuatan pidana, melalui:
http:<//digilib.unila.ac.id/6224/13/BAB%20II.pdf>, diakses tgl 11 desember 2016, jam 12.06





[1] C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana,PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2007,hlm. 40
[2] Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung, Alumni, 2008, hlm.25
[3] R. Soenarto Suerodibroto, KUHP dan KUHAP, Jakarta, Raja Grafindo, 2004, hlm.310
[4] Zulkarnain, sanksi dalam perbuatan pidana,melalui:http:<//digilib.unila.ac.id/6224/13/BAB%20II.pdf>, diakses tgl 11 desember 2016, jam 12.06
[5] Al. Wisnubroto, Hakim dan Peradilan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1997, hlm. 88

Share:

0 komentar:

Post a Comment