BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
masalah
Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan kepada suatu
kebutuhan yang mendesak, kebutuhan pemuas diri dan bahkan kadang-kadang karena
keinginan atau desakan untuk mempertahankan status diri. Secara umum kebutuhan
setiap manusia itu akan dapat dipenuhi, walaupun tidak seluruhnya, dalam
keadaan yang tidak memerlukan desakan dari dalam atau orang lain. Terhadap kebutuhan
yang mendesak pemenuhanya dan harus dipenuhi dengan segera biasanya sering
dilaksanakan tanpa pemikiran matang yang dapat merugikan lingkungan atau
manusia lain.
Hal seperti itu
akan menimbulkan suatu akibat negatif yang tidak seimbang dengan suasana dari
kehidupan yang bernilai baik. Untuk mengembalikan kepada suasana dan kehidupan
yang bernilai baik itu di perlukan suatu pertanggung jawaban dari pelaku yang
berbuat sampai ada ketidak seimbangan. Dan pertanggung jawaban yang wajib
dilaksanakan oleh pelakunya berupa pelimpahan ketidak enakan masyarakat supaya
dapat dirasakan juga penderitaan atau kerugian yang dialami.
Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari persinggungan atau interaksi antar sesama. Karena bagaimanapun manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya. Sudah merupakan sifat dasar manusia untuk bertidak egois. Sehingga apabila sifat tersebut terus menerus dibiarkan, maka yang terjadi adalah ketidak beraturan yang menyebabkan kehancuran. Oleh karenanya manusia membutuhkan aturan-aturan yang mengatur hak dan kewajiban satu antar lainnya. Demi mewujudkan kehidupan yang aman dan sejahterah. Sesuai dengan saran tujuan KUHP nasional
“Untuk mencegah penghambatan atau penghalang-halangan datangnya masyarakat
yang dicita-citakan oleh bangsa indonesia, yaitu dengan jalan penentuan
perbuatan-perbuatan manakah yang pantang dan tidak boleh dilakukan, serta
pidana apakah yang diancamkan kepada mereka yang melanggar larangan-larangan
itu..”
Hukum adalah sebuah aturan mendasar
dalam kehidupan masyarakat yang dengan hukum itulah terciptanya kedamaian
ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Terciptanya keharmonisan dalam
tatanan masyarakat sosial juga tidak terlepas dengan adanya hukum yang
mengatur. Dalam hukum dikenal dengan istilah perbuatan pidana.
Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang merugikan masyarakat. Sehingga
sudah selayaknya kita tidak melakukan hal tersebut.Bila kita ingin menjauhi
sesuatu, maka kita harus mengetahui dulu apakah itu. Sehingga dikemudian hari
kita tidak salah dalam memilih sebuah perbuatan. Maka dirasa penting bagi kami
untuk mengankat judul “Pengertian, Unsur-Unsur dan norma-norma Perbuatan
Pidana”.
Perbuatan
pidana adalah suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu
hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan
ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana.
Perbuatan
pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit
dalam lapangan hukum pidana, sehingga perbuatan pidana haruslah diberikan arti
yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan
istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.
Adakalanya
istilah dalam pengertian hukum telah menjadi istilah dalam kehidupan
masyarakat, atau sebaliknya istilah dalam kehidupan masyarakat yang
dipergunakan sehari-hari dapat menjadi istilah dalam pengertian hukum, misalnya
istilah percobaan, sengaja, dan lain sebagainya. Sebelum menjelaskan arti
pentingnya istilah perbuatan pidana sebagai pengertian hukum, terlebih dahulu
dibentangkan tentang pemakaian istilah perbuatan pidana yang beraneka
ragam.Untuk mengetahui perbuatan-perbuatan pidana lebih lanjut, kita akan
membahasnya di dalam makalah ini.
Oleh karna itu dalam penulisan
makalah ini kami akan menjelaskan mengenai penyalahgunaan hak dalam hukum
pidana, meliputi definisi penyalahgunaan/ pelanggaran hukum pidana dan beberapa
kasus beserta bagaimana cara penyelesaian dan juga sanksinya.
B.
Rumusan Masalah
1)
Apa yang dimaksud
dengan perbuatan pidana ?
2)
Bagaimana cara merumuskan perbuatan penyalahgunaan tindak pidana?
3)
Apa yang dimaksud dengan
sanksi perbuatan pidana?
C.
Tujuan
1)
Untuk mengetahui
lebih lanjut perbuatan tindak pidana
2)
Untuk lebih
mengetahui bagaimana cara perumusan penyalahgunaan tindak pidana
3)
Untuk lebih
memahami tentang sanksi perbuatan tindak pidana
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hukum
Hukum adalah seluruh norma sosial yang
telah diformalkan oleh intitusi-intitusi kekuasaan negara. Dengan demikian
menurut Soetandyo Wignjosoebrototak salah kiranya apabila dikatakan bahwa hukum
dalam modelnya sebagai undang-undang adalah invasi negara bangsa yang terjadi
di kawasan negri-negri eropa barat dalam kurun sejarah yang mengabarkan pula
bangkitnya kesadaran berbangsa penduduk negri diwilayah itu, yang kemudian dari
pada itu mengakhiri sejarah eropa sebagai sejarah raja-raja. Itulah kurun waktu
yang mengatakan betapa “ the making of europa is the making of kings and queens
no more, but the making of nations”. Seiring
dengan pertumbuhan konsep negara-negara bangsa yang secara cepat atau
lambat mengakhiri negara-negara kerajaan, telah berkonsekuensi pada kebutuhan
akan suatu perangkat hukum baru, ialah hukum nasional. Mengenai perjalanan
hukum dari hukum-hukum kerajaan ke hukum nasional soetandyo mengilustrasikan
sebagai berikut: “ apabila hukum raja-raja dipandang sebagai hukum kaum
elit-otokrat yang berbasis pada titah-titah sepihak para penguasa, hukum
nasioanal di benarkan sebagai huku, yang lahir dari paradigm baru, bahwa suara
rakyat (yang disatukan secara rasional lewat kesepakatan) adalah suara tuhan’.
Vox populi vox dei. Hasil kesepakatan rakyat inilah, secara langsung atau
melalui wakil-wakilnya yang kelak diinstutisionalkan lewat lembaga legislatf
atau referendum, akan di positifkan sebagai hukum yang akan menjamin kepastian
secara adil dan benar”.
Menurut atjipto raharjo
B.
Cara Merumuskan Perbuatan Pidana
Didalam KUHP, juga didalam Perundang-undangan
pidana yang lain. Tindak pidana dirumuskan didalam pasal-pasal. Perlu diperhatikan bahwa di
bidang hukum pidanakepastian hukum atau lex certa merupakan hal yang
esensial, dan ini telah ditandai oleh asas legalitas pada pasal 1 ayat 1 KUHP.
Untuk benar-benar yang apa yang diamaksudkan didalam pasal-pasl itu masih
diperlukan penafsiran.
Dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana di Negara-negara civil
law lainnya, tindak pidana umumnya di rumuskan dalam kodifikasi. Namun
demikian, tidak terdapat ketentuan dalam KUHP maupun peraturan
perundang-undangan lainnya, yang merinci lebih lanjut mengenai cara bagaimana
merumuskan suatu tindak pidana. Dalam buku
II dan III KUHP Indonesia terdapat berbagai cara
atau teknik perumusan perbuatan pidana (delik), yang menguraikan perbuatan
melawan hukum yang dilarang atau yang diperintahkan untuk dilakukan, dan kepada
barangsiapa yang melanggarnya atau tidak
menaatinya diancam dengan pidana maksimum. Selain unsur-unsur perbuatan yang
dilarang dan yang diperintahkan untuk dilakukan dicantumkan juga sikap batin yang
harus dipunyai oleh
pembentuk delik agar ia dapat dipidana.
Teknik
yang paling lazim digunakan untuk merumuskan delik menurut jonkers (terjemahan
Bina Aksara 1987 : 136-137) ialah dengan menerangkan atau menguraikannya,
misalnya rumusan delik menurt pasal 279, 281, 286, 242 KUHP. Cara yang kedua ialah pasal undang-undang tertentu menguraikan
unsur-unsur perbuatan pidana, lalu ditambahkan pula kualifikasi atau sifat dan gelar delik itu,
misalnya pemalsusan tulisan (pasal 263 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP),
penggelapan (pasal 372 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP). Cara yang ketiga ialah
pasal undang-undang tertentu hanay menyebut kualifiasi (sifat, gelar) tanpa
uraian unsur-unsur perbuatan lebih lanjut. Uraian unsur-unsur delik diserahkan
kepada yurisprudensi dan doktrin. Misalnya, perdagangan perempuan dan
perdagangan laki-laki yang belum cukup umur (minderjarige), pengania
(pasal 351 KUHP). Kedua pasal tersebut tidak menjelaskan arti perbuatan
tersebut, menurut teori dan yurisprudensi, penganiayaan diartikan sebagai “
menimbulkan mestapa atau derita atau rasa sakit pada orang lain.
Dalam KUHP terdapat 3
dasar pembedaan cara dalam merumuskan tindak pidana :
1)
Dari Sudut Cara Pencantuman Unsur-Unsur Dan
Kualifikasi Tindak Pidana
Dari sudut ini, maka dapat dilihat bahwa
setidak-tidaknya ada 3 cara perumusan, ialah:
a)
Mencantumkan Unsur Pokok, Kualifikasi dan Ancaram
Pidana
Cara pertama ini adalah
merupakan cara yang paling sempurna. Cara ini diguanakan terutama dalam hal
merumuskan tindak pidana dalam bentuk pokok/standard, dengan mencantumkan
unsur-unsur objektif maupun unsur subyektif, misalnya pasal: 338 (pembunuhan),
362 (pencurian), 368 (pemerasan), 372 (penggelapan), 378 (penipuan), 406
(perusakan). Dalam hal tindak pidana yang tidak masuk dalam kelompok bentuk standard
diatas, juga ada tindak pidana lainnya yang dirumuskan secara sempurna demikian
dengan kualifikasi tertentu, misalnya 108 (pemberontakan).
Dimaksudkan unsur pokok
atau unsur esensiel adalah berupa unsur yang membentuk pengertian yuridis dari
tindak pidana tertentu. Unsur-unsur ini dapat dirinci secara jelas, dan untuk
menyatakan seseorang bersalah melakukan tindak pidana tersebut dan menjatuhkan
pidana, maka semua unsur itu harus dibuktikan dalam persidangan.
b)
Mencantumkan Semua Unsur Pokok Tanpa Kualitatif Dan
Mencantumkan Ancaman Pidana
Cara inilah yang paling
banyak digunakan dalam merumuskan tindak pidana dalam KUHP. Tindak pidana yang
menyebutkan unsur-unsur pokok tanpa menyebut kualitatif, dalam praktek
kadang-kadang terhadap suatu rumusan diberi kualifikasi tertentu, misalnya
terhadap tindak pidana pada pasal 242 di beri kualifikasi sumpah palsu,
stellionat (305), penghasutan (160), laporan palsu (220), membuang anak (305),
pembunuhan anak (341), penggelapan oleh pegawai negri (415).
c)
Mencantumkan Kaulifikasi dan Ancaman Pidana
Tindak pidana yang
dirumuskan dengan cara ini adalah yang paling sedikit. Hanya dijumpai pada
pasal tertentu saja. Model perumusan ini dapat dianggap sebagai perkecualian.
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara yang sangat singkat ini
dilatarbelakangi oleh semua ratio tertentu, misalnya pada kejahatan penganiayaan
(351). Pasal 351 (1) dirumuskan dengan sangat singkat yakni, penganiayaan
(mishandeling) diancam dengan pidala penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2)
Dari Sudut Titik Beratnya Larangan
Dari sudut titik
beratnya larangan maka dapat diberikan pula antara merumuskan dengan cara
formil (pada tindak pidana formil) dan dengan cara materiil (pada tindak pidana
materiil).
a)
Dengan Cara Formil
perbuatan
pidana yang dirumuskan secara formil disebut dengan tindak pidana formil
(formeel delict). Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan
dicantumkan secara tegas perihal larangan melakukan perbuatan tertentu. Jadi
yang menjadi pokok larangan dalam rumusan itu adalah melakukan perbuatan yang
melawan hukum tertentu. Apabila dengan selesainya tindak pidana, maka
jika perbuatan yang menjadi larangan itu selesai dilakukan, maka tindak pidana
itu selesai pula, tanpa bergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan yang
melawan hukum tersebut. Misalnya pasal 362 KUHP merumuskan kelakuan yang
dilarang yaitu mengambil barang yang seluruhnya atau sebagiannya kepunyaan
orang lain. Namun kelakuan mengambil saja tidak cukup untuk memidana seseorang,
diperlukan pula keadaan yang menyertai pengambilan itu “ adanya maksud
pengambilan untuk memilikunya dengan melawan hukum”.
Unsur tindak pidana ini dinamakan unsur
melawan hukum yang subyektif, yaitu kesengajaan pengambilan barang itu
diarahkan ke perbuatan melawan hukum, sehingga menjadi unsur objektif bagi para
sarjana hukum yang berpendapat monitis terhadap tindak pidana, atau merupakan
unsur actus reus, criminal act, perbuatan kriminal bagi
yang perpendapat dualisasi terhadap tindak pidana.
b)
Dengan
Cara Materiil
Tindak
pidana yang dirumuskan dengan cara materiil disebut dengan tindakan pidan
materiil (materieel delict). Perumusan perbuatan pidana dengan cara materiil
maksudnya ialah perbuatan pidana yang perumusannya menitikberatkan pada akibat
yang ditimbulkan dari perbuatan pidana tersebut, sedangkan wujud dari perbuatan
pidananya tidak menjadi persoalan. Dan
diancam dengan pidana oleh undang-undang. Misalnya pada pasal 338
(pembunuhan) yang menjadi larangan ialah menimbulkan akibat hilangnya nyawa
orang lain, sedangkan wujud dari perbuatan menghilangkan nyawa (pembunuhan) itu
idaklah menjadi persoalan, apakah dengan menembak, meracuni dan sebagainya.
Dalam
hubungannya dengan selesainya perbuatan pidana, maka untuk selesinya perbuatan
pidana bukan bergantung pada selesainya wujud berbuatan, akan tetapi bergantung
pada apakah dari wujud perbuatan pidana itu akaibatnya telah timbul apa belum.
Jika wujud perbuatan telah selesai, namun akibatnya belum timbul, maka
perbuatan pidana itu belum selesai, yang terjadi adalah percobaannya.[1]
3)
Dari
Sudut Pembedaan Tindak Pidana Antara Bentuk Pokok, Bentuk Yang Lebih Berat Dan
Yang Lebih Ringan
a)
Perumusan
Dalam Bentuk Pokok
Jika
dilihat dari sudut sistem pengelompokan atau pembedaan perbuatan pidana antara
bentuk standar (bentuk pokok) dengan bentuk yang diperberat dan bentuk yang lebih
ringan, juga cara merumuskannya dapat dibedakan antara merumuskan perbuatan
pidana dalam bentuk pokok dan dalam bentuk yeng diperberat dan atau yeng lebih
ringan.
Dalam hal bentuk pokok pembentukan UU selalu
merumuskan secara sempurna, yaitu dengan mencantumkan semua unsur-unsurnya
secara lengkap. Dengan demikian rumusan bentuk pokok ini adalah merupakan pengertian yuridis dari tindak pidana
itu. Misalnya pasal 338, 362, 378, 369, 406.
b)
Perumusan
Dalam Bentuk Yang Diperingan dan yang Diperberat
Rumusan
dalm bentuk yang lebih berat dan atau lebih ringan dari perbuatan pidana yang
bersangkutan, unsur-unsur bentuk pokoknya tidak diulang kembali atau dirumuskan
kembali, melainkan menyebut
saja pasal bentuk pokok (misalnya: 364, 373, 379) atau kualifikasi bentuk pokok
(misalnya: 339, 363, 365). Kemudian menyebutkan unsur-unsur yang menyebabkan
diperingan atau diperberatnya perbuatan pidana itu. Cara yang demikian dapat diterima, mengingat merumuskan perbuatan pidana prinsip
penghematan kata-kata (ekonomis) namun tegas dan jelas tetap harus dipegang
teguh.
4)
Dari beberapa teori perumusan pelanggaran tindak
pidana
a) Teori absolut (teori retributife) memandang bahwa pemidanaan merupakan
pembalsan atas kesalahan yang telah dilakukan, teori absolut in berorientasi pada
perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri pemidanaan diberikan karna
pelaku harus menerima sanksi itu karna kesalahannya, menurut teori ini dasar
hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri karna telah menimbulkan
penderitiaan bagi orang lain, sebagai balasannya pelaku harus diberi
penderitaan.
b) Teori relatif (deterrence)dimana teori ini memandang pemidanaan bukan
sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan
bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan dimana sebagai
sarana pencegahan umum yang ditukuan kepada masyarakat, berdasarkan teori ini
hukuman yang dijatuhkan yakni memperbaiki kehidupan masyarakat .
c)
Teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada
asas pembalasan dan asa tertib pertahanan, teori gabungan ini pada dasar
penjatuhan hukumannya adalah untuk mempertahankan tata tertib dalam masyarakat
dan memperbaiki pribadi sipelaku.
C.
Sanksi Perbuatan Pidana
1.
Pengertian Sanksi
Pidana
Sanksi
Pidana adalah suatu hukuman sebab akibat, sebab adalah kasusnya dan akibat
adalah hukumnya, orang yang terkena akibat akan memperoleh sanksi baik masuk
penjara ataupun terkena hukuman lain dari pihak berwajib. Sanksi Pidana merupakan
suatu jenis sanksi yang bersifat nestapa yang diancamkan atau dikenakan
terhadap perbuatan atau pelaku perbuatan pidana atau tindak pidana yang dapat
menggangu atau membahayakan kepentingan hukum. Sanksi pidana pada dasarnya
merupakan suatu penjamin untuk merehabilitasi perilaku dari pelaku kejahatan
tersebut, namun tidak jarang bahwa sanksi pidana diciptakan sebagai suatu
ancaman dari kebebasan manusia itu sendiri
Jenis-jenis Pidana
sebagaimana telah diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP):
Pidana terdiri
atas:
1) Pidana Pokok
a)
pidana mati;
b)
pidana penjara;
c)
pidana kurungan;
d)
pidana denda;
e)
pidana tutupan.(
UU No.20/1946 )
2) Pidana Tambahan
a) pencabutan hak-hak tertentu;
b) perampasan barang-barang tertentu;
c) pengumuman putusan hakim.
Tujuan pemidanaan adalah mencegah dilakukannya
kejahatan pada masa yang akan datang, tujuan diadakannya pemidanaan diperlukan
untuk mengetahui sifat dasar hukum dari pidana. Bahwa dalamkonteks dikatakan
Hugo De Groot “malim pasisionis propter malum actionis” yaitu penderitaan jahat
menimpa dikarenakan oleh perbuatan jahat. Berdasarkan pendapat tersebut, tampak
adanya pertentangan mengenai tujuan pemidanaan, yakni antara mereka yang
berpandangan pidana sebagai sarana pembalasan atau teori absolute dan mereka
yang menyatakan bahwa pidana mempunyai
tujuan yang positif atau teori tujuan, serta pandangan yang menggabungkan dua
tujuan pemidanaan tersebut.
Muladi
mengistilahkan teori tujuan sebagai teleological theories dan teori gabungan
disebut sebagai pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan yang beranggapan
bahwa pemidanaan mempunyai tujuan yang plural, yang merupakan gabungan dari
pandangan utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus menimbulkan
konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan, keadilan tidak boleh melalui
pembebanan penderitaan yang patut diterima untuk tujuan penderitaan itu
sendiri, misalnya bahwa penderitaan pidana tersebut tidak boleh melebihi
ganjaran yang selayaknya diberikan pelaku tindak pidana.[2]
2. Pengertian Pelaku dan Residivis
Ketentuan Pasal 55
Ayat (1) KUHP dapat dirumuskan yang dimaksud dengan pelaku ialah “mereka yang
melakukan, yang menyuruh lakukan dan turut serta melakukan perbuatan, dan
mereka yang menganjurkan orang lain melakukan perbuatan”. Dapat disimpulkan
bahwa pelaku adalah setiap orang yang memenuhi semua unsur yang terdapat dalam
perumusan tindak pidana. Dalam istilah hukum positif Pengertian pengulangan
tindak pidana (residivis) adalah dikerjakannya suatu tindak pidana oleh
seseorang sesudah ia melakukan tindak pidana lain yang telah mendapat keputusan
akhir. Artinya, pemberatan pidana terhadap residivis dapat berlaku apabila ia
telah mendapatkan keputusan hukum yang tetap atas perbuatan yang sama. [3]Adapun
sebab-sebab terjadinya pemberatan pidana adalah sebagai berikut:
1) Pelakunya adalah orang yang sama.
2) Terulangnya tindak pidana dan untuk tindak pidana
terdahulu telah dijatuhi pidana oleh suatu
keputusan hakim
3) Si pelaku sudah pernah menjalani hukuman atau hukuman
penjara yang dijatuhkan terhadapnya.
4) Pengulangan terjadi dalam waktu tertentu.
Pengertian
sehari-hari bahwa seorang residivis adalah seorang yang telah melakukan
beberapa kali kejahatan karena melakukan berbagai kejahatan. Menurut Satochid
Kartanegara residive adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan,
yang merupakan beberapa delik yang berdiri sendiri, akan tetapi atas salah satu
atau lebih perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi hukuman. Ada 2 (dua) arti
residivis yaitu menurut masyarakat (sosial), dan dalam arti hukum pidana.
Menurut arti yang
pertama, masyarakat menganggap bahwa setiap orang yang setelah dipidana,
menjalaninya yang kemudian melakukan tindak pidana lagi, disini ada
pengulangan, tanpa memperhatikan syarat-syarat lainnya. Tetapi residivis dalam arti hukum pidana,
yang merupakan dasar pemberat pidana ini, tidaklah cukup hanya melihat
berulangnya melakukan tindak pidana, tetapi dikaitkan pada syarat-syarat
tertentu yang ditetapkan undang-undang. Pada umumnya masyarakat tidak
mengetahui bahwa residive tersebut masih dapat digolongkan dalam beberapa
bagian. Oleh karenanya apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh seseorang dan
tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana pengulangan. Pada dasarnya
residive tersebut digolongkan kedalam 2 bagian, yaitu:
1)
Residive umum (generale residive);
apabila seseorang
melakukan kejahatan, terhadap kejahatan yang mana telah dijatuhi hukuman, maka
apabila ia kemudian melakukan kejahatan lagi yang dapat merupakan bentuk
kejahatanapapun, ini dapat dipergunakan sebagai alasan untuk memperberat
hukuman.
2)
Residive khusus (special residive).
apabila seseorang
melakukan kejahatan, dan terhadap kejahatan itu telah dijatuhi hukuman oleh
hakim, kemudian ia melakukan kejahatan lagi yang sama (sejenis) dengan
kejahatan yang pertama, maka persamaan kejahatan yang dilakukan kemudian
merupakan dasar untuk memperberat hukuman. Mengingat pentingnya tujuan pidana
sebagai pedoman dalam pemberian atau menjatuhkan pidana dimuat dalam konsep Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), di samping itu juga adanya perkembangan
pemikiran mengenai teori pemidanaan mengakibatkan tujuan pemidanaan yang ideal.
Dalam perkembangannya, pengulangan tindak pidana dapat dibagi menjadi beberapa
golongan.
Dari sudut ilmu pengetahuan hukum pidana,
pengulangan tindak pidana dibedakan atas 3 jenis, yaitu:
1)
Pengulangan tindak pidana yang dibedakan
berdasarkan cakupannya antara lain:
Pengertian yang lebih
luas yaitu bila meliputi orang-orang yang melakukan suatu rangkaian tanpa yang
diseiringi suatu penjatuhan pidana/ condemnation. Pengertian yang lebih sempit
yaitu bila si pelaku telah melakukan kejahatan yang sejenis (homolugus
recidivism) artinya ia menjalani suatu pidana tertentu dan ia mengulangi
perbuatan sejenis tadi dalam batas waktu tertentu misalnya 5 (lima) tahun terhitung
sejak terpidana menjalani sama sekali atau sebagian dari hukuman yang telah
dijatuhkan.
2)
Pengulangan tidak pidana yang dibedakan
berdasarkan sifatnya antara lain:
Accidentale recidive
yaitu apabila pengulangan tindak pidana yang dilakukan merupakan akibat dari
keadaan yang memaksa dan menjepitnya. Habituele recidive yaitu pengulangan
tindak pidana yang dilakukan karena si pelaku memang sudah mempunyai inner
criminal situation yaitu tabiat jahat sehingga kejahatan merupakan perbuatan
yang biasa baginya.
3)
Selain kepada kedua bentuk di atas,
pengulangan tindak pidana dapat juga
dibedakan atas:
Recidive umum, yaitu
apabila seseorang melakukan kejahatan/ tindak pidana yang telah dikenai
hukuman, dan kemudian melakukan kejahatan/ tindak pidana dalam bentuk apapun
maka terhadapnya dikenakan pemberatan hukuman.
Recidive khusus, yaitu
apabila seseorang melakukan perbuatan kejahatan/ tindak pidana yang telah
dikenai hukuman, dan kemudian ia melakukan kejahatan/ tindak pidana yang sama
(sejenis) maka kepadanya dapat dikenakan pemberatan hukuman. Persolalan tentang
pengertian residivis dalam KUHP Indonesia belum secara jelas tertulis tetapi
yang ada hanyalah syarat umum yang mengatakan bahwa seorang itu residivis kalau
terhadap perbuatannya ada ancaman hukuman yang diperberat atau ditambah dengan
duapertiganya. Materi yang diatur dalam Pasal 486. Pasal 487 dan Pasal 488 KUHP
tersebut adalah:
a)
Pasal 486 KUHP adalah kejahatan-kejahatan ulangan
yang menyangkut harta kekayaan dan penipuan.
b)
Pasal 487 KUHP adalah kejahatan-kejahatan
ulangan terhadap pribadi.
c)
Pasal 488 KUHP adalah kejahatan-kejahatan
ulangan yang menyangkut penghinaan.
Dari uraian tersebut
dapat ditegaskan bahwa seorang dikatakan residive, karena sudah ada putusan
hakim terlebih dahulu. Putusan terlebih dahulu itu akan menentukan berat
ringannya hukuman yang diberikan dalam putusan baru ini, apakah si penjahat
telah menjadi residivis. [4]
3. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhi Pidana
Kekuasaan
kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum
positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya. Sebagai
pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh
hakim melalui putusannya.7 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok
Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan:
Ketentuan Pasal 4
menyebutkan bahwa:
1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda-bedakan orang.
2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha
mengatasi segala
hambatan dari
rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya
ringan. Ketentuan Pasal 6 menjelaskan bahwa:
1) Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan
pengadilan, kecuali undang-undang menentukan lain.
2) Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali
apabila pengadilan karena
alat
pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang
yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang
didakwakan atas dirinya. Ketentuan Pasal
7 menjelaskan bahwa:
“Tidak seorang pun
dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali
atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang.”
Pada
kenyataannya dalam praktik, walaupun telah bertitik tolak dari sikap-sikap
seseorang hakim yang baik, kerangka landasan berfikir atau bertindak dan
melalui empat buah titik pertanyaan dalam putusan hakim yaitu : benarkah
putusanku ini, jujurkah aku dalam mengambil keputusan, adilkah bagi pihak–pihak
yang bersangkutan, bermanfaatkah putusanku ini. Hakim ternyata seorang manusia
biasa yang tidak luput dari kelalaian, kekeliruan (rechterlijk dwaling), rasa
rutinitas, kekurangan hati-hatian, dan kesalahan. Dalam praktik peradilan, ada
saja aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap kurang diperhatikan hakim dalam
membuat keputusan.
Menurut
Al. Wisnubroto, ada beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim dalam
mengambil keputusan, adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam
mempertimbangkan suatu keputusan adalah.[5]
Keputusan
hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan telah dilaksanakan,
dijadikan sebagai dokumen yang dinamakan yurisprudensi. Dokumen ini banyak
mengandung nilai-nilai hukum yang telah diperlukan dan bahkan tidak sedikit
yang berlandaskan pada pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan, agama, adat dan
filsafat hukum.
Pada
hakekatnya dengan adanya pertimbangan–pertimbangan tersebut diharapkan nantinya
dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi hukum (van
rechtswege nietig atau null and void) karena kurang pertimbangan hukum.
Selanjutnya setelah fakta-fakta dalam persidangan tersebut diungkapkan, pada
putusan hakim kemudian akan dipertimbangkan terhadap unsur-unsur dari tindak
pidana yang telah didakwakan oleh jaksa penuntut umum.
BAB
III
SIMPULAN
DAN SARAN
A.
Simpulan
Perbuatan
pidana atau yang biasa disebut tindak pidana merupakan suatu perbuatan atau
rangkaian perbuatan yang melanggar hukum, dimana bagi yang melakukannya akan
dikenakan hukuman pidana. Cara merumuskan dalam suatu tindak pidana terdiri
dari 3 cara, yaitu cara pertama dengan merumuskan delik dengan menguraikan
tindak pidana tersebut. Cara kedua ialah dimana pasal-pasal UU tertentu
menguraikan unsur-unsur perbuatan pidana, lalu ditambahkan kualifikasi atau
sifat dan gelar delik tersebut. Cara ketiga yaitu dimana pasal-pasal UU
tertentu hanya menyebut kualifikasi (sifat dan gelar) tanpa uraian unsur-unsur
perbuatan dan kemudian unsur-unsur tadi diserahkan kapada yurisprudensi dan
doktrin. Teori dalam pemidanaan ada 3, diantaranya teori absolut, teori
relatif, dan teori gabungan. Sanksi pidana ialah suatu hukuman yang diberikan
kepada seseorang karena telah melakukan tindak pidana, dimana dapat mengganggu
dan membahayakan kepentingan umum.
B.
Saran
Kami sadar bahwa masih banyak
kekurangan yang kami miliki, baik dari segi tulisan maupun bahasa yang kami
sajikan, oleh karena itu kami berpesan kepada pembaca, ambilah sesuatu
yang positif dari sebuah coretan yang kami buat, dan semoga makalah ini
bisa bermanfaat bagi kami maupun pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Cansil dan
Cristhine Cansil, 2007
Pokok-Pokok Hukum Pidana. Jakarta : Pradnya
Paramita
Moeljatno, 2008.
Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rieneka Cipta
Prodjodikoro, Wirjono. 2008
Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Refika Aditama
Muladi,
2008, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung, Alumni
R. Soenarto Suerodibroto, 2004, KUHP dan KUHAP, Jakarta, Raja Grafindo,
Zulkarnain,sanksi dalam perbuatan pidana, melalui:
http:<//digilib.unila.ac.id/6224/13/BAB%20II.pdf>,
diakses tgl 11 desember 2016, jam 12.06
[1] C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana,PT.
Pradnya Paramita, Jakarta, 2007,hlm. 40
[2] Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung,
Alumni, 2008, hlm.25
[3] R. Soenarto
Suerodibroto, KUHP dan KUHAP,
Jakarta, Raja Grafindo, 2004, hlm.310
[4] Zulkarnain, sanksi dalam perbuatan pidana,melalui:http:<//digilib.unila.ac.id/6224/13/BAB%20II.pdf>,
diakses tgl 11 desember 2016, jam 12.06
[5] Al. Wisnubroto,
Hakim dan Peradilan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1997, hlm. 88
0 komentar:
Post a Comment