BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peradilan Agama , keberadaannya telah ada jauh sebelum kemerdekaan
Negara Republik Indonesia. Ia telah mengalami pasang surut baik dari segi
penamaan, status dan kedudukan, maupun kewenangannya. Sampai pada masa Orde
Baru, peradilan agama belum menjadi peradilan yang mandiri. Peradilan agama
yang masih berada di bawah bayang-bayang kekuatan eksekutif. Seiring dengan hal itu, peradilan agamapun
mengalami perubahan yang cukup signifikan, baik menyangkut status dan
kedudukan, maupun kewenangannya, dengan mengikuti paradigma separation of
power, status dan kedudukan Peradilan Agama kemudian dilepaskan dari
baying-bayang eksekutif yakni Departemen Agama, untuk selanjutnya dimasukkan
dalam satu atap (one roof system) di bawah Mahkamah Agung bersama dengan badan
peradilan lainnya. Dari segi kewenangannyapun peradilan agama di era reformasi
mendapatkan kewenangan baru, yakni mengadili sengketa yang terkait dengan
bidang; zakat, infaq, sedekah serta ekonomi syariah.
Sebagaimana latar belakang di atas,
maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut :\
1.
Bagaimana penataan Peradilan Agama
pada masa Reformasi ?
2.
Apakah dasar hukum dan kewenangan
Peradilan Agama ?
3.
Bagaimana kedudukan Peradilan Agama
dan UU No 35 Tahun 1999 dan UU No Tahun
1974 ?
4.
Bagaimana eksistensi Peradilan
Agama/Mahkamah Syariah pasca penyatu atapan ke Mahkamah Agung ?
C.
Tujuan
Penulisan
Sebagaimana latar belakang dan
rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan adalah sebagai berikut
:
1. Untuk mengetahui
penataan Peradilan Agama di Indonesia pada masa reformasi.
2. Untuk mengetahui dasar hukum dan kewenangan Peradilan Agama di Indonesia.
3. Untuk mengetahui kedudukan Peradilan Agama dan UU No 35 Tahun 1999 dan UU No 4 Tahun 1974.
2. Untuk mengetahui dasar hukum dan kewenangan Peradilan Agama di Indonesia.
3. Untuk mengetahui kedudukan Peradilan Agama dan UU No 35 Tahun 1999 dan UU No 4 Tahun 1974.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Penataan Pengadilan
Agama Pada Masa Reformasi
Terdapat beberapa pengertian
mengenai peradilan, namun pada kesempatan kali ini, penulis hanya menuliskan
pengertian menurut Mahadi, peradilan didefinisikan sebagai “suatu proses yang
berakhir dengan memberikan keadilan dalam suatu putusan”. Jika kata
peradilan disatukan dengan kata agama, maka pengertian peradilan agama adalah
“kekuasaan Negara dalam hal memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara tertentu atar orang-orang yang Beragama Islam untuk menegakkan
hukum dan keadilan”. Dalam kekuasaan kehakiman Indonesia, posisi badan
Peradilan Agama di era reformasi sudah sejajar dengan badan-badan peradilan
lainnya di bawah Mahkamah Agung. Hal ini terjadi ketika tahun 1999 lahir
Undang-Undang No 35 tentang perubahan atas Undang-Undang No 14 Tahun 1970
tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pada era reformasi ini telah terjadi
beberapa perubahan dan upaya untuk melakukan dan penataan Peradilan
Agama.1. Penyatuatapan peradilan Agama ke bawah Mahkamah Agung
Gerakan reformasi, selain berhasil merespon hal-hal terkait dengan persoalan politik, juga telah berhasil merespon tuntutan atas pembenahan hukum dan lembaga peradilan. Pentingnya pembenahan hukum dan peradilan, mengingat pada masa Orde Baru banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan dan aparatur hukum, sehingga akibatnya hukum tidak bisa tegak karena peradilannya korup (judicial corruption). Karena itu, setengah gerakan reformasi berhasil, isu seputar indenpendensi kekuasaan kehakiman menggema.
Gerakan reformasi, selain berhasil merespon hal-hal terkait dengan persoalan politik, juga telah berhasil merespon tuntutan atas pembenahan hukum dan lembaga peradilan. Pentingnya pembenahan hukum dan peradilan, mengingat pada masa Orde Baru banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan dan aparatur hukum, sehingga akibatnya hukum tidak bisa tegak karena peradilannya korup (judicial corruption). Karena itu, setengah gerakan reformasi berhasil, isu seputar indenpendensi kekuasaan kehakiman menggema.
Penerapan peradilan satu atap di
Indonesia, dimaksudkan untuk menjadikan sistem hukum sebagai subjek reformasi
(varibel independent). Hal ini didasarkan pada hipotesis bahwa, hukum sebagai
sarana yang didayagunakan sebagai alat untuk mempercepat evolusi. Upaya yang
dilakukan dalam rangka reformasi di bidang hukum dan peradilan adalah keluarnya
UU No 35 Tahun 1999 yang merubah beberapa pasal UUNo 14 Tahun 1970. Perubahan
tersebut terutama menyangkut pengawasan dan pembinaan hakim yang diatur dalam
UU No 14 Tahun 1970. UU No 14 Tahun 1970 menentukan bahwa badan-badan peradilan
yang ada di Indonesia, secara teknis peradilan di bawah kekuasaan dan
pengawasan serta pembinaan oleh Mahkamah Agung dan secara oraganisatoris,
administrative dan financial berada di bawah Deptemen measing-masing.
Selanjutnya, dalam UU khusus yang mengatur masing-masing lingkungan peradilan
ditegaskan Departemen masing-masing yang dimaksud UU No 14 TAhun 1970 ini.
Peradilan Umum dan Peradilan Tata
Usaha Negara berada di bawah Departemen Kehakiman. Peradilan Agama berada di
bawah Departemen Agama dan Peradilan militer berada di bawah Departemen
Pertahanan dan Keamanan. Ketentuan tersebut di atas dirubah oleh UU No 35 Tahun
1999. Menurut UU ini seluruh urusan peradilan (teknis peradilan, organisator,
administratif dan financial) semuanya berada di bawah kekuasaan, pengawasan dan
pembinaan Mahkamah Agung. Dengan adanya ketentuan baru ini diharapkan hakim/lembaga
peradilan dapat melaksanakan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan lebih
mandiri, bebas dari campur pihak-pihak di luar pengadilan, terutama oleh pihak
eksekutif.
Dengan adanya pemindahan kewenangan
bidang empat hal yang disebutkan di atas berdasarkan UU No 4 Tahun 2004, maka
pembinaan bidang teknis yustisial dan nonyustisial lembaga peradilan, telah
berada satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Pemindahan kewenangan di
bidang organisasi meliputi kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan dan struktur
organisasi pada semua badan peradilan. Adapun yang dimaksud dengan pemindahan
kewenangan di bidang administrasi meliputi kepegawaian, kekayaan Negara,
keuangan, arsip, dan dokumen termasuk dari financial masing, masing
instansi/departemen, beralih satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
B.
Dasar Hukum Dan
Wewenang Peradilan Agama
Pada Era Reformasi ini keberadaan
Peradilan Agama selain didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang
telah ada sebelumnya (pada Masa Orde Baru) juga terdapat beberapa peraturan
Perundang-Undangan yang menjadi dasar hukum keberadaan Peradilan Agama atau
kewnangan Peradilan Agama. Peraturan Perundang-Undangan tersebut adalah: (1) UU
nomor 35 tahun 1999 tentang Perubahan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 tantang Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia, (3) UU Nomor 18 Tahun Tahun 2001 tentangPembentukan
Mahkamah Syariah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, (4) Kepres RI Nomor 21
Tahun 2004 tentangPengalihan Organisasi, Administari dan Finansial di
lingkungan Peradilan Umum,Tata Usaha Negara dan Peradilan Agama ke Mahkamah
Agung, (5) Undang-Undang Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 1989
tenatang Peradilan Agama.
Peradilan Agama adalah salah satu
badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum
dan keadilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Secara yuridis formal,
yuridis Peradilan Agama diatur Islam. Menurut UU No. 7 Tahun 1989, Peradilan
Agama hanya berwenang menyelesaikan perkara; perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq dan sedekah. Akan tetapi, dengan diberlakukannya UU No 3
Tahun 2006, menandai lhirnya paradigm baru peradilan agama. Paradigma baru
tersebut menjelaskan bahwa; “Peradilan agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat perncari keadilan yang beragama Islam mengenai ‘perkara
tertentu’ sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Kata-kata “perkara
tertentu” merupakan hasil perubahan terhadap kata “perkara perdata tertentu”
sebagaimana yang disebut dalam UU No 7 Tahun 1989.
Dengan adanya penegasan tentang
perluasan kewenangan peradilan agama tersebut, juga dimaksudkan untuk
memberikan dasar hukum kepada peradilan agama dalam menyelesaikan perkara
tertentu. Termasuk atas pelanggaran atas undang-undang tentang perkawinan dan
peraturan pelaksanaannya, serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah
dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan qanun. Meskipun
UU No. 3 Tahun 2006 merupakan perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989. Akan tetapi,
status peraturan perundang-undangan yang lama tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang ini. Hal ini seperti dinyatakan dalam salah
satu pasalnya, yakni; “Pada ssaat undang-undang ini mulai berlaku peraturan
perundang-undang pelaksana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti
berdasarkan undang-undang ini”. Adapun tentang kewenangan peradilan agama
secara spesifik diatur dalam Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006. Pasal 49 huruf (a)
ditentukan kewenangan pengadilan agama di bidang perkawinan. Adapun yang
dimaksud dalam perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan UU
mengenai perkawinan yang dilakukan menurut syariah
.
C.
Kedudukan
Peradilan Agama Dan Uu Nomor 35 Tahun 1999 Dan Uu Nomor 4 Tahun 2004
Di Era Reformasi, eksistensi
Peradilan Agama mencapai puncak kekokohannya pada tahun 2001, saat
disepakatinya perubahan ketiga UUD 1945 olehMajelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR). Dalam Pasal 24 UUD 1945 hasil amandemen, secara ekspilit dinyatakan
bahwa, lingkungan peradilan agama disebutkan sebagai salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman di Indonesia, bersama lingkungan peradilan lainnya di bawah
Mahkamah agung. Sebagaimana yang telah dijabarkan pada pembahasan A dan B,
dapat disimpulkan bahwa perjalanan peradilan agama begitu panjang dalam sejarah
hukum dan peradilan di Indonesia, terakhir kalinya hal yang paling menggembirakan
adalah pada tanggal 21 Maret 2006 telah disahkan UU No. 3 Tahun 2006, merupakan
perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentangPeradilan Agama.
Setelah lahirnya UU No. 3 Tahun 2006
tersebut, maka semakin kokohlah kekuasaan dan kewenangan peradilan agama. Dengan
demikian, kedudukan peradilan agama di era reformasi ini selain sudah semakin
kuat kedudukannya juga telah mengalami pengembangan kelembagaan, salah satunya
menyangkut pengembangan pengadilan agama di Nanggroe Aceh Darussalam.Selain
itu, secara yuridis formal tentang kedudukan peradilan agama pada era reformasi
disebutkan dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU NO. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa; “Pengadilan agama
berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah
kabupaten/kota. Dan pengadilan tinggi berkedudukan di ibu kota provinsi dan
daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi”.
Hal lain yang penting dalam
kedudukan peradilan agama di era reformasi adalah dalam hal pembinaan. Dalam UU
No. 3 Tahun 2006 disebutkan, bahwa pembinaan teknis peradilan, oraganisasi,
administrasi, dan financial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pembinaan
teknis ini lebih mengacu pada penerapan hukum acara dalam peradilan yang bersangkutan
dan penerapan segala peraturan yang berlaku menyangkut suatu perkara tertentu.
D.
Eksistensi
Peradilan Agama/Mahkamah Syariah Pasca Penyatuatapan Ke Mahkamah Agung
Penyatuatapan Peradilan Agama adalah
bermakna penyatuan pengurusan (pengawasan dan pembinaan) segala urusan
peradilan Agama ke bawah Mahkamah Agung. Dengan adanya penyatuatapan ini, maka
urusan pembinaan dan teknis peradilan, urusan organisasi, administrasi dan
financial Peradilan Agama menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Penyatuatapan ini
juga akan memberikan Peradilan Agama kedudukan yang sejajar dan sederajat
dengan peradilan lainnya.
Sesuai dengan UU No. 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang terakhir telah
diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di mana
ditetapkan empat lingkungan Peradilan di Indonesia, yakni Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer.Semula
berdasarkan berdarkan PP No. 29 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar’iyah di provinsi Aceh yang kemudian diubah oleh PP No. 45 Tahun 1957
tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan
Madura, nama Pengadilan Agama adalah Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama,
sedang untuk Pengadilan Tinggi Agama adalah Mahkamah Syariah Provinsi. Mahkamah
Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah provinsi Aceh sekarang, merupakan lembaga
peradilan yang menurut UU No. 18 Tahun 2001 Otonomi Khusus bagi provinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.nDibentuk untuk
“menjalankan Peradilan Syariat Islam di Provinsi NAD sebagai bagian dari Sistem
PEradilan Nasional”.
Undang-Undang ini menyatakan bahwa kewenangan
lembaga baru ini didasarkan pada syariat Islam dalam sistem hukum nasional yang
akan diatur dalam qanun provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-undang ini
juga menegaskan bahwa kewenangan ini hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam. Akhirnya
dapat disimpulkan bahwa eksistensi Peradilan Agama pasca Penyatuatapan ini,
menjadi lebih kuat dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Bila selama ini
Peradilan Agama masih merasakan diskriminasi dan kekurangan disbanding
peradilan-peradilan lain, maka pada era reformasi ini diharapkan Peradilan
Agama dapat berkembang sejalan dan sama dengan peradilan-peradilan lain, yang
sama-sama berada di bawah satu atap yaitu Mahkamah Agung.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
A. Pada masa
Era Reformasi telah terjadi beberapa upaya untuk melakukan dan penataan
Peradilan Agama. Diantaranya adalah penyatuatapan peradilan Agama ke bawah
Mahkamah Agung. Penyatuatapan ini ditegaskan dan diatur dalam UU Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989, Peradilan Agama sekarang memiliki kewenangan di bidang perkawinan.
Kewarisan, wasiat, hibah, infak, shadakah, zakat dan ekonomi Islam.
B. Kewenangan
Pengadilan Agama di lingkungan Peradilan Agama berdasarkan Perubahan UU Nomor 7
Tahun 1989 yang disahkan pada Tahun 2006 adalah meliputi: (1) Perkawinan, (2)
Kewarisan,Wasiat dan Hibah, (3) Infaq dan Shadakah dan (4) Ekonomi Islam,
selain itu kewenangan Mahkamah Syari’ah yang khusus di provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam meliputi: (a) Ahwal as-Syakhsiyyah, (b) Mu’amalah dan (4) Jinayah.
C. Pasal 3
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 menegaskan bahwa semua peradilan yang ada di
seluruh Republik Indonesia adalah Peradilan Negara. Berdasarkan peraturan
perundang-undangan tersebut maka Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang kuat.
Peradilan Agama diakui sebagai salah satu lingkungan Peradilan pelaksana
kekuasaan kehakiman yang berada di bawah Mahkamah Agung.
D. Eksistensi
Peradilan Agama pasca penyatuatapan menjadi lebih kuat dibandingkan
dengan masa-masa sebelumnya. Bila selama ini, Peradilan Agama merasakan
diskriminasi dan kekurangan disbanding peradilan-peradilan lain, maka pada era
reformasi ini diharapkan Peradilan Agama dapat berkembang sejalan dan sama
dengan peradilan-peradilan lain, yang sama-sama berada di bawah satu atap yaitu
Mahkamah Agung.
DAFTAR
PUSTAKA
Aripin, Jaenal, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi
Hukum Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008.Asasriwarmi, Peradilan
Agama di Indonesia, Padang: Hayfa Press, 2008.Daud, Mohammad, Hukum
Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.Djalil, A.
Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2006.
Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum
Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008),
Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008),
0 komentar:
Post a Comment