Daftar Isi
Kata pengantar…………………………………………………………………………….iiDaftar isi…………………………………………………………………………………..iii
- Hukum dalam arti tata hukum indonesia/hukum positif dan pengantar hukum indonesia (pertemuan ke-1) ………………………………………………………………….1
- Sejarah dan tata hukum dan politik hukum (pertemuan ke-2) ……………………5
- Hukum perdata eropa gol. Penduduk indonesia (pertemuan ke-3) ……………….11
- Berlakunya hukum perdata eropa bagi gol. Lain (pertemuan ke-4) ………………13
- Pengenalan hukum perdata (pertemuan ke-5) …………………………………….15
- Pengenalan hukum adat indonesia (pertemuan ke-6 dan 7) ………………………22
- Pengenalan hukum pidana indonesia (pertemuan ke- 8) ………………………….28
- Lapangan hukum tata negara (pertemuan ke-9) …………………………………..35
- Asas-asas hukum administrasi negara (pertemuan ke-10) ………………………..42
- Asas-asas hukum acara peradilan (pertemuan ke-11) …………………………….43
- Lembaga peradilan di indonesia (pertemuan ke-12) ……………………………...47
- Hukum internasional (pertemuan ke-13) ………………………………………….49
- Hukum dagang (pertemuan ke-14) ………………………………………………..50
- Hukum ketenaga kerjaan (pertemuan ke-15)……………………………………....51
HUKUM DALAM ARTI TATA HUKUM INDONESIA/ HUKUM POSITIF DAN PENGANTAR HUKUM DI INDONESIA
Hukum Indonesia adalah hukum yang berlaku di Indonesia pada saat ini. Suatu hukum dikatakan berlaku, apabila hukum itu dikeluarkan atau diresmikan serta dipertahankan oleh negara. Disamping hukum yang berlaku kita juga mengenal “hukum yang hidup/living law” walaupun tidak dikeluarkan oleh negara tetapi secara nyata dipergunakan dalam pergaulan hidup bermasyarakat.
Dalam mempelajari ilmu hukum di perguruan tinggi, dikenal ada dua macam bahasan yang harus dipelajari, yaitu Pengantar Ilmu Hukum (PIH) dan Pengantar Tata Hukum Indonesia (PTHI). Persamaan dan perbedaan antara PIH dan PHI/PTHI dapat diketahui antara lain:
- Baik PIH maupun PTHI, merupakan mata kuliah dasar. Keduanya merupakan mata kuliah yang mempelajari hukum
- Istilah PIH lahir dan dipergunakan pertama kalinya, sejak berdirinya Perguruan Tinggi Gajah Mada tanggal 13 Maret 1946
- PIH merupakan terjemahan langsung dari bahasa Belanda “Inleiding tot de Rechtswetenschaft” sejak tahun 1942 yang juga mengambil dari istilah Jerman “Einfuhrung in dierechts wissenschaft” diakhir abad 19. Sedang PTHI merupakan terjemahan dari “Inleiding tot her positiefrechts van Indonesie”
- Istilah pengantar dalam PIH berarti menunjukkan jalan kearah cabang-cabang ilmu (rechtsvakken) yang sebenarnya. Sedangkan istilah pengantar dalam PTHI berarti menunjukkan fungsinya mata kuliah ini sebagai pembantu, penunjuk jalan, yang didalamnya terkandung dua unsur, ringkas (overzichtelijk) tetapi meliputi seluruhnya.
- Obyek dari mata kuliah ini berlainan, PTHI berobyek pada hukum yang sedang berlaku di Indonesia sekarang ini, obyeknya khusus mengenai hukum positif. Sedangkan obyek PIH adalah aturan hukum pada umumnya, tidak terbatas pada aturan hukum yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu(ius constitutum)
- Hubungan PIH dengan PHI, PIH menjadi dasar dari PTHI yang berarti untuk mempelajari PHI harus belajar PIH dahulu[1]
- Bahasan dari PIH adalah mengenai pokok-pokok, prinsip-prinsip, keadaan, maksud dan tujuan dari bagian-bagian hukum yang paling mendasar serta berkaitan /tata hubungan antara bagian-bagian yang paling mendasar tersebut dengan hukum sebagai ilmu pengetahuan.[2]
- Tata Hukum Indonesia
Tata hukum Indonesia ditetapkan oleh masyarakat hukum Indonesia, ditetapkan oleh Negara Indonesia. Oleh karena itu adanya Tata Hukum Indonesia baru sejak lahirnya Negara Indonesia (17-8-1945). Pada saat berdirinya Negara Indonesia dibentuklah tata hukumnya, hal ini dinyatakan dalam:
- Proklamasi Kemerdekaan: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia”
- Pembukaan UUD 1945: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu … disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia …”
UUD hanyalah memuat ketentuan-ketentuan dasar dan merupakan rangka dari Tata Hukum Indonesia. Masih banyak ketentuan-ketentuan yang perlu diselenggarakan lebih lanjut dalam pelbagai Undang-Undang Organik.
Bahwasanya bangsa Indonesia mempunyai tata hukum pribadi asli itu dibuktikan oleh adanya ilmu pengetahuan Hukum Adat, berkat hasil penyelidikan ilmiah Prof. Mr. C. Van Vollenhoven di Indonesia.[3]
- Tujuan Mempelajari Tata Hukum Indonesia
Secara sederhana dapat disampaikan tentang tujuan dari belajar hukum itu adalah:
- Ingin mengetahui peraturan-peraturan hukum yang berlaku saat ini di suatu wilayah negara atau hukum positif atau Ius Constitutum
- Ingin mengetahui perbuatan-perbuatan mana yang menurut hukum dan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum.
- Ingin mengetahui kedudukan seseorang dalam masyarakat atau hak dan kewajibannya.
- Ingin mengetahui saksi-saksi apa yang diderita oleh seseorang bila orang tersebut melanggar peraturan yang berlaku.
Samidjo, mengatakan tujuan mempelajari tata hukum Indonesia adalah mempelajari hukum yang mencakup seluruh lapangan hukum yang berlaku di Indonesia, baik itu hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.[4]
- Fungsi Pengantar Hukum Indonesia
Fungsi utama Pengantar Hukum Indonesia atau Tata Hukum Indonesia adalah:
- Sebagai mata kuliah dasar
- Sebagai pendukung pada mata kuliah lainnya.
- Memperkenalkan konsep-konsep generalisasi dan teori-teori hukumsecara umum yang diperlukan untuk aplikasinya.
- Ringkas tapi meliputi keseluruhan.
- Konsep Survei Udara
PHI menyajikan satu ringkasan bersipat menyeluruh tapi tidak mendalam. Persamaan dan Perbedaan Pengantar Hukum Indonesia dengan Pengantar Ilmu Hukum. Persamaan PHI dan PIH:
- Sama-sama merupakan mata kuliah dasar dalam mempelajari hukum.
- PHI dan PIH sama-sama mempelajari tata hukum Indonesia.
Perbedaan PHI dan PIH:
- PHI berobjek pada hukum yang berlaku saat ini / hukum positif, sedangkan PIH aturan tentang hukum pada umumnya, tidak terbatas pada aturan hukum yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu.
- Perbedaan istilah.
BAB II
SEJARAH TATA HUKUM DAN POLITIK HUKUM
- Sejarah Tata Hukum
Tata hukum Indonesia adalah tata hukum yang ditetapkan oleh Bangsa Indonesia sendiri atau oleh negara sendiri. Adanya Tata Hukum Indonesia juga sejak saat adanya Negara Indonesia yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945, dimana Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan.
Dengan adanya Pproklamasi tersebut, sejak saat itu Bangsa Indonesia telah mengambil keputusan untuk melaksanakan dan menentukan hukumnya sendiri, yaitu dengan tata hukumnya yang baru yakni Tata Hukum Indonesia. Hal itu dinyatakan dalam:
- Proklamasi Kemerdekaan: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”.
- Pembukaan UUD 1945: “atas berkat rahmat Alloh yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. “Kemudian daripada itu…………disusunlah Kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia…………”.
Pernyataan tersebut mengandung arti:
- Menjadikan Indonesia suatu negara yang merdeka dan berdaulat
- Pada saat itu juga menetapkan tata hukum Indonesia, sekedar mengenai bagian yang tertulis. Di dalam UUD Negara itulah tertulis tata hukum Indonesia (yang tertulis).
Lahirnya tata hukum Indonesia dipertegas pula dalam Memorandum DPRGR tanggal 9 Juni 1966, antara lain menyatakan bahwa:
“Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945, adalah detik penjebolan tata tertib hukum kolonial dan sekaligus detik pembangunan tertib hukum nasional, tertib hukum Indonesia dan seterusnya”.
Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa dengan Proklamasi itu berarti: pertama, menegarakan Indonesia, menjadi suatu negara, kedua, pada saat itu juga menetapkan Tata Hukum Indonesia. Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa tata Hukum Indonesia berpokok pangkal kepada Proklamasi. Guna kesempurnaan negara dan Tata Hukumnya, maka pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI ditetapkan dan disahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945.
UUD 1945 hanyalah memuat ketentuan-ketentuan dasar dari Tata Hukum Indonesia. Masih banyak ketentuan-ketentuan yang perlu diselenggarakan lebih lanjut dalam pelbagai Undang-Undang Organik. Karena sampai sekarang ini belum banyak Undang-Undang Organik seperti dimaksud diatas, maka melalui ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 diperlakukan banyak peraturan-peraturan yang berasal dari Hindia Belanda.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, UUD 1945 mengalami pasang surut. Pada tanggal 17 Agustus 1950, Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan tidak berlaku, tetapi tanggal 5 Juli 1959 dengan adanya dekrit Presiden, Undang-Undang Dasar tersebut diberlakukan kembali. Sejalan dengan perkembangan ketatanegaraan Bangsa Indonesia, perkembangan perundang-undangan sejak berdirinya Negara Republik Indonesia juga mengalami pasang surut, hal ini dapat dilihat dari periodisasi sebagai berikut:
- Masa UUD 1945. ke-1 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949)
- Masa Konstitusi RIS (27 Desember 1949-17 Agustus 1950)
- Masa UUDS 1950 (15 Agustus 1950-5 Juli 1959)
- Masa UUD 1945, ke-2 (5 Juli 1959-sekarang)
- Masa Amandemen UUD 1945:
- Amandemen Pertama disahkan 19 Oktober 1999
- Amandemen Kedua disahkan 18 Agustus 2000
- Amandemen Ketiga disahkan 10 November 2001
- Amandemen Keempat disahkan 10 Agustus 2002[5]
- Dasar-Dasar Hukum Berlakunya Aneka Warna Peraturan Perundangan di Indonesia
- Semua peraturan-peraturan perundangan Hindia Belanda yang diambil alih oleh Pemerintah Militer Jepang ditambah dengan peraturan-peraturan yang dibuat Pemerintah Jepang sendiri, berlaku pada zaman penjajahan Jepang di Indonesia.
- Semua peraturan perundang-undangan yang berlaku pada masa penjajahan Jepang yang diambil alih oleh UUD 1945 (Pasal II Aturan Peralihan) ditambah dengan peraturan-peraturan yang dibuat berdasarkan UUD 1945 tersebut, berlaku pada masa UUD 1945 (yang pertama).
- Semua peraturan-peraturan perundangan yang berlaku pada masa UUD 1945 yang diambil alih oleh Konstitusi RIS (Pasal 192 Aturan Peralihan) ditambah dengan peraturan-peraturan yang dibuat berdasarkan konstitusi RIS tersebut, berlaku selama masa Konstitusi RIS.
- Semua peraturan-peraturan perundangan yang berlaku pada masa Konstitusi RIS yang diambil alih oleh UUDS 1950 (Pasal 142 Ketentuan Peralihan), ditambah dengan peraturan-peraturan yang dibuat berdasarkan UUDS 1950 tersebut selama masa UUDS 1950.
- Akhirnya semua peraturan-peraturan perundangan yang berlaku selama masa berlakunya UUDS 1950 yang diambil alih oleh UUD 1945 (UUD 1945 dinyatakan berlaku dengan Dekrit Presiden), ditambah dengan peraturan-peraturan perundangan yang dibuat berdasarkan UUD 1945 (yang kedua) ditambah lagi dengan peraturan-peraturan yang dibuat berdasarkan Dekrit Presiden (sebagai peraturan-peraturan pelaksanaan Dekrit Presiden tersebut sepanjang belum dicabut) berlaku pada masa sekarang ini. Sebagai kesimpulannya:
- Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (setelah Dekrit Presiden), juncto
- Pasal 142 Ketentuan Peralihan UUDS RI 1950, juncto
- Pasal 192 Ketentuan Peralihan Konstitusi RIS, juncto
- Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (Proklamasi), junctodan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”
- Pasal 3 Undang-Undang Balatentara Jepang Tahun 1942 No. 1
“Semua badan-badan Pemerintahan dan kekuasaannya hukum dan undang-undang dari Pemerintah yang dulu, tetap diakui sah buat sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan Aturan Pemerintahan Militer”
Segala peraturan perundangan yang diadakan di zaman Hindia Belanda, di zaman Balatentara Jepang dan di zaman Republik Indonesia hingga sekarang, berlaku seluruhnya di Indonesia sekarang ini, asal saja peraturan-peraturan perundangan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang sekarang berlaku dan tetap akan berlaku di Indonesia seterusnya selama belum dicabut, ditambah atau diubah oleh ketentuan-ketentuan berdasarkan Undang-Undang dasar 1945 yang sekarang berlaku di negara Kesatuan Republik Indonesia.[6]
- Politik Hukum
Pemakaian kata “politik” dalam Politik hukum Nasional menurut Hartono Hadisoeprapto, berarti kebijaksanaan (policy) dari penguasa Negara Republik Indonesia mengenai hukum yang berlaku di Negara Indonesia. Hal ini sesuai dengan pendapat Teuku Mehammad Radhie yang mengatakan: “Adapun politik hukum disini hendak kita artikan sebagai pernyataan kehendak Penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku diwilayahnya dan mengenai arah kemana hukum hendak diperkembangkan.”[7]
Mengenai politik hukum nasional, tertuang dalam:
- Pasal 102 UUDS 1950 yang berbunyi:
“ Hukum perdata dan dagang, hukum pidana sipil maupun hukum pidana militer, hukum acara perdata dan hukum acara pidana, susunan dan kekuasaan pengadilan, diatur dengan undang-undang dalam kitab-kitab hukum, kecuali jika pengundang-undangan menganggap perlu untuk mengatur beberapa hal dalam undang-undang tersendiri.”
Dari Pasal 102 UUDS 1950 dapat ditarik kesimpulan bahwa Negara Republik Indonesia menghendaki di kodifikasikannya lapangan-lapangan hukum tersebut, sehingga dikenal pula bahwa Pasal 102 UUDS 1950 sebagai pasal kodifikasi.
- Undang-Undang Dasar 1945
Walaupun dalam UUD 1945 tidak menentukan adanya politik hukum secara jelas, akan tetapi apabila diteliti secara mendalam, dalam Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 dapat diartikan menentukan adanya politik hukum meskipun sifatnya sementara saja. Dengan perantaraan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, memberi dasar hukum untuk berlakunya politik hukum Hindia Belanda, sekedar untuk mengisi kekosongan hukum dan tidak bertentangan dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945.
- Baru pada Tahun 1973 ditetapkan ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang garis-garis besar haluan negara yang didalamnya secara resmi digariskan adanya politik hukum nasional Indonesia sebagai berikut:
- Pembangunan dibidang hukum dalam negara hukum Indonesia adalah berdasarkan atas landasan sumber tertib hukum yaitu cita-cita yang terkandung pada pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari bangsa Indonsia yang di dapat dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
- Pembinaan bidang hukum harus mampu mengendalikan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai kesadaran hukum rakyat yang berkembang kearah modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh, dilakukan dengan:
- Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara lain mengadakan pembaharuan, modifikasi serta unifikasi hukum dibidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat.
- Menerbitkan fungsi lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing.
- Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum.
- Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah kearah penegak hukum, keadilan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, dan keterlibatan serta kepastian hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar1945.
Politik hukum Indonesia yang dirumuskan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara setiap lima tahun sekali berganti arah kebijakan, tentunya apabila dilaksanakan dengan baik, akan mengejar ketinggalan dalam bidang pembinaan dan penegakan hukum di Indonesia.
BAB III
HUKUM PERDATA EROPA
BAGI GOLONGAN PENDUDUK INDONESIA
Keadaan hukum di Indonesia masih berlaku peraturan-peraturan hukum jaman Belanda melalui pasal 1 aturan peralihan UUD 1945: ”Segala Peraturan Perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”.
Beberapa peraturan perundang-undangan dari tatanan hukum pada jaman Belanda yang belum diganti dengan yang baru, adalah Pasal 163 dan Pasal 131 IS (Indische Staats Regeling), STB 1917-129, STB 1924-556 dan STB 1917-12.
Berdasarkan pasal 163 IS penduduk hindia Belanda dibagi dalam 3 golongan:
- Golongan Eropa, pasal 163 (2) terdiri dari:
- Semua warga negara Belanda.
- Semua yang tidak disebut pada nomor 1 diatas, yang berasal dari Eropa
- semua warga negara Jepang.
- semua orang yang berasal dari tempat lain yang tidak termasuk ke dalam nomor a dan b ditanah asalnya mempunyai hukum keluarga yang dalam asasnya bersamaan dengan hukum keluarga Eropa. Anak nomor b dan c yang dilahirkan di Indonesia secara sah atau menurut UU yang diakui dan turunan mereka selanjutnya.
- Golongan timur asing berdasarkan pasal 163 (4) adalah mereka yang tidak termasuk ke dalam golongan bumi putera dan golongan Eropa yaitu orang-orang India, Pakistan, Arab, Cina dan sebagainya.
- Golongan bumi putera (Indonesia asli) berdasarkan pasal 163 (3) adalah orang-orang Indonesia asli yang turun temurun menjadi penghuni dan bangsa Indonesia termasuk kedalam golongan bumi putera adalah:
- Mereka yang termasuk pribumi yang tidak pindah ke golongan lain.
- Mereka yang tadinya termasuk ke dalam golongan lain, tapi telah meleburkan diri ke dalam golongan bumi putera.
Hukum Perdata yang berlaku terhadap tiap-tiap golongan penduduk tersebut:
- Berdasarkan pasal 131 (2a) untuk golongan Eropa berlaku hukum perdata dan hukum dagang Eropa seluruhnya tanpa kecuali, baik yang tercantum dalam KUHS dan KUHD maupun dalam UU tersendiri diluar kodifikasi tersebut.
- Berdasarkan pasal 131 (2b) untuk golongan bumi putera berlaku hukum perdata yang sinonim dengan hukum yang tidak tertulis (Prof. Soepomo, SH)
- Berdasarkan STB 1917-129, golongan Timur asing terdiri dari:
- Golongan Timur Asing Cina.
- Golongan Timur Asing bukan Cina, berdasarkan pasal 131 (2b) IS Jo STB 1917-129, hukum perdata berlaku untuk golongan timur asing Cina adalah hukum perdata dan hukum dagang Eropa selruhnya, kecuali mengenai kongsi dan adopsi masih berlaku hukum adat timur asing Cina.
Kongsi adalah suatu badan usaha orang-orang Cina yang diatur dalam hukum adat mereka yang diakui senagai badan hukum. Adopsi adalah pengangkatan anak yang juga masih diatur oleh hukum adat mereka.
BAB IV
BERLAKUNYA HUKUM PERDATA EROPA BAGI GOLONGAN LAIN
Berdasarkan pasal 131 (2b) IS jo STB 1924-556 hukum perdata yang berlaku untuk golongan timur asing bukan Cina yaitu orang-orang India, Pakistan, Arab, Parsi dan sebagainya berlaku hukum perdata dan hukum dagang Eropa kecuali hukum keluarga dan hukum waris tanpa surat wasiat, masih berlaku hukum adat mereka masing-masing.
Dengan penggolongan penduduk tersebut terlihat bahwa sejak jaman penjajahan, dalam penerapan hukum perdata telah terdapat dualisme hukum, yaitu bagi golongan Eropa berlaku hukum perdata, golongan timur asing berlaku hukum perdata, namun masih diakui beberapa hukum perdata adat mereka yang tetap berlaku. Sedangkan bagi golongan bumi putera berlaku hukum adat. Namun dalam STB 1917-12 ditetapkan tentang tata cara penundukan. Dengan sukarela pada hukum perdata Eropa, sebagai berikut:
- Penundukan untuk seluruh hukum perdata dan hukum dagang Eropa, karena itu seluruh hukum perdata dan hukum dagang Eropa akibatnya berlaku terhadap mereka (pasal 1-17)
- Penundukan untuk sebagian hukum perdata dan hukum dagang Eropa, artinya tunduk kepada sebagian dari hukum perdata dan hukum dagang yang menjadi UU diperlakukan terhadap orang-orang timur asing bukan Cina (pasal 18-25), misal: tunduk pada hukum perjanjian Eropa yang diatur dalam buku III KUHS.
- Penundukan untuk suatu perbuatan hukum tertentu, sehingga karena itu yang berlaku hanyalah ketentuan-ketentuan yang langsung berhubungan dengan itu (pasal 26-28) misal: perbuatan menyewakan, menukarkan, menghibahkan dan sebagainya, diatur dalam buku III KUHS.
- Penundukan anggapan, artinya orang bumi putera dan timur asing yang bukan Cina menganggap sudah dengan sendirinya mereka tunduk pada hukum perdata dan hukum dagang Eropa(pasal 24-30) misal: apabila orang bumi putera berulang-ulang melakukan penarikan wesel atau cek, maka dianggaplah dia telah tunduk dengan suka rela kepada peraturan hukum yang mengatur tentang cek dan wesel yang terdapat dalam hukum dagang Eropa, TB 1917-12.
Penundukan ini mengandung hal-hal yang positif dan negatif. Hal-hal yang positif:
- Orang bumi putera dapat menikmati hukum yang tertulis yang terdapat dalam hukum perdata Eropa, baik yang tercantum dalam KUHS dan KUHD, maupun UU diluar kitan UU tersebut.
- Dapat memenuhi kebutuhan hukum orang-orang bumi putera, karena orang-orang bumi putera dapat menggunakan peraturan-peraturan hukum yang tidak terdapat dalam hukum adat.
Hal-hal negatif:
- Pembinaan hukum adat akan terlantar atau akan menghambat pembinaan hukuk adat karena orang bumi putera akan mempergunakan hukum perdata Eropa dan meninggalkan hukum adat mereka, sedangkan tujuan hukum Indonesia adalah untuk melakukan kodifikasi hukum nasional, unifikasi hukum dan pembaharuan hukum adat (Bachsan Mustafa, Bab I.7)
- Pada waktu orang Belanda datang di Indonesia, disini telah ada satu tata hukum sendiri yaitu tatahukum asli, yang memang berbeda dari tata hukum Belanda. Pada awalnya Belanda tidak meniadakan tata hukum barat, tetapi Belnda juga tidak mau menundukkan diri pada tata hukum asli. Jadi sejak awal sudah terjadi dualisme hukum. Kodifikasi hukum pidana yang berlaku pada tahun 1918 pada tahun 1946, waktu proklamasi kemerdekaan, KUHP tersebut sebanyak mungkin disesuaikan dengan keadaan yang seharusnya pada suatu negara. Unifikasi pada bagian-bagian tertentu hukum di Indonesia masih perlu diperhatikan. Kebutuhan sosial dan unifikasi hukum, yaitu kesatuan hukum baru dapat dijalankan apabila ada persamaan kebutuhan.
BAB V
PENGENALAN HUKUM PERDATA
- Definisi Hukum Perdata
Istilah hukum perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai teremahan dari burgerlijkrecht pada masa penduduka jepang. Di samping istilah itu, sinonim hukum perdata adalah civielrecht dan privatrecht.
Para ahli memberikan batasan hukum perdata, seperti berikut. Van Dunne mengartikan hukum perdata, khususnya pada abad ke -19 adalah: “suatu peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat ecensial bagi kebebasan individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum public memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi”
Pendapat lain yaitu Vollmar, dia mengartikan hukum perdata adalah:
“aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan prseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengna kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas” Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengertian hukum perdata yang dipaparkan para ahli di atas, kajian utamnya pada pengaturan tentang perlindungan antara orang yang satu degan orang lain, akan tetapi di dalam ilmu hukum subyek hukum bukan hanya orang tetapi badan hukum juga termasuk subyek hukum, jadi untuk pengertian yang lebih sempurna yaitu keseluruhan kaidah-kaidah hukum(baik tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan.
Di dalam hukum perdata terdapat 2 kaidah, yaitu:
- Kaidah tertulis
Kaidah hukum perdata tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi.
- Kaidah tidak tertulis
Kaidah hukum perdata tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam praktek kehidupan masyarakat (kebiasaan)
Subjek hukum dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
- Manusia
Manusia sama dengan orang karena manusia mempunyai hak-hak subjektif dan kewenangan hukum.
- Badan hukum
Badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, harta kekayaan, serta hak dan kewajiban.
Subtansi yang diatur dalam hukum perdata antara lain:
- Hubungan keluarga
Dalam hubungan keluarga akan menimbulkan hukum tentang orang dan hukum keluarga.
- Pergaulan masyarakat
Dalam hubungan pergaulan masyarakat akan menimbulakan hukum harta kekayaan, hukum perikatan, dan hukum waris. Dari berbagai paparan tentang hukum perdata di atas, dapat di temukan unsur-unsurnya yaitu:
- Adanya kaidah hukum
- Mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain.
- Bidang hukum yang diatur dalam hukum perdata meliputi hukum orang, hukum keluarga, hukum benda, hukum waris, hukum perikatan, serta hukum pembuktia dan kadaluarsa.
- Sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Sistematika Hukum Perdata di Indonesia dalam KUH Perdata dibagi dalam 4 buku yaitu:
Buku I, tentang Orang(van persoonen); mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Buku II, tentang Kebendaan(van zaken); mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
Buku III, tentang Perikatan(van verbintennisen); mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
Buku IV, tentang Daluarsa dan Pembuktian(van bewijs en verjaring); mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Sistematika Hukum Perdata di Indonesia menurut ilmu pengetahuan di bagi menjadi 4 bagian:
Hukum Perorangan atau Badan Pribadi (personenrecht):
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang seseorang manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban (subyek hukum),tentang umur,kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum,tempat tinggal(domisili)dan sebagainya.
Hukum Keluarga (familierecht):
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum yang timbul karena hubungan keluarga / kekeluargaan seperti perkawinan,perceraian,hubungan orang tua dan anak,perwalian,curatele,dan sebagainya.
Hukum Harta Kekayaan (vermogenrecht):
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum seseorang dalam lapangan harta kekayaan seperti perjanjian,milik,gadai dan sebagainya.
Hukum Waris(erfrecht):
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang benda atau harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia,dengan perkataan lain:hukum yang mengatur peralihan benda dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.
- Asas-Asas Hukum Perdata
Beberapa asas yang terkandung dalam KUHPdt yang sangat penting dalam Hukum Perdata adalah:[8]
- Asas kebebasan berkontrak,
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt).
- Asas Konsesualisme,
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
- Asas Kepercayaan,
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari
- Asas Kekuatan Mengikat
Asas kekuatan mengi kat ini adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian hanya mengikat bagi para fihak yang mengikatkan diri pada perjanjian tersebut dan sifatnya hanya mengikat ke dalam
- Asas Persamaan hukum,
Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.
- Asas Keseimbangan,
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik
- Asas Kepastian Hukum,
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
- Asas Moral
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya
- Asas Perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak
- Asas Kepatutan.
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPdt. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya
- Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.
- Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan itikad baik mutlak.
BAB VI
PENGENALAN HUKUM ADAT INDONESIA
- Pengertian Hukum Adat
Pengertian Hukum Adat menurut Ter Haar, Hukum Adat adalah seluruh peraturan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan dengan penuh wibawa yang dalam pelaksanaannya “diterapkan begitu saja”, artinya tanpa adanya keseluruhan peraturan yang dalam kelahirannya dinyatakan mengikat sama sekali.
Menurut Soekanto, Pengertian Hukum Adat adalah keseluruhan adat (yang tidak tertulis) dan hidup di dalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum.
Hazairin mengemukakan Pengertian Hukum Adat, Hukum Adat merupakan kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu yang dibuktikan dengan kepatuhannya terhadap kaidah-kaidah tersebut.
Pengertian Hukum Adat menurut pendapat Van Vollenhoven, Hukum Adat adalah Keseluruhan aturan tingkah laku yang positif, yang dimana di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karenanya itu disebut hukum) dan di pihak yang lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karenanya itu disebut adat).
Menurut Supomo, Pengertian Hukum Adat ialah hukum yang mengatur tingkah laku individu atau manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik itu keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang hidup di dalam masyarakat adat karena dianut dan dipertahankannya oleh anggota-anggota masyarakat itu, juga keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat. Mereka yang mempunyai kewibawaan dan kekuasaan, memiliki kewenangan dalam memberi keputusan terhadap masyarakat adat itu, yaitu dalam keputusan lurah, pembantu lurah, wali tanah, penghulu, kepala adat dan hakim.
Suroyo Wignjodipuro mengemukakan pengertian hukum adat, Hukum Adat merupakan suatu kompleks dari norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang terus berkembang serta meliputi peraturan tingkat laku individu atau manusia dalam kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis dan memiliki akibat hukum (sanksi) bagi pelanggarnya.
- Dasar hukum berlakunya hukum adat
Dasar Berlakunya Hukum Adat Ditinjau Secara Yuridis dalam Berbagai Peraturan Perundang-undangan. Memepelajari segi yuridis dasar berlakunya Hukum Adat berarti mempelajari dasar hukum berlakunya Hukum Adat di Indonesia (Saragih, 1984:15). Berdasarkan fakta sejarah dapat dibagi dalam dua periode yaitu pada Jaman Kolonial (penjajahan Belanda dan Jepang) dan Jaman Indonesia Merdeka.
- Jaman Kolonial (Penjajahan Belanda dan Jepang)
Sebelum Konstitusi RIS berlaku yaitu pada jaman penjajahan Jepang, terdapat peraturan Dai Nippon yaitu Osamu Sirei pasal 3 menentukan bahwa peraturan-peraturan sebelumnya juga masih tetap berlaku. Ketentuan yang ada pada waktu sebelum penjajahan Jepang adalah ketentuan pasal 75 baru RR yang pada tahun 1925 diundangkan dalam Stb. No. 415 Jo. 577 berlaku mulai 1 Januari 1926 dimasukkan dalam pasal 131 IS (Indische Staatsregeleing) lengkapnya Wet Op De Staatsinrichting Van Nederlands Indie.
Ketentuan tersebut juga merupakan penyempurnaan dari pasal 75 ayat 3 lama RR 1854 (Regeringsreglemen) lengkapnya Reglement Op Het Beleid Der Regering Van Netherlands Indie(Peraturan teantang Kebijaksanaan Pemerintah di Hindia Belanda) Stb. No. 2 Tahun 1845 (Belanda) dan Stb. No. 2 Jo. 1 1855 (Hindia Belanda). Pasal 75 lama RR terdiri dari 6 ayat (Mahadi, 1991:1-2), yaitu:
- Sepanjang mengenai golongan Eropa, pemberian keadilan dalam bidang Hukum Perdata juga dalam Hukum Pidana didasarkan pada _Verordering-verordering umum, yang sejauh mungkin sama bunyinya dengan undang-undang yang berlaku di negeri Belanda.
- Gubernur Jenderal berhak menyatakan berlaku aturan-aturan yang dipandang pantas, dari _Verording-verording tersebut bagi golongan orang-orang Bumi Putra. Jika perlu aturan-aturan tersebut boleh dirubah.
- Kecuali secara sukarela orang Bumi Putra menundukkan diri ke dalam Hukum Perdata Eropa, maka dalam memutus suatu perkara hakim mempergunakan Hukum Adat. Pada waktu itu istilah untuk menyebut Hukum Adat dengan berbagai macam, yaitu:
- UU agama.
- Lembaga-lembagagolongan Bumi Putra.
- Kebiasaan golongan Bumi Putra sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas yang diakui umum tentang kepatutan dan keadilan.
Jika Hukum Adat tidak mengatur tentang suatu perkara yang diajukan ke pengadilan maka hakim memberikan keadilan kepada golongan Bumi Putra mengambil asas-asas umum dari Hukum Perdata Eropa.
Menurut Mahadi (1991:2) pengertian umum dalam pasal 75 RR meliputi:
- Wet (UU) yang dibuat di negeri Belanda oleh DPR Belanda bersama-sama Raja Belanda.
- AMVB (Algemene Maatregel van Bestuur)_ peraturan yang dibuat oleh Raja Belanda untuk menjalankan suatu undang-undang yang di Indonesia dikenal dengan Peraturan Pemerintah (PP).
- Ordonansi yaitu peraturan yang dibuat oleh Gubernur Jendral bersama-sama Raad van Indie(Dewan Hindia Belanda) juga dengan Volksraad (DPR). Di Indonesia disebut UU.
- RV (Regeringsverordering) yang dibuat oleh Gubernur Jenderal untuk menjalankan Ordonansi.
Pasal 75 lama RR merupakan hasil perubahan dan penyempurnaan dari ketentuan pasal 11 AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving). Pasal 75 lama RR berlaku sampai tanggal 1 Januari 1920 dan sejak tanggal itu pasal 75 lama RR mendapat perubahan yaitu menjadi pasal 75 baru RR. Sebenarnya perubahan tersebut di Belanda sudah terjadi pada tahun 1906 dengan Stb. No. 346 diikuti di Indonesia pada tahun 1907 dengan Stb. No. 204, tetapi sebelum berlaku pada tahun yang sama (1907) pasal 75 baru RR sudah mengalaim perubahan lagi dengan Stb. 286 di Belanda dan Stb. 621 di Indonesia. Pada tahun 1920 R baru dirubah lagi dan pada tahun 1925 RR dimasukkan ke dalam pasal 131 IS yang diberlakukan mulai tahun 1926 dengan Stb. No. 415 Jo. 577 tahun 1925. Pasal 131 ayat 2 sub b IS berisi tentang ketentuan bahwa bagi orang golongan hukum Bumi Putra dan Timur Asing berlaku hukum adat mereka, tetapi dengan pembatasan yaitu (Sudiyat, 1981:24):
Jika kepentingan sosial mereka membutuhkan maka pembuat ordonansi (Gubernur Jendral danVoksraad) dapat menentukan bagi mereka:
- Hukum Eropa.
- Hukum Eropa yang telah diubah.
- Hukum bagi beberapa golongan bersama-sama.
Jika kepentingan umum memerlukan maka bagi mereka dapat ditentukan yaitu hukum baru yang merupakan sintesa antara Hukum Adat dan Hukum Eropa.
Pasal 131 IS ditujukan kepada pembuat ordonansi untuk membuat kodifikasi hukum privat bagi Bumi Putra dan Timur Asing dan bukan kepada hakim. Masalahnya, bagaimana ketika pembuat ordonansi belum sempat membuat kodifikasi yang dimaksudkan maka apa yang menjadi pegangan bagi hakim? Jawabnya adalah berdasarkan pasal 131 ayat 6 (merupakan ketentuan peralihan) yaitu selama Hukum Perdata dan Hukum Dagang yang sekarang berlaku bagi Bumi Putra dan Timur Asing belum diganti dengan kodifikasi maka hukum yang berlaku bagi mereka adalah Hukum Adat mereka sebelum tahun 1920 yang ditentukan dalam pasal 75 RR 1854. Menurut Muhammad (1991:45), hakim mengenai Hukum Adat tetap dapat dijalankan atas dasar bukan asas konkordansi seperti pada jaman dahulu, tetapi yang menjadi ukuran bagi hakim adalah asas-asas hukum harus yang dipertahankan dalam suatu negara hukum yang merdeka, berdaulat berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila.
Perbedaan antara pasal 131 IS dengan pasal 75 lama RR antara lain:
- Hukum Adat dirumuskan secara berbeda dalam kedua pasal 74 lama RR dan 131 IS (Mahadi, 1991:17). Dalam pasal 75 lama Hukum Adat dirumuskan sebagai UU agama lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan golongan Bumi Putra. Dalam pasal 131 IS, Hukum Adat dirumuskan sebagai norma hukum yang erat hubungannya dengan agama dan kebiasaan-kebiasaan. Rumusan Hukum Adat menurut pasal 75 lama RR dipengaruhi oleh pendapat Van den Berg yang dikenal dengan teori resepsi (Receptio in Complexu).
- Pasal 75 RR ditujukan kepada hakim sedang 131 ditujukan kepada pembuat UU.
- Pasal 75 lama RR tidak ada kemungkinan bagi Bumi Putra untuk menundukkan diri kepada hukum baru, sedangkan 131 IS ada kemungkinan untuk itu.
- Pasal 75 lama RR memuat ketentuan tentang pembatasan terhadap berlakunya Hukum Adat yaitu Hukum Adat tidak diberlakukan jika pasal 131 IS. Pasal 134 ayat 2 IS menentukan bahwa dalam hal timbul perkaraantara orang Muslim dan Hukum Adat meminta penyelesaiannya maka penyelesaian perkara tersebut diselenggarakan oleh Hakim Agama kecuali ordonansi menetapkan lain.
- Pasal 131 dan 134 IS hanya berlaku bagi hakim Landraad (PN), sedangkan bagi hakim Peradilan Adat (inheemse rechtspraak) dasar hukumnya adalah pasal 3 Stb. No. 80 tahun 1932 bagi daerah yang langsung dikuasai oleh Belanda yang di luar Jawa dan Madura. Sedangkan bagi daerah swapraja dasar hukumnya berlakunya Hukum Adat pasal 13 ayat 3 Stb. No. 529 tahun 1938 dalam lange contracten.
- Bentuk hukum adat
- Tertulis
Hukum yang tumbuh dan hidup di dalam masyarakat yang sudah mengenal tulis, dapat diketahui keputusan-keputusan para pemimpin persekutuan dan tidak boleh bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.Contoh hukum adat tertulis:
- Subak di Bali
- Piagam-piagam raja
- Angger ArubiruNawolo Pradoto (1771)
- Pranata desaBaraja nanti (Kutai) dsb.
Tidak tertulis Hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat adat, tetapi tidak tertulis dan tidak mengenal kodifikasi namun berlakunya ditaati seperti perundang-undangan. Biasanya berlaku di masyarakat yang masih buta huruf.Contoh hukum adat tidak tertulis:
- Maro
- Kawin lari
- Harta hono gini
BAB VII
PENGENALAN HUKUM PIDANA INDONESIA
- Definisi, keistimewaan dan tujuan hukum pidana
Membahas hukum pidana, tidak dapat dilepaskan dengan apa pengertian, fungsi dan tujuan hukum pidana itu sendiri. Dalam kepustakaan ada beberapa sarjana yang memberikan batasan tentang hukum pidana. Di bawah ini dikemukakan pandangan beberapa sarjana.
- Menurut Moeljatno
Hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
- menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar tersebut.
- Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
- Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
- Menurut Soedarto
Soedarto memberikan batasan tentang pengertian hukum pidana sebagai aturan hukum, yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat berupa pidana. Dengan demikian pada dasarnya hukum pidana berpokok pada 2 hal yaitu:
- aperbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Dengan “perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu” itu dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut “perbuatan yang dapat dipidana” atau disingkat “perbuatan jahat” (Verbrechen atau crime). Oleh karena dalam “perbuatan jahat” ini harus ada orang yang melakukannya, maka persoalan tentang “perbuatan tertentu” itu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu.
Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Didalam hukum pidana modern, pidana ini juga meliputi apa yang disebut “tindakan tata tertib” (tuchtmaatregel, Masznahme). Didalam ilmu pengetahuan hukum adat Ter Haar memakai istilah (adat) reaksi. Dalam KUHP yang sekarang berlaku jenis-jenis pidana yang dapat diterapkan tercantum dalam fatsal 10 KUHP.
Van Hamel memberikan batasan bahwa
Hukum pidana merupakan keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh Negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (onrecht) dan mengenakan suatu nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut.
Dari beberapa definisi tersebut di atas, pada hakikatnya untuk hukum pidana bisa dibagi menjadi 2 yaitu :
- hukum pidana materiil. Hukum pidana materiil di sini sebagaimana yang disebutkan oleh Moeljatno dalam huruf a dan huruf b. Dengan demikian apa yang diatur dalam hukum pidana materiil yaitu:
- perbuatan yang dilarang atau perbuatan yang dapat dipidana;
- syarat untuk menjatuhkan pidana atau kapan/dalam hal apa seseorang yang telah melakukan perbuatan yang dilarang dapat dipidana ;
- ketentuan tentang pidana.
- hukum pidana formil, sebagaimana disebutkan oleh Moeljatno dalam huruf c. Hukum pidana formil merupakan hukum acara pidana atau suatu proses atau prosedur untuk melakukan segala tindakan manakala hukum pidana materiil akan, sedang dan atau sudah dilanggar. Atau dengan perkataan lain, Hukum pidana formil merupakan hukum acara pidana atau suatu proses atau prosedur untuk melakukan segala tindakan manakala ada sangkaan akan, sedang dan atau sudah terjadi tindak pidana.
Tirtaamidjaya menyatakan maksud diadakannya hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat.Secara umum hukum pidana berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidupannya yang berbeda-beda terkadang mengalami pertentangan antara satu dengan yang lainnya, yang dapat menimbulkan kerugian atau mengganggu kepentingan orang lain. Agar tidak menimbulkan kerugian dan mengganggu kepentingan orang lain dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut maka hukum memberikan aturan-aturan yang membatasi perbuatan manusia, sehingga ia tidak bisa berbuat sekehendak hatinya.[9]
Adami Chazawi menyebutkan bahwa, sebagai bagian dari hukum publik hukum pidana berfungsi:
- Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan atau perbuatanperbuatan yang menyerang atau memperkosa kepentingan hukum tersebut Kepentingan hukum yang wajib dilindungi itu ada tiga macam, yaitu:
- . Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan hukum akan hak milik benda, kepentingan hukum terhadap harga diri dan nama baik, kepentingan hukum terhadap rasa susila, dan lain sebagainya;
- Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschappelijke belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan ketertiban umum, ketertiban berlalu-lintas di jalan raya, dan lain sebagainya;
- Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan negara, kepentingan hukum terhadap negara-negara sahabat, kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan wakilnya, dan sebagainya.[10]
- Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan hukum
- Asas –asas hukum pidana
- Asas Legalitas
Asas ini tercantum didalam pasal 1 ayat 1 KUHP dirumuskan didalam bahasa latin: ”Nullum Delictum nulla poena sine legipoenali” yang artinya. Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentua pidana yang mendahuluinya.
Ada kesimpulan dari rumus tersebut:
- Jika sesuatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan dan diancam dengan pidana, maka perbuatan atau pengabdian tersebut harusdtercantum didalam undang-undang.
- Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu kekecualian yang tercantum didalam pasal 1ayat 2 KUHP.
- Penerapan Anologi
Utrecht menarik garis pemisah antara imterprestasi eksetensi dan penerapan analogi sebagai berikut:
- Interfrestasi :Menjalankan undang-undangan setelah undang-undang tersebut dijelaskan.
- Anologi :Menjelaskan suatu perkara dengan tidak menjalankan undang-undanag.
- Interfrestasi :Menjalankan kaidah yang oleh undang-undang tidak dinyatakan dengan tegas.
Anologi : Menjalankan kaidah tersebut untuk menyelsaikan suatu perkara yang tidak disingung oleh kaidah,tetapi yang mengandung kesamaan dengan perkara yang disinggung oleh kaidah, tetapi yang mengandung kesamaan dengan perkara yang disinggung kaidah tersebut.
- Hukum Transitoir (Peralihan)
Yang menjadi masalah dalam hal ini.adalahketentuan perundang-undangan yang mana apakah ketentuan hukum pidana saja ataukah ketentuan hukum yang lain, masih dipermasalahkan oleh para pakar sarjana hukum pidana.Menurut Memorie van Toelichting (Memori penjelasan) WvSN (yang dapat dipakai oleh KUHP), perubahan perundang-undangan berarti semua ketentuan hukum material yang secara hukum pidana “Mempengaruhi penilaian perbuatan”.
- Berlakunya Hukum Pidana Menurut Ruang Tempat dan Orang
- Asas Teritorialitas atau Wilayah
Asas wilayah atau teritorialitas ini tercantum didalam pasal 2 KUHP, yang berbunyi : “peraturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tiap-tiap orang yang di dalam nilai Indonesia melakukan delik (straftbaar feit) disini berarti bahwa orang yang melakukan delik itu tidak mesti secara fisik betul-betul berada di Indonesia tetapi deliknya straftbaar feit terjadi di wilayah Indonesia
- Asas Nasionalitas Pasif atau Asas Perlindungan
Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu negara (juga Indonesia) berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika karena itu kepentingan tertentu terutama kepentingan negara dilanggar diluar wilayah kekuasaan itu. Asas ini tercantum didalam pasal 4 ayat 1, 2 dan 4 KUHP. Kemudian asas ini diperluas dengan undang-undang no. 4 tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan juga oleh pasal 3 undang-undang no. 7 (drt) tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi.
- Asas Personalitas atau Asas Nasional Aktif
Inti asas ini tercantum dalam pasal 5 KUHP, asas personalitas ini diperluas dengan pasal 7 yang disamping mengandung asas nasionalitas aktif (asas personalitas) juga asas nasional pasif (asas perlindungan).
- Asas Universalitas
Jenis kejahatan yang diancam pidana menurut asas ini sangat berbahaya bukan saja dilihat dari kepentingan Indonesia tapi kepentingan dunia secara universal kejahatan ini dipandang perlu dicegah dan diberantas. Demikianlah, sehingga orang jerman menamakan asas ini welrechtsprinhzip (asas hukum dunia) disini kekuasaan kehakiman menjadi mutlak karena yuridiksi pengadilan tidak tergantung lagi pada tempat terjadinya delik atau nasionalitas atau domisili terdakwa.
- Hal-hal yang diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana
- Bab i - batas-batas berlakunya aturan pidana dalam perundang-undangan
- Bab ii - pidana
- Bab iii - hal-hal yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pidana
- Bab v - penyertaan dalam tindak pidana
- Bab vi - perbarengan tindak pidana
- Bab vii - mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan
- Bab viii - hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana
- Bab ix - arti beberapa istilah yang dipakai dalam kitab undang-undang
- Aturan penutup
- Perbuatan yang dapat dihukum
suatu perbuatan agar dapat dikatakan sebagai tindak pidana (perbedaan pendapat diantara para sarjana tentang hal ini) ialah apabila telah memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana tersebut, yaitu unsur:
- Subjek
- Kesalahan
- Bersifat melawan hukum
- Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang dan terhadap pelanggaranya diancam dengan pidana
- Waktu, tempat, dan keadaan
Persyaratan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana menurut para sarjana:
Menurut D. Simons suatu perbuatan agar dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila:
- Perbuatan manusia (berbuat atau membiarkan)
- Diancam dengan pidana ( strafbaar gesteld)
- Melawan hukum ( onrechtmatig)
- Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
- Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar)
Menurut Van Hamel suatu perbuatan agar dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila:
- Perbuatan manusia
- Dengan melawan hukum
- Dilakukan dengan kesalahan
- Patut dipidana
Menurut E Mezger suatu perbuatan agar dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila:
- Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan)
- Sifat melawan hukum (baik yang bersifat objektif maupun subjektif
- Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang
- Diancam dengan pidana
BAB VIII
LAPANGAN HUKUM TATA NEGARA
- Pengertian Hukum Tata Negara
Berbagai pandangan para sarjana mengenai definisi hukum tata Negara itu dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut :
- Christian van Vollenhoven
Menurut Van Vollenhoven,hukum tata Negara mengatur semua masyarakat hukum atasan dan masyarakat hukum bawahan menurut tingkatan-tingkatannya,yang masing-masing menentukan wilayah atau lingkungan rakyatnya sendiri-sendiri, dan menentukan badan-badan dalam lingkungan masyarakat hukum yang bersangkutan beserta fungsinya masing-masing, serta menentukan pula susunan dan kewenangan badan-badan yang dimaksud.
- Paul Scholten
Menurut Paul Scholten,hukum tata Negara itu tidah lain adalah het recht de regelt de staatsorganisatle,atau hukum yang mengatur mengenai tata organisasi Negara.
- Van Apeldoorn
Hukum tata Negara (Verfassungsrecht) disebutkan oleh Van Apeldoorn sebagai Staatsrecht dalam arti yang sempit.Sedangkan dalam arti yang luas, Staatsrecht meliputi pula pengertian hukum administrasi Negara (verwaitungsrecht atau administratiiefsrecht).
- Sumber-sumber hukum Tata Negara Indonesia
- Sumber Material dan Formil
Pandangan hidup bangsa Indonesia terangkum dalam perumusan sila-sia Pancasila yang dijadikan falsafah hidup bernegara berdasarkan UUD 1945.Sebagai pandangan hidup bangsa dan falsafah bernegara,Pancasila itu merupakan sumber hukum dalam arti material yang tidak saja menijawi,tetapi bahkan harus dilaksanakan dan tercermin oleh dan dalam setiap peraturan hukum Indonesia.
Dalam bentuk formilnya,nilai-nilai Pancasila itu tercantum dan dalam perumusan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum tertulis yang tertinggi di Republik Indonesia. Namun di samping itu, sumber hukum formil itu tidak hanya terbatas kepada yang tertulis saja. UUD Negara Republik Indonesia dari norma dasar atau hukum dasar yang bersifat tertinggi itu. Disamping hukum dasar yang tertulis dalam naskah UUD 1945, ada pula hukum dasar atau konstitusi yang sifatnya tidak tertulis.
- Peraturan Dasar dan Norma Dasar
Konstitusi bukanlah peraturan yang dibuat oleh pemerintahan,tetapi merupakan peraturan yang dibuat oleh rakyat untuk mengatur pemerintahan, dan pemerintahan itu sendiri tanpa konstitusi sama dengan kekuasaan tanpa kewenangan.
Konstitusi adalah hukum dasar, norma dasar, dan sekaligis paling tinggi kedudukannya dalam system bernegara. Namun, sebagai hukum,konstitusi itu sendiri tidak selalu bersifat tertulis.Konstitusi yang bersifat tertulis biasa disebut undang-undang dasar sebagai konstitusi dalam arti sempit,sedangkan yang tidak tertulis merupakan konstitusi dalam arti yang luas.Menurut Hans Kelsen, gerund norm atau norma dasar itulah yang disebut konstitusi.
- Peraturan perundang-undangan
Peraturan perundangan-undangan adalah peraturan tertulis yang berisi norma hukum yang mengikat untuk umum,baik yang ditetapkan oleh legislator mauoun oleh regulator atau lembaga-lembaga pelaksana undang-undang yang mendapatkan kewenangan delegasi dari undang-undang untuk menetapkan peraturan-peraturan tertentu menurut peraturan yang berlaku.
- Bentuk-bentuk Negara
- Negara kesatuan, adalah bentuk Negara yang merdeka dan berdaulat, dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan juga mengatur seluruh daerah.Ciri-ciri Negara kesatuan :
- Kedaulatan Negara mencakup kedaulatan kedalam dan keluar yang ditangani oleh pemerintah pusat.
- Negara hanya memiliki satu undang-undang dasar,satu kepala Negara,satu dewan menteri,dan satu dewan perwakilan rakyat.
- Hanya ada satu kebijaksanaan yang menyangkut mengenai persoalan politik, social budaya, ekonomi, serta pertahanan dan keamanan.
- Negara serikat (Federasi),adalah bentuk Negara gabungan dari beberapa Negara bagian.Negara-negara yang merdeka,berdaulat dan berdiri sendiri.
Ciri-ciri Negara serikat (federasi) :
- Tiap Negara bagian berstatus tidak berdaulatan,namun kekuasaaan asli tetap pada Negara bagian.
- Kepala Negara dipilih oleh rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat.
- Pemerinthan pusat memperoleh kedaulatan rakyat dari Negara-negara bagian untuk urusan keluar dan sebagian kedalam.
- Setiap Negara bagian memiliki kewenangan dalam membuat UUD sendiri yang selama ini tidak bertentangan dengan pemerintahan pusat.
- Kepala Negara memiliki hak veto yang diajukan oleh parlemen.
- Bentuk-bentuk pemerintahan
- Bentuk pemerintahan Monarki
Monarki berasal dari kata Yunani “monos” yang berarti satu,dan “archein yang bermakna pemerintah.Monarki adalah sejenis pemerintahan yang dipegang oleh seorang penguasa Monarki.Monarki atau system pemerintahan kerajaan.
- Bentuk pemerintahan Republik
Adalah bentuk pemerintahan yang kepala negaranya bukan seorang raja,melainkan presiden.Seorang presiden bertindak sebagai kepala Negara tidak berdasarkan warisan turun-temurun,tetapi dipilih secara langsung oleh rakyat maupun yang dikuasai oleh rakyat maupun dipilih oleh suatu lembaga/badan yang dikuasakan untuk itu.
- Lembaga-lembaga Negara RI menurut UUD 1945
- MPR
Kedudukan MPR adalah Lembaga Tertinggi dan oemegang kedaulatan rakyat.
Susunan keanggotaan MPR adalah terdiri dari :
- Seluruh anggota DPR
- Utusan Daerah
- Golongan-golongan menurut Undang-Undang
Fungsi MPR adalah :
- Menertapkan Undang-undang Dasae dan Garis-garis Besar Haluan Negara.
- Memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Wewenang MPR merubah Undang-undang Dasar
- Meminta pertanggung jawaban Presiden dalam sidang istimewa atas permintaan DPR apabila Presiden dianggap melanggar UUD dan GBHN.
- DPR atau Parlemen
Seperti disebutkan dihalaman depan,bahwa DPR-RI tidak terdiri dari 2 kamar atau 2 majelis,tetapi hanya terdiri dari 1 kamar.
Susunan Keanggotaan DPR dibentuk melalui :
- Pemilihan umum dan
- Pengangkatan (untuk golongan fungsional)
Fungsi DPR,adalah :
- Bersama Presiden/Pemerintah membentuk Undang-undang.
- Bersama Presiden/Pemerintah membentuk Undang-Undang tentang APBN.
- Mengawasi pemerintahan,untuk melaksanakan tugas pengawasan ini DPR mempunyai hak-hak.
- Sebagai forum komunikasai antara Pemerintah dengan masyarakat,baik melalui rapat-rapat kerja dengan Pemerintah, dengan pendapat dengan pejabat-pejabat pemerintah maupun melalui dengar pendapat umum atau masyarakat.
- DPRD
DPRD di Indonesia ada tingkat 2 yaitu DPRD tingkat I yang wilayahnya sama dengan propinsi dan DPRD tingkat II yang wilayahnya sama dengan wilayah Kabupaten atau Kotamadya.
Susunan keanggotaan DPRD,dibentuk melalui pemilihan umum (4/5 dari seluruh anggota) dan sisanya melalui pengangkatan untuk golongan fungsional.
Fungsi DPRD adalah :
- Bersama Gubernur/KDH untuk Dati I;berdama Bupati KDH atau Walikota/KDH untuk Dati II menyusun dan menetapkan Anggaran Daerah.
- Bersama Gubernur/KDH untuk Dati I;berdama Bupati KDH atau Walikota/KDH untuk Dati II menyusun dan menyusun dan menetapkan Peraturan Daerah.
- Mengawasi jalannya pemerintahan di Daerah dan untuk itu diberi hak-hak.
- Presiden dan Wakil Presiden
Presiden adalah lembaga Negara yang memegang kekuasaan eksekutif. Maksudnya, presiden mempunyai kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan. Presiden mempunyai kedudukan sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus sebagai kepala Negara.
Kekuasaan presiden dibedakan atas 2 macam,yaitu :
- Kekuasaan tanpa persetujuan DPR,antara lain :
- Kekuasaan eksekutif atau kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan.
- Kekuasaan untuk menetapkan peraturan pemerintah.
- Kekuasaan untuk memegang kekuasaan tertinggi atau nagkatan bersenjata.
- Kekuasaan untuk menyatakan Negara dalam bahaya.
- Kekuasaan untuk mengangkat/menerima duta dan konsul.
- Kekuasaan untuk memberikan hak prerogative.
- Kekuasaan dengan persetujuan DPR,antara lain :
- Kekuasaan legislative.
- Kekuasaan untuk menyatakan perang,membuat perdamaian atau membuat perjanjian dengan Negara lain.
- Kekuasaan untuk membuat APBN.
- Mahkamah Agung
Mahkamah agung merupakan lembaga Negara yang memegang kekuasaann kehakima.Kekuasaaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Wewenang Mahkamah Agung,antara lain :
- Berwenang mengadili peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dasar,dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
- Mengajukan tiga orang anggota hakim konstitusi.
- Memberikan pertimbangan dalam hal presiden memberi grasi dan rehabilitasi.
Lembaga ini terdiri dari pimpinan,hakim anggota,panitera,dan seorang sekretaris.
- Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga baru setelah adanya perubahan UUD 1945.Mahkamah konstitusi merupakan salah satu lembaga Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Wewenang dan kewajiban Mahkamah Konstitusi,antara lain:
- Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD.
- Memutuskan pembubaran partai politik.
- Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
- Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia menurut UUD.
BAB IX
ASAS-ASAS HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
- Pengertian Hukum Administrasi Negara
Hukum Administrasi Negara adalah Peraturan hukum mengenai administrasi dalam suatu Negara,dimana hubungan antar warga Negara dan pemerintahannya dapat berjalan dengan baik dan aman.
- Sumber Hukum Administrasi Negara
- Sumber hukum material,yaitu sumber hukum yang turut menentukan isi kaidah hukum.Sumber material berasal dari peristiwa-peristiwa dalam pergaulan masyarakat.
- Sumber hukum formal, yaitu sumber hukum yang sudah diberi bentuk tertentu.
- Asas-asas Hukum Administrasi Negara
- Asas yuridiktas (rechtmatingheid), yaitu bahwa setiap tindakan pejabat administrasi Negara tidak boleh melanggar hukum (harus sesuai dengan rasa keadilan dan kepatuhan.
- Asas legalitas (wetmatingheid), yaitu bahwa setiap tindakan pejabat administrasi negara harus ada dasar hukumnya (ada peraturan dasar yang melandasinya).
- Asas diskresi, yaitu kebebasan dari seorang pejabat administrasi Negara untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapatnya sendiri tetapi tidak bertentangan dengan legalitas.
- Hubungan Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara
Hubungan Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara secara umum.Hukum Tata Negara memberikan tugas dan wewenang, fungsi, jabatan, badan-badan lembaga pemerintahan sedangkan Hukum Administrasi Negara bekerja ketika badan atau lembaga pemerintahan tersebut akan menjalankan tugas dan wewenangnya. Hukum Tata Negara memiliki hubungan yang erat dengan Hukum Administrasi Negara.Hukum Tata Negara memberikan tugas dan wewenang, jabatan pada badan pemerintahan (administrasi), sedangkan Hukum Administrasi Negara mengatur tugas dan wewenang secara organisatoris yang diperoleh dari Hukum Tata Negara akan dijalankan, maka Hukum Administrasi Negara mengaturnya.Maka dari itu Hukum Administrasi merupakan tindak lanjut dari Hukum Tata Negara.
BAB X
ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN
- Pengertian Hukum Acara
Hukum Acara atau Hukum Formal adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum material. Fungsinya menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan hukum material melalui suatu proses dengan berpedomankan kepada peraturan yang dicantumkan dalam Hukum Acara.Artinya Hukum Acara itu baru berfungsi kalau ada masalah yang dihadapi individu-individu.
- Jenis-jenis Hukum Acara
- Hukum Acara Perdata
Hukum Acara Perdata yang disebut juga hukum perdata formal mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum perdata material. Fungsinya menyelesaikan masalah dalam mempertahankan kebenaran hak individu.Asas-asas Hukum Acara Perdata,antara lain :
- Hakim Pasif
Maksudnya bahwa luas masalah yang dikemukakan dalam sidang perkara perdata ditentukan oleh para pihak yang berperkara.Di lain pihak hakim tidak diperkenankan memperluas masalah yang tidak diajukan.Hal itu karena kedudukan hakim hanya sebagai penetap kebenaran dan keadilan para pihak.
- Mendengarkan Para Pihak
Untuk memberikan putusan dalam perkara perdata, hendaknya para pihak diberi kesempatan didengar pendapatnya.Bagi pihak yang tidak hadir (verstek), walaupun diberi kesempatan untuk didengar, dianggap tidak mau menggunakan kesempatan itu.
Sumber-sumber hukum Acara Perdata di Indonesia bersumber pada tiga kodifikasi hukum yakni :
- Reglemen Hukum Acara Perdata, yang berlaku bagi golongan Eropah di Jawa dan Madura (Reglement op de Burgelijke rechtsvordering);
- Reglemen Indonesia yang dibaharui (RIB), yang berlaku bagi golongan Indonesia di Jawa dan Madura (Herziene Inladsch Reglement = HIR);sekarang diganti oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
- Reglemen hukum untuk Daerah Seberang, yang berlaku bagi peradilan Eropah dan Indonesia didaerah luar Jawa dan Madura (Recht Reglement Buitengewesten).[11]
- Hukum Acara Pidana
Hukum Acara Pidana yang disebut juga Hukum Pidana Formal mengatur cara pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan Hukum Pidana material. Penyelenggaraanny berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana.Fungsinya menyelesaikan masalah dalam mempertahankan kepentingan umum.Asas-asas Hukum Acara Pidana,antara lain :
- Asas Praduga tidak bersalah (Presumption of Innocence )
Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dinyatakan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadokan didepan pengadilan,wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan, yang mengatakan kesalahannya memperoleh kekuatan hukum yang tetap”.
- Koneksitas
Perkara koneksitas yaitu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama antara seorang atau lebih yang hanya dapat diadili oleh Peradilan Umum dan seorang atau lebih yang hanya dapat diadili oleh Peradilan Militer. Menurut Pasal 89 Ayat 1 dinyatakan bahwa “Tindak Pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkunga peradilan militer,diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum,kecuali jika menurut keputusan menteri pertahanan dan keamanan dengan persetujuan menteri kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan militer”.
- Pengawasan pelaksaan putusan pengadilan
Pelaksanaan putusan perkara pidana dalam tingkat pertama yang telah memiliki kekuatanhukum tetap dilakukan oleh Jaksa. Dalam Pasal 277 ayat 1 KUHAP dinyatakan bahwa “pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantuk ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan”
- Hukum Acara Administrasi Negara (Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara)
Hukum Acara Administrasi Negara adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak , satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya Peraturan Hukum Tata Usaha Negara.Dengan kata lain Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah hukum yang mengatur cara-cara bersengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara,serta mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terkait dalam proses penyelesaian sengketa tersebut.Asas-asas Hukum Acara Administrasi Negara,antara lain :
- Asas praduga rechtmatig (benar menurut hukum,presumption iustea causa),asas ini menganggap bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap berdasarkan hukum (benar) sampai ada pembatalan.Dalam asas ini gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat (Pasal 67 ayat (1) UU No.5 Tahun 1986).
- Asas pembuktian bebas,hakimlah yang menetapkan beban pembuktian.
- Asas keaktifan hakim,dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak yang tidak berimbang (Pasal 58,63 ayat (1) dan (2), Pasal 80 dan Pasal 85).
- Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat.
- Asas peradilan lainnya,misalnya :asas peradilan cepat,sederhana dan biaya ringan,obyektif.
- Asas para pihak harus didengar,para pihak mempunyai kedudukan yang sama.
- Asas kesatuan beracara.
BAB XI
LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA
Kekuasaan lembaga-lembaga peradilan Indonesia
Kekuasaan kehakiman dalam konteks Negara Indonesia,adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggarakannya Negara Hukum republic Indonesia.
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan.Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh :
- Mahkamah Agung
Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1956 menyatakan “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,menguji peraturan perundang-undnagan di bawah undang-undang terhadp undang-undang,dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-undang”.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut,Mahkamah Agung diamanati dua kewenangan yaitu :
- Kewenangan mengadili pada tingkat kasasi,yaitu pengadilan tingkat akhir yang disediakan warganegara yang melakukan upaya hukum terhadp putusan pengadilan pertama dan pengadilan bandiing disemua lingkungan peradilan.
- Kewenangan menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dibawah undang-undang terhadp undang-undang,merupakan pengujian legalitas.
- Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna mengakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan,yaitu :
- Menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar.
- Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan UUD.
- Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum,dan
- Memutus pembubaran partai politik.
- Peradilan Umum
Pengadilan Umum adalah lingkungan peradilan yang memiliki kewenangan mengadili perkara umum, baik jenis perkara pidana maupun perdata,maupun pihak-pihak yang bersengketa.Badan-badan peradilan yang terdapat dalam lingkungan peradilan umum adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi.
- Pengadilan Agama
Pengadilan Agama adalah peradilan khusus bagi umat islam untuk memerika dan memutus perkara nikah, talak, rujuk, waris, wakaf, hibah dan wasiat.Badan peradilan dalam lingkungan peradilan agama meliputi pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak kepada Mahkamah Agung.
- Peradilan Militer
Peradilan Militer adalah peradilan yang khusus Negara anggota militer Indonesia.Wilayah lingkungan peradilan militer nantinya hanya untuk pelanggaran disiplin dan pidana militer yang dilakukan oleh Anggota TNI.
- Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan yang memiliki kewenangan mengadili perkara tata usaha Negara adalah perkara gugatan seseorang terhadap putusan pejabat tat usaha Negara yang merugikan dan tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.
BAB XII
HUKUM INTERNASIONAL
- Pengertian Hukum Internasional
Hukum Internasional adalah hukum yang berlaku di dua Negara atau lebih yang mengatur tentang aktivitas berskala Internasional.Terdapat dua macam Hukum Internasional, yaitu :
- Hukum Perdata Internasional.yakni hukum yang mengatur hubungan hukum antara warga Negara- warga Negara sesuatu Negara dengan warga Negara-warga Negara dari Negara lain dalam hubungan internasional (hubungan antar – bangsa ).
- Hukum Publik Internasional (Hukum Antar Negara),ialah hukum yang mengatur hubungan antara Negara yang satu dengan Negara-negara lain dalam hubungan internasional.[12]
- Sumber-sumber material Hukum Internasional
Sumber hukum material adalah sumber hukum yang membahas materi dasar tentang subsanti dari pembuatan hukum itu sendiri atau prinsip-prinsip yang menentukan isi ketentuan hukum internasional yang berlaku.Sumber hukum material juga dapat diartikan sebagai dasar kekuatan mengikatnya hukum internasional.
- Asas-asas Hukum Internasional
- Asas territorial,Negara menjalankan hukum untuk semua orang serta barang yang ada di wilayahnya.
- Asas kebangsaan,setiap warga Negara dimanapun keberadaanya tetap memperoleh perlakuan hukum dari negaranya.
- Asas kepentingan umum,Negara bisa menyesuaikan diri terhadap seluruh peristiwa atau keadaan yang ada sangkut pautnya dengan kepentingan umum.
BAB XIII
PENGENALAN HUKUM DAGANG
- Pengertian Hukum Dagang
Hukum Dagang adalah sebuah aturan-aturan hukm yang mengatur hubungan orang yang satu dengan yang lainnya,khususnya dalam perniagaan.Hukum dagang ialah hukum perdata khusus.Hukum dagang merupakan hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan, atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan perdagangan.
- Sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
Sejak abad pertengahan eropa (1000/1500) yang terjadi di Negara dan kota-kota di Eropa dan pada zaman itu di Italia dan Perancis Selatan telah lahir kota-kota sebagai pusat perdagang (Genoa ,Florence, vennetia, Maseille, Barcelona, dan Negara-negara lainnya), tetapi pada saat itu hukum Romawi (corpus iurus civilis) tidak dapat menyelesaikan perkara-perkara dalam perdagangan,maka dibuatlah hukum baru di samping hukum Romawi yang berdiri sendiri pada abad ke 16 yang disebut hukum pedagang.Karena bertambah pesatnya hubungan dagang maka pada abad ke 17 diadakan kodifikasi dalam hukum dagang oleh menteri keuangan dari raja Louis XIV yaitu Corbert dengan peraturan (ORDONNANCE DU COMMERCE) 1673. Dan pada tahun 1681 disusun ORDONNANCE DE LA MARINE yang mengatur tentang kedaulatan.
Dan pada tahun 1807 di Perancis dibuat hukummm dagang tersendiri dari hukum sipil yang ada yaitu yang ada yaitu (CODE DE COMMERCE) yang tersusun dari ordonnance du commerce (1673)dan ordonnance du la marine (1838).Pada saat itu Nederlands menginginkan adanya hukum dagang tersendiri yaitu KUHD Belanda,dan pada tahun 1838 akhirnya disahkan.KUHD Belanda berdasarkan azaz konkordansi KUHD di Indonesia pada tahun 1848,dan pada akhir abad ke 19 Prof.Molengraff merancang UU kepalitan sebagai buku III KUHD Indonesia memiliki 2 kitab, yaitutetang dagang umumnya dan tenang hak-hak dan kewajiban yang tertib dari pelayaran.
- Susunan (hal-hal yang diatur dan Isi KUHD)
Hukum Dagang di Indonesia bersumber yaitu :
- Hukum tertulis yang dikodifikasikan yaitu :
- KUHD
- KUH perdata
- Hukum tertulis yang tidak dikodisikasikan,yaitu peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan,missal UU hak cipta.
Sistematika penulisan KUHD :
Buku I tentang perdagangan
Buku II tentang hak dan kewajiban yang timbul karena perhubungan kapal.
DAFTAR PUSTAKA
Asshidqie Jimly.Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta:Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan MK RI.2006.
Daud Busroh.Ilmu Negara.Jakarta:Bumi Aksar.2015.
Djamali Abdoel.Pengantar Hukum Indonesia.Jakarta:Raja Grafindo Persada (Rajawali Pers).2013.
Kansil C.S.T.Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.Jakarta:Balai Pustaka.1986.
Moelyatno.Asas-Asas Hukum Pidana.Jakarta:Rineka CIpta.1993.
Utrecht E.Pengantar Hukum Indonesia.Jakarta:Sinar Harapan.1982.
[1] M. Romdlon Nawawi, Pengantar Ilmu Hukum Pengantar Tata Hukum Indonesia (PIH/PTHI) (Diktat Kuliah),(Ponorogo: Biro Penerbitan dan Pengembangan Ilmiah Jurusan Syari’ah, 1993), hlm 2-3.
[2] Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm 39
[3] Drs. C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2013), hlm. 171
[4] Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, (Bandung: Armico, 1985), hlm. 10.
[5] UUD 1945 Hasil Amandemen dan Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 4.
[6] Drs. C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2013), hlm. 176
[7] Mohammad Radhie, PRISMA No.6 Tahun Ke-11. (1973) hlm. 4
[8] Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001)
[9] Jan Remmelink, Hukum Pidana, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, h.15
[10] J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1, Bandung: Binacipta, 1979, h. 55.
[11] C.S.T Kansil.Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.Jakarta:Balai Pustaka.1986.hlm.331.
[12] Ibid.hlm.460.
0 komentar:
Post a Comment