BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pengesahan undang-undang Peradilan Agama, yaitu
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang selanjutnya disebut UUPA yang berlaku
pada pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah sebagaimana juga hukum
acara perdata yang berlaku di lingkungan
Peradilan Umum, di samping hukum acara khusus yang diatur tersendiri terutama
dalam memeriksa perkara sengketa perkawinan.
Suatu putusan hakim tidak luput dari kekeliruan dan
kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Maka oleh karena itu, demi
kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa
ulang, agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki.
Bagi setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum, yaitu upaya atau
alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan.[1]
Terhadap putusan pengadilan yang dirasakan tidak atau kurang memenuhi rasa keadilan dalam undang-undang Peradilan Agama diberi ruang untuk mengajukan keberatan melalui upaya hukum perlawanan (verzet), banding, kasasi, maupun melalui peninjauan kembali. Prinsip demikian, sejalan dengan asas dalam suatu kekuasaan kehakiman yang dalam hal ini membahas tentang Peradilan Agama, perlakuan setiap orang yang sama di muka hukum dengan tidak membeda-bedakan, selain itu juga bahwa setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah samapai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
B. Rumusan
Masalah
Dari latar
belakang di atas dapat diambil beberapa rumusan msalah diantanya?
1.
Apa saja upaya hukum
pengadilan agama?
2.
Bagaimana pelaksanaan
upaya hukum dalam acara pengadilan agama?
C. Tujuan
Penulisan
Dari rumusan masalah tersebut, dapat
diketahui tujuan penulisan, untuk mengetahui:
1. Untuk
mengetahui upaya hukum apa saja yang ada dalam lingkup pengadilan agama.
2.
Untuk mengetahui
bagaimana pelaksanaan upaya hukum dalam acara pengadilan agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Upaya
Hukum Verstek
Putusan Verstek
adalah putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim tanpa hadirnya Tergugat dan
ketidakhadirannnya itu tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara
semi dan patut (default without reason). Putusan verstek ini merupakan
pengecualian dari acara persidangan biasa atau acara kontradiktur dan prinsip
audi et alteram partem sebagai akibat ketidakhadiran Tergugat atas alasan yang
tidak sah. Dalam acara verstek Tergugat dianggap ingkar menghadiri persidangan
tanpa alasan yang sah dan dalam hal ini Tergugat dianggap mengakui sepenuhnya
secara murni dan bulat semua dalil gugatan Penggugat. Putusan verstek hanya
dapat dijatuhkan dalam hal Tergugat atau para Tergugat tidak hadir pada hari
sidang pertama. Beberapa ketentuan hukum acara yang mengatur pemeriksaaan
perkara secara verstek (tidak hadir) antara lain :
Pasal 125 (1) HIR
yang menyatakan:
“Jika
Tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa atau tidak menyuruh
orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut, maka
gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek ), kecuali kalau nyata kepada
Pengadilan Negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan”(
Rbg : 149).
Masih terkait
dengan pasal 125 HIR / 149 Rbg, pasal 126 HIR menyatakan“di dalam hal yang tersebut pada kedua pasal di atas tadi, Pengadilan
Negeri dapat, sebelum menjatuhkan keputusan, memerintahkan supaya pihak yang
tidak datang dipanggil buat kedua kalinya, datang menghadap pada hari
persidangan lain, yang diberitahukan oleh ketua di dalam persidangan kepada
pihak yang datang, bagi siapa pemberitahuan itu berlaku sebagai panggilan “
(Rbg. 150)
Terkait dengan
pasal-pasal tersebut, terdapat beberapa pendapat bagaimana perkara verstek itu
diacarakan. Pendapat Pertama menyatakan bahwa apabila pada hari sidang yang
pertama Tergugat atau Termohon tidak hadir, sedangkan ia telah dipanggil dengan
resmi dan patut, serta tidak pula mengirim wakilnya untuk menghadap, maka
berdasarkan ketentuan tersebut, Majelis dapat memeriksa dan memutus perkara tersebut
tanpa kehadiran Tergugat atau Termohon. Jika perkara tersebut tidak diputus
pada hari itu juga, maka majelis dapat menunda sidang tanpa harus memanggil
ulang Termohon. Sementara pendapat kedua menyatakan bahwa, apabila pada hari
sidang yang pertama Tergugat atau Termohon tidak hadir, sedangkan ia telah
dipanggil dengan resmi dan patut, serta tidak pula mengirim wakilnya untuk
menghadap, maka berdasarkan ketentuan tersebut, Majelis dapat memeriksa dan
memutus perkara tersebut tanpa kehadiran Termohon. Jika perkara tersebut tidak
diputus pada hari itu juga, maka majelis dapat menunda sidang dengan keharusan
memanggil ulang Termohon. Pendapat kedua ini menyandarkan pendapatnya pada
ketentuan pasal 26 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang berbunyi
“Setiap kali diadakan sidang Pengadilan
yang memeriksa gugatan perceraian, baik Penggugat maupun Tergugat atau kuasa
mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut”, karena ketentuan
tersebut merupakan acara perdata khusus dalam bidang perkawinan yang
diberlakukan juga pada Peradilan Agama.
Dari kedua
pendapat tersebut, penulis lebih cendrung pada pendapat yang pertama, meskipun
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 merupakan sumber hukum acara yang
khusus dalam bidang perkawinan yang diberlakukan juga bagi Peradilan Agama
sebagaimana pembelaan bagi yang memegang pendapat ke dua sesuai asas leg
specialis derogat leg generalis, namun menurut penulis hal itu kurang tepat.[2]
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tersebut selain perkara ghoib, tidak specifik
mengatur tentang verstek, yang dimaksud pasal tersebut adalah perkara yang
Penggugat / Pemohon dan Tergugat /Termohon hadir pada sidang pertama, sehingga
pasal tersebut tidak mengikat pada perkara verstek. Karena verstek tidak diatur
dalam Peraturan Pemerintah tersebut, maka ketentuan umum tentang verstek yang
terdapat dalam HIR dan Rbg, tetap berlaku pada Peradilan Agama. Panggilan ke
dua kali dalam perkara verstek merupakan panggilan toleransi. Sebagai penutup,
bahwa sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 9 Tahun 1964 tersebut,
“hari ini ” dapat berarti tidak saja hari sidang ke–1 akan tetapi juga hari
sidang ke-2 dan sebagainya.[3]
B.
Pengertian
Upaya Hukum Banding[4]
Upaya hukum
merupakan upaya setiap orang yang merasa dirugikan hak atau kepentingannya
untuk memperoleh keadilan dan perlindungan atau kepastian hukum dengan
cara-cara yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Upaya hukum bagi pihak yang
merasa haknya dirugikan orang lain atau untuk suatu kepentingan hukum dilakukan
dengan mengajukan perkara ke pengadilan.
Di samping itu ada
lagi upaya hukum yang dilakukan ketika suatu sengketa sedang berada dalam
proses di pengadilan, upaya hukum tersebut bisa berupa berbentuk melawan suatu
gugatan seperti mengajukan eksepsi, rekonvesi, upaya hukum melawan sita, upaya
hukum melawan eksekusi, upaya hukum untuk melawan proses atau intervensi
(voeging, tunssenkomst, dan vrijwaring), dan termasuk upaya hukum pembuktian
dengan menghadirkan saksi, surat, persangkaan, pengakuan, sumpah, dan lain-lain
bukti yang sah.
Upaya hukum, bisa
juga dilakukan untuk melawan suatu putusan yang sudah dihasilkan oleh
pengadilan pada tingkat tertentu, seperti upaya verzet terhadap putusan
verstek, upaya banding, dan upaya kasasi yang
merupakan upaya hukum biasa terhadap putusan yang belum memiliki
kekuatan hukum tetap (in kracht), mengajukan peninjauan kembali (request civil)
dan derden verzet sebagai upaya hukum luar biasa dari pihak ketiga terhadap
putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap.
Upaya hukum untuk
melawan suatu putusan merupakan “hak” bagi mereka yang menjadi pihak dalam
perkara, setiap oran gyang menjadi pihak dalam suatu perkara baik dalam perkara
gugat permohonan (volunter) ataupun contentiosa (tuntutan) sama-sama berhak
mengajukan upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa.
Upaya hukum biasa
yang pertama terhadap putusan atau penetapan Pengadilan Agama adalah upaya
banding, yaitu permintaan atua permohonan salah satu pihak yang berperkara agar
penetapan atau putusan yang dihjatuhkan Pengadilan Agama diperiksa ulang dalam
pemeriksaan tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Agama. Apabila salah satu
atau kedua belah pihak dalam suatu perkara tidak menerima putusan pengadilan
tingkat pertama karena merasa haknya terganggu dengan adanya putusan itu atau
menganggap putusan tersebut tidak benar dan belum adil, maka ia dapat
mengajukan banding. Upaya hukum banding adalah hukum agar perkara yang telah
diputuskan oleh pengadilan tingkat pertama diperiksa ulang oleh pengadilan yang
lebih tinggi karena pihak yang mengajukan belum puas dan tidak menerima
keputusan pengadilan tingkat pertama.
Berdasarkan Pasal
61 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, atas penetapan dan putusan pengadilan
agama dapat dimintakan banding oleh pihak yang berperkara kecuali apabila
undang-undang menetukan lain. Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama
merupaakn pengadilan judex factie yaitu pengadilan yang memeriksa duduknya
perkara, sehingga Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding
merupakan pengadilan ulangan yang memeriksa ulang perkara yang sudah diputus di
tingkat pertama. Kata peradilan ulangan menunjukan diulanginya semua segi
pemeriksaan baik mengenai duduk perkara maupun mengenai penerapan hukumnay.
Dalam peristilahan perundang-undangan pemeriksaan banding atau ulangan sering
juga disebut pemeriksaan tingkat terakhir, yaitu pemeriksaan oleh pengadilan
judec factie yang terakhir. Segala fakta yang sudah ditetapkan oleh Pengadilan
Banding akan tetapa dianggap benar untuk seterusnya dan sudah tidak bisa diubah
lagi.
Kewenangan
Pengadilan Tinggi Agama memeriksa dan mengadili perkara yang telah diputus oleh
Pengadilan Agama tidak bersifat otomatis, pemeriksaan baru bisa dilaksanakan
apabila salah satu pihak atau para pihak yang berperkara mengajukan permohonan
banding, tanpa adanya permohonan banding Pengadilan Tinggi Agama tidak
berwenang meminta Pengadilan Agama untuk memeriksakan perkara dalam tingkat
bading, adanya permohonana banding membuka kewenangan pemeriksaan oleh
Pengadilan Tinggi Agama.
A. Tata
Cara Permohonan Banding[5]
Berpedoman kepada
ketentuan yang ditetapkan dalam UU No. 20 Tahun 1947 sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 7 sampai Pasal 15, menurut ketentuan Pasal 7 tata cara permohonan
banding:
1)
Tenggang waktu permohonan
banding:
a. 14
hari setelah putusan diucapkan, apabila waktu putusan diucapkan pihak pemohon
banding hadir sendiri di persidangan
b. 14
hari sejak putusan diberitahuakan, apabila pemohon banding tidak hadir pada
saat putusan diucapkan di persidangna
c. Jika
perkara prodeo, terhitung 14 hari dari tanggal pemberitahuan putusan prodeo
dari Pengadilan Tinggi kepada pemohon banding (Pasal 7 ayat (3)).
2) Pengajuan
permohonan banding disampaikan kepada panitera pengadilan yang memutus perkara
yang hendak dibanding.
3) Yang
berhak mengajukan perrmohonan banding:
a. Pihak
yang berperkara in person, atau
b. Kuasanya,
dengan syarat terlebih dulu mendapat surat kuasa khusus untuk itu.
4) Bentuk
permintaan banding, bisa dengna lisan atau pun dengan tulisan.
5) Pembayaran
ongkos atau biaya banding, pembayaran biaya banding merupakan syarat formal
permintaan banding. Biaya banding dibebankan kepada pemohon banding, bukan
kepada pihak penggugat.
6) Kalau
syarat formal dipenuhi yakni permohonan tidak melampaui tenggang 14 hari dan
biaya banding telah dibayar, panitera:
a. Meregistrasi
permohonan, dan
b. Sekaligus
membuat akta banding, serta
c. Melampirkan
akta banding dalam berkas perkara sebagai akta atau bukti bagi pengadilan
Tinggi tentang adanya permohonan baning, serta sebagai alat penguji apakah
permohonana melampaui tenggang atau tidak.
7) Juru
sita menyampaikan pemberitahuan permohonan banding kepada pihak lawan
berperkara: bentuk pemberitahuan berupa akta relaas pemberitahuan banding,
kemudian melampirkan relaas tersebut dalam berkas perkara.
8) Menyampaikan
pemberitahuan inzage.
Maksud
inzage ialah kesempatan mempelajari berkas perkara, pemebritahuan inzage
dilakukan oleh juru sita:
a. selambat-lambatnya
dalm tempo 14 hari dari tanggal permohonan banding, dan
b. pemberitahuan
inzzage disamapaikan kepada kedua belah pihak yang berperkara:
A. tenggang
waktu mempergunaakan hak inzage hanya 14 hari terhitung dari tanggal
pemberitahuan inzage, dan
B. hak
memepergunaakan inzage:
a. Bukan
syarat formal permohonan banding,
b. Boleh
dipergunkana atau boleh tidak dipergunakan pihak yang berkepentingan. Oleh
karena itu, pengiriman berkas ke Pengadilan Tinggi tidak boleh ditangguhkan
atas alasan para pihak belum melakukan inzage. Asal sudah lewat tenggang
inzage, tidak ada keharusan bagi panitera untuk melayaninya.
9) Penyampaian
Memori dan Kontra Memori Banding.
Penyampaian memori
banding adalah hak bukan kewajiban hukum bagi pemohon banding. Tanpa memori
banding permohonana banding tetap sah, hal ini sesuai dengna karakter
pemeriksaan banding adalah pemeriksaan ulang perkara secara keseluruhan.
Seperti yang telah ditegaskan, misalnya dalm putusan Mahkamah Agung tanggal 14
Agustus 1957 No. 143 K/Sip/1956, menurut tafsiran yang lazim hakim banding
tidak diharuskan untuk meninjau segala-galanya yang tercantum dalam memori
banding.
a. Tenggang
waktu mengajukan memori banding tidak terbatas,
b. harus
memberitahu dengan relaas memori banding kepada pihak lawan
c. harus
memberitahu dengan relaas adanya kontra memori banding kepada pemohon banding,
d. semua
memori, kontra memori, dan relaas pemberitahuan dilampirkan (disatukan) dalam
berkas perkara.
10) Satu
bulan sejak dari tanggal permohonan banding berkas perkara harus sudah dikirim
ke Pengadilan Tinggi. Ketentuan ini siatur dalam pasal 11 ayat (2) UU No. 20
Tahun 1947. Ketentuan ini bersifat imperatif dalam arti perintah, karena dalam
pasal terdapat kata-kata: “harus dikirim kepada panitera Pengadilam Tinggi
selambat-lambatnya satu bulan setelah menerima permintaan banding”.
B. Pemeriksaan
Tingkat Banding[6]
Secara garis
besar, pemeriksaan tingkat banding dengan pemeriksaan tingkat pertama terdapat
perbedaan, perbedaan pertama terletak pada tata cara pemeriksaan. Proses
pemeriksaaan perkara pada peradilan tingkat pertama bersifat “hubungan
langsung” atau levend contact (life contact) antara hakim dengan pihak-pihak
yang berperkara dan saksi-saksi. Lain halnya dengan tingkat banding, sesuai
degnan ketentuan Pasal II Lembaran Negara No. 36 Tahun 1955, pemeriksaan
perkara:
1)
Dilakukan berdasarkan
berkas perkara.
Pada prinsipnya pemeriksaan
perkara pada tingkat banding tidak bersifat hubungna langsung antara hakim
dengan para pihak dan saksi-saksi, dilakukan melalui berita acara pemeriksaan
pengadilan tingkat pertama. Itu sebabnya dikatakan, pemeriksaan persidangan
tingkat banding “berdasar berkas perkara”.
2) Apabila
dianggap perlu dapat melakukan “pemeriksaan tambahan”.
Apabila Pengadilan Tinggi
berpendapat ada hal-hal yang memerlukan kejelasan atau unutk menambah
kesempurnaan pembuktian, pemeriksaan setempat, pemeriksaan saksi ahli, dan sebagainya,
Pengadilan Tinggi dapat memerintahkan pemeriksaan tambahan melalui proses:
a. Pemeriksaan
tambahan berdasarkan putusan sela
b. Pemeriksaan
tambahan dapat dilaksanakan sendiri oleh pengadilan tinggi
c. Pelaksanaan
pemeriksaan tamabhan diperintahakan kepada pengadilan yang memeriksa dan
memutus pada tingkat pertama
3) Pemeriksaan
Tingkat Banding Dilakukan Dengan Majelis.
Demikian penegasan yang
disebut dalam Pasal II ayat (1) Lembar Negara No. 36 Tahun 1955. Ketentuan ini
kemudian dipertegas lagi dalam Pasal 15 UU No. 14 Tahun 1970.
C. Faktor
Pemabatalan Putusan Pengadilan Agama
Berdasarkan
keterangan dan penjelasan dari bagian-bagian pertimbangan (konsideran) putusan
banding di atas, dapat diidentifikasikan bahwa ternyata faktor yang menjadi
alasan bagi Pengadilan Tinggi Agama antara lain adalah karena hakim tingkat
pertama sering terjadi kesalahan dalam menerapkan hukum dan kurangnya
penguasaan hakim tingkat pertama mengenai Hukum Acara.
Ada
pun beberapa faktor kelemahan putusan Pengadilan Agama, di antaranya:[7]
1) Faktor
kelemahan gugatan
a. Gugatan
kabur (obscuur libel)
b. Gugatan
premature
c. Putusan
melebihi tuntutan
d. Gugatan
salah mengenai orang (error in persona)
2) Faktor
kelemahan pemeriksaan dan acara.
3) Faktor
kelemahan putusan karena format putusan hakim pertama tidak benar dan kurang
sempurna.
4) Faktor
para pihak rukun kembali
a. Dalam
perkara cerai talak ada indikasi harapan rumak tangga tetap utuh karena antara
pemohon dan termohon tetap melakukan hubungan mesra.
b. Dalam
perkara cerai gugat kedua pihak ternyata telah hidup rukun kembali seperti
dinyatakan keduanya dalam sidang Pengadilan Tinggi Agama.
Dasar-dasar
pertimbangan hukum yang dijadikan alasan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi
Agama dalam membatalkan putusan-putusan Pengadilan Agama menyebut dan menunjuk
serta menyoroti sisi kekurangan dan kelemahan yan gterjadi terhadap format dan
isi putusan, tuntutan asal (konvensi), persyaratan formal, aturan acara,
pertimbangan hukum dan penerapannya.[8]
C.
Upaya
Hukum Kasasi
Kasasi adalah
mohon pembatalan terhadap putusan/penetapan pengadilan tingkat pertama
(Pengadilan Agama) atau terhadap putusan pengadilan tingkat banding (Pengadilan
Tinggi Agama) ke Mahkamah Agung di Jakarta, melalui pengadilan tingkat pertama
(Pengadilan Agama) yang dahulunya memutus, karena adanya alasan tertentu, dalam
waktu tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu.[9]
Kasasi adalah
upaya hukum biasa yang kedua disini permohonan pemeriksaan tingkat kasasi yang
ditujukan kepada Mahkamah Agung. Hal ini sesuai dengan Pasal 28 ayat (1) huruf
a UU No. 14 Tahun 1985 menurut pasal ini, salah satu kewenangan kekuasaan
Mahkamah Agung memeriksa dan merumus permohonan kasasi.[10]
Pemeriksaan kasasi
bukan pengadilan tingkat tiga, kewenangannya memeriksa dan mengadili perkara
tidak meliputi seluruh perkara. Kewenangannya pengadilan kasasi sebagai tingkat
peradilan kasasi sangat terbatas meliputi hal-hal yang telah ditentukan dalam
Pasal 30 UU No. 14 tahun 1985 meliputi:[11]
a.
Memeriksa dan memutus
tentang tidak berwenang atau melampaui batas wewenang pengadilan tingkat bawah
dalam memeriksa dan memutus suatu perkara (transgression
melampaui batas wewenang)
b. Memeriksa
dan mengadili kesalahan penerapan atas pelanggaran hukum yang dilakukan
pengadilan bawahan dalam memeriksa dan memutus perkara (missjude, salah menerapkan hukum atau peraturan yang berlaku)
c.
Memeriksa dan mengadili
kelalaian tentang syarat-syarat yang wajib dipenuhi menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku (negligent,
lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh ketentuan undang-undang dan
kelalaian itu mengancam batalnya putusan).
Tingkat kasasi
tidak berwenang memeriksa seluruh perkara seperti kewenangan yang dimiliki
peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Itu sebabnya peradilan tingkat kasasi
tidak termasuk judex facti.
a)
Perkara yang dapat di
kasasi
Perkara yang dapat
diperiksa pada tingkat kasasi diatur dalam Pasal 43 UU No. 14 Tahun 1985.[12]
Dalam pasal tersebut telah ditentukan asas umum, bahwa permohonan kasasi hanya
terhadap perkara yang menggunakan upaya hukum banding. Suatu perkara baru dapat
diajukan permohonan kasasi terhadapnya apabila perkara tersebut sudah lebih
dulu diperiksa dan diputus dalam tingkat banding.
Akan tetapi pasal
43 tersebut mengemukakan tentang adanya pengecualian. Pengecualian itu menurut
pasal 43 ayat (1) berupada adanya putusan pengadilan tingkat pertama yang oleh
undang-undang tidak dapat dimohonkan banding. Terhadap putusang Pengadilan
Agama yang tidak dapat dimohon banding, langsung dapat diajukan permohonan
kasasi. Dalam hal ini dapat dijumpai pada perkara yang sifat gugatannya
permohonan (volunteer) yang
keputusannya berbentuk penetapan.[13]
Misalnya, contoh dalam
bidang perkawinan seperti yang ditentukan dalam Pasal 21 UU No. 14 Tahun 1974
terhadap penolakan pegawai pencatat nikah untuk melangsungkan perkawinan, pihak
yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama untuk
memutus beralasan atau tidak penolakan. Pemeriksaan perkara tersebut dalam
pasal 21 ayat (4) dilakukan dengan cara singkat dan keputusan dituangkan dalam
bentuk penetapan. Penetapan yang dijatuhkan pengadilan agama tidak dapat
diajukan banding.[14]
Dilingkungan
pengadilan umum, tidak saja perkara volunteer
yang tidak dapat diajukan permohonan
banding. Bahkan dalam perkara yang bersifat contentiosa
seperti perkara sengketa merek berdasarkan pasal 51 ayat (1) UU No. 19 Tahun
1992 terhadap putusan perkara merek yang dijatuhkan pengadilan negeri jakarta
pusat langsung dapat diajukan permohonan kasasi.[15]
b)
Permohonan Kasasi Hanya
Satu Kali
Pasal 43 ayat (2)
menegaskan, permohonan kasasi dapat diajukan satu kali. Penegasan ini perlu,
agar tidak terjadi kesalahan penafsiran yang menganggap permohonan kasasi dapat
diajukan berulang-ulang. Tujuannya untuk menegakkan kepastian hukum. Apabila
telah diajukan permohonan kasasi, kemudian perkaranya telah diperiksa dan
diputus dalam tingkat kasasi, tertutup sudah permohonan kasasi bagi para pihak
yang berperkara. Dengan demikian terhadap putusan kasasi tidak dapat lagi
diajukan permohonan kasasi oleh pihak yang berperkara.
Demikian asas yang
ditentukan dalam pasal 43 ayat (2) UU No. 14 tahun 1985 sekali perkara telah
diputus dalam tingkat kasasi, gugur hak para pihak untuk mengajukan permohonan
kasasi tanpa mempersoalkan apakah yang bersangkutan telah mempergunakan haknya
untuk kasasi atau tidak[16].
Sebab ketentuan permohonan kasasi hanya dapat diajukan satu kali saja.
c) Yang
Berhak Mengajukan Kasasi
Mengenai orang
yang berhak mengajukan kasasi diatur dalam Pasal 44 UU No. 14 Tahun 1985, yakni:[17]
1.
Pihak yang berperkara
2.
Kuasanya, yang secara
khusus untuk perkara perdata yang diputus oleh pengadilan tingkat banding.
Dalam hal ini
apabila melalui kuasanya harus memenuhi syarat agar kuasanya sah, syaratnya
kuasa harus didukung oleh surat kuasa khusus yang sengaja dibuat oleh pemberi
kuasa. Disamping surat kuasa khusus, harus pula ditegaskan di dalamnya bahwa
pemberian kuasa adalah khusus untuk mengajukan permohonan kasasi terhadap
perkara perdata yang diputus oleh pengadilan tingkat banding.
Pasal 44
menegaskan “khusus dikuasakan untuk itu di dalam perkara perdata yang diperiksa
dan diputus oleh pengadilan tingkat banding atau tingkat akhir”. Jadi yang
dikasasi adalah putusan pengadilan tingkat banding. Oleh karena itu surat kuasa
untuk mengajukan kasasi oleh seorang kuasa harus diperbuat setelah ada putusan
tingkat banding.[18]
d) Bentuk
Permohonan Kasasi
Mengenai
bentuk permohonan kasasi diatur dalam Pasal 46 ayat (1), yakni[19]:
1.
Tulisan
2.
Lisan
Jadi pengajuan
kasasi tidak menentukan bentuk tertentu atau free form. Pengajuan
permohonannya berbentuk bebas. Bisa dengan tulisan. Bisa juga dengan lisan.
Juga tdak dituntut suatu perumusan tertentu, asal sudah jelas maksudnya untuk
memohon kasasi, sudah dianggap memadai, tidak harus dengan akta autentik, bisa
berupa surat biasa dan tidak dimestikan surat yang bermaterai.[20]
e) Permohonan
Disampaikan Melalui Pengadilan Tingkat Pertama
Permohonan
kasasi ditujukan kepada Mahkamah Agung melalui panitera pengadilan tingkat
pertama yang telah memutus perkara yang hendak dikasasi. Dalam hal ini diatur
dalam pasal 46 ayat (1) UU No. 14 tahun 1985 yakni, permohonan kasasi diajukan
kepada panitera pengadilan tingkat pertama, dimana dulu perkara yang hendak
dikasasi diputuskan.
f) Tenggang
Waktu Mengajukan Permohonan Kasasi
Mengenai tenggang
waktu permohonan kasasi, juga diatur dalam pasal 46 ayat (1) dan ayat (2). Ayat
(1) mengatur batas tenggang waktu dan ayat (2) berisi ancaman keterlambatan
mengajukan permohonan kasasi.
Adapun mengenai
tenggang waktu mengajukan permohonan kasasi ialah 14 hari, terhitung sejak
tanggal pemberitahuan putusan disampaikan kepada yang bersangkutan. Oleh karena
pada umumnya putusan perkara yang hendak dikasasi adalah pengadilan tinggi
dalam tingkat banding, cara menghitung tenggang kasasi ialah 14 hari dari
tanggal putusan tingkat banding diberitahu oleh juru sita kepada yang
bersangkutan. Agar perhitungan tidak menjadi permasalahan, pada surat
pemberitahuan ditulisa hari dan tanggal dan surat pemberitahuan sebaiknya
ditanda tangani oelh pihak yang bersangkutan.[21]
Terhadap perkara
yang tidak dapat dimohon banding, cara menghitung tenggang waktu sama yakni 14
hari dari tanggal putusan diberitahukan. Ambil misalnya perkara permohonan
pemeriksaan penolakan melangsungkan perkawinan oleh PPN atau perkara merek.
Terhadap perkara ini tidak dapat diajukan banding. Dengan demikian sejak dari
saat perkara diputus oleh pengadilan tingkat pertama, sudah dapat langsung
diajukan permohonan kasasi. Cara menghitung waktu kasasi ialah 14 hari dari
tanggal putusan diucapkan, jika pengucapan putusan dia hadir di persidangan.
Atau 14 hari dari tanggal pemberitahuan putusan jika dia tidak hadir dalam
persidangan pada saat putusan diucapkan.[22]
Ancaman permohonan
kasasi ditetapkan padal Pasal 46 ayat (2) yang bersangkutan telah menerima
putusa. Permohonan kasasi yang diajukan tidak dapat diterima. Mutlak sekali
akibat yang ditimbulkan tenggang batas waktu kasasi. Lewat sehari saja tidak
bisa ditawar-tawar lagi.
g) Pembayaran
Biaya Kasasi
Menurut
UU No. 14 Tahun 1985 dalam Pasal 46 ayat (3) biaya perkara kasasi menjadi salah
satu syarat formal permohonan kasasi. Terutama dijadikan syarat pokok pendaftaran,
pembuatan akta kasasi dan pengiriman berkas perkara ke mahkamah agung. “setelah permohonan kasasi dalam buku
daftar, pnitera tersebut ayat (1) mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar,
dan pada hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampaui pada
berkas perkara”.
Bertitik
tolak dari ketentuan pasal ini, pendaftaran permohonan kasas dalam buku
register serta pembuatan akta permohonan kasasi digantungkan pada pembayaran
biaya kasasi. Selama biaya belum dibayar, selama itu pendaftaran permohonan dan
pembuatan akta kasai belum bisa dilaksanakan.
h) Memberitahukan
Permohonan Kasasi Pada Pihak Lawan
Pemberitahuan
permohonan kasasi kepada pihak lawan masih merupakan rangkaian dari pembayaran
biaya kasasi. Selama biaya kasasi belum diayar pemohon, belum ada kewajiban
hukum bagi panitera yang bersangkutan untuk memberitahukan permohonan kasasi
kepada pihak lawan. Akan tetapi apabila biaya kasasi telah dibayar, dan
permohonan kasasi sudah dicatat dalam buku register, panitra wajib
memberitahukan permohonan kasasi kepada pihak lawan.
Tata cara
pemberitahuan digariskan dalam Pasal 46 ayat (4) yaitu:[23]
1.
Pemberitahuan paling
lambat 7 hari dari tanggal pendaftaran kasasi dalam buku register,
2. Pemberitahuan
dilakukan secara resmi dan tertulis
i)
Wajib Menyampaikan Memori
Kasasi
Pasal 47 ayat (1)
UU No. 14 tahun 1985 menegaskan: “ dalam pengajuan permohonan wajib
menyampaikan pula memori kasasi yang memuat alasan-alasannya, dalam tenggang
waktu 14 hari setelah permohonan yang dimaksud dicatat dalam buku daftra”.[24]
Bagaimana
pentingnya penyampaian memori kasasi dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 47
ayat (1) yang berbunyi “mengajukan memori
kasasi yang memuat alasan-alasan permohonan kasasi adalah syarat mutlak untuk
dapat diterimanya permohonan kasasi. Memori ini harus dimasukkan
selambat-lambatnya 14 hari sesudah mengajukan permohonan kasasi”
Dari ketentuan
pasal dan penjelasan yang diutarakan di atas, ada beberapa hal pokok yang perlu
mendapatkan perhatian, demi untuk terpenuhinya syrat formal permohonan kasasi.
a.
Memori Kasasi Syarat
Imperatif
Memori kasasi
dalam permohonan kasasi merupaka syarat formal yang bersifat imperatif. Hal itu
jelas terbaca dalam pasal 47 ayat (1) maupun dalam penjelasan pasalnya. Disitu
terdapat kata “wajib” dan juga ada kata “syarat mutlak” jadi kalau digabungkan,
maka terwujud suatu kaidah” kasasi adalah wajib dan syarat mutlak dalam
permohonan kasasi.[25]
b.
Ancaman Terhadap Memori
Permohonan yang Tak Dibarengi Memori Kasasi
Ancaman dapat
dilihat pada penjelasan Pasal 47 ayat (1) dengan cara pendekatan penafsiran a contrario dari kalimat syarat mutlak
untuk “dapat diterima” permohonan kasasi, permohonan “wajib” dibarengi dengan
memori kasasi. Kalau begitu secara a
contrario permohonan kasasi yang
tidak dibarengi dengan memori kasasi berakibat permohonan tidak dapat diterima,
berarti permohonan kasasi tidak sah dan sia-sia.[26]
c.
Tenggang Waktu Mengajukan
Memori Kasasi
Di samping
pengajuan memori kasasi merupakan syarat mutlak dalam permohonan kassai, cara
penyampaiannya kepada panitera pengadilan yang bersangkutan, harus dilakukan
dalam tenggang waktu yang ditentukan undang-undang. Batas tenggang waktunya
adalah 14 hari dari tanggal permohonan kasasi dicatat dalam buku register permohonan
kasasi.
Pengajuan memori
kasasi dalam batas tenggang waktu merupakan syarat formal yang mutlak. Sama
ancamannya dengan kasus tidak mengajukan memori kasasi. Dengan kata lain,
terlambat mengajukan memori kasasi dalam batas tenggang waktu yang ditentukan,
identik dengan tidak mengajukan memori kasasi. Jadi memori kasasi yang diajukan
terlambat dari batas tenggang waktu sama artinya, tidak mengajukan memori
kasasi. Akibatnya pun sama. Permohonan kasasi tidak dapat diterima karena
dianggap tidak memenuhi syaraf formal.
Kalau
diinventarisasi ketentuan formal yang berderajat sebagai syarat mutlak dalam
permohonan kasasi dapat diurut sebagi berikut:
1.
Permohonan dilakukan oleh
para pihak atau kuasa yang secara khusus untuk itu.
2. Tenggang
waktu mengajukan permohonan, 14 hari dari tanggal pemberitahuan permohonan
3. Pembayaran
biaya kasasi
4. Pengajuan
memori kasasi
5. Tenggang
waktu pengajuan memori kasasi 14 hari dari tanggal pengajuan permohonan kasasi
d.
Memori Kasasi Harus
Memuat Alasan yang Dibenarkan Pasal 30
Masalah lain yang
tidak kurang pentingnya, adalah isi memori kasasi. Sekalipun mengenai isi
memori kasasi tidak merupakan syarat formal, tapi merupakan syarat materil
untuk pengabulan permohonan kasasi, ada perlunya untuk diketahui, terutama bagi
mereka yang ingin mengajukan permohonan kasasi.
Bagi yang ingin hendak mengajukan permohonan kasasi, sebaiknya menurut
apa yang dinyatakan pasal 47 ayat (1) memori kasasi memuat alasan-alasan.
Alasan-alasan yang berbobot untuk pembatalan putusan yang dikasasi, merujuk
kepada pasal 30 UU No. 14 tahun 1985 yakni:
1.
Tidak berwenang atau
melampaui batas wewenang (transgression)
2. Salah
menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku (misjudge)
3.
Lalai memenuhi
syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam
kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan (negligent)
Inilah alasan
limitatif yang dibenarkan undang-undang. Diluar alasan tersebut, tidak
mempunyai bobot untuk membatalkan putusan yang dikasasi. Pemohon kasasi harus
mampu menunjuk secara nyata, bahwa dalam putusan perkara yang dikasasi terdapat
hal-hal yang melampaui batas kewenangan hakim dalam mengadili perkara. Atau
dalam pertimbangan dan amar putusan terdapat cacat yang mengandung kesalahan
penerapan hukum atau misjudge. Atau
pemeriksaan perkara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditentukan
undang-undang ngeligent. Diluar
alasan yang ketiga tersebut tidak ada artinya, sekalipun disusun memori yang
panjang, kalau isinya mengurai fakta, pembuktian, hal-hal baru dan sebagainya,
berarti alasan kasasi berada diluar jangkauan kewenangan peradilan tingka
kasasu. Alasan-alasan yang seperti ini kewenangan mutlak pengadilan judex facti.
e.
Tanda Terima dan
Penyampaian Salinan Memori Kasasi
Menurut Pasal 47
ayat (2) setelah panitera pengadilan yang bersangkutan menerima memori kasasi,
penerimaan dibarengi dengan tindak lanjut, berupa:
1.
Memberikan tanda terima
2. Menyampaikan
salinan memori kasasi kepada pihak lain
3.
Menyampaikan salinan
selambat-lambatnya 30 hari
Mengenai
penyampaian salinan memori kasai kepada pihak lawan. Tindakan ini sebenarnya
lebih dititikberatkan pada masalah “kewajiban” panitera dari pada masalah
formal. Ditinjau dari segi sudut formal, penyampaian salinan memori kasasi
boleh dikatakan tidak merupakan syarat mutlak keabsaan pemeriksaan ditingkat
kasasi. Namun demikian, panitera “wajib” menyampaikan. Tenggang waktu
penyampaiannya paling lambat 30 hari dari tanggal penerima memori kasasi.
f.
Hak Pihak Lawan
Mengajukan Kontra Memori
Sehubungan dengan
ketentuan menyampaikan salinan memori kasasi kepada pihak lawan, terbit “hak”
pihak lawan mengajukan kontra memori, bertujuan untuk memberikan kesempatan
kepadanya untuk menyangkal isi memori kasasi yang diajukan pemohon. Jika pihak
lawan ingin kontra memorinya diperhatikan oleh mahkamah agung dalam pemeriksaan
tingkat kasasi, harus diajukan dalam batas tenggang waktu tertentu, yakni 14
hari dari tanggal penerimaan salinan memori kasasi. Hanya kontra memori yang
diajukan dalam tenggang waktu 14 hari dari tanggal penerimaan salinan memori
yang sah sebagai kontra memori. Lewat dari itu kontra memori tidak mempunyai
nilai. Sebaliknya apabila kontra memori diajukan dalam tenggang waktu yang
ditentukan. Mahkamah Agung dapat mengambil isiny sebagai dasar pertimbangan
kasasi.[27]
j)
Pengiriman Berkas Ke
Mahkamah Agung
Tentang pengiriman
berkas ke mahkamah agung diatur dalam pasal 48 ayat (1). Bertitik tolak dari
ketentuan pasal ini. Panitera yang bersangkutan yang bertindak melaksanakan
pengiriman berkas. Bukan permohonan kasasi. Dengan demikian pengiriman berkas
bersifat resmi melalui jalur administrasi kedinasan.
Hal-hal yang harus
dikirimkan terdiri dari berkas perkara dilengkapi dengan permohonan kasasi,
memori kasasi, kontra memori kasasi. Yang dimaksud dengan berkas perkara ialah
berkas perkara semula, lengkap dengan putusan termasuk putusan pengadilan
tingkat banding. Tenggang waktu pengiriman paling lambat 30 hari dari tanggal
batas tenggang waktu penyampaian kontra
memori kasasi. Perhitungan itu didasarkan atas batas waktu penyampaian kontra
memori.
k)
Pencabutan Memori Kasasi
Upaya hukum
permohonan kasasi adalah hak yang diberikan undang-undang kepada para pihak
yang berperkara. Permohonan kasasi bukan kewajiban hukum. Oleh karena itu,
tergantung kepada kehendak mereka apakah hak itu dipergunakan atau tidak, hak
itu masih tetap melekat sampai putusan kasasi menjatuhkan putusan. Perlu diatur
patokan dan tata cara pencabutan, seperti:
a.
Pencabutan menggugurkan
hak untu kasasi kemabali
Apabila pemohon
mencabut kembali permohonan kasasi yang telah diajukan, gugur hak pemohon untuk
mengajukan permohonan sekali lagi, meskipun pada saat pencabutan dilakukan
tenggang waktu kasasi belum lampau. Meskipun pencabutan dilakukan dalam
tenggang waktu, tidak diperkenankan lagi mengajukan sekali lagi permohonan
kasasi, karena dengan adanya pencabutan, hak untuk mengajukan kasasi sekali
lagi, gugur demi hukum.
b.
Batas waktu untuk
mencabut
Batas waktu untuk
mencabut permohonan kasasi diatur dalam Pasal 49 ayat (2) sebelum mahkamah
agung memutus perkara kasasi yang bersangkutan. Pencabutan dapat dilakukan
pemohon sejak tanggal permohonan sampai perkara kasasi diputus pada tingkat
kasasi. Disimpulakan:
-
Pencabutan dapat
dilakukan sebelum perkara dikirim ke mahkamah agung
-
Pencabutan dapat dilakukan
setelah perkara berada di mahkamah agung
c.
Pencabutan Disampaikan
Kepada Panitra yang Menerima Permohonan
Tata cara
pencabutan harus disejajarkan dengan tata cara permohona. Oleh karena
permohonana kasasi diajukan kepada panitera pengadilan yang seula memutus
perkara pada tingkat pertama, penyampaian pencabutan permohonan kasasi pun
dialakukan di hadapan panitera pengadilan yang bersangkutan.
D.
UPAYA
PENINJAUAN KEMBALI
Sudah disinggung
upaya peninjauan kembali (dalam uraian selanjutnya disingkat dengan PK) adalah
upaya hokum luar biasa. Ketentuannya terdapat dalam bab IV, Bagianke 4 UU No.
14 Tahun 1985. Yang terdiri dari pasal 66 sampai dengan pasal 76. Dibawah ini
akan di uraikan serba ringkas hal-hal uang berkenaan dengan dengan PK. Guna
melengkapi upaya hokum yang dapat di pergunakan pihak yang berperkara terhadap
keputusan pengadilan agama.
a)
Pengertian PK
Sebenarnya
dengan membaca judul bab IV, Bagian keempat sudah tersurat pengertian apa yang
di maksud dengan upaya PK. Judulnya berbunyi: Pemeriksaan peninjauan kembali putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap. Dari judul tersebut sudah
jelas apa arti PK yakni“ pemeriksaan kembali” putusan pengadilan “ yang telah memperoleh
kekuatan hokum tetap “ Disitulah letak sifat luar biasa upaya PK memeriksa dan mengadili
atau memutus kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap.
Padahal pada setiap putu sanya.Setiap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hokum tetap, mutlak bersifat litisfiniriopperie.
Artinya, setiap putusan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap. Sudah bersifat
“final“ tidak bisa di ganggu gugat lagi. Pada diri putusan sudah terkandung segala
macam kekuatatan hukum yang bersifat mutlak kepada para pihak, orang yang
mendapatkan hak dari mereka atau kepada ahli waris mereka. Juga dengan sendirinya menurut hokum telah
mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak kepada para pihak serta sekaligus mempunyai
kekuatan eksekutorial yang mutlak kepada mereka.
b)
Pemeriksaan PK kewenangan
mutlak mahkamah agung.
Badan
pengadilan yang berwenang memeriksa PK adalah mahkamah agung demikian di
tegaskan dalam pasal 70 ayat (2) UU No. 14 tahun 1985. Kewenangan tersebut bersifa
t mutlak. Tidak bias didelegasikan kepada badan pengadian lain. Tidak menjadi soal
apakah putusan yang hendak di PK hanya sampai pada pengadilan tingkat pertama atau
tingkat banding. Intinya setiap pemeriksaan PK jatuh menjadi kewenangan mutlak mahkamah
agung.
Kewenangan
MK memeriksa perkara PK, bertidak sebagai pengadilan “ tingkat pertama dan terakhir
“ apabila mahkamah agung telah menjatuhkan putusan terhadap perkara PK ,
Putusan bersifat final tidak ada lagi upaya hukum yang lain ketentuan sangat logis
dan rasional. Jika masih ada lagi kemungkinan
upaya hokum tehadap putusan PK, kepastian hokum sulit untuk di tegakkan berlangsung
pada prosess yang tidak ada ujung pangkalnya. Padahal upaya PK itu sendiri sudah
merupakan upaya hukum yang luar biasa yang sangat eksepsional. Tentu tidak wajar
lagi untuk membuka kemungkinan upaya hukum yang luar biasa di atas upaya hokum luar
biasa atau jika masih ada lagi upaya hokum terhadap putusan PK, apa guna PK di
sebut upaya hokum luar biasa.
c)
Yang berhakmengajukanke
PK
Yang
berhak mengajukan permohonan PK diatur dalam pasal 68 UU.14 tahun 1985. Menurut
ketentuan tersebut yang berhak mengajukan permohonan ke PK :
1) Para
pihak secara in person
2) Ahli
waris mereka atau
3) Kuasa
yang di beriizin untuk itu.
d)
Permohonan PK hanya satu
kali
Salah
satu asas yang berkenaan dengan permohonan PK, menentukan permohonan PK hanya dapat
di ajukan “satu kali”. Maksudnya ,apabila perkara PK telah di putus , gugur hak
para pihak untuk mengajukan PK sekali lagi. Ketentuan itu bukan hanya berlaku kepada
pihak yang telah mengajukan permohonan misalnya A dan B berperkara. Setelah putusan memperoleh kukuatan hokum
tetap. A mengajukan PK dan terhadap putusan MA telah menjatuh kan putusan PK. Dengan adanya putusan PK. Gugur hak A dan B
untuk mengajukan PK sekali lagi bukan hanya hak A yang gugur tapi juga hak B Sesuai
dengan ketentuan 68 ayat (1) ini.
Akan
tetapi tidak menutup kemungkinan untuk mengajukan PK secara bersamaan seperti dalam
contoh tadi . A dan b boleh saja sama sama mengajukan PK hal itu tidak berbeda dalam
upaya banding atau kasasi
e)
PK tidak menaggukan atau
menghentikan eksekusi
Asas
ini yang di atur dalam pasal 66 terdapat pada ayat (2) yang menegaskan bahwa permohonan
PK tidak menganggukan atau menghentikan eksekusi atau pelaksanaan putusan. Demikian
bunyi asas dan teori permohonan PK tidak boleh di jadikan alas an untuk menunda pelaksaan putusan. Juga tidak
boleh di jadikan alasan untuk menghentikan eksekusi yang sedang berlangsung.
Kalau
pasal 66 ayat ( 2) di perhatikan benar-benar berstnegasi dalam kata kata “
tidak “ menangguhkan atau “ tidak menghentikan pelaksanaan. Putusan dari pandangan
yuridis setiap yang bersifat negasi atau larangan adalah bersifat imperative
kalau begitu permohonan PK. Secara mutlak
tidak boleh menagngguhkan atau menghentikan eksekusi.
Prosedur ( tata
cara permohonan peninjauan kembali )
1. Permohonan
di ajukan oleh pemohon ( ahli warisnya , atau wakilnya ) kepada mahkamah agung
melalui ketua pengadilan agama yang memutus perkara dalam tingkat pertama (
pasal 70 ayat (1) UU No 14 tahun 1985 ).[28]
2. Permohonan
diajukan oleh pemohon secara tertulis dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang di jadikan dasar pemohon
3. Apabila
pemohon tidak dapat menulis maka ia menguraikan permohonan secara lisan di
hadapan ke pengadilan PA yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau hakim
yang di tunjuk oleh ketua pengadilan yang akan membuat cacatan tentang
permohonan tersebut. ( pasal 71 UU no 14 tahun 1985)
4. Mahkamah
agung memeriksa dan memutus dengan sekurang kurangnya dengan tiga orang
hakim ( pasal 40 ayat (1) UU No. 14
tahun 1985 )
5. Permohonan
peninjauan kembali dapat di ajukan hanya 1 kali ( pasal 66 ayat (1) ) UU no 14
tahun 1985
6. Permohonan
peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menantikan pelaksanaan putusan (
pasal 66 ayat (2) UU Ni. 14 tahun 1985 )
7. Mahkamah
agung berwenang memerintah pengadilan agama yang memeriksa perkara dalam
tingkat pertama atau pengadilan tinggi ( tingkat banding ) mengadakan
pemerikasaan tambahan , atau meminta segala hal keterangan serta pertimbangan
dari pengadilan yang di maksud.\
8. Mahkamah
agung berwenang memerintahkan pengadilan agama yang memeriksa perkara dalam
tingkat pertama dan pengadilan tinggi ( tingkat banding ) mengadakan
pemeriksaan tambahan atau meminta segala hal keterangan serta pertimbangan dari
pengadilan yang di maksud ( pasa; 73 ayat (1) UU No.14 tahun 1985 )
9. Permohonan
peninjauan kembali dapat di cabut selama belum di putus
Uraian
lebih lengkap mengenai tata cara permohonan peninjauan kembali lihat pada buku
A muktiarto dalam peraktik perakara pidana pada pengadilan agama, hlm 297-302.[29]
BAB III
PENUTUPAN
A.
Kesimpulan
1.
Upaya hukum
yaitu suatu usaha bagi setiap individu atau badan hukum yang merasa dirugikan
hak atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan perlindungan hukum,
menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang.
2.
Verzet adaalah
perlawanan terhadap putusan verstek. Verstek adalah putusan yang diambil oleh
majelis hakim karena tergugat tidak hadir pada sidang pertama sementara ia
sudah dipanggil secara resmi dan patut, sejauh gugatan penggugat beralasan
biasanya tergugat langsung dikalahkan tanpa memeriksa pokok perkara.
3.
Banding adalah
upaya perkara yang telah diputus oleh pengadilan tingkat pertama
diperiksa ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi (tingkat banding), karena
merasa belum puas dengan keputusan pengadilan tingkat pertama.
4.
Kasasi adalah
permohonan pembatalan putusan oleh Mahkamah Agung. Pengadilan kasasi adalah
pengadilan yang memeriksa apakah yudex factie tidak salah dalam pelaksanaan
peradilan. Upaya hukum kasasi ialah upaya agar yudex factie dibatalkan oleh
Mahkamah Agung karena telah salah dalam melaksanakan peradilan.
5.
Peninjauan
kembali adalah upaya hukum luar biasa terhadap putusan yang sudah berkuatan
hukum tetap dalam hal ditemukannya bukti-bukti baru yang bersifat prinsipil,
terungkapnya rekayasa dan kebohongan atau pemalsuan alat bukti, adanya tuntutan
yang belum diputus dan atau amar putusan yang melebihi tuntutan yang baru
disadari setelah putusan berkekuatan hukum tetap (in cracht).
DAFTAR PUSTAKA
Harap,
M Yahya. 2009. Kedudukan Kewenangan dan
Acara Peradilan Agama. Jakarta: Sinar Grafika
Dewi,
Gemala. 2006. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta:
Kencana
Bintani,
Aris. 2012. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Rosyid.
Roihan A. 2013. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Bintani,
Aris. 2012. Hukum Acara Peradilan Agama: Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha. Jakarta:
Rajawali Pers
Mertokususmu,
Sudikno. 2009. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta
Undang-undang
No 14 Tahun 1985 Mahkamah Agung
[1] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta, 2009). Hlm. 234.
[2] Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama
[3] M. Fauzan. Pokok-Pokok Hukum
Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah Di Indonesia
[4] Aris Bintania. Hukum Acara Peradilan Agama: Dalam Kerangka Fiqh
al-Qadha, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012). Hlm. 165.
[5] M. Yahya Harahap, S.H. Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan
Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). Hlm. 337.
[6] Ibid., hlm. 339.
[7] Ibid., hlm. 196.
[8] Aris Bintania. Hukum Acara Peradilan Agama: Dalam Kerangka Fiqh
al-Qadha, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012). Hlm. 200.
[9] Roihan A. Rasyid. Hukum Acara
Peradilan Agama. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2013. Hlm. 232
[10] M. Yahya Harahap. Kedudukan
Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Hlm.
348
[11] ibid
[12] Undang-undang No 14 Tahun 1985 Mahkamah Agung
[13] M. Yahya Harahap. Op. cit, hlm 349
[14] Ibid
[15] ibid
[16] Pasal 43 ayat (2) Undang-undang no 14 tahun 1985
[17] Pasal 44
[18] M. Yahya Harahap. Op. Cit, hlm 350
[19] Pasal 46 ayat (1) Undang-undang No 14 tahun 1985
[20] M. Yahya Harahap. Op.cit hlm, 351
[21] M. Yahya Harahap. Op.cit hlm, 352
[22] ibid
[23] Pasal 46 ayat (4) UU No. 14 tahun 1985
[24] Pasal 47 ayat (1)
[25] M. Yahya Harap. Op.cit, hlm. 356
[26] Ibid, hlm 357
[27] Ibid, hlm 359
[28]Gemala dewi , hukum acara perdata
peradilan agama di Indonesia ( Jakarta : kencana, 2006 ) hlm, 179
[29]M.YahyaHarapap. Kedudukan kewenangan
dan acara peradilan agama ( Jakarta : sinargrafika ,2009) hlm,361
0 komentar:
Post a Comment