Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Tuesday, April 24, 2018

upaya hukum dalam acara peradilan agama


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pengesahan undang-undang Peradilan Agama, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang selanjutnya disebut UUPA yang berlaku pada pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah sebagaimana juga hukum acara perdata  yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum, di samping hukum acara khusus yang diatur tersendiri terutama dalam memeriksa perkara sengketa perkawinan.
Suatu putusan hakim tidak luput dari kekeliruan dan kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Maka oleh karena itu, demi kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang, agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki. Bagi setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum, yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan.[1]

Terhadap putusan pengadilan yang dirasakan tidak atau kurang memenuhi rasa keadilan dalam undang-undang Peradilan Agama diberi ruang untuk mengajukan keberatan melalui upaya hukum perlawanan (verzet), banding, kasasi, maupun melalui peninjauan kembali. Prinsip demikian, sejalan dengan asas dalam suatu kekuasaan kehakiman yang dalam hal ini membahas tentang Peradilan Agama, perlakuan setiap orang yang sama di muka hukum dengan tidak membeda-bedakan, selain itu juga bahwa setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah samapai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat diambil beberapa rumusan msalah diantanya?
1.      Apa saja upaya hukum pengadilan agama?
2.      Bagaimana pelaksanaan upaya hukum dalam acara pengadilan agama?
C.    Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah tersebut, dapat diketahui tujuan penulisan, untuk mengetahui:
1.      Untuk mengetahui upaya hukum apa saja yang ada dalam lingkup pengadilan agama.
2.      Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan upaya hukum dalam acara pengadilan agama.






















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Upaya Hukum Verstek
Putusan Verstek adalah putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim tanpa hadirnya Tergugat dan ketidakhadirannnya itu tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara semi dan patut (default without reason). Putusan verstek ini merupakan pengecualian dari acara persidangan biasa atau acara kontradiktur dan prinsip audi et alteram partem sebagai akibat ketidakhadiran Tergugat atas alasan yang tidak sah. Dalam acara verstek Tergugat dianggap ingkar menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah dan dalam hal ini Tergugat dianggap mengakui sepenuhnya secara murni dan bulat semua dalil gugatan Penggugat. Putusan verstek hanya dapat dijatuhkan dalam hal Tergugat atau para Tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama. Beberapa ketentuan hukum acara yang mengatur pemeriksaaan perkara secara verstek (tidak hadir) antara lain :
Pasal 125 (1) HIR yang menyatakan:
“Jika Tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa atau tidak menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek ), kecuali kalau nyata kepada Pengadilan Negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan”( Rbg : 149).
Masih terkait dengan pasal 125 HIR / 149 Rbg, pasal 126 HIR menyatakan“di dalam hal yang tersebut pada kedua pasal di atas tadi, Pengadilan Negeri dapat, sebelum menjatuhkan keputusan, memerintahkan supaya pihak yang tidak datang dipanggil buat kedua kalinya, datang menghadap pada hari persidangan lain, yang diberitahukan oleh ketua di dalam persidangan kepada pihak yang datang, bagi siapa pemberitahuan itu berlaku sebagai panggilan “ (Rbg. 150)
Terkait dengan pasal-pasal tersebut, terdapat beberapa pendapat bagaimana perkara verstek itu diacarakan. Pendapat Pertama menyatakan bahwa apabila pada hari sidang yang pertama Tergugat atau Termohon tidak hadir, sedangkan ia telah dipanggil dengan resmi dan patut, serta tidak pula mengirim wakilnya untuk menghadap, maka berdasarkan ketentuan tersebut, Majelis dapat memeriksa dan memutus perkara tersebut tanpa kehadiran Tergugat atau Termohon. Jika perkara tersebut tidak diputus pada hari itu juga, maka majelis dapat menunda sidang tanpa harus memanggil ulang Termohon. Sementara pendapat kedua menyatakan bahwa, apabila pada hari sidang yang pertama Tergugat atau Termohon tidak hadir, sedangkan ia telah dipanggil dengan resmi dan patut, serta tidak pula mengirim wakilnya untuk menghadap, maka berdasarkan ketentuan tersebut, Majelis dapat memeriksa dan memutus perkara tersebut tanpa kehadiran Termohon. Jika perkara tersebut tidak diputus pada hari itu juga, maka majelis dapat menunda sidang dengan keharusan memanggil ulang Termohon. Pendapat kedua ini menyandarkan pendapatnya pada ketentuan pasal 26 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang berbunyi “Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik Penggugat maupun Tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut”, karena ketentuan tersebut merupakan acara perdata khusus dalam bidang perkawinan yang diberlakukan juga pada Peradilan Agama.
Dari kedua pendapat tersebut, penulis lebih cendrung pada pendapat yang pertama, meskipun Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 merupakan sumber hukum acara yang khusus dalam bidang perkawinan yang diberlakukan juga bagi Peradilan Agama sebagaimana pembelaan bagi yang memegang pendapat ke dua sesuai asas leg specialis derogat leg generalis, namun menurut penulis hal itu kurang tepat.[2] Peraturan Pemerintah Nomor 9 tersebut selain perkara ghoib, tidak specifik mengatur tentang verstek, yang dimaksud pasal tersebut adalah perkara yang Penggugat / Pemohon dan Tergugat /Termohon hadir pada sidang pertama, sehingga pasal tersebut tidak mengikat pada perkara verstek. Karena verstek tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut, maka ketentuan umum tentang verstek yang terdapat dalam HIR dan Rbg, tetap berlaku pada Peradilan Agama. Panggilan ke dua kali dalam perkara verstek merupakan panggilan toleransi. Sebagai penutup, bahwa sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 9 Tahun 1964 tersebut, “hari ini ” dapat berarti tidak saja hari sidang ke–1 akan tetapi juga hari sidang ke-2 dan sebagainya.[3]
B.     Pengertian Upaya Hukum Banding[4]
Upaya hukum merupakan upaya setiap orang yang merasa dirugikan hak atau kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan perlindungan atau kepastian hukum dengan cara-cara yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Upaya hukum bagi pihak yang merasa haknya dirugikan orang lain atau untuk suatu kepentingan hukum dilakukan dengan mengajukan perkara ke pengadilan.
Di samping itu ada lagi upaya hukum yang dilakukan ketika suatu sengketa sedang berada dalam proses di pengadilan, upaya hukum tersebut bisa berupa berbentuk melawan suatu gugatan seperti mengajukan eksepsi, rekonvesi, upaya hukum melawan sita, upaya hukum melawan eksekusi, upaya hukum untuk melawan proses atau intervensi (voeging, tunssenkomst, dan vrijwaring), dan termasuk upaya hukum pembuktian dengan menghadirkan saksi, surat, persangkaan, pengakuan, sumpah, dan lain-lain bukti yang sah.
Upaya hukum, bisa juga dilakukan untuk melawan suatu putusan yang sudah dihasilkan oleh pengadilan pada tingkat tertentu, seperti upaya verzet terhadap putusan verstek, upaya banding, dan upaya kasasi yang  merupakan upaya hukum biasa terhadap putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht), mengajukan peninjauan kembali (request civil) dan derden verzet sebagai upaya hukum luar biasa dari pihak ketiga terhadap putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap.
Upaya hukum untuk melawan suatu putusan merupakan “hak” bagi mereka yang menjadi pihak dalam perkara, setiap oran gyang menjadi pihak dalam suatu perkara baik dalam perkara gugat permohonan (volunter) ataupun contentiosa (tuntutan) sama-sama berhak mengajukan upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa.
Upaya hukum biasa yang pertama terhadap putusan atau penetapan Pengadilan Agama adalah upaya banding, yaitu permintaan atua permohonan salah satu pihak yang berperkara agar penetapan atau putusan yang dihjatuhkan Pengadilan Agama diperiksa ulang dalam pemeriksaan tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Agama. Apabila salah satu atau kedua belah pihak dalam suatu perkara tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama karena merasa haknya terganggu dengan adanya putusan itu atau menganggap putusan tersebut tidak benar dan belum adil, maka ia dapat mengajukan banding. Upaya hukum banding adalah hukum agar perkara yang telah diputuskan oleh pengadilan tingkat pertama diperiksa ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi karena pihak yang mengajukan belum puas dan tidak menerima keputusan pengadilan tingkat pertama.
Berdasarkan Pasal 61 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, atas penetapan dan putusan pengadilan agama dapat dimintakan banding oleh pihak yang berperkara kecuali apabila undang-undang menetukan lain. Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama merupaakn pengadilan judex factie yaitu pengadilan yang memeriksa duduknya perkara, sehingga Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding merupakan pengadilan ulangan yang memeriksa ulang perkara yang sudah diputus di tingkat pertama. Kata peradilan ulangan menunjukan diulanginya semua segi pemeriksaan baik mengenai duduk perkara maupun mengenai penerapan hukumnay. Dalam peristilahan perundang-undangan pemeriksaan banding atau ulangan sering juga disebut pemeriksaan tingkat terakhir, yaitu pemeriksaan oleh pengadilan judec factie yang terakhir. Segala fakta yang sudah ditetapkan oleh Pengadilan Banding akan tetapa dianggap benar untuk seterusnya dan sudah tidak bisa diubah lagi.
Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama memeriksa dan mengadili perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Agama tidak bersifat otomatis, pemeriksaan baru bisa dilaksanakan apabila salah satu pihak atau para pihak yang berperkara mengajukan permohonan banding, tanpa adanya permohonan banding Pengadilan Tinggi Agama tidak berwenang meminta Pengadilan Agama untuk memeriksakan perkara dalam tingkat bading, adanya permohonana banding membuka kewenangan pemeriksaan oleh Pengadilan Tinggi Agama.
A.     Tata Cara Permohonan Banding[5]
Berpedoman kepada ketentuan yang ditetapkan dalam UU No. 20 Tahun 1947 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 sampai Pasal 15, menurut ketentuan Pasal 7 tata cara permohonan banding:
1)      Tenggang waktu permohonan banding:
a.       14 hari setelah putusan diucapkan, apabila waktu putusan diucapkan pihak pemohon banding hadir sendiri di persidangan
b.      14 hari sejak putusan diberitahuakan, apabila pemohon banding tidak hadir pada saat putusan diucapkan di persidangna
c.       Jika perkara prodeo, terhitung 14 hari dari tanggal pemberitahuan putusan prodeo dari Pengadilan Tinggi kepada pemohon banding (Pasal 7 ayat (3)).
2)      Pengajuan permohonan banding disampaikan kepada panitera pengadilan yang memutus perkara yang hendak dibanding.
3)      Yang berhak mengajukan perrmohonan banding:
a.       Pihak yang berperkara in person, atau
b.      Kuasanya, dengan syarat terlebih dulu mendapat surat kuasa khusus untuk itu.
4)      Bentuk permintaan banding, bisa dengna lisan atau pun dengan tulisan.
5)      Pembayaran ongkos atau biaya banding, pembayaran biaya banding merupakan syarat formal permintaan banding. Biaya banding dibebankan kepada pemohon banding, bukan kepada pihak penggugat.
6)      Kalau syarat formal dipenuhi yakni permohonan tidak melampaui tenggang 14 hari dan biaya banding telah dibayar, panitera:
a.       Meregistrasi permohonan, dan
b.      Sekaligus membuat akta banding, serta
c.       Melampirkan akta banding dalam berkas perkara sebagai akta atau bukti bagi pengadilan Tinggi tentang adanya permohonan baning, serta sebagai alat penguji apakah permohonana melampaui tenggang atau tidak.
7)      Juru sita menyampaikan pemberitahuan permohonan banding kepada pihak lawan berperkara: bentuk pemberitahuan berupa akta relaas pemberitahuan banding, kemudian melampirkan relaas tersebut dalam berkas perkara.
8)      Menyampaikan pemberitahuan inzage.
Maksud inzage ialah kesempatan mempelajari berkas perkara, pemebritahuan inzage dilakukan oleh juru sita:
a.       selambat-lambatnya dalm tempo 14 hari dari tanggal permohonan banding, dan
b.      pemberitahuan inzzage disamapaikan kepada kedua belah pihak yang berperkara:
A.    tenggang waktu mempergunaakan hak inzage hanya 14 hari terhitung dari tanggal pemberitahuan inzage, dan
B.     hak memepergunaakan inzage:
a.       Bukan syarat formal permohonan banding,
b.      Boleh dipergunkana atau boleh tidak dipergunakan pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu, pengiriman berkas ke Pengadilan Tinggi tidak boleh ditangguhkan atas alasan para pihak belum melakukan inzage. Asal sudah lewat tenggang inzage, tidak ada keharusan bagi panitera untuk melayaninya.
9)      Penyampaian Memori dan Kontra Memori Banding.
Penyampaian memori banding adalah hak bukan kewajiban hukum bagi pemohon banding. Tanpa memori banding permohonana banding tetap sah, hal ini sesuai dengna karakter pemeriksaan banding adalah pemeriksaan ulang perkara secara keseluruhan. Seperti yang telah ditegaskan, misalnya dalm putusan Mahkamah Agung tanggal 14 Agustus 1957 No. 143 K/Sip/1956, menurut tafsiran yang lazim hakim banding tidak diharuskan untuk meninjau segala-galanya yang tercantum dalam memori banding.
a.       Tenggang waktu mengajukan memori banding tidak terbatas,
b.      harus memberitahu dengan relaas memori banding kepada pihak lawan
c.       harus memberitahu dengan relaas adanya kontra memori banding kepada pemohon banding,
d.      semua memori, kontra memori, dan relaas pemberitahuan dilampirkan (disatukan) dalam berkas perkara.
10)  Satu bulan sejak dari tanggal permohonan banding berkas perkara harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi. Ketentuan ini siatur dalam pasal 11 ayat (2) UU No. 20 Tahun 1947. Ketentuan ini bersifat imperatif dalam arti perintah, karena dalam pasal terdapat kata-kata: “harus dikirim kepada panitera Pengadilam Tinggi selambat-lambatnya satu bulan setelah menerima permintaan banding”.

B.     Pemeriksaan Tingkat Banding[6]
Secara garis besar, pemeriksaan tingkat banding dengan pemeriksaan tingkat pertama terdapat perbedaan, perbedaan pertama terletak pada tata cara pemeriksaan. Proses pemeriksaaan perkara pada peradilan tingkat pertama bersifat “hubungan langsung” atau levend contact (life contact) antara hakim dengan pihak-pihak yang berperkara dan saksi-saksi. Lain halnya dengan tingkat banding, sesuai degnan ketentuan Pasal II Lembaran Negara No. 36 Tahun 1955, pemeriksaan perkara:
1)      Dilakukan berdasarkan berkas perkara.
Pada prinsipnya pemeriksaan perkara pada tingkat banding tidak bersifat hubungna langsung antara hakim dengan para pihak dan saksi-saksi, dilakukan melalui berita acara pemeriksaan pengadilan tingkat pertama. Itu sebabnya dikatakan, pemeriksaan persidangan tingkat banding “berdasar berkas perkara”.
2)      Apabila dianggap perlu dapat melakukan “pemeriksaan tambahan”.
Apabila Pengadilan Tinggi berpendapat ada hal-hal yang memerlukan kejelasan atau unutk menambah kesempurnaan pembuktian, pemeriksaan setempat, pemeriksaan saksi ahli, dan sebagainya, Pengadilan Tinggi dapat memerintahkan pemeriksaan tambahan melalui proses:
a.       Pemeriksaan tambahan berdasarkan putusan sela
b.      Pemeriksaan tambahan dapat dilaksanakan sendiri oleh pengadilan tinggi
c.       Pelaksanaan pemeriksaan tamabhan diperintahakan kepada pengadilan yang memeriksa dan memutus pada tingkat pertama 
3)      Pemeriksaan Tingkat Banding Dilakukan Dengan Majelis.
Demikian penegasan yang disebut dalam Pasal II ayat (1) Lembar Negara No. 36 Tahun 1955. Ketentuan ini kemudian dipertegas lagi dalam Pasal 15 UU No. 14 Tahun 1970. 
C.     Faktor Pemabatalan Putusan Pengadilan Agama
Berdasarkan keterangan dan penjelasan dari bagian-bagian pertimbangan (konsideran) putusan banding di atas, dapat diidentifikasikan bahwa ternyata faktor yang menjadi alasan bagi Pengadilan Tinggi Agama antara lain adalah karena hakim tingkat pertama sering terjadi kesalahan dalam menerapkan hukum dan kurangnya penguasaan hakim tingkat pertama mengenai Hukum Acara.
Ada pun beberapa faktor kelemahan putusan Pengadilan Agama, di antaranya:[7]
1)      Faktor kelemahan gugatan
a.       Gugatan kabur (obscuur libel)
b.      Gugatan premature
c.       Putusan melebihi tuntutan
d.      Gugatan salah mengenai orang (error in persona)
2)      Faktor kelemahan pemeriksaan dan acara.
3)      Faktor kelemahan putusan karena format putusan hakim pertama tidak benar dan kurang sempurna.
4)      Faktor para pihak rukun kembali
a.       Dalam perkara cerai talak ada indikasi harapan rumak tangga tetap utuh karena antara pemohon dan termohon tetap melakukan hubungan mesra.
b.      Dalam perkara cerai gugat kedua pihak ternyata telah hidup rukun kembali seperti dinyatakan keduanya dalam sidang Pengadilan Tinggi Agama.
Dasar-dasar pertimbangan hukum yang dijadikan alasan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama dalam membatalkan putusan-putusan Pengadilan Agama menyebut dan menunjuk serta menyoroti sisi kekurangan dan kelemahan yan gterjadi terhadap format dan isi putusan, tuntutan asal (konvensi), persyaratan formal, aturan acara, pertimbangan hukum dan penerapannya.[8]
C.    Upaya Hukum Kasasi
Kasasi adalah mohon pembatalan terhadap putusan/penetapan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama) atau terhadap putusan pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi Agama) ke Mahkamah Agung di Jakarta, melalui pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama) yang dahulunya memutus, karena adanya alasan tertentu, dalam waktu tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu.[9]
Kasasi adalah upaya hukum biasa yang kedua disini permohonan pemeriksaan tingkat kasasi yang ditujukan kepada Mahkamah Agung. Hal ini sesuai dengan Pasal 28 ayat (1) huruf a UU No. 14 Tahun 1985 menurut pasal ini, salah satu kewenangan kekuasaan Mahkamah Agung memeriksa dan merumus permohonan kasasi.[10]
Pemeriksaan kasasi bukan pengadilan tingkat tiga, kewenangannya memeriksa dan mengadili perkara tidak meliputi seluruh perkara. Kewenangannya pengadilan kasasi sebagai tingkat peradilan kasasi sangat terbatas meliputi hal-hal yang telah ditentukan dalam Pasal 30 UU No. 14 tahun 1985 meliputi:[11]
a.       Memeriksa dan memutus tentang tidak berwenang atau melampaui batas wewenang pengadilan tingkat bawah dalam memeriksa dan memutus suatu perkara (transgression melampaui batas wewenang)
b.      Memeriksa dan mengadili kesalahan penerapan atas pelanggaran hukum yang dilakukan pengadilan bawahan dalam memeriksa dan memutus perkara (missjude, salah menerapkan hukum atau peraturan yang berlaku)
c.       Memeriksa dan mengadili kelalaian tentang syarat-syarat yang wajib dipenuhi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (negligent, lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh ketentuan undang-undang dan kelalaian itu mengancam batalnya putusan).
Tingkat kasasi tidak berwenang memeriksa seluruh perkara seperti kewenangan yang dimiliki peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Itu sebabnya peradilan tingkat kasasi tidak termasuk judex facti.
a)      Perkara yang dapat di kasasi
Perkara yang dapat diperiksa pada tingkat kasasi diatur dalam Pasal 43 UU No. 14 Tahun 1985.[12] Dalam pasal tersebut telah ditentukan asas umum, bahwa permohonan kasasi hanya terhadap perkara yang menggunakan upaya hukum banding. Suatu perkara baru dapat diajukan permohonan kasasi terhadapnya apabila perkara tersebut sudah lebih dulu diperiksa dan diputus dalam tingkat banding.
Akan tetapi pasal 43 tersebut mengemukakan tentang adanya pengecualian. Pengecualian itu menurut pasal 43 ayat (1) berupada adanya putusan pengadilan tingkat pertama yang oleh undang-undang tidak dapat dimohonkan banding. Terhadap putusang Pengadilan Agama yang tidak dapat dimohon banding, langsung dapat diajukan permohonan kasasi. Dalam hal ini dapat dijumpai pada perkara yang sifat gugatannya permohonan (volunteer) yang keputusannya berbentuk penetapan.[13]
Misalnya, contoh dalam bidang perkawinan seperti yang ditentukan dalam Pasal 21 UU No. 14 Tahun 1974 terhadap penolakan pegawai pencatat nikah untuk melangsungkan perkawinan, pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama untuk memutus beralasan atau tidak penolakan. Pemeriksaan perkara tersebut dalam pasal 21 ayat (4) dilakukan dengan cara singkat dan keputusan dituangkan dalam bentuk penetapan. Penetapan yang dijatuhkan pengadilan agama tidak dapat diajukan banding.[14]
Dilingkungan pengadilan umum, tidak saja perkara volunteer  yang tidak dapat diajukan permohonan banding. Bahkan dalam perkara yang bersifat contentiosa seperti perkara sengketa merek berdasarkan pasal 51 ayat (1) UU No. 19 Tahun 1992 terhadap putusan perkara merek yang dijatuhkan pengadilan negeri jakarta pusat langsung dapat diajukan permohonan kasasi.[15]
b)      Permohonan Kasasi Hanya Satu Kali
Pasal 43 ayat (2) menegaskan, permohonan kasasi dapat diajukan satu kali. Penegasan ini perlu, agar tidak terjadi kesalahan penafsiran yang menganggap permohonan kasasi dapat diajukan berulang-ulang. Tujuannya untuk menegakkan kepastian hukum. Apabila telah diajukan permohonan kasasi, kemudian perkaranya telah diperiksa dan diputus dalam tingkat kasasi, tertutup sudah permohonan kasasi bagi para pihak yang berperkara. Dengan demikian terhadap putusan kasasi tidak dapat lagi diajukan permohonan kasasi oleh pihak yang berperkara.
Demikian asas yang ditentukan dalam pasal 43 ayat (2) UU No. 14 tahun 1985 sekali perkara telah diputus dalam tingkat kasasi, gugur hak para pihak untuk mengajukan permohonan kasasi tanpa mempersoalkan apakah yang bersangkutan telah mempergunakan haknya untuk kasasi atau tidak[16]. Sebab ketentuan permohonan kasasi hanya dapat diajukan satu kali saja.
c)      Yang Berhak Mengajukan Kasasi
Mengenai orang yang berhak mengajukan kasasi diatur dalam Pasal  44 UU No. 14 Tahun 1985, yakni:[17]
1.      Pihak yang berperkara
2.      Kuasanya, yang secara khusus untuk perkara perdata yang diputus oleh pengadilan tingkat banding.
Dalam hal ini apabila melalui kuasanya harus memenuhi syarat agar kuasanya sah, syaratnya kuasa harus didukung oleh surat kuasa khusus yang sengaja dibuat oleh pemberi kuasa. Disamping surat kuasa khusus, harus pula ditegaskan di dalamnya bahwa pemberian kuasa adalah khusus untuk mengajukan permohonan kasasi terhadap perkara perdata yang diputus oleh pengadilan tingkat banding.
Pasal 44 menegaskan “khusus dikuasakan untuk itu di dalam perkara perdata yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan tingkat banding atau tingkat akhir”. Jadi yang dikasasi adalah putusan pengadilan tingkat banding. Oleh karena itu surat kuasa untuk mengajukan kasasi oleh seorang kuasa harus diperbuat setelah ada putusan tingkat banding.[18]
d)      Bentuk Permohonan Kasasi
Mengenai bentuk permohonan kasasi diatur dalam Pasal 46 ayat (1), yakni[19]:
1.      Tulisan
2.      Lisan
Jadi pengajuan kasasi tidak menentukan bentuk tertentu atau free form.  Pengajuan permohonannya berbentuk bebas. Bisa dengan tulisan. Bisa juga dengan lisan. Juga tdak dituntut suatu perumusan tertentu, asal sudah jelas maksudnya untuk memohon kasasi, sudah dianggap memadai, tidak harus dengan akta autentik, bisa berupa surat biasa dan tidak dimestikan surat yang bermaterai.[20]
e)      Permohonan Disampaikan Melalui Pengadilan Tingkat Pertama
Permohonan kasasi ditujukan kepada Mahkamah Agung melalui panitera pengadilan tingkat pertama yang telah memutus perkara yang hendak dikasasi. Dalam hal ini diatur dalam pasal 46 ayat (1) UU No. 14 tahun 1985 yakni, permohonan kasasi diajukan kepada panitera pengadilan tingkat pertama, dimana dulu perkara yang hendak dikasasi diputuskan.
f)       Tenggang Waktu Mengajukan Permohonan Kasasi
Mengenai tenggang waktu permohonan kasasi, juga diatur dalam pasal 46 ayat (1) dan ayat (2). Ayat (1) mengatur batas tenggang waktu dan ayat (2) berisi ancaman keterlambatan mengajukan permohonan kasasi.
Adapun mengenai tenggang waktu mengajukan permohonan kasasi ialah 14 hari, terhitung sejak tanggal pemberitahuan putusan disampaikan kepada yang bersangkutan. Oleh karena pada umumnya putusan perkara yang hendak dikasasi adalah pengadilan tinggi dalam tingkat banding, cara menghitung tenggang kasasi ialah 14 hari dari tanggal putusan tingkat banding diberitahu oleh juru sita kepada yang bersangkutan. Agar perhitungan tidak menjadi permasalahan, pada surat pemberitahuan ditulisa hari dan tanggal dan surat pemberitahuan sebaiknya ditanda tangani oelh pihak yang bersangkutan.[21]
Terhadap perkara yang tidak dapat dimohon banding, cara menghitung tenggang waktu sama yakni 14 hari dari tanggal putusan diberitahukan. Ambil misalnya perkara permohonan pemeriksaan penolakan melangsungkan perkawinan oleh PPN atau perkara merek. Terhadap perkara ini tidak dapat diajukan banding. Dengan demikian sejak dari saat perkara diputus oleh pengadilan tingkat pertama, sudah dapat langsung diajukan permohonan kasasi. Cara menghitung waktu kasasi ialah 14 hari dari tanggal putusan diucapkan, jika pengucapan putusan dia hadir di persidangan. Atau 14 hari dari tanggal pemberitahuan putusan jika dia tidak hadir dalam persidangan pada saat putusan diucapkan.[22]
Ancaman permohonan kasasi ditetapkan padal Pasal 46 ayat (2) yang bersangkutan telah menerima putusa. Permohonan kasasi yang diajukan tidak dapat diterima. Mutlak sekali akibat yang ditimbulkan tenggang batas waktu kasasi. Lewat sehari saja tidak bisa ditawar-tawar lagi.
g)      Pembayaran Biaya Kasasi
Menurut UU No. 14 Tahun 1985 dalam Pasal 46 ayat (3) biaya perkara kasasi menjadi salah satu syarat formal permohonan kasasi. Terutama dijadikan syarat pokok pendaftaran, pembuatan akta kasasi dan pengiriman berkas perkara ke mahkamah agung. “setelah permohonan kasasi dalam buku daftar, pnitera tersebut ayat (1) mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan pada hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampaui pada berkas perkara”.
Bertitik tolak dari ketentuan pasal ini, pendaftaran permohonan kasas dalam buku register serta pembuatan akta permohonan kasasi digantungkan pada pembayaran biaya kasasi. Selama biaya belum dibayar, selama itu pendaftaran permohonan dan pembuatan akta kasai belum bisa dilaksanakan.
h)     Memberitahukan Permohonan Kasasi Pada Pihak Lawan
Pemberitahuan permohonan kasasi kepada pihak lawan masih merupakan rangkaian dari pembayaran biaya kasasi. Selama biaya kasasi belum diayar pemohon, belum ada kewajiban hukum bagi panitera yang bersangkutan untuk memberitahukan permohonan kasasi kepada pihak lawan. Akan tetapi apabila biaya kasasi telah dibayar, dan permohonan kasasi sudah dicatat dalam buku register, panitra wajib memberitahukan permohonan kasasi kepada pihak lawan.
Tata cara pemberitahuan digariskan dalam Pasal 46 ayat (4) yaitu:[23]
1.      Pemberitahuan paling lambat 7 hari dari tanggal pendaftaran kasasi dalam buku register,
2.      Pemberitahuan dilakukan secara resmi dan tertulis

i)        Wajib Menyampaikan Memori Kasasi
Pasal 47 ayat (1) UU No. 14 tahun 1985 menegaskan: “ dalam pengajuan permohonan wajib menyampaikan pula memori kasasi yang memuat alasan-alasannya, dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan yang dimaksud dicatat dalam buku daftra”.[24]
Bagaimana pentingnya penyampaian memori kasasi dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 47 ayat (1) yang berbunyi “mengajukan memori kasasi yang memuat alasan-alasan permohonan kasasi adalah syarat mutlak untuk dapat diterimanya permohonan kasasi. Memori ini harus dimasukkan selambat-lambatnya 14 hari sesudah mengajukan permohonan kasasi”
Dari ketentuan pasal dan penjelasan yang diutarakan di atas, ada beberapa hal pokok yang perlu mendapatkan perhatian, demi untuk terpenuhinya syrat formal permohonan kasasi.
a.      Memori Kasasi Syarat Imperatif
Memori kasasi dalam permohonan kasasi merupaka syarat formal yang bersifat imperatif. Hal itu jelas terbaca dalam pasal 47 ayat (1) maupun dalam penjelasan pasalnya. Disitu terdapat kata “wajib” dan juga ada kata “syarat mutlak” jadi kalau digabungkan, maka terwujud suatu kaidah” kasasi adalah wajib dan syarat mutlak dalam permohonan kasasi.[25]
b.      Ancaman Terhadap Memori Permohonan yang Tak Dibarengi Memori Kasasi
Ancaman dapat dilihat pada penjelasan Pasal 47 ayat (1) dengan cara pendekatan penafsiran a contrario dari kalimat syarat mutlak untuk “dapat diterima” permohonan kasasi, permohonan “wajib” dibarengi dengan memori kasasi. Kalau begitu secara a contrario  permohonan kasasi yang tidak dibarengi dengan memori kasasi berakibat permohonan tidak dapat diterima, berarti permohonan kasasi tidak sah dan sia-sia.[26]
c.       Tenggang Waktu Mengajukan Memori Kasasi
Di samping pengajuan memori kasasi merupakan syarat mutlak dalam permohonan kassai, cara penyampaiannya kepada panitera pengadilan yang bersangkutan, harus dilakukan dalam tenggang waktu yang ditentukan undang-undang. Batas tenggang waktunya adalah 14 hari dari tanggal permohonan kasasi dicatat dalam buku register permohonan kasasi.
Pengajuan memori kasasi dalam batas tenggang waktu merupakan syarat formal yang mutlak. Sama ancamannya dengan kasus tidak mengajukan memori kasasi. Dengan kata lain, terlambat mengajukan memori kasasi dalam batas tenggang waktu yang ditentukan, identik dengan tidak mengajukan memori kasasi. Jadi memori kasasi yang diajukan terlambat dari batas tenggang waktu sama artinya, tidak mengajukan memori kasasi. Akibatnya pun sama. Permohonan kasasi tidak dapat diterima karena dianggap tidak memenuhi syaraf formal.
Kalau diinventarisasi ketentuan formal yang berderajat sebagai syarat mutlak dalam permohonan kasasi dapat diurut sebagi berikut:
1.      Permohonan dilakukan oleh para pihak atau kuasa yang secara khusus untuk itu.
2.      Tenggang waktu mengajukan permohonan, 14 hari dari tanggal pemberitahuan permohonan
3.      Pembayaran biaya kasasi
4.      Pengajuan memori kasasi
5.      Tenggang waktu pengajuan memori kasasi 14 hari dari tanggal pengajuan permohonan kasasi

d.      Memori Kasasi Harus Memuat Alasan yang Dibenarkan Pasal 30
Masalah lain yang tidak kurang pentingnya, adalah isi memori kasasi. Sekalipun mengenai isi memori kasasi tidak merupakan syarat formal, tapi merupakan syarat materil untuk pengabulan permohonan kasasi, ada perlunya untuk diketahui, terutama bagi mereka yang ingin mengajukan permohonan kasasi.  Bagi yang ingin hendak mengajukan permohonan kasasi, sebaiknya menurut apa yang dinyatakan pasal 47 ayat (1) memori kasasi memuat alasan-alasan. Alasan-alasan yang berbobot untuk pembatalan putusan yang dikasasi, merujuk kepada pasal 30 UU No. 14 tahun 1985 yakni:
1.      Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang (transgression)
2.      Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku (misjudge)
3.      Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan (negligent)
Inilah alasan limitatif yang dibenarkan undang-undang. Diluar alasan tersebut, tidak mempunyai bobot untuk membatalkan putusan yang dikasasi. Pemohon kasasi harus mampu menunjuk secara nyata, bahwa dalam putusan perkara yang dikasasi terdapat hal-hal yang melampaui batas kewenangan hakim dalam mengadili perkara. Atau dalam pertimbangan dan amar putusan terdapat cacat yang mengandung kesalahan penerapan hukum atau misjudge. Atau pemeriksaan perkara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditentukan undang-undang ngeligent. Diluar alasan yang ketiga tersebut tidak ada artinya, sekalipun disusun memori yang panjang, kalau isinya mengurai fakta, pembuktian, hal-hal baru dan sebagainya, berarti alasan kasasi berada diluar jangkauan kewenangan peradilan tingka kasasu. Alasan-alasan yang seperti ini kewenangan mutlak pengadilan judex facti.
e.       Tanda Terima dan Penyampaian Salinan Memori Kasasi
Menurut Pasal 47 ayat (2) setelah panitera pengadilan yang bersangkutan menerima memori kasasi, penerimaan dibarengi dengan tindak lanjut, berupa:
1.      Memberikan tanda terima
2.      Menyampaikan salinan memori kasasi kepada pihak lain
3.      Menyampaikan salinan selambat-lambatnya 30 hari
Mengenai penyampaian salinan memori kasai kepada pihak lawan. Tindakan ini sebenarnya lebih dititikberatkan pada masalah “kewajiban” panitera dari pada masalah formal. Ditinjau dari segi sudut formal, penyampaian salinan memori kasasi boleh dikatakan tidak merupakan syarat mutlak keabsaan pemeriksaan ditingkat kasasi. Namun demikian, panitera “wajib” menyampaikan. Tenggang waktu penyampaiannya paling lambat 30 hari dari tanggal penerima memori kasasi.
f.        Hak Pihak Lawan Mengajukan Kontra Memori
Sehubungan dengan ketentuan menyampaikan salinan memori kasasi kepada pihak lawan, terbit “hak” pihak lawan mengajukan kontra memori, bertujuan untuk memberikan kesempatan kepadanya untuk menyangkal isi memori kasasi yang diajukan pemohon. Jika pihak lawan ingin kontra memorinya diperhatikan oleh mahkamah agung dalam pemeriksaan tingkat kasasi, harus diajukan dalam batas tenggang waktu tertentu, yakni 14 hari dari tanggal penerimaan salinan memori kasasi. Hanya kontra memori yang diajukan dalam tenggang waktu 14 hari dari tanggal penerimaan salinan memori yang sah sebagai kontra memori. Lewat dari itu kontra memori tidak mempunyai nilai. Sebaliknya apabila kontra memori diajukan dalam tenggang waktu yang ditentukan. Mahkamah Agung dapat mengambil isiny sebagai dasar pertimbangan kasasi.[27]
j)        Pengiriman Berkas Ke Mahkamah Agung
Tentang pengiriman berkas ke mahkamah agung diatur dalam pasal 48 ayat (1). Bertitik tolak dari ketentuan pasal ini. Panitera yang bersangkutan yang bertindak melaksanakan pengiriman berkas. Bukan permohonan kasasi. Dengan demikian pengiriman berkas bersifat resmi melalui jalur administrasi kedinasan.
Hal-hal yang harus dikirimkan terdiri dari berkas perkara dilengkapi dengan permohonan kasasi, memori kasasi, kontra memori kasasi. Yang dimaksud dengan berkas perkara ialah berkas perkara semula, lengkap dengan putusan termasuk putusan pengadilan tingkat banding. Tenggang waktu pengiriman paling lambat 30 hari dari tanggal batas tenggang  waktu penyampaian kontra memori kasasi. Perhitungan itu didasarkan atas batas waktu penyampaian kontra memori.
k)      Pencabutan Memori Kasasi
Upaya hukum permohonan kasasi adalah hak yang diberikan undang-undang kepada para pihak yang berperkara. Permohonan kasasi bukan kewajiban hukum. Oleh karena itu, tergantung kepada kehendak mereka apakah hak itu dipergunakan atau tidak, hak itu masih tetap melekat sampai putusan kasasi menjatuhkan putusan. Perlu diatur patokan dan tata cara pencabutan, seperti:
a.      Pencabutan menggugurkan hak untu kasasi kemabali
Apabila pemohon mencabut kembali permohonan kasasi yang telah diajukan, gugur hak pemohon untuk mengajukan permohonan sekali lagi, meskipun pada saat pencabutan dilakukan tenggang waktu kasasi belum lampau. Meskipun pencabutan dilakukan dalam tenggang waktu, tidak diperkenankan lagi mengajukan sekali lagi permohonan kasasi, karena dengan adanya pencabutan, hak untuk mengajukan kasasi sekali lagi, gugur demi hukum.
b.      Batas waktu untuk mencabut
Batas waktu untuk mencabut permohonan kasasi diatur dalam Pasal 49 ayat (2) sebelum mahkamah agung memutus perkara kasasi yang bersangkutan. Pencabutan dapat dilakukan pemohon sejak tanggal permohonan sampai perkara kasasi diputus pada tingkat kasasi. Disimpulakan:
-          Pencabutan dapat dilakukan sebelum perkara dikirim ke mahkamah agung
-          Pencabutan dapat dilakukan setelah perkara berada di mahkamah agung

c.       Pencabutan Disampaikan Kepada Panitra yang Menerima Permohonan
Tata cara pencabutan harus disejajarkan dengan tata cara permohona. Oleh karena permohonana kasasi diajukan kepada panitera pengadilan yang seula memutus perkara pada tingkat pertama, penyampaian pencabutan permohonan kasasi pun dialakukan di hadapan panitera pengadilan yang bersangkutan.
D.    UPAYA PENINJAUAN KEMBALI
Sudah disinggung upaya peninjauan kembali (dalam uraian selanjutnya disingkat dengan PK) adalah upaya hokum luar biasa. Ketentuannya terdapat dalam bab IV, Bagianke 4 UU No. 14 Tahun 1985. Yang terdiri dari pasal 66 sampai dengan pasal 76. Dibawah ini akan di uraikan serba ringkas hal-hal uang berkenaan dengan dengan PK. Guna melengkapi upaya hokum yang dapat di pergunakan pihak yang berperkara terhadap keputusan pengadilan agama.
a)      Pengertian PK
Sebenarnya dengan membaca judul bab IV, Bagian keempat sudah tersurat pengertian apa yang di maksud dengan upaya PK. Judulnya berbunyi: Pemeriksaan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap. Dari judul tersebut sudah jelas apa arti PK yakni“ pemeriksaan kembali” putusan pengadilan “ yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap “ Disitulah letak sifat luar biasa upaya PK memeriksa dan mengadili atau memutus kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap. Padahal pada setiap putu sanya.Setiap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap, mutlak bersifat litisfiniriopperie. Artinya, setiap putusan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap. Sudah bersifat “final“ tidak bisa di ganggu gugat lagi. Pada diri putusan sudah terkandung segala macam kekuatatan hukum yang bersifat mutlak kepada para pihak, orang yang mendapatkan hak dari mereka atau kepada ahli waris  mereka. Juga dengan sendirinya menurut hokum telah mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak kepada para pihak serta sekaligus mempunyai kekuatan eksekutorial yang mutlak kepada mereka.
b)      Pemeriksaan PK kewenangan mutlak mahkamah agung.
Badan pengadilan yang berwenang memeriksa PK adalah mahkamah agung demikian di tegaskan dalam pasal 70 ayat (2) UU No. 14 tahun 1985. Kewenangan tersebut bersifa t mutlak. Tidak bias didelegasikan kepada badan pengadian lain. Tidak menjadi soal apakah putusan yang hendak di PK hanya sampai pada pengadilan tingkat pertama atau tingkat banding. Intinya setiap pemeriksaan PK jatuh menjadi kewenangan mutlak mahkamah agung.
Kewenangan MK memeriksa perkara PK, bertidak sebagai pengadilan “ tingkat pertama dan terakhir “ apabila mahkamah agung telah menjatuhkan putusan terhadap perkara PK , Putusan bersifat final tidak ada lagi upaya hukum yang lain ketentuan sangat logis dan rasional.  Jika masih ada lagi kemungkinan upaya hokum tehadap putusan PK, kepastian hokum sulit untuk di tegakkan berlangsung pada prosess yang tidak ada ujung pangkalnya. Padahal upaya PK itu sendiri sudah merupakan upaya hukum yang luar biasa yang sangat eksepsional. Tentu tidak wajar lagi untuk membuka kemungkinan upaya hukum yang luar biasa di atas upaya hokum luar biasa atau jika masih ada lagi upaya hokum terhadap putusan PK, apa guna PK di sebut upaya hokum luar biasa.
c)      Yang berhakmengajukanke PK
Yang berhak mengajukan permohonan PK diatur dalam pasal 68 UU.14 tahun 1985. Menurut ketentuan tersebut yang berhak mengajukan permohonan ke PK :
1)    Para pihak secara in person
2)    Ahli waris mereka atau
3)    Kuasa yang di beriizin untuk itu.

d)      Permohonan PK hanya satu kali
Salah satu asas yang berkenaan dengan permohonan PK, menentukan permohonan PK hanya dapat di ajukan “satu kali”. Maksudnya ,apabila perkara PK telah di putus , gugur hak para pihak untuk mengajukan PK sekali lagi. Ketentuan itu bukan hanya berlaku kepada pihak yang telah mengajukan permohonan misalnya A dan B berperkara.  Setelah putusan memperoleh kukuatan hokum tetap. A mengajukan PK dan terhadap putusan MA telah menjatuh kan putusan PK.  Dengan adanya putusan PK. Gugur hak A dan B untuk mengajukan PK sekali lagi bukan hanya hak A yang gugur tapi juga hak B Sesuai dengan ketentuan 68 ayat (1) ini.
Akan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk mengajukan PK secara bersamaan seperti dalam contoh tadi . A dan b boleh saja sama sama mengajukan PK hal itu tidak berbeda dalam upaya banding atau kasasi

e)      PK tidak menaggukan atau menghentikan eksekusi
Asas ini yang di atur dalam pasal 66 terdapat pada ayat (2) yang menegaskan bahwa permohonan PK tidak menganggukan atau menghentikan eksekusi atau pelaksanaan putusan. Demikian bunyi asas dan teori permohonan PK tidak boleh di jadikan alas an  untuk menunda pelaksaan putusan. Juga tidak boleh di jadikan alasan untuk menghentikan eksekusi yang sedang berlangsung.
Kalau pasal 66 ayat ( 2) di perhatikan benar-benar berstnegasi dalam kata kata “ tidak “ menangguhkan atau “ tidak menghentikan pelaksanaan. Putusan dari pandangan yuridis setiap yang bersifat negasi atau larangan adalah bersifat imperative kalau begitu permohonan PK.  Secara mutlak tidak boleh menagngguhkan atau menghentikan eksekusi.
Prosedur ( tata cara permohonan peninjauan kembali )
1.      Permohonan di ajukan oleh pemohon ( ahli warisnya , atau wakilnya ) kepada mahkamah agung melalui ketua pengadilan agama yang memutus perkara dalam tingkat pertama ( pasal 70 ayat (1) UU No 14 tahun 1985 ).[28]
2.      Permohonan diajukan oleh pemohon secara tertulis dengan menyebutkan sejelas-jelasnya  alasan yang di jadikan dasar pemohon
3.      Apabila pemohon tidak dapat menulis maka ia menguraikan permohonan secara lisan di hadapan ke pengadilan PA yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau hakim yang di tunjuk oleh ketua pengadilan yang akan membuat cacatan tentang permohonan tersebut. ( pasal 71 UU no 14 tahun 1985)
4.      Mahkamah agung memeriksa dan memutus dengan sekurang kurangnya dengan tiga orang hakim  ( pasal 40 ayat (1) UU No. 14 tahun 1985 )
5.      Permohonan peninjauan kembali dapat di ajukan hanya 1 kali ( pasal 66 ayat (1) ) UU no 14 tahun 1985
6.      Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menantikan pelaksanaan putusan ( pasal 66 ayat (2) UU Ni. 14 tahun 1985 )
7.      Mahkamah agung berwenang memerintah pengadilan agama yang memeriksa perkara dalam tingkat pertama atau pengadilan tinggi ( tingkat banding ) mengadakan pemerikasaan tambahan , atau meminta segala hal keterangan serta pertimbangan dari pengadilan yang di maksud.\
8.      Mahkamah agung berwenang memerintahkan pengadilan agama yang memeriksa perkara dalam tingkat pertama dan pengadilan tinggi ( tingkat banding ) mengadakan pemeriksaan tambahan atau meminta segala hal keterangan serta pertimbangan dari pengadilan yang di maksud ( pasa; 73 ayat (1) UU No.14 tahun 1985 )
9.      Permohonan peninjauan kembali dapat di cabut selama belum di putus
Uraian lebih lengkap mengenai tata cara permohonan peninjauan kembali lihat pada buku A muktiarto dalam peraktik perakara pidana pada pengadilan agama, hlm 297-302.[29]

















BAB III
PENUTUPAN

A.    Kesimpulan
1.      Upaya hukum yaitu suatu usaha bagi setiap individu atau badan hukum yang merasa dirugikan hak atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan perlindungan hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang.
2.      Verzet adaalah perlawanan terhadap putusan verstek. Verstek adalah putusan yang diambil oleh majelis hakim karena tergugat tidak hadir pada sidang pertama sementara ia sudah dipanggil secara resmi dan patut, sejauh gugatan penggugat beralasan biasanya tergugat langsung dikalahkan tanpa memeriksa pokok perkara.
3.      Banding adalah upaya perkara yang telah diputus oleh pengadilan tingkat pertama  diperiksa ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi (tingkat banding), karena merasa belum puas dengan keputusan pengadilan tingkat pertama.
4.      Kasasi adalah permohonan pembatalan putusan oleh Mahkamah Agung. Pengadilan kasasi adalah pengadilan yang memeriksa apakah yudex factie tidak salah dalam pelaksanaan peradilan. Upaya hukum kasasi ialah upaya agar yudex factie dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena telah salah dalam melaksanakan peradilan.
5.      Peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa terhadap putusan yang sudah berkuatan hukum tetap dalam hal ditemukannya bukti-bukti baru yang bersifat prinsipil, terungkapnya rekayasa dan kebohongan atau pemalsuan alat bukti, adanya tuntutan yang belum diputus dan atau amar putusan yang melebihi tuntutan yang baru disadari setelah putusan berkekuatan hukum tetap (in cracht).

DAFTAR PUSTAKA

Harap, M Yahya. 2009. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta: Sinar Grafika
Dewi, Gemala. 2006. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana
Bintani, Aris. 2012. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Rosyid. Roihan A. 2013. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Bintani, Aris. 2012. Hukum Acara Peradilan Agama: Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha. Jakarta: Rajawali Pers
Mertokususmu, Sudikno. 2009. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta
Undang-undang No 14 Tahun 1985 Mahkamah Agung




[1] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2009). Hlm. 234.
[2] Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama
[3] M. Fauzan. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah Di Indonesia
[4] Aris Bintania. Hukum Acara Peradilan Agama: Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012). Hlm. 165.
[5] M. Yahya Harahap, S.H.  Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). Hlm. 337.
[6] Ibid., hlm. 339.
[7] Ibid., hlm. 196.
[8] Aris Bintania. Hukum Acara Peradilan Agama: Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012). Hlm. 200.
[9] Roihan A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013. Hlm. 232
[10] M. Yahya Harahap. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Hlm. 348
[11] ibid
[12] Undang-undang No 14 Tahun 1985 Mahkamah Agung
[13] M. Yahya Harahap. Op. cit, hlm 349
[14] Ibid
[15] ibid
[16] Pasal 43 ayat (2) Undang-undang no 14 tahun 1985
[17] Pasal 44
[18] M. Yahya Harahap. Op. Cit, hlm 350
[19] Pasal 46 ayat (1) Undang-undang No 14 tahun 1985
[20] M. Yahya Harahap. Op.cit hlm, 351
[21] M. Yahya Harahap. Op.cit hlm, 352
[22] ibid
[23] Pasal 46 ayat (4) UU No. 14 tahun 1985
[24] Pasal 47 ayat (1)
[25] M. Yahya Harap. Op.cit, hlm. 356
[26] Ibid, hlm 357
[27] Ibid, hlm 359
[28]Gemala dewi , hukum acara perdata peradilan agama di Indonesia ( Jakarta : kencana, 2006 ) hlm, 179
[29]M.YahyaHarapap. Kedudukan kewenangan dan acara peradilan agama ( Jakarta : sinargrafika ,2009) hlm,361


Share:

0 komentar:

Post a Comment