KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kita panjatkan kehadirat Alloh S.W.T, berkat rahmat dan karunia-Nya,
sehingga makalah hukum pidana ini dapat diselesaikan dengan baik penulis
mengucapkan terimakasih kepada dosen mata kuliah Hukum hukum pidana dan teman
mahasiswa serta semua pihak yang telah berkontribusi dan memberikan motivasi
membantu dalam pembuatan makalah ini.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Hukum Pidana . Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat
dan menambah wawasan bagi kita semua khususnya
untuk penulis. Penulis menyusun makalah ini bersumber dari kumpulan buku dan
sebagian dari artikel-artikel terkait sebagai pedoman membuat makalah.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih perlu ditingkatkan lagi mutunya. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun akan penulis terima dengan senang hati untuk perbaikan makalah selanjutnya.
Semoga
makalah ini dapat memberikan informasi mengenai materi Hukum Pidana dan bermanfaat bagi para pembacanya. Atas
perhatian dan kesempatan yang diberikan untuk membuat makalah ini kami ucapkan
terimakasih.
Bandung, 20 Desember 2017
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................................................
ii
Daftar
Isi..................................................................................................................................... iii
Bab I
Pendahuluan ................................................................................................................... 1
A.
Latar Belakang Masalah ............................................................................................... 1
B.
Tujuan Penulisan............................................................................................................
3
C.
Kegunaan Penulisan......................................................................................................
3
D.
Kerangka Pemikiran......................................................................................................
4
Bab III Rumusan Masalah........................................................................................................
9
Bab III Pembahasan ................................................................................................................. 10
A.
Kemunculan Terorisme dalam lintasan
sejarah ............................................................. 10
B.
Karakteristik, bentuk dan motif dari
tindak pidana terorisme......................................
12
C.
Peraturan tindak pidana terorisme di
Indonesia............................................................
17
Bab IV
Kesimpulan...................................................................................................................
23
Daftar Pustaka .......................................................................................................................... 25
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindakan terorisme merupakan suatu
tindakan yang terencana, terorganisir dan berlaku dimana saja dan kepada siapa
saja. Tindakan teror bisa dilakukan dengan berbagai macam cara sesuai kehendak
yang melakukan, yakni teror yang berakibat fisik dan/atau non fisik (psikis).
Tindakan teror fisik biasanya berakibat pada fisik (badan) seseorang bahkan
sampai pada kematian, seperti pemukulan/pengeroyokan, pembunuhan, peledakan bom dan lainnya. Non
fisik (psikis) bisa dilakukan dengan penyebaran isu, ancaman, penyendaraan,
menakut-nakuti dan sebagainya. Akibat dari tindakan teror, kondisi korban teror
mengakibatkan orang atau kelompok orang menjadi merasa tidak aman dan dalam
kondisi rasa takut (traumatis). Selain berakibat pada orang atau kelompok
orang, bahkan dapat berdampak/berakibat luas kepada kehidupan ekonomi, politik
dan kedaulatan suatu Negara. Tindakan terorisme yang sulit terdeteksi dan
berdampak sangat besar itu, harus mendapat solusi pencegahan dan
penanggulangannya serius baik oleh pemerintah maupun masyarakat.[1]
Dalam melakukan aksinya, pelaku
terorisme seringkali menggunakan cara kekerasan ataupun militer untuk
menyebarkan ketakutan atau teror. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak
tunduk pada tata cara peperangan, seperti waktu pelaksanaan yang selalu
tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
Meski demikian, terorisme sebenarnya tidak terbatas hanya pada cara kekerasan
atau militer saja, melainkan juga cara-cara lainnya.
Fenomena terorisme belakangan ini
semakin menguat seiring dengan menguatnya pula fenomena radikalisme. Radikalisme
sendiri merupakan paham yang menggunakan unsur-unsur kekuatan dan kekerasan
dalam mencapai tujuannya. Orang atau kelompok radikal memiliki pandangan bahwa
dalam mencapai tujuantujuannya harus menggunakan cara-cara yang radikal atau
cepat. Perubahan yang ingin dicapai harus diwujudkan dengan segera dan untuk
itu diperlukan kekerasan atau kekuatan. Penggunanaan kekuatan atau kekerasan
diperlukan agar perubahan atau hasil yang
dinginkan dapat segera dicapai. Hal inilah yang melatarbelakangi kenyataan
berkembangnya radikalisme berbanding lurus dengan perkembangan terorisme. Tindak pidana terorisme terjadi
merupakan kejahatan yang bermotif kepentingan dan kebutuhan pribadi atau
kelompok. Motif kepentingan dan kebutuhan merupakan fenomena dalam pergaulan
antar kelompok untuk mendapatkan kekuasaan atau keuntungan materi, fanatisme
kelompok akibat wawasan atau cara berfikir yang sempit dan tertutup.
Pengelompokan bisa didasarkan atas kesamaan ras, etnis asal negara atau daerah,
agama, gender atau kesamaan apapun status sosial yang disampaikan dalam bentuk
kekerasan/kejahatan.
Terorisme sebagai suatu fenomena kehidupan,
nampaknya tidak dapat begitu saja ditanggulangi dengan kebijakan penal. Hal ini
karena, terorisme terkait dengan kepercayaan/ideology, latar belakang pemahaman
politik dan pemaknaan atas ketidakadilan sosio-ekonomik baik local maupun
internasional. Oleh karena itu, perlu sebuah pendekatan kebijakan criminal yang
integral dalam arti baik penal maupun nonpenal sekaligus. Oleh karena itu, tertangkapnya para teroris tersebut maka
telah terungkap fakta yang jelas dimana terorisme local telah mempunyai
hubungan erat dengan jaringan terorisme global. Timbul kesadaran dan keyakinan
kita bahwa perang melawan teroris mengharuskan kita untuk melakukan sinergi
upaya secara komprehensif dengan pendekatan multiagency, multi internasional
dan multi nasional. Untuk itu perlu ditetapkan suatu strategi nasional dalam
rangka perang melawan terorisme.[2]
Lahirnya UU No. 15 tahun 2003 yang
berisi tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang secara khusus
dan spesifik menjadi hal yang amat strategis untuk mengantisipasi dan
memberantas berbagai bentuk tindak pidana terorisme yang akan mengancam
keamanan, ketentraman, dan keutuhan seluruh rakyat di bawah Negara kesatuan
Republik Indonesia. Di samping itu, sebagaimana lahirnya UU No. 15 Tahun 2003,
maka lahir pula UU No. 16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti UndangUndang No. 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, pada peristiwa peledakan bom di Bali Tanggal 12
Oktober 2002 menjadi UndangUndang[3].
Selain itu sebelum lahirnya UU No.15 tahun 2003 dan UU No.16 Tahun 2003 telah
ada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang tindak pidana
terorisme.
B. Tujan penulisan
Adapun yang
menjadi tujuan penulisan dalam makalah ini adala:
1. Tujuan Objektif
Untuk mengetahui bagaimana sejarah dan pandangan hukum
mengenai tindak pidana terorisme di Indonesia baik dalam UUD, UU, dan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
2. Tujuan
Subjektif
Untuk memahami wawasan pengetahuan dan kemampuan penulis
di bidang hukum pidana pada umumnya dan khususnya dalam tindak pidana
terorisme.
C. Kegunaan
penulisan
Adapun kegunaan
penulisan dari makalah ini adalah:
1. Kegunaan secara
teoritis
Penulis berharap penulisan makalah ini dapat memberikan
informasi, kontribusi pemikiran dan menambah khasanah dalam bidang ilmu
pengetahuan ilmu hukum pidana pada umumnya, dan tentang tindak pidana terorisme
khususnya. Sehingga diharapkan makalah ini dapat memperkaya pembendaharaan dan
koleksi karya ilmiah yang dengan hal tersebut
2. Kegunaan secara
praktis
Secara praktis penulis berharap agar penulisan makalah
ini dapat bermanfaat
untuk:
a. Memberikan
kontribusi dalam sosialisasi tentang tindak pidana terorisme kepada masyarakat
yang diharapkan dapat meningkatan kesadaran akan perannya dalam mencegah dan
memberantas tindak pidana terorisme di Indonesia.
b. Memberikan
kontribusi pemikiran bagi aparat penegak hukum untuk dapat meningkatkan
profesionalisme dan melakukan terobosan serta inovasi dalam upaya penegakan
hukum dan pemberantasan tindak pidana terorisme.
c. Untuk membantu
memberikan pemahaman tentang efektifitas berbagai perundang-undangan yang mengatur
tentang tindak pidana terorisme agar aparat penegak hukum dan lembaga yang
berwenang dapat meningkatkan upaya penerapan undang-undang tersebut lebih
efektif.
D. Kerangka
pemikiran
Terorisme
secara kasar merupakan suatu istilah yang digunakan untuk penggunaan kekerasan
terhadap penduduk sipil/non kombatan untuk mencapai tujuan politik, dalam skala
lebih kecil daripada perang . Dari segi bahasa, istilah teroris berasal dari
Perancis pada abad 18. Kata Terorisme yang artinya dalam keadaan teror (under the terror), berasal dari bahasa
latin ”terrere” yang berarti
gemetaran dan ”detererre” yang
berarti takut[4]
Istilah
terorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa
teritorial atau kultural melawan ideologi atau agama yang melakukan aksi
kekerasan terhadap publi. Istilah terorisme dan teroris sekarang ini memiliki
arti politis dan sering digunakan untuk mempolarisasi efek yang mana terorisme
tadinya hanya untuk istilah kekerasan yang dilakukan oleh pihak musuh, dari
sudut pandang yang diserang. Polarisasi tersebut terbentuk dikarenakan ada
relativitas makna terorisme yang mana menurut Wiliam D Purdue ( 1989 ), the use word terorism is one method of
delegitimation often use by side that has the military advantage[5]
Sedangkan
teroris merupakan individu yang secara personal terlibat dalam aksi terorisme.
Penggunaan istilah teroris meluas dari
warga yang tidak puas sampai paada non komformis politik.
Aksi
terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau negara sebagai
alternatif dari pernyataan perang secara terbuka. Negara yang mendukung
kekerasan terhadap penduduk sipil menggunakn istilah positif untuk
kombatan mereka, misalnya antara lain
paramiliter, pejuang kebebasan atau patriot. Kekerasan yang dilakukan oleh
kombatan negara, bagaimanapun lebih diterima daripada yang dilakukan oleh ” teroris ” yang mana tidak mematuhi hukum
perang dan karenanya tidak dapat dibenarkan melakukan kekerasan. Negara yang
terlibat dalam peperangan juga sering melakukan kekerasan terhadap penduduk
sipil dan tidak diberi label sebagai teroris. Meski kemudian muncul istilah State Terorism, namun mayoritas
membedakan antara kekerasan yang dilakukan oleh negara dengan terorisme, hanyalah
sebatas bahwa aksi terorisme dilakukan secara acak, tidak mengenal kompromi ,
korban bisa saja militer atau sipil , pria, wanita, tua, muda bahkan anak-anak,
kaya miskin, siapapun dapat diserang.
Untuk
memahami makna terorisme lebih jauh dan mendalam, kiranya perlu dikaji terlebih
dahulu terorisme yang dikemukakan baik oleh beberapa lembaga maupun beberapa
pakar ahli, yaitu :
a. Terorisme
Act 2000, UK., Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman
tindakan, dengan cirri-ciri :
1. Aksi
yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang , kerugian berat terhadap
harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang
melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagi
tertentu yang didesain secara serius untuk campur tangan atau menggangu system
elektronik;
2. Penggunaan
atau ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau untuk mengintimidasi
publik atau bagian tertentu dari publik;
3. Penggunaan
atau ancaman dibuat dengan tujuan politik, agama, atau ideology;
4. Penggunaan
atau ancaman yang masuk dalam subseksi yang melibatkan senjata api dan bahan
peledak.
b. Menurut
Konvensi PBB, Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan
langsung kepada Negara dengan maksud menciptakan bentuk teror tehadap
orang-orang tertntu atau kelompok orang atau masyarakat luas.
c. Dalam
Kamus Bahasa Indonesia, Terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman
untuk menurunkan semangat, menakut-nakuti dan menakutkan terutama untuk tujuan
politik.
d. Dalam
UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa
terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk
menghancurkan kedaulatan bangsa dan Negara dengan membahayakan bagi badan,
nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa
tacit terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap
objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup,
moral, peradaban, rahasia Negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian,
teknologi, perindustrian, fasilitas umum, atau fasilitas internasional.[6]
Kebanyakan
dari definisi terorisme yang ada menjelaskan empat macam kriteria, antara lain
target, tujuan, motivasi dan legitmasi dari aksi terorisme tersebut. Pada Bulan
November 2004 , Panel PBB mendifinisikan terorisme sebagai. ” Any action intended to cause death or
serious bodily harm to civilians, non combatans, when the purpose of such act
by is nature or context, is to intimidate a population or compel a government
or international organization to do or to abstain from doing any act”. Yang
dalam terjemahan bebasnya adalah segala aksi yang dilakukan untuk menyebabkan
kematian atau kerusakan tubuh yag serius bagi para penduduk sipil, non kombatan
dimana tujuan dari aksi tersebut berdasarkan konteksnya adalah untuk
mengintimidasi suatu populasi atau memaksa pemerintah atau organisasi
internasional untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Dapat
dikatakan secara sederhana bahwa aksi-aksi terorisme dilatarbelakangi oleh
motif – motif tertentu seperti motif perang suci, motif ekonomi, motif balas
dendam dan motif-motif berdasarkan aliaran kepercayaan tertentu. Namun patut
disadari bahwa terorisme bukan suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam
ajaran agama. Ia sekedar strategi , instrumen atau alat untuk mencapai tujuan .
Dengan kata lain tidak ada terorisme untuk terorisme, kecuali mungkin karena
motif-motif kegilaan (madness).
Sedangkan
berbagai pendapat dan pandangan mengenai pengertian yang berkaitan dengn
terorisme diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwasanya terorisme adalah
kekerasan terorganisir, menempatkan kekerasan sebagai kesadaran, metode
berpikir sekaligus alat pencapaian tujuan. Dari berbagai pengertian diatas,
menurut pendapat para ahli bahwasanya kegiatan terorisme tidak akan pernah
dibenarkan karena ciri utamanya, yaitu :
1. Aksi
yang digunakan menggunakan cara kekerasan dan ancaman untuk menciptakan
ketakutan public.
2. Ditujukan
kepada Negara, masyarakat atau individu atau kelompok masyarakat tertentu.
3. Memerintah
anggota-anggotanya dengan cara teror juga.
4. Melakukan
kekerasan dengan maksud untuk mendapat dukungan dengan cara yang sistematis dan
terorganisir.
Berdasarkan
beberapa pengertian diatas dapat dipahami bahwa terorisme adalah segala bentuk
kejahatan dalam bentuk kekerasan untuk menimbulkan rasa ketakutan untuk melawan
kepentingan-kepentingan sipil dan ditujukan langsung kepada negara, atau
terhadap orang-orang tertentu, dan atau kepada masyarakat luas untuk mencapai
tujuan-tujuan politik tertentu.
Hal
tersebut sejalan dan dikuatkan oleh rumusan tindak pidana terorisme yang diatur
oleh pasal 6 Bab III UU No. 15 Tahun 2003, bahwa tindak pidana terorisme adalah
setiap orang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau
fasilitas hidup dan fasilitas publik atau fasilitas Internasional, dipidana
dengan pidana mati; atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.[7]
BAB II
RUMUSAN
MASALAH
Rumusan masalah
1) Bagaimana
sebenarnya proses kemunculan terorisme dalam lintasan sejarah?
2) Apa yang
menjadi karakteristik, bentuk dan motif dari tindak pidana terorisme
sebenarnya?
3) Bagaimana
pengaturan tindak pidana terorisme di Indonesia menurut aturan yang berlaku?
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Kemunculan
terorisme dalam lintasan sejarah
Menurut
Loudewijk F. Paulus, sejarah kemunculan terorisme telah tumbuh sejak beberapa
abad yang silam. Hal ini ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan
dan ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Perkembangannya
berawal dari bentuk fanatisme dan radikalisme aliran atau kepercayaan yang
kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan
maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap tiran/diktator.
Pembunuhan terhadap individu ini sudah dapat dikatakan sebagai bentuk murni
dari terorisme dengan mengacu pada sejarah terorisme modern. [1] Sebenarnya istilah
terorisme baru muncul pada akhir abad ke XIX dan menjelang terjadinya perang
dunia (PD) 1, dan terjadi hampir merata di seluruh permukaan dunia. Sejarah
mencatat pada tahun 1890-an aksi terorisme Armenia melawan pemerintah Turki,
yang berakhir dengan bencana pembunuhan massal terhadap warga Armenia pada PD
1. Pada dekade PD 1, aksi terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan
sayap kiri yang berbasiskan idiologi komunis[2]. Pada dekade pasca PD II, dunia tak mengenal
“damai.” Berbagai pergolakan berkembang dan berlangsung secara berkelanjutan.
Konfrontasi negara adikuasa yang menjadi konflik Timur-Barat dan menyeret
beberapa negara Dunia Ketiga kedalamnya menyebabkan konflik Utara-Selatan.
Perjuangan melawan penjajah (kolonial), pergolakan rasial, konflik regional
yang menarik intervensi (campur tangan) dari pihak ketiga, pergolakan internal
dalam negeri di sekian banyak Negara Dunia ke III, menjadikan dunia labil dan
bergejolak. Ketidakstabilan dunia, dan didukung oleh rasa frustasi dari banyak
negara berkembang dalam perjuangan menuntut hak-hak yang dianggap fundamental
dan sah, membuka peluang akan muncul dan meluasnya terorisme. Fenomena terorisme sendiri merupakan gejala
atau indiksi yang relatif baru yaitu pasca PD II dan meningkat sejak permulaan
dasawarsa tahun 70-an. Terorisme dan terror telah berkembang dalam wilayah
sengketa idiologi fanatisme aliran atau agama, perjuangan kemerdekaan,
pemberontakan, gerilya bahkan terror ini digunakan oleh kalangan penguasa
(pemerintah) dalam rangka mempertahankan kekuasaannya. [3]Sebagai contoh: kasus
“suzannah’s Operation” yang terjadi pada tahun 1954 ketika pemerintah Israel
menggelar sebuah operasi terror rahasia terhadap AS dengan sandi “Operasi
Suzannah.” Operasi ini memplot membunuh warga AS dan meledakkan berbagai
instalasi AS di Mesir. Rencana Israel adalah meninggalkan barang bukti yang
keliru bahwa rezim Mesir telah melakukan sabotase ini, sehingga AS di belakang
Israel berperang melawan Mesir. Agen-agen Yahudi berhasil meledakkan sejumlah
kantor pos dan perpustakaan AS di Kairo dan Alexanderia. Ketika akan meledakkan
bioskop AS, Metro Goldway Meyer Theatere, bom agen.
Israel
meledak premateur. Oleh karenanya Mesir maupun AS berhasil mengungkap dan
memberhentikan plot ini pada tahap-tahap awal.
Adapun contoh lain: Kasus Perang Enam Hari, yang terjadi pada tanggal 8
Juni pada tahun 1967. Selama perang enam hari Israel juga melakukan tindakan
terror yang serius terhadap AS. Pada waktu itu, Israel menggunakan Pesawat
tempur dan kapal-kapal torpedo tanpa identitas, untuk melancarkan serangan
terhadap kapal angkatan laut AS, USS Liberty, yang menewaskan 34 orang dan
melukai 171 orang. Pertama kali, Israel menyerang AS, USS Liberty, agar armada
keenam AS tidak mengetahui bahwa pihak Israel adalah pelaku penyerangan ini.
Tetapi, berkat heroism dan kemampuan kapten dan kru kapal AS, USS Liberty, maka
rencana Israel itu gagal total. Merekapun berhasil mengontak armada keenam
bahwa Isrel ingin memfitnah Mesir sebagai perlaku penyerangan supaya AS perang
dengan Mesir. [4]Di samping itu, ada contoh
lain: bahwa para pejuang Palestina (PLO) pada tanggal 15 Nopember 1988 telah
memproklamasikan kemerdekaannya di Al-Jazair. Dalam mencapai tujuan tersebut pada
akhirnya PLO terbagi dua front yaitu front Intifada dan front Gerakan radikal
Keras (HAMAS). Bagi Israel PLO bagaimanapun bentuknya digolongkan ke dalam
kelompok teroris. Namun di pihak lain, tindakan brutal dan sadis yang dilakukan
oleh tentara Israel terhadap rakyat Palestina, -sebagai yang penulis saksikan
sendiri pada peristiwa berdarah, Jumat, 27 Juli 1996- dengan menembaki para
jama’ah yang baru saja menyelesaikan shalat jumat yang mengakibatkan puluhan
jamaah tewas dengan tidak diberitakan di media cetak apalagi elektronik (karena
diblokir tidak masuk ke lokasi kejadian), semua itu dinilai sebagai perbuatan
terorisme. Demikianlah pula, kasus memisahkan diri dari pemerintahan yang sah
(separatis) dapat dicap sebagai gerakan teroris misalnya Irlandia Republika
Army dengan segala bentuk kegiatannya dicap sebagai teroris oleh pemerintahan
Inggris. Selain itu, Kelompok Brigade Merah Italia, yang bertujuan untuk
membebaskan Italia dari kaum Kapitalis Multinasionalis, oleh pemerintah Italia
dimasukan dalam kategori kelompok teroris.
B. Karakteristik,
motif dan bentuk dari tindak pidana terorisme
1.
Karakteristik tindak pidana terorisme
Menurut
Loudewijk F. Paulus, karakteristik terorisme ditinjau dari 4(empat) macam
pengelompokan yaitu terdiri dari :
a. Karakteristik organisasi yang meliputi : organisasi,
rekrtmen,pendanaan dan hubungan internasional;
b. Karakteristik Operasi yang meliputi : perencanaan, waktu,
taktik dan kolusi;
c. Karakteristik perilaku yang meliputi : motivasi, dedikasi,
disiplin, keinginan membunuh dan keinginan menyerah hidup-hidup;
d. Karakteristik sumber daya yang meliputi :
latihan/kemampuan, pengalaman perorangan di bidang teknologi, persenjataan,
perlengkapan dan transportasi.
Motif terorisme, teroris terinspirasi oleh
motif yang berbeda. Motif terorisme dapat diklarifikasikan menjadi 3(tiga)
katagori yaitu :
a. Rasional;
b. Psikologi;
c. Budaya.
Menurut Terrorism Act 2000 UK, bahwasanya
terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan dengan
cirri-ciri yaitu:
a. Aksi yang melibatkan kekeasan serius terhadap seseorang,
kerugian berat terhadap harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan
kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi
kesehatan atau keselamatan publiktertentu bagi publik atau didesain secara
serius untuk campur tangan atau menggangu system elektronik;
b. Penggunaan atau ancaman didesain untuk mempengaruhi
pemerintah atau untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari
publik;
c. Penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan politik, agama
atau ideology;
d. Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi yang
melibatkan senjata api dan bahan peledak.
Menurut Wilkinson Tipologi terorisme ada
beberapa macam antara lain:
a. Terorisme Epifenomenal ( teror dari bawah ) dengan cirri-ciri
tak rencana rapi, terjadi dalam kontek perjuangan yang sengit;
b. Terorisme Revolusioner ( teror dari bawah ) yang bertujuan
revolusi atau perubahan radikal atas system yang ada dengan konspirasi, elemen
para militer;
c. Terorisme Sybrevolusioner ( teror dari bawah ) yang
bermotifkan politis, menekan pemerintah untuk mengubah kebijakan atau hukum,
perang politis dengan kelompok rival, menyingkirkan pejabat tertentu yang
mempunyai ciri-ciri dilakukan oleh kelompok kecil, bisa juga individu, sulit diprediksi,
kadang sulit dibedakan apakah psikopatologis atau criminal;
d. Terorisme Represif ( teror dari atas/terorisme Negara )
yang bermotifkan menindas individu atau kelompok yang tak dikehendaki oleh
penindas dengan cara likuidasi dengan cirri-ciri berkembang menjadi teror
massa, ada aparat teror, polisi rahasia, teknik penganiayaan, peyebaran rasa
kecurigaan dikalangan rakyat, wahana untuk paranoia pemimpin.
Menurut
pendapat James H. Wolfe menyebutkan beberapa karakteristik terorisme sebagai
berikut:
a. Terorisme dapat didasarkan pada motivasi yang bersifat
politis maupun nonpolitis;
b. Sasaran yang menjadi objek aksi terorisme bisa sasaran
sipil (supermarket, mall, sekolah, tempat ibadah, rumah sakit dan fasilitas
umum lainnya) maupun sasaran non-sipil (fasilitas militer, kamp militer)
c. Aksi terorisme dapat ditujukan untuk mengintimidasi atau
mempengaruhi kebijakan pemerintah Negara;
d. Aksi terorisme dilakukan melalui tindakan yang tidak
menghormati hukum internasional atau etika internasional[5]
Kalau melihat ciri-ciri
terorisme yang terdapat undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme
pasal 6 adalah bahwa suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menggunakan
kekeerasan atau ancaman kekeerasan menimbul suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersiifat masssal,
dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang
lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital
yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional maupun nasional.
2. Bentuk-Bentuk Terorisme
Ada beberapa bentuk terorisme yang dikenal,
yang perlu kita bahas dari bentuk itu antara lain teror criminal dan teror
politik. Kalau mengenai teror criminal biasanya hanya untuk kepentingan pribadi
atau memperkaya diri sendiri. Teroris criminal bisa menggunakan cara pemerasan
dan intimidasi. Mereka menggunakan kata-kata yang dapat menimbulkan ketakutan
atau teror psikis. Lain halnya dengan teror politik bahwasanya teror politik
tidak memilih-milih korban. Teroris politik selalu siap melakukan pembunuhan
terhadap orang-orang sipil: laki-laki, perempuan, dewasa atau anak-anak dengan
tanpa mempertimbangkan penilaian politik atau moral, teror politik adalah suatu
fenomena social yang penting. Sedangkan terorisme politik memiliki
karakteristik sebagai berikut:
a. Merupakan intimidasi koersif;
b. Memakai pembunuhan dan destruktif secara sistematis sebagai
sarana untuk tujuan tertentu;
c. Korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan
perang urat syaraf, yakni “bunuh satu orang untuk menakuti seribu orang”;
d. Target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia, namun
tujuannya adalah publisitas;
e. Pesan aksi itu cukup jelas, meski pelaku tidak selalu
menyatakan diri secara personal;
f. Para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealism yang cukup
keras, misalnya “berjuang demi agama dan kemanusiaan”, maka hard-core kelompok
teror adalah fanatikus yang siap mati (Juliet Lodge, 1988:49).
Kalau dilihat dari sejarahnya maka, tipologi
terorisme terdiri dari beberapa bentuk yaitu:
1. Terdiri atas pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah
itu terjadi sebelum perang dunia II;
2. Terorisme dimulai di Al-jazair ditahun limapuluhan,
dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap
masyarakat sipil yang tidak berdosa;
3. terorisme muncul pada tahun enampuluhan dan terkenal dengan
istilah “terorisme media”, berupa serangan acak atau random terhadap siapa saja
dengan tujuan publisitas.
Mengenai tipologi terorisme, terdapat sejumlah
versi penjelasan, di antaranya tipologi yang dirumuskan oleh “National Advisory Committee” (komisi
kejahatan nasional Amerika) dalam The
Report of the Task Force of the on Disorders and Terrorism, yang
mengemukakan sebagai berikut, ada beberapa bentuk terorisme yaitu:
1. Terorisme Politik yaitu perilaku kekerasan criminal yang
dirancang guna menumbuhkan rasa ketakutan di kalangan masyarakat demi
kepentingan politik;
2. Terorisme nonpolitis yakni mencoba menumbuhkan rasa
ketakutan dengan cara kekerasan, demi kepentingan pribadi, misalnya kejahatan
terorganisasi;
3. Quasi terorisme, digambarkan dengan “dilakukan secara
incidental”, namun tidak memiliki muatan ideology tertentu, lebih untuk tujuan
pembayaran contohnya dalam kasus pembajakan pesawat udara atau penyanderaan
dimana para pelaku lebih tertarik kepada uang tebusan daripada motivasi
politik;
4. Terorisme politik terbatas, diartikan sebagai teroris, yang
memiliki motif politik dan ideology, namun lebih ditujukan dalam mengendalikan
keadaan (Negara). Contohnya adalah perbuatan teroris yang bersifat pembunuhan
balas dendam (vadetta-type executions);
5. Terorisme Negara atau pemerintahan yakni suatu Negara atau
pemerintahan, yang mendasarkan kekuasaannya dengan ketakutan dan penindasan dalam
mengendalikan masyarakatnya.[6]
Terorisme yang dilakukan oleh Negara merupakan
salah satu bentuk kejahatan yang tergolong sangat istimewa. Sebab Negara adalah
suatu organisasi besar yang dipilari oleh kekuatan rakyat, namun disisi lain
punya kewajiban mengatur, melindungi, dan menyejahterakan kehidupan rakyat
secara material maupun non material. Tatkala Negara itu, melalui pejabat
pemerintahannya terlibat dalam tindakan criminal secara vertical, horizontal,
regional, nasional maupun internasional, maka otomatis rakyatlah yang
dikorbankan.[7]
3. Motif dilakukannya Terorisme
Tindak
pidana terorisme merupakan tindak pidana yang unik, karena motif dan factor penyebab
dilakukannya tindak pidana ini sangat berbeda dengan motif-motif dari tindak
pidana lain. Tidak jarang,tindak pidana terorisme dilakukan berdasarkan
motif-motif tertentu yang patut dihormati.
A.C. Manullang menyatakan bahwa pemicu terorisme antara lain adalah
pertentangan agama, ideology dan etnis serta makin melebar jurang pemisah
antara kaya-miskin. Salah satu pemicu dilakukannya terorisme adalah kemiskinan
dan kelaparan. Rasa takut akan kelaparan dan kemiskinan yang ekstrim akan mudah
menyulut terjadinya aksi-aksi kekerasan dan konflik, yang juga merupakan lahar
subur bagi gerakan terorisme.Terorisme dan gerakan-gerakan radikal juga terjadi
pada Negara-negara maju dan kaya.
Ketidakpuasan
atau sikap berbeda akibat kecemburuan social yang terus hadir dan berkembang
antara kelompok yang dominan dan kelompok minoritas dan terpinggirkan (dinegara
maju), serta mengalami marginalisasi secara kontinyu dalam jangka panjang
akibat kebijakan pemerintah pusat, terlebih lagi karena kebijakan multilateral
yang membuat kelompok marginal tersebut tidak dapat lagi mentoleransi keadaan tersebut melalui
jalur-jalur formal dan legal, memotivasi mereka secara lebih kuat lagi untuk
mengambil jalur alternative melalui aksi kekerasan. Di samping itu, dengan mengingat latar
belakang factor dan motif yang mendorong dilakukannya tindak pidana terorisme,
yang notabene berbeda dengan pelaku-pelaku kejahatan konvensional, maka
kebijakan legislasi perlu memperhatikan covering both side antara sisi pelaku
dan korban dalam perumusan kebijakan kriminalnya.
Penanggulangan
terorisme akan lebih baik, apabila sebelum langkah penal ditempuh, diupayakan
dahulu langkah-langkah alternative nonpenal lainnya. Andaikan saja langkah
penal memang harus ditempuh, artinya diadakan kriminalisasi terhadap perbuatan
terorisme sebagaimana tertuang dalam undang-undang terorisme, haruslah
senantiasa diadakan pertimbangan dan kajian yang lebih masak, dan komprehensif.
Terorisme lebih sering dilakukan karena adanya motifmotif yang patut dihormati.
Tidak jarang terorisme terkait dengan tindak pidana politik, tindak pidana
dengan motif politik atau tindak pidana dengan tujuan politik (meskipun
latarbelakang ini tidak diakui oleh undang-undang terorisme).[8]
C. Peraturan yang mengatur tindak pidana terorisme di Indonesia
Terdapat
kesan yang kuat bahwa pemerintah lebih mengedepankan pendekatan legal formal
dan represif dalam menangani masalah terorisme di tanah air. Indikasi ini
diperkuat dengan bersemangatnya pemerintah mengeluarkan undang-undang untuk
mengatasi masalah terorisme ini , termasuk usulan untuk mengeluarkan Internal
Security Act yang diyakini oleh banyak pihak pasti akan bersifat represif. Pada
saat akan disahkan Perpu 1 tahun 2002 menjadi UU No. 15 tahun 2003 banyak
kecaman yang menyulut pertentangan dan kritik terhadap seputar hak-hak asasi
manusia berkenaan dari berbagai hal antara lain Asas Retroakif, waktu
penangkapan yang 7 X 24 jam , laporan intelejen dan sebagainya .
Sebenarnya
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kejahatan terorisme telah dirangkum
oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam Pasal 187 yang
mengatur tentang kejahatan yang berkenaan dengan peledakan, kebakaran dan
banjir serta pasal-pasal yang berkenaan dengan kejahatan penerbangan seperti
yang diatur dalam Bab XXIX a KUHP. Aturan itulah yang dahulunya dipakai untuk
menjerat pelaku perusak atau pengebom yang terjadi di wilayah Indonesia selain
itu dari Undang-Undang Subversi Undang-Undang Darurat Tentang Senjata Api.
Undang-Undang
Tindak Pidana Terorisme merupakan ketentuan khusus karena memuat
ketentuan-ketentuan baru yang tidak terdapat dalam peraturan perundangundangan
yang ada dan menyimpang dari ketentuan umum sebagaimana dimuat dalam kitab
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). UndangUndang Tindak Pidana
Terorisme ini merupakan undang-undang materil/hukum pidana materil dan
sekaligus merupakan undang-undang formil/hukum pidana formil, karena ia
mengatur keduanya dalam satu undang-undang sekaligus. Namun dalam penjelasannya
keberlakuan undang-undang ini tetap mengacu kepada KUHP dan KUHAP sebagai Lex
Generalisnya.
Lahirnya
UU No 15 tahun 2003 yang berisi tentang penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, menjadi Undang-Undang tidak ada tujuan lain kecuali untuk
mewujudkannya tujuan nasional sebagaimana yang dimaksud dalam pembukaan UUD
1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
serta dalam memelihara ketertiban umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
serta dalam memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka mutlak diperlukan penegakan hukum
dan ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan.[9]
Di
samping itu, bahwa rangkaian peristiwa pemboman yang terjadi di wilayah Negara
Republik Indonesia telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban,
menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, dan kerugian harta benda,
sehingga menimbulkan dampak yang luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi,
politik, dan hubungan Internasional. Selain itu, bahwa terorisme merupakan
kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan (network) yang
luas, sehingga pada gilirannya akan mengancam perdamaian dan keamanan nasional
dan Internasional. Oleh sebab itu, sebagai upaya untuk memulihkan kehidupan
masyarakat yang tertib, dan aman serta untuk memberikan landasan hukum yang
kuat dan kepastian hukum dalam mengatasi permasalahan yang mendesak dalam
pemberantasan tindak pidana terorisme, maka dengan mengacu kepada konvensi
Internasional dan peraturan perundang–undangan nasional yang berkait dengan
terorisme, diperlukan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, dan setelah itu ditetapkan di dalam sebuah Undang-Undang.[10]
Dalam
Revisi UU No. 15 tahun 2003 ada pencantuman beberapa tindak pidana dimana
beberapa pasal bukan hanya dirumuskan terlalu luas, tetapi berpotensi melanggar
HAM. Hal tersebut terlihat dengan adanya kriminalisasi atau menjadikan
perbuatan sebagai tindak pidana pada aktivitas – aktivitas untuk perbuatan
sebelum terjadinya tindak pidana terorisme seperti pada Pasal 9 A , yang
berbunyi :
a. dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, setiap
orang dengan sengaja dan melawan hukum memperdagangkan bahan-bahan utama yang
berpotensial untuk digunakan sebagai bahan peledak.
b. Apabila bahan-bahan utama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terbukti digunakan dala tindak pidana terorisme , pelaku dipidana paling
lama 15 Tahun.
Rancangan
UU tersebut tidak menjelaskan jenis bahan-bahan peledak yang dimaksud , padahal
produsen pupuk , nelayan kecil-kecilan dan pekerja tambang pun membutuhkan
bahan-bahan yag jika dicampur dengan bahan-bahan tertentu dapat menjadi
peledak. Bahkan bensin, kain dan botol kosong pun dapat menjadi bahan peledak.
Jika ketentuan pasal tersebut disahkan akan terjadi ketidakadilan dan kerancuan
dalam penerapannya di lapangan. Untuk itu ada baiknya diperlukan peraturan
distribusi bahan-bahan kimia serta badan pengawas yang bertugas mengawasi
peredaran bahan kimia yang berpotensi sebagai bahan peledak di pasaran.
Dimana
hal tersebut tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit dalam pelaksanaannya
dan diragukan terealisasi dengan baik. Selain itu menimbulkan kerancuan siapa
dapat digolongkan sebagai pembeli yang legal atau illegal berdasarkan dari
itikad pembeliannya. Pada pasal 26 RUU dinyatakan bahwa laporan intelejen dapat
dijadikan sebagai bukti permulaan . Laporan intelejen pada ayat (1a) jika
berasal dari instansi lain selain dari Kepolisian RI wajib diautentifikasi oleh
Kapolri atau pejabat yang ditunjuk.Laporan intelejen tersebut dapat dijadikan
sebagai alat bukti sebagai alat bukti sebagaimana revisi pasal 27 UU Anti
Terorisme. Sebelumnya dalam UU No. 15 Tahun 2003, Laporan Intelejen tidak
dijadikan sebagai alat bukti (Primary
Evidence) melainkan sebagai bukti permulaan yang merupakan bukti pendukung (Supporting
Evidence).
Dalam
hukum pidana terdapat perbedaan mendasar antara pengertian intelegence evidence dan crime
evidence. Crime evidence dapat mencakup intellegence evidence. Tetapi intelegence evidence tidak dapat
dianggap sebagai crime evidence
karena intelegnce evidence tidak
memerlukan sebagai fakta hukum untuk merumuskan perbuatan-perbuatan sebagai
indkasi atau dasar adanya tindak pidana. Hal ini dikarenakan intelegence evidence merupakan abstraksi
data yang seringkali tidak memerlukan
pembuktian. Misalnya korban tewas yang dikarenakan bom mobil atau
keterlibatan Noordin M Top dan Dr Azhari dalam peledakan Bom Kuningan adalah
intelegence evidence. Sedangkan crime evidence merupakan fakta hukum yang
konkret sebagai ciri rule of law,
disini berarti Noordin M Top dan Dr
Azhari harus didengar kesaksiannya di pengadilan. Dengan menggunakan laporan
intelejen sebagai alat bukti jelas mengabaikan azas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dan tidak dapat
diabaikan kemungkinan dilakukannya inkriminasi terhadap para tersangka
terorisme.
Hadir
dan eksisnya hukum dalam bentuk peraturan dan perundangundangan di
tengah-tengah masyarakat tidak ada tujuan dan fungsi lain kecuali untuk
mengayomi, melindungi, dan menciptakan stabilitas, keteraturan, ketentraman dan
ketertiban. Demikian teori yang diajukan oleh Authony Anot, sebagaimana pula
telah dikuatkan oleh Soerjono Soekanto, bahwa hukum merupakan suatu sarana yang
dapat mengubah prilaku masyarakat untuk menuju ke arah tujuan dan fungsi dari
hukum itu sendiri[11].
Sehingga, dengan dan berdasarkan norma hukum yang eksis dan leading di tengah
masyarakat itu, menurut H.L. Hart dalam bukunya The Concept of Law, diharapkan
menjadi sebuah kewajiban (duty) yang mesti dilaksanakan oleh setiap anggota
lapisan masyarakat hukum tersebut.
Sejalan
dengan pandangan tersebut seorang tokoh aliran positivisme Jhon Austin
(1790-1859), sebagaimana yang dikutip oleh Theo Huibers, telah berpendapat
bahwa hukum merupakan sekumpulan aturan-aturan yang mengandung
perintahperintah, yang dapat ditaati setiap
anggota masyarakat, dimana mereka merasa terikat terhadap hukum
tersebut, di samping menghindari ancaman sanksi jika mengabaikan norma hukum
tersebut. [12]Secara
khusus, pemikiran-pemikiran teori hukum yang mengkaji tentang hukum sebagai
alat pembaharuan dan rekayasa sosial (masyarakat) telah dikenalkan oleh seorang
sarjana Amerika bernama “An Introduction
to the Philosopy of Law,” sebagai yang dikutip oleh Lili Rasyidi, yang
sangat popular, dikenal dengan ”Law as
tool of sosial engineering” (Hukum sebagai alat yang merekayasa dan
membentuk masyarkat). Menurut Mukhtar
Kusumaatmaja, bahwa hukum itu sebenarnya bukan sebagai alat (as a tool), tetapi
hukum itu tampil sebagai ”sarana” dalam membina dan membentuk serta memperbaharui
kehidupan masyarakat. Menurut Rescou
Pound, ada tiga klasifikasi dan penggolongan utama yang mesti dilindungi oleh
hukum, yaitu: Pertama, Kepentingan Umum (Public Interest). Adapun kepentingan
umum (Public Interest) ini terdiri dari dua kepentingan umum yang primair,
yaitu: (1). Kepentingan Negara (state) dalam tugas dan fungsinya untuk
memelihara kepribadian dan hakikat Negara (as juristic person in the
maintenance of its personality and subtance). (2). Kepentingan Negara sebagai
pengawas dari kepentingan sosial (the interest of the state as a guardian of
social interest). Kedua, Kepentingan orang perorangan (Individual Interest).
Berkait dengan kepentingan individual ini oleh Pound dibagi menjadi tiga
kepentingan, yaitu: (1). Kepentingan Kepribadian (Interest Personality). (2).
Kepentingan dalam hubungan rumah tangga (Interest Of the materils). (3).
Kepentingan berkait dengan harta benda (Sosial Interest).
Ketiga,
Kepentingan masyarakat (sosial Interest). (1). Kepentingan kemasyarakatan
tentang kesusilaan umum yang menaruh perhatian terhadap perlindungan tata
susila masyarakat. (2). Kepentingan kemasyarakatan mengenai pemeliharaan
sumber-sumber kemasyarakatan. Hal ini menjadi tuntutan atau menjadi keperluan,
dan atau hajat yang dibutuhkan dalam kehidupan sosial yang beradab. (3).
Kepentingan kemasyarakatan mengenai kemajuan umum dalam kehidupan (the social
interest in general progress), yaitu kepentingan masyarakat untuk maju terus
dalam berbagai kehidupan.[13]
BAB IV
KESIMPULAN
1. Menurut
Loudewijk F. Paulus, sejarah kemunculan terorisme telah tumbuh sejak beberapa
abad yang silam. Sebenarnya istilah terorisme baru muncul pada akhir abad ke
XIX dan menjelang terjadinya perang dunia (PD) 1, dan terjadi hampir merata di
seluruh permukaan dunia. Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi terorisme
Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan
massal terhadap warga Armenia pada PD 1. Pada dekade PD 1, aksi terorisme
diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan idiologi
komunis. Terorisme dan terror telah
berkembang dalam wilayah sengketa idiologi fanatisme aliran atau agama,
perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya bahkan terror ini digunakan oleh
kalangan penguasa (pemerintah) dalam rangka mempertahankan kekuasaannya.
2. Menurut Loudewijk F. Paulus, karakteristik terorisme
ditinjau dari 4(empat) macam pengelompokan yaitu terdiri dari :
a. Karakteristik organisasi yang meliputi : organisasi,
rekrtmen,pendanaan dan hubungan internasional;
b. Karakteristik Operasi yang meliputi : perencanaan, waktu,
taktik dan kolusi;
c. Karakteristik perilaku yang meliputi : motivasi, dedikasi,
disiplin, keinginan membunuh dan keinginan menyerah hidup-hidup;
d. Karakteristik sumber daya yang meliputi :
latihan/kemampuan, pengalaman perorangan di bidang teknologi, persenjataan,
perlengkapan dan transportasi.
Ada beberapa bentuk terorisme
yang dikenal, yang perlu kita bahas dari bentuk itu antara lain teror criminal
dan teror politik. Kalau mengenai teror criminal biasanya hanya untuk
kepentingan pribadi atau memperkaya diri sendiri. Teroris criminal bisa
menggunakan cara pemerasan dan intimidasi. Mereka menggunakan kata-kata yang
dapat menimbulkan ketakutan atau teror psikis.
Tindak pidana terorisme merupakan
tindak pidana yang unik, karena motif dan factor penyebab dilakukannya tindak
pidana ini sangat berbeda dengan motif-motif dari tindak pidana lain. Tidak
jarang,tindak pidana terorisme dilakukan berdasarkan motif-motif tertentu yang
patut dihormati. A.C. Manullang
menyatakan bahwa pemicu terorisme antara lain adalah pertentangan agama,
ideology dan etnis serta makin melebar jurang pemisah antara kaya-miskin. Salah
satu pemicu dilakukannya terorisme adalah kemiskinan dan kelaparan.
3. Sebenarnya peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang kejahatan terorisme telah dirangkum oleh Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yaitu dalam Pasal 187 yang mengatur tentang kejahatan yang
berkenaan dengan peledakan, kebakaran dan banjir serta pasal-pasal yang berkenaan
dengan kejahatan penerbangan seperti yang diatur dalam Bab XXIX a KUHP. Lahirnya
UU No 15 tahun 2003 yang berisi tentang penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, menjadi Undang-Undang tidak ada tujuan lain kecuali untuk
mewujudkannya tujuan nasional sebagaimana yang dimaksud dalam pembukaan UUD
1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
serta dalam memelihara ketertiban umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
serta dalam memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka mutlak diperlukan penegakan hukum dan
ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Wahid, dkk, 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum,
(Bandung:PT. Rafika Aditama)
Loudewjik.
F Paulus, 2004,Terorisme, (Jakarta: republika)
Mudzakkir,2008,Pengkajian
Hukum tentang Perlindungan Hukum bagi korban Terorisme,(Jakarta: PT.Gramedia)
Moch.
Faisal Salam,2005, Motivasi Tindakan Terorisme, (Bandung: Mandar Maju)
Himpunan
peraturan perundang-undangan, UU No 15 Tahun 2003 (Jakarta: fokusmedia, 2003)
Soejono Soekanto,2001,
Pokok-pokok Sosiologi Hukum. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada)
9Theo Huibers,1990,
Falsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius)
“History and
causes of terrorism “ hhtp://en.wikipedia.org/wiki/terrorism. Diakses tanggal
20 desemberl 2017.
Tb Ronny
Rahman Nitibaskara, “State Terorism”. Kompas Cyber Media , www.kompas.com edisi
Sabtu, 20 April 2002. Diakses tanggal 20 desember 2017
[1] Loudewjik.
F Paulus, Terorisme, (Jakarta: republika, 2004). Hlm.2
[2] Ibid.
hlm.4-5
[3] Ibid.hlm.5
[4] Fauzan
al-Anshari, Konspirasi di Balik Teror Bom,h.5.
[5]
Abdul wahab dkk. Loc.cit.hlm.30
[6]
Abdul wahid dkk.loc.cit hlm.28
[7] Abdul
wahid dkk.Loc.cit. hlm29
[8] Abdul
wahid dkk.Loc.cit. hlm 30
[9] Himpunan peraturan perundang-undangan.loc.cit
hlm 1-2
[11] Soejono
Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001), h.188.
[12] 9Theo
Huibers, Falsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 40-41
[13]
Ibid. 58-79
[1]
Mudzakkir,Pengkajian Hukum tentang Perlindungan Hukum bagi korban Terorisme,
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,(Jakarta:gramedia,2008)
hlm. 6-7
[2] Moch.
Faisal Salam, Motivasi Tindakan Terorisme, (Bandung: Mandar Maju,2005)hlm. 2.
[3]
Ibid.14
[4] “History
and causes of terrorism “ hhtp://en.wikipedia.org/wiki/terrorism. Diakses
tanggal 20 desemberl 2017.
[5] Tb
Ronny Rahman Nitibaskara, “State Terorism”. Kompas Cyber Media , www.kompas.com
edisi Sabtu, 20 April 2002. Diakses
tanggal 20 desember 2017.
[6] Abdul
Wahid, dkk, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, (Bandung.
Rafika Aditama, 2004) hlm. 29-30
[7]
Himpunan peraturan perundang-undangan, UU No 15 Tahun 2003 (Jakarta:
fokusmedia, 2003) hlm.14
0 komentar:
Post a Comment