Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Friday, April 27, 2018

Peradilan Pada Masa Penjajahan Jepang


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Peradilan adalah salah suatu urusan di dalam rumah tangga negara yang teramat penting. Bagaimanapun baiknya segala peraturan hukum yang diciptakan di dalam suatu negara, guna menjamin keselamatan masyarakat serta menuju kepada tercapainya kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan itu tak akan memberikan faedah, apabila tak ada suatu tahapan (instansi) yang harus memberikan isi dan kekuatan kepada kaidah-kaidah hukum yang diletakkan di dalam undang-undang dan peraturan hukum yang lain. Peradilan biasa juga disebut sebagai suatu macam penegakkan hukum pula, oleh karena aktifitasnya juga tidak terlepas dari hukum yang telah dibuat dan disediakan oleh badan pembuat hukum itu.
Tentunya, untuk mendukung ditegakkannya agar kaidah-kaidah hukum tersebut dapat terealisasi maka diperlukan sebuah wadah atau instansi atas dasar undang-undang dapat memaksa orang mentaati segala peraturan negara, dan menjadi forum, dimana segala penduduk dapat mencari keadilan. serta penyelesaian persoalan-persoalan tentang hak dan kewajibannya masing-masing menurut hukum. Oleh karena itu, maka adanya peradilan yang baik dan teratur serta mencukupi kebutuhan, adalah suatu keharusan di dalam susunan negara hukum.

Indonesia yang merupakan salah satu daerah jajahan Negara asing pernah mengalami beberapa pergantian model peradilan dari masa ke masa karena silih bergantinya Negara yang menjajahnya. Olehnya itu, berangkat dari ilustrasi di atas, maka yang menjadi pembahasan dalam makalah ini adalah mengenai badan peradilan masa pendudukan Jepang sebagai salah  satu Negara yang pernah menjajahnya.  
B.     Rumusan Masalah
            Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana bentuk badan peradilan pada masa pendudukan Jepang di Indonesia ?
C.    Tujuan
Untuk memenuhi tugas kelompok Pengantar Peradilan Islam serta menambah wawasan tentang perdailan di indonesia pada masa penjajahan jepang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Awal Masuknya Jepang Ke Indonesia
Pada Tanggal 8 Maret 1942, Jendral Tajarda Van Starkenborgh Stachouuwer ( Gubernur Jendral Belanda ), Serta pejabat tinggi militer dan seorang penerjemah pergi ke kalijati. Dari pihak Jepang Hadir Letnan Jendral Imamura. Dalam pertemuan itu, Belanda menyerah tanpa syarat kepada jepang. Dengan demikian, secara resmi masa penjajahan Belanda di indonesia berakhir. Jepang berkuasa di indonesia. Bukan kemerdekaan dan kesejahteraan yang didapat bangsa indonesia.
B.     Peradilan Pada Masa Pendudukan Jepang Di Indonesia
Masa pemerintahan Jepang di Indonesia dimulai pada 8 Maret 1942 dengan menyerahnya Jendral Ter Poorten, untuk sementara Jepang mengeluarkan Undang-undang Balatentara Jepang tanggal 8 Maret No.1 yang menyatakan bahwa segala undang-undang dan peraturan-peraturan dari pemerintah Hindia-Belanda dulu terus berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan Balatentara Jepang.
Pada waktu Balatentara Jepang datang di Indonesia, maka pengadilan-pengadilan Hindia Belanda ditutup. Perkara-perkara diselesaikan oleh Pangreh Praja. Keadaan semacam itu berlangsung sampai bulan Mei 1942. Sejak Pemerintah Pendudukan Jepang menjalankan kekuasaannya di Indonesia peradilan dilakukan oleh, Gunritukaigi (Mahkamah Militer), Gunsei Hooin (Pengadilan Pemerintah Balatentara) yang mengadili perkara-perkara perdata dan pidana dari penduduk sipil bangsa Jepang dan orang-orang militer yang tidak diadili oleh pengadilan Gunritukaigi, Peradilan Agama, Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat.
Berdasarkan Undang-Undang 1942 No.14, ditetapkan “Peraturan Pengadilan Pemerintah Balatentara Dai-Nippon”. Dengan peraturan ini didirikan pengadilan-pengadilan sipil, yang akan mengadili perkara-perkara pidana dan perdata. Disamping pengadilan-pengadilan itu, dibentuk juga Kejaksaan.


Pengadilan-pengadilan sipil tersebut, antara lain :
1.      Gunsei Hooin (Pengadilan Pemerintah Balatentara) berlaku untuk semua penduduk Hindia Belanda.
2.      Semua badan pengadilan dari Pemerintah Hindia Belanda, kecuali Residentiegerecht, yang dihapus berdasarkan Undang-Undang No. 14 tahun 1942 diganti namanya:
a.       Landraad menjadi Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri);
b.      Landgerecht menjadi Keizai Hooin (Hakim Kepolisian);
c.       Regentschapsgerecht menjadi Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten);
d.      Districtsgerecht menjadi Gun Hooin (Pengadilan Kewedanan).
3.      Berdasarkan Undang-Undang No. 34 tahun 1942 (Osamu Seirei No. 3), dibentuk: Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi) dan Saikoo Hooin (Pengadilan Agung).
Pembedaan antara Peradilan Gubernemen dan Peradilan Bumiputera ditiadakan, demikian pula pembedaan antara hakim untuk berbagai golongan rakyat. Hakim untuk golongan Eropa dihapuskan, sedang hakim untuk golongan Bumiputera kekuasaannya diperluas, sehingga meliputi semua golongan. Sesuai dengan asas itu maka dihapuskanlah beberapa pengadilan termasuk peradilan tingkat pertama yang dilakukan oleh Raad van Justitie dan Hooggerechtschof. Segala sesuatunya yang berhubungan dengan perkara perdata diserahkan penyelesaiannya kepada hakim-hakim bangsa Indonesia.
Pemerintahan kepolisan Jepang juga membagi Indonesia dalam dua lingkungan kekuasaan, yaitu:
1.      Sumatera, Jawa, dan Madura dikuasai oleh Angkatan Darat Jepang.
2.      Indonesia bagian timur dan Kalimantan dikuasai Angkatan Laut Jepang.
Dalam masa ini banyak anggota kepolisian bangsa Indonesia menggantikan kedudukan dan kepangkatan bagi bangsa Belanda sebelumnya. Pusat kepolisian di Jakarta dinamakan keisatsu bu dan kepalanya disebut keisatsu elucho. Kepolisian untuk Jawa dan Madura juga berkedudukan di Jakarta, untuk Sumatera berkedudukan di Bukittinggi, Indonesia bagian timur berkedudukan di Makassar, dan Kalimantan berkedudukan di Banjarmasin.
Tiap-tiap kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian bangsa Indonesia, tapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut sidookaan yang dalam praktik lebih berkuasa dari kepala polisi. Dalam perkembangannya sebenarnya Indonesia akan dijadikan sebagai salah satu propinsi Jepang tetapi karena kekalahan Angakatan Perang Jepang di semua medan pertempuran maka pada tanggal 7 September 1944, PM Kuniaki Koiso dalam pidatonya di depan parlemen Jepang berjanji, akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia di kelak kemudian hari. Hal ini berhubungan dengan apa yang dikatakan Imamura bahwa Tenno Heika lah yang berhak menentukan apakah Indonesia akan dijadikan daerah otonominya atau Negara federasi dari Dai Nippon.



BAB III
KESIMPULAN
A.    Kesimpulan
Adapun yang menjadi kesimpulan dari makalah ini bahwa masa pemerintahan Jepang di Indonesia dimulai pada 8 Maret 1942 dengan ditandai menyerahnya Jendral Ter Poorten, dan untuk sementara Jepang mengeluarkan Undang-undang Balatentara Jepang tanggal 8 Maret No.1 yang menyatakan bahwa segala undang-undang dan peraturan-peraturan dari pemerintah Hindia-Belanda dulu terus berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan Balatentara Jepang. Setelah itu pengadilan-pengadilan Hindia Belanda ditutup, Perkara-perkara diselesaikan oleh Pangreh Praja. Keadaan semacam itu berlangsung sampai bulan Mei 1942. Sejak Pemerintah Pendudukan Jepang menjalankan kekuasaannya di Indonesia peradilan dilakukan oleh Gunpokaigi, Gunritukaigi (Mahkamah Militer), Gunsei Hooin (Pengadilan Pemerintah Balatentara) yang mengadili perkara-perkara perdata dan pidana dari penduduk sipil bangsa Jepang dan orang-orang militer yang tidak diadili oleh pengadilan Gunpokaigi dan Gunritukaigi, Peradilan Agama, Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat.



DAFTAR PUSTAKA

1.     Mr. R. Tresna, 1977. Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad. Pradnya Paramita. Jakarta Pusat.
2.     Rahardjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
3.     Sunaryo M, Oyo. 2011. Perkembangan Peradilan Di Indonesia. Ghalia Indonesia. Bogor.
4.     Djalil, H.A.Basiq. 2012. Peradilan Islam. AMZAH. Jakarta.

Share:

0 komentar:

Post a Comment