BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peradilan
adalah salah suatu urusan di dalam rumah tangga negara yang teramat penting.
Bagaimanapun baiknya segala peraturan hukum yang diciptakan di dalam suatu
negara, guna menjamin keselamatan masyarakat serta menuju kepada tercapainya
kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan itu tak akan memberikan faedah,
apabila tak ada suatu tahapan (instansi) yang harus memberikan isi dan kekuatan
kepada kaidah-kaidah hukum yang diletakkan di dalam undang-undang dan peraturan
hukum yang lain. Peradilan biasa juga disebut sebagai suatu macam penegakkan
hukum pula, oleh karena aktifitasnya juga tidak terlepas dari hukum yang telah
dibuat dan disediakan oleh badan pembuat hukum itu.
Tentunya,
untuk mendukung ditegakkannya agar kaidah-kaidah hukum tersebut dapat terealisasi
maka diperlukan sebuah wadah atau instansi atas dasar undang-undang dapat
memaksa orang mentaati segala peraturan negara, dan menjadi forum, dimana
segala penduduk dapat mencari keadilan. serta penyelesaian persoalan-persoalan
tentang hak dan kewajibannya masing-masing menurut hukum. Oleh karena itu, maka
adanya peradilan yang baik dan teratur serta mencukupi kebutuhan, adalah suatu
keharusan di dalam susunan negara hukum.
Indonesia yang merupakan salah satu daerah jajahan Negara asing pernah mengalami beberapa pergantian model peradilan dari masa ke masa karena silih bergantinya Negara yang menjajahnya. Olehnya itu, berangkat dari ilustrasi di atas, maka yang menjadi pembahasan dalam makalah ini adalah mengenai badan peradilan masa pendudukan Jepang sebagai salah satu Negara yang pernah menjajahnya.
B.
Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah
dalam makalah ini adalah bagaimana bentuk badan peradilan pada masa pendudukan
Jepang di Indonesia ?
C.
Tujuan
Untuk memenuhi
tugas kelompok Pengantar Peradilan Islam serta menambah wawasan tentang
perdailan di indonesia pada masa penjajahan jepang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Awal Masuknya Jepang Ke Indonesia
Pada Tanggal 8 Maret 1942, Jendral Tajarda Van Starkenborgh Stachouuwer (
Gubernur Jendral Belanda ), Serta pejabat tinggi militer dan seorang penerjemah
pergi ke kalijati. Dari pihak Jepang Hadir Letnan Jendral Imamura. Dalam
pertemuan itu, Belanda menyerah tanpa syarat kepada jepang. Dengan demikian,
secara resmi masa penjajahan Belanda di indonesia berakhir. Jepang berkuasa di
indonesia. Bukan kemerdekaan dan kesejahteraan yang didapat bangsa indonesia.
B. Peradilan Pada
Masa Pendudukan Jepang Di Indonesia
Masa
pemerintahan Jepang di Indonesia dimulai pada 8 Maret 1942 dengan menyerahnya
Jendral Ter Poorten, untuk sementara Jepang mengeluarkan Undang-undang
Balatentara Jepang tanggal 8 Maret No.1 yang menyatakan bahwa segala
undang-undang dan peraturan-peraturan dari pemerintah Hindia-Belanda dulu terus
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan Balatentara
Jepang.
Pada waktu
Balatentara Jepang datang di Indonesia, maka pengadilan-pengadilan Hindia
Belanda ditutup. Perkara-perkara diselesaikan oleh Pangreh Praja. Keadaan
semacam itu berlangsung sampai bulan Mei 1942. Sejak Pemerintah Pendudukan
Jepang menjalankan kekuasaannya di Indonesia peradilan dilakukan oleh,
Gunritukaigi (Mahkamah Militer), Gunsei Hooin (Pengadilan Pemerintah Balatentara)
yang mengadili perkara-perkara perdata dan pidana dari penduduk sipil bangsa
Jepang dan orang-orang militer yang tidak diadili oleh pengadilan Gunritukaigi,
Peradilan Agama, Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat.
Berdasarkan
Undang-Undang 1942 No.14, ditetapkan “Peraturan Pengadilan Pemerintah
Balatentara Dai-Nippon”. Dengan peraturan ini didirikan pengadilan-pengadilan
sipil, yang akan mengadili perkara-perkara pidana dan perdata. Disamping
pengadilan-pengadilan itu, dibentuk juga Kejaksaan.
Pengadilan-pengadilan
sipil tersebut, antara lain :
1.
Gunsei Hooin (Pengadilan Pemerintah Balatentara) berlaku untuk
semua penduduk Hindia Belanda.
2.
Semua badan pengadilan dari Pemerintah Hindia Belanda, kecuali
Residentiegerecht, yang dihapus berdasarkan Undang-Undang No. 14 tahun 1942
diganti namanya:
a.
Landraad menjadi Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri);
b.
Landgerecht menjadi Keizai Hooin (Hakim Kepolisian);
c.
Regentschapsgerecht menjadi Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten);
d.
Districtsgerecht menjadi Gun Hooin (Pengadilan Kewedanan).
3.
Berdasarkan Undang-Undang No. 34 tahun 1942 (Osamu Seirei No. 3),
dibentuk: Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi) dan Saikoo Hooin (Pengadilan Agung).
Pembedaan
antara Peradilan Gubernemen dan Peradilan Bumiputera ditiadakan, demikian pula
pembedaan antara hakim untuk berbagai golongan rakyat. Hakim untuk golongan
Eropa dihapuskan, sedang hakim untuk golongan Bumiputera kekuasaannya
diperluas, sehingga meliputi semua golongan. Sesuai dengan asas itu maka
dihapuskanlah beberapa pengadilan termasuk peradilan tingkat pertama yang
dilakukan oleh Raad van Justitie dan Hooggerechtschof. Segala sesuatunya yang
berhubungan dengan perkara perdata diserahkan penyelesaiannya kepada
hakim-hakim bangsa Indonesia.
Pemerintahan
kepolisan Jepang juga membagi Indonesia dalam dua lingkungan kekuasaan, yaitu:
1.
Sumatera, Jawa, dan Madura dikuasai oleh Angkatan Darat Jepang.
2.
Indonesia bagian timur dan Kalimantan dikuasai Angkatan Laut
Jepang.
Dalam masa ini
banyak anggota kepolisian bangsa Indonesia menggantikan kedudukan dan
kepangkatan bagi bangsa Belanda sebelumnya. Pusat kepolisian di Jakarta
dinamakan keisatsu bu dan kepalanya disebut keisatsu elucho. Kepolisian untuk
Jawa dan Madura juga berkedudukan di Jakarta, untuk Sumatera berkedudukan di
Bukittinggi, Indonesia bagian timur berkedudukan di Makassar, dan Kalimantan
berkedudukan di Banjarmasin.
Tiap-tiap
kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian
bangsa Indonesia, tapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut
sidookaan yang dalam praktik lebih berkuasa dari kepala polisi. Dalam
perkembangannya sebenarnya Indonesia akan dijadikan sebagai salah satu propinsi
Jepang tetapi karena kekalahan Angakatan Perang Jepang di semua medan
pertempuran maka pada tanggal 7 September 1944, PM Kuniaki Koiso dalam
pidatonya di depan parlemen Jepang berjanji, akan memberikan kemerdekaan kepada
bangsa Indonesia di kelak kemudian hari. Hal ini
berhubungan dengan apa yang dikatakan Imamura bahwa Tenno Heika lah yang berhak
menentukan apakah Indonesia akan dijadikan daerah otonominya atau Negara
federasi dari Dai Nippon.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Adapun yang
menjadi kesimpulan dari makalah ini bahwa masa pemerintahan Jepang di Indonesia
dimulai pada 8 Maret 1942 dengan ditandai menyerahnya Jendral Ter Poorten, dan
untuk sementara Jepang mengeluarkan Undang-undang Balatentara Jepang tanggal 8
Maret No.1 yang menyatakan bahwa segala undang-undang dan peraturan-peraturan
dari pemerintah Hindia-Belanda dulu terus berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan-peraturan Balatentara Jepang. Setelah itu
pengadilan-pengadilan Hindia Belanda ditutup, Perkara-perkara diselesaikan oleh
Pangreh Praja. Keadaan semacam itu berlangsung sampai bulan Mei 1942. Sejak
Pemerintah Pendudukan Jepang menjalankan kekuasaannya di Indonesia peradilan
dilakukan oleh Gunpokaigi, Gunritukaigi (Mahkamah Militer), Gunsei Hooin
(Pengadilan Pemerintah Balatentara) yang mengadili perkara-perkara perdata dan
pidana dari penduduk sipil bangsa Jepang dan orang-orang militer yang tidak
diadili oleh pengadilan Gunpokaigi dan Gunritukaigi, Peradilan Agama, Peradilan
Swapraja dan Peradilan Adat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mr. R. Tresna, 1977. Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad.
Pradnya Paramita. Jakarta Pusat.
2. Rahardjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. PT. Citra Aditya Bakti.
Bandung.
3. Sunaryo M, Oyo. 2011. Perkembangan Peradilan Di Indonesia. Ghalia
Indonesia. Bogor.
4. Djalil, H.A.Basiq. 2012. Peradilan Islam. AMZAH. Jakarta.
0 komentar:
Post a Comment