Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Thursday, April 26, 2018

HUKUM RESPONSIF DALAM MENJAWAB FENOMENA SOSIAL DI MASYARAKAT



Perubahan sosial senantiasa membawa pengaruh yang signifikan terhadap peraturan perundang-undangan baik itu dalam skala kecil hingga besar. Perubahan sosial selalu mengiringi masyarakat yang bersifat dinamis dimana perubahan mampu membawa dampak positif bagi kelangsungan hidup suatu masyarakat walau tidak selamanya dampak dari perubahan itu mengarah pada kebaikan hidup bersama. Hukum melayani kebutuhan masyarakat agar tidak ketinggalan dalam laju perkembangan masyarakat. Berbagai masalah sosial yang lahir di masyarakat yang rentan akan perubahan membutuhkan suatu hukum yang tidak hanya mampu mengatur tatanan yang tidak sesuai namun juga mampu memberikan pengaruh signifikan bagi aturan yang lain dimana peran hukum mampu mewujudkan keadilan substantif di pengadilan. Dalam mewujudkannya, peran hukum harus lebih bisa responsif menjawab setiap fenomena sosial masyarakat dengan memberikan pemecahan solutif agar kedepannya segala bentuk perubahan yang berdampak negatif dapat dengan mudah teratasi tanpa menyebabkan masalah-masalah lain yang mungkin timbul setelahnya.

Hukum responsif sebagai jawaban atas masalah sosial seharusnya mampu diandalkan dalam memecahkan masalah sosial berkaitan dengan berbagai permasalahan sosial dimana hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan, namun lebih menekankan aspek pemecahan masalah sosial yang kontekstual yang memikirkan kenyataan-kenyataan empiris yang terjadi di masyarakat. Hukum responsif berorientasi pada hasil, dan tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Indonesia sebagai negara hukum masih menganut system hukum positif dimana hukum positif merupakan produk politik karena cirinya yang dibuat legislatif dan lahir dari proses politik. Sebagai produk politik, hukum menjadi sangat kental dengan kepentingan, sehingga melahirkan anggapan baru tentang pandangan equality before the law akan sulit untuk diterapkan sebab logika politik harus ada yang berkuasa dan ada yang dikuasai. Akibatnya, hukum akan memandang status sosial subjek hukum, penegakan hukum pun akan mengalami diskriminasi terhadap manusia itu sendiri. System hukum positif yang berlawanan dengan paradigma hukum responsif akan sulit untuk bisa menjadi pemecahan masalah yang solutif perubahan sosial yang berdampak pada kemunduran bangsa.

Kata Kunci: Perubahan sosial, pengaruh, hukum responsif, penegakan hukum





Masyarakat dunia dewasa ini rentan terhadap segala bentuk perubahan baik yang bersifat konstruktif maupun destruktif. Proses terjadinya perubahan pada masyarakat ini merupakan suatu gejala yang normal terjadi dimana pengaruhnya menjalar dengan cepat ke setiap bagian lain dari dunia. Dengan adanya perubahan melalui teknologi khususnya telah membawa dampak positif di bidang komunikasi. Komunikasi menjadi kian mudah untuk dilakukan dengan atau tanpa kontak langsung, dengan adanya teknologi yang mutakhir sangat dimungkinkan untuk dapat berinteraksi dengan orang walaupun jaraknya terbilang cukup jauh.
Dengan adanya teknologi yang menjadi alat perubahan dimungkinkan perkembangan suatu negara juga kian cepat. Bentuk masyarakat yang dinamis akan membuat perubahan kian cepat terjadi dan mampu meminimalisir terjadinya perubahan yang bersifat destrukif. Masyarakat yang dinamis dapat mengalami perubahan dengan kurun waktu yang cepat dan cenderung menerima perubahan dengan selektif sesuai dengan kaidah yang berlaku di masyarakat. Perubahan yang terjadi tidak selamanya membawa kemajuan bagi suatu masyarakat hingga negara, akan tetapi dapat menjadi suatu kemunduran dari masyarakat itu sendiri yang menyangkut bidang-bidang tertentu.
Selo Soemardjan (1962: 379) merumuskan perubahan sosial sebagai suatu perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga sosial di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi system sosialnya termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Rumusan perubahan sosial tersebut menunjukkan bahwa tekanan diletakkan pada lembaga-lembaga sosial sebagai himpunan kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia dimana perubahan tersebut mempengaruhi segi-segi lainnya dari struktur masyarakat.
Masyarakat mempunyai sifat yang dinamis, ia selalu ingin berkembang dan berubah. Irama perubahan tersebut ada yang lambat, ada yang sedang, ada yang cepat karena dipacu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertumbuhan ekonomi. Akibatnya pola-pola interaksi yang terjadi antara kelompok-kelompok masyarakat pun semakin kompleks. Gejala sosial sendiri tidak terlepas dari unsur sosial yakni struktur sosial dan proses sosial. Hal ini dimaksud karena dalam suatu struktur sosial otomatis terdiri dari beberapa bagian yang secara sistematis mempengaruhi suatu gejala sosial. Bagian yang dimaksud adalah kebudayaan, lembaga sosial, kekuasaan, kelompok sosial dan lapisan sosial.
Perubahan baik itu secara langsung maupun tidak langsung tentu dipengaruhi oleh berbagai factor. Apabila dikaji lebih mendalam mengenai pengaruh dari perubahan itu sendiri, maka bisa dipastikan bahwa factor pemuasan merupakan factor utama dari sebuah perubahan dimana lahirnya factor baru akan mampu memuaskan factor lama dan hal ini berlangsung secara terus-menerus yang membuat perubahan terus terjadi. Di sisi lain, perubahan dapat bersumber dari dari masyarakat itu sendiri serta ada pula yang bersumber dari luar masyarakat yang bersangkutan. Factor perubahan sosial dapat berbentuk fisik dan non-fisik yang kesemua itu membawa dampak langsung di suatu masyarakat yang terkait. Dari sekian factor yang mempengaruhi perubahan sosial di masyarakat, terdapat beberapa factor pendorong dan penghambat yang memberikan arah bagi perubahan apakah mampu menjadi perubahan yang positif atau sebaliknya.
Perubahan sosial dan dampaknya yang beragam merupakan masalah yang perlu untuk diberikan solusi yang efektif. Sebagai sebuah negara yang mengalami berbagai perubahan, signifikan, perlu untuk memiliki sebuah aturan atau tatanan untuk menyikapi segala bentuk perubahan. Upaya yang dapat dilakukan untuk menangani berbagai fenomena perubahan sosial salah satunya ialah penerapan sanksi. Sanksi fisik hingga sosial bagi setiap pelaku yang melanggar kaidah norma hukum dengan tidak mengindahkan dampak negatif yang mungkin terjadi di masyarakat. Pemberian sanksi/ hukuman selayaknya diberikan sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan dengan adil dan tidak membeda-bedakan. Sanksi tidak hanya diberikan bagi pelanggar aturan/ norma, namun juga bisa diberikan bagi setiap pelaku perubahan yang berbau negatif dan merugikan. Dengan memberikan sanksi hukum diharapkan mampu meminimalisir segala bentuk perubahan sosial negatif dan merusak tatanan masyarakat.
Peran hukum sebagai social control disini sangat diperlukan manakala sebuah perubahan tidak lagi memberikan dampak positif di dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum dituntut untuk bisa memecahkan masalah sosial seperti protes massal, kemiskinan, kriminalitas, dan sebagainya. Selama ini hukum hanya dipahami sebagai aturan yang bersifat kaku dan terlalu menekakan pada aspek system tanpa melihat kaitan ilmu hukum dengan masalah yan harus ditangani. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal seharusnya teori hukum tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh sosial.
Berbagai masalah sosial yang lahir di masyarakat yang rentan akan perubahan membutuhkan suatu hukum yang tidak hanya mampu mengatur tatanan yang tidak sesuai namun juga mampu memberikan pengaruh signifikan bagi aturan yang lain dimana peran hukum mampu mewujudkan keadilan substantif di pengadilan. Dalam mewujudkannya, peran hukum harus lebih bisa responsif menjawab setiap fenomena sosial masyarakat dengan memberikan pemecahan solutif agar kedepannya segala bentuk perubahan yang berdampak negatif dapat dengan mudah teratasi tanpa menyebabkan masalah-masalah lain yang mungkin timbul setelahnya.
Indonesia menjadi terkenal di dunia sebagai Negara yang sistem hukum yang sangat buruk. Yang dimaksud disini lebih kepada pembangunan yang belum kunjung selesai adalah bagaimana menjadikan negara hukum itu suatu organisasi yang secara substansial maupun menjadi rumah yang menyenangkan, mensejahterakan dan membahagiakan bagi bangsa Indonesia. Menjadi Negara Hukum yang sebenarnya adalah suatu proses panjang karena menyangkut perubahan perilaku tatanan sosial dan kultur. Hukum dan Negara Hukum Modern membutuhkan suatu predisposisi sosial dan kultural tertentu untuk bisa berhasil dengan baik. Menelusuri teori-teori hukum aliran positivisme dan perkembang kritik-kritiknya khusus berkaitan dengan kasus-kasus penegakan hukum di Indonesia. Hal ini terjadi karena praktisi maupun teoritis hukum di Indonesia tampaknya masih terjerembab kepada paradigma tunggal positivisme yang tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang berjalan dengan tabel hidup karakteristik manusia yang dinamis dan multi kepentingan baik proses maupun pada peristiwa hukumnya.
Hukum tidak bisa dilepaskan dari sejarah manusia, maka sudah sangat jelas bahwa perkembangan dan perubahan hukum tidak lepas dari dinamika sosial dengan segala kepentingan yang sesungguhnya berada dibelakang hukum. Hukum itu tidak bisa dielakkan, selalu berkembang, namun perkembangannya tidak bisa dipastikan berkembang kepada arah tertentu, tetapi yang jelas pada akhirnya juga membawa perubahan setelah bertarungnya berbagai kepentingan yang berada dibelakang hukum itu sendiri. Kalau kita menyorak bagaimana Indonesia berhukum, maka sudah barang tentu tidak ada yang boleh mendikte bagaimana suatu bangsa seharusnya berhukum, namun bagaimana karakteristik bangsa Indonesia sendirilah yang menentukan hukum dan perubahannya.
Dewasa ini, fenomena kenakalan remaja menjadi focus utama perhatian pemerintah dimana semakin besar pengaruh asing masuk ke suatu negara berkembang, maka perubahan menjadi tidak terelakkan. Salah satu bentuk perubahan yang menjadi perhatian pemerintah adalah ketika perubahan tersebut memberikan dampak yang luar biasa terhadap perkembangan bangsa termasuk di dalamnya masyarakat. Kenakalan remaja sebagai bentuk nyata dari perubahan sosial negatif telah banyak mendapat sorotan selama beberapa tahun terkahir. Tingginya angka kenakalan remaja beberap tahun terakhir membuat pemerintah kian kesulitan mencari solusi yang efektif untuk mencegah dampaknya. Fenomena kenakalan remaja yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat ini bukanlah masalah yang hanya dialami oleh sebagian besar negara berkembang seperti Indonesia. Fenomena kenakalan remaja bahkan banyak dijumpai di beberapa negara maju dimana hukum seakan tidak berjalan semestinya. Bukan perkara lemahnya aturan hukum, namun lebih kepada tingkat kesadaran masyarakat dalam menyikapi setiap fenomena sosial sebagai hal yang lumrah hingga tidak disadari hal tersebut malah membuat generasi muda menyalahartikan bentuk dan pengaruh perubahan.
Kesadaran hukum yang lemah dapat memicu masalah sosial yang tidak hanya berdampak sesaat saja namun dampak yang ditimbulkan dapat berlangsung cukup lama bahkan menjadi hal yang akan terjadi berkesinambungan karena lemahnya pengawasan hukum. Di Indonesia sendiri ksadaran hukum masih sangat kurang dimana sebagian besar masyarakat menganggap hukum bukan satu-satunya control sosial yang harus selalu dipatuhi karena daya ikat yang dirasa masih lemah dan berpihak pada beberapa kalangan masyarakat kelas atas. Hal ini mengundang ketidakpedulian masyarakat akan adanya norma hukum yang berlaku dan membuat hukum seakan hilang fungsinya. Hukum yang adil dan menyentuh semua elemen masyarakatlah yang saat ini diperlukan dari adanya suatu norma hukum di masyarakat agar segala bentuk fenomena sosial dapat teratasi sebagaimana fungsi hukum yang seharusnya dengan tetap sesuai aturan yang berlaku dan tidak berpihak pada beberapa elemen masyarakat.
Hukum responsif sebagai jawaban atas masalah sosial seharusnya mampu diandalkan dalam memecahkan masalah sosial berkaitan dengan kenakalan remaja dimana hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan, namun lebih menekankan aspek pemecahan masalah sosial yang kontekstual yang memikirkan kenyataan-kenyataan empiris yang terjadi di masyarakat. Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam tipe hukum ini, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat dalam peraturan dan kebijakan, karena pada dasarnya teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan.
Hukum responsif tidak hanya berorientasi pada rules, tapi juga logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis. Produk hukum yang berkarakter responsif, proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu ataupun kelompok masyarakat, dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat.
Kenakalan remaja sebagai salah satu bentuk negatif akibat perubahan sosial mampu diatasi dengan penerapan system hukum responsif dimana dalam pembuatannya yang melibatkan masyarakat luas diharapkan mampu memberi warna yang sesuai dengan fenomena di masyarakat. Hukum yang responsif harus mampu menyelesaikan kewajibannya untuk menuntasakan masalah sosial salah satunya kenakanalan remaja. Beberapa kasus terbaru yang terjadi di masyarakat belum tersentuh hukum yang sesuai dengan apa yang dicita-citakan hukum yang responsif.
Upaya penegakan supremasi hukum yang sangat mendasar adalah perbaikan struktur aparatur hukumnya, sementara peraturan perundang-undangan bisa dilakukan sambil jalan tetapi aparatur hukumnya adalah sangat mendesak yaitu perbaikan moralitas dan komitmen sebagai seorang penegak hukum sehingga bisa bertanggung jawab secara moral, dan bukan justru jabatan penegak hukum sebagai lahan yang empuk, untuk menumpuk kekayaan diri sendiri. Para penegak hukum di Indonesia terkesan hanyalah menjadi perangkat hukum ibarat sarang laba-laba yang hanya mampu menjerat orang-orang kecil, para fakir miskin, pencuri kelas kecil, orang-orang bodoh dan kejahatan yang pada umumnya dilakukan oleh masyarakat kelas bawah. Namun kalau berhadapan dengan petinggi negara atau penjahat kelas atas atau koruptor, hukum tidaklah berarti sebagai suatu perangkat untuk menegakan keadilan, serta sangat jelas tidak ada komitmen moralitas untuk itu. Jadi semuanya relatif bisa teratasi kalau komitmen moralitas sebagai aparat penegak hukum atau aparat pemerintah bisa diwujudkan dengan baik.
Sesungguhnya penegakan hukum itu berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian serta ketentraman di dalam masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu masyarakat bukan saja dapat mempengaruhi tetapi sangat menentukan penegakan supremasi hukum. Oleh karena itu tidaklah cocok kalau aparat pembuat dan penegak hukum hanya berkiblat kepada aliran legisme atau legal posirivism.
Salah satu fenomena sosial terkait kenakalan remaja yang menjadi sorotan publik beberapa waktu lalu yaitu terkait pengadaan acara pool party oleh sebuah EO di Jakarta. Sekilas hal ini tidak secara langsung menjadi bagian dari kenakalan remaja itu sendiri, namun apabila ditelisik lebih mendalam bagaimana tingkah laku dari para peserta party ini di invitation video terlihat jelas bahwa remaja SMA yang baru saja lulus ini sudah di luar batas dalam bergaul dengan lawan jenisnya. Tidak berhenti disitu, pesta yang mengikutsertakan beberapa SMA di Jakarta tersebut juga membuat Gubernur Jakarta Basuki Tjahya angkat bicara dan menyuruh untuk membubarkan segala bentuk kegiatan pesta yang akan hendak berlangsung 25 April itu.
“Nuansa yang diberikan pun cukup gelap. Sesuai tema yang diberikan, para tamu yang hadir pun mengenakan bikini. Suasana semakin ramai dengan iringan musik beraliran electro. Para tamu menari seksi atau berdansa bersama pasangannya masing-masing, atau bersama rekan-rekannya.” (Pratomo, Yulistyo. “Begini Liarnya Pool Party para ABG di Jakarta”. 23 April 2015. http://www.merdeka.com/peristiwa/begini-liarnya-pool-party-para-abg-di-jakarta.html. 10 Juni 2015)
Fenomena pool party masuk dalam kategori kenakalan remaja karena objek masalah ini berkaitan langsung dengan remaja kota Jakarta dimana perilaku yang dilakukan sudah di luar norma yang berlaku di masyarakat. Kasus pool party ini merupakan bentuk dari lemahnya pengawasan hukum akan fenomena sosial di sekitar kita. Sebagai seorang pelajar yang sudah seharusnya mendapat pengawasan ekstra dari orang tua justru terjun bebas ke dalam aktivitas yang dikecam masyarakat. Fenomena ini bisa dijadikan pelajaran berharga agar pendidikan tidak kecolongan lagi sehingga tidak ada lagi acara seperti ini di masa mendatang. Pendidikan semestinya bukan hanya membangun intelegensi semata. Pool party, seks bebas, tawuran, dan segala macam bentuk kenakalan remaja mengindikasikan ada yang salah dengan tatanan hukum kita. Hukum tidak hanya sebagai alat control semata namun juga perlu untuk menjadi alat evaluasi dan bentuk upaya preventif dalam mencegah hal yang sama untuk tidak terjadi lagi kedepannya.
Fenomena sosial pool party yang terjadi di Jakarta ini bukanlah yang pertama kali, namun di Jakarta itu sendiri pernah bahkan sering ada kegiatan yang melanggar kaidah sosial ini. Hal ini baru mencuat ke public ketika berita ini menjadi santer terdengar di media sosial dimana tingkat penyebaran berita melalui media sosial khususny di Indonesia beberapa tahun ke belakang ini sudah sangat cepat. Hal ini merupakan bentuk perubahan yang berdampak positif tentunya walau di sisi lain hal ini juga menimbulkan dampak negatif yang luar biasa di masyarakat. Kemajuan teknologi yang turut mengambil andil dari setiap perubahan nampaknya tidak bisa begitu saja disalahkan karena bukan pada teknologinya yang harus diperhatikan namun lebih kepada penggunaan dari teknologi yang harus lebih diwaspadai.
Bentuk perubahan sosial lain yang juga menyita perhatian masyarakat beberapa bulan ke belakang ini yaitu kasus begal. Begal menjadi topik paling hangat dalam lingkup gangguan kamtibmas dalam beberapa bulan terakhir ini. Nyaris setiap hari terjadi pembegalan motor di berbagai, hampir setiap hari pula polisi meringkus dan menembak mati penjahat jalanan. Tapi kejahatan jalan terus saja terjadi, mati satu tumbuh seribu.
Fenomena pembegalan atau perampasan sesungguhnya sudah lama terjadi. Polisi memetakan pelaku kejahatan ini berdasarkan daerah asal mereka, yakni Lampung Timur. Polisi punya bukti, begal yang tertangkap di Jakarta, Tangerang, Bekasi dan lainnya, rata-rata berasal dari Lampung Timur, meski banyak juga yang berasal dari daerah lain. Dalam perkembangannya, pembegalan motor tidak hanya di Jabodetabek, melainkan hampir ke semua daerah. Di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi, dan sejumlah wilayah lainnya. Modusnya sama, mengancam akan membunuh pengendara motor bila tidak mau menyerahkan hartanya.
Fenomena begal sesungguhnya tidak bisa dipandang dari sisi keamanan saja. Berbagai analisis menyebutkan, kejahatan lahir dari banyak sebab. Persoalan ekonomi, sosial, pendidikan, dan gaya hidup kerap berkorelasi dengan munculnya kriminalitas. Bila kita lihat sejumlah tersangka yang ditangkap polisi, rata-rata berusia muda, bahkan ada yang berstatus pelajar. Artinya, fenomena kejahatan mulai bergeser, dari semula pelakunya orang dewasa dan penjahat profesional, kini justru anak-anak muda. Pelaku yang ditangkap mengaku mereka menjambret atau merampas motor, untuk mencari uang buat mabuk, beli HP model terbaru serta hura-hura. Hedonisme rupanya telah menjerumuskan mereka ke dunia kejahatan. Generasi muda tak mampu menahan gempuran hedonisme. Begal tidak hanya persoalan kamtibmas, melainkan juga masalah sosial. Pemerintah dan seluruh komponen bangsa ikut bertanggung jawab. Pendidikan di dalam rumah, adalah yang paling penting untuk membentuk karakter anak di samping pendidikan di sekolah.
Kriminolog dari Universitas Indonesia, Hamidah Abdurrahman mengatakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat beberapa jenis pencurian. Menurut dia, dalam KUHP juga mengatur sanksi berbeda bagi setiap jenis pencurian. Menurut Hamidah, pencurian dalam KUHP dibagi dalam 6 pasal, yaitu Pasal 362 sampai 367. Pasal 362, yang merupakan pasal yang digunakan polisi untuk menjerat pelaku pencurian biasa. Hamidah mengatakan, pencurian dengan unsur pemberatan ialah seperti pencurian ternak, pencurian yang dilakukan pada waktu kebakaran, letusan, banjir gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang, pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, serta pencurian yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak. Hamidah menuturkan pelaku pembegalan bisa dijerat dengan Pasal 365 karena sebelum mengambil motor milik orang lain, begal memberikan ancaman hingga melakukan kekerasan pada korbannya. Bahkan jika begal tersebut mengakibatkan kematian korbannya maka dia bisa diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun hingga pidana mati atau seumur hidup. (Suwarso, Indrianto Eko. “Apa Saja Ancaman Hukuman untuk Begal Motor”. 25 Februari 2015. http://www.tempo.co/read/news/2015/02/25/064645236/Apa-Saja-Ancaman-Hukuman-untuk-Begal-Motor. 11 Juni 2015)
Kasus begal yang bahkan saat ini sudah menyentuh para remaja yang masih duduk di sekolah tingkat menengah hingga atas memang benar terjadi adanya. Kasus yang terjadi di Batam ini misalnya, melibatkan tujuh siswa sekolah yang satu diantaranya bahkan masih tingkat sekolah dasar. Miris memang, namun hal ini benar terjadi di Indonesia. Seperti dilansir Antara News beberaa waktu lalu yang memberitakan penangkapan sepuluh tersangka pembegalan di Batam ini.
Polsek Nongsa Kota Batam menangkap sepuluh orang pelaku kasus pencurian dan jual beli kendaraan bermotor. Dari sepuluh orang tersebut, tujuh diantaranya masih di bawah umur. Bahkan, salah satu pelaku masih duduk di kelas enam SD. “Mereka adalah GR, RH, RM, OJ, HK, ST, SH, ST, EL, dan RI. Secara keseluruhan tujuh masih anak-anak antara 14-17 tahun, bahkan satu masih kelas enam SD. Penangkapan salah seorang pelaku pada 20 Mei, setelah pengembangan diamankan 10 orang ini," kata Kapolsek Nongsa Kota Batam, Kompol Arthur Sitindaon di Batam, Seperti dilansir Antara, Minggu (24/5). (Andwika, Rizky. “Jadi Begal, 7 Bocah SMP & SMA di Batam Dibekuk Polisi”. 25 Mei 2015. http://www.merdeka.com/peristiwa/jadi-begal-7-bocah-smp-sma-di-batam-dibekuk-polisi.html. 11 Juni 2015)
Bentuk sanksi yang telah diberikan bagi para pelaku yang notabenenya masih di bawah umur ini memang berupa ketentuan deviasi sesuai dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 pasal 7 ayat 1 tentang system peradilan anak dimana pelaku dan korban akan dipertemukan untuk bermediasi hingga ditemukan kesepakatan untuk berdamai serta anak-anak yang terlibat akan diberikan sanksi kegiatan sosial berupa membersihkan tempat ibadah, makam, dan lingkungan dengan pengawasan tentunya. Hal ini diharapkan dapat menimbulkan kesadaran bagi pihak yang terlibat. Tentu bukan pelemahan atau penghilangan sanksi, namun lebih kepada pencegahan tahap pertama dengan tidak membawanya ke dalam kasus pidana.
Perubahan sosial yang cenderung revolutif tak ayal berdampak di berbagai bidang kehidupan, tak terkecuali pada alat perubahan itu sendiri. Media telekomunikasi, sebagai contoh internet dalam penggunaannya yang sudah menyentuh tiap elemen masyarakat dari usia belia hingga orang tua dimanfaatkan pula untuk media penipuan. Berkedok hadiah jutaan bahkan miliaran rupiah sudah tidak asing lagi di dunia maya. Tidak hanya di beberapa situs dewasa yang terkadang lebih banyak penggunanya, tapi juga merambah di berbagai situs anak hingga remaja yang masih lemah kotrol. Penggunaan internet yang tak terbatas dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk melakukan aksi penipuan. Korbannya pun tak tanggung-tanggung, mulai dari anak-anak hingga dewasa akhir menjadi sasaran pelaku. Mungkin masih jelas di ingatan atau bahkan masih sering terjadi, penipuan berkedok hadiah jutaan via pesan singkat hingga telepon beberapa waktu lalu. Hal baru menyertai seiring kemajuan teknologi dan penggunaan internet berlebih yaitu penipuan online shop.
Teknologi informasi telah membuka mata dunia akan sebuah dunia baru, interaksi baru, market place baru, dan sebuah jaringan bisnis dunia yang tanpa batas. Disadari betul bahwa perkembangan teknologi yang disebut internet, telah mengubah pola interaksi masyarakat, yaitu interaksi bisnis, ekonomi, sosial, dan budaya. Internet telah memberikan kontribusi yang demikian besar bagi masyarakat, perusahaan/ industri maupun pemerintah. Hadirnya internet telah menunjang efektifitas dan efisiensi operasional perusahaan, terutama peranannya sebagai sarana komunikasi, publikasi, serta sarana untuk mendapatkan berbagai informasi yang dibutuhkan oleh sebuah badan usaha dan bentuk badan usaha atau lembaga lainya. Dampak positif dari sebuah teknologi internet di Indonesia yaitu dapat memudahkan pencarian informasi, artikel, lowongan pekerjaan, dan masih banyak lagi. Namun juga dampak negatif yang dilahirkan dari adanya internet kian tinggi.
Di zaman ketika internet seakan sudah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat, khususnya di daerah perkotaan, proses jual beli melalui internet tentu sudah tidak asing lagi. Internet bukan hanya konsumsi golongan tertentu saja seperti bertahun-tahun yang lalu, tapi sudah merambah ke masyarakat golongan menengah ke bawahProses jual beli melalu internet ini lazim disebut e-commerce. E-commerce atau Electronic Commerce atau EC pada dasarnya adalah bagian dari electronic business. EC merupakan suatu proses jual beli, transfer, atau pertukaran produk, servis, dan informasi yang dilakukan melalui jaringan komputer, termasuk internet. Business to Consumer (B2C) adalah transaksi yang terjadi antara perusahaan dengan pembeli. Setiap tahunnya ada saja teknologi baru yang muncul entah dalam bentuk komputer desktop, laptop, handphone, iPhone, dan bermacam-macam gadget lainnya. Perkembangannya yang cepat membuat harga gadget tersebut pun semakin murah karena kemudian kalah canggih dengan gadget lain. Hal ini membuat barang-barang tersebut terjangkau oleh masyarakat. Ditambah dengan akses internet yang mudah, internet menjadi hal yang tidak asing lagi.
Berkedok situs belanja online yang kian diminati seiring berkembangnya zaman, pelaku memanfaatkan para ibu yang senang berbelanja dengan membuat situs belanja online yang tidak terdaftar secara resmi. Parahnya, ibu-ibu yang menyukai hal praktis kerap menjadi korban penipuan berkedok online shop ini. Ciri yang dibawa untuk tidak saling bertatap muka ketika bertransaksi membuat penipuan jenis ini menjadi sulit untuk diungkap. Bahkan pada beberapa kasus sulit ditemukannya tersangka karena keterbatasan informasi yang diberikan pelapor karena memang pelaku penipuan telah lebih ahli untuk menutupi segala bentuk transaksi yang kesemuanya melalui interaksi tidak langsung.
Hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan sedikit kemajuan dalam menyikapi dan menanggulangi maraknya cybercrime ini, terutama dalam proses penegakan hukumnya. Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah memberikan sedikit solusi atas kekosonga hukum acara pidana pada perkara-perkara cybercrime, walau pada praktiknya masih banyak kendala yang dihadapi para penegak hukum dalam melakukan proses pembuktian karena sulitnya mendapatkan bukti yang dianggap sah secara hukum, keterbatasan sumber daya manusia dari penegak hukum itu sendiri dalam menggunakan teknologi informasi untuk mencari suatu hal yang dapat dijadikan alat bukti yang sah pada perkara cybercrime merupakan factor utama upaya penegakan hukum ini sulit.
Indonesia sebagai negara hukum masih menganut system hukum positif dimana hukum positif merupakan produk politik karena cirinya yang dibuat legislatif dan lahir dari proses politik. Sebagai produk politik, hukum menjadi sangat kental dengan kepentingan, sehingga melahirkan anggapan baru tentang pandangan equality before the law akan sulit untuk diterapkan sebab logika politik harus ada yang berkuasa dan ada yang dikuasai. Akibatnya, hukum akan memandang status sosial subjek hukum, penegakan hukum pun akan mengalami diskriminasi terhadap manusia itu sendiri (Ibnu Khaldun, 2003: 232-234).
Ada suatu anggapan yang salah mengenai kepatuhan terhadap hukum yang diartikan sama dengan kesadaran hukum padahal kepatuhan hukum lebih disebabkan oleh keterpaksaan karena ada institusi negara yang memaksanya, sedangkan kesadaran hukum lahir dari jiwa yang ikhlas untuk mengikuti hukum yang diyakininya benar. Kepatuhan terhadap hukum karena terpaksa bisa jadi akan berubah jika subjek hukum mempunyai kekuatan dan legitimasi untuk melanggarnya, sedangkan kesadaran akan hukum berlaku untuk selamanya karena subjek hukum menerima hukum dengan ikhlas.
Mengenai kekakuan prosedural legalistic hukum positif, Lawrence M. Friedman menyatakan hukum bukanlah satu-satunya yang bisa memberikan hukuman atau imbalan masih ada keluarga, teman-teman, rekan kerja dan seluruh aspek hidup masyarakat (Lawrence M. Friedman, 2009: 139). Seperti dalam kasus begal di atas, hukuman tidak langsung diberikan oleh hukum itu sendiri melainkan diserahkan kembali kepada pihak yang terlibat dalam hal ini korban dengan didampingi pihak kepolisian memberikan sanksi kegiatan sosial mengingat usia tersangka begal masih terbilang belum cukup umur untuk menjalani hukum pidana.
Hukum formal legalis yang procedural biasanya mendengungkan slogan persamaan hukum, namun pada prakteknya hukum formal sulit untuk memberikan keadilan bagi masyarakat yang lemah, sebab kelas yang lebih kaya akan lebih diperhatikan (Max Weber, 2009: 264-265). Hal ini kerap terjadi di beberapa kasus di Indonesia dimana hukum melindungi si kaya dan menjerat si miskin. Hukum dapat diperjualbelikan bagi siapapun yang mampu membelinya dan hukum akan terasa menjerat kaum bawah dengan ketidakberdayaan kaum bawah melawan bahkan membeli hukum, maka yang terjadi seperti kasus-kasus korupsi yang marak di Indonesia, si kaya dengan korupsinya bermiliaran dihukum dengan sangat ringan sedangkan si miskin dengan segala keterbatasannya harus merasakan hukuman yang dirasa sangat tidak adil karena mengambil sedikit yang bukan haknya.
Transformasi sosial manusia Indonesia yang begitu cepat akan sulit terkejar oleh hukum positif yang kaku, maka hukum terkesan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga boleh dikatakan hukum telah gagal menjalankan perannya sebagai pengatur pranata masyarakat. Kekakuan hukum menyebabkan sulitnya keadilan ditegakkan karena dia tidak dapat lagi menentukan hukuman ataupun kewajiban yang semestinya dan dengan layak sebab dalam setiap tata kebijakan semuanya telah diatur secara terperinci oleh peraturan tertulis, kalaupun ad inisiatif untuk mengubahnya akan memerlukan dana, tenaga, dan waktu tambahan sehingga hukum akan jauh dari kata efektif, efisien, serta terkesan boros anggaran. Sehingga yang terjadi apa yang ditulis bukanlah hukum namun lebih disebut hukum cacat oleh pemikiran hukum progresif.
Kelemahan hukum positif dalam system hukum cukup banyak, khususnya dalam system hukum di Indonesia, namun ada juuga kelebihan yang dimilikinya. Kelebihan utama hukum positif terletak pada kepastian hukumnya, hukum memiliki suatu standart tertulis dan manusia tidak bisa lepas dari keterikatan terhadap hukum tersebut. Pada kepastian hukum inilah sebenarnya titik kelemahan dari pemikiran hukum progresif dimana hukum progresif menganggap bahwa keadilan tidak hanya di pengadilan, tapi di mana-mana dan itulah kelebihan utama dari pemikiran hukum progresif. Anggapan ini bisa menjerumuskan jika diartikan secara artifisial dan tidak bertanggung jawab sebab pemberian dekresi yang berlebihan akan menyebabkan hukum akan kehilangan fungsinya sebagai control sosial. Hukum tidak lagi mampu mengatur masyarakat karena penafsiran yang bebas terhadap keadilan, maka jadilah suatu struktur sosial kembali pada hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menag karena aturan bersifat fleksibel. Jean Jacque Rousseau dalam Du Contracy Social mengatakan, bahwa jika hanya menuruti nafsu naluriah berarti perbudakan, sedangkan kepatuhan terhadap hukum yang kita tentukan untuk diri kita sendiri adalah kebebasan (Jean Jacque Rousseau, 2007: 32).
Hukum responsif dengan segala prospek dan tantangannya di atas menunjukkan lebih jauh sifat hukum responsif yang melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan rakyat itu sendiri. System hukum yang masih berupa system hukum positif membuat hukum responsif sedikit sulit untuk menyentuh elemen pemerintahan untuk menjadi hukum yang mutlak bagi Indonesia yang mampu memberikan antisipasi atas setiap perubahan terus terjadi seiring perkembangan zaman. System hukum positif yang berlawanan dengan system hukum responsif nampaknya akan sulit untuk bisa diterapkan sepenuhnya di Indonesia untuk mendampingi perubahan sosial masyarakat.

Sumber Buku:
Friedman, Lawrence M. 2009.  Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, terj. M. Khozim. Bandung: Nusa Media
Khaldun, Ibnu. 2003 Muqaddimah. Terj. Ahmadie Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Rousseau, Jean Jacques. 2007. Du Contract Social. Terj. Vincent Bero. Jakarta: Visimedia.
Sabian Usman. 2009. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Satjipto, Raharjo. 2009. Hukum dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Genta Publishing
Soerjono Soekanto. 2004.  Sosiologi, Suatu Pengantar. Jakarta:  RajaGrafindo Persada.
Weber, Max. 2009. Sosiologi, terj. Noorkholis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumber Internet:
Andwika, Rizky. “Jadi Begal, 7 Bocah SMP & SMA di Batam Dibekuk Polisi”. Dalam http://www.merdeka.com/peristiwa/jadi-begal-7-bocah-smp-sma-di-batam-dibekuk-polisi.html. 2015
Pratomo, Yulistyo. “Begini Liarnya Pool Party para ABG di Jakarta”. Dalam http://www.merdeka.com/peristiwa/begini-liarnya-pool-party-para-abg-di-jakarta.html. 2015
Suwarso, Indrianto Eko. “Apa Saja Ancaman Hukuman untuk Begal Motor”. Dalam http://www.tempo.co/read/news/2015/02/25/064645236/Apa-Saja-Ancaman-Hukuman-untuk-Begal-Motor. 2015
Sumber Undang-Undang:
Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Share:

0 komentar:

Post a Comment