Perubahan sosial senantiasa membawa pengaruh yang signifikan
terhadap peraturan perundang-undangan baik itu dalam skala kecil hingga besar.
Perubahan sosial selalu mengiringi masyarakat yang bersifat dinamis dimana
perubahan mampu membawa dampak positif bagi kelangsungan hidup suatu masyarakat
walau tidak selamanya dampak dari perubahan itu mengarah pada kebaikan hidup
bersama. Hukum melayani kebutuhan masyarakat agar tidak ketinggalan dalam laju
perkembangan masyarakat. Berbagai
masalah sosial yang lahir di masyarakat yang rentan akan perubahan membutuhkan
suatu hukum yang tidak hanya mampu mengatur tatanan yang tidak sesuai namun
juga mampu memberikan pengaruh signifikan bagi aturan yang lain dimana peran
hukum mampu mewujudkan keadilan substantif di pengadilan. Dalam mewujudkannya,
peran hukum harus lebih bisa responsif menjawab setiap fenomena sosial
masyarakat dengan memberikan pemecahan solutif agar kedepannya segala bentuk
perubahan yang berdampak negatif dapat dengan mudah teratasi tanpa menyebabkan
masalah-masalah lain yang mungkin timbul setelahnya.
Hukum responsif sebagai jawaban atas masalah sosial seharusnya mampu diandalkan dalam memecahkan masalah sosial berkaitan dengan berbagai permasalahan sosial dimana hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan, namun lebih menekankan aspek pemecahan masalah sosial yang kontekstual yang memikirkan kenyataan-kenyataan empiris yang terjadi di masyarakat. Hukum responsif berorientasi pada hasil, dan tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Indonesia sebagai negara hukum masih menganut system hukum positif dimana hukum positif merupakan produk politik karena cirinya yang dibuat legislatif dan lahir dari proses politik. Sebagai produk politik, hukum menjadi sangat kental dengan kepentingan, sehingga melahirkan anggapan baru tentang pandangan equality before the law akan sulit untuk diterapkan sebab logika politik harus ada yang berkuasa dan ada yang dikuasai. Akibatnya, hukum akan memandang status sosial subjek hukum, penegakan hukum pun akan mengalami diskriminasi terhadap manusia itu sendiri. System hukum positif yang berlawanan dengan paradigma hukum responsif akan sulit untuk bisa menjadi pemecahan masalah yang solutif perubahan sosial yang berdampak pada kemunduran bangsa.
Kata Kunci:
Perubahan sosial, pengaruh, hukum responsif, penegakan hukum
Masyarakat dunia dewasa ini rentan
terhadap segala bentuk perubahan baik yang bersifat konstruktif maupun
destruktif. Proses terjadinya perubahan pada masyarakat ini merupakan suatu
gejala yang normal terjadi dimana pengaruhnya menjalar dengan cepat ke setiap
bagian lain dari dunia. Dengan adanya perubahan melalui teknologi khususnya
telah membawa dampak positif di bidang komunikasi. Komunikasi menjadi kian
mudah untuk dilakukan dengan atau tanpa kontak langsung, dengan adanya
teknologi yang mutakhir sangat dimungkinkan untuk dapat berinteraksi dengan
orang walaupun jaraknya terbilang cukup jauh.
Dengan adanya teknologi yang menjadi
alat perubahan dimungkinkan perkembangan suatu negara juga kian cepat. Bentuk
masyarakat yang dinamis akan membuat perubahan kian cepat terjadi dan mampu
meminimalisir terjadinya perubahan yang bersifat destrukif. Masyarakat yang
dinamis dapat mengalami perubahan dengan kurun waktu yang cepat dan cenderung
menerima perubahan dengan selektif sesuai dengan kaidah yang berlaku di
masyarakat. Perubahan yang terjadi tidak selamanya membawa kemajuan bagi suatu
masyarakat hingga negara, akan tetapi dapat menjadi suatu kemunduran dari
masyarakat itu sendiri yang menyangkut bidang-bidang tertentu.
Selo Soemardjan (1962: 379)
merumuskan perubahan sosial sebagai suatu perubahan yang terjadi pada
lembaga-lembaga sosial di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi system
sosialnya termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola perikelakuan
di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Rumusan perubahan sosial tersebut
menunjukkan bahwa tekanan diletakkan pada lembaga-lembaga sosial sebagai
himpunan kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada
kebutuhan-kebutuhan pokok manusia dimana perubahan tersebut mempengaruhi
segi-segi lainnya dari struktur masyarakat.
Masyarakat mempunyai sifat yang
dinamis, ia selalu ingin berkembang dan berubah. Irama perubahan tersebut ada
yang lambat, ada yang sedang, ada yang cepat karena dipacu oleh perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertumbuhan ekonomi. Akibatnya pola-pola
interaksi yang terjadi antara kelompok-kelompok masyarakat pun semakin
kompleks. Gejala sosial sendiri tidak terlepas dari unsur sosial yakni struktur
sosial dan proses sosial. Hal ini dimaksud karena dalam suatu struktur sosial
otomatis terdiri dari beberapa bagian yang secara sistematis mempengaruhi suatu
gejala sosial. Bagian yang dimaksud adalah kebudayaan, lembaga sosial,
kekuasaan, kelompok sosial dan lapisan sosial.
Perubahan baik itu secara langsung
maupun tidak langsung tentu dipengaruhi oleh berbagai factor. Apabila dikaji
lebih mendalam mengenai pengaruh dari perubahan itu sendiri, maka bisa
dipastikan bahwa factor pemuasan merupakan factor utama dari sebuah perubahan
dimana lahirnya factor baru akan mampu memuaskan factor lama dan hal ini
berlangsung secara terus-menerus yang membuat perubahan terus terjadi. Di sisi
lain, perubahan dapat bersumber dari dari masyarakat itu sendiri serta ada pula
yang bersumber dari luar masyarakat yang bersangkutan. Factor perubahan sosial
dapat berbentuk fisik dan non-fisik yang kesemua itu membawa dampak langsung di
suatu masyarakat yang terkait. Dari sekian factor yang mempengaruhi perubahan
sosial di masyarakat, terdapat beberapa factor pendorong dan penghambat yang
memberikan arah bagi perubahan apakah mampu menjadi perubahan yang positif atau
sebaliknya.
Perubahan sosial dan dampaknya yang beragam
merupakan masalah yang perlu untuk diberikan solusi yang efektif. Sebagai
sebuah negara yang mengalami berbagai perubahan, signifikan, perlu untuk
memiliki sebuah aturan atau tatanan untuk menyikapi segala bentuk perubahan.
Upaya yang dapat dilakukan untuk menangani berbagai fenomena perubahan sosial
salah satunya ialah penerapan sanksi. Sanksi fisik hingga sosial bagi setiap
pelaku yang melanggar kaidah norma hukum dengan tidak mengindahkan dampak
negatif yang mungkin terjadi di masyarakat. Pemberian sanksi/ hukuman
selayaknya diberikan sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan dengan adil
dan tidak membeda-bedakan. Sanksi tidak hanya diberikan bagi pelanggar aturan/
norma, namun juga bisa diberikan bagi setiap pelaku perubahan yang berbau negatif
dan merugikan. Dengan memberikan sanksi hukum diharapkan mampu meminimalisir
segala bentuk perubahan sosial negatif dan merusak tatanan masyarakat.
Peran hukum sebagai social control
disini sangat diperlukan manakala sebuah perubahan tidak lagi memberikan dampak
positif di dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum dituntut untuk bisa memecahkan
masalah sosial seperti protes massal, kemiskinan, kriminalitas, dan sebagainya.
Selama ini hukum hanya dipahami sebagai aturan yang bersifat kaku dan terlalu
menekakan pada aspek system tanpa melihat kaitan ilmu hukum dengan masalah yan
harus ditangani. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari
penguasa, di sisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek
legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal seharusnya teori hukum
tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh
sosial.
Berbagai masalah sosial yang lahir di
masyarakat yang rentan akan perubahan membutuhkan suatu hukum yang tidak hanya mampu
mengatur tatanan yang tidak sesuai namun juga mampu memberikan pengaruh
signifikan bagi aturan yang lain dimana peran hukum mampu mewujudkan keadilan
substantif di pengadilan. Dalam mewujudkannya, peran hukum harus lebih bisa
responsif menjawab setiap fenomena sosial masyarakat dengan memberikan
pemecahan solutif agar kedepannya segala bentuk perubahan yang berdampak
negatif dapat dengan mudah teratasi tanpa menyebabkan masalah-masalah lain yang
mungkin timbul setelahnya.
Indonesia menjadi terkenal di dunia
sebagai Negara yang sistem hukum yang sangat buruk. Yang dimaksud disini lebih
kepada pembangunan yang belum kunjung selesai adalah bagaimana menjadikan
negara hukum itu suatu organisasi yang secara substansial maupun menjadi rumah
yang menyenangkan, mensejahterakan dan membahagiakan bagi bangsa Indonesia.
Menjadi Negara Hukum yang sebenarnya adalah suatu proses panjang karena
menyangkut perubahan perilaku tatanan sosial dan kultur. Hukum dan Negara Hukum
Modern membutuhkan suatu predisposisi sosial dan kultural tertentu untuk bisa
berhasil dengan baik. Menelusuri teori-teori hukum aliran positivisme dan
perkembang kritik-kritiknya khusus berkaitan dengan kasus-kasus penegakan hukum
di Indonesia. Hal ini terjadi karena praktisi maupun teoritis hukum di
Indonesia tampaknya masih terjerembab kepada paradigma tunggal positivisme yang
tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang berjalan dengan tabel
hidup karakteristik manusia yang dinamis dan multi kepentingan baik proses
maupun pada peristiwa hukumnya.
Hukum tidak bisa dilepaskan dari
sejarah manusia, maka sudah sangat jelas bahwa perkembangan dan perubahan hukum
tidak lepas dari dinamika sosial dengan segala kepentingan yang sesungguhnya
berada dibelakang hukum. Hukum itu tidak bisa dielakkan, selalu berkembang,
namun perkembangannya tidak bisa dipastikan berkembang kepada arah tertentu,
tetapi yang jelas pada akhirnya juga membawa perubahan setelah bertarungnya
berbagai kepentingan yang berada dibelakang hukum itu sendiri. Kalau kita
menyorak bagaimana Indonesia berhukum, maka sudah barang tentu tidak ada yang
boleh mendikte bagaimana suatu bangsa seharusnya berhukum, namun bagaimana
karakteristik bangsa Indonesia sendirilah yang menentukan hukum dan perubahannya.
Dewasa ini, fenomena kenakalan remaja
menjadi focus utama perhatian pemerintah dimana semakin besar pengaruh asing
masuk ke suatu negara berkembang, maka perubahan menjadi tidak terelakkan.
Salah satu bentuk perubahan yang menjadi perhatian pemerintah adalah ketika
perubahan tersebut memberikan dampak yang luar biasa terhadap perkembangan
bangsa termasuk di dalamnya masyarakat. Kenakalan remaja sebagai bentuk nyata
dari perubahan sosial negatif telah banyak mendapat sorotan selama beberapa
tahun terkahir. Tingginya angka kenakalan remaja beberap tahun terakhir membuat
pemerintah kian kesulitan mencari solusi yang efektif untuk mencegah dampaknya.
Fenomena kenakalan remaja yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat ini
bukanlah masalah yang hanya dialami oleh sebagian besar negara berkembang
seperti Indonesia. Fenomena kenakalan remaja bahkan banyak dijumpai di beberapa
negara maju dimana hukum seakan tidak berjalan semestinya. Bukan perkara
lemahnya aturan hukum, namun lebih kepada tingkat kesadaran masyarakat dalam
menyikapi setiap fenomena sosial sebagai hal yang lumrah hingga tidak disadari
hal tersebut malah membuat generasi muda menyalahartikan bentuk dan pengaruh
perubahan.
Kesadaran hukum yang lemah dapat
memicu masalah sosial yang tidak hanya berdampak sesaat saja namun dampak yang
ditimbulkan dapat berlangsung cukup lama bahkan menjadi hal yang akan terjadi
berkesinambungan karena lemahnya pengawasan hukum. Di Indonesia sendiri
ksadaran hukum masih sangat kurang dimana sebagian besar masyarakat menganggap
hukum bukan satu-satunya control sosial yang harus selalu dipatuhi karena daya
ikat yang dirasa masih lemah dan berpihak pada beberapa kalangan masyarakat
kelas atas. Hal ini mengundang ketidakpedulian masyarakat akan adanya norma
hukum yang berlaku dan membuat hukum seakan hilang fungsinya. Hukum yang adil
dan menyentuh semua elemen masyarakatlah yang saat ini diperlukan dari adanya
suatu norma hukum di masyarakat agar segala bentuk fenomena sosial dapat
teratasi sebagaimana fungsi hukum yang seharusnya dengan tetap sesuai aturan
yang berlaku dan tidak berpihak pada beberapa elemen masyarakat.
Hukum responsif sebagai jawaban atas
masalah sosial seharusnya mampu diandalkan dalam memecahkan masalah sosial
berkaitan dengan kenakalan remaja dimana hukum tidak hanya mengandung unsur
pemaksaan dan penindasan, namun lebih menekankan aspek pemecahan masalah sosial
yang kontekstual yang memikirkan kenyataan-kenyataan empiris yang terjadi di
masyarakat. Hukum
responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar
hukum. Dalam tipe hukum ini, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan
melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai
tersirat dalam peraturan dan kebijakan, karena pada dasarnya teori hukum
responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini
berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan.
Hukum
responsif tidak hanya berorientasi pada rules, tapi juga
logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja
tidak cukup, tapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial dan
ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan
hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri
dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis. Produk hukum yang
berkarakter responsif, proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni
mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari
segi individu ataupun kelompok masyarakat, dan juga harus bersifat aspiratif
yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat.
Kenakalan remaja sebagai salah satu
bentuk negatif akibat perubahan sosial mampu diatasi dengan penerapan system
hukum responsif dimana dalam pembuatannya yang melibatkan masyarakat luas
diharapkan mampu memberi warna yang sesuai dengan fenomena di masyarakat. Hukum
yang responsif harus mampu menyelesaikan kewajibannya untuk menuntasakan
masalah sosial salah satunya kenakanalan remaja. Beberapa kasus terbaru yang
terjadi di masyarakat belum tersentuh hukum yang sesuai dengan apa yang
dicita-citakan hukum yang responsif.
Upaya penegakan supremasi hukum yang
sangat mendasar adalah perbaikan struktur aparatur hukumnya, sementara
peraturan perundang-undangan bisa dilakukan sambil jalan tetapi aparatur
hukumnya adalah sangat mendesak yaitu perbaikan moralitas dan komitmen sebagai
seorang penegak hukum sehingga bisa bertanggung jawab secara moral, dan bukan
justru jabatan penegak hukum sebagai lahan yang empuk, untuk menumpuk kekayaan
diri sendiri. Para penegak hukum di Indonesia terkesan hanyalah menjadi
perangkat hukum ibarat sarang laba-laba yang hanya mampu menjerat orang-orang kecil,
para fakir miskin, pencuri kelas kecil, orang-orang bodoh dan kejahatan yang
pada umumnya dilakukan oleh masyarakat kelas bawah. Namun kalau berhadapan
dengan petinggi negara atau penjahat kelas atas atau koruptor, hukum tidaklah
berarti sebagai suatu perangkat untuk menegakan keadilan, serta sangat jelas
tidak ada komitmen moralitas untuk itu. Jadi semuanya relatif bisa teratasi
kalau komitmen moralitas sebagai aparat penegak hukum atau aparat pemerintah
bisa diwujudkan dengan baik.
Sesungguhnya penegakan hukum itu
berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian serta ketentraman
di dalam masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu masyarakat bukan saja dapat
mempengaruhi tetapi sangat menentukan penegakan supremasi hukum. Oleh karena
itu tidaklah cocok kalau aparat pembuat dan penegak hukum hanya berkiblat
kepada aliran legisme atau legal posirivism.
Salah satu fenomena sosial terkait
kenakalan remaja yang menjadi sorotan publik beberapa waktu lalu yaitu terkait
pengadaan acara pool party oleh
sebuah EO di Jakarta. Sekilas hal ini tidak secara langsung menjadi bagian dari
kenakalan remaja itu sendiri, namun apabila ditelisik lebih mendalam bagaimana
tingkah laku dari para peserta party
ini di invitation video terlihat
jelas bahwa remaja SMA yang baru saja lulus ini sudah di luar batas dalam
bergaul dengan lawan jenisnya. Tidak berhenti disitu, pesta yang
mengikutsertakan beberapa SMA di Jakarta tersebut juga membuat Gubernur Jakarta
Basuki Tjahya angkat bicara dan menyuruh untuk membubarkan segala bentuk
kegiatan pesta yang akan hendak berlangsung 25 April itu.
“Nuansa yang diberikan pun cukup
gelap. Sesuai tema yang diberikan, para tamu yang hadir pun mengenakan bikini.
Suasana semakin ramai dengan iringan musik beraliran electro. Para tamu menari
seksi atau berdansa bersama pasangannya masing-masing, atau bersama
rekan-rekannya.” (Pratomo, Yulistyo. “Begini Liarnya Pool Party para ABG di
Jakarta”. 23 April 2015. http://www.merdeka.com/peristiwa/begini-liarnya-pool-party-para-abg-di-jakarta.html. 10 Juni 2015)
Fenomena pool
party masuk dalam kategori kenakalan remaja karena objek masalah ini
berkaitan langsung dengan remaja kota Jakarta dimana perilaku yang dilakukan
sudah di luar norma yang berlaku di masyarakat. Kasus pool party ini merupakan
bentuk dari lemahnya pengawasan hukum akan fenomena sosial di sekitar kita. Sebagai
seorang pelajar yang sudah seharusnya mendapat pengawasan ekstra dari orang tua
justru terjun bebas ke dalam aktivitas yang dikecam masyarakat. Fenomena ini
bisa dijadikan pelajaran berharga agar pendidikan tidak kecolongan lagi
sehingga tidak ada lagi acara seperti ini di masa mendatang. Pendidikan
semestinya bukan hanya membangun intelegensi semata. Pool party, seks
bebas, tawuran, dan segala macam bentuk kenakalan remaja mengindikasikan ada
yang salah dengan tatanan hukum kita. Hukum tidak hanya sebagai alat control
semata namun juga perlu untuk menjadi alat evaluasi dan bentuk upaya preventif
dalam mencegah hal yang sama untuk tidak terjadi lagi kedepannya.
Fenomena
sosial pool party yang terjadi di Jakarta ini bukanlah yang pertama
kali, namun di Jakarta itu sendiri pernah bahkan sering ada kegiatan yang
melanggar kaidah sosial ini. Hal ini baru mencuat ke public ketika berita ini
menjadi santer terdengar di media sosial dimana tingkat penyebaran berita
melalui media sosial khususny di Indonesia beberapa tahun ke belakang ini sudah
sangat cepat. Hal ini merupakan bentuk perubahan yang berdampak positif
tentunya walau di sisi lain hal ini juga menimbulkan dampak negatif yang luar
biasa di masyarakat. Kemajuan teknologi yang turut mengambil andil dari setiap
perubahan nampaknya tidak bisa begitu saja disalahkan karena bukan pada
teknologinya yang harus diperhatikan namun lebih kepada penggunaan dari
teknologi yang harus lebih diwaspadai.
Bentuk
perubahan sosial lain yang juga menyita perhatian masyarakat beberapa bulan ke
belakang ini yaitu kasus begal. Begal menjadi topik paling
hangat dalam lingkup gangguan kamtibmas dalam beberapa bulan terakhir ini.
Nyaris setiap hari terjadi pembegalan motor di berbagai, hampir setiap hari
pula polisi meringkus dan menembak mati penjahat jalanan. Tapi kejahatan jalan
terus saja terjadi, mati satu tumbuh seribu.
Fenomena pembegalan atau perampasan
sesungguhnya sudah lama terjadi. Polisi memetakan pelaku kejahatan ini
berdasarkan daerah asal mereka, yakni Lampung Timur. Polisi punya bukti, begal
yang tertangkap di Jakarta, Tangerang, Bekasi dan lainnya, rata-rata berasal
dari Lampung Timur, meski banyak juga yang berasal dari daerah lain. Dalam
perkembangannya, pembegalan motor tidak hanya di Jabodetabek, melainkan hampir
ke semua daerah. Di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi,
dan sejumlah wilayah lainnya. Modusnya sama, mengancam akan membunuh pengendara
motor bila tidak mau menyerahkan hartanya.
Fenomena begal sesungguhnya tidak
bisa dipandang dari sisi keamanan saja. Berbagai analisis menyebutkan,
kejahatan lahir dari banyak sebab. Persoalan ekonomi, sosial, pendidikan, dan
gaya hidup kerap berkorelasi dengan munculnya kriminalitas. Bila kita lihat
sejumlah tersangka yang ditangkap polisi, rata-rata berusia muda, bahkan ada
yang berstatus pelajar. Artinya, fenomena kejahatan mulai bergeser, dari semula
pelakunya orang dewasa dan penjahat profesional, kini justru anak-anak muda.
Pelaku yang ditangkap mengaku mereka menjambret atau merampas motor, untuk
mencari uang buat mabuk, beli HP model terbaru serta hura-hura. Hedonisme
rupanya telah menjerumuskan mereka ke dunia kejahatan. Generasi muda tak mampu
menahan gempuran hedonisme. Begal tidak hanya persoalan kamtibmas, melainkan
juga masalah sosial. Pemerintah dan seluruh komponen bangsa ikut bertanggung
jawab. Pendidikan di dalam rumah, adalah yang paling penting untuk membentuk
karakter anak di samping pendidikan di sekolah.
Kriminolog dari Universitas
Indonesia, Hamidah Abdurrahman
mengatakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
terdapat beberapa jenis pencurian. Menurut dia, dalam KUHP juga mengatur sanksi
berbeda bagi setiap jenis pencurian. Menurut Hamidah, pencurian dalam KUHP
dibagi dalam 6 pasal, yaitu Pasal 362 sampai 367. Pasal 362, yang merupakan
pasal yang digunakan polisi untuk menjerat pelaku pencurian biasa. Hamidah
mengatakan, pencurian dengan unsur pemberatan ialah seperti pencurian ternak,
pencurian yang dilakukan pada waktu kebakaran, letusan, banjir gempa bumi, atau
gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta
api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang, pencurian pada waktu malam
dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, serta pencurian
yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak
dikehendaki oleh yang berhak. Hamidah menuturkan pelaku pembegalan bisa dijerat
dengan Pasal 365 karena sebelum mengambil motor milik orang lain, begal
memberikan ancaman hingga melakukan kekerasan pada korbannya. Bahkan jika begal
tersebut mengakibatkan kematian korbannya maka dia bisa diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun hingga pidana mati atau seumur hidup.
(Suwarso, Indrianto Eko. “Apa Saja Ancaman Hukuman untuk Begal Motor”. 25
Februari 2015. http://www.tempo.co/read/news/2015/02/25/064645236/Apa-Saja-Ancaman-Hukuman-untuk-Begal-Motor.
11 Juni 2015)
Kasus
begal yang bahkan saat ini sudah menyentuh para remaja yang masih duduk di
sekolah tingkat menengah hingga atas memang benar terjadi adanya. Kasus yang
terjadi di Batam ini misalnya, melibatkan tujuh siswa sekolah yang satu
diantaranya bahkan masih tingkat sekolah dasar. Miris memang, namun hal ini
benar terjadi di Indonesia. Seperti dilansir Antara News beberaa waktu lalu
yang memberitakan penangkapan sepuluh tersangka pembegalan di Batam ini.
Polsek Nongsa Kota Batam menangkap sepuluh orang pelaku kasus pencurian
dan jual beli kendaraan bermotor. Dari sepuluh orang tersebut, tujuh
diantaranya masih di bawah umur. Bahkan, salah satu pelaku masih duduk di kelas
enam SD. “Mereka adalah GR, RH,
RM, OJ, HK, ST, SH, ST, EL, dan RI. Secara keseluruhan tujuh masih anak-anak
antara 14-17 tahun, bahkan satu masih kelas enam SD. Penangkapan salah seorang
pelaku pada 20 Mei, setelah pengembangan diamankan 10 orang ini," kata
Kapolsek Nongsa Kota Batam, Kompol Arthur Sitindaon di Batam, Seperti dilansir
Antara, Minggu (24/5). (Andwika, Rizky. “Jadi Begal, 7 Bocah SMP & SMA di
Batam Dibekuk Polisi”. 25 Mei 2015. http://www.merdeka.com/peristiwa/jadi-begal-7-bocah-smp-sma-di-batam-dibekuk-polisi.html.
11 Juni 2015)
Bentuk sanksi yang telah
diberikan bagi para pelaku yang notabenenya masih di bawah umur ini memang
berupa ketentuan deviasi sesuai dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 pasal 7
ayat 1 tentang system peradilan anak dimana pelaku dan korban akan dipertemukan
untuk bermediasi hingga ditemukan kesepakatan untuk berdamai serta anak-anak
yang terlibat akan diberikan sanksi kegiatan sosial berupa membersihkan tempat
ibadah, makam, dan lingkungan dengan pengawasan tentunya. Hal ini diharapkan
dapat menimbulkan kesadaran bagi pihak yang terlibat. Tentu bukan pelemahan
atau penghilangan sanksi, namun lebih kepada pencegahan tahap pertama dengan
tidak membawanya ke dalam kasus pidana.
Perubahan sosial yang
cenderung revolutif tak ayal berdampak di berbagai bidang kehidupan, tak
terkecuali pada alat perubahan itu sendiri. Media telekomunikasi, sebagai
contoh internet dalam penggunaannya yang sudah menyentuh tiap elemen masyarakat
dari usia belia hingga orang tua dimanfaatkan pula untuk media penipuan.
Berkedok hadiah jutaan bahkan miliaran rupiah sudah tidak asing lagi di dunia
maya. Tidak hanya di beberapa situs dewasa yang terkadang lebih banyak
penggunanya, tapi juga merambah di berbagai situs anak hingga remaja yang masih
lemah kotrol. Penggunaan internet yang tak terbatas dimanfaatkan oleh beberapa
oknum untuk melakukan aksi penipuan. Korbannya pun tak tanggung-tanggung, mulai
dari anak-anak hingga dewasa akhir menjadi sasaran pelaku. Mungkin masih jelas
di ingatan atau bahkan masih sering terjadi, penipuan berkedok hadiah jutaan
via pesan singkat hingga telepon beberapa waktu lalu. Hal baru menyertai
seiring kemajuan teknologi dan penggunaan internet berlebih yaitu penipuan online shop.
Teknologi informasi telah
membuka mata dunia akan sebuah dunia baru, interaksi baru, market place baru,
dan sebuah jaringan bisnis dunia yang tanpa batas. Disadari betul bahwa
perkembangan teknologi yang disebut internet, telah mengubah pola interaksi
masyarakat, yaitu interaksi bisnis, ekonomi, sosial, dan budaya. Internet telah
memberikan kontribusi yang demikian besar bagi masyarakat, perusahaan/ industri
maupun pemerintah. Hadirnya internet telah menunjang efektifitas dan efisiensi
operasional perusahaan, terutama peranannya sebagai sarana komunikasi,
publikasi, serta sarana untuk mendapatkan berbagai informasi yang dibutuhkan
oleh sebuah badan usaha dan bentuk badan usaha atau lembaga lainya. Dampak
positif dari sebuah teknologi internet di Indonesia yaitu dapat memudahkan
pencarian informasi, artikel, lowongan pekerjaan, dan masih banyak lagi. Namun
juga dampak negatif yang dilahirkan dari adanya internet kian tinggi.
Di zaman ketika internet
seakan sudah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat, khususnya di daerah
perkotaan, proses jual beli melalui internet tentu sudah tidak asing lagi.
Internet bukan hanya konsumsi golongan tertentu saja seperti bertahun-tahun
yang lalu, tapi sudah merambah ke masyarakat golongan menengah ke bawahProses
jual beli melalu internet ini lazim disebut e-commerce. E-commerce atau
Electronic Commerce atau EC pada dasarnya adalah bagian dari electronic
business. EC merupakan suatu proses jual beli, transfer, atau pertukaran
produk, servis, dan informasi yang dilakukan melalui jaringan komputer,
termasuk internet. Business to Consumer (B2C) adalah transaksi yang terjadi
antara perusahaan dengan pembeli. Setiap tahunnya ada saja teknologi baru yang
muncul entah dalam bentuk komputer desktop, laptop, handphone, iPhone, dan
bermacam-macam gadget lainnya. Perkembangannya yang cepat membuat harga gadget
tersebut pun semakin murah karena kemudian kalah canggih dengan gadget lain.
Hal ini membuat barang-barang tersebut terjangkau oleh masyarakat. Ditambah dengan
akses internet yang mudah, internet menjadi hal yang tidak asing lagi.
Berkedok situs belanja
online yang kian diminati seiring berkembangnya zaman, pelaku memanfaatkan para
ibu yang senang berbelanja dengan membuat situs belanja online yang tidak
terdaftar secara resmi. Parahnya, ibu-ibu yang menyukai hal praktis kerap
menjadi korban penipuan berkedok online
shop ini. Ciri yang dibawa untuk tidak saling bertatap muka ketika
bertransaksi membuat penipuan jenis ini menjadi sulit untuk diungkap. Bahkan
pada beberapa kasus sulit ditemukannya tersangka karena keterbatasan informasi
yang diberikan pelapor karena memang pelaku penipuan telah lebih ahli untuk
menutupi segala bentuk transaksi yang kesemuanya melalui interaksi tidak
langsung.
Hadirnya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan
sedikit kemajuan dalam menyikapi dan menanggulangi maraknya cybercrime ini, terutama dalam proses
penegakan hukumnya. Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah memberikan sedikit solusi atas
kekosonga hukum acara pidana pada perkara-perkara cybercrime, walau pada praktiknya masih banyak kendala yang
dihadapi para penegak hukum dalam melakukan proses pembuktian karena sulitnya
mendapatkan bukti yang dianggap sah secara hukum, keterbatasan sumber daya
manusia dari penegak hukum itu sendiri dalam menggunakan teknologi informasi
untuk mencari suatu hal yang dapat dijadikan alat bukti yang sah pada perkara cybercrime merupakan factor utama upaya
penegakan hukum ini sulit.
Indonesia sebagai negara
hukum masih menganut system hukum positif dimana hukum positif merupakan produk
politik karena cirinya yang dibuat legislatif dan lahir dari proses politik.
Sebagai produk politik, hukum menjadi sangat kental dengan kepentingan, sehingga
melahirkan anggapan baru tentang pandangan equality
before the law akan sulit untuk diterapkan sebab logika politik harus ada
yang berkuasa dan ada yang dikuasai. Akibatnya, hukum akan memandang status
sosial subjek hukum, penegakan hukum pun akan mengalami diskriminasi terhadap
manusia itu sendiri (Ibnu Khaldun, 2003: 232-234).
Ada suatu anggapan yang
salah mengenai kepatuhan terhadap hukum yang diartikan sama dengan kesadaran
hukum padahal kepatuhan hukum lebih disebabkan oleh keterpaksaan karena ada
institusi negara yang memaksanya, sedangkan kesadaran hukum lahir dari jiwa
yang ikhlas untuk mengikuti hukum yang diyakininya benar. Kepatuhan terhadap
hukum karena terpaksa bisa jadi akan berubah jika subjek hukum mempunyai
kekuatan dan legitimasi untuk melanggarnya, sedangkan kesadaran akan hukum
berlaku untuk selamanya karena subjek hukum menerima hukum dengan ikhlas.
Mengenai kekakuan prosedural
legalistic hukum positif, Lawrence M. Friedman menyatakan hukum bukanlah
satu-satunya yang bisa memberikan hukuman atau imbalan masih ada keluarga,
teman-teman, rekan kerja dan seluruh aspek hidup masyarakat (Lawrence M.
Friedman, 2009: 139). Seperti dalam kasus begal di atas, hukuman tidak langsung
diberikan oleh hukum itu sendiri melainkan diserahkan kembali kepada pihak yang
terlibat dalam hal ini korban dengan didampingi pihak kepolisian memberikan
sanksi kegiatan sosial mengingat usia tersangka begal masih terbilang belum
cukup umur untuk menjalani hukum pidana.
Hukum formal legalis yang
procedural biasanya mendengungkan slogan persamaan hukum, namun pada prakteknya
hukum formal sulit untuk memberikan keadilan bagi masyarakat yang lemah, sebab
kelas yang lebih kaya akan lebih diperhatikan (Max Weber, 2009: 264-265). Hal
ini kerap terjadi di beberapa kasus di Indonesia dimana hukum melindungi si
kaya dan menjerat si miskin. Hukum dapat diperjualbelikan bagi siapapun yang
mampu membelinya dan hukum akan terasa menjerat kaum bawah dengan
ketidakberdayaan kaum bawah melawan bahkan membeli hukum, maka yang terjadi
seperti kasus-kasus korupsi yang marak di Indonesia, si kaya dengan korupsinya
bermiliaran dihukum dengan sangat ringan sedangkan si miskin dengan segala
keterbatasannya harus merasakan hukuman yang dirasa sangat tidak adil karena
mengambil sedikit yang bukan haknya.
Transformasi sosial
manusia Indonesia yang begitu cepat akan sulit terkejar oleh hukum positif yang
kaku, maka hukum terkesan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga boleh
dikatakan hukum telah gagal menjalankan perannya sebagai pengatur pranata
masyarakat. Kekakuan hukum menyebabkan sulitnya keadilan ditegakkan karena dia
tidak dapat lagi menentukan hukuman ataupun kewajiban yang semestinya dan dengan
layak sebab dalam setiap tata kebijakan semuanya telah diatur secara terperinci
oleh peraturan tertulis, kalaupun ad inisiatif untuk mengubahnya akan
memerlukan dana, tenaga, dan waktu tambahan sehingga hukum akan jauh dari kata
efektif, efisien, serta terkesan boros anggaran. Sehingga yang terjadi apa yang
ditulis bukanlah hukum namun lebih disebut hukum cacat oleh pemikiran hukum
progresif.
Kelemahan hukum positif
dalam system hukum cukup banyak, khususnya dalam system hukum di Indonesia,
namun ada juuga kelebihan yang dimilikinya. Kelebihan utama hukum positif
terletak pada kepastian hukumnya, hukum memiliki suatu standart tertulis dan
manusia tidak bisa lepas dari keterikatan terhadap hukum tersebut. Pada
kepastian hukum inilah sebenarnya titik kelemahan dari pemikiran hukum
progresif dimana hukum progresif menganggap bahwa keadilan tidak hanya di
pengadilan, tapi di mana-mana dan itulah kelebihan utama dari pemikiran hukum
progresif. Anggapan ini bisa menjerumuskan jika diartikan secara artifisial dan
tidak bertanggung jawab sebab pemberian dekresi yang berlebihan akan
menyebabkan hukum akan kehilangan fungsinya sebagai control sosial. Hukum tidak
lagi mampu mengatur masyarakat karena penafsiran yang bebas terhadap keadilan,
maka jadilah suatu struktur sosial kembali pada hukum rimba, siapa yang kuat
dia yang menag karena aturan bersifat fleksibel. Jean Jacque Rousseau dalam Du Contracy Social
mengatakan, bahwa jika hanya menuruti nafsu naluriah berarti perbudakan,
sedangkan kepatuhan terhadap hukum yang kita tentukan untuk diri kita sendiri
adalah kebebasan (Jean Jacque Rousseau, 2007: 32).
Hukum responsif dengan segala prospek dan tantangannya di
atas menunjukkan lebih jauh sifat hukum responsif yang melayani kebutuhan dan
kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan
rakyat itu sendiri. System hukum yang masih berupa system hukum positif membuat
hukum responsif sedikit sulit untuk menyentuh elemen pemerintahan untuk menjadi
hukum yang mutlak bagi Indonesia yang mampu memberikan antisipasi atas setiap
perubahan terus terjadi seiring perkembangan zaman. System hukum positif yang
berlawanan dengan system hukum responsif nampaknya akan sulit untuk bisa
diterapkan sepenuhnya di Indonesia untuk mendampingi perubahan sosial
masyarakat.
Sumber Buku:
Friedman, Lawrence M. 2009. Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial,
terj. M. Khozim. Bandung: Nusa Media
Khaldun, Ibnu. 2003 Muqaddimah.
Terj. Ahmadie Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Rousseau, Jean Jacques. 2007. Du Contract Social.
Terj. Vincent Bero. Jakarta: Visimedia.
Sabian Usman.
2009. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Satjipto, Raharjo. 2009. Hukum dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Genta Publishing
Soerjono Soekanto. 2004.
Sosiologi, Suatu Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Weber, Max. 2009. Sosiologi,
terj. Noorkholis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumber
Internet:
Andwika, Rizky. “Jadi Begal,
7 Bocah SMP & SMA di Batam Dibekuk Polisi”. Dalam http://www.merdeka.com/peristiwa/jadi-begal-7-bocah-smp-sma-di-batam-dibekuk-polisi.html. 2015
Pratomo, Yulistyo. “Begini Liarnya Pool Party para ABG
di Jakarta”. Dalam http://www.merdeka.com/peristiwa/begini-liarnya-pool-party-para-abg-di-jakarta.html. 2015
Suwarso, Indrianto Eko. “Apa Saja Ancaman Hukuman
untuk Begal Motor”. Dalam http://www.tempo.co/read/news/2015/02/25/064645236/Apa-Saja-Ancaman-Hukuman-untuk-Begal-Motor. 2015
Sumber
Undang-Undang:
Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik
0 komentar:
Post a Comment