ANALISIS UU NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG ORMAS DALAM DISKURSUS
POSITIVISME HUKUM, SOSIOLOGI HUKUM DAN HUKUM ISLAM. KONFRONTASI ATAU SINKRETIS?
Penulis: Muhammad Rizaldi Minahaki
Mereview ingatan kita tentang isu yang sempat ramai di tahun 2017, yaitu
mengenai UU No 2 Tahun 2017 tentang Ormas, disini penulis akan kembali
menganalisis UU tersebut tapi kali ini dalam diskursus Positivisme Hukum, Sosiologi Hukum dan Hukum Islam.
Konfrontasi atau Sinkretis?
Prolog
Dalam sebuah kelas dengan mata kuliah sosiologi hukum dengan
dosen bernama Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si., penulis dikejutkan dengan sebuah
pernyataan menarik dari beliau yang mengatakan “Hukum di negara kita sudah
masuk dalam tataran politik hukum, mengapa? Karena dalam kancah perang wacana
di gedung DPR sana, putusan akan di menangkan oleh mayoritas fraksi politik
yang ada disana”
Lalu beliau
memberikan sebuah analogi yang sangat menarik dengan mengatakan bahwa “Hukum
itu seperti kita membuat nasi goreng, apapun bumbu dan bahan yang kita inginkan
pasti akan langsung kita masukkan ke dalam penggorengan. Begitupun hukum, jika
katakanlah fraksi PDIP yang menghegemoni suara ketika percaturan wacana di
gedung DPR sana. Maka hukum akan menjadi racikan dari fraksi PDIP”. Para pakar
ketika berbicara apa itu Politik Hukum, maka pembicaraannya sangatlah dekat
dengan analisis yang dikembangkan oleh dosen penulis ketika di dalam
kelas.
Sebagai contoh
bahwa Prof. Mahfud MD dalam disertasinya yang dijadikan buku tentang politik
hukum menyatakan “bahwa politik hukum merupakan Legal Policy atau garis
(kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan
hukum baru ataupun dengan penggantian hukum yang lama, dalam rangka mencapai
tujuan Negara”. Prof. Mahfud menambahkan “Dengan demikian, politik hukum
merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus
pilihan-pilihan tentang hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang
kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara yang tercantum di dalam
pembukaan UUD 1945”.
Dengan analisis
para pakar tersebut, dapatlah kita simpulkan bahwa pembuatan hukum sarat dengan
nuansa politis, bahkan dalam diskursus ketatanegaraan pun wacana pembentukan
sebuah peraturan baik di tingkat daerah (Perda) sampai tingkat Konstitusi (UUD
1945) pasti berbicara tentang hal yang berbau Politis. Namun dalih yang
digunakan tetaplah sama sebagai janji manis untuk menjual eksistensi kepada
rakyat dengan mengatakan bahwa kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah
diperuntukkan untuk kemajuan masyarakat Indonesia. Masyarakat yang merasa cocok
untuk membeli pejabat yang siap untuk menjamin kehidupannya dimasa depan, pasti
tanpa berfikir panjang langsung memilihnya.
Itulah konsep
negara demokrasi secara langsung. Atas dasar analisis
narasi politik yang menjadi kusir bagi hukum hingga membawa dan memecut hukum
kemanapun dia akan pergi, penulis tertarik dengan wacana yang sedang kompleks
di panggung pemerintahan sana tentang PERPPU ormas yang disahkan menjadi UU
oleh DPR. Selain itu, penulis juga tertarik dengan kegelisahan masyarakat
tentang hadirnya kebijakan dari pemerintah tersebut. oleh karena itu, penulis
mencoba membandingkan nuansa Positivisme dari Auguste comte dan Jhon Austine
yang menjadi Framework hukum di Indonesia dengan dua Framework hukum yang tak kalah
hebat ikut bersaing dan menjadikan negara dilema dibuatnya. Yaitu Sosiologi
Hukum dan Hukum Syari’ah. Tentu perbincangan ini semua sangat berkaitan dengan
tatanan sosial kita, terlebih kita akan menghadapi Pemilu 2018 yang pastinya
secara implisitas sedikitnya akan menimbulkan sebuah gesekan hebat.
Bincang Positivisme Hukum
Secara historis, positivisme hukum merupakan konstruksi yang
lahir dari rahim positivisme ilmu yang berkembang di abad 19. Sejarahnya pun
tercatat dan tersusun melalui 3 gelombang tahapan secara sistematis. Pertama,
di kubu positivisme awal dimana filsuf besarnya Auguste Comte, yang juga
diramaikan oleh E. Littre, P. Laffitte, serta J.S Mill, bentham dan Spencer.
Kedua, kubu yang bersebrangan dengan kubu pertama (karena lebih rasionalis
ketimbang empiris) di periode yang sama yakni sekitar tahun 1890-an, seperti
Mach dan Avenarius. Dan terakhir, yang paling populer dikalangan ilmuwan adalah
lingkaran Wina M. Schilck, O Neurarth, R. Carnap, Frank dan sebagainya.
Sebelum membahas
secara panjang lebar analisis Prof. Satjipto Rahardjo tentang konstruksi
sejarah Positivisme hukum yang lahir dari rahim Positivisme Ilmu (dalam hal ini
Auguste Comte), ada baiknya kita melihat analisis penulis lain yang secara
ringkas membahas konsep Positivisme Hukum (dalam hal ini Prof. Dr. Marwan Mas).
Menurut Prof.
Marwan, aliran positivis mengatakan bahwa kaidah hukum itu hanya bersumber dari
kekuasaan negara yang tertinggi dan sumber itu hanyalah hukum positif
yang terpisah dari kaidah sosial, bebas dari pengaruh politik, ekonomi, sosial
dan budaya. Aliran ini dipelopori oleh Jhon Austin yang sering disebut “Bapak
Ilmu Hukum Inggris”, serta Hans Kelsen yang terkenal dengan teorinya “Hukum
Murni”. Teori hukum murni dari Hans Kelsen menyatakan bahwa hukum itu harus
bersifat Normatif dan haram direcoki oleh subjek diluarnya seperti ilmu
Politik, Sosiologi, Sejarah dan etika. Dengan melihat pengutaraan yang konkrit
dari Prof. Marwan diatas, kita dapat melihat bahwa konsep positivisme hukum
lebih kepada mengedepankan otoritas negara dalam melakukan suatu kebijakan.
Selain itu, Prof. Marwan melakukan sinkretisasi antara konsep yang dibedakan
oleh Prof. Satjipto Rahardjo dalam bukunya tentang Positivisme Hukum dan teori
hukum murni.
Sekarang kita
melanjutkan analisis yang digunakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo tentang konsep
dari positivisme hukum dengan sebuah instrumen sejarah dan instrumen gebrakan
para filsuf hukum. Prof. Tjip (Sapaan akrab Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,
S.H) membuat suatu pernyataan yang mengejutkan ketika diawal pembahasan tentang
konsep positivisme hukum. beliau mempertanyakan “Apakah hukum itu sebuah ilmu?”
tidak Cuma sekadar pertanyaan dosen pada mahasiswa di bangku perkuliahan, ini
juga suatu pertanyaan filsafat yang sangat fundamental. Pelajaran tentang
hukum tak sesulit fisika, kimia, matematika dan seterusnya. Sehingga seseorang
entah itu tukang becak, ojek, supir taksi, bahkan gelandangan sekalipun mudah
sekali mempelajari hukum. tinggal mereka membaca asas-asas hukum beserta
Undang-Undangnya, mereka memiliki tafsir tersendiri tentang hukum.
Berbeda jika
seorang diberi soal-soal pelajaran fisika, matematika, ataupun kimia. Orang itu
pasti akan menggaruk kepala dan berkeringat dingin melihat angka-angka beserta
simbo-simbol ganjil yang tak wajar dilihat dalam keseharian. Dengan
perbandingan ilmu eksak dalam pelajaran hukum, kita akan memiliki kesimpulan
jika hukum memiliki logika yang cuku sederhana dan mudah dipelajari. Apakah
kemudahan itu bisa membuat hukum menjadi sebuah ilmu? Apa jangan-Jangan hukum
serupa dengan permainan petak umpet dari tiap bocah yang setiap memainkannya
dengan mempelajarinya sekejap lalu bisa mengikuti permainan?. Penulis memandang
bahwa ini merupakan bentuk kemarahan dari Prof. Tjip tentang adanya konsep
Positivisme hukum yang menampilkan wajah otoriter dan jauh dari kesan sentuhan
lembut terhadap rakyat. Oleh karena itu beliau menambahkan dengan menyebutkan
bahwa pembahasan yang dilakukannya adalah merupakan pokok-pokok dan sadar
argumentasi Positivisme hukum, yang mencoba mengonstruksikan hukum sebagai
sebuah ilmu pengetahuan ilmiah.
Comte merupakan
yang paling populer diantara para filsuf positivisme yang tadi penulis singgung
diawal pembahasan tulisan mengenai Positivisme Hukum ini. Fisafat comte pun
sebenarnya dirintis oleh Henry Saint Simon, guru sekaligus teman diskusi dari
comte. Simon merupakana seorang tokoh dan ilmuwan yang sangat disegani juga
cukup bersinar dengan teori kausalitasnya (cara pikir sebab-akibat). Namun
Corpus de Philosophie Positive Comte mengubah dirinya dari seorang sekretaris
pribadi Saint Simon menjadi seorang Filsuf yang sangat diperhitungkan dan
disegani. Buku yang diterbitkan mulai dari tahun 1890-an ini terdiri atas enam
jilid. Diantaranya matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi, dan filsafat
sosial, menjadi perbincangan dari mulai ruang-ruang kuliah hingga sudut-sudut
kota Prancis.
Jika kita
melakukan analisis dengan instrumen filsafat, pasti memiliki dimensi yang
provokatif. Begitupun dengan Comte, beliau menyerukan tentang perkembangan
Sains melalui 3 tahapan. Pertama, dimensi teologi. Kedua, dimensi metafisika.
Dan ketiga, dimensi positivistik.
Setidaknya ada empat karekteristik dari filsafat positivisme
Comte, yakni tidak semua pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan, pengetahuan bisa
menjadi ilmu pengetahuan dengan syarat adanya legitimasi ilmiah dan metodologi
yang tersistematis secara utuh. Metode selalu diarahkan pada fakta,
perbaikan terus-menerus, berbasis pada kepastian dan bersandarkan kemacetan.
Dari sinilah comte menyerang para dogmatis konservatifis yang selalu
mengiblatkan pandangannya pada teolog yang mencari pengetahuan uforis tanpa
landasan faktual yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional.
Sebenarnya
filsafat comte yang dianggap murni sebagai Positivisme Hukum di jagad kultur
pengetahuan hukum, tidak terpakai sama sekali di Indonesia. Bahkan positivisme
murni yang lahir dari positivisme comte hampir tidak dikenal oleh mayoritas
mahasiswa hukum yang mengkaji hukum hanya secara materil dan formil tanpa
landasan ideologis yang sebenarnya itu merupakan sebuah perkara yang wajib.
Namun ditengah hampir musnahnya konsep Positivisme Hukum dalam fenomena kultur,
salah seorang dosen Dari Universitas Airlangga bernama Prof. Soetandyo selalu
mengatakan dalam setiap perkuliahannya bahwa “Positivisme Hukum bukanlah cara
berfikir yang melulu Undang-Undang saja. Ya, Positivisme sering diidentikan
dengan tuduhan para aparat-aparat yang bebal, kaku, dan kolot yang menerapkan
hukum hanya sebatas pada pasal-pasal.
Positivisme hukum
jika dipandang sebagai penegakan hukum positif, maka itu terlalu
menyederhanakan masalah dan menyempitkan makna. Positivisme Hukum harus
diartikan penggunaan cara berfikir ilmu-ilmu alam kepada ilmu Humaniora,
termasuk Ilmu Hukum”. dari Prof. Tandyo (Sapaan akrab Prof. Soetandyo) lah kita
dibawa kembali pada pemikiran Positivisme yang dikembangkan oleh Simon, Comte
dan yang lainnya. selain itu, maka wajar Prof. Tjip marah dengan ungkapan bahwa
“Apakah hukum itu ilmu?”, karena faktanya bahwa Positivisme Hukum yang
terkonstruk sebagai ilmu dari ilmu hukum telah dilakukan dekonstruksi
besar-besaran dalam tatanan pemerintah kita.
Timbul sebuah
pertanyaan, lantas Positivisme yang mana yang digunakan oleh pemerintah kita?
Ternyata hal yang paling akurat memandang persoalan ini adalah Positivisme
Hukum yang diuraikan oleh Prof. Dr. Marwan Mas diatas.
Bahwa
Positivisme yang dipraktekkan dalam nuansa hukum negara kita adalah Positivisme
yang dicanangkan oleh Jhon Austin. Bahkan seorang Positivis hukum bernama Hart
menguraikan arti yang tersistematisasi tentang teori Positivisnya, diantaranya:
Hukum adalah perintah
Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang
berharga untuk dilakukan. Analisis yang demikian ini berbeda dari studi
sosiologis dan historis serta berlainan pula dengan suatu penelitian kritis.
Penghukuman
(Judgmen) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran
rasional, pembuktian atau pengujian.
Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus
senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan yang diinginkan.
Keputusan-keputusan bisa dideduksi secara logis dari
peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dulu, tanpa perlu menunjuk pada kepada
tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas.
Inilah sebenarnya yang sering kita terima dan dipraktekkan di
Indonesia sebagai arti dari Positivisme. Sebenarnya terjadi kritik yang sangat
panjang dari para aktivis hukum kepada konsep Positivisme Hukum yang mewabah
dikalangan mayoritas akademisi maupun praktisi hukum di Indonesia. Namun
tidaklah memiliki speece yang banyak dalam pembahasannya jika penulis melakukan
analisis disini.
Bincang seputar Sosiologi Hukum
Menurut Gustav Radbruch, bahwa tujuan dari hukum adalah
kemanfaatan, keadilan dan juga adanya kepastian hukum. jika menganalisis
pendapat Radbruch barusan, maka kita akan mendapati tujuan yang sama dari janji
para politikus yang ingin menjadi pembuat hukum di legislatif. Rakyat menjadi
objek yang sangat menarik untuk disenandungkan dalam keadaan lirih, namun faktanya
pemerintah bukan memainkan alat musik instrumental dan menyanyikan lagu yang
mellow untuk meyakinkan masyarakat dengan suara Indahnya ketika mengutarakan
janji politik. Tapi justru pemerintah layaknya Revenge The Fate ataupun Asking
Alexandria yang mencoba membuat rakyat geram dengan suara screaming yang
menyakitkan, oleh karena itu wajar jika masyarakat marah dengan kepalsuan yang
dibuat oleh pemerintah, terlebih penipuan itu melanggar tujuan Hukum untuk
mensejahterakan rakyat. Sebab itulah Sosiologi Hukum hadir sebagai teman
berjuang dari Positivisme hukum dalam mencapai tujuan yang sama yaitu adanya
kemanfaatan, keadilan dan juga kepastian hukum. selain berbicara tujuan hukum,
ada juga fungsi hukum. fungsi hukumpun berkaitan dengan peraturan tatanan
sosial yang sudah mapan maupun yang belum mapan. Prof. Marwan Mas memaparkan
tentang beberapa fungsi hukum yang berkaitan dengan masyarakat, diantaranya:
Fungsi hukum
sebagai sarana Social Control, hukum sebagai social control berupaya untuk
mengontrol masyarakat agar tidak menyimpang dengan norma dan nilai yang telah
berkembang secara generalistik di tatanan masyarakat kita. Ketika maysarakat
menyimpang dari aturan tersebut, maka akibatnyapun akan ditanggung oleh pelaku
tersebut. Untuk memahami konsep diatas, ada baiknya diungkapkan sebuah contoh
agar mudah dipahami. Sebagai contoh, dalam Pasal 285 KUH-Pidana yang mengatur
tentang perkosaan oleh seorang lelaki karena adanya kekerasan atau ancaman
kekerasan dengan ancaman sanksi pidana. Akan tetapi, bagi laki-laki dan wanita
yang salah satunya memiliki ikatan tali perkawinan yang sah. Lantas melakukan
hubungan suami istri dengan perasaan suka-sama suka, maka akan diancam dengan
sanksi pidana perzinahan seperti diatur dalam Pasal 284 KUH-Pidana. Dengan gambaran
diatas, dapat terlihat secara konkrit bahwa hukum berfungsi untuk mengontrol
masyrakat agar tidak melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai
yang terkandung dari sebuah norma.
Fungsi hukum sebagai “a tool of social enginering”, fungsi
hukum dalam artian a tool of social enginering berarti bahwa hukum sebagai
konsep perekayasa social (mengubah masyarakat), adalah untuk menciptakan
perubahan-perubahan dalam masyarakat menuju kemajuan yang terencana.
Artinya untuk
menata kembali kehidupan masyarakat yang terencana sesuai dengan tujuan bangsa.
Kehidupan masyarakat sampai kini selalu mengalami perubahan atau dinamika yang
sangat pesat. Soerjono Soekanto memberikan sebuah analisis tentang a tool of
social enginering dengan menyatakan bahwa “Hukum sebagai alat untuk mengubah
masyarakat dalam arti bahwa hukum mungkin digunakan sebagai alat agen of
change. Dan, agen of change atau pelopor perubahan adalah seorang atau kelompok
orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau
lebih lembaga-lembaga masyarakat”. Dengan pandangan Soerjono Soekanto
diatas, dapat ditarik sebuah benang merah dari a tool of social enginering
bahwa fungsi ini merupakan tugas yang diemban oleh para tokoh ataupun pejabat
yang dijadikan representatif dan menjadi tulang punggung dari setiap amanat
masyarakat untuk mengubah tatanan sosial menjadi sesuatu yang lebih baik.
Terakhir ada
fungsi hukum sebagai pengintegrasian sosial, disini hukum menjadi pengurangan
setiap konflik yang terjadi dan memperlancar proses interaksi sosial
masyarakat. Jadi disini hukum berfungsi sebagai sarana untuk menciptakan
keserasian dari berbagai kepentingan masyarakat sehingga keberlangsungan hidup
berjalan dengan tertib dan lancar.
Dengan analisis fungsi dan tujuan hukum, maka kita akan
mendapati bahwa segala konsep yang dibicarakan dalam hukum berkaitan erat
dengan tatanan sosial dan hal yang mustahil untuk dipisahkan seperti pandangan
dari Positivisme Austin atau Hukum Murninya Hans Kelsen. Mengapa harus mengkaji
Sosiologi Hukum? itu mungkin pertanyaan yang sangat fundamentil dari benak
mahasiswa hukum yang kritis terhadap 37 Pasal dalam UUD 1945 dan ribuan pasal
yang lain dalam peraturan perundang-undangan dibawah UUD 1945.
Sebelum menjawab pertanyaan diatas, ada baiknya kita mengenal
tentang apa itu sosiologi hukum. Jika menganalisa dari tinjaunan gramatikal,
maka kita akan mendapati sebuah kata yang berbeda digabungkan dalam satu
struktur kata yaitu Sosiologi dan Hukum. oleh karena itu, pemaknaan sosiologi
hukum dapat dimulai dengan menjelaskan terlebih dulu makna dari sosiologi.
Social dalam
bahasa inggris artinya hidup bersama, lawan dari individual yang artinya hidup
sendiri. Dengan demikian, sosiologi dapat diartikan sebagai ilmu yang
mempelajari manusia yang hidup bersama atau ilmu tentang tata cara manusia
berinteraksi dengan sesamanya sehingga tercipta hubungan timbal balik dan
pembagian tugas serta fungsinya masing-masing. Soerjono Soekanto mengatakan
bahwa Sosiologi adalah ilmu tentang masyarakat. Masyarakat sebagai objek dari
Sosiologi bersifat empiris, realistik dan tidak bersandar pada kebenaran
spekulatif. Dalam sosiologi, setiap kajian yang diperoleh dalam masyarakat
secara observatif akan menghasilkan teori yang dapat dijadikan dalil atau
pijakan bagi penelitian berikutnya.
Namun jika
dikaji secara filosofis, pengetahuan yang diakumulasikan menjadi ilmu dalam hal
sosiologi harus berdasarkan sesuatu yang empiris dan observatif. Menjadi bagian
penting dari dua macam pengetahuan yakni sebagai pengetahuan dan pengalaman
yang digali dari sebuah kenyataan. Pengalaman manusia dapat direduksi menjadi
pengetahuan yang berharga bagi kehidupan manusia, sehingga akumulasi pengalaman
manusia dapat menjadi ilmu. Dengan analisis Beni Ahmad Saebani diatas, dapatlah
kita memahami bahwa sosiologi merupakan lenguhan dari pengetahuan dan
pengalaman yang bersumber dari sebuah kenyataan. Hal ini sesuai dengan apa yang
diungkapkan Anthony Giddens bahwa “Sosiologi merupakan disiplin ilmu yang telah
mapan dan kuat yang tidak bersifat normatif, karena sosiologi tidak menggali
apa yang seharusnya terjadi, melainkan apa yang sedang terjadi yang dapat
disaksikan oleh semua orang”. Bahkan Soerjono Soekanto menambahkan bahwa
sosiologi merupakan ilmu yang murni dan bukan merupakan imu terapan.
0 komentar:
Post a Comment