Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Saturday, June 02, 2018

ANALISIS UU NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG ORMAS


ANALISIS UU NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG ORMAS DALAM DISKURSUS POSITIVISME HUKUM, SOSIOLOGI HUKUM DAN HUKUM ISLAM. KONFRONTASI ATAU SINKRETIS?
Penulis: Muhammad Rizaldi Minahaki

Mereview ingatan kita tentang isu yang sempat ramai di tahun 2017, yaitu mengenai UU No 2 Tahun 2017 tentang Ormas, disini penulis akan kembali menganalisis UU tersebut tapi kali ini dalam diskursus Positivisme Hukum, Sosiologi Hukum dan Hukum Islam. Konfrontasi atau Sinkretis?


 

Prolog
Dalam sebuah kelas dengan mata kuliah sosiologi hukum dengan dosen bernama Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si., penulis dikejutkan dengan sebuah pernyataan menarik dari beliau yang mengatakan “Hukum di negara kita sudah masuk dalam tataran politik hukum, mengapa? Karena dalam kancah perang wacana di gedung DPR sana, putusan akan di menangkan oleh mayoritas fraksi politik yang ada disana”

 

Lalu beliau memberikan sebuah analogi yang sangat menarik dengan mengatakan bahwa “Hukum itu seperti kita membuat nasi goreng, apapun bumbu dan bahan yang kita inginkan pasti akan langsung kita masukkan ke dalam penggorengan. Begitupun hukum, jika katakanlah fraksi PDIP yang menghegemoni suara ketika percaturan wacana di gedung DPR sana. Maka hukum akan menjadi racikan dari fraksi PDIP”. Para pakar ketika berbicara apa itu Politik Hukum, maka pembicaraannya sangatlah dekat dengan analisis yang dikembangkan oleh dosen penulis ketika di dalam kelas. 

 

Sebagai contoh bahwa Prof. Mahfud MD dalam disertasinya yang dijadikan buku tentang politik hukum menyatakan “bahwa politik hukum merupakan Legal Policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru ataupun dengan penggantian hukum yang lama, dalam rangka mencapai tujuan Negara”. Prof. Mahfud menambahkan “Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan-pilihan tentang hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945”.

 

Dengan analisis para pakar tersebut, dapatlah kita simpulkan bahwa pembuatan hukum sarat dengan nuansa politis, bahkan dalam diskursus ketatanegaraan pun wacana pembentukan sebuah peraturan baik di tingkat daerah (Perda) sampai tingkat Konstitusi (UUD 1945) pasti berbicara tentang hal yang berbau Politis. Namun dalih yang digunakan tetaplah sama sebagai janji manis untuk menjual eksistensi kepada rakyat dengan mengatakan bahwa kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah diperuntukkan untuk kemajuan masyarakat Indonesia. Masyarakat yang merasa cocok untuk membeli pejabat yang siap untuk menjamin kehidupannya dimasa depan, pasti tanpa berfikir panjang langsung memilihnya.

 

Itulah konsep negara demokrasi secara langsung. Atas dasar analisis narasi politik yang menjadi kusir bagi hukum hingga membawa dan memecut hukum kemanapun dia akan pergi, penulis tertarik dengan wacana yang sedang kompleks di panggung pemerintahan sana tentang PERPPU ormas yang disahkan menjadi UU oleh DPR. Selain itu, penulis juga tertarik dengan kegelisahan masyarakat tentang hadirnya kebijakan dari pemerintah tersebut. oleh karena itu, penulis mencoba membandingkan nuansa Positivisme dari Auguste comte dan Jhon Austine yang menjadi Framework hukum di Indonesia dengan dua Framework hukum yang tak kalah hebat ikut bersaing dan menjadikan negara dilema dibuatnya. Yaitu Sosiologi Hukum dan Hukum Syari’ah. Tentu perbincangan ini semua sangat berkaitan dengan tatanan sosial kita, terlebih kita akan menghadapi Pemilu 2018 yang pastinya secara implisitas sedikitnya akan menimbulkan sebuah gesekan hebat.

Bincang Positivisme Hukum
Secara historis, positivisme hukum merupakan konstruksi yang lahir dari rahim positivisme ilmu yang berkembang di abad 19. Sejarahnya pun tercatat dan tersusun melalui 3 gelombang tahapan secara sistematis. Pertama, di kubu positivisme awal dimana filsuf besarnya Auguste Comte, yang juga diramaikan oleh E. Littre, P. Laffitte, serta J.S Mill, bentham dan Spencer. Kedua, kubu yang bersebrangan dengan kubu pertama (karena lebih rasionalis ketimbang empiris) di periode yang sama yakni sekitar tahun 1890-an, seperti Mach dan Avenarius. Dan terakhir, yang paling populer dikalangan ilmuwan adalah lingkaran Wina M. Schilck, O Neurarth, R. Carnap, Frank dan sebagainya.

Sebelum membahas secara panjang lebar analisis Prof. Satjipto Rahardjo tentang konstruksi sejarah Positivisme hukum yang lahir dari rahim Positivisme Ilmu (dalam hal ini Auguste Comte), ada baiknya kita melihat analisis penulis lain yang secara ringkas membahas konsep Positivisme Hukum (dalam hal ini Prof. Dr. Marwan Mas).

Menurut Prof. Marwan, aliran positivis mengatakan bahwa kaidah hukum itu hanya bersumber dari kekuasaan negara  yang tertinggi dan sumber itu hanyalah hukum positif yang terpisah dari kaidah sosial, bebas dari pengaruh politik, ekonomi, sosial dan budaya. Aliran ini dipelopori oleh Jhon Austin yang sering disebut “Bapak Ilmu Hukum Inggris”, serta Hans Kelsen yang terkenal dengan teorinya “Hukum Murni”. Teori hukum murni dari Hans Kelsen menyatakan bahwa hukum itu harus bersifat Normatif dan haram direcoki oleh subjek diluarnya seperti ilmu Politik, Sosiologi, Sejarah dan etika. Dengan melihat pengutaraan yang konkrit dari Prof. Marwan diatas, kita dapat melihat bahwa konsep positivisme hukum lebih kepada mengedepankan otoritas negara dalam melakukan suatu kebijakan. Selain itu, Prof. Marwan melakukan sinkretisasi antara konsep yang dibedakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo dalam bukunya tentang Positivisme Hukum dan teori hukum murni.

Sekarang kita melanjutkan analisis yang digunakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo tentang konsep dari positivisme hukum dengan sebuah instrumen sejarah dan instrumen gebrakan para filsuf hukum.  Prof. Tjip (Sapaan akrab Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H) membuat suatu pernyataan yang mengejutkan ketika diawal pembahasan tentang konsep positivisme hukum. beliau mempertanyakan “Apakah hukum itu sebuah ilmu?” tidak Cuma sekadar pertanyaan dosen pada mahasiswa di bangku perkuliahan, ini juga suatu pertanyaan filsafat yang sangat fundamental.  Pelajaran tentang hukum tak sesulit fisika, kimia, matematika dan seterusnya. Sehingga seseorang entah itu tukang becak, ojek, supir taksi, bahkan gelandangan sekalipun mudah sekali mempelajari hukum. tinggal mereka membaca asas-asas hukum beserta Undang-Undangnya, mereka memiliki tafsir tersendiri tentang hukum.

Berbeda jika seorang diberi soal-soal pelajaran fisika, matematika, ataupun kimia. Orang itu pasti akan menggaruk kepala dan berkeringat dingin melihat angka-angka beserta simbo-simbol ganjil yang tak wajar dilihat dalam keseharian. Dengan perbandingan ilmu eksak dalam pelajaran hukum, kita akan memiliki kesimpulan jika hukum memiliki logika yang cuku sederhana dan mudah dipelajari. Apakah kemudahan itu bisa membuat hukum menjadi sebuah ilmu? Apa jangan-Jangan hukum serupa dengan permainan petak umpet dari tiap bocah yang setiap memainkannya dengan mempelajarinya sekejap lalu bisa mengikuti permainan?. Penulis memandang bahwa ini merupakan bentuk kemarahan dari Prof. Tjip tentang adanya konsep Positivisme hukum yang menampilkan wajah otoriter dan jauh dari kesan sentuhan lembut terhadap rakyat. Oleh karena itu beliau menambahkan dengan menyebutkan bahwa pembahasan yang dilakukannya adalah merupakan pokok-pokok dan sadar argumentasi Positivisme hukum, yang mencoba mengonstruksikan hukum sebagai sebuah ilmu pengetahuan ilmiah.

Comte merupakan yang paling populer diantara para filsuf positivisme yang tadi penulis singgung diawal pembahasan tulisan mengenai Positivisme Hukum ini. Fisafat comte pun sebenarnya dirintis oleh Henry Saint Simon, guru sekaligus teman diskusi dari comte. Simon merupakana seorang tokoh dan ilmuwan yang sangat disegani juga cukup bersinar dengan teori kausalitasnya (cara pikir sebab-akibat). Namun Corpus de Philosophie Positive Comte mengubah dirinya dari seorang sekretaris pribadi Saint Simon menjadi seorang Filsuf yang sangat diperhitungkan dan disegani. Buku yang diterbitkan mulai dari tahun 1890-an ini terdiri atas enam jilid. Diantaranya matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi, dan filsafat sosial, menjadi perbincangan dari mulai ruang-ruang kuliah hingga sudut-sudut kota Prancis.

Jika kita melakukan analisis dengan instrumen filsafat, pasti memiliki dimensi yang provokatif. Begitupun dengan Comte, beliau menyerukan tentang perkembangan Sains melalui 3 tahapan. Pertama, dimensi teologi. Kedua, dimensi metafisika. Dan ketiga, dimensi positivistik.
Setidaknya ada empat karekteristik dari filsafat positivisme Comte, yakni tidak semua pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan, pengetahuan bisa menjadi ilmu pengetahuan dengan syarat adanya legitimasi ilmiah dan metodologi yang tersistematis secara utuh.  Metode selalu diarahkan pada fakta, perbaikan terus-menerus, berbasis pada kepastian dan bersandarkan kemacetan. Dari sinilah comte menyerang para dogmatis konservatifis yang selalu mengiblatkan pandangannya pada teolog yang mencari pengetahuan uforis tanpa landasan faktual yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional.

Sebenarnya filsafat comte yang dianggap murni sebagai Positivisme Hukum di jagad kultur pengetahuan hukum, tidak terpakai sama sekali di Indonesia. Bahkan positivisme murni yang lahir dari positivisme comte hampir tidak dikenal oleh mayoritas mahasiswa hukum yang mengkaji hukum hanya secara materil dan formil tanpa landasan ideologis yang sebenarnya itu merupakan sebuah perkara yang wajib. Namun ditengah hampir musnahnya konsep Positivisme Hukum dalam fenomena kultur, salah seorang dosen Dari Universitas Airlangga bernama Prof. Soetandyo selalu mengatakan dalam setiap perkuliahannya bahwa “Positivisme Hukum bukanlah cara berfikir yang melulu Undang-Undang saja. Ya, Positivisme sering diidentikan dengan tuduhan para aparat-aparat yang bebal, kaku, dan kolot yang menerapkan hukum hanya sebatas pada pasal-pasal.

 

Positivisme hukum jika dipandang sebagai penegakan hukum positif, maka itu terlalu menyederhanakan masalah dan menyempitkan makna. Positivisme Hukum harus diartikan penggunaan cara berfikir ilmu-ilmu alam kepada ilmu Humaniora, termasuk Ilmu Hukum”. dari Prof. Tandyo (Sapaan akrab Prof. Soetandyo) lah kita dibawa kembali pada pemikiran Positivisme yang dikembangkan oleh Simon, Comte dan yang lainnya. selain itu, maka wajar Prof. Tjip marah dengan ungkapan bahwa “Apakah hukum itu ilmu?”, karena faktanya bahwa Positivisme Hukum yang terkonstruk sebagai ilmu dari ilmu hukum telah dilakukan dekonstruksi besar-besaran dalam tatanan pemerintah kita.

Timbul sebuah pertanyaan, lantas Positivisme yang mana yang digunakan oleh pemerintah kita? Ternyata hal yang paling akurat memandang persoalan ini adalah Positivisme Hukum yang diuraikan oleh Prof. Dr. Marwan Mas diatas.

 

Bahwa Positivisme yang dipraktekkan dalam nuansa hukum negara kita adalah Positivisme yang dicanangkan oleh Jhon Austin. Bahkan seorang Positivis hukum bernama Hart menguraikan arti yang tersistematisasi tentang teori Positivisnya, diantaranya:
Hukum adalah perintah
Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dengan suatu penelitian kritis.

Penghukuman (Judgmen) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.
Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan yang diinginkan.
Keputusan-keputusan bisa dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dulu, tanpa perlu menunjuk pada kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas. 
Inilah sebenarnya yang sering kita terima dan dipraktekkan di Indonesia sebagai arti dari Positivisme. Sebenarnya terjadi kritik yang sangat panjang dari para aktivis hukum kepada konsep Positivisme Hukum yang mewabah dikalangan mayoritas akademisi maupun praktisi hukum di Indonesia. Namun tidaklah memiliki speece yang banyak dalam pembahasannya jika penulis melakukan analisis disini.

Bincang seputar Sosiologi Hukum
Menurut Gustav Radbruch, bahwa tujuan dari hukum adalah kemanfaatan, keadilan dan juga adanya kepastian hukum. jika menganalisis pendapat Radbruch barusan, maka kita akan mendapati tujuan yang sama dari janji para politikus yang ingin menjadi pembuat hukum di legislatif. Rakyat menjadi objek yang sangat menarik untuk disenandungkan dalam keadaan lirih, namun faktanya pemerintah bukan memainkan alat musik instrumental dan menyanyikan lagu yang mellow untuk meyakinkan masyarakat dengan suara Indahnya ketika mengutarakan janji politik. Tapi justru pemerintah layaknya Revenge The Fate ataupun Asking Alexandria yang mencoba membuat rakyat geram dengan suara screaming yang menyakitkan, oleh karena itu wajar jika masyarakat marah dengan kepalsuan yang dibuat oleh pemerintah, terlebih penipuan itu melanggar tujuan Hukum untuk mensejahterakan rakyat. Sebab itulah Sosiologi Hukum hadir sebagai teman berjuang dari Positivisme hukum dalam mencapai tujuan yang sama yaitu adanya kemanfaatan, keadilan dan juga kepastian hukum. selain berbicara tujuan hukum, ada juga fungsi hukum. fungsi hukumpun berkaitan dengan peraturan tatanan sosial yang sudah mapan maupun yang belum mapan. Prof. Marwan Mas memaparkan tentang beberapa fungsi hukum yang berkaitan dengan masyarakat, diantaranya:

Fungsi hukum sebagai sarana Social Control, hukum sebagai social control berupaya untuk mengontrol masyarakat agar tidak menyimpang dengan norma dan nilai yang telah berkembang secara generalistik di tatanan masyarakat kita. Ketika maysarakat menyimpang dari aturan tersebut, maka akibatnyapun akan ditanggung oleh pelaku tersebut. Untuk memahami konsep diatas, ada baiknya diungkapkan sebuah contoh agar mudah dipahami. Sebagai contoh, dalam Pasal 285 KUH-Pidana yang mengatur tentang perkosaan oleh seorang lelaki karena adanya kekerasan atau ancaman kekerasan dengan ancaman sanksi pidana. Akan tetapi, bagi laki-laki dan wanita yang salah satunya memiliki ikatan tali perkawinan yang sah. Lantas melakukan hubungan suami istri dengan perasaan suka-sama suka, maka akan diancam dengan sanksi pidana perzinahan seperti diatur dalam Pasal 284 KUH-Pidana. Dengan gambaran diatas, dapat terlihat secara konkrit bahwa hukum berfungsi untuk mengontrol masyrakat agar tidak melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai yang terkandung dari sebuah norma.
Fungsi hukum sebagai “a tool of social enginering”, fungsi hukum dalam artian a tool of social enginering berarti bahwa hukum sebagai konsep perekayasa social (mengubah masyarakat), adalah untuk menciptakan perubahan-perubahan dalam masyarakat menuju kemajuan yang terencana.

 

Artinya untuk menata kembali kehidupan masyarakat yang terencana sesuai dengan tujuan bangsa. Kehidupan masyarakat sampai kini selalu mengalami perubahan atau dinamika yang sangat pesat. Soerjono Soekanto memberikan sebuah analisis tentang a tool of social enginering dengan menyatakan bahwa “Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat dalam arti bahwa hukum mungkin digunakan sebagai alat agen of change. Dan, agen of change atau pelopor perubahan adalah seorang atau kelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga masyarakat”.  Dengan pandangan Soerjono Soekanto diatas, dapat ditarik sebuah benang merah dari a tool of social enginering bahwa fungsi ini merupakan tugas yang diemban oleh para tokoh ataupun pejabat yang dijadikan representatif dan menjadi tulang punggung dari setiap amanat masyarakat untuk mengubah tatanan sosial menjadi sesuatu yang lebih baik.

Terakhir ada fungsi hukum sebagai pengintegrasian sosial, disini hukum menjadi pengurangan setiap konflik yang terjadi dan memperlancar proses interaksi sosial masyarakat. Jadi disini hukum berfungsi sebagai sarana untuk menciptakan keserasian dari berbagai kepentingan masyarakat sehingga keberlangsungan hidup berjalan dengan tertib dan lancar.
Dengan analisis fungsi dan tujuan hukum, maka kita akan mendapati bahwa segala konsep yang dibicarakan dalam hukum berkaitan erat dengan tatanan sosial dan hal yang mustahil untuk dipisahkan seperti pandangan dari Positivisme Austin atau Hukum Murninya Hans Kelsen. Mengapa harus mengkaji Sosiologi Hukum? itu mungkin pertanyaan yang sangat fundamentil dari benak mahasiswa hukum yang kritis terhadap 37 Pasal dalam UUD 1945 dan ribuan pasal yang lain dalam peraturan perundang-undangan dibawah UUD 1945.
Sebelum menjawab pertanyaan diatas, ada baiknya kita mengenal tentang apa itu sosiologi hukum. Jika menganalisa dari tinjaunan gramatikal, maka kita akan mendapati sebuah kata yang berbeda digabungkan dalam satu struktur kata yaitu Sosiologi dan Hukum. oleh karena itu, pemaknaan sosiologi hukum dapat dimulai dengan menjelaskan terlebih dulu makna dari sosiologi.

Social dalam bahasa inggris artinya hidup bersama, lawan dari individual yang artinya hidup sendiri. Dengan demikian, sosiologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari manusia yang hidup bersama atau ilmu tentang tata cara manusia berinteraksi dengan sesamanya sehingga tercipta hubungan timbal balik dan pembagian tugas serta fungsinya masing-masing. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa Sosiologi adalah ilmu tentang masyarakat. Masyarakat sebagai objek dari Sosiologi bersifat empiris, realistik dan tidak bersandar pada kebenaran spekulatif. Dalam sosiologi, setiap kajian yang diperoleh dalam masyarakat secara observatif akan menghasilkan teori yang dapat dijadikan dalil atau pijakan bagi penelitian berikutnya.

Namun jika dikaji secara filosofis, pengetahuan yang diakumulasikan menjadi ilmu dalam hal sosiologi harus berdasarkan sesuatu yang empiris dan observatif. Menjadi bagian penting dari dua macam pengetahuan yakni sebagai pengetahuan dan pengalaman yang digali dari sebuah kenyataan. Pengalaman manusia dapat direduksi menjadi pengetahuan yang berharga bagi kehidupan manusia, sehingga akumulasi pengalaman manusia dapat menjadi ilmu. Dengan analisis Beni Ahmad Saebani diatas, dapatlah kita memahami bahwa sosiologi merupakan lenguhan dari pengetahuan dan pengalaman yang bersumber dari sebuah kenyataan. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Anthony Giddens bahwa “Sosiologi merupakan disiplin ilmu yang telah mapan dan kuat yang tidak bersifat normatif, karena sosiologi tidak menggali apa yang seharusnya terjadi, melainkan apa yang sedang terjadi yang dapat disaksikan oleh semua orang”. Bahkan Soerjono Soekanto menambahkan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang murni dan bukan merupakan imu terapan.

Share:

0 komentar:

Post a Comment