OUT
SOURCING KEDOK DARI KAPITALISME
Dewasa ini masyarakat kapitalis
umumnya ditandai oleh terciptanya polarisasi sosial diantara para pemilik
kapital dengan pekerja. (Revrisond Bawsir, 1999 : 4). Kebebasan kaum kapitalis adalah
kebebasan yang ditopang oleh penguasaan fakor-faktor produksi, dengan
faktor-faktor produksi kaum kapitalis memiliki kemampuan untuk memanipulasi dan
membeli kebebasan yang dimiliki komponen masyarakat lainnya. Termasuk kebebasan
yang dimiliki oleh para pejabat negara.
Kondisi dunia
yang telah dihegemoni oleh kekuatan kapitalisme global mencengkram seluruh
sendi-sendi kehidupan. Dua sifat utama
dari kapitalisme yaitu eksploitatif dan ekspansif. Kedua wajah kapitalisme
ini berjalan beriringan sehingga pencapaian tujuan kapitalisme untuk
meningkatkan akumulasi modal semakin masive. Menurut Tabb dalam Susetiawan (2009 : 6), bahwa konstruksi kelembagaan untuk
mengatur tata dunia dilakukan melalui organisasi atau agen-agen internasional
antara lain WTO (World Trade Organization), GATT (General Agreement on Trade
and Tariff), Bank Dunia (World Bank), IMF (International Monetary Fund) dan
berbagai lembaga lainnya.
Globalisasi memperluas pergerakan
modal dan memberi tempat yang makin penting bagi korporasi besar dunia (MNCs). Di Indonesia kita menyaksikan sebuah
pergeseran yang menandai makin kuatnya ekspansi kapitalis global. Hingga
mencengkram seluruh basis perekonomian nasional, dari perekonomian skala besar
sampai perekonomian rakyat kecil. Ekspansi besar-besaran perusahaan multi
nasional disertai juga dengan tuntutan mekanisme kerja baru yang memperkenalkan
sistem hubungan kerja yang fleksibel dalam bentuk outsourcing dan kerja
kontrak.
Semua mekanisme kerja dimaksudkan
untuk meraih keuntungan yang lebih besar dengan mengurangi tanggung jawab
pemilik modal atau pengusaha terhadap masa depan pekerjaannya. Kata kunci yang selalu mereka
ungkapkan yaitu efisiensi yang hampir identik dengan kue keuntungan yang makin
besar (Rekson Silaban, 2009:4).
Indonesia
pasca reformasi setelah tumbangnya rezim diktator, terbukanya alam kebebasan
memberikan efek positif bagi setiap warga negara untuk berserikat dalam
organisasi-organisasi masyarakat. Begitu juga kelompok buruh semakin
tergorganisir dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Walaupun demikian belumlah
selesai masalah perburuhan dinegeri ini.
Rekson Silaban (2009 : 48) mencatat beberapa masalah utama
perburuhan pasca reformasi yaitu masalah pengangguran dan berimplikasi pada
meningkatnya jumlah pekerja sektor informal, masalah pendidikan dan komposisi,
sistem pengupahan, praktek outsourcing dan kontrak, masalah sistem pengawasan
tenaga kerja, dan masalah jaminan sosial tenaga kerja.
Masalah tersebut menjadi isu-isu yang
cukup sexy apalagi pada saat kampanye
partai politik.
Agenda yang selalu menjadi perdebatan yang tidak pernah habis-habisnya karena
isu tersebut tetap dijaga sebagai alat kepentingan politik. Dalam paper ini
yang menarik untuk dianalisis yaitu masalah outsourcing sebagai sebuah
mekanisme perburuhan yang lahir dari rahim kapitalisme modern.
Outsourcing merupakan bentuk nyata
dari prinsip fleksibelitas pasar kerja dan dapat ditemukan dihampir seluruh
bagian dalam rangkaian proses produksi (Rekson Silaban, 2009 : 71). Selain itu outsoursing juga
didefinisikan sebagai pengalihan sebagian atau seluruh pekerjaan dan atau
wewenang kepada pihak lain guna mendukung strategi pemakaian jasa outsourcing
baik pribadi, perusahaan divisi atau pun sebuah unit dalam perusahaan (Komang
Priamda, 2008 : 12).
Outsourcing memiliki dua jenis,
pertama outsourcing pekerjaan yang berkaitan dengan pemborongan pekerjaan pada pihak lain, kedua outsourcing manusia. Tipe
outsourcing yang kedua merupakan praktek yang memberikan efisiensi pada tingkat
tertentu dalam operasional bisnis, namun merugikan secara serius kepentingan
buruh dipihak lain. Praktek inilah yang ditentang oleh gerakan buruh di
Indonesia khususnya. Apalagi setelah disahkannya UU No. 13 Tahun 2003, praktek
sistem kerja kontrak merajarela bagaikan jamur di musim hujan. Nyaris semua
perusahaan memberlakukannya dalam bentuk kontrak kerja yang pendek dan
outsourcing.
Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 adalah
landasan hukum bagi perusahaan outsourcing dan pengusaha berkonspirasi
mempraktekkan outsourcing. Bunyinya sebagai berikut : "Perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja atau buruh yang dibuat secara
tertulis". Berdasarkan pasal inilah pemerintah telah mengakui pemberlakuan
sistem kerja kontrak dan outsourcing yang dahulu kala merupakan salah satu
bentuk penjajahan koloni asing atas Indonesia di perusahaan-perusahaan
perkebunan yang ada di Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment