UNDANG 1945
A.
Pengertian
pembagian kekuasaan
Istilah yang digunakan dalam bahasa
indonesia sebagai penerjemahan konsep trias politika adalah pemisahan
kekuasaan. Namun jika kita melihat pada pelaksanaan trias politika sebagai yang
dicitakan ideal oleh Montesquieu di Inggris ternyata tiap-tiap kekuasaan tidak
dapat terpisah. Akan lebih tepat jika konsep ini disebut sebagai pembagian
kekuasaan. Sebab tak ada kekuasaan yang berdiri sendiri.[1]
Pembagian kekuasaan (division of power)
adalah pemisahan kekuasaan secara formal yaitu pemisahan kekuasaan yang mana
tiap bagiannya tidak dibatasi pemisahannya secara tegas (masih memungkinkan
fungsi bersama). Sedangkan pemisahan kekuasaan (separation of power)
adalah pemisahan kekuasaan secara materiil, yaitu bagian-bagiannya dipisahkan
secara tegas.[2]
Negara tentu saja mempunyai
kekuasaan, karena pada dasarnya negara merupakan organisasi kekuasaan. Dengan
kata lain negara memiliki amat banyak kekuasaan. Kekuasaan negara merupakan
kewenangan negara untuk mengatur seluruh rakyatnya untuk mencapai keadilan dan
kemakmuran, serta keteraturan.
Dalam praktik ketatanegraan tidak jarang terjadi pemusatan
kekuasaan di satu orang saja, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan
yang dilakukan secara absolut atau otoriter. Maka untuk menghindari hal
tersebut perlu adanya pembagian kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan
keseimbangan untuk negara itu sendiri.
Pembagian kekuasaan pemerintahan
Republik Indonesia 1945 berdasarkan ajaran pembagian kekuasaan yang dikenal
garis-garis besarnya dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, tetapi pengaruh
dari luar diambil tindakan atas tiga kekuasaan, yang dinamai Trias Politica,
seperti dikenal dalam sejarah konstitusi di Eropa Barat dan Amerika Serikat.[3] Bagaimana
konsep pembagian kekuasaan yang dianut negara Indonesia? Mekanisme pembagian
kekuasaan di indonesia diatur sepenuhnya di dalam UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Penerapan pembagian kekuasaan secara horizontal dan pembagian
kekuasaan secara vertikal.[4]
Pembagian kekuasaan secara horizontal yaitu pembagian kekusaan yang berlangsung
antara lembaga lembaga yang sederajat. Sedangkan pembagian kekuasaan secara
vertikal yaitu merupakan pembagian kekuasaan menurut tingkatannya.
B.
Pembagian
Kekuasaan menurut UUD 1945
Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim (1988) pemisahan
kekuasaan dalam arti materil dapat disebut sebagai pemisahan kekuasaan.
Sementara pemisahan kekuasaan dalam arti formil disebut dengan pembagian
kekuasaan. Jimly Assiddiqie, berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan bersifat horizontal
dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin
dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (check
and balances). Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti
perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada
lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
Menurut Jimly, menyatakan bahwa selama ini (sebelum amandemen), UUD
1945 menganut paham pembagian kekuasaan yang bersifar vertikal, bukan pemisahan
kekuasaan yang bersifat horizontal. Kedaulatan rakyat dianggap terwujud penuh
dalam wadah MPR yang dapat ditafsirkan sebagai lembaga tertinggi ataupun
sebagai forum tertinggi. Dari sini, fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai
tugas dan kewenangan lembaga-lembaga tinggi negara yang ada dibawahnya, yaitu
Presiden, DPR, MA, dan seterusnya.[5]
Setelah
UUD 1945 diamandemen, terjadi perubahan mendasar bahwa kedaulatan rakyat tidak
lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilaksanakan oleh banyak lembaga
negara menurut ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang dasar. Hal ini
berarti bahwa tugas dan wewenang lembaga-lembaga negara mendapat atribusi
langsung dari UUD 1945 sebagai manifestasi kehendak rakyat. Akibatnya terjadi
perubahan struktur dan mekanisme kelembagaan negara, dimana MPR tidak lagi
berkedudukan sebagai lembaga negara tertinggi. MPR, DPR, DPD, Presiden dan
Wakil Presiden, MA, MK dan Badan Pemerikasa Keuangan berkedudukan sebagai
lembaga negara tinggi. Hal ini berarti telah terjadi pergeseran prinsip dari
pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal menjadi pemisahan kekuasaan yang
bersifat horizontal.
Materi
perubahan pada Perubahan Keempat UUD 1945 telah mereposisi
kelembagaan negara dan hubungan antar
lembaga negara. Penguatan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan sistem pemerintahan
presidensil telah menimbulkan pergeseran kekuasaan diantara eksekutif dan
legislatif, serta menempatkan lembaga yudisial sebagai penegak supremasi hukum.
Dalam ketatanegaraan yang lazim melakukan kekuasaan
legilastif adalah parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sedangkan
kekuasaan eksekutif ada pada Presiden atau Kabinet yang dipimpin Perdana
Menteri, dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh badan peradilan seperti Mahkamah
Agung dan peradilan di bawahnya.[6]
Menurut
Moh. Kosnardi dan Bintan R. Saragih (1994) bahwa UUD 1945 tidak menganut asas
pemisahan kekuasaan, dengan tidak hanya menunjuk kerja sama antara DPR dan
Pemerintah dalam tugas legslatif saja. Selain itu, pada Pasal 24 Ayat 1 UUD
1945 tidak menjelaskan kekuasaan kehakiman, hanya saja pada Ayat 2 dirumuskan,
bahwa kekuasaan kehakiman ini tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan lain.[7]
Adalah menjadi kebiasaan di Eropa
barat untuk membagi tugas pemerintahan kedalam tiga bidang kekuasaan, yaitu:
1.
Kekuasaan
legislatif, kekuasaan untuk membuat undang-undang.
2.
Kekuasaan
eksekutif, kekuasaan untuk menjalankan undang-undang.
3.
Kekuasaan
legislatif, kekuasaan untuk mempertahankan undang-undang (kekuasaan untuk
mengadili)
Pemisahan dari ketiga kekuasaan ini sering
kita temui dalam sistem ketatanegaraan berbagai negara, walaupun batas
pembagian itu tudak selalu sempurna karena kadang-kadang satu sama lainnya
tidak benar-benar terpisah bahkan saling pengaruh dmempengaruhi.
Orang-orang yang mengemukakan teori
pemisahan kekuasaan negara ialah : John Locke dan Montesquieu. John Locke
seorang ahli tata negara ingrris adalah orang yang pertama kali dianggap
membicarakan ini.
Dalam bukunya yang berjudul Two
Treatises on Civil Goverment (1690), John Locke memisahkan kekuasaan
tiap-tiap negara dalam:
a.
Kekuasaan
legislatif, kekuasaan untuk membuat undang-undang
b.
Kekuasaan
eksekutif, kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang
c.
Kekuasaan
federatif, kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan
dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri.
Menurut John Locke ketiga kekuasaan
ini harus dipisahkan satu sama lainnya. Setengah abad kemudian dengan diilhami
oleh pembagian kekuasaan dari John Locke, Montesquieu (1689-1755) seorang
pengarang, ahli politik dan filsafat Prancis menulis sebuah buku berjudul L’Esprit
des lois (jiwa undand-undang) yang diterbitkan di Jenewa pada tahun 1748 (2
jilid).
Dalam hasil karya ini Montesquieu
menuli tentang Konstitusi Inggris. Yang antara lain mengatakan, bahwa dalam
setiap pemerintahan terdapat tiga jenis kekuasaan yang diperincinya dalam :
kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Ketiga
kekuasaan ini melaksanakan semata-mata dan selengkap-lengkapnya kekuasaan yang ditentukan
kepadanya masing-masing.[8]
Pendapat yang dikemukakan oleh
Montesquieu merupakan penyempurnaan dari pendapat John Locke. Kekuasaan
federatif oleh Montesquieu dimasukkan ke dalam kekuasaan eksekutif, fugsi
mengadili dijadikan kekuasaan yang berdiri sendiri. Teori Montesquieu ini lebih
dikenal dengan istilah Trias Politika.[9]
C.
Trias Politika
Trias Poltika adalah suatu prinsip
normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan yang sebaiknya tidak diserahkan pada orang
yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.
Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara lebih terjamin. Ajaran
Trias Politika di luar negeri pada hakikatnya mendahulukan dasar pembagian
kekuasaan dan pembagian atas tiga cabang kekuasaan.
Sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia menurut UUD 1945, tidak menganut suatu sistem dari negara
manapun,tetapi merupakan suatu sistem yang khas menurut kepribadian bangsa
indonesia. Namun sistem ketatanegaraan Republik Indonesia tidak terlepas dari
ajaran Trias Politika[10]
D.
Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah
Sebagaimana
telah dikemukakan, Indonesia adalah negara kesatuan yang menerapkan sistem
desentralisasi. Artinya, kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan tidak
seluruhnya dijalankan oleh Pemerintah Pusat, melainkan sebagian diserahkan
kepada daerah-daerah. Sistem desentralisasi ini melahirkan otonomi daerah, yang
secara struktural diwujudkan dengan pembentukan Pemerintah Daerah.
Dengan
sistem desentralisasi, pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada badan
politik lokal (pemerintah daerah)[16]. Wewenang daerah yang diterima dari
Pemerintah Pusat itu disebut otonomi daerah. Dasar konstitusional bagi
berlakunya otonomi daerah, yang kemudian diikuti dengan pembentukan
pemerintahan daerah adalah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18. Undang-Undang
tentang Pemerintahan Daerah telah berkali-kali mengalami perubahan (amendemen).
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah kini dicabut dan
digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi
daerah sehingga perlu diganti.
1.
Pemerintah
Pusat
Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintahan pusat dalam arti
tidak diserahkan kepada daerah meliputi:
a. Politik luar negeri, misalnya,
pengangkatan pejabat diplomatik;
b. Pertahanan, misalnya, membentuk
angkatan bersenjata;
c. Keamanan, misalnya, membentuk
kepolisian negara;
d. Yustisi, misalnya, kehakiman,
peradilan;
e. Moneter, misalnya, berhubungan
dengan uang atau keuangan; dan fiskal, misalnya, berkenaan dengan urusan pajak
atau pendapatan negara;
f. Agama, misalnya, menetapkan hari
libur keagamaan yang berlaku secara nasional.
Mengapa hal-hal tersebut di atas tidak
diserahkan kepada pemerintah daerah? Kewenangan pemerintah pusat lebih pada
perumusan kebijakan publik yang menyangkut kepentingan seluruh bangsa dan
urusan luar negeri, sedangkan kewenangan pemerintah daerah adalah sebagai
berikut.
1.
Kewenangan politik
Selama ini pemerintah pusat ikut campur dalam masalah
pemilihan kepala daerah. Dengan adanya otonomi daerah, rakyat diberi kesempatan
memilih langsung kepala daerahnya masing-masing. Kepala daerah yang terpilih
bukan penguasa tunggal karena ia bertanggung jawab kepada DPRD. Apabila
melanggar peraturan perundang-undangan, DPRD bisa memberhentikannya.
2.
Kewenangan administrasi
Hal ini kaitannya dengan masalah
keuangan. Pemerintah pusat memberikan dana (uang) kepada daerah, dan daerah
mengelolanya untuk kepentingan-kepentingan organisasinya. Uang itu merupakan
hasil pendapatan negara yang berasal dari sumber daya alam, pajak, dan bukan
pajak yang sebagian juga berasal dari daerah.
2. Pemerintah Daerah
Penyelenggara pemerintahan daerah
adalah Pemerintah Daerah dan DPR Daerah. Pemerintah Daerah dipimpin oleh Kepala
Daerah yang dibantu oleh satu orang Wakil Kepala Daerah. Guna melaksanakan
penyelenggaraan pemerintahan daerah dibentuk perangkat daerah. Dalam uraian
berikut, akan dibahas tentang Kepala Daerah, DPR Daerah, dan perangkat daerah.
Dalam menyelenggarakan kewenangan
daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan menjadi urusan Pemerintah Pusat.
Urusan pemerintahan yang menjadi
urusan Pemerintah Daerah adalah:
a. Perencanaan dan pengendalian
pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan, dan
pengawasan tata ruang;
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat;
d. Penyediaan sarana dan prasarana
umum;
e. Penanganan bidang kesehatan;
f. Penyelenggaraan bidang pendidikan;
g. Penanggulangan masalah sosial;
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. Fasilitas pengembangan koperasi,
usaha kecil, dan menengah;
j. Pengendalian lingkungan hidup;
k. Pelayanan pertanahan;
l. Pelayanan kependudukan dan catatan
sipil;
m. Pelayanan administrasi umum dan
pemerintahan;
n. Pelayanan administrasi penanaman
modal;
o. Penyelenggaraan pelayanan dasar
lainnya;
p. Urusan wajib lainnya yang
diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
E.
Sistem Pembagian Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan
Sesudah Amandemen
Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD
1945, tidak menganut suatu sistem negara manapun, tetapi adalah suatu sistem
khas menurut kepribadian bangsa indonesia, namun sistem ketatanegaraan Republik
indonesia tidak terlepas dari ajaran Trias Politica Montesquieu. Ajaran trias
politica tersebut adalah ajaran tentang pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga
yaitu Legislatif, Eksekutif, dan Judikatif yang kemudian masing-masing
kekuasaan tersebut dalam pelaksanaannya diserahkan kepada satu badan mandiri,
artinya masing-masing badan itu satu sama lain tidak dapat saling mempengaruhi
dan tidak dapat saling meminta pertanggung jawaban.
Apabila ajaran trias politika diartikan suatu ajaran
pemisahan kekuasaan maka jelas Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran
tersbut, oleh karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisah-pisahkan,
dan masing-masing kekuasaan negara tersebut pelaksanaannya diserahkan kepada
suatu alat perlengkapan negara.
Susunan organisasi negara adalah alat-alat
perlengkapan negara atau lembaga-lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945 baik
baik sebelum maupun sesudah perubahan. Susunan organisasi negara yang diatur
dalam UUD 1945 sebelum perubahan yaitu :
(1) Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR)
(2) Presiden
(3) Dewan
Pertimbagan Agung (DPA)
(4) Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR)
(5) Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK)
(6) Mahkmah
Agung (MA)
Badan-badan kenegaraan itu disebut lembaga-lembaga
Negara. Sebelum perubahan UUD 1945 lembaga-lembaga Negara tersebut
diklasifikasikan, yaitu MPR adalah lembaga tertinggi Negara, sedangkan
lembaga-lembaga kenegaraan lainnya seperti presiden, DPR, BPK, DPA dan MA
disebut sebagai lembaga tinggi Negara.
Sementara itu menurut hasil perubahan lembaga-lembaga
negara yang terdapat dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut:
(1) Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR)
(2) Presiden
(3) Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR)
(4) Dewan
Perwakilan Daerah (DPD)
(5) Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK)
(6) Mahkmah
Agung (MA)
(7) Mahkamah
Konstitusi (MK)
Secara institusional, lembaga-lembaga negara merupakan
lembaga kenegaraan yang berdiri sendiri yang satu tidak merupakan bagian dari
yang lain. Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau wewenangnya, lembaga
Negara tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain,
hal itu menunjukan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin pemisahan kekuasaan.
Dengan
perkataan lain, UUD 1945 menganut asas pembagian kekuasaan dengan menunjuk pada
jumlah badan-badan kenegaraan yang diatur didalamnya serta hubungan kekuasaan
diantara badan-badan kenegaraan yang ada, yaitu;
A.
Sebelum Perubahan
- MPR,
sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, mempunyai kekuasaan untuk menetapkan
UUD, GBHN, memilih Presiden dan Wakil Presiden serta mengubah UUD
- Presiden,
yang berkedudukan dibawah MPR, mempunyai kekuasaan yang luas yang dapat
digolongkan kedalam beberapa jenis:
- Kekuasaan
penyelenggaran pemerintahan;
- Kekuasaan
didalam bidang perundang undangan, menetapakn PP, Perpu;
- Kekuasaan
dalam bidang yustisial, berkaitan dengan pemberian grasi, amnesti,
abolisi dan rehabilitasi;
- Kekuasaan
dalam bidang hubungan luar negeri, yaitu menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain, mengangkat duta dan konsul.
- DPR,
sebagai pelaksana kedaulatan rakyat mempunyai kekuasaan utama, yaitu
kekuasaan membentuk undang-undang (bersama-sama Presiden dan mengawasi
tindakan presiden.
- DPA, yang
berkedudukan sebagai badan penasehat Presiden, berkewajiban memberikan
jawaban atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada
pemerintah
- BPK,
sebagai “counterpart” terkuat DPR, mempunyai kekuasaan untuk memeriksa
tanggung jawab keuangan Negara dan hasil pemeriksaannya diberitahukan
kepada DPR.
- MA, sebagai
badan kehakiman yang tertinggi yang didalam menjalankan tugasnya tidak boleh
dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah.
B.
Setelah Perubahan
- MPR, Lembaga
tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya
seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK, menghilangkan kewenangannya
menetapkan GBHN, menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena
presiden dipilih secara langsung melalui pemilu), tetap berwenang
menetapkan dan mengubah UUD, susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri
dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah
yang dipilih secara langsung melalui pemilu.
- DPR, Posisi
dan kewenangannya diperkuat, mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya
ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja)
sementara pemerintah berhak mengajukan RUU, Proses dan mekanisme membentuk
UU antara DPR dan Pemerintah, Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme
kontrol antar lembaga negara.
- DPD, Lembaga
negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah
dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan
daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR, keberadaanya
dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan negara Republik Indonesia, dipilih
secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu, mempunyai
kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan
kepentingan daerah.
- BPK, Anggota
BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD, berwenang mengawasi
dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta
menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh
aparat penegak hukum, berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan
di setiap provinsi, mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas
internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.
- Presiden, Membatasi
beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan
pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem
pemerintahan presidensial, Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan
kepada DPR, Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode
saja, Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan
pertimbangan DPR, kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus
memperhatikan pertimbangan DPR, memperbaiki syarat dan mekanisme
pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara
langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan
presiden dalam masa jabatannya.
- Mahkmah
Agung, Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kekuasaan kehakiman,
yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan
keadilan [Pasal 24 ayat (1)], berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji peaturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang
lain yang diberikan Undang-undang.di bawahnya terdapat
badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan
Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN), badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan,
Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.
- Mahkamah
Konstitusi, Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi
(the guardian of the constitution), Mempunyai kewenangan: Menguji
UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus
pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan
atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil
presiden menurut UUD, Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan
masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh
Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara
yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif.
Atas dasar itu, UUD 1945 meletakan asas dan
ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan-hubungan (kekuasaan) diantara
lembaga-lembaga negara tersebut. Hubungan –hubungan itu adakalanya bersifat
timbal balik dan ada kalanya tidak bersifat timbal balik hanya sepihak atau
searah saja.
KESIMPULAN
Teori Pembagian Kekuasaan dikemukakan
oleh beberapa tokoh, di antaranya adalah John Locke, Montesquieu dengan teori
Trias Politikanya, C. van Vollenhoven Donner dan Goodnow dengan Teori Catur
Prajanya. Namun yang lebih banyak digunakan di berbagai negara adalah Teori
Pembagian Kekuasaan Trias Politika dalam melaksanakan pembagian kekuasaan.
Walaupun tidak sama persis, namun prinsip-prinsipnya tetap dipertahankan hingga
sekarang.
Pemisahan kekuasaan bersifat
horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang
tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi
(check and balances). Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam
arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada
lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
Indonesia adalah negara kesatuan yang
menerapkan sistem desentralisasi. Artinya, kekuasaan untuk menyelenggarakan
pemerintahan tidak seluruhnya dijalankan oleh Pemerintah Pusat, melainkan
sebagian diserahkan kepada daerah-daerah. Sistem desentralisasi ini melahirkan
otonomi daerah, yang secara struktural diwujudkan dengan pembentukan Pemerintah
Daerah.
Badan Legislatif yaitu pembuat
undang-undang pada umumnya di berbagai negara terdapat pada parlemen dalam
negara itu, di Indonesia badan legislatif terdiri atas Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan badan-badan yang memiliki
wewenang legislasi, kontrol dan anggaran.
Badan eksekutif terdiri atas kepala
negara seperti raja atau presiden beserta menteri-menterinya. Dalam arti luas
pegawai negeri sipil serta militer juga termasuk kedalam badan eksekutif. Badan
eksekutif memiliki beberapa wewenang yang diantaranya mencakup berbagai bidang
yaitu Administratif, Legislatif, Keamanan, Yudikatif memberi grasi, amnesti,
abolisi dan sebagainya
Badan Yudikatif biasanya identik
dengan kehakiman dimana badan ini bertugas sebagai mengadili dan memutuskan
pelanggaran undang-undang. Diberbagai negara badan yudikatif memiliki berbagai
persamaan. Di Indonesia badan Yudikatif terdiri atas Mahkamah Konstitusi (MK),
Mahkamah Agung (Ma), serta Komisi Yudisial (KY).
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU- BUKU:
Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan
dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI
Isrok dan Dhia Al Uyun, Ilmu Negara
(Berjalan dalam Dunia Abstrak), Malang: Universitas
Brawijaya Pers
Kansil, C.S.T. Hukum Tata Negara Republik Indonesia,
Jakarta: PT. Rineka Cipta
Kansil, C.S.T. Sistem Pemerintahan
Indonesia, Jakarta: Aksara Baru
Kusnardi, Moh dan Ibrahim Harmaily, Hukum
Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara FH UI
Kusnadi, Moh. dan R. Saragih, Susunan
Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-
Undang
Dasar 1945, Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama,
INTERNET:
Andukot Ismael, Sistim Pembagian Kekuasaan Negara Republik
Indonesia,
https://andukot.wordpress.com/2010/05/03/sistim-pembagian-kekuasaan-negara
republik-indonesia-menurut-uud-1945/, diakses 20 Oktober 2017, jam 09:07 WIB
Maolioka, Sistem Pembagian Kekuasaan Negara Republik Indonesia,
http://www.maolioka.com/2016/08/sistem-pembagian-kekuasaan-negara.html?m=1,
diakses 20 Oktober 2017 jam 10:30 WIB
Mentigi, Iqbal. Trias Politica (Sistem Pembagian Kekuasaan
Negara Republik Indonesia
menurut UUD 1945), http://optimalmax.blogspot.in/2014/05/trias-politica-sistem-pembagian.html?m=1, diakses 20 Oktober 2017 jam 11:07 WIB
Utomo, Eddy. Konsep Pembagian Kekuasaan Negara di Indonesia,
http://pkn-ips.blogspot.in/2014/10/konsep-pembagian-kekuasaan-negara-di.html?m=1, diakses 20 Oktober 2017, jam 09:21 WIB
[1] Moh. Kusnardi dan Ibrahim Harmaily, Hukum Tata
Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 1988),
Hal. 140.
[2] Isrok dan Dhia Al Uyun, Ilmu Negara (Berjalan
dalam Dunia Abstrak), (Malang: Universitas Brawijaya Pers), Hal. 125,
[3] Andukot Ismael, Sistim Pembagian Kekuasaan Negara Republik
Indonesia, https://andukot.wordpress.com/2010/05/03/sistim-pembagian-kekuasaan-negara-republik-indonesia-menurut-uud-1945/,
diakses 20 Oktober 2017, jam 09:07 WIB
[4] Eddy Utomo, Konsep Pembagian Kekuasaan Negara di Indonesia, http://pkn-ips.blogspot.in/2014/10/konsep-pembagian-kekuasaan-negara-di.html?m=1,
diakses 20 Oktober 2017, jam 09;21 WIB
[5] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan
dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), Hal. 29.
[6] C.S.T Kansil, Sistem Pemerintahan
Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), Hal. 11.
[7] Moh. Kusnardi dan R. Saragih, Susunan
Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1994), Hal. 32.
[8] C.S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2008, hlm. 73-74
[9] Maolioka, Sistem Pembagian Kekuasaan Negara Republik Indonesia, http://www.maolioka.com/2016/08/sistem-pembagian-kekuasaan-negara.html?m=1,
diakses 20 Oktober 2017 jam 10:30 WIB
[10] Iqbal Mentigi, Trias Politica (Sistem Pembagian Kekuasaan Negara
Republik Indonesia menurut UUD 1945), http://optimalmax.blogspot.in/2014/05/trias-politica-sistem-pembagian.html?m=1,
diakses 20 Oktober 2017 jam 11:07 WIB
0 komentar:
Post a Comment