HUKUM DALAM MASYARAKAT PEDESAAN DAN PERKOTAAN SERTA PENGARUHNYA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Sejak
lahir di dunia, manusia telah bergaul dengan manusia-manusia lain didalam suatu
wadah yang bernama masyarakat. Manusia selalu hidup bersama dan diantara
manusia lainnya. Dalam bentuk konkretnya manusia bergaul, berkomunikasi dan
berinteraksi dengan manusia lainnya.[1] Mula-mula, dia berhubungan
dengan orang tuanya dan semakin meningkat umurnya, semakin luas pula daya cakup
pergaulannya dengan manusia lain didalam masyarakat tersebut. Sementara semakin
meningkat usianya manusia mulai mengetahui, bahwa dalam hubungannya dengan
warga lain dari masyarakat dia bebas, namun tidak boleh berbuat semaunya. Hal
ini lama-kelamaan menimbulkan kesadaran dalam diri manusia, bahwa kehiudupan
didalam masyarakat sebelumnya berpedoman pada suatu aturan yang oleh sebagian
besar masyarakat dipatuhi dan ditaati karena merupakan pegangan baginya.
Hubungan-hubungan antarmanusia serta antara manusia dengan masyarakat atau
kelompoknya, diatur oleh serangkaian nilai-nilai dan kaidah-kaidah dan
perilakunya lama-kelamaan melembaga menjadi pola-pola.
Kaidah-kaidah
dan nilai-nilai yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat bermacam-macam
ragamnya,dan diantara sekian macam kaidah yang merupakan salah satu kaidah
terpenting adalah kaidah-kaidah hukum disamping kaidah-kaidah dan pola-pola
hukum dapat dijumpai pada setiap masyarakat, baik yang tradisional maupun yang
modern, walaupun kadang-kadang warga masyarakat yang diatur tidak atau kurang
menyadari. Namun sebetulnya kaidah-kaidah hukum dan pola-ola hukum tersebut
mengatur hamper seluruh segi kehidupan warga masyarakat.
Kaidah-kaidah
hukum tersebut ada yang berwujud sebagai peraturan-peraturan tertulis,
keputusan-keputusan pengadilan maupun keputusan-keputusan lembaga
kemasyarakatan lainnya.
Hukum
secara sosiologis adalah penting dan merupakan suatu lembaga kemasyarakatan
(Social Institution) yang merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan
pola-pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok
manusia.Hukum didalam masyarakat ada yang terhimpun dalam suatu system yang
disusun dengan sengaja, yang sesuai dengan pembidangannya.
B.
Rumusan masalah
1. Apa
pengertian masyarakat pedesaan dan perkotaan ?
2. Bagaimana
hukum dalam masyarakat pedesaan dan perkotaan ?
3. Bagaimana
pengaruh hukum terhadap masyarakat pedesaan dan perkotaan ?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian masyarakat pedesaan dan perkotaan.
2. Untuk
mengetahui hukum dalam masyarakat pedesaan dan perkotaan.
3. Untuk
mengetahui pengaruh hukum terhadap masyarakat pedesaan dan perkotaan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian masyarakat pedesaan dan perkotaan
1. Masyarakat
pedesaan
Desa menurut definisi
universal, adalah sebuah aglomerasi pemukiman di area pedesaan (rural). Di
Indonesia, Desa adalah pembagian wilayah administrasif di Indonesia dibawah
Kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala Desa.[2]
Menurut Peraturan
Pemerintah No.57 Tahun 2005 Tentang Desa, Desa adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara kesatuan
Republik Indonesia.[3]
Masyarakat pedesaan sulit
mengadakan komunikasi antara satu dengan lainnya. Hanya saja hambatan semacam
ini diimbangi dengan hubungan diantara sesame mereka yang sangat erat dan
akrab.
Masyarakat pedesaan dapat
diidentifikasikan dengan ciri-ciri sebagai berikut (Siswanto,1998):
a. Homoginitas
social
Bahwa masyarakat desa pada umumnya terdiri
dari satu atau beberapa kekerabatan saja, sehingga pola hidup, tingkah laku
maupun kebudayaan sama/homogeny. Oleh karena itu, hidup di desa biasanya
tenteram aman dan tenang. Hal ini disebabkan oleh pola pikit, sikap dan
pandangan yang sama dari setiap warganya dalam menghadapi suatu masalah.
Kebersamaan, kesederhanaan, keserasian dan kemanunggalan selalu menjiwai setiap
warga masyarakat desa tersebut.
b. Hubungan
primer
Dalam masyarakat desa, hubungan
kekeluargaan dilakukan secara akrab dan semua kegiatan dilakukan secara
musyawarah.Mulai masalah-masalah umum/masalah bersama sampai masalah
pribadi.Anggota masyarakat yang satu dengan yang lain saling mengenal secara
intim. Pada masyarakat desa masalah secara materi mungkin sangat kurang atau
tidak mengijinkan.
c. Kontrol
social yang ketat
Di atas dikemukakan bahwa hubungan pada
masyarakat pedesaan sangat intim dan diutamakan, sehingga setiap anggota
masyarakatnya saling mengetahui masalah yang dihadaoi anggota lainnya. Bahkan
ikut mengurus terlalu jauh masalah dan kepentingan dari anggota masyarakat
lain. Kekurangan dari salah satu anggota masyarakat, adalah merupakan kewajiban
anggota yang lain untuk menyoroti dan membenahi.
d. Gotong
royong
Nilai-nilai gotong royong pada masyarakat
pedesaan tumbuh dengan subur dan membudaya. Semua masalah kehidupan
dilaksanakan secara gotong royong baik dalam arti gotong royong murni maupun
gotong royong timbal balik. Gotong royong murni sukarela, misalnya : melayat,
mendirikan, rumah dan sebagainya. Sedangkan gotong royong timbal baik misalnya,
mengerjakan sawah, menyumbang dalam hajat tertentu dan sebagainya.
e. Ikatan
social
Setiap anggota masyarakat diikat dengan
nilai-nilai adat dan kebudayaan secara ketat. Bagi anggota yang tidak memenuhi
norma-norma dan kaidah yang sudah disepakati, akan dihukum dan dikeluarkan dari
ikatan social dengan
mengucilkan/memencilkan.
f. Magis
Religius
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
bagi masyarakat desa sangat mendalam. Bahkan setiap kehidupan sehari-hari
dijiwai bahkan kepada-Nya.
g. Pola
kehidupan
Masyarakat desa bermata pencaharian di bidang agraris, baik pertanian, perkebunanm
perikanan dan peternakan. Pada umumnya setiap anggota hanya mampu melaksanakan
salah satu bidang kehidupan saja..
Dalam
masyarakat pedesaan atau masyarakat sederhana kehidupan kelompok sangat kuat. Hal itu terutama disebabkan oleh karena adanya
orientasi yang sangat kuat,bahwa kehidupan manusia tergantung pada sesamanya
kehidupan berkelompok tersebut ditunjang oleh ikatan kekerabatan dan ikatan
tempat kediaman yang sama sehingga sangat terasa pengaruh daripada
keluarga-keluarga luas maupun kelompok-kelompok besar yang terikat pada
persamaan wilayah.
2. Masyarakat
pedesaan
Dari segi demografis kota
dikenal sebagai tempat/pemukiman yang padat penduduk, dengan perbedaan yang
sangat beragam antar individu/penduduk dalam berbagai aspek, dari aspek social
ekonomi.[4]
Kota, menurut definisi
universal adalah sebuah area urban yang berbeda dari desa ataupun kampong
berdasarkan ukurannya, kepadatan penduduk, kepentingan, atau status hukum.[5]
Masyarakat perkotaan
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Masyarakat
yang heterogen
Masyarakat kota adalah masyarakat yang
heterogen,karena dari berbagai macam individu yang berlatar belakang,
pendidikan, social, agama yang berbeda.
b. Individualistis
Bahkan kehidupan masyarakat kota, hidup
sendiri-sendiri, terlepas keterkaitan dengan orang lain. Dalam kehidupan
semacam ini individu mementingkan dirinya sendiri dan tidak saling mengenal di
antara mereka.
c. Kontrol
social yang tidak ketat
Pada masyarakat kota, tindakan atau
perbuatan seseorang tidak dipedulikan oleh orang lain, asalkan tidak mengganggu
kepentingan orang lain. Mereka tidak tahu terhadap perbuatan orang lain
walaupun [erbuatan itu melanggar aturan yang ada.
d. Perubahan
social yang cepat
Tersedianya prasarana dan sarana yang
lengkap di kota, persaingan yang ketat antara penduduk kota menyebabkan
masyarakat kota cepat berubah. Disamping itu biasanya kota terbuka dan mudah
menerima pengaruh dari luar.
B. Hukum
dalam masyarakat pedesaan dan perkotaan
1. Hukum
dalam masyarakat pedesaan
Masyarakat sederhana pada
umumnya menganggap kehidupan sebagai sesuatu yang penuh dengan penderitaan dan
kesengsaraan.Untuk menghadapi serta mengatasi keadaan tersebut, maka manusia
harus bekerja keras agar semua halangan dapat teratasi. Kejadian-kejadian alam
yang merupakan bencana dianggapnya sebagai nasib yang serba buruk mereka
percaya bahwa dengan sebanyak mungkin meyerasikan dirinya dengan alam, maka
segala sesuatu harus dihadapi secara gotong royong, dan oleh karena itulah
perlu dijaga hubungan baik dengan sesame manusia.
Hal-hal yang diuraikan
secara singkat diatas,merupakan sebagian dari nilai-nilai yang dianut oleh
warga masyarakat yang sederhana. Apabila nilai-nilai tersebut dikonkritisasikan
menjadi kaidah-kaidah, misalnya kaidah hukum, maka terwujudlah hukum adat.
Nilai-nilai tersebut, pada hakikatnya merupakan dasar bagi hukum adat yang
berlaku pada masyarakat sederhana yang bersangkutan.
Pergaulan hidup manusia diatur
oleh berbagai macam kaidah atau norma, yang pada hakikatnya bertujuan
menghasilkan kehidupan bersama yang tertib dan tenteram.[6] Kehidupan social yang
dibangun di atas berbagai kepentingan dan kebutuhan melahirkan kaidah yang
mengatur simpang siur kepentingan dan kebutuhan antarmanusia. Kaidah yang
disepakati diterapkann untuk memperoleh ketertiban dan keamanan manusia dalam
melakukan hubungan dengan sesamanya.Semakin terbiasa dengan kaidah yang
berlaku, terbentuklah adat. Manaka adat dijadikan patokan dalam mengukur baik
dan buruknya kehidupan social, hal itu berarti adalat telah menjadi hukum.[7]
Didalam kehidupan
masyarakat yang sederhana tersebut, maka ada suatu kecenderungan yang sangat
kuat bahwa segala ketentuan hukum adat haruslah dijalankan secara sukarela.
Artinya, didalam penegakan hukum adat tersebut tidak ada unsur paksaan, oleh
karena segala tindakan yang diambil terhadap penyimpangan hanyalah merupakan
suatu usaha untuk mengembalikan keadaan pada situasi semula yang dianggap
sebagai garis yang ideal dan harus dipegang denga teguhnya. Dengan demikian,
maka titik berat penegakan hukum pada masyarakat sederhana, adalah ketentraman
yang merupakan salah satu tujuan hukum (disamping ketertiban).
Didalam masyarakat
sederhana tersebut ada kecenderungan yang kuat, bahwa system pengendalian
social dilaksanakan dengan kuat oleh segenap warga masyarakat yang
bersangkutan. Warga masyarakat yang telah dewasa rata-rata mengetahui dengan
memahami kaidah-kaidah hukum yang berlaku, serta akibatnya apabila terjadi
suatu penyimpanan didalam bentuk penyelewengan. Pengetahuan serta pemahaman
kaidah-kaidah tersebut merupakan salah satu bagian pokok dari proses
sosialisasi yang kemudian melembaga dan membudaya dalam diri warga-warga
masyarakat tersebut. Sistem pengendalian social yang ada bahkan juga merupakan
suatu lembaga tradisional. Oleh karena itu, maka ada kalanya pengendalian
social dilakukan dengan cara memperoleh keyakinan warga masyarakat akan
kebaikan kaidah hukum (atau kaidah-kaidah lainnya,seperti kaidah kepercayaan,
kesusilaan dan kesopanan).
Pengendalian social
didalam masyarakat sederhana juga dilakukan dengan cara memberikan penghargaan
kepada warga masyarakat yang taat pada kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
Ketaatan pada kaidah hukum dianggap sebagai suatu keadaan yang wajar bagi
seriap warga masyarakat/kadang-kadang dikembangkan suatu rasa malu pada diri
warga masyarakat, apabila mereka melakukan penyimpangan atau penyelewengan,
yang kemungkinan besar berakibatkan timbulnya rasa takut.
Keadaan-keadaan tersebut
diatas merupakan beberapa hal yang harus dihadapi didalam proses pembangunan
(hukum khususnya) yang sedang dilakukan dewasa ini. Didalam hal ini akan
terlihat dengan nyata betapa besar peranan hukum adat didalam proses
pembangunan tersebut,artinya tanpa melalui hukum adat, maka proses pembangunan
akan mengalami hambatan-hambatan yang lebih besar lagi.
Sebagai contoh
pembangunan hukum tersebut,akan dijelaskan perihal desa yang pada dasarnya
diatur dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1979 :
a. Peraturan
perundang-undangan yang mengatur desa.
b. Peraturan
perundang-undangan yang mengatur desa sejak tahun 1979, adalah antara
lain,sebagai berikut :
1) Undang-Undang
nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan Desa.
2) Keputusan
Presiden nomor 28 tahun 1980 tentang Penyempurnaan dan Peningkatan Fungsi
Lembaga Sosial Desa (LSD) menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD).
3) Intruksi
Presiden nomor 3 tahun 1980 tentang Bantuan Pembangunan Desa tahun 1980/1981.
4) Keputusan
Menteri Dalam Negeri nomor 23 tahun 1980 tentang Temu Karya Lembaga Sosial
Desa.
5) Keputusan
Menteri Dalam Negeri nomor 43 tahun 1980 tentang Penyelenggaraan Penataran
dalam rangka penjelasan Petunjuk Teknis Prasarana Desa.
6) Keputusan
Menteri Dalam Negeri nomor 225 tahun 1980 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD).
7) Intruksi
Menteri Dalam Negeri nomor 9 tahun 1980 tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor
5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
8) Intruksi
Menteri Dalam Negeri nomor 25 tahun 1980 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden
nomor 28 tahun 1980 tentang Penyempurnaan dan Peningkatan Fungsi Lembaga Sosial
Desa (LSD) menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD).
9) Peraturan
Menteri Dalam Negeri nomor 1 tahun 1981 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Pemerintahan Desa dan Perangkat
Desa.
10) Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 2 tahun
1981 tentang Pembentukan Lembaga
Masyarakat Desa.
11) Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 3 tahun
1981 tentang Keputusan Desa.
12) Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 4 tahun 1981
tentang Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan Desa.
13) Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 5 tahun
1981 tentang Pembentukan Dusun dalam Desa dan Lingkungan dalam Kelurahan.
14) Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 6 tahun
1981 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, Pemberhentian
Sementara dan Pemberhentian Kepala Desa.
15) Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 7 tahun
1981 tentang Tata Cara Pengambilan Sumpah/Janji dan Pelantikan Kepala Desa.
16) Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 8 tahun
1981 tentang Persyaratan, Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris
Desa, Kepala Urusan dan Kepala Desa.
17) Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 30 tahun
1981 tentang Pembentukan Team Pembina Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa dan Team Penggerak Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga.
18) Intruksi Menteri Dalam Negeri nomor 4 tahun
1981 tentang Mekanisme Pengendalian Pelaksanaan Program Masuk Desa.
19) Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 35 tahun
1981 tentang Rapat Kerja Pembangunan Desa Seluruh Indonesia tahun 1981.
2. Hukum
dalam masyarakat perkotaan
Didalam suatu masyarakat
yang modern atau pramodern diperlukan ketegasan mengenai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dari masing-masing warga masyarakat. Dalam hal ini, maka
fungsi hukum tidaklah semata-mata sebagai sarana untuk mengadakan pengendalian
social dan pelancar interaksi social, akan tetapi sebagai sarana untuk
mengadakan perubahan social. Secara tradisional, maka hukum cenderung berfungsi
sebagai sarana pengendalian social dan
pelancar interaksi social.[8]
Hukum
yang berlaku pada masyarakat perkotaan adalah hukum tertulis yang sangat
kompleks.Hukum tertulis dapat dibedakan pula atas dua jenis yaitu :
1. Hukum
tertulis yang dikodifikasikan:hukum yang disusun secara lengkap, sistematis,
teratur dan dibukukan, sehingga tidak memerlukan lagi peraturan pelaksanaan.
Hukum tertulis di Indonesia yang
dikodifikasikan antara lain KUHPidana, KUHPerdata, dan KUHDagang;
2. Hukum
tertulis yang tidak dikodifikasikan:hukum yang meskipun tertulis tetapi tidak
disusun secara sistematis, lengkap, dan masih terpisah-pisah, sehingga
seringkali masih memerlukan peraturan pelaksanaan dalam penerapannya.Misalnya
Undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, dan sebagainya.[9]
Agar hukum tertulis
efektif, maka harus diadakan program-program pelembagaan hukum tertulis
tersebut,dengan memperhatikan peranan hukum adat. Proses pelembagaan tersebut
akan berhasil, apabila dipertimbangkan faktor-faktor, sebagai berikut (Selo Sumardjan
1965)
1. Efektivitas
penanaman unsur-unsur baru,
2. Reaksi
masyarakat,
3. Jangka
Waktu penanaman unsur-unsur baru dalam masyarakat.
C. Pengaruh
hukum terhadap masyarakat pedesaan dan perkotaan
1. Pengaruh
hukum terhadap masyarakat pedesaan
Hukum adat mempunyai corak
magis-religis, yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia.
Dalam masyarakat desa,kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa sangat mendalam,Seperti di daerah Jawa,mereka mengadakan
selamatan-selamatan untuk meminta rezeki,minta perlindungan,minta diampuni,dsb,
dan apabila mereka mendapat rezeki yang lebih mereka juga mengadakan
selamatan.Lalu,pada masyarakat desa juga sering melakukan sholat berjamaah ke
masjid pada saat waktu sholat seperti shubuh dan maghrib.
Secara asumtif dapatlah
dikatakan,bahwa warga masyarakat sederhana mempunyai kecenderungan untuk
berorientasi pada status atau kedudukan. Dengan demikian,maka kecenderungan
tersebut dapat dikaitkan (dan memang mempunyai kaitan langsung) dengan
lambing-lambang kedudukan atau symbol-simbol kedudukan. Orientasi semacam itu
merupakan suatu hambatan tehadap pembangunan hukum, oleh karena lebih banyak
didasarkan pada hubungan kekerabatan,daripada fungsi masing-masing.
Di desa di Jawa, marga di
Sumatera Selatan, nagari di Minangkabau, kuria di Tapanuli, Wanua di Sulawesi
Selatan, adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai
kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan
hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama
atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Bentuk kekeluargaanya (patrilineal,
matrilineal, atau bilateral) mempengaruhi system pemerintahannya terutama
berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan, dan pemungutan hasil hutan
dan hasil air, ditambah sedikit dengan perburuan binatang liar, pertambangan
dan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam hak dan
kewajibannya.Penghidupan mereka berciri; komunal, dimana gotong royong, tolong
menolong, serasa dan selalu mempunyai peranan yang besar.”
2. Pengaruh
hukum terhadap masyarakat perkotaan
Dalam masyarakat yang
beragam (yang berbeda secara horizontal karena kebudayaan aatau agama, atau
secara vertical oleh kasta dan kelas),hukum terutama mencerminakan
aspirasi-aspirasai yang tidak berasal dari “masyarakat”, tetapi dari
kelompok-kelompok dan lapisan-lapisan yang menciptakan, merumuskan, dan
menetrapkan hukum itu.[10]
Dalam masyarakat modern
atau perkotaan tampat suatu kecenderungan, semakin berperannya keluarga inti
atau keluarga batin. Peranan keluarga luas semakin berkurang, seiring dengan semakin
berpudarnya ikatan-ikatan tradisional. Didalam keluarga inti atau keluarga
batih juga timbul pembagian kerja yang semakin ketat, dimana peranan ayah dan
ibu menagalami perubahan-perubahan, terutama dalam kaitannya dengan peranan
masing-masing dalam proses sosialisasi anak-anak.
Dalam berpolitik dan
beradministrasi, dimana kekuasaan dan wewenang seseorang secara tegas
dipisahkan dari unsur-unsur pribadinya, walaupun harus diakui bahwa unsur-unsur
pribadi mempunyai pengaruh terhadap proses pelaksanaan kekuasaan dan wewenang
tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
Masyarakat
pedesaan adalah menurut Peraturan Pemerintah nomor 57 tahun 2003 tentang
Desa,desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah
yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat,berdasarkan asal usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan
dihormati dalam system Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Hukum
yang berlaku di masyarakat pedesaan atau masyarakat sederhana yaitu hukum adat
yang ada di daerah mereka masing-masing
Masyarakat
kota, menurut definisi universal adalah sebuah area urban yang berbeda dari
desa ataupun kampong berdasarkan ukurannya, kepadatan penduduk, kepentingan,
atau status hukum.Hukum yang berlaku di masyarakat kota atau masyarakat modern
yaitu hukum tertulis yang saat ini berlaku, seperti KUHPerdata, KUHPidana,
KUHDagang, Undang-undang, peraturan
pemerintah, keputusan presiden, dan sebagainya.
Secara
asumtif dapatlah dikatakan,bahwa warga masyarakat sederhana mempunyai
kecenderungan untuk berorientasi pada status atau kedudukan. Dengan
demikian,maka kecenderungan tersebut dapat dikaitkan (dan memang mempunyai
kaitan langsung) dengan lambing-lambang kedudukan atau symbol-simbol kedudukan.Dalam
masyarakat modern atau perkotaan tampat suatu kecenderungan, semakin
berperannya keluarga inti atau keluarga batin. Peranan keluarga luas semakin
berkurang, seiring dengan semakin berpudarnya ikatan-ikatan tradisional.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Beni Saebani,Sosiologi Hukum.Bandung:Pustaka
Setia,2006.
Mas Marwam,Pengantar Ilmu Hukum,Bogor:Penerbit
Ghalia Indonesia,2015.
Shalahudin Mahfud dan Abd
Kadir,Ilmu Sosial Dasar,Surabaya:PT
Bina Ilmu,1991.
Soekanto Soerjono,Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,Jakarta:Rajawali
Pers,2003.
Soekanto Soerjono,Hukum Adat Indonesia,Jakarta:Rajawali
Pers,2016.
Wahyu Ramdani,Ilmu Sosial Dasar,Bandung:Pustaka
Setia,2007.
Weiner Myron,Modernisasi Dinamika Pertumbuhan,Yogyakarta:Gadjah
Mada University Press,1994.
PEMBAHASAN
PRESENTASI
TEORI
HUKUM DAN KESEPAKATAN HUKUM SOSIAL
Pergaulan
hidup manusia diatur oleh berbagai macam kaidah atau norma, yang pada
hakikatnya bertujuan menghasilkan kehidupan bersama yang tertib dan tenteram.
Kehidupan social yang dibangun di atas berbagai kepentingan dan kebutuhan
melahirkan kaidah yang mengatur simpang siur kepentingan dan kebutuhan
antarmanusia. Kaidah yang disepakati diterapkann untuk memperoleh ketertiban
dan keamanan manusia dalam melakukan hubungan dengan sesamanya.Dari keingininan
kehidupan bersama yang tertib dan aman ini melahirkan norma social yang telah
disepakati oleh masyarakat,norma social yang disepakati ini merupakan hukum
yang lebih tinggi,seiring perkembangnya zaman norma social ini berkembang
menjadi peraturan-peraturan atau Undang-Undang Dasar atau yang kita kenal
sekarang yaitu hukum tertulis dan tidak tertulis yang saat ini berlaku.
[1]
Mahfud Shalahudin dan Abd Kadir,Ilmu
Sosial Dasar,Surabaya:PT Bina Ilmu,1991,hlm22.
[2]
Ramdani Wahyu,Ilmu Sosial Dasar,Bandung:Pustaka
Setia,2007,hlm.207
[3]
Ibid,
[4]
Mahfuds Shalahuddin dan Abd.Kadir,Ilmu
Sosial Dasar,Surabaya:Pt.Bina Ilmu,1991.hlm.74.
[5] Ramdani
Wahyu,Ilmu Sosial Dasar,Bandung:Pustaka
Setia,2007.hlm.212
[6]
Soejono Sokanto,Pokok-Pokok Sosiologi
Hukum,Jakarta:Rajawali Pers,2003.hlm 67.
[7]
Beni Ahmad Saebani,Sosiologi Hukum.Bandung:Pustaka
Setia,2006.hlm 146-147.
[8]
Soejono Soekanto,Hukum Adat Indonesia,Jakarta:Rajawali
Pers,2016.hlm.358.
[9]
Marwan Mas,Pengantar Ilmu Hukum,Bogor:Penerbit
Ghalia Indonesia,2015.hlm.76.
[10]Myron
Weiner,Modernisasi Dinamika Pertumbuhan,Yogyakarta:Gadjah
Mada University Press,1994. Hlm.124
0 komentar:
Post a Comment