MUDIK DAN KERETAKAN BUDAYA
A. PENDAHULUAN
Fenomena mudik di Indonesia, telah menjadi tradisi bagi bangsa
Indonesia. Bahkan arus mudik diperkirakan akan semakin meningkat sesuai dengan
perkembangan penduduk dan migrasi dari desa ke kota. Tak ada tradisi mudik
tanpa didahului fenomena migrasi dari desa ke kota. Namun, ini tak berarti
bahwa fenomena mudik maupun urbanisasi semata-mata menyangkut persoalan
perpindahan orang dari satu tempat ke tempat lain. Sebab, kedua tempat yang
dirujuknya yakni desa dan kota bukan suatu ruang hampa nilai, yang sama sekali
tidak mempengaruhi nilai-nilai para penghuninya.
Kota selalu diidentikkan dengan peradaban dan kebudayaan. Kata
“kebudayaan” dalam bahasa Arab adalah “al-hadharah”, yang juga berarti tinggal
di perkotaan.Sebaliknya,sepertidalamkataSun dapesisir dan Betawi, kata “udik”
(yang seakar dengan kata “mudik”) merujuk kepada “desa” dan “kampungan, kurang
beradab”. Perbedaan nilai yang menonjol antara desa dan kota terletak pada
intensitas respons daya-daya manusiawi atas daya-daya alami. Kota lebih culture,
sebab di sini daya-daya manusia selalu tampak kuat untuk mengatasi determinasi
alam. Sedangkan desa lebih nature, di sini manusia lebih ditaklukkan
oleh daya-daya alam,atas nama keseimbangan dengan alam.
Para sosiolog memperlihatkannya dengan menunjuk fakta bahwa kota
merupakan tempat-tempat pusat industri, kantong mobilitas ekonomi, dan pusat
kekuasaan yang membuat keputusankeputusan khalayak. Kota dipandang mempunyai
daya tarik, lebih beradab dan berbudaya ketimbang desa, tidak berarti bahwa
kota benar-benar merupakan ruang ideal bagi manusia. Sangat banyak kritik
dilontarkan atas nilai-nilai urban. Kritik-kritik ini semakin tajam dengan
mengindustrinya daerah perkotaan. Kritik-krtik ini pertamatama menunjuk kepada
logika khas industrialisasi, yakni logika fungsional.
Dengan logika ini, identitas manusia kota ditentukan oleh
fungsinya sehinggga kehilangan identitas objektif dirinya (identitas
ontologis).Manusia-kota cenderung terkonsentrasi kepada pekerjaannya secara
mekanis. Dengan demikian, manusia kota diliputi anonimitas. Logika fungsional
industrialisasi pula yang memperparah watak individualisme kaum urban yang
telah ada sebelumnya. Dengan dua karakteristik nilai ini, bagi para
pengkritiknya, manusia-kota menjadi sosok yang kering kerontang. Kondisi ini
semakin kronis dengan kecenderungan orientasi kota kepada nilainilai yang
material dan profan. Lengkaplah sudah kegersangan manusia-kota.
Berangkat dari asumsi-asumsi tersebut banyak orang memandang bahwa
tradisi mudik memberikan dampak positif bagi kaum urban yang berasal dari desa.
Dengan mudik, mereka mendapatkan siraman nilai-nilai desa untuk meredakan
kegersangan yang dialaminya di kota. Oleh karenanya, diyakini bahwa mudik dapat
menjadi mekanisme penyimbangan nilai-nilai kaum migran.
Secara hermeneutis, mudik adalah proses mengembalikan diri ke arah
kebeningan hati, kedamaian laku, dan kepedulian terhadap soal kemiskinan.
Modernitas, tentunya akan melahirkan keterasingan diri, sebagai dampak dari
kapitalisme, di mana pekerja yang menghadapi raksasa impersonal di lingkungan
perkotaan. Ketakberdayaan, perasaan terpencil, dan tidak bermakna cenderung
menghinggapi jiwa manusia modern ketika mereka berada pada kuasa pemilik modal.
Tak hanya itu, individualisme pun menguat karena di kota sekumpulan hari adalah
waktu untuk bekerja, “I Only Work Here” (Kuntowijoyo, 2006: 109).
Itulah yang disebut Kuntowijoyo sebagai sebuah kesadaran balik.
Seorang pejabat kembali kepada perilaku “udik” yang tidak berani mengambil hak
milik orang lain. Pengusaha dan pekerja dapat menyisihkan sebagian hartanya
untuk warga di tempat tujuan bermudik. Sebab selama tinggal di kota, hidup ini
sedemikian ditunggangi ketidakmerdekaan diri. Mudik ke kampung halaman adalah
upaya pembebasan diri dari penatnya aktivitas masyarakat kota yang
individualistik. Di dalam kata mudik dan “udik” juga terkandung kesamaan arti
bahwa perilaku asali manusia mesti mencerminkan keaslian diri seperti
kolektivisme, kejujuran, dan peduli terhadap sesama sebagai ciri khas warga di
tempat asal kita. Selama kita hidup di perkotaan yang individualistik, tak
salah kalau sehari dua hari meluangkan waktu untuk berbagi dengan warga
kampung.
Socrates pernah berbisik, hidup yang tak diperiksa tidak layak
diteruskan. Kenapa? Sebab ketika tidak diperiksa atau direfleksikan, tiada
bedanya dengan hehewanan. Peristiwa gempa beberapa pekan lalu, diharapkan dapat
menyadarkan kita untuk sejenak berefleksi, berbagi dengan sesama adalah misi
suci tanpa henti. Bagi pemudik dari Daerah Jawa Barat Selatan, itu adalah pesan
kemanusiaan untuk mengingat kembali penderitaan warga miskin.
Atau dengan kata lain, mudik berusaha menumbuhkan kembali “sense
of crisis” adalah awal membentuk harapan korban bencana sehingga kembali
menguat dan menemukan optimisme. Meskipun harus diakui bahwa tradisi mudik
bukan hanya monopoli bangsa Indonesia, namun kita yakin bahwa mudik di negeri
ini telah tercatat sebagai peristiwa yang luar biasa. Di Filipina misalnya,
perayaan Natal, juga terjadi gerak mudik besar-besaran, termasuk mudiknya para
tenaga kerja asing. Khusus mengenai para tenaga kerja asing itu, jumlah uang
(remitansi) yang mereka bawa masuk ke Filipina saat mudik, mencapai lebih dari
lima miliar dollar AS, dengan total pemasukan mencapai 16 milyar dollar AS
dalam setahun (lihat Suara Merdeka, 5 September 2010) .
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi mudik ternyata
lebih efektif menyalurkan dana ke daerah. Mudik mempercepat distribusi uang
dari kota ke pedesaan. Hal ini diperkuat tersedotnya uang dari pusat kegiatan
bisnis yang dibawa pemudik. Di tengah kelesuan ekonomi akibat krisis keuangan
global, mudik justru telah menggerakkan ekonomi Indonesia. Satu hal yang pasti,
konsumsi dan belanja masyarakat meningkat.
Dengan mengalirnya dana dari pusat ke daerah, dari kota ke
pedesaan, dari Jawa ke luar Jawa, dari Jakarta ke kota-kota kecil lainnya,
justru menggambarkan adanya kesenjangan wilayah kota dan desa. Apabila dilihat
secara sektoral, pertumbuhan ekonomi Indonesia didominasi oleh sektor industri
pengolahan, perdagangan, komunikasi, dan jasa keuangan. Keseluruhan sektor itu
menjadi ciri dari kekuatan kota dan urban.
Artinya, pertumbuhan ekonomi masih dimotori oleh kekuatan kota.
Sementara di wilayah regional atau daerah, pertumbuhan ekonomi masih didominasi
oleh kekuatan tradisional berupa pemanfaatan sumber daya alam. Sektor-sektor
yang menjadi penggerak masih berupa sektor pertanian dan pertambangan.
Permasalahannya adalah, mengapa tradisi mudik terus belangsung dan
jumlah para pemudik pun terus berkembang? Benarkah tradisi mudik berkaitan
langsung dengan adanya urbanisasi yang tak terkendali dari desa ke kota?
Benarkah penyebab berkembangnya arus mudik disebabkan adanya kemiskinan di
pedesaan?
B. URBANISASI TAK TERKENDALI
Masalah kemiskinan di pedesaan dan bertambahnya tenaga kerja dari
desa yang memenuhi wilayah perkotaan, harus diakui telah menciptakan urbanisasi
yang tak terkendali. Bahkan, sejak tahun 1970- an, sejumlah ahli telah
mengangkat topik tersebut menjadi perhatian utama di sejumlah negara
berkembang. Menurut sejumlah ahli, masalah tenaga kerja dan urbanisasi di
perkotaan berkaitan erat dengan munculnya kemiskinan di pedesaan.
Orang orang desa yang mayoritas sebagai petani melakukan
urbanisasi ke kota dan memilih pekerjaan baru di perkotaan pada dasarnya telah
terjadi penyesuaian struktural. Penyesuaian struktural itu, oleh Thorbecke
(1993: 45- 60) dianggap telah mengurangi tingkat kemiskinan, baik di desa
maupun di kota. Dalam kasus migrasi petani Jawa misalnya, pengalihan dari
pertanian telah membuat pendapatan dan curahan tenaga petani meningkat.
Apalagi, lahan pertanian di Jawa sudah terbatas, maka peluang lain adalah
mencari pekerjaan di luar pertanian. Suatu proses penyesuaian rasional yang
dipilih para petani untuk mampu bertahan dan menekuni sektor yang baru.
Akan tetapi, pandangan bahwa di desa penduduk bekerja di bidang
pertanian, sedangkan di kota biasanya berkaitan dengan gaya kehidupan industri
tentu masih perlu mendapat perhatian yang lebih saksama. Hal itu, tentu
bertolak dari kenyataan bahwa tidak semua penduduk kota terlibat atau
memperoleh pekerjaan dari pabrik, atau perusahaan, atau kantor pemerintah, yang
lazim disebut sektor formal. Justru tidak sedikit di antara penduduk kota yang
tertampung di sektor bukan formal, atau lazim disebut sektor informal. Jika
bertolak dari pendapat tersebut, lalu apa yang menentukan perbedaan antara
sektor formal dengan sektor informal?
Jan Breman (1980: 1 -35) berpendapat sektor formal digunakan dalam
pengertian pekerja bergaji, seperti pekerjaan dalam industri dan kantor
pemerintah. Hal itu meliputi: (a) sejumlah pekerjaan yang saling berhubungan
dan merupakan bagian dari struktur pekerjaan yang terjalin secara
terorganisasi; (b) pekerjaan yang secara resmi terdaftar statistik
perekonomian; dan (c) syaratsyarat bekerja dilindungi oleh hukum. Sedangkan perekonomian
yang tidak memenuhi kriteria tersebut, dimasukkan dalam istilah sektor informal
(suatu istilah yang mencakup pengertian berbagai kegiatan yang dalam istilah
umum disebut sebagai “usaha sendiri”). Sektor informal biasanya sulit dicacah
dan sering terlupakan dalam sensus resmi. Misalnya, pedagang kaki lima, penjual
koran, penyemir sepatu, penjaga kios, pengemis, pelacur, dan yang lain. Sektor
informal seringkali didefinisikan sebagai usahausaha tingkat rendahan yang
hanya membutuhkan sedikit modal dan menggambarkan ketidakmenentuan pekerjaan
dan pendapatan (bandingkan pada Sanchez 1981: 144-158).
Kembali menyinggung keberadaan petani yang kemudian meninggalkan
dunia pertanian untuk bekerja di kota seringkali keberadaannya dilihat sebagai
pengangguran terselubung justru menandai jenis pekerjaan sektor informal di
sejumlah kota negara berkembang. Sebab, keberadaannya yang berciri padat karya,
tingkat pendidikan yang tidak menuntut jenjang terlalu tinggi, penggunaan
teknologi menengah, mudahnya keluar masuk usaha, serta dapat dilakukan dalam
ruang lingkup keluarga, justru secara ekonomis lebih efisien dan menguntungkan
dalam menandai dinamika kehidupan perkotaan (bandingkan pada Boiroh, 1973 dan
Breman, 1980).
Bertolak dari gambaran tersebutlah maka perlu ada suatu pengkajian
mendalam tentang keberadaan para “petani” yang kini cenderung meninggalkan
dunia pertanian dan memasuki sektor informal di perkotaan. Bagaimana proses
penyesuaian mereka memasuki sektor di luar pertanian, sehingga melahirkan sejumlah
strategi adaptasi? Jenis pekerjaan apa saja yang dianggap menjadi pilihan dan
sesuai dengan ketrampilan yang mereka kuasai? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut maka perlu diajukan sejumlah hipotesis sebagai jawaban sementara yang
tujuannya tidak untuk diuji tetapi sebagai pemandu pada penelitian lapangan,
berikut ini. Pertama, para “petani” yang kini cenderung meninggalkan
dunia pertanian dan memasuki sektor informal di perkotaan biasanya akan memilih
jenis pekerjaan yang mereka kuasai sesuai dengan keahlian yang mereka miliki
dari desa. Jika mereka memilih jenis pekerjaan yang sesuai dengan keahlian yang
dimiliki dari desa, maka mereka akan cenderung memilih sejumlah jenis pekerjaan
yang ada kaitannya dengan dunia pertanian.
Kedua, jika memilih pekerjaan yang ada kaitannya dengan dunia pertanian, maka di kota dibutuhkan lahan pertanian yang memadai untuk menampung pekerjaan mereka.
Kedua, jika memilih pekerjaan yang ada kaitannya dengan dunia pertanian, maka di kota dibutuhkan lahan pertanian yang memadai untuk menampung pekerjaan mereka.
Akan tetapi, jika ternyata lahan tersedia di perkotaan lebih
cenderung mengakomodasi sektor industri dan jasa, maka yang harus dilakukan
para “petani” tersebut untuk beralih ke sektor lain yang bisa jadi tidak
berkaitan dengan dunia pertanian, yang lazim disebut sektor informal. Ketiga,
jika mereka memilih pekerjaan sektor informal, maka sejumlah keahlian yang
didapat dari desa di luar sektor pertanianlah dicoba untuk dikembangkan ke
kota. Jika mereka berusaha mengembangkan keahlian di luar sektor pertanian,
maka sejumlah keterampilan yang didapatkan dari lingkungan keluargalah yang
dijadikan sarana untuk menguasai jenis pekerjaan di perkotaan. Keempat,
jika sejumlah keterampilan yang didapatkan dari lingkungan keluarga dijadikan
sarana untuk menguasai jenis pekerjaan di perkotaan, maka jenis pekerjaan dan
tingkat resiko yang dihadapi akibat memilih pekerjaan tersebut menjadi tanggung
jawab keluarga. Kelima, jika jenis pekerjaan dan tingkat resiko yang
dihadapi akibat memilih pekerjaan tersebut menjadi tanggung jawab keluarga,
maka masingmasing keluarga akan berusaha mengembangkan strategi bersama dalam
rangka menguasai jenis pekerjaan di perkotaan.
Berdasarkan sejumlah hipotesis tersebut, maka dalam penelitian
sederhana ini peneliti akan mencoba mengkaji keberadaan dan strategi adaptif
“petani” yang kemudian menekuni sektor informal di perkotaan. Pengkajian
terhadap sektor informal ini terutama bertolak dari keberadaan pedagang kaki
lima serta melihat peran dan fungsi keluarga dalam mendukung strategi tersebut.
Topik ini dipilih dengan dua pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, keberadaan pedagang kaki
lima sangat menandai dinamika dan mobilitas di perkotaan. Bahkan, keberadaan
pedagang kaki lima merupakan salah satu pekerjaan yang penting dan nyata di
sejumlah negara berkembang Kedua, keberadaan pedagang kaki lima terutama
peran keluarga masih jarang dikaji secara kualitatif, padahal kehadirannya
menjadi “jawaban terakhir” yang mungkin berhadapan dengan proses urbanisasi
dari desa ke kota dan pertumbuhan kesempatan kerja yang lambat dalam sektor industri
Bertolak dari sejumlah gambaran itu, lahirlah sektor informal di perkotaan akibat
adanya urbanisasi yang berlangsung terus menerus, dari desa ke kota.
Meskipun para migran pedesaan seringkali dianggap sebagai kelompok
miskin di perkotaan, namun bukan berarti bahwa mereka yang menekuni sektor
informal berarti miskin. Keberadaan sektor informal justru sangat menandai
dinamika struktur pekerjaan di perkotaan, terutama bagi sejumlah negara
berkembang. Sejak istilah sektor informal pertama kali dilontarkan antropolog
Inggris, Keith Hart pada tahun 1970-an, maka banyak penelitian dan kebijakan
mulai menyoroti masalah kesempatan kerja kelompok miskin di perkotaan secara
khusus
Menurut Hart (61 -89) setelah mengamati kegiatan penduduk di kota
Accra dan Nima, Ghana, pada dasarnya kesempatan memperoleh penghasilan di
perkotaan dapat dibagi ke dalam kegiatan formal dan informal. Masing-masing
kelompok itu dibedakan dalam berbagai kategori yang didasarkan pada kegiatan
yang dilakukan individu, jumlah pendapatan dan pengeluaran yang mengalir dalam
perekonomian kota. Selain itu, perbedaan sektor formal dan informal dapat
dilihat dari keteraturan cara kerja, hubungan dengan perusahaan, curahan waktu,
serta status hukum yang dilakukan.
Dan, sektor informal merupakan kegiatan yang dilakukan kelompok
miskin di perkotaan dalam rangka mempertahankan hidup mereka. Konsep sektor
informal yang dilontarkan Hart tersebut, ternyata direspons positif oleh ILO (International
Labour Office) dan dikembangkan dalam penelitian yang dilakukan di
delapan kota negara berkembang, yaitu Sierra Leone (Free Town), Nigeria (Lagos
dan Kana), Ghana (Kumasi), Kolombo, Jakarta, Manila, Kordoba, dan Brazil
(Campinas). Berdasarkan hasil penelitian di kota-kota tersebut diungkapkan
bahwa mereka yang terlibat dalam sektor informal pada umumnya miskin,
berpendidikan rendah, berpenghasilan rendah, dan modal usaha rendah (Manning
dkk., 1996:76-77).
Beberapa temuan yang merupakan kesimpulan dari penelitian di
delapan kota tersebut ternyata mendapat respons dari sejumlah ahli. Bahkan tak
jarang yang kemudian mengkritisi dengan hasil penelitian baru, yang hasilnya
berbeda bertolak belakang dengan temuan sebelumnya.
Mazumdar (1976) misalnya,
mencatat bahwa tidak semua yang melakukan kegiatan di sektor informal berpenghasilan
rendah. Pendapatan mereka justru bervariasi, bahkan kalau dibandingkan dengan
kelompok buruh atau karyawan (kantor pemerintah, perusahaan swasta, dan yang
lain di perkotaan) yang tergolong dalam sektor formal, pendapatan pekerja yang
menekuni sektor informal justru lebih tinggi. Selain itu, kesimpulan bahwa yang
terlibat dalam sektor informal pada umumnya miskin, oleh Mazumdar yang juga
meneliti masalah pengangguran di Semenanjung Malaysia disanggah. Sebab,
dibandingkan dengan pendapatan mereka ketika masih di desa, pendapatan sekarang
dengan menekuni sektor informal di kota justru jauh lebih besar. Tanggapan
senada juga diungkapkan Breman (1980), yang pada dasarnya memandang sektor
informal merupakan suatu jenis teori dualisme baru, yang juga sejalan dengan
pemikiran Boeke tentang masyarakat petani.
Dualisme tersebut memuat penjelasan bahwa sektor informal di satu
pihak menunjuk pada perekonomian pasar di kota, sementara di pihak lain
menunjuk perekonomian subsistem di pedesaan dengan ciri utamanya sistem
produksi pertanian yang statis.
Meskipun demikian, menurut Boeke (1953), perkembangan masyarakat
petani pada dasarnya lebih bersifat sosial daripada ekonomi. Boeke
memperkenalkan nilai dan sikap masyarakat petani sebagai limited needs
atau oriental miticism, yakni suatu sikap yang merasa puas, tenteram,
damai, tanpa harus merasakan keinginan yang lebih daripada sekadar memiliki.
Maka, para petani yang kemudian meninggalkan dunia pertanian statis itu
berusaha bekerja di kota dan menekuni sektor informal, sebenarnya merupakan pilihan
yang paling rasional untuk mengatasi kemiskinan di pedesaan.
Apalagi, sektor informal lebih berciri padat karya, tidak menuntut
jenjang pendidikan yang terlalu tinggi, lebih mudah untuk keluar masuk menekuni
bidang usaha tertentu, serta dapat dilakukan dari ruang lingkup keluarga.
Bahkan, Papanek (1975) mengungkapkan, betapa pun kecilnya pendapatan yang
diperoleh dari sektor informal di perkotaan, kesempatan kerja di kota dianggap
jauh lebih baik daripada lapisan berpendapatan rendah di pedesaan Jawa.
Berangkat dari pendapatan yang bisa diperoleh, kesempatan kerja
yang bisa dilakukan, serta sejumlah peluang yang bisa didapatkan di perkotaan
itulah, maka bukan hal yang mustahil jika urbanisasi masyarakat petani tak bisa
dielakkan. Apalagi, kesempatan bekerja, lahan yang tersedia, serta pengalaman
yang harus dikembangkan di pedesaan yang semakin menyempit, maka mempertahankan
tinggal di desa menjadi sulit untuk dipertahankan. Untuk menunjukan
keberhasilan mereka di kota tersebut bagi masyarakat petani di desa salah satu
di antaranya adalah dengan terus menerus melanggengkan tradisi mudik.
C. MUDIK DAN KERETAKAN KULTURAL
Satu pemandangan yang tampaknya tidak akan hilang pada setiap
menjelang Lebaran misalnya, adalah tradisi mudik. Mudik memang telah menjadi
tradisi yang berlangsung lama dalam kultur masyarakat Indonesia pada setiap
tahunnya. Para pemudik adalah mereka yang hijrah ke kota, daerah lain, bahkan
negara lain, untuk bertemu kembali dengan keluarga, sanak saudara, kerabat, dan
sahabat. Tradisi mudik bukan hanya erat kaitannya dengan perayaan Idul Fitri,
melainkan juga erat kaitannya dengan berbagai dimensi kehidupan manusia.
Paling tidak ada tiga dimensi yang dapat kita amati dalam tradisi
mudik. Pertama, mudik memiliki dimensi spiritualkultural.Mudik dianggap sebagai
tradisi warisan yang dimiliki sebagian besar masyarakat Jawa. Hal ini
sebagaimana diungkapkan oleh Umar Kayam (2002) bahwa tradisi mudik terkait
dengan kebiasaaan petani Jawa mengunjungi tanah kelahiran untuk berziarah ke
makam para leluhur.
Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, kehidupan duniawi tidak dapat
dilepaskan dari kehidupan nanti di alam keabadian. Begitu pula ikatan batin
antara yang hidup dan yang mati tidak begitu saja lepas oleh hilangnya nyawa di
jasad.
Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa berziarah dan mendoakan
leluhur adalah kewajiban. Karena itu muncullah tradisi berziarah dalam kurun
waktu tertentu meskipun dipisahkan oleh kondisi geografis. Nilai spiritual yang
tertanam dalam tradisi berziarah inilah yang kemudian berdialektika dengan
kultur masyarakat yang kemudian melahirkan tradisi mudik.
Selain itu, mudik memiliki dimensi psikologis. Pulang ke kampung
halaman bagi para pemudik bukan hanya sebatas untuk merayakan Lebaran bersama
keluarga, tetapi juga untuk menghilangkan kepenatan beban kerja. Kerasnya
kehidupan kota, bisingnya kota, dan berbagai tekanan kerja lainnya membuat para
migran ini mengalami stres di tempat kerja, sementara keluarga yang menjadi
tempat berbagi rasa jauh darinya. Tenangnya suasana kampung halaman, sejuknya
alam pedesaan, ramahnya keluarga dan kerabat menjadi alasan yang tidak dapat
ditolak untuk tidak mudik.
Nostalgia kehidupan keluarga di kampung halaman juga menjadi salah
satu obat mujarab untuk menghilangkan stres bagi masyarakat migran kota. Selain
memuat dimensi spiritual dan psikologi, mudik juga memuat dimensi sosial.
Menjadi migran kota dengan setumpuk cerita keberhasilan merupakan
sebuah kebanggaan. Mudik menjadi salah satu media untuk mengkomunikasikan
cerita keberhasilan sekaligus menaikkan posisinya pada strata sosial yang lebih
tinggi dari sebelumnya. Cerita sukses hidup di rantau biasanya diwujudkan dalam
berbagai bentuk aksesoris dan gaya hidup para migran di tanah kelahiran. Tak
pelak pada kondisi terakhir ini mudik juga menjadi media penyalur watak
konsumeris dan hedonis. Dalam catatan Umar Kayam, mudik sejatinya tradisi lama
yang pernah menghilang.Sejak Islam datang, mulai terkikisnya budaya syirik,
ziarah menemukan momentum saat Lebaran.
Apalagi kultur Jawa yang kemudian diterima oleh kalangan Islam
tradisional menghasilkan akulturasi budaya yang harmoni. Perlahan ziarah kubur
yang dianggap sebagai syirik dapat diterima oleh kalangan tradisional dengan
disisipi ajaran agama. Mudik pun menjadi salah satu tradisi spiritual bagi
masyarakat untuk melakukan ziarah ke makam leluhur.
Sayangnya, tradisi mudik yang demikian kemudian luntur lantaran
niat mudik hanya untuk sekadar kelangenan (kesenangan), menghamburkan uang,
menunjukkan sikap konsumeris dan hedonis. Akibatnya, mudik selalu menjadi
persoalan, terutama terkait dengan kemacetan, kecelakaan, kriminalitas jalanan,
percaloan, dan kenyamanan transportasi.
Mudik dalam arti spiritual jarang dilakukan karena ia tidak banyak
memberi kepuasan bagi para pemudik. Padahal tradisi mudik yang selama ini
terjadi, jika dikaitkan dengan tradisi Lebaran, jauh dari spirit yang mestinya
dibangun. Hal ini merupakan sebuah kewajaran karena nilainilai spiritual lebih
bersifat abstrak dan tidak dapat dirasakan oleh orang lain. Said Aqiel Siradj
(2006) menegaskan bahwa makna tradisi Lebaran sebenarnya menyemai spirit
spiritualvertikal.
Dalam arti orang-orang yang merayakan harus kembali pada kefitrian
(kesucian) jati diri kemanusiannya sebagai hamba Tuhan. Hal ini terkait dengan
ibadah puasa yang dilakukan selama satu bulan penuh. Spiritual-vertikal manusia
ditempuh dengan ibadah dan akan sempurna jika dilanjutkan pada kesalehan
sosial-horizontal. Silaturahim menjadi wujud konkret dalam hal ini. Mudik
seharusnya dimaknai dengan menyambung hubungan spiritual dengan para leluhur
dan menyambut tali silaturahim dengan keluarga, saudara, kerabat, dan sahabat.
Bukan untuk kepentingan prestise sosial ataupun kepentingan
material lainnya. Berdasarkan sejumlah argumentasi itulah, tradisi mudik memuat
makna kultural, yang menyangkut identitas dan asal-usul entitas sosial-budaya.
Tradisi mudik telah menjadi dialektika kultural yang sudah berjalan
berabad-abad lamanya. Dan, merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa
yang sudah dikenal jauh sebelum berdiri Kerajaan Majapahit.
Dalam kebudayaan Jawa
misalnya, mudik berarti memuat makna tentang asal-usul genetis dan
transendental, sekaligus juga memuat makna asal-usul ruang atau tempat.
Misalnya, dalam bahasa Jawa, kata “dalem” berarti “saya”
yang sekaligus merujuk tentang makna tempat tinggal. Namun, tempat tinggal yang
dimaksud bukanlah rumah, melainkan simbol identitas. Dengan demikian, ikatan
asalusul sangat kuat bagi para migran— meskipun telah lama tinggal di kota.
Dari sini tampak bahwa fenomena mudik mengimplikasikan suatu heteronomi
kultural. Para pemudik berada pada sisi tarik-menarik antara situasi dan
nilai-nilai baru dengan yang lama.
Di satu sisi mereka tak bisa memungkiri bahwa mereka hidup,
bekerja, berdomisili, dan berumah di kota. Di sisi lain, mereka sangat terikat
dengan desa yang menjadi asal-usulnya. Hal ini berarti bahwa tradisi mudik
memperlihatkan betapa masyarakat kita sangat dikendalikan oleh masa silamnya.
Kepulangan para pemudik ke desanya merupakan simbol romantisme masyarakat kita.
Tantangannya terletak pada pengalaman bahwa romantisme cenderung
lebih bersifat reaktif ketimbang kreatif. Lebih dari itu, tradisi mudik
menggambarkan masih kuatnya ikatan primordial masyarakat. Dan sayangnya,
ikatan-ikatan primordial itu justru tumbuh pada mereka yang telah tinggal di
kota, yang nilai-nilainya seharusnya lebih berwatak mondial. Persoalannya
adalah bahwa primordialisme cenderung bersifat absolut dan tertutup. Akibatnya,
tradisi mudik justru mempertajam dikotomi makna bertempat-tinggal (dalem)
dan berumah (griya). Kota, bagi para pemudik tak lebih dari rumah tempat
berteduh.
Namun sebenarnya mereka masih bertempat tinggal di desa asalnya.
Hal ini mempertegas perbedaan intensitas kepedulian orang terhadap
lingkungannya. Intensitas kepedulian orang terhadap rumah (griya)
cenderung lebih rendah daripada terhadap tempat tinggal (dalem). Jika
sikap primordial ini lebih mengemuka, maka pada dasarnya kota selama ini lebih
disikapi sebagai “tempat berteduh” itu, hanya menyisakan kemacetan jalan raya,
kekumuhan perumahan, bahkan krimininalitas di perkotaan. Dari sinilah, tradisi
mudik justru memperingatkan kita untuk tidak sekadar terpukau dengan
bertambahnya “devisa desa” yang masuk dari para pemudik. Sebaliknya, fenomena
mudik menunjukkan betapa wajah kebudayaan kita retak dalam tarik-menarik yang
tak pernah tuntas.
Yang terpenting adalah mengubah asal-usul dari sekadar suatu
ikatan yang menyesakkan menjadi suatu simpul orientasi ke masa depan. Artinya,
tradisi mudik bukan semata-mata untuk kembali ke asal-usul, sebab asal-usul
menjadi sangat absurd ketika hanya kita sikapi sebagai tujuan. Mudik, alangkah
eloknya justru mampu mengkonstruksi kesadaran bahwa asal-usul menjadi titik
tolak masa depan negeri ini.
D. KESIMPULAN
Bertolak dari sejumlah uraian tersebut maka dapat disimpulkan
sebagai berikut.
Pertama, fenomena mudik di
Indonesia, telah menjadi tradisi bagi bangsa Indonesia. Tradisi mudik dianggap
sebagai gerakan paling efektif menyalurkan dana ke daerah. Mudik mempercepat distribusi
uang dari kota ke pedesaan. Dengan mengalirnya dana dari pusat ke daerah, dari
kota ke pedesaan, dari Jawa ke luar Jawa, dari Jakarta ke kota-kota kecil
lainya, justru menggambarkan adanya kesenjangan wilayah kota dan desa.
Kedua, tradisi mudik terjadi akibat
migrasi dari desa ke kota yang kemudian berkembang menjadi urbanisasi yang tak
terkendali. Peristiwa urbanisasi yang tak terkendali terjadi akibat masalah
kemiskinan di pedesaan. Akan tetapi, akibat urbanisasi yang tak terkendali itu,
juga menciptakan kemiskinan di perkotaan. Hal itu terjadi karena sejumlah
tenaga kerja yang menguasai sektor informal di perkotaan adalah para petani yang
telah meninggalkan desanya masingmasing.
Ketiga, tradisi mudik memuat dimensi
spiritual, psikologis, dan sosial yang harus disikapi mengimplikasikan suatu
heteronomi kultural. Para pemudik berada pada sisi tarik-menarik antara situasi
dan nilai-nilai baru dengan yang lama. Di satu sisi mereka tak bisa memungkiri
bahwa mereka hidup, bekerja, berdomisili, dan berumah di kota. Di sisi lain,
mereka sangat terikat dengan desa yang menjadi asal-usulnya. Hal ini berarti
bahwa tradisi mudik memperlihatkan betapa masyarakat kita sangat dikendalikan
oleh masa silamnya.
Keempat, tradisi mudik menggambarkan
masih kuatnya ikatan primordial masyarakat di perkotaan, padahal nilai-nilai di
perkotaan seharusnya lebih berwatak mondial. Kota, bagi para pemudik tak lebih
dari rumah tempat berteduh, mereka merasa tempat tinggalnya masih di desa
asalnya. Intensitas kepedulian orang terhadap rumah (griya) cenderung
lebih rendah daripada terhadap tempat tinggal (dalem). Jika sikap
primordial ini lebih mengemuka, maka kota selama ini lebih disikapi sebagai
“tempat berteduh” itu, hanya menyisakan kemacetan jalan raya, kekumuhan
perumahan, bahkan krimininalitas semata yang justru menciptakan keretakan
budaya.
Daftar Pustaka
Sayogo. 2002. “Pertanian dan Kemiskinan”. Makalah disampaikan
padaPertemuan II Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, YAE-Bina Swadaya, Finacial
Club Jakarta, 5 Februari 2002.
Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Edisi
Ketiga). Jakarta: Gramedia Pusataka Utama.
0 komentar:
Post a Comment