PEMILIHAN UMUM
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di
kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolak
ukur dari sebuah demokrasi. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam
suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat, dianggap mencerminkan
walaupun tidak begitu akurat, partisipasi dan kebebasan masyarakat. Sekalipun
demikian, disadari bahwa pemilihan umum tidak merupakan satu-satunya tolak ukur
dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih
bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai dan
sebagainya.
Pemilihan
umum juga menunjukkan seberapa besar partisipasi politik masyarakat, terutama
di negara berkembang. Kebanyakan negara ini ingin cepat mengadakan pembangunan
untuk mengejar keterbelakangannya, karena dianggap bahwa berhasil-tidaknya
pembangunan banyak bergantung pada partisipasi rakyat. Ikut sertanya masyarakat
akan membantu penanganan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh
perbedaan-perbedaan etnis, budaya, status sosial, ekonomi, budaya, dan
sebagainya. Integritas nasional, pembentukan identitas nasional, serta
loyalitas terhadap negara diharapkan akan ditunjang pertumbuhannya melalui
partisipasi politik.
Indonesia
sebagai salah satu negara berkembang dan juga sebagai demokrasi yang sedang
berusaha mencapai stabilitas nasional dan memantapkan kehidupan politik juga
mengalami gejolak-gejolak sosial dan politik dalam proses pemilihan umum. Dalam
perkembangan kehidupan politiknya, Indonesia selalu berusaha memperbaharui
sistem pemlihan umum baik itu dengan mengadopsi sistem yang ada di dunia barat
(walaupun tidak semuanya bekerja efektif di dalam negeri kita) untuk mencapai
stabilitas nasional dan politik.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana hubungan pemilu dan kedaulatan rakyat serta penjelasan mengenai sistem
pemilu ?
2.
Bagaimana penyelengaraan pemilu dan menyikapi persengketaan pemilu ?
C. Tujuan
1.
Agar mahasiswa/i mengetahui pembagian sistem dalam pemilu serta hubungan pemilu
dengan kedaulatan rakyat.
2.
Agar mahasiswa/i mengetahui pelaksanaan pemilu sesuai dengan UUD 1945 dan tahu
tatacara meniykapi persengketaan dalam pemilu.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.
Pemilu
Menurut
teori demokrasi klasik pemilu merupakan suatu Transmission of Belt sehingga
kekuasaan yang berasal dari rakyat dapat beralih menjadi kekuasaan negara yang
kemudian menjelma dalam bentuk wewenang pemerintah untuk memerintah dan
mengatur rakyat.
Berikut
beberapa pernyataan beberapa para ahli mengenai pemilu Moh. Kusnardi dan
Harmaily Ibrahim : pemilihan umum tidak lain adalah suatu cara untuk
memilih wakil-wakil rakyat. Dan karenanya bagi suatu negara yang menyebut
dirinya sebagai negara demokrasi, pemilihan umum itu harus dilaksanakan dalam
wakru-waktu tertentu. Bagir Manan : Pemilhan umum yang diadakan dalam
siklus lima (5) tahun sekali merupakan saat atau momentum memperlihatkan secara
nyata dan langsung pemerintahan oleh rakyat. Pada saat pemilihan umum itulah
semua calon yang diingin duduk sebagai penyelenggara negara dan pemerintahan
bergantung sepenuhnya pada keinginan atau kehendak rakyat.
B.
Sistem
Pemilu
Sistem
Pemilihan Umum adalah metode yang mengatur dan memungkin warga negara memilih
para wakil rakyat diantara mereka sendiri. Metode berhubungan dengan prosedur
dan aturan merubah (mentransformasi) suara ke kursi dilembaga perwakilan.
Mereka sendiri maksudnya yang memilih maupun yang hendak dipilih merupakan
bagian dari satu entitas yang sama. Terdapat komponen-komponen atau
bagian-bagian yang merupakan sistem tersendiri dalam melaksanakan pemilihan
umum, antara lain:
1.
Sistem pemilihan.
2.
Sistem pembagian daerah pemilihan.
3.
Sistem hak pilih.
4.
Sistem pencalonan.
Sistem Pemilihan Mekanis
Dalam
sistem ini, rakyat dipandang sebagai suatu massa individu-individu yang sama.
Individu-individu inilah sebagai pengendali hak pilih dalam masing-masing
mengeluarkan satu suara dalam tiap pemilihan umum untuk satu lembaga
perwakilan.
Sistem pemilihan Organis
Dalam
sistem organis, rakyat dipandang sebagai sejumlah individu yang hidup bersama-sama
dalam beraneka warna persekutuan hidup. Jadi persekuuan-persekutuan itulah yang
diutamakan sebagai pengendali hak pilih.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pemilu Berkala
Pemilu
adalah lembaga sekaligus prosedur praktik politik untuk mewujudkan kedaulatan
rakyat yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan. Secara
sederhana, Pemilihan Umum didefinisikan sebagai suatu cara atau sarana untuk
menentukan orang-orang yang akan mewakili rakyat dalam menjalankan
pemerintahan. Seperti dikemukakan oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, dalam
paham kedaulatan rakyat atau demokrasi, rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik
dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.[1]
Rakyatlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan diselenggarakan.
Rakyatlah yang menentukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara dan
pemerintahannya itu. Dalam praktik, sering dijumpai bahwa di negara yang jumlah
penduduknya sedikit dan ukuran wilayahnya tidak begitu luas, kedaulatan rakyat
itu tidak dapat berjalan secara penuh. Apalagi di negara-negara yang jumlah
penduduknya banyak dan dengan wilayah yang sangat luas, dapat dikatakan tidak
mungkin untuk menghimpun pendapat rakyat seorang demi seorang dalam menentukan
jalannya suatu pemerintahan. Lagi pula, dalam masyarakat modern seperti
sekarang ini, tingkat kehidupan berkembang sangat kompleks dan dinamis, dengan
tingkat kecerdasan warga yang tidak merata dan dengan tingkat spesialisasi
antar sektor pekerjaan yang cenderung berkembang semakin tajam. Akibatnya,
kedaulatan rakyat tidak mungkin dilakukan secara murni. Kompleksitas keadaan
menghendaki bahwa kedaulatan rakyat itu dilaksanakan dengan melalui sistem
perwakilan (representation).
Dalam
kedaulatan rakyat dengan sistem perwakilan atau demokrasi biasa juga disebut
sistem demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung. Di dalam praktik,
yang menjalankan kedaulatan rakyat itu adalah wakil-wakil rakyat yang duduk di
lembaga perwakilan rakyat yang disebut parlemen. Para wakil rakyat itu
bertindak atas nama rakyat, dan wakil-wakil rakyat itulah yang menentukan corak
dan cara bekerjanya pemerintahan, serta tujuan apa yang hendak dicapai baik
dalam jangka panjang maupun dalam jangka waktu yang relatif pendek. Agar
wakil-wakil rakyat benar-benar dapat bertindak atas nama rakyat, maka
wakil-wakil rakyat itu harus ditentukan sendiri oleh rakyat, yaitu melalui
pemilihan umum. Dengan demikian, pemilihan umum itu tidak lain merupakan cara
yang diselenggarakan untuk memilih wakil-wakil
rakyat secara demokratis. Oleh karena itu, bagi negara-negara yang
menyebut diri sebagai negara demokrasi, pemilihan umum merupakan ciri penting
yang harus dilaksanakan secara berkala dalam waktu-waktu yang tertentu.
Peserta
pemilihan umum itu dapat bersifat kelembagaan atau perorangan calon wakil
rakyat. Peserta pemilihan umum merupakan perorangan apabila yang dicalonkan
adalah bersifat
pribadi.[2]
Akan tetapi, meskipun calon itu bersifat pribadi, biasanya mesin politik untuk
mendukung pencalonan dan kegiatan kampanye tetap diperlukan yang bersifat
kelembagaan. Kelembagaan yang dimaksud itulah yang biasanya disebut partai
politik, yaitu organisasi yang secara sengaja dibentuk untuk tujuan-tujuan yang
bersifat politik, seperti untuk kepentingan rekruitmen politik dan komunikasi
politik, dan sebagainya. Oleh karena itu, partai politik terkait erat dengan
kegiatan pemilihan umum. Bahkan, dapat dikatakan partai politik itu merupakan
pilar yang penting dalam sistem demokrasi perwakilan yang secara periodik
menyelenggarakan kegiatan pemilihan umum.
Pentingnya
pemilihan umum diselenggarakan secara berkala dikarenakan oleh beberapa sebab,
yaitu:
1.
Pendapat atau aspirasi rakyat mengenai
berbagai aspek kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat dinamis, dan
berkembang dari waktu ke waktu. Dalam jangka waktu tertentu, dapat saja terjadi
bahwa sebagian besar rakyat berubah pendapatnya mengenai sesuatu kebijakan Negara;
2.
Di samping pendapat rakyat dapat berubah
dari waktu ke waktu, kondisi kehidupan bersama dalam masyarakat dapat pula
berubah, baik karena dinamika dunia internasional ataupun karena faktor dalam
negeri sendiri, baik karena faktor internal manusia maupun karena faktor
eksternal manusia;
3.
Perubahan-perubahan aspirasi dan pendapat
rakyat juga dapat dimungkinkan terjadi karena pertambahan jumlah penduduk dan
rakyat yang dewasa. Mereka
itu, terutama para pemilih baru atau pemilih pemula, belum tentu mempunyai
sikap yang sama dengan orang tua mereka
sendiri; dan
4.
Pemilihan umum perlu diadakan secara
teratur untuk maksud menjamin terjadinya pergantian kepemimpinan negara, baik
di cabang kekuasaan eksekutif maupun legislatif.
Untuk
menjamin siklus kekuasaan yang bersifat teratur itu diperlukan mekanisme
pemilihan umum yang diselenggarakan secara berkala, sehingga demokrasi dapat
terjamin, dan pemerintahan yang sungguh-sungguh mengabdi kepada kepentingan
seluruh rakyat dapat benar-benar bekerja efektif dan efisien. Dengan adanya
jaminan sistem demokrasi yang beraturan demikian itulah kesejahteraan dan
keadilan dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya.
Di
samping itu, untuk memberi kesempatan kepada rakyat, baik mereka yang sudah
pernah memilih maupun para pemilih pemula itu untuk turut menentukan kebijakan
kenegaraan dan pemerintahan, maka pemilihan umum itu harus dilaksanakan secara
berkala atau periodik dalam waktu-waktu tertentu. Untuk itu, ada negara yang
menentukan bahwa pemilihan umum dilaksanakan sekali
dalam lima tahun seperti Republik Indonesia,[3] dan ada pula
negara seperti. Amerika Serikat yang menentukan pemilihan Presiden dan Wakil
Presidennya dalam jangka waktu empat tahun sekali. Selain itu, negara-negara
yang menganut sistem pemerintahan parlementer, pemilihan umum itu dapat pula
diselenggarakan lebih kerap lagi sesuai dengan kebutuhan.
Kegiatan
pemilihan umum juga merupakan salah satu sarana penyaluran hak asasi warga
negara yang sangat prinsipil. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan hak-hak
asasi warga negara adalah keharusan bagi pemerintah untuk menjamin
terlaksananya penyelenggaraan pemilihan umum sesuai dengan jadwal
ketatanegaraan yang telah ditentukan. Sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat
di mana rakyatlah yang berdaulat, maka semua aspek penyelenggaraan pemilihan
umum itu sendiri pun harus juga dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya.
Dalam
sistem demokrasi modern, legalitas dan legitimasi pemerintahan merupakan faktor
yang sangat penting. Di satu pihak, suatu pemerintahan haruslah terbentuk
berdasarkan ketentuan hukum dan konstitusi, sehingga dapat dikatakan memiliki
legalitas. Di lain pihak, pemerintahan itu juga harus legitimate, dalam arti bahwa di samping legal, ia juga
harus dipercaya. Tentu akan timbul keragu-raguan, apabila suatu pemerintah
menyatakan diri sebagai berasal dari rakyat, sehingga dapat disebut sebagai
pemerintahan demokrasi, padahal pembentukannya tidak didasarkan hasil pemilihan
umum. Artinya, setiap pemerintahan demokratis yang mengaku berasal dari rakyat,
memang diharuskan sesuai dengan hasil pemilihan umum sebagai ciri yang penting
atau pilar yang pokok dalam sistem demokrasi modern.
Sejalan
dengan hal tersebut, International Commission of Jurist dalam konferensinya di
Bangkok pada tahun 1965 memberikan definisi tentang suatu pemerintahan dengan
perwakilan atau representative government sebagai “a government deriving its
power and authority are exercised through representative freely chosen and
responsible to them” (sebuah pemerintahan yang memperoleh kekuasaan dan
wewenangnya dilakukan melalui perwakilan yang dipilih dan bertanggung jawab
secara bebas kepada mereka). “Representative government under the Rule of Law”, konferensi itu menetapkan
salah satu syarat adanya pemilihan yang bebas.[4]
Oleh karena itulah, maka dapat dikatakan bahwa pemilihan umum merupakan syarat
yang mutlak bagi negara demokrasi, yaitu untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.
Di
samping pemilihan umum, metode penyaluran pendapat umum rakyat juga dapat
dilakukan dengan referendum dan plebisit. Namun yang dikenal di Indonesia hanya
referendum.
Misalnya, untuk mengatasi jangan sampai UUD 1945 diubah dengan mudah, Majelis
Permusyawaratan Rakyat pernah menetapkan Ketetapan
MPR tentang Referendum, yaitu TAP MPR Nomor IV/MPR/1983. Meskipun kemudian
dengan Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998, Ketetapan Nomor
IV/MPR/1983 ini dicabut kembali, tetapi menarik untuk dicatat bahwa lembaga
referendum itu pernah dikenal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, meskipun
hal itu belum pernah dipraktikkan.
Pasal
2 Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 itu menentukan, “Apabila MPR berkehendak untuk
merubah UUD 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui
referendum”. Pasal 3 menentukan, ”Referendum dilaksanakan oleh Presiden/Mandataris
MPR yang diatur dengan undang-undang”. Sedangkan dalam Pasal 4 Ketetapan ini
dinyatakan, “Dengan ditetapkannya Ketetapan tentang Referendum ini, maka
ketentuan Undang-Undang mengenai pengangkatan 1/3 anggota Majelis ditinjau
kembali”. Dari kutipan tersebut dapat kita ketahui bahwa ketentuan operasional
mengenai penyelenggaraan referendum itu sendiri masih harus dielaborasi dalam
Undang-Undang. Akan tetapi, secara umum dapat diketahui bahwa tujuan referendum
itu adalah untuk meminta pendapat rakyat apakah rakyat menyetujui atau tidak
menyetujui kehendak MPR untuk mengubah UUD 1945.
Dengan
demikian, penyelenggaraan referendum tersebut harus dilakukan mendahului
pelaksanaan upaya oleh MPR dalam mewujudkan kehendaknya untuk mengubah UUD 1945
itu. Artinya, sebelum usul perubahan UUD 1945 itu diajukan sesuai dengan ketentuan
UUD 1945, maka kehendak atau rencana untuk mengajukan usul perubahan itu
haruslah terlebih dulu diajukan kepada rakyat melalui referendum untuk
dimintakan pendapat apakah rakyat setuju atau tidak. Jikalau mayoritas rakyat
memang menyatakan setuju, barulah usul perubahan UUD 1945 itu diajukan sesuai
dengan ketentuan UUD 1945 mengenai mekanisme perubahan UUD.
B.
Tujuan
Pemilu
Dari
uraian di atas, dapat dikatakan bahwa tujuan penyelenggaraan pemilihan umum itu
ada empat, yaitu:[5]
1.
untuk memungkinkan terjadinya peralihan
kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai;
2.
untuk memungkinkan terjadinya pergantian
pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan;
3.
untuk melaksanakan prinsip kedaulatan
rakyat; dan
4.
untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi
warga negara.
Seperti
dimaklumi, kemampuan seseorang bersifat terbatas. Di samping itu, jabatan pada
dasarnya merupakan amanah yang berisi beban tanggung jawab, bukan hak yang
harus
dinikmati. Oleh karena
itu, seseorang tidak boleh duduk di suatu jabatan tanpa ada kepastian batasnya
untuk dilakukannya pergantian. Tanpa siklus kekuasaan yang dinamis, kekuasaan
itu dapat mengeras menjadi sumber malapetaka. Sebab, dalam setiap jabatan,
dalam dirinya selalu ada kekuasaan yang cenderung berkembang menjadi sumber
kesewenang-wenangan bagi siapa saja yang memegangnya. Untuk itu, pergantian
kepemimpinan harus dipandang sebagai sesuatu yang niscaya untuk memelihara
amanah yang terdapat dalam setiap kekuasaan itu sendiri.
Dalam
Pemilu, yang dipilih tidak saja wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan
rakyat atau parlemen, tetapi juga para pemimpin pemerintahan yang duduk di
kursi eksekutif. Di cabang kekuasaan legislatif, para wakil rakyat itu ada yang
duduk di Dewan Perwakilan Rakyat, ada yang duduk di Dewan Perwakilan Daerah, dan ada pula yang akan
duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik di tingkat provinsi ataupun di
tingkat kabupaten dan kota. Sedangkan di cabang kekuasaan pemerintahan
eksekutif, para pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat adalah
Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Dengan adanya pemilihan umum yang
teratur dan berkala, maka pergantian para pejabat dimaksud juga dapat
terselenggara secara teratur dan berkala.
Oleh
karena itu adalah sangat wajar apabila selalu terjadi pergantian pejabat baik
di lembaga pemerintahan eksekutif maupun di lingkungan lembaga legislatif. Pergantian
pejabat di negara-negara otoritarian dan totaliter berbeda dengan yang dipraktikkan
di negara-negara demokrasi. Di negara-negara totaliter dan otoritarian, pergantian
pejabat ditentukan oleh sekelompok orang saja. Kelompok orang yang menentukan
itu bersifat oligarkis dan berpuncak di tangan satu orang. Sementara di lingkungan
negara-negara yang menganut paham demokrasi, praktik yang demikian itu tidak
dapat diterapkan. Di negara-negara demokrasi, pergantian pejabat pemerintahan
eksekutif dan legislatif ditentukan secara langsung oleh rakyat, yaitu melalui
pemilihan umum yang diselenggarakan secara periodik.
Maka
pemilihan umum juga disebut bertujuan untuk memungkinkan terjadinya peralihan
pemerintahan dan pergantian pejabat negara yang diangkat melalui pemilihan.
Dalam hal tersebut di atas, yang dimaksud dengan memungkinkan di sini tidak
berarti bahwa setiap kali dilaksanakan pemilihan umum, secara mutlak harus
berakibat terjadinya pergantian pemerintahan atau pejabat negara. Mungkin saja
terjadi, pemerintahan suatu partai politik dalam sistem parlementer memerintah
untuk dua, tiga, atau empat kali, ataupun seorang menjadi Presiden seperti di
Amerika Serikat atau Indonesia dipilih untuk dua kali masa jabatan. Dimaksud
”memungkinkan” di sini adalah bahwa pemilihan umum itu harus membuka kesempatan
sama untuk menang atau kalah bagi setiap peserta pemilihan umum itu. Pemilihan
umum yang demikian itu hanya dapat terjadi apabila benar-benar dilaksanakan
dengan jujur dan adil.
Tujuan
ketiga dan keempat pemilihan umum itu adalah juga untuk melaksanakan kedaulatan
rakyat dan melaksanakan hak asasi warga negara. Untuk menentukan jalannya
negara, rakyat
sendirilah yang harus
mengambil keputusan melalui perantaraan wakil-wakilnya yang akan duduk di
lembaga legislatif. Hak-hak politik rakyat untuk menentukan jalannya
pemerintahan dan fungsi-fungsi negara dengan benar menurut UUD adalah hak
rakyat yang sangat fundamental. Oleh karena itu, penyelenggaraan pemilihan
umum, di samping merupakan perwujudan kedaulatan rakyat, juga merupakan sarana
pelaksanaan hak-hak asasi warga negara sendiri. Untuk itulah, diperlukan
pemilihan umum guna memilih para wakil rakyat itu secara periodik. Demikian
pula di bidang eksekutif, rakyat sendirilah yang harus memilih Presiden,
Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk memimpin jalannya pemerintahan, baik di
tingkat pusat, di tingkat provinsi, maupun di tingkat kabupaten atau kota.[6]
Di
samping itu, pemilihan umum itu juga penting bagi para wakil rakyat sendiri
ataupun para pejabat pemerintahan untuk mengukur tingkat dukungan dan
kepercayaan masyarakat kepadanya. Demikian pula bagi kelompok warga negara yang
tergabung dalam suatu organisasi partai politik, pemilihan umum itu juga
penting untuk mengetahui seberapa besar tingkat dukungan dan kepercayaan rakyat
kepada kelompok atau partai politik yang bersangkutan. Melalui analisis
mengenai tingkat kepercayaan dan dukungan itu, tergambar pula mengenai aspirasi
rakyat yang sesungguhnya sebagai pemilik kedaulatan atau kekuasaan tertinggi
dalam negara Republik Indonesia.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa pemilihan umum itu tidak saja penting bagi
warga negara, partai politik, tapi juga pejabat penyelenggara negara. Bagi
penyelenggara negara yang diangkat melalui pemilihan umum yang jujur berarti
bahwa pemerintahan itu mendapat dukungan yang sebenarnya dari rakyat.
Sebaliknya, jika pemerintahan tersebut dibentuk dari hasil pemilihan umum yang
tidak jujur maka dukungan rakyat itu hanya bersifat semu.
C. Sistem Pemilu di Indonesia
Semua
pemilihan umum tidak diselenggarakan dalam situasi yang vacuum melainkan
berlangsung dalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum itu
sendiri. dari pemilihan umum-pemilihan umum tersebut juga dapat diketahui upaya
untuk mencari sistem pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia.[7]
Di
tahun 1955, Indonesia menggunakan sistem proporsional. Jumlah anggota DPR
ditetapkan berdasarkan imbangan jumlah penduduk. Tiap 300.000 penduduk diwakili
oleh 1 anggota DPR. Menggunakan stelsel daftar mengikat dan stelsel daftar
bebas. Pemilih dapat memberikan suaranya kepada calon yang ada di dalam daftar
(ini merupakan ciri dari sistem distrik) dan bisa juga diberikan kepada partai.
Suara yang diberikan calon akan diperhitungkan sebagai perolehan suara calon
yang bersangkutan, sedangkan yang diberikan kepada partai, oleh partai akan
diberikan kepada calon sesuai nomor urut. Seseorang secara perorangan, tanpa
melalui partai juga dapat menjadi pesrta pemilihan umum.Calon yang terpilih
adalah yang memperoleh suara
sesuai BPPD (Bilangan
Pembagi Pemilih Daftar). Apabila tidak ada calon yang memperoleh suara sesuai
BPPD, suara yang diberikan kepada partai akan menentukan. Calon dengan nomor
urut teratas akan diberi oleh suara partai, namun prioritas akan diberkan
kepada calon yang memperoleh suara melampaui setengah BPPD. Kursi yang tidak
habis dalam pembagian di daerah pemilihan akan dibagi di tingkat pusat dengan
menjumlahkan sisa-sisa suara dari daerah-daerah pemilihan yang tidak
terkonversi menjadi kursi.[8]
Di
tahun pemilihan umum 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999 Indonesia
menggunakan sistem proporsional dengan stelsel daftar tertutup. Pemilih
memberikan suara hanya kepada partai , dan partai akan memberikan suaranya
kepada calon dengan nomor urut teratas. Suara akan diberikan kepada urutan
berikutnya bila calon dengan nomor urut teratas sudah kebagian suara cukup
untuk kuota 1 kursi. Untuk pemilihan umum anggota DPR Daerah, pemilihannya
adalah untuk wilayah Provinsi; sedangkan untuk DPRD I daerah pemilihannya
adalah satu provinsi yang bersangkutan; dan untuk DPRD II daerah pemilihannya
wilayah Dati II yang bersangkutan. Namun ada sedikit warna sistem Distrik
didalamnya, karena setiap kabupaten diberi satu kursi anggota DPR untuk
mewakili daeraah tersebut. Pada prmilihan tahun-tahun ini setiap anggota DPR
mewakili 400.000 penduduk.[9]
Di
tahun 2004 ada satu lembaga baru didalam lembaga lagislatif yaitu DPD (Dewan
Perwakilan Daerah). Untuk pemilihan umum anggota DPD dugunakan sistem Distrik
tetapi dengan wakil banyak (4 kursi untuk setiap provinsi). Daerah pemilihannya
adalah wilayah provinsi pesertanya adalah individu. Karena setiap provinsi atau
daerah pemilihan mempunyai 4 jatah kursi, dan suara dari kontestan yang kalah
tidak bisa dipindahkan atau dialihkan (non transverable vote) maka sistem
yang digunakan disini dapat disebut sistem Distrik dengan wakil banyak (block
vote). Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan sistem proporsional
dengan stelsel daftar terbuka sehingga pemilih dapat memberikan suaranya secara
langsung kepada calon yang dipilih dalam hal ini pemilih memberikan suaranya
kepada partai , calon yang berada pada urutan teratas mempunyai peluang besar
untuk terpilih Karenna suara pemilih yang diberikan kepada partai menjadi hak
calon yang berada di urutan teratas. Jadi ada kemiripan sistem yang digunakan
pada pemilihan umum 2004 dengan pemilihan umum 1995. Bedanya, pada pemilihan
umum 1995 ada prioritas untuk memberikan suara partai kepada calon yang
memperoleh suara lebih dari setengah BPPD.[10]
Ada
warna sistem distrik dalam penghitungan perolehan kursi DPR dan DPRD pada
pemilihan umum 2004, yaitu perolehan suatu partai disebuah daerah pemilihan
yang tidak cukup untuk satu BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) tidak bisa
ditambahkan keperolehan partai di daerah pemilihan lain misalnya untuk
ditambahkan agar cukup untuk satu kursi, ini adalah ciri sistem distrik. Dari
sudut pandang gender, pemilihan umum 2004 secara tegas memberi peluang lebih
besar secara afirmatif
bagi peran perempuan. Pasal 65 UU No 12/2003 menyatakan bahwa setiap partai
politik dapat mengajukan calon anggota DPR dan DPRD dengan memperhatikan
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 % untuk setiap daerah pemilihan.
Ini adalah kemajuan yang lain lagi yang ada pada pemilihn umum 2004.[11]
Juga
ada upaya untuk kembali menyederhanakan atau mengurangi jumlah partai melalui
cara yang bukan paksaan. Hal ini tampak pada prosedur seleksi parta-partai yang
akan menjadi peserta pemilihan umum. Ada sejumlah syarat baik administrative
maupun subtansial yang harus dipenuhi oleh setiap partai untuk bisa menjadi
peserta pemilihan umum, antara lain ditentukannya electoral
threshold dengan memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi anggota
legislatif pusat, memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi di DPRD
kabupaten atau kota yang tersebar disetenag jumlah kabupaten atau kota Indonesia.
Untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, memperoleh sekurang-kurangnya 3%
jumlah kursi dalam badan yang bersangkutan atau 5% dari perolehan suara sah
secara nasional.[12]
D.
Sistem
Pemilu Mekanis dan Organis
Oleh
karena pemilihan umum adalah salah satu cara untuk menentukan wakil-wakil
rakyat yang akan duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat, maka dengan sendirinya
terdapat berbagai sistem pemilihan umum. Sistem pemilihan umum berbeda satu
sama lain, tergantung dari sudut mana hal itu dilihat. Dari sudut kepentingan
rakyat, apakah rakyat dipandang sebagai individu yang bebas untuk menentukan
pilihannya, dan sekaligus mencalonkan dirinya sebagai calon wakil rakyat, atau
apakah rakyat hanya dipandang sebagai anggota kelompok yang sama sekali tidak
berhak menentukan siapa yang akan menjadi wakilnya di lembaga perwakilan
rakyat, atau juga tidak berhak untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.
Berdasarkan
hal tersebut, sistem pemilihan umum dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu Pertama sistem pemilihan mekanis, Kedua sistem pemilihan organis. Sistem
pemilihan mekanis mencerminkan
pandangan yang bersifat mekanis yang melihat rakyat sebagai massa individu-individu
yang sama. Baik aliran liberalisme, sosialisme, dan komunisme sama-sama
mendasarkan diri pada pandangan mekanis.
Liberalisme
lebih mengutamakan individu sebagai kesatuan otonom dan memandang masyarakat
sebagai suatu kompleks hubungan-hubungan antar individu yang bersifat kontraktual, sedangkan
pandangan sosialisme dan khususnya komunisme, lebih mengutamakan totalitas
kolektif masyarakat dengan mengecilkan peranan individu. Namun, dalam semua
aliran pemikiran di atas, individu tetap dilihat sebagai penyandang hak pilih
yang bersifat aktif dan memandang korps pemilih sebagai massa
individu-individu, yang masing-masing memiliki satu suara dalam setiap
pemilihan, yaitu suaranya masing-masing secara sendiri-sendiri.
Sementara
itu, dalam sistem pemilihan yang bersifat organis, pandangan organis
menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan geneologis (rumah tangga, keluarga), fungsi
tertentu (ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani,
cendekiawan), dan lembaga-lembaga sosial (universitas). Kelompok-kelompok dalam
masyarakat dilihat sebagai suatu organisme yang terdiri atas organ-organ yang
mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam totalitas organisme, seperti
komunitas atau persekutuan-persekutuan hidup. Dengan pandangan demikian,
persekutuan-persekutuan hidup itulah yang diutamakan sebagai penyandang dan
pengendali hak pilih. Dengan perkataan lain, persekutuan-persekutuan itulah yang
mempunyai hak pilih untuk mengutus wakil-wakilnya kepada badan-badan perwakilan
masyarakat.
Apabila
dikaitkan dengan sistem perwakilan seperti yang sudah diuraikan di atas,
pemilihan organis ini dapat dihubungkan dengan sistem perwakilan fungsional yang
biasa dikenal dalam sistem parlemen dua kamar, seperti di Inggris dan Irlandia.
Pemilihan anggota Senat Irlandia dan juga para Lords yang akan duduk di House
of Lords Inggris, didasarkan atas pandangan yang bersifat organis tersebut.
Dalam sistem pemilihan mekanis, partai-partai politiklah yang mengorganisasikan
pemilih-pemilih dan memimpin pemilih berdasarkan sistem dua-partai atau pun
multi-partai menurut paham liberalisme dan sosialisme, ataupun berdasarkan
sistem satu partai menurut paham komunisme. Tetapi dalam sistem pemilihan organis,
partai-partai politik tidak perlu dikembangkan, karena pemilihan
diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-tiap persekutuan hidup itu sendiri,
yaitu melalui mekanisme yang berlaku dalam lingkungannya sendiri.
Menurut
sistem mekanis, lembaga perwakilan rakyat merupakan lembaga perwakilan
kepentingan umum rakyat seluruhnya. Sedangkan, menurut sistem yang kedua
(organis), lembaga perwakilan rakyat itu mencerminkan perwakilan
kepentingan-kepentingan khusus persekutuan-persekutuan hidup itu masing-
masing. Dalam bentuknya yang paling ekstrim, sistem yang pertama (mekanis)
menghasilkan parlemen, sedangkan yang kedua (organis) menghasilkan dewan
korporasi. Kedua sistem ini sering dikombi- nasikan dalam struktur parlemen
dua-kamar (bikameral), yaitu di negara-negara yang mengenal sistem parlemen
bikameral.
Seperti
yang sudah dikemukakan di atas, misalnya, parlemen Inggris dan Irlandia yang
bersifat bikameral mencerminkan hal itu, yaitu pada sifat perwakilan majelis
tingginya. Di Inggris hal itu terlihat pada House of Lords, dan di Irlandia
pada Senatnya yang para anggotanya semua dipilih tidak melalui sistem yang
mekanis, tetapi dengan sistem organis.
E.
Sistem
Pemilu Distrik dan Proporsional
Sistem
yang lebih umum, dan karena itu perlu diuraikan lebih rinci, adalah sistem
pemilihan yang bersifat mekanis. Sistem ini biasa dilaksanakan dengan dua cara
yaitu:
1.
Perwakilan distrik atau mayoritas (single
member constituencies); dan
2.
Sistem perwakilan berimbang (proportional
representation).
Sistem
yang pertama, yaitu sistem distrik, biasa dinamakan juga sebagai sistem single
member constituencies[13]
atau sistem the winner’s take-all. Dinamakan demikian, karena wilayah negara
dibagi dalam distrik-distrik pemilihan atau daerah-daerah pemilihan (dapil)
yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota lembaga perwakilan rakyat yang
diperlukan untuk dipilih. Misalnya, jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
ditentukan 500 orang, maka wilayah negara
dibagi dalam 500 distrik atau daerah pemilihan (dapil) atau
constituencies. Artinya, setiap distrik atau daerah pemilihan akan diwakili
oleh hanya satu orang wakil yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena
itu dinamakan sistem distrik, atau single member constituencies.
Sebagian
sarjana juga menamakan sistem ini sebagai sistem mayoritas, karena yang dipilih
sebagai wakil rakyat dari suatu daerah ditentukan oleh siapa yang memperoleh
suara yang terbanyak atau suara mayoritas untuk daerah itu, sekalipun
kemenangannya hanya bersifat mayoritas relatif (tidak mayoritas mutlak).
Misalnya, di daerah pemilihan 1, calon A memperoleh suara 100.000, B memperoleh
suara 99.999, C memperoleh 100.001, maka yang dinyatakan terpilih menjadi wakil
dari daerah pemilihan 1 untuk menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat adalah
C. Sebab, setiap distrik hanya diwakili oleh satu orang yang memperoleh suara
yang paling banyak, meskipun bukan mayoritas mutlak.
Kelebihan
sistem ini tentu saja banyak. Setiap calon dari suatu distrik, biasanya adalah
warga daerah itu sendiri, atau meskipun datang dari daerah lain, tetapi yang
pasti bahwa orang itu dikenal secara baik oleh warga daerah yang bersangkutan.
Dengan demikian, hubungan antara para pemilih dengan para calon harus erat dan
saling mengenal dengan baik. Bagi para pemilih tentunya calon yang paling
mereka kenal sajalah yang akan dipilih. Sebaliknya, karena calon yang dipilih
adalah orang yang sudah dikenal dengan baik, tentu diharapkan bahwa yang
bersangkutan juga sudah sangat mengerti keadaan-keadaan yang perlu
diperjuangkannya untuk kepentingan rakyat daerah yang diwakilinya itu.
Sedangkan
pada sistem yang kedua, yaitu sistim perwakilan berimbang atau perwakilan
proporsionil, persentase kursi di lembaga perwakilan rakyat dibagikan kepada
tiap-tiap partai politik, sesuai dengan persentase jumlah suara yang diperoleh
tiap-tiap partai politik. Misalnya, jumlah pemilih yang sah pada suatu
pemilihan umum tercatat ada 1.000.000 (satu juta) orang. Misalnya, jumlah kursi
di lembaga perwakilan rakyat ditentukan 100 kursi, berarti untuk satu orang
wakil rakyat dibutuhkan suara 10.000. Pembagian kursi di Badan Perwakilan Rakyat
tersebut tergantung kepada berapa jumlah suara yang didapat setiap partai
politik yang ikut pemilihan umum. Jika sistem ini dipakai, maka dalam bentuk
aslinya tidak perlu lagi membagikan korps pemilih atas jumlah daerah pemilihan.
Korps pemilih boleh dibagi atas
sejumlah daerah pemilihan
dengan ketentuan bahwa tiap-tiap daerah pemilihan disediakan beberapa kursi
sesuai dengan jumlah penduduknya.
Meskipun
jumlah kursi untuk suatu pemilihan ditentukan sesuai dengan jumlah penduduk
yang boleh mengikuti pemilihan, dan ditentukan pula bahwa setiap kursi
membutuhkan suara dalam jumlah tertentu, namun apabila ternyata tidak semua
penduduk memberikan suara atau ada sebagian yang tidak sah, maka persentase
untuk satu kursi juga menjadi berubah. Oleh karena itu, sistem proporsional ini
dikenal agak rumit cara perhitungannya. Bahkan, sistem proporsional ini dapat
dilaksanakan dengan ratusan variasi yang berbeda-beda. Namun, secara garis
besar, ada dua metode utama yang biasa dikenal sebagai variasi, yaitu metode
single transferable vote dengan hare system, dan metode list-system.
Pada
metode pertama, Single Transferable Vote dengan Hare System, pemilih diberi
kesempatan untuk memilih pilihan pertama, kedua, dan seterusnya dari daerah
pemilihan yang bersangkutan. Jumlah perimbangan suara yang diperlukan untuk
pemilih ditentukan, dan segera jumlah keutamaan pertama dipenuhi, dan apabila
ada sisa suara, maka kelebihan suara itu dapat dipindahkan kepada calon pada
urutan berikutnya, dan demikian seterusnya. Dengan kemungkinan penggabungan
suara itu, maka partai politik yang kecil dimungkinkan mendapat kursi di
lembaga perwakilan rakyat, meskipun semula tidak mencapai jumlah imbangan suara
yang ditentukan. Konsekuensi dari sistem ini adalah bahwa penghitungan suara
agak berbelit-belit dan membutuhkan kecermatan yang seksama. Sedangkan pada
metode list system, para pemilih diminta memilih diantara daftar-daftar calon
yang berisi sebanyak mungkin nama-nama wakil rakyat yang akan dipilih dalam
pemilihan umum.
Partai
politik yang kecil-kecil biasanya sangat menyukai sistim pemilihan
proporsionil, karena dimungkinkan adanya penggabungan suara. Jika partai
politik A, berdasarkan jumlah imbangan suara hanya akan mempunyai satu orang
wakil yang duduk di lembaga perwakilan, tetapi karena metode perhitungan
berdasarkan hare system, dapat saja memperoleh 2 (dua) kursi lebih banyak.
Sebaliknya, sistim proporsional ini kurang disenangi oleh partai politik yang besar,
karena perolehannya dapat terancam oleh partai-partai yang kecil.
Namun,
terlepas dari perbedaan antara metode single transferable vote dengan hare
system dan list system, yang jelas sistem pemilihan perwakilan berimbang atau
perwakilan proporsional ini diakui mempunyai banyak kelebihan dibandingkan
dengan sistim distrik. Misalnya, tidak adanya suara pemilih yang hilang dan
diabaikan dalam mekanisme penentuan wakil rakyat yang akan terpilih. Akibat
dari hare system, maka memang tidak ada suara yang hilang, sehingga oleh
karenanya sistem ini sering dikatakan lebih demokratis, dan mengakibatkan lembaga
perwakilan rakyat cenderung bersifat lebih nasional daripada kedaerahan. Namun,
sistem ini banyak juga kelemahannya, misalnya cara perhitungannya agak rumit,
dan cenderung mengutamakan peranan partai politik daripada para wakil rakyat
secara langsung.
Pendek
kata, setiap sistem selalu mengandung kelebihan dan kelemahannya
sendiri-sendiri. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Bahkan, negara-negara
yang tadinya menganut sistem distrik cenderung berusaha untuk mengadopsi sistim
proporsional, tetapi negara-negara yang biasa dengan sistem proporsional dan
banyak mengalami sendiri kekurangan-kekurangannya, cenderung berusaha untuk
menerapkan sistem distrik yang dianggapnya lebih baik. Semua pilihan itu tergantung tingkat kebutuhan real
yang dihadapi setiap masyarakat yang ingin memperkembangkan tradisi dan sistem
demokrasi yang diterapkan di masing-masing negara.
F.
Lembaga
Penyelenggara
Penyelenggara
pemilihan umum dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 telah menentukan bahwa “Pemilihan
umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap
lima tahun sekali”. Dalam Pasal 22E ayat 5 ditentukan pula bahwa “Pemilihan
umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional,
tetap, dan mandiri”. Oleh sebab itu, menurut UUD 1945 penyelenggara pemilihan
umum itu haruslah suatu komisi yang bersifat:
1.
Nasional;
2.
Tetap; dan
3.
Mandiri atau independen.
Independen
artinya karena penyelenggara pemilu itu harus bersifat netral dan tidak boleh
memihak. Komisi pemilihan umum itu tidak boleh dikendalikan oleh partai politik
ataupun oleh pejabat negara yang mencerminkan kepentingan partai politik atau
peserta atau calon peserta pemilihan umum. Peserta pemilu itu sendiri dapat
terdiri dari:
1.
partai politik, beserta para anggotanya
yang dapat menjadi calon dalam rangka pemilihan umum;
2.
Calon atau anggota Dewan Perwakilan
Rakyat;
3.
Calon atau anggota Dewan Perwakilan
Daerah;
4.
Calon atau anggota DPRD;
5.
Calon atau Presiden atau Wakil Presiden;
6.
Calon atau Gubernur atau Wakil Gubernur;
7.
Calon atau Bupati atau Wakil Bupati; dan
8.
Calon atau Walikota atau Wakil Walikota.
Kedelapan
pihak yang terdaftar di atas mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung
dengan keputusan-keputusan yang akan di ambil oleh Komisi Pemilihan Umum
sebagai penyelenggara pemilu, sehingga oleh karenanya KPU harus terbebas dari
kemungkinan pengaruh mereka itu.
G.
Pengadilan
Sengketa Hasil Pemilu
Hasil
pemilihan umum berupa penetapan final hasil penghitungan suara yang diikuti
oleh pembagian kursi yang diperebutkan, yang diumumkan secara resmi oleh
lembaga penyelenggara pemilihan umum seringkali tidak memuaskan peserta
pemilihan umum, yang tidak berhasil tampil sebagai pemenang. Kadang-kadang terjadi
perbedaan pendapat dalam hasil perhitungan itu antara peserta pemilihan umum
dan penyelenggara pemilihan umum, baik karena kesengajaan maupun karena
kelalaian, baik karena kesalahan teknis atau kelemahan yang bersifat
administratif dalam perhitungan ataupun disebabkan oleh faktor human error.
Jika perbedaan pendapat yang demikian itu menyebabkan terjadinya kerugian bagi
peserta pemilihan umum, maka peserta pemilihan yang
dirugikan itu dapat menempuh upaya hukum dengan mengajukan permohonan perkara
per selisihan hasil pemilihan umum ke Mahkamah Konstitusi.[14]
Jenis
perselisihan atau sengketa mengenai hasil pemilihan umum ini tentu harus
dibedakan dari sengketa yang timbul
dalam kegiatan kampanye, ataupun teknis pelaksanaan pemungutan suara. Jenis
perselisihan hasil pemilihan umum ini juga harus pula dibedakan dari perkara-perkara
pidana yang terkait dengan subjek-subjek hukum dalam penyelenggaraan pemilihan
umum. Siapa saja yang terbukti bersalah melanggar hukum pidana, diancam dengan
pidana dan harus dipertanggungjawabkan secara pidana pula menurut ketentuan
yang berlaku di bidang peradilan pidana. Misalnya, A mencuri surat suara, maka
hal itu tergolong pelanggaran hukum pidana yang diadili menurut prosedur
pidana. Sedangkan B melanggar jadwal kampanye yang menjadi hak calon lain, maka
pelanggaran semacam ini harus diselesaikan secara administratif oleh lembaga
penyelenggara pemilihan umum yang bertanggung jawab di bidang itu.
Demikian
pula jika C mengajukan permohonan perkara perselisihan hasil pemilu ke Mahkamah
Konstitusi. Namun di dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, C berkolusi
dengan pejabat Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dengan memalsukan
bukti-bukti di persidangan yang tidak dapat dibantah oleh pejabat Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Pusat dalam persidangan. Di kemudian hari, terbukti bahwa
data-data yang diajukan oleh KPU Daerah itu palsu, maka hal tersebut sepenuhnya
merupakan perkara pidana pemalsuan yang merugikan semua pihak dan harus
dipertanggungjawabkan secara pidana. Akan tetapi, sepanjang menyangkut hasil
pemilihan umum yang sudah diputus final dan mengikat oleh Mahkamah Konstitusi
dalam persidangan yang terbuka untuk umum, persoalan tindak pidana dimaksud tidak lagi ada
kaitannya dengan hasil pemilihan umum. Dalam persidangan di Mahkamah
Konstitusi, semua pihak, termasuk apalagi kepada pihak KPU selaku lembaga
penyelenggara pemilu dan pihak-pihak yang kepentingannya terkait lainnya, sudah
diberi kesempatan yang cukup dan leluasa untuk membantah atau menolak
bukti-bukti yang diajukan oleh pihak
pemohon perkara, tetapi
karena ternyata bukti-bukti dimaksud tidak terbantahkan, maka perkara
perselisihan hasil pemilu itu sudah diputus final dan mengikat oleh Mahkamah
Konstitusi.[15]
Biasanya,
hal-hal yang berkenaan dengan kualitas bukti yang dianggap tidak benar itu
justru datang belakangan oleh pihak penyelenggara pemilihan umum. Akan tetapi,
roda penyelenggaraan negara dan pemerintahan tidak boleh digantungkan kepada
kealpaan atau kelalaian penyelenggara pemilu sebagai satu kesatuan institusi penyelenggara
pemilihan umum di seluruh Indonesia. KPU adalah satu institusi. Perkara
perselisihan hasil pemilu adalah perkara formal yang membutuhkan teknik-teknik
pembuktian yang juga bersifat formal dan dengan jadwal yang pasti. Kepastian
hukum sangat diutamakan dalam hal ini. Sikap mengutamakan keadilan bagi satu
orang tidak mungkin dibenarkan, apabila hal itu justru akan menimbulkan
ketidakpastian hukum. Sebab, dalam jenis perkara perselisihan hasil pemilihan
umum, tanpa adanya kepastian hukum yang tegas, niscaya dapat timbul
ketidakadilan dalam seluruh mekanisme penyelenggaraan negara dan karena itu
dapat menimbulkan ketidakadilan bagi semua warga negara.
Tentu
tidak semua negara memiliki Mahkamah Konstitusi ataupun mekanisme penyelesaian
perselisihan hasil pemilihan umum melalui Mahkamah Konstitusi. Di negara-negara
yang tidak memiliki lembaga seperti ini, biasanya perkara-perkara pemilu itu
langsung ditangani oleh Mahkamah Agung. Di Amerika Serikat, perkara seperti ini
juga ditangani oleh Mahkamah Agung negara bagian, dan baru setelah itu
ditangani oleh Mahkamah Agung Federal. Tetapi, di Brazil, peradilan pemilu ini
dilembagakan secara tersendiri, yaitu untuk menangani semua aspek perkara hukum
yang terkait dengan pemilihan umum.
Dengan
ada mekanisme peradilan terhadap sengketa hasil pemilihan umum ini, maka setiap
perbedaan pendapat mengenai hasil pemilihan umum tidak boleh dikembangkan
menjadi sumber konflik politik atau bahkan menjadi konflik sosial yang diselesaikan
di jalanan. Penyelesaian perbedaan mengenai hasil perhitungan suara pemilihan
umum menyangkut pertarungan kepentingan politik antar kelompok warga negara
sudah seharusnya diselesaikan melalui jalan hukum dan konstitusi. Dengan
kewenangannya untuk mengadili dan menyelesaikan perkara perselisihan hasil
pemilu ini, dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi diberi tanggung jawab
untuk menyediakan jalan konstitusi bagi para pihak yang bersengketa, yaitu
antara pihak penyelenggara pemilihan umum dan pihak peserta pemilihan umum.
BAB
IV
KESIMPULAN
1.
Pemilihan Umum merupakan sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu
diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah,
serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh
dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu dilaksanakan
oleh negara Indonesia dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat sekaligus
penerapan prinsip-prinsip atau nilai-nilai demokrasi, meningkatkan kesadaran
politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum demi terwujudnya
kesejahteraan masyarakat Indonesia.
2.
Pemilihan umum dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Menyikapi persengketaa hasil
pemilihan umum ini, lebih baik setiap perbedaan pendapat mengenai hasil
pemilihan umum tidak boleh dikembangkan menjadi sumber konflik politik atau
bahkan menjadi konflik sosial yang diselesaikan di jalanan. Penyelesaian
perbedaan mengenai hasil perhitungan suara pemilihan umum menyangkut
pertarungan kepentingan politik antar kelompok warga negara sudah seharusnya
diselesaikan melalui jalan hukum dan konstitusi.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiardjo Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Jimly Asshiddiqie. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Konstitusi Press.
Khairul Fahmi. 2012. Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Rozali Abdullah. 2009. Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas(Pemilu Legislatif).
Jakarta: Rajawali Pers.
Soehino. 2010. Hukum
Tata Negara Perkembangan Pengaturan dan Pelaksanaan Pemilihan umum di
Indonesia. Yogyakarta: UGM.
Sekretariat Jendral MPR RI. 2013. Udang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang
No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-Undang
No. 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden.
Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pertnyaan dan tanggapan
1.
Presidential tresholde 20% (Nadiya Ayu
Lestari)?
Bagi
kami walaupun Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu masih
menggodok lima isu krusial dalam RUU Pemilu. Lima isu krusial itu adalah
ambang batas parlemen, ambang batas partai mengajukan calon presiden, sistem
pemilu, alokasi kursi perdaerah pemilihan, dan
konversi suara menjadi kursi. Karena pemilu 2019
mendatang dilakukan secara serentak, maka penghitungan yang dipakai untuk
pemilu 2019 adalah hasil pemilu 2014. Ketentuan ambang batas pencalonan
presiden bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945, yang menjamin hak
setiap partai politik peserta pemilu bisa mengajukan pasangan calon presiden.
Secara politik, ketentuan ambang batas pencalonan presiden juga akan dianggap
membatasi kesempatan partai atau warga negara lain maju menjadi pasangan calon
presiden.
2.
Money politic dalam penyelenggaraan pemilu
(Opi Kusela)?
Memang
dalam praktiknya, sering dijumpai bahwa di negara yang jumlah penduduknya
sedikit dan ukuran wilayahnya tidak begitu luas, pemilu itu tidak dapat
berjalan secara penuh. Apalagi di negara-negara yang jumlah penduduknya banyak
dan dengan wilayah yang sangat luas, dapat dikatakan tidak mungkin untuk
menghimpun pendapat rakyat seorang demi seorang dalam menentukan jalannya suatu
pemerintahan. Jika terjadi perselisihan mengenai hasil yang demikian itu
menyebabkan terjadinya kerugian bagi peserta pemilihan umum, maka peserta
pemilihan yang dirugikan itu dapat menempuh upaya hukum dengan mengajukan
permohonan perkara perselisihan hasil pemilihan umum ke Mahkamah Konstitusi, enis
perselisihan atau sengketa mengenai hasil pemilihan umum ini tentu harus
dibedakan dari sengketa yang timbul
dalam kegiatan kampanye, ataupun teknis pelaksanaan pemungutan suara. Dengan
ada mekanisme peradilan terhadap sengketa hasil pemilihan umum ini, maka setiap
perbedaan pendapat mengenai hasil pemilihan umum tidak boleh dikembangkan
menjadi sumber konflik politik atau bahkan menjadi konflik sosial yang
diselesaikan di jalanan.
[1] Moh. Kusnardi dan Harmaily
Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, (Jakarta: PSHTN-FHUI, 1983), hlm. 328.
[2] Mengenai UU No. 12 Tahun 2003 dan
UU No. 23 Tahun 2003 ketentuan mengenai calon peserta pemilu, baik bago calon
anggota DPR, DPD, DPRD, maupun bagi calon Presiden dan Wakil Presiden.
[3] Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang
menentukan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia ,
jujur, dan adil setiap lima tahun
sekali.
[4] Ismail Suny, Mekasnisme Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), hlm.
14.
[5] Bandingkan denga pendapat Moh.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim yang hanya menyebutkan tiga, yaitu (1)
memungkinkan terjadinnya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib; (2)
untuk melaksanakan kedaultan rakyat; dan (3) dalam rangka melaksanakan hak-hak
asasi warga Negara. Kusnardi dan Harmaily, Op.Cit.,
hlm. 330.
[6] Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
[7]
Miriam
Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta : Ikrar Mandiriabadi, 2008 ),
Hal. 473.
[8]
Lbid. Hal. 486.
[9]
Lbid. Hal. 487.
[10]
Lbid. Hal. 487.
[11]
Lbid. Hal. 488.
[12]
Lbid. Hal. 488.
[13] Sri Soemantri, Sistem Dua Partai, (Jakarta: Bina
Tjipta, 1968), hm. 15.
[14] Berdasarkan pertimbangan hukum
Putusan Mahkamah Kosntitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004, Pilkada langsung tidak
termasuk dalam kategori pemilihan umum sebagaimana dimaksudkan Pasal 22E UUD
1945, Sebngketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah diputuskan oleh Mahkama Agung,
Sebagaimana diatur dalam Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004.
[15] Peraturan Mahkamah Kosntitusi
Nomor 04/PMK/004 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Umum
Tanggal 04 Maret 2004.
0 komentar:
Post a Comment