Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Wednesday, June 20, 2018

PEMILU


PEMILIHAN UMUM


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolak ukur dari sebuah demokrasi. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat, dianggap mencerminkan walaupun tidak begitu akurat, partisipasi dan kebebasan masyarakat. Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilihan umum tidak merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai dan sebagainya.
Pemilihan umum juga menunjukkan seberapa besar partisipasi politik masyarakat, terutama di negara berkembang. Kebanyakan negara ini ingin cepat mengadakan pembangunan untuk mengejar keterbelakangannya, karena dianggap bahwa berhasil-tidaknya pembangunan banyak bergantung pada partisipasi rakyat. Ikut sertanya masyarakat akan membantu penanganan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan-perbedaan etnis, budaya, status sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Integritas nasional, pembentukan identitas nasional, serta loyalitas terhadap negara diharapkan akan ditunjang pertumbuhannya melalui partisipasi politik.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dan juga sebagai demokrasi yang sedang berusaha mencapai stabilitas nasional dan memantapkan kehidupan politik juga mengalami gejolak-gejolak sosial dan politik dalam proses pemilihan umum. Dalam perkembangan kehidupan politiknya, Indonesia selalu berusaha memperbaharui sistem pemlihan umum baik itu dengan mengadopsi sistem yang ada di dunia barat (walaupun tidak semuanya bekerja efektif di dalam negeri kita) untuk mencapai stabilitas nasional dan politik.




B.     Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan pemilu dan kedaulatan rakyat serta penjelasan mengenai sistem pemilu ?
2. Bagaimana penyelengaraan pemilu dan menyikapi persengketaan pemilu ?
C.    Tujuan
1. Agar mahasiswa/i mengetahui pembagian sistem dalam pemilu serta hubungan pemilu dengan kedaulatan rakyat.
2. Agar mahasiswa/i mengetahui pelaksanaan pemilu sesuai dengan UUD 1945 dan tahu tatacara meniykapi persengketaan dalam pemilu. 
  

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.    Pemilu
Menurut teori demokrasi klasik pemilu merupakan suatu Transmission of Belt sehingga kekuasaan yang berasal dari rakyat dapat beralih menjadi kekuasaan negara yang kemudian menjelma dalam bentuk wewenang pemerintah untuk memerintah dan mengatur rakyat.
Berikut beberapa pernyataan beberapa para ahli mengenai pemilu Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim : pemilihan umum tidak lain adalah suatu cara untuk memilih wakil-wakil rakyat. Dan karenanya bagi suatu negara yang menyebut dirinya sebagai negara demokrasi, pemilihan umum itu harus dilaksanakan dalam wakru-waktu tertentu. Bagir Manan : Pemilhan umum yang diadakan dalam siklus lima (5) tahun sekali merupakan saat atau momentum memperlihatkan secara nyata dan langsung pemerintahan oleh rakyat. Pada saat pemilihan umum itulah semua calon yang diingin duduk sebagai penyelenggara negara dan pemerintahan bergantung sepenuhnya pada keinginan atau kehendak rakyat.
B.     Sistem Pemilu
Sistem Pemilihan Umum adalah metode yang mengatur dan memungkin warga negara memilih para wakil rakyat diantara mereka sendiri. Metode berhubungan dengan prosedur dan aturan merubah (mentransformasi) suara ke kursi dilembaga perwakilan. Mereka sendiri maksudnya yang memilih maupun yang hendak dipilih merupakan bagian dari satu entitas yang sama. Terdapat komponen-komponen atau bagian-bagian yang merupakan sistem tersendiri dalam melaksanakan pemilihan umum, antara lain:
1.      Sistem pemilihan.
2.      Sistem pembagian daerah pemilihan.
3.      Sistem hak pilih.
4.      Sistem pencalonan.
Sistem Pemilihan Mekanis
Dalam sistem ini, rakyat dipandang sebagai suatu massa individu-individu yang sama. Individu-individu inilah sebagai pengendali hak pilih dalam masing-masing mengeluarkan satu suara dalam tiap pemilihan umum untuk satu lembaga perwakilan.
Sistem pemilihan Organis
Dalam sistem organis, rakyat dipandang sebagai sejumlah individu yang hidup bersama-sama dalam beraneka warna persekutuan hidup. Jadi persekuuan-persekutuan itulah yang diutamakan sebagai pengendali hak pilih.

BAB III
PEMBAHASAN
A.    Pemilu Berkala
Pemilu adalah lembaga sekaligus prosedur praktik politik untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan. Secara sederhana, Pemilihan Umum didefinisikan sebagai suatu cara atau sarana untuk menentukan orang-orang yang akan mewakili rakyat dalam menjalankan pemerintahan. Seperti dikemukakan oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, dalam paham kedaulatan rakyat atau demokrasi, rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.[1] Rakyatlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan diselenggarakan. Rakyatlah yang menentukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara dan pemerintahannya itu. Dalam praktik, sering dijumpai bahwa di negara yang jumlah penduduknya sedikit dan ukuran wilayahnya tidak begitu luas, kedaulatan rakyat itu tidak dapat berjalan secara penuh. Apalagi di negara-negara yang jumlah penduduknya banyak dan dengan wilayah yang sangat luas, dapat dikatakan tidak mungkin untuk menghimpun pendapat rakyat seorang demi seorang dalam menentukan jalannya suatu pemerintahan. Lagi pula, dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, tingkat kehidupan berkembang sangat kompleks dan dinamis, dengan tingkat kecerdasan warga yang tidak merata dan dengan tingkat spesialisasi antar sektor pekerjaan yang cenderung berkembang semakin tajam. Akibatnya, kedaulatan rakyat tidak mungkin dilakukan secara murni. Kompleksitas keadaan menghendaki bahwa kedaulatan rakyat itu dilaksanakan dengan melalui sistem perwakilan (representation).
Dalam kedaulatan rakyat dengan sistem perwakilan atau demokrasi biasa juga disebut sistem demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung. Di dalam praktik, yang menjalankan kedaulatan rakyat itu adalah wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat yang disebut parlemen. Para wakil rakyat itu bertindak atas nama rakyat, dan wakil-wakil rakyat itulah yang menentukan corak dan cara bekerjanya pemerintahan, serta tujuan apa yang hendak dicapai baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka waktu yang relatif pendek. Agar wakil-wakil rakyat benar-benar dapat bertindak atas nama rakyat, maka wakil-wakil rakyat itu harus ditentukan sendiri oleh rakyat, yaitu melalui pemilihan umum. Dengan demikian, pemilihan umum itu tidak lain merupakan cara yang diselenggarakan untuk memilih wakil-wakil  rakyat secara demokratis. Oleh karena itu, bagi negara-negara yang menyebut diri sebagai negara demokrasi, pemilihan umum merupakan ciri penting yang harus dilaksanakan secara berkala dalam waktu-waktu yang tertentu.
Peserta pemilihan umum itu dapat bersifat kelembagaan atau perorangan calon wakil rakyat. Peserta pemilihan umum merupakan perorangan apabila yang dicalonkan adalah bersifat

pribadi.[2] Akan tetapi, meskipun calon itu bersifat pribadi, biasanya mesin politik untuk mendukung pencalonan dan kegiatan kampanye tetap diperlukan yang bersifat kelembagaan. Kelembagaan yang dimaksud itulah yang biasanya disebut partai politik, yaitu organisasi yang secara sengaja dibentuk untuk tujuan-tujuan yang bersifat politik, seperti untuk kepentingan rekruitmen politik dan komunikasi politik, dan sebagainya. Oleh karena itu, partai politik terkait erat dengan kegiatan pemilihan umum. Bahkan, dapat dikatakan partai politik itu merupakan pilar yang penting dalam sistem demokrasi perwakilan yang secara periodik menyelenggarakan kegiatan pemilihan umum.
Pentingnya pemilihan umum diselenggarakan secara berkala dikarenakan oleh beberapa sebab, yaitu:
1.      Pendapat atau aspirasi rakyat mengenai berbagai aspek kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat dinamis, dan berkembang dari waktu ke waktu. Dalam jangka waktu tertentu, dapat saja terjadi bahwa sebagian besar rakyat berubah pendapatnya mengenai sesuatu kebijakan Negara;
2.      Di samping pendapat rakyat dapat berubah dari waktu ke waktu, kondisi kehidupan bersama dalam masyarakat dapat pula berubah, baik karena dinamika dunia internasional ataupun karena faktor dalam negeri sendiri, baik karena faktor internal manusia maupun karena faktor eksternal manusia;
3.      Perubahan-perubahan aspirasi dan pendapat rakyat juga dapat dimungkinkan terjadi karena pertambahan jumlah penduduk dan rakyat yang dewasa. Mereka itu, terutama para pemilih baru atau pemilih pemula, belum tentu mempunyai sikap  yang sama dengan orang tua mereka sendiri; dan
4.      Pemilihan umum perlu diadakan secara teratur untuk maksud menjamin terjadinya pergantian kepemimpinan negara, baik di cabang kekuasaan eksekutif maupun legislatif.
Untuk menjamin siklus kekuasaan yang bersifat teratur itu diperlukan mekanisme pemilihan umum yang diselenggarakan secara berkala, sehingga demokrasi dapat terjamin, dan pemerintahan yang sungguh-sungguh mengabdi kepada kepentingan seluruh rakyat dapat benar-benar bekerja efektif dan efisien. Dengan adanya jaminan sistem demokrasi yang beraturan demikian itulah kesejahteraan dan keadilan dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya.

Di samping itu, untuk memberi kesempatan kepada rakyat, baik mereka yang sudah pernah memilih maupun para pemilih pemula itu untuk turut menentukan kebijakan kenegaraan dan pemerintahan, maka pemilihan umum itu harus dilaksanakan secara berkala atau periodik dalam waktu-waktu tertentu. Untuk itu, ada negara yang menentukan bahwa pemilihan umum dilaksanakan sekali dalam lima tahun seperti Republik Indonesia,[3] dan ada pula negara seperti. Amerika Serikat yang menentukan pemilihan Presiden dan Wakil Presidennya dalam jangka waktu empat tahun sekali. Selain itu, negara-negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer, pemilihan umum itu dapat pula diselenggarakan lebih kerap lagi sesuai dengan kebutuhan.
Kegiatan pemilihan umum juga merupakan salah satu sarana penyaluran hak asasi warga negara yang sangat prinsipil. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi warga negara adalah keharusan bagi pemerintah untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan pemilihan umum sesuai dengan jadwal ketatanegaraan yang telah ditentukan. Sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat di mana rakyatlah yang berdaulat, maka semua aspek penyelenggaraan pemilihan umum itu sendiri pun harus juga dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya.
Dalam sistem demokrasi modern, legalitas dan legitimasi pemerintahan merupakan faktor yang sangat penting. Di satu pihak, suatu pemerintahan haruslah terbentuk berdasarkan ketentuan hukum dan konstitusi, sehingga dapat dikatakan memiliki legalitas. Di lain pihak, pemerintahan itu juga harus legitimate,  dalam arti bahwa di samping legal, ia juga harus dipercaya. Tentu akan timbul keragu-raguan, apabila suatu pemerintah menyatakan diri sebagai berasal dari rakyat, sehingga dapat disebut sebagai pemerintahan demokrasi, padahal pembentukannya tidak didasarkan hasil pemilihan umum. Artinya, setiap pemerintahan demokratis yang mengaku berasal dari rakyat, memang diharuskan sesuai dengan hasil pemilihan umum sebagai ciri yang penting atau pilar yang pokok dalam sistem demokrasi modern.
Sejalan dengan hal tersebut, International Commission of Jurist dalam konferensinya di Bangkok pada tahun 1965 memberikan definisi tentang suatu pemerintahan dengan perwakilan atau representative government sebagai “a government deriving its power and authority are exercised through representative freely chosen and responsible to them” (sebuah pemerintahan yang memperoleh kekuasaan dan wewenangnya dilakukan melalui perwakilan yang dipilih dan bertanggung jawab secara bebas kepada mereka). “Representative government under the Rule of Law”, konferensi itu menetapkan salah satu syarat adanya pemilihan yang bebas.[4] Oleh karena itulah, maka dapat dikatakan bahwa pemilihan umum merupakan syarat yang mutlak bagi negara demokrasi, yaitu untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.
Di samping pemilihan umum, metode penyaluran pendapat umum rakyat juga dapat dilakukan dengan referendum dan plebisit. Namun yang dikenal di Indonesia hanya referendum.

Misalnya, untuk mengatasi jangan sampai UUD 1945 diubah dengan mudah, Majelis Permusyawaratan Rakyat pernah menetapkan Ketetapan MPR tentang Referendum, yaitu TAP MPR Nomor IV/MPR/1983. Meskipun kemudian dengan Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998, Ketetapan Nomor IV/MPR/1983 ini dicabut kembali, tetapi menarik untuk dicatat bahwa lembaga referendum itu pernah dikenal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, meskipun hal itu belum pernah dipraktikkan.
Pasal 2 Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 itu menentukan, “Apabila MPR berkehendak untuk merubah UUD 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum”. Pasal 3 menentukan, ”Referendum dilaksanakan oleh Presiden/Mandataris MPR yang diatur dengan undang-undang”. Sedangkan dalam Pasal 4 Ketetapan ini dinyatakan, “Dengan ditetapkannya Ketetapan tentang Referendum ini, maka ketentuan Undang-Undang mengenai pengangkatan 1/3 anggota Majelis ditinjau kembali”. Dari kutipan tersebut dapat kita ketahui bahwa ketentuan operasional mengenai penyelenggaraan referendum itu sendiri masih harus dielaborasi dalam Undang-Undang. Akan tetapi, secara umum dapat diketahui bahwa tujuan referendum itu adalah untuk meminta pendapat rakyat apakah rakyat menyetujui atau tidak menyetujui kehendak MPR untuk mengubah UUD 1945.
Dengan demikian, penyelenggaraan referendum tersebut harus dilakukan mendahului pelaksanaan upaya oleh MPR dalam mewujudkan kehendaknya untuk mengubah UUD 1945 itu. Artinya, sebelum usul perubahan UUD 1945 itu diajukan sesuai dengan ketentuan UUD 1945, maka kehendak atau rencana untuk mengajukan usul perubahan itu haruslah terlebih dulu diajukan kepada rakyat melalui referendum untuk dimintakan pendapat apakah rakyat setuju atau tidak. Jikalau mayoritas rakyat memang menyatakan setuju, barulah usul perubahan UUD 1945 itu diajukan sesuai dengan ketentuan UUD 1945 mengenai mekanisme perubahan UUD.
B.     Tujuan Pemilu
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa tujuan penyelenggaraan pemilihan umum itu ada empat, yaitu:[5]
1.      untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai;
2.      untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan;
3.      untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan
4.      untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.
Seperti dimaklumi, kemampuan seseorang bersifat terbatas. Di samping itu, jabatan pada dasarnya merupakan amanah yang berisi beban tanggung jawab, bukan hak yang harus

dinikmati. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh duduk di suatu jabatan tanpa ada kepastian batasnya untuk dilakukannya pergantian. Tanpa siklus kekuasaan yang dinamis, kekuasaan itu dapat mengeras menjadi sumber malapetaka. Sebab, dalam setiap jabatan, dalam dirinya selalu ada kekuasaan yang cenderung berkembang menjadi sumber kesewenang-wenangan bagi siapa saja yang memegangnya. Untuk itu, pergantian kepemimpinan harus dipandang sebagai sesuatu yang niscaya untuk memelihara amanah yang terdapat dalam setiap kekuasaan itu sendiri.
Dalam Pemilu, yang dipilih tidak saja wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, tetapi juga para pemimpin pemerintahan yang duduk di kursi eksekutif. Di cabang kekuasaan legislatif, para wakil rakyat itu ada yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat, ada yang duduk di Dewan  Perwakilan Daerah, dan ada pula yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik di tingkat provinsi ataupun di tingkat kabupaten dan kota. Sedangkan di cabang kekuasaan pemerintahan eksekutif, para pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat adalah Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Dengan adanya pemilihan umum yang teratur dan berkala, maka pergantian para pejabat dimaksud juga dapat terselenggara secara teratur dan berkala.
Oleh karena itu adalah sangat wajar apabila selalu terjadi pergantian pejabat baik di lembaga pemerintahan eksekutif maupun di lingkungan lembaga legislatif. Pergantian pejabat di negara-negara otoritarian dan totaliter berbeda dengan yang dipraktikkan di negara-negara demokrasi. Di negara-negara totaliter dan otoritarian, pergantian pejabat ditentukan oleh sekelompok orang saja. Kelompok orang yang menentukan itu bersifat oligarkis dan berpuncak di tangan satu orang. Sementara di lingkungan negara-negara yang menganut paham demokrasi, praktik yang demikian itu tidak dapat diterapkan. Di negara-negara demokrasi, pergantian pejabat pemerintahan eksekutif dan legislatif ditentukan secara langsung oleh rakyat, yaitu melalui pemilihan umum yang diselenggarakan secara periodik.
Maka pemilihan umum juga disebut bertujuan untuk memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan dan pergantian pejabat negara yang diangkat melalui pemilihan. Dalam hal tersebut di atas, yang dimaksud dengan memungkinkan di sini tidak berarti bahwa setiap kali dilaksanakan pemilihan umum, secara mutlak harus berakibat terjadinya pergantian pemerintahan atau pejabat negara. Mungkin saja terjadi, pemerintahan suatu partai politik dalam sistem parlementer memerintah untuk dua, tiga, atau empat kali, ataupun seorang menjadi Presiden seperti di Amerika Serikat atau Indonesia dipilih untuk dua kali masa jabatan. Dimaksud ”memungkinkan” di sini adalah bahwa pemilihan umum itu harus membuka kesempatan sama untuk menang atau kalah bagi setiap peserta pemilihan umum itu. Pemilihan umum yang demikian itu hanya dapat terjadi apabila benar-benar dilaksanakan dengan jujur dan adil.
Tujuan ketiga dan keempat pemilihan umum itu adalah juga untuk melaksanakan kedaulatan rakyat dan melaksanakan hak asasi warga negara. Untuk menentukan jalannya negara, rakyat

sendirilah yang harus mengambil keputusan melalui perantaraan wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga legislatif. Hak-hak politik rakyat untuk menentukan jalannya pemerintahan dan fungsi-fungsi negara dengan benar menurut UUD adalah hak rakyat yang sangat fundamental. Oleh karena itu, penyelenggaraan pemilihan umum, di samping merupakan perwujudan kedaulatan rakyat, juga merupakan sarana pelaksanaan hak-hak asasi warga negara sendiri. Untuk itulah, diperlukan pemilihan umum guna memilih para wakil rakyat itu secara periodik. Demikian pula di bidang eksekutif, rakyat sendirilah yang harus memilih Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk memimpin jalannya pemerintahan, baik di tingkat pusat, di tingkat provinsi, maupun di tingkat kabupaten atau kota.[6]
Di samping itu, pemilihan umum itu juga penting bagi para wakil rakyat sendiri ataupun para pejabat pemerintahan untuk mengukur tingkat dukungan dan kepercayaan masyarakat kepadanya. Demikian pula bagi kelompok warga negara yang tergabung dalam suatu organisasi partai politik, pemilihan umum itu juga penting untuk mengetahui seberapa besar tingkat dukungan dan kepercayaan rakyat kepada kelompok atau partai politik yang bersangkutan. Melalui analisis mengenai tingkat kepercayaan dan dukungan itu, tergambar pula mengenai aspirasi rakyat yang sesungguhnya sebagai pemilik kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam negara Republik Indonesia.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemilihan umum itu tidak saja penting bagi warga negara, partai politik, tapi juga pejabat penyelenggara negara. Bagi penyelenggara negara yang diangkat melalui pemilihan umum yang jujur berarti bahwa pemerintahan itu mendapat dukungan yang sebenarnya dari rakyat. Sebaliknya, jika pemerintahan tersebut dibentuk dari hasil pemilihan umum yang tidak jujur maka dukungan rakyat itu hanya bersifat semu.
C.    Sistem Pemilu di Indonesia  
Semua pemilihan umum tidak diselenggarakan dalam situasi yang vacuum melainkan berlangsung dalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum itu sendiri. dari pemilihan umum-pemilihan umum tersebut juga dapat diketahui upaya untuk mencari sistem pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia.[7]
Di tahun 1955, Indonesia menggunakan sistem proporsional. Jumlah anggota DPR ditetapkan berdasarkan imbangan jumlah penduduk. Tiap 300.000 penduduk diwakili oleh 1 anggota DPR. Menggunakan stelsel daftar mengikat dan stelsel daftar bebas. Pemilih dapat memberikan suaranya kepada calon yang ada di dalam daftar (ini merupakan ciri dari sistem distrik) dan bisa juga diberikan kepada partai. Suara yang diberikan calon akan diperhitungkan sebagai perolehan suara calon yang bersangkutan, sedangkan yang diberikan kepada partai, oleh partai akan diberikan kepada calon sesuai nomor urut. Seseorang secara perorangan, tanpa melalui partai juga dapat menjadi pesrta pemilihan umum.Calon yang terpilih adalah yang memperoleh suara

sesuai BPPD (Bilangan Pembagi Pemilih Daftar). Apabila tidak ada calon yang memperoleh suara sesuai BPPD, suara yang diberikan kepada partai akan menentukan. Calon dengan nomor urut teratas akan diberi oleh suara partai, namun prioritas akan diberkan kepada calon yang memperoleh suara melampaui setengah BPPD. Kursi yang tidak habis dalam pembagian di daerah pemilihan akan dibagi di tingkat pusat dengan menjumlahkan sisa-sisa suara dari daerah-daerah pemilihan yang tidak terkonversi menjadi kursi.[8]
Di tahun pemilihan umum 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999 Indonesia menggunakan sistem proporsional dengan stelsel daftar tertutup. Pemilih memberikan suara hanya kepada partai , dan partai akan memberikan suaranya kepada calon dengan nomor urut teratas. Suara akan diberikan kepada urutan berikutnya bila calon dengan nomor urut teratas sudah kebagian suara cukup untuk kuota 1 kursi. Untuk pemilihan umum anggota DPR Daerah, pemilihannya adalah untuk wilayah Provinsi; sedangkan untuk DPRD I daerah pemilihannya adalah satu provinsi yang bersangkutan; dan untuk DPRD II daerah pemilihannya wilayah Dati II yang bersangkutan. Namun ada sedikit warna sistem Distrik didalamnya, karena setiap kabupaten diberi satu kursi anggota DPR untuk mewakili daeraah tersebut. Pada prmilihan tahun-tahun ini setiap anggota DPR mewakili 400.000 penduduk.[9]
Di tahun 2004 ada satu lembaga baru didalam lembaga lagislatif yaitu DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Untuk pemilihan umum anggota DPD dugunakan sistem Distrik tetapi dengan wakil banyak (4 kursi untuk setiap provinsi). Daerah pemilihannya adalah wilayah provinsi pesertanya adalah individu. Karena setiap provinsi atau daerah pemilihan mempunyai 4 jatah kursi, dan suara dari kontestan yang kalah tidak bisa dipindahkan atau dialihkan (non transverable vote) maka sistem yang digunakan disini dapat disebut sistem Distrik dengan wakil banyak (block vote). Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan sistem proporsional dengan stelsel daftar terbuka sehingga pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada calon yang dipilih dalam hal ini pemilih memberikan suaranya kepada partai , calon yang berada pada urutan teratas mempunyai peluang besar untuk terpilih Karenna suara pemilih yang diberikan kepada partai menjadi hak calon yang berada di urutan teratas. Jadi ada kemiripan sistem yang digunakan pada pemilihan umum 2004 dengan pemilihan umum 1995. Bedanya, pada pemilihan umum 1995 ada prioritas untuk memberikan suara partai kepada calon yang memperoleh suara lebih dari setengah BPPD.[10]
Ada warna sistem distrik dalam penghitungan perolehan kursi DPR dan DPRD pada pemilihan umum 2004, yaitu perolehan suatu partai disebuah daerah pemilihan yang tidak cukup untuk satu BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) tidak bisa ditambahkan keperolehan partai di daerah pemilihan lain misalnya untuk ditambahkan agar cukup untuk satu kursi, ini adalah ciri sistem distrik. Dari sudut pandang gender, pemilihan umum 2004 secara tegas memberi peluang lebih

besar secara afirmatif bagi peran perempuan. Pasal 65 UU No 12/2003 menyatakan bahwa setiap partai politik dapat mengajukan calon anggota DPR dan DPRD dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 % untuk setiap daerah pemilihan. Ini adalah kemajuan yang lain lagi yang ada pada pemilihn umum 2004.[11]
Juga ada upaya untuk kembali menyederhanakan atau mengurangi jumlah partai melalui cara yang bukan paksaan. Hal ini tampak pada prosedur seleksi parta-partai yang akan menjadi peserta pemilihan umum. Ada sejumlah syarat baik administrative maupun subtansial yang harus dipenuhi oleh setiap partai untuk bisa menjadi peserta pemilihan umum, antara lain ditentukannya electoral threshold dengan memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi anggota legislatif pusat, memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi di DPRD kabupaten atau kota yang tersebar disetenag jumlah kabupaten atau kota Indonesia. Untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi dalam badan yang bersangkutan atau 5% dari perolehan suara sah secara nasional.[12]
D.    Sistem Pemilu Mekanis dan Organis
Oleh karena pemilihan umum adalah salah satu cara untuk menentukan wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat, maka dengan sendirinya terdapat berbagai sistem pemilihan umum. Sistem pemilihan umum berbeda satu sama lain, tergantung dari sudut mana hal itu dilihat. Dari sudut kepentingan rakyat, apakah rakyat dipandang sebagai individu yang bebas untuk menentukan pilihannya, dan sekaligus mencalonkan dirinya sebagai calon wakil rakyat, atau apakah rakyat hanya dipandang sebagai anggota kelompok yang sama sekali tidak berhak menentukan siapa yang akan menjadi wakilnya di lembaga perwakilan rakyat, atau juga tidak berhak untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.
Berdasarkan hal tersebut, sistem pemilihan umum dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu Pertama sistem pemilihan mekanis, Kedua sistem pemilihan organis. Sistem pemilihan mekanis mencerminkan pandangan yang bersifat mekanis yang melihat rakyat sebagai massa individu-individu yang sama. Baik aliran liberalisme, sosialisme, dan komunisme sama-sama mendasarkan diri pada pandangan mekanis.
Liberalisme lebih mengutamakan individu sebagai kesatuan otonom dan memandang masyarakat sebagai suatu kompleks hubungan-hubungan antar individu  yang bersifat kontraktual, sedangkan pandangan sosialisme dan khususnya komunisme, lebih mengutamakan totalitas kolektif masyarakat dengan mengecilkan peranan individu. Namun, dalam semua aliran pemikiran di atas, individu tetap dilihat sebagai penyandang hak pilih yang bersifat aktif dan memandang korps pemilih sebagai massa individu-individu, yang masing-masing memiliki satu suara dalam setiap pemilihan, yaitu suaranya masing-masing secara sendiri-sendiri.

Sementara itu, dalam sistem pemilihan yang bersifat organis, pandangan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan geneologis (rumah tangga, keluarga), fungsi tertentu (ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan), dan lembaga-lembaga sosial (universitas). Kelompok-kelompok dalam masyarakat dilihat sebagai suatu organisme yang terdiri atas organ-organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam totalitas organisme, seperti komunitas atau persekutuan-persekutuan hidup. Dengan pandangan demikian, persekutuan-persekutuan hidup itulah yang diutamakan sebagai penyandang dan pengendali hak pilih. Dengan perkataan lain, persekutuan-persekutuan itulah yang mempunyai hak pilih untuk mengutus wakil-wakilnya kepada badan-badan perwakilan masyarakat.
Apabila dikaitkan dengan sistem perwakilan seperti yang sudah diuraikan di atas, pemilihan organis ini dapat dihubungkan dengan sistem perwakilan fungsional yang biasa dikenal dalam sistem parlemen dua kamar, seperti di Inggris dan Irlandia. Pemilihan anggota Senat Irlandia dan juga para Lords yang akan duduk di House of Lords Inggris, didasarkan atas pandangan yang bersifat organis tersebut. Dalam sistem pemilihan mekanis, partai-partai politiklah yang mengorganisasikan pemilih-pemilih dan memimpin pemilih berdasarkan sistem dua-partai atau pun multi-partai menurut paham liberalisme dan sosialisme, ataupun berdasarkan sistem satu partai menurut paham komunisme. Tetapi dalam sistem pemilihan organis, partai-partai politik tidak perlu dikembangkan, karena pemilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-tiap persekutuan hidup itu sendiri, yaitu melalui mekanisme yang berlaku dalam lingkungannya sendiri.
Menurut sistem mekanis, lembaga perwakilan rakyat merupakan lembaga perwakilan kepentingan umum rakyat seluruhnya. Sedangkan, menurut sistem yang kedua (organis), lembaga perwakilan rakyat itu mencerminkan perwakilan kepentingan-kepentingan khusus persekutuan-persekutuan hidup itu masing- masing. Dalam bentuknya yang paling ekstrim, sistem yang pertama (mekanis) menghasilkan parlemen, sedangkan yang kedua (organis) menghasilkan dewan korporasi. Kedua sistem ini sering dikombi- nasikan dalam struktur parlemen dua-kamar (bikameral), yaitu di negara-negara yang mengenal sistem parlemen bikameral.
Seperti yang sudah dikemukakan di atas, misalnya, parlemen Inggris dan Irlandia yang bersifat bikameral mencerminkan hal itu, yaitu pada sifat perwakilan majelis tingginya. Di Inggris hal itu terlihat pada House of Lords, dan di Irlandia pada Senatnya yang para anggotanya semua dipilih tidak melalui sistem yang mekanis, tetapi dengan sistem organis.
E.     Sistem Pemilu Distrik dan Proporsional
Sistem yang lebih umum, dan karena itu perlu diuraikan lebih rinci, adalah sistem pemilihan yang bersifat mekanis. Sistem ini biasa dilaksanakan dengan dua cara yaitu:
1.      Perwakilan distrik atau mayoritas (single member constituencies); dan

2.      Sistem perwakilan berimbang (proportional representation).
Sistem yang pertama, yaitu sistem distrik, biasa dinamakan juga sebagai sistem single member constituencies[13] atau sistem the winner’s take-all. Dinamakan demikian, karena wilayah negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan atau daerah-daerah pemilihan (dapil) yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota lembaga perwakilan rakyat yang diperlukan untuk dipilih. Misalnya, jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditentukan 500 orang, maka wilayah negara  dibagi dalam 500 distrik atau daerah pemilihan (dapil) atau constituencies. Artinya, setiap distrik atau daerah pemilihan akan diwakili oleh hanya satu orang wakil yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu dinamakan sistem distrik, atau single member constituencies.
Sebagian sarjana juga menamakan sistem ini sebagai sistem mayoritas, karena yang dipilih sebagai wakil rakyat dari suatu daerah ditentukan oleh siapa yang memperoleh suara yang terbanyak atau suara mayoritas untuk daerah itu, sekalipun kemenangannya hanya bersifat mayoritas relatif (tidak mayoritas mutlak). Misalnya, di daerah pemilihan 1, calon A memperoleh suara 100.000, B memperoleh suara 99.999, C memperoleh 100.001, maka yang dinyatakan terpilih menjadi wakil dari daerah pemilihan 1 untuk menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat adalah C. Sebab, setiap distrik hanya diwakili oleh satu orang yang memperoleh suara yang paling banyak, meskipun bukan mayoritas mutlak.
Kelebihan sistem ini tentu saja banyak. Setiap calon dari suatu distrik, biasanya adalah warga daerah itu sendiri, atau meskipun datang dari daerah lain, tetapi yang pasti bahwa orang itu dikenal secara baik oleh warga daerah yang bersangkutan. Dengan demikian, hubungan antara para pemilih dengan para calon harus erat dan saling mengenal dengan baik. Bagi para pemilih tentunya calon yang paling mereka kenal sajalah yang akan dipilih. Sebaliknya, karena calon yang dipilih adalah orang yang sudah dikenal dengan baik, tentu diharapkan bahwa yang bersangkutan juga sudah sangat mengerti keadaan-keadaan yang perlu diperjuangkannya untuk kepentingan rakyat daerah yang diwakilinya itu.
Sedangkan pada sistem yang kedua, yaitu sistim perwakilan berimbang atau perwakilan proporsionil, persentase kursi di lembaga perwakilan rakyat dibagikan kepada tiap-tiap partai politik, sesuai dengan persentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik. Misalnya, jumlah pemilih yang sah pada suatu pemilihan umum tercatat ada 1.000.000 (satu juta) orang. Misalnya, jumlah kursi di lembaga perwakilan rakyat ditentukan 100 kursi, berarti untuk satu orang wakil rakyat dibutuhkan suara 10.000. Pembagian kursi di Badan Perwakilan Rakyat tersebut tergantung kepada berapa jumlah suara yang didapat setiap partai politik yang ikut pemilihan umum. Jika sistem ini dipakai, maka dalam bentuk aslinya tidak perlu lagi membagikan korps pemilih atas jumlah daerah pemilihan. Korps pemilih boleh dibagi atas

sejumlah daerah pemilihan dengan ketentuan bahwa tiap-tiap daerah pemilihan disediakan beberapa kursi sesuai dengan jumlah penduduknya.
Meskipun jumlah kursi untuk suatu pemilihan ditentukan sesuai dengan jumlah penduduk yang boleh mengikuti pemilihan, dan ditentukan pula bahwa setiap kursi membutuhkan suara dalam jumlah tertentu, namun apabila ternyata tidak semua penduduk memberikan suara atau ada sebagian yang tidak sah, maka persentase untuk satu kursi juga menjadi berubah. Oleh karena itu, sistem proporsional ini dikenal agak rumit cara perhitungannya. Bahkan, sistem proporsional ini dapat dilaksanakan dengan ratusan variasi yang berbeda-beda. Namun, secara garis besar, ada dua metode utama yang biasa dikenal sebagai variasi, yaitu metode single transferable vote dengan hare system, dan metode list-system.
Pada metode pertama, Single Transferable Vote dengan Hare System, pemilih diberi kesempatan untuk memilih pilihan pertama, kedua, dan seterusnya dari daerah pemilihan yang bersangkutan. Jumlah perimbangan suara yang diperlukan untuk pemilih ditentukan, dan segera jumlah keutamaan pertama dipenuhi, dan apabila ada sisa suara, maka kelebihan suara itu dapat dipindahkan kepada calon pada urutan berikutnya, dan demikian seterusnya. Dengan kemungkinan penggabungan suara itu, maka partai politik yang kecil dimungkinkan mendapat kursi di lembaga perwakilan rakyat, meskipun semula tidak mencapai jumlah imbangan suara yang ditentukan. Konsekuensi dari sistem ini adalah bahwa penghitungan suara agak berbelit-belit dan membutuhkan kecermatan yang seksama. Sedangkan pada metode list system, para pemilih diminta memilih diantara daftar-daftar calon yang berisi sebanyak mungkin nama-nama wakil rakyat yang akan dipilih dalam pemilihan umum.
Partai politik yang kecil-kecil biasanya sangat menyukai sistim pemilihan proporsionil, karena dimungkinkan adanya penggabungan suara. Jika partai politik A, berdasarkan jumlah imbangan suara hanya akan mempunyai satu orang wakil yang duduk di lembaga perwakilan, tetapi karena metode perhitungan berdasarkan hare system, dapat saja memperoleh 2 (dua) kursi lebih banyak. Sebaliknya, sistim proporsional ini kurang disenangi oleh partai politik yang besar, karena perolehannya dapat terancam oleh partai-partai yang kecil.
Namun, terlepas dari perbedaan antara metode single transferable vote dengan hare system dan list system, yang jelas sistem pemilihan perwakilan berimbang atau perwakilan proporsional ini diakui mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan sistim distrik. Misalnya, tidak adanya suara pemilih yang hilang dan diabaikan dalam mekanisme penentuan wakil rakyat yang akan terpilih. Akibat dari hare system, maka memang tidak ada suara yang hilang, sehingga oleh karenanya sistem ini sering dikatakan lebih demokratis, dan mengakibatkan lembaga perwakilan rakyat cenderung bersifat lebih nasional daripada kedaerahan. Namun, sistem ini banyak juga kelemahannya, misalnya cara perhitungannya agak rumit, dan cenderung mengutamakan peranan partai politik daripada para wakil rakyat secara langsung.

Pendek kata, setiap sistem selalu mengandung kelebihan dan kelemahannya sendiri-sendiri. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Bahkan, negara-negara yang tadinya menganut sistem distrik cenderung berusaha untuk mengadopsi sistim proporsional, tetapi negara-negara yang biasa dengan sistem proporsional dan banyak mengalami sendiri kekurangan-kekurangannya, cenderung berusaha untuk menerapkan sistem distrik yang dianggapnya lebih baik. Semua pilihan itu tergantung tingkat kebutuhan real yang dihadapi setiap masyarakat yang ingin memperkembangkan tradisi dan sistem demokrasi yang diterapkan di masing-masing negara.
F.     Lembaga Penyelenggara
Penyelenggara pemilihan umum dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 telah menentukan bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Dalam Pasal 22E ayat 5 ditentukan pula bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Oleh sebab itu, menurut UUD 1945 penyelenggara pemilihan umum itu haruslah suatu komisi yang bersifat:
1.      Nasional;
2.      Tetap; dan
3.      Mandiri atau independen.
Independen artinya karena penyelenggara pemilu itu harus bersifat netral dan tidak boleh memihak. Komisi pemilihan umum itu tidak boleh dikendalikan oleh partai politik ataupun oleh pejabat negara yang mencerminkan kepentingan partai politik atau peserta atau calon peserta pemilihan umum. Peserta pemilu itu sendiri dapat terdiri dari:
1.      partai politik, beserta para anggotanya yang dapat menjadi calon dalam rangka pemilihan umum;
2.      Calon atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
3.      Calon atau anggota Dewan Perwakilan Daerah;
4.      Calon atau anggota DPRD;
5.      Calon atau Presiden atau Wakil Presiden;
6.      Calon atau Gubernur atau Wakil Gubernur;
7.      Calon atau Bupati atau Wakil Bupati; dan
8.      Calon atau Walikota atau Wakil Walikota.
Kedelapan pihak yang terdaftar di atas mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan keputusan-keputusan yang akan di ambil oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilu, sehingga oleh karenanya KPU harus terbebas dari kemungkinan pengaruh mereka itu.


G.    Pengadilan Sengketa Hasil Pemilu
Hasil pemilihan umum berupa penetapan final hasil penghitungan suara yang diikuti oleh pembagian kursi yang diperebutkan, yang diumumkan secara resmi oleh lembaga penyelenggara pemilihan umum seringkali tidak memuaskan peserta pemilihan umum, yang tidak berhasil tampil sebagai pemenang. Kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat dalam hasil perhitungan itu antara peserta pemilihan umum dan penyelenggara pemilihan umum, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian, baik karena kesalahan teknis atau kelemahan yang bersifat administratif dalam perhitungan ataupun disebabkan oleh faktor human error. Jika perbedaan pendapat yang demikian itu menyebabkan terjadinya kerugian bagi peserta pemilihan umum, maka peserta pemilihan yang dirugikan itu dapat menempuh upaya hukum dengan mengajukan permohonan perkara per selisihan hasil pemilihan umum ke Mahkamah Konstitusi.[14]
Jenis perselisihan atau sengketa mengenai hasil pemilihan umum ini tentu harus dibedakan  dari sengketa yang timbul dalam kegiatan kampanye, ataupun teknis pelaksanaan pemungutan suara. Jenis perselisihan hasil pemilihan umum ini juga harus pula dibedakan dari perkara-perkara pidana yang terkait dengan subjek-subjek hukum dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Siapa saja yang terbukti bersalah melanggar hukum pidana, diancam dengan pidana dan harus dipertanggungjawabkan secara pidana pula menurut ketentuan yang berlaku di bidang peradilan pidana. Misalnya, A mencuri surat suara, maka hal itu tergolong pelanggaran hukum pidana yang diadili menurut prosedur pidana. Sedangkan B melanggar jadwal kampanye yang menjadi hak calon lain, maka pelanggaran semacam ini harus diselesaikan secara administratif oleh lembaga penyelenggara pemilihan umum yang bertanggung jawab di bidang itu.
Demikian pula jika C mengajukan permohonan perkara perselisihan hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Namun di dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, C berkolusi dengan pejabat Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dengan memalsukan bukti-bukti di persidangan yang tidak dapat dibantah oleh pejabat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat dalam persidangan. Di kemudian hari, terbukti bahwa data-data yang diajukan oleh KPU Daerah itu palsu, maka hal tersebut sepenuhnya merupakan perkara pidana pemalsuan yang merugikan semua pihak dan harus dipertanggungjawabkan secara pidana. Akan tetapi, sepanjang menyangkut hasil pemilihan umum yang sudah diputus final dan mengikat oleh Mahkamah Konstitusi dalam persidangan yang terbuka untuk umum, persoalan  tindak pidana dimaksud tidak lagi ada kaitannya dengan hasil pemilihan umum. Dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, semua pihak, termasuk apalagi kepada pihak KPU selaku lembaga penyelenggara pemilu dan pihak-pihak yang kepentingannya terkait lainnya, sudah diberi kesempatan yang cukup dan leluasa untuk membantah atau menolak bukti-bukti yang diajukan oleh pihak

pemohon perkara, tetapi karena ternyata bukti-bukti dimaksud tidak terbantahkan, maka perkara perselisihan hasil pemilu itu sudah diputus final dan mengikat oleh Mahkamah Konstitusi.[15]
Biasanya, hal-hal yang berkenaan dengan kualitas bukti yang dianggap tidak benar itu justru datang belakangan oleh pihak penyelenggara pemilihan umum. Akan tetapi, roda penyelenggaraan negara dan pemerintahan tidak boleh digantungkan kepada kealpaan atau kelalaian penyelenggara pemilu sebagai satu kesatuan institusi penyelenggara pemilihan umum di seluruh Indonesia. KPU adalah satu institusi. Perkara perselisihan hasil pemilu adalah perkara formal yang membutuhkan teknik-teknik pembuktian yang juga bersifat formal dan dengan jadwal yang pasti. Kepastian hukum sangat diutamakan dalam hal ini. Sikap mengutamakan keadilan bagi satu orang tidak mungkin dibenarkan, apabila hal itu justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, dalam jenis perkara perselisihan hasil pemilihan umum, tanpa adanya kepastian hukum yang tegas, niscaya dapat timbul ketidakadilan dalam seluruh mekanisme penyelenggaraan negara dan karena itu dapat menimbulkan ketidakadilan bagi semua warga negara.
Tentu tidak semua negara memiliki Mahkamah Konstitusi ataupun mekanisme penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum melalui Mahkamah Konstitusi. Di negara-negara yang tidak memiliki lembaga seperti ini, biasanya perkara-perkara pemilu itu langsung ditangani oleh Mahkamah Agung. Di Amerika Serikat, perkara seperti ini juga ditangani oleh Mahkamah Agung negara bagian, dan baru setelah itu ditangani oleh Mahkamah Agung Federal. Tetapi, di Brazil, peradilan pemilu ini dilembagakan secara tersendiri, yaitu untuk menangani semua aspek perkara hukum yang terkait dengan pemilihan umum.
Dengan ada mekanisme peradilan terhadap sengketa hasil pemilihan umum ini, maka setiap perbedaan pendapat mengenai hasil pemilihan umum tidak boleh dikembangkan menjadi sumber konflik politik atau bahkan menjadi konflik sosial yang diselesaikan di jalanan. Penyelesaian perbedaan mengenai hasil perhitungan suara pemilihan umum menyangkut pertarungan kepentingan politik antar kelompok warga negara sudah seharusnya diselesaikan melalui jalan hukum dan konstitusi. Dengan kewenangannya untuk mengadili dan menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemilu ini, dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi diberi tanggung jawab untuk menyediakan jalan konstitusi bagi para pihak yang bersengketa, yaitu antara pihak penyelenggara pemilihan umum dan pihak peserta pemilihan umum.





BAB IV
KESIMPULAN

1.      Pemilihan Umum merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu dilaksanakan oleh negara Indonesia dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat sekaligus penerapan prinsip-prinsip atau nilai-nilai demokrasi, meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia.
2.      Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Menyikapi persengketaa hasil pemilihan umum ini, lebih baik setiap perbedaan pendapat mengenai hasil pemilihan umum tidak boleh dikembangkan menjadi sumber konflik politik atau bahkan menjadi konflik sosial yang diselesaikan di jalanan. Penyelesaian perbedaan mengenai hasil perhitungan suara pemilihan umum menyangkut pertarungan kepentingan politik antar kelompok warga negara sudah seharusnya diselesaikan melalui jalan hukum dan konstitusi.












DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Jimly Asshiddiqie. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Konstitusi Press.
Khairul Fahmi. 2012. Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rozali Abdullah. 2009. Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas(Pemilu Legislatif). Jakarta: Rajawali Pers.
Soehino. 2010. Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan dan Pelaksanaan Pemilihan umum di  Indonesia. Yogyakarta: UGM.
Sekretariat Jendral MPR RI. 2013. Udang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.












Pertnyaan dan tanggapan
1.      Presidential tresholde 20% (Nadiya Ayu Lestari)?
Bagi kami walaupun Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu masih menggodok lima isu krusial dalam RUU Pemilu. Lima isu krusial itu adalah ambang batas parlemen, ambang batas partai mengajukan calon presiden, sistem pemilu, alokasi kursi perdaerah pemilihan, dan konversi suara menjadi kursi. Karena pemilu 2019 mendatang dilakukan secara serentak, maka penghitungan yang dipakai untuk pemilu 2019 adalah hasil pemilu 2014. Ketentuan ambang batas pencalonan presiden bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945, yang menjamin hak setiap partai politik peserta pemilu bisa mengajukan pasangan calon presiden. Secara politik, ketentuan ambang batas pencalonan presiden juga akan dianggap membatasi kesempatan partai atau warga negara lain maju menjadi pasangan calon presiden.
2.      Money politic dalam penyelenggaraan pemilu (Opi Kusela)?
Memang dalam praktiknya, sering dijumpai bahwa di negara yang jumlah penduduknya sedikit dan ukuran wilayahnya tidak begitu luas, pemilu itu tidak dapat berjalan secara penuh. Apalagi di negara-negara yang jumlah penduduknya banyak dan dengan wilayah yang sangat luas, dapat dikatakan tidak mungkin untuk menghimpun pendapat rakyat seorang demi seorang dalam menentukan jalannya suatu pemerintahan. Jika terjadi perselisihan mengenai hasil yang demikian itu menyebabkan terjadinya kerugian bagi peserta pemilihan umum, maka peserta pemilihan yang dirugikan itu dapat menempuh upaya hukum dengan mengajukan permohonan perkara perselisihan hasil pemilihan umum ke Mahkamah Konstitusi, enis perselisihan atau sengketa mengenai hasil pemilihan umum ini tentu harus dibedakan  dari sengketa yang timbul dalam kegiatan kampanye, ataupun teknis pelaksanaan pemungutan suara. Dengan ada mekanisme peradilan terhadap sengketa hasil pemilihan umum ini, maka setiap perbedaan pendapat mengenai hasil pemilihan umum tidak boleh dikembangkan menjadi sumber konflik politik atau bahkan menjadi konflik sosial yang diselesaikan di jalanan.


[1] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PSHTN-FHUI, 1983), hlm. 328.
[2] Mengenai UU No. 12 Tahun 2003 dan UU No. 23 Tahun 2003 ketentuan mengenai calon peserta pemilu, baik bago calon anggota DPR, DPD, DPRD, maupun bagi calon Presiden dan Wakil Presiden.
[3] Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menentukan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia , jujur, dan  adil setiap lima tahun sekali.
[4] Ismail Suny, Mekasnisme Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), hlm. 14.
[5] Bandingkan denga pendapat Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim yang hanya menyebutkan tiga, yaitu (1) memungkinkan terjadinnya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib; (2) untuk melaksanakan kedaultan rakyat; dan (3) dalam rangka melaksanakan hak-hak asasi warga Negara. Kusnardi dan Harmaily, Op.Cit., hlm. 330.
[6] Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
[7] Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta : Ikrar Mandiriabadi, 2008 ), Hal. 473.
[8] Lbid. Hal. 486.
[9] Lbid. Hal. 487.
[10] Lbid. Hal. 487.
[11] Lbid. Hal. 488.
[12] Lbid. Hal. 488.
[13] Sri Soemantri, Sistem Dua Partai, (Jakarta: Bina Tjipta, 1968), hm. 15.
[14] Berdasarkan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Kosntitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004, Pilkada langsung tidak termasuk dalam kategori pemilihan umum sebagaimana dimaksudkan Pasal 22E UUD 1945, Sebngketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diputuskan oleh Mahkama Agung,  Sebagaimana diatur dalam Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004.
[15] Peraturan Mahkamah Kosntitusi Nomor 04/PMK/004 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Umum Tanggal 04 Maret 2004.

Share:

0 komentar:

Post a Comment