Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Friday, June 08, 2018

TRANSFORMASI POLITIK DI INDONESIA


A.    Transformasi Politik
Transformasi adalah sebuah proses perubahan secara berangsur angsur sehingga sampai pada tahap ultimate, perubahan yang dilakukan dengan cara memberi respon terhadap pengaruh unsur eksternal dan internal yang akan mengarahkan perubahan dari bentuk yang sudah dikenal sebelumnya melalui proses menggandakan secara berulang-ulang atau melipat gandakan. Laseau  1980  yang  dikutip  oleh  Sembiring  2006  memberikan  kategori  Transformasi sebagai berikut:
1.      Transformasi bersifat Tipologikal (geometri) bentuk geometri yang berubah dengan komponen pembentuk dan fungsi ruang yang sama.
2.      Transformasi bersifat gramatikal hiyasan (ornamental) dilakukan dengan menggeser, memutar, mencerminkan, menjungkirbalikkan, melipat dll.
3.      Transformasi bersifat refersal (kebalikan) pembalikan citra pada figur objek yang akan ditransformasi dimana citra objek dirubah menjadi citra sebaliknya.
4.      Transformasi bersifat distortion (merancukan) kebebasan perancang dalam beraktifitas.
Proses Transformasi
Habraken, 1976 yang dikutip oleh Pakilaran, 2006 (dalam http://www.ar. itb.ac.id/wdp/ diakses pada tanggal 11 November 2013) menguraikan proses transformasi yaitu sebagai berikut
1.      Perubahan yang terjadi secara perlahan-lahan atau sedikit demi sedikit
2.      Tidak dapat diduga kapan dimulainya dan sampai kapan proses itu akan berakhir tergantung dari faktor yang mempengaruhinya
3.      Komprehensif dan berkesinambungan
4.      Perubahan yang terjadi mempunyai keterkaitan erat dengan emosional (sistem nilai) yang ada dalam masyarakat.
Dan dari pengertian politik,  Politik dari bahasa Yunani: “politicos”, yang berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga Negara. dari bahasa Inggris politic : bijaksana, beradab, berakal, yg dipikirkan, polite : sopan, halus, beradab, sopan santun, terpilih, yg halus budi bahasanya. Politik juga dapat diartikan sebagai proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam Negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Di samping itu politik juga dapat dilihat dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
-          politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
-          politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
-          politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
-          politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Transformasi arti dari kata transformasi didalam kamus KBBI ialah perubahan rupa (bentuk,sifat,fungsi dan sebagainya). Jadi transformasi politik itu adalah perubahan politik dari zaman orde lama ke zaman orde baru dan  ke zaman reformasi.
A.    Perkembangan Politik Era Presiden Soekarno
Sebagai pemimpin besar revolusi, Soekarno dipandang sebagai Presiden Republik Indonesia yang punya kharisma politik tersendiri. Lugas, tegas, menggebu-gebu, semangat, dan cenderung anti-barat merupakan gambaran yang bisa kita saksikan pada setiap pidato politiknya. Masa awal kepemimpinannya, ditandai dengan terbentuknya sistem pemerintahan parlementer. Sistem ini menciptakan sebuah pemerintahan yang memberi kekuasaan dominan kepada lembaga legislatif. Terbentuknya berbagai partai politik yang bebas menyuarakan aspirasi merupakan tanda kehidupan politik terakomodir. Perkembangan politik di era kepemimpinan Soekarno, telah memberikan ruang luas bagi partai politik untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan politiknya. Ini terbukti dengan terbentuknya sistem kepartaian (multipartai). Masyarakat pun memiliki pilihan yang banyak untuk menempatkan keterwakilan politiknya di parlemen. Pemilu sebagai ciri dari negara demokrastis, di era Soekarno diselenggarakan dengan baik. Kebebasan pers menduduki posisi tertinggi, sebagai media informasi yang dijamin kebebasannya. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Era kepemimpinan kemudian ditandai dengan melemahnya sistem kepartaian yang bebas. Lalu terjadi gerakan perkembangan yang lambat terhadap perkembangan politik Indonesia saat itu.
Demokrasi Parlementer yang memegang peranan penting dalam pemerintahan tidak lagi dipandang sebagai lembaga yang mempunyai kekuasaan luas. Presiden, dalam hal ini Soekarno, yang kemudian menasbihkan dirinya sebagai presiden seumur hidup dalam bingkai kepemimpinan yang disebutnya sebagai era Demokrasi Terpimpin. Fokus kebebasaan kemudian "kabur". Saat itu, terjadi sentralisasi dalam segala bidang dan tertutupnya akuntabilitas pemerintahan. Presiden menjadi dominan kekuasaannya, dan berakibat melemahnya peran legislatif.Akhirnya, saat itu tidak ada satu pola pengemban kehidupan politik yang demokrastis. Soekarno lalu “dilengserkan” dari jabatannya sebagai presiden, melalui Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar yang “konon” berisi pemberian tanggung jawab pengambil alihan kekuasaan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto. Peristiwa ini menandai terbentuknya era baru kepemimpinan politik di Indonesia.
B.      Perkembangan Politik Era Presiden Soeharto
Perkembangan  politik Indonesia era kepemimpinan Presiden Soeharto di mulai ketika ia "mengambil alih" kekuasaan dari Presiden Soekarno. Pemerintahan politik dijalani berdasarkan asas Pancasila, yang juga mengatur seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Awalnya, realisasi pengamalan Pancasila mampu diterima masyarakat sebagi "kiblat" pemerintahan politik yang dijalankan Soeharto. Namun, berubah sebagai alat pemaksaan kehendak, yang mengubah sistem pemerintahan menjadi otoriter. Presiden menjadi komandan pemerintahan yang tidak boleh tersentuh oleh apapun dan siapapun. Kehidupan politik yang diharapkan mengalami perkembangan setelah runtuhnya rezim Soekarno ternyata hanya jadi retorika semata. Posisi politik lembaga legislatif yang seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan, malah menjadi tameng dari pemerintah yang dibangun secara over sentralistik. Rotasi kekuasaan politik tak pernah terjadi hingga 32 tahun lamanya. Pemilu hanya dijadikan rutinitas lima tahunan yang pemenangnya sudah bisa ditebak.
Partai Golkar menjadi kendaraan politik yang ampuh digunakan oleh Soeharto untuk mengamankan setiap keputusan politik pemerintahannya di DPR. Bahkan, Presiden Soeharto berubah sangat arogan, dengan menggunakan kekuatan militer pada setiap situasi keamanan yang bisa saja mendorong masyarakat untuk bergerak melawan rezimnya yang korup. Sistem rekrut politik sebagai bagian dari penjaringan bakat politik baru, dilakukan tidak terbuka. Perkembangan politik jalan di tempat dengan tidak adanya refresh tokoh politik baru. Memang pemilu dilakukan setiap lima tahun sekali, tetapi semua hanya sebagai formalitas belaka. Pejabat birokasi, Golkar, dan ABRI diinstruksikan untuk memenangkan setiap putaran pemilu yang berlangsung. Masyarakat dikekang kebebasannya memilih, serta dipaksa untuk memilih partai tertentu yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Pertumbuhan partai politik dibatasi hanya 3 partai, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembagunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Era kepemimpinan Presiden Soeharto kemudian dikenal sebagai masa tertindasnya kebebasan HAM, tercerabutnya akar penghormatan hak-hak dasar manusia, bahkan terjadinya pelanggaran HAM dihampir seluruh daerah di Nusantara. Masyarakat yang tersadarkan pada situasi politik yang tidak sehat ini, akhirnya betul-betul memberikan perlawanan kepada pemerintahan yang berkuasa. Melalui gerakan reformasi tahun 1998, yang dimotori mahasiswa, rezim yang sering disebut sebagai rezim Orde Baru pun runtuh. Harapan terciptanya pemerintahan yang bersih, termasuk bagi perkembangan politik Indonesia ke arah yang lebih baik muncul di masyarakat.
C.     Perkembangan Politik Era Reformasi  
Tidak ada yang dapat memberikan penilaian dengan pasti apakah cita-cita reformasi sudah terwujud atau belum. Runtuhnya kekuasaan Soeharto padahal telah memberikan secercah harapan bagi terciptanya iklim demokrasi yang jauh lebih baik. Namun, harapan itu kenyataan hanya menjadi mimpi tanpa realisasi nyata. Masih adanya perbedaan dalam pandangan ketegasan terhadap sistem pemerintahan, merupakan salah satu indikator yang bisa kita lihat. Di sini terlihat ada persaingan politik yang terjadi, antara pemerintah dan legislatif sebagai pembuat produk undang-undang. Kekuasaan presiden tidak mutlak dijalankan secara penuh, tapi terpengaruh pada parlemen. Hal ini akhirnya menciptakan situasi politik yang tidak sehat, karena presiden terpaku oleh kepentingan lain. Kepentingan itu bisa jadi tidak berpengaruh pada perbaikan kondisi bangsa secara keseluruhan.
Dari uraian tadi, jelas terlihat bahwa sistem demokrasi dalam perkembangan politik Indonesia yang dibangun pasca Orde Baru masih mencari bentuk yang ideal. Satu prestasi yang patut kita cermati adalah keinginan yang kuat untuk merealisasikan sistem pemilihan kepala daerah langsung. Kebebasan berserikat dan berpendapat yang ada dalam undang-undang dasar direalisasikan dengan sistem multipartai. Perkembangan politik di Indonesia sepertinya memang masih mencari jalannya untuk berkembang lebih baik lagi. Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa butuh waktu lagi untuk menemukan format sistem politik yang betul-betul mampu mendorong terciptanya pemerintahan yang baik pula. Jika merunut pada itu semua, maka perkembangan politik di Indonesia tidak ada yang mampu memprediksi akan tumbuh seperti apa di masa depan.
D.    POLITIK DI ERA ORDE LAMA (1945-1968
Konfigurasi politik era orde lama
Presiden soekarno pasa tanggal 5 juli 1959 mengeluarkn dekrit presidn yang isinya pembubaran konstituante, di undangkan secara rresmi dalam Lembaran Negara thun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 yang berisi penetapan-penetpan berikut ini
a.       Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya kembali UUDS 1950
b.      Pembentukn MPRS dan DPAS.
Salah satu dasar pertimbangan dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit presiden 5 juli 1959 adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya. Pada masa itu Soekarno memakai system DEMOKRASI TERPIMPIN. Tindakan soekarno  mengeluarkan dekrit pada tanggal 5 juli 1959 dipersoalkan keabsahanya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 presidn tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. System ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan berdasarkan pada  system “trial and error”. Keadan ini terus berlangsung hingg pechny pemberontkan  DI/TII yangh berhalun theokratisme islam  fundamental (1952-1962) dan kemudian pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI yang secar perlahan terjadi pergeseran politik kesistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun.
1)      Gerakan separatis pada tahun 1957
2)      Konflik ideology yang tajam yaitu anatara pancasil dan ideoligi islam, sehingg terjdi kemacetan total di bidang konstituante pada tahun 1959
            Sistem parlementer yang mulai berlaku ebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan dan kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 dan 1950, ternyata kurang cocok untuk Indonesia meskipun dapat berjalan secara memuaskan dalam beberapa negara Asia lain.[1] Persatuan yang dapat digalang untuk selalu menghadapi musuh bersama menjadi kendor dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan tercapai. Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik dan Dewan Pewakilan Rakyat.
            Undang-undang Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif yang terdiri atas presiden sebagai kepala negara konstitusional (constituionalhead) dan menteri-menterinya mempunyai tanggung jawab politik. Karena fragmentasi partai-partai politik, setiap kabinet berdasarkan koalisi yang berkisar pada satu atau dua partai besar dengan beberapa partai kecil. Koalisai ternyata kurang mantap dan partai-partai dalam koalisi tidak segan-segan untuk menarik dukungannya sewaktu-waktu, sehingga kabinet sering kali jatuh karena keretakan dalam koalisi sendiri. Dengan demikian ditimbulkan kesan bahwa partai-partai dalam koalisi kurang dewasa dalam menghadapi tanggung jawab mengenai permasalahan pemerintahan. Di lain pihak, partai-partai dalam barisan oposisi tidak mampu berperan sebagai oposisi yang konstruktif yang menyusun program-program alternatif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif dari tugas oposisi.
            Umumnya kabinet dalam masa pra pemilihan umum yang diadakan pada tahun 1955 tidak dapat bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan, dan hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan politik oleh karena pemerintah tidak mendapat kesempatan untuk melaksanakan programnya. Pemilihan umum tahun 1955 tidak membawa stabilitas yang diharapkan, bahkan tidak dapat menghindarkan perpecahan yang paling gawat antara pemerintah pusat dan beberapa daerah. Di samping itu ternyata ada beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak memperoleh saluran dan tempat yang realistis dalam konstelasi politik, padahal merupakan kekuatan yang paling penting, yaitu seorang presiden yang tidak mau bertindak sebagairubberstomp (presiden yang membubuhi capnya belaka) dan suatu tentara yang karena lahir dalam revolusi merasa bertanggung jawab untuk turut menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.
            Faktor-faktor semacam ini, ditambah dengan tidak adanya anggota-anggota partai-partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara untuk undang-undang dasar baru, mendorong Ir. Soekarno sebagai presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli yang menentukan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Degan demikian masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir.
E.          Masa Republik Indonesia II (1959-1965): Masa Demokrasi Terpimpin
            Ciri-ciri periode ini ialah dominasi dari presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial-politik. Dekrit Presiden 5 Juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Undang-Undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi Ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini (Undang-Undang Dasar memungkinkan seorang presiden untuk dipilih kembali) yang ditentukan oleh Undang-Undang Dasar. Selain itu, banyak lagi tindakan yang menyimpang dari atau menyeleweng terhadap ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam tahun 1960 Ir. Soekarno sebagai presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum, padahal dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang mengganti Dewan Perwakilan Rakyat pilihan rakyat ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah, sedangkan fungsi kontrol ditiadakan. Bahkan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dijadikan menteri dan dengan demikian ditekankan fungsi mereka sebagai pembantu presiden, di samping fungsi sebagai wakil rakyat. Dalam rangka ini harus pula dlihat beberapa ketentuan lain yang memberi wewenang kepada presiden sebagai badan eksekutif untuk campur tangan di bidang lain selain bidang eksekutif. Misalnya presiden diberi wewenang untuk campur tangan di bidang yudikatif berdasarkan Undang-Undang No 19/1964, dan di bidang legislatif berdasarkan Peraturan Presiden No. 14/1960 dalam hal anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencapai mufakat.
            Selain itu terjadi penyelewengan di bidang perundang-undangan dimana berbagai tindakan pemerintah dilaksanakan melalui Penetapan Presiden (Penpres) yang memakai Dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum. Tambahkan pula didirikan badan-badan ekstra konstitusional sebagai arena kegiatan, sesuai dengan taktik Komunisme Internasional yang menggariskan pembentukan front nasional sebagai persiapan ke arah terbentuknya demokrasi rakyat. Partai politik dan pers yang dianggap menyimpang dari rel revolusi ditutup, tidak dibenarkan , dan dibreidel, sedangkan politik mercu suar di bidang hubungan luar negeri dan ekoomi dalam negeri telah menyebabkan keadaan ekonomi menjadi bertambah suram. G 30 S/PKI telah mengakhiri periode ini dan membuka peluang untuk dimulainya masa demokrasi Pancasila.
F.          Masa Republik Indonesia III (1965-1998): Masa Demokrasi Pancasila
            Landasan formal dari periode ini adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta Ketetapan-Ketetapan MPRS. Dalam usaha untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap Undang-Undang Dasar yang terlah terjadi dalam masa Demokrasi Terpimpin, telah diadakan sejumlah tindakan korektif. Ketetapan MPRS No. III/1963 yang menetapkan masa jabatan seumur hidup untuk Ir. Soekarno telah dibatalkan dan jabatan presiden kembali menjadi jabatan efektif setiap lima tahun. Ketetapan MPRS No. 19/1964 telah diganti dengan suatu undang-undang baru (No. 14/1970) yang menetapkan kembali ke asas kebebasan badan-badan pengadilan. Dewan Perwakilan Rakyat Dotong Royong diberi beberapa hak kontrol disampig tetap mempunyai status menteri. Begitu pula tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang baru telah meniadakan pasal yang memberi wewenang kepada presiden untuk memutuskan permasalahan yang tidak dapat mencapi mufakat antara anggota badan legislatif. Gologan Karya, di mana anggota ABRI memainkan peranan penting, diberi landasan konstitusional yang lebih formal. Selain itu beberapa hak asasi diusahakan supaya diselenggarakan lebih penuh dengan memberi kebebasan lebih luas kepada pers untuk menyatakan pendapat dan kepada partai-partai politik untuk bergerak dan menyusun kekuatannya, terutama menjelang pemilihan umum 1971. Dengan demikian diharapkan terbinanya partisipasi golongan-golongan dalam masyarakat di samping diadakan pembangunan ekonomi secara teratur serta terencana.
            Perekmbangan lebih lanjut pada masa Republik Indonesia III (yang juga disebut sebagai Orde Baru yang menggantikan Orde Lama) menunjukan peranan presiden yang semakin besar. Secara lambat laun tercipta pemusatan kekuasaan di tangan presiden karena Presiden Soeharto telah menjelma sebagai seorang tokoh yang paling dominan dalam sistem politik Indonesia, tidak saja karena jabatannya sebagai presiden dalam sistem presidental, tetapi juga karena pengaruhnya yang dominan dalm elit politik Indonesia. Keberhasilan memimpin penumpasan G 30 S/PKI dan kemudian membubarkan PKI dengan menggunakan Surat Perintah 11 Maret (Super Semar) memberikan peluang yang besar kepada Jenderal Soeharto untuk tampil sebagai tokoh yang paling berpengaruh di Inonesia. Status ini membuka peluang bagi Jenderal Soeharto untuk menjadi presiden berikutnya sebagai pengganti Presiden Soekarno.
            Perlunya menjaga kestabilan politik, pembangunan nasional, dan integrasi nasional telah digunakan sebagai alat pembenaran bagi pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan politik, termasuk yang bertentangan dengan demokrasi. Contohnya adalah prinsip monoloyolitas pegawai negeri sipil (PNS). Semula prinsip itu diperlukan untuk melindungi Orde Baru dari gangguan-gangguan yang mungkin timbul dari musuh-musuh Orde Baru dengan mewajibkan semua PNS untuk memilih Golkar dalam setiap pemilihan umum (pemilu). Kemudian setelah Orde Baru menjadi lebih kuat, ternyata prinsip monoloyalitas tersebut masih tetap digunakan untuk mencegah partai politik lain keluar sebagai pemenang dalam pemilu sehingga Golkar dan Orde Baru dapat terus berkuasa.
            Masa Republik Indonesia III menunjukan keberhasilan dalam penyelenggaraan pemilu. Pemilu diadakan secara teratur dan berkesinambungan sehingga selama periode tersebut berhasil diadakan enam kali pemilu, masing-masing pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dari awal, Orde Baru memang menginginkan adanya pemilu. Ini terlihat dari di keluarkannya Undang-undang (UU) Pemilu pada tahun 1969, hanya setahun setelah Presiden Soeharto dilantik sebagai presiden oleh MPRS pada tahun 1968 atau dua tahun setelah ia dilantik sebagai Pejabat Presiden pada tahun 1967. Hal ini sesuai dengan slogan Orde Baru pada masa awalnya, yakni Melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
            Namun ternyata nilai-nilai demokrasi tidak diberlakukan dalam pemilu-pemilu tersebut karena tidak ada kebebasan memilih bagi para pemilih dan tidak ada kesempatan yang sama bagi ketiga organisasi peserta pemilu (OPP) untuk memenangkan pemilu. Sebelum fusi partai politik tahun 1973, semua OPP, kecuali Golkar, menghadapi berbagai kendala dalam menarik dukungan dari para pemilih, antara lain karena adanya asas monoloyalitas yang sudah disebutkan sebelumnya. Setelah fusi 1973 yang menghasilkan dua partai politik di samping Golkar, tidak ada perubahan dalam pemilu karena Golkar tetap dapat dipastikan memenangkan setiap pemilu. Hal ini disebabkan karena OPP ini mendapatkan dukungan dan fasilitas dari pemerintah sedangkan dua partai lainnya, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menghadapi banyak kendala dalam memperoleh dukungan dari para pemilih. Terlepas dari semua itu, pelaksanaan pemilu sebanyak 6 kali tersebut telah memberikan pendidikan politik yang penting. Bagi rakyat Indonesia sehingga rakyat telah terbiasa memberikan suara dan menentukan pilihan dalam pemilu.
            Keberhasilan pemerintah Presiden Soeharto untuk menjadikan Indonesia swasembada beras pada pertengahan dasawarsa 1980-an dan pembangunan ekonomi pada masa-masa setelah itu ternyata tidak diikuti dengan kemampuan untuk memberantas korupsi. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) berkembang dengan pesat seiring dengan keberhasilan pembangunan ekonomi. Keberhasilan pembangunan ekonomi malah dianggap sebagai peluang untuk melakukan KKN yang dilakukan oleh para anggota keluarga dan kroni para penguasa, baik dipusat maupun di daerah. Di bidang politik, dominasi Presiden Soeharto telah membuat presiden menjadi peguasa mutlak karena tidak ada satu institusi/lembaga pun yang dapat menjadi pengawas presiden dan mencegahnya melakukan penyelewengan kekuasaan (abuse of power). Menjelang berakhirnya Orde Baru, elite politik semakin tidak peduli dengan aspirasi rakyat dan semakin banyak membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan para kroni dan merugikan negara dan rakyat banyak.
            Akibat dari semua ini adalah semakin menguatnya kelompok-kelompok yang menentang Presiden Soeharto dan Orde Baru. Yang menjadi pelopor para penentang ini adalah para mahasiswa dan pemuda. Gerakan mahasiswa yang berhasil menduduki Gedung MPR/DPR di Senayan pada bulan Mei 1998 merupakan langkah awal kejatuhan Presiden Soeharto dan tumbangnya Orde Baru. Kekuatan mahasiswa yang besar yang menyebabkan sulitnya mereka diusir dari gedung tersebut dan semakin kuatnya dukungan para mahasiswa dan masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia terhadap gerakan tersebut berhasil memaksa elite politik untuk berubah sikap terhadap Presiden Soeharto. Pimpinan DPR secara terbuka meminta presiden turun. Kemudian 14 orang menteri Kabinet Pembangunan menyatakan penolakan mereka untuk bergabung dengan kabinet yang akan dibentuk oleh Presiden Soeharto yang berusaha untuk memenuhi tuntutan mahasiswa. Melihat perkembangan politik seperti ini, Presiden Soeharto merasa yakin bahwa ia tidak mendapat dukungan yang besar dari rakyat dan orang-orang dekatnya sendiri, sehingga ia kemudian memutuskan untuk mundur sebagai Presiden RI pada tanggal 20 Mei 1998. Mundurnya Soeharto dari kursi presiden menjadi pertanda dari berakhirnya masa Republik Indonesia III yang disusul oleh munculnya Republik Indonesia IV.
G.        Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang): Masa Reformasi
            Tumbangnya Orde Baru membuka peluang terjadinya reformasi politik dan demokratisasi di Indonesia. Pengalaman Orde Baru mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa pelanggaran terhadap demokrasi membawa kehancuran bagi negara dan penderitaan rakyat. Oleh karena itu bangsa Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi, yakni proses pendemokrasian sistem politik Indonesia sehingga kebebasan rakyat terbentuk, kedaulatan rakyat dapat ditegakkan dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat (DPR). Preiden Habibie yang dilantik sebagai presiden untuk menggantikan Presiden Soeharto dapat dianggap sebagai presiden yang akan memulai langkah-langkah demokratisasi dalam Orde Reformasi. Oleh karena itu, langkah yang dilakukan pemerintahan Habibie adalah mempersiapkan pemilu dan melakukan beberapa langkah penting dalam demokratisasi. UU politik yang meliputi UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang baru disahkan pada awal 1999. UU politik ini jauh lebih demokratis dibandingkan dengan UU politik sebelumnya sehingga Pemilu 1999 menjadi pemilu yang demokratis yang diakui oleh dunia internasional. Pada masa pemerintahan Habibie juga terjadi demokratisasi yang tidak kalah pentingnya, yaitu penghapusan dwifungsi ABRI sehingga fungsi sosial-politik ABRI (sekarang TNI atau Tentara Nasional Indonesia) dihilangkan. Fungsi pertahanan menjadi fungsi satu-satunya yang dimiliki TNI semenjak reformasi internal TNI tersebut.
            Langkah terobosan yang dilakukan dalam proses demokratisasi adalah amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR hasil Pemilu 1999 dalam empat tahap selama empat tahun (1999-2002). Beberapa perubahan penting dilakukan terhadap UUD 1945 agar UUD 1945 mampu menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Peranan DPR sebagai lembaga legislatif di perkuat, semua anggota DPR dipilih dalam pemilu, pengawasan terhadap presiden lebih diperketat, dan hak asasi manusia memperoleh jaminan yang semakin kuat. Amandemen UUD 1945 juga memperkenalkan pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung (pilpres). Pilpres pertama dilakukan pada tahun 2004 setelah pemilihan umum untuk lembaga legislatif.
            Langkah demokratisasi berikutnya adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah secara langsung (pilkada) yang diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini mengharuskan semua kepala daerah di seluruh Indonesia dipilih melalui pilkada mulai pertengahan 2005. Semenjak itu, semua kepala daerah yang telah habis masa jabatannya harus dipilih melalui pilkada. Pilkada bertujuan untuk menjadikan pemerintah daerah lebih demokratis dengan diberikan hak bagi rakyat untuk menentukan kepala daerah. Hal ini tentu saja berbeda dengan pemilihan kepala daerah sebelumnya yang bersifat tidak langsung karena dipilih oleh DPRD.
            Pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden pada tahun 2004 merupakan tonggak sejarah politik penting dalam sejarah politik Indonesia modern karena terpilihnya presiden dan wakil presiden yang didahului oleh terpilihnya anggota-anggota DPR, DPD (Dewan Perwakilan Daerah), dan DPRD telah menuntaskan demokratisasi dibidang lembaga-lembaga politik di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa demokratisasi telah berhasil membentuk pemerintah Indonesia yang  demokratis adalah proses tanpa akhir karena demokrasi adalah sebuah kondisi yang tidak pernah terwujud secara tuntas. Namun dengan adanya perubahan-perubahan tadi, demokrasi di Indonesia telah mempunyai dasar yang kuat untuk berkembang.
-       Pemerintahan Presiden BJ.Habibie
Ketika B.J Habibie dilantik menjadi Presiden RI, keadaan di Indonesia sedang terjadi kericuhan. Banyak massa sedang berdemo dan berhasil menduduki gedung MPR. Sebelum itu terjadi Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 dimana 6 mahasiswa ditembak oleh tentara. Bahkan sebelum itu banyak terjadi kericuhan lainnya. Tuntutan mahasiswa tentang reformasi dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada 1998. Harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan yang sangat tajam. Pada saat itu, pemerintah Soeharto merencanakan kenaikan BBM. Dalam menghadapi tuntukan reformasi mahasiswa dan golongan intelektual lainnya, presiden Soeharto memberikan janji melalui Menteri Dalam Negeri R. Hartono bahwa akan terjadi reformasi namun bukan pada tahun 1998 melainkan tahun 2003 pada akhir masa kerja kabinet Pembangunan VII yang baru dibentuk (1998-2003).
Namun janji ini memunculkan kekecewaan di kalangan mahasiswa dan intelektual lainnya. Meskipun ucapan R. Hartono diralat oleh Menteri Penerangan Prof. Ali Alwi Dahlan. Sehingga kekecewaan itu ditumpahkan lewat turun ke jalan-jalan. Krisis total politik, ekonomi, sosial-budaya, dan mental ini mendorong keberanian para tokoh masyarakat mengumumkan tidak berlakunya lagi pemerintahan kabinet VII Presiden Soeharto (Fachry Ali. 2013). Kebijakan Politik Habibie Selama Masa Pemerintahannya (Fachry Ali. 2013),


a.         Pembebasan Tahanan Politik.
Secara umum, tindakan pembebasan ini meningkatkan legitimasi Habibie baik dari dalam maupun dari Luar Negeri. Ini terkait dengan tuduhan bahwa bangsa Indonesia tidak memberi keterbukaan dalam kebebasan individu. Sehingga para tahanan politik diberi amnesti (pengampunan) dan abolisisi (penghapusan pidana).
b.         Naiknya Habibie ke kursi presiden membuat Indonesia sedikit berubah pada bidang demokrasi. Orde Baru yang cenderung otoriter oleh Habibie dirubah menjadi demokratis terutama terkait dengan kebebasan pers. Oleh karena itu, Habibie menarik kembali pencabutan SIUPP mass media. Kebebasan pers ini terkait dengan pemikiran Habibie bahwa sebuah pemerintahan harus mengakui bahwa ada kerusakan didalam tubuh bangsa. Pemikiran ini berdasar kepada Accumulated Damaged Tolerance Theory yang ada dalam dunia penerbangan. Sesuai dengan Teori Toleransi Akumulasi Kerusakan maka Habibie membuat ruang toleransi kerusakan negara dan bangsa. Karena menurut Habibie selama 53 tahun para pemimpin Indonesia tidak memberikan toleransi ini.
c.         Pembentukan Partai Politik dan Percepatan Pemilu dari tahun 2003 ke tahun 1999
Presiden Habibie mengeluarkan UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, UU No. 4 Tahun 1999 tentang MPR dan DPR. Hal ini dilakukan karena partai politik di Indonesia hanya terdiri dari tiga Parpol. Ada 40 kontestan dari 150 parpol yang terdaftar, meskipun pada akhirnya parlemen dan MPR yang memperpendek masa kepresidenan Habibie.
d.        Mengakhiri kekuasaan negara yang terpusat.
Habibie mengeluarkan UU Otonomi yang radikal (UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999). Orde Baru yang pembangunannya bersifat sentralisasi di Pulau Jawa dialihkan menuju Otonomi Daerah, dimana setiap daerah berhak mengembangkan daerahnya masing-masing sehingga tercapai keadilan sosial bagi masyarakat di Indonesia.
Pada masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian disusul dengan era Reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie. Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan (Rachbini, 2001). Pemerintahan presiden BJ.Habibie Yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik.
Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997, nilai tukar baht Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan ‘jual’. Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, awal dari krisis keuangan di Asia. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil. Sekitar bulan September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian nasional. Untuk mencegah agar keadaan tidak tambah memburuk, pemerintah Orde Baru mengambil beberapa langkah konkret, diantaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 triliun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara yang sangat dipengaruhi oleh perubahan nilai rupiah tersebut.Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan transisi memiliki karakteristik sebagai berikut:
·            Kegoncangan terhadap rupiah terjadi pada pertengahan 1997, pada saat itu dari Rp. 2.500 menjadi Rp 2.650 per dollar AS. Sejak masa itu keadaan rupiah menjadi tidak stabil.
·            Krisis rupiah akhirnya menjadi semakin parah dan menjadi krisi ekonomi yang kemudian memunculkan krisis politik terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
·            Pada awal pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie disebut pemerintahan reformasi. Namun, ternyata pemerintahan baru ini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, sehingga kalangan masyarakat lebih suka menyebutnya sebagai masa transisi karena KKN semakin menjadi, banyak kerusuhan.

-   Pemerintahan Transisi (Pasaribu, t,t)
Diawali dengan melemahnya nilai tukar baht Thailand terhadap USD pada Mei 1997, sehingga para investor mengambil keputusan jual baht untuk beli USD. Melemahnya baht merambah sampai ke mata uang Asia lainnya (Ringgit Malaysia hingga Rupiah). Hal ini menyebabkan terjadinya krisis keuangan di Asia. Nilai tukar Rupiah terus melemah terhadap USD, pemerintah melakukan intervensi dengan memperluas rentang intervensi. Namun hal itu tidak banyak membantu pemulihan nilai tukar rupiah thd USD. Pada Oktober 1997, pemerintah memutuskan meminta bantuan keuangan pada IMF. Paket bantuan I sebesar USD 40 Milyar diturunkan pada akhir Oktober 1997. Bantuan tersebut diikuti dengan persyaratan penutupan atau pencabutan izin usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak sehat. Setelah paket bantuan, justru nilai tukar Rp semakin melemah. Akhirnya pemerintah membuat kesepakatan dengan IMF dalam bentuk Letter of Intent (LoI) pada Januari 1998. LoI berisi 50 butir kebijakan mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan, dan reformasi struktural. Di bidang fiskal : penegasan penggunaan prinsip anggaran berimbang pada APBN, usaha pengurangan pengeluaran pemerintah (menghilangkan subsidi BBM dan listrik), membatalkan sejumlah proyek infrastruktur yang besar, serta peningkatan pendapatan pemerintah. Setelah gagal dengan kesepakatan pertama, dibuat lagi kesepakatan baru pada Maret 1998 dengan nama Memorandum Tambahan tentang Kebijakan Ekonomi dan Keuangan (MTKEK).
Memorandum tambahan itu antara lain: Program stabilisasi, dengan tujuan utama menstabilkan pasar uang dan mencegah inflasi. Restrukturisasi perbankan dengan tujuan untuk menyehatkan perbankan nasional. Reformasi struktural dalam perekonomian. Penyelesaian utang luar negeri swasta dengan melibatkan pemerintah. Bantuan untuk rakyat kecil sebagai kompensasi penurunan subsidi BBM dan listrik. Pada periode ini masih dipimpin oleh Soeharto, namun pada akhir Mei 1998, terjadi gerakan mahasiswa untuk menurunkannya. Soeharto kemudian digantikan oleh Habibie yang merupakan awal terbentuknya pemerintahan transisi. Disebut dengan transisi karena seharusnya melakukan perubahan (reformasi) terhadap apa yang sudah dilakukan pemerintahan sebelumnya, tetapi ternyata pemerintahan yang baru ini masih dianggap bagian dari gaya Orde Baru dan tidak ada perubahan yang nyata dalam perekonomian. Di bidang ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar rupiah terhadap dollar masih berkisar antara Rp 10.000 – Rp 15.000. Namun pada akhir pemerintahannya, terutama setelah pertanggungjawabannya ditolak MPR, nilai tukar rupiah meroket naik pada level Rp 6500 per dolar AS nilai yang tidak akan pernah dicapai lagi di era pemerintahan selanjutnya. Selain itu, ia juga memulai menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi perekonomian. Untuk menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, BJ Habibie melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
-          Melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan unit Pengelola Aset Negara
-          Melikuidasi beberapa bank yang bermasalah
-          Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga di bawah Rp. 10.000,00
-          Membentuk lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri
-          Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF
-          Mengesahkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat
Mengesahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pemerintahan presiden B.J. Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik.
-   Pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid
Presidn Abdurrahman Wahid memperjuangkan suatu tatanan politik nasional yang dihasilkan oleh proklamasi kemerdekaan, dimana semua warga Negara memiliki derajat yang sama tanpa memandang asal-usul Agama, Ras, Etnis, Bahasa, dan Jenis kelamin. Konsekuensinya, politik umat Islam di Indonesia pun terikat dengan komitmen tersebut. Segala bentuk eksklusivisme, sekterianisme, dan privilige-privilige politik harus dijauhi. Termasuk di sini adalah pemberlakuan ajaran agama melalui Negara dan hukum formal, demikian pula pula ide proposionalitas dalam perwakilan di lembaga-lembaga Negara. Tuntutan-tuntutan semacam ini jelas berlawanan dengan asas kesetaraan (egaliterianisme) bagi warga Negara.
Implikasi lain dari komitmen terhadap asas kesetaraan ini adalah penolakan Presiden Abdurrahman Wahid terhadap ide pemberntukan masyarakat dan Negara Islam sebagai tujuan umat di Indonesia. Menurutnya, kedua ide tersebut pada prinsipnya memiliki persamaan dengan tujuan formalitas ajaran Islam dalam masyarakat lewat perangkat hukum. Ini berarti keinginan untuk menegakkan sebuah komunitas politik yang eksklusif di luar jangkauan hukum obyektif yang diberlakukan kepada seluruh warga Negara. Hasrat tersebut tidak konsisten dengan semangat UUD 1945 yang hanya mengakui komunitas politik tunggal, yaitu warga Negara Indonesia. Karena bagi Presiden Abdurrahman Wahid, seperti dikemukakan oleh Douglas Ramage, sebuah negara Islam tidak perlu ada di negeri ini, yang harus diperjuangkan oleh umat dalam politik adalah sebuah masyarakat Indonesia dimana “umat Islam yang kuat, dalam pengertian berfungsi dengan baik” sebagai warga Negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan yang lain (Hikam, 2000).
Munculnya konflik panjang antara para politisi DPR dan Presiden Abdurrahman Wahid selama pemerintahannya yang ditandai dengan kekecewaan- kekecewaan kalangan poros tengah sebagai pengusung naiknya Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Presiden, ketika Presiden Abdurrahman Wahid membiarkan Menko Kesra dan Taskin, Hamzah Haz yang juga ketua umum PPP mengundurkan diri dari kabinet yang hanya sebulan setelah pembentukannya. Padahal beberapa waktu sebelumnya atau setelah pembentukan kabinet, Presiden Abdurrahman Wahid berjanji tidak akan melakukan perombakan terhadapnya. “tidak ada reshuffle”, demikian penegasan Presiden Abdurrahman Wahid di depan Pers (Maruto & Anwari, 2002).
Nampaknya pengunduran diri yang dilakukan Hamzah Haz merupakan awal melemahnya dukungan DPR terhadap Presiden Abdurrahman Wahid, apalagi pengganti Hamzah Haz tidak diambil dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Gejala konflik antara Presiden Abdurrahman Wahid dan poros tengah makin memanas pada awal tahun 2000, sejak pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid yang menyebutkan bahwa PDI Perjuangan dan PKB sebagai dua partai besar di masa depan. Akibat dari pernyataan presiden Abdurrahman Wahid, telah membuat partai-partai yang tergabung dalam poros tengah (PPP, PAN, PBB, dan PK) menggelar acara “Aksi Sejuta Ummat” yang menyerukan peleburan partai-partai Islam ke dalam satu partai besar (Maruto & Anwari, 2002).
Gebrakan pertama Presiden Abdurrahman Wahid menjadi Presiden ke empat Republik Indonesia adalah menghapus eksistensi Departemen Penerangan (Deppen) dan Departemen Sosisal (Depsos). Dalam penjelasan yang diberikan secara terbuka pada sidang paripurna DPR, pada pertengahan November 1999, Presiden Presiden Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa penghapusan itu dilakukan semata-mata untuk efisiensi dan perampingan kabinet pemerintahan, sekaligus dalam rangka implementasi sepenuhnya UU No. 22/1999 tentang otonomi daerah (Otoda) (Iskandar, 2004).
Seperti kita ketahui bahwa salah satu kendala dari pemberlakuan Otoda adalah kurang terpenuhinya hak masyarakat untuk memperoleh informasi seluas mungkin berkaitan dengan kondisi daerah dan kebijakan pemerintah daerahnya melalui media massa yang ada tanpa harus ada intervensi Negara atasnya. Kendala ini akan teratasi jika Negara (Pemerintah daerah) hanya melakukan fungsi fasilitasi agar masyarakat mampu memperoleh seluruh informasi yang mereka butuhkan tanpa harus takut akan adanya intervensi pemerintah seperti yang terjadi di era orde baru. Ketika Presiden Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden, ia menghadapi tantangan yang keras dalam membangun demokrasi di Negara ini. Salah satu bentuk persoalan adalah aspirasi masyarakat, baik domestik maupun Internasional agar tindakan hukum terhadap oknum TNI yang melakukan pelanggaran HAM di masa lalu. Menyusul laporan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Azasi Manusia (KPP HAM) Timor timur yang menyebut keterlibatannya Jenderal berbintang empat itu dalam pelanggaran HAM pasca jajak pendapat di Timor timur, Presiden Abdurrahman Wahid meminta Jenderal Wiranto mengundurkan diri sebagai Menteri Koordinator bidang politik keamanan (Menko Polkam). Kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid untuk membebas tugaskan Jenderal Wiranto menimbulkan pro-kontra di dalam negeri, dari kalangan politisi, pengamat, bahkan dari kalangan tentara sendiri. Secara sengaja Presiden Abdurrahman Wahid meminta Wiranto mundur ketika ia tengah melakukan lawatan ke sejumlah Negara Eropa. Inilah cara Abdurrahman Wahid untuk menepis kekhawatiran masyarakat internasional bahwa otoritas sipil di Indonesia tidak sanggup mengendalikan kekuatan militer, penyokong utama kekuasaan Soeharto selama 32 tahun. Apalagi permintaan mundur itu dilakukan di tengah upaya masyarakat internasional mendorong pengadilan HAM internasional terhadap pelaku pelanggaran HAM di Timor timur (Iskandar, 2004).
Upaya untuk membebas tugaskan Wiranto dari jabatannya itu, Presiden Abdurrahman Wahid dengan gagasannya itu, ingin mengembangkan tradisi baru bahwa jika ada pejabat Negara yang melakukan pelanggaran HAM atau pelanggaran hukum lainnya, lebih baik jika yang bersangkutan mengundurkan diri agar memudahkan pemeriksaan. Dalam konteks ini, Presiden Abdurrahman Wahid sedang berusaha membangun budaya dan etika baru dalam sistem politik nasional. Langkah itu pun merupakan bagian penting untuk menumbuhkan kepercayaan dunia internasional. Salah satu prestasi yang sangat besar dan patut di catat selama PRESIDEN Abdurrahman Wahid menjadi Presiden adalah penghapusan badan koordinasi bantuan pemantapan stabilitas nasional (Baskorstanas) dan lembaga penelitian khusus (Litsus). Kebijakan ini dikeluarkan melalui keputusan Presiden (Keppres) No. 38/2000 tentang penghapusan Baskorstanas dan Litsus yang selama orde baru menjadi alat represif Negara (Iskandar, 2004). Kebijakan ini merupakan cermin gagasan besar Presiden Abdurrahman Wahid untuk meletakkan TNI pada tempat yang sebenarnya sekaligus mencabut sistem kontrol terhadap kebebasan masyarakat.
Kedua lembaga yang di masa lalu menjadi instrumen rezim otoriter ini dinilai tidak tepat lagi berada di alam politik baru yang demokratis. Kebijakan ini mendapatkan respon positif yang sangat luas dari masyarakat, hingga ada beberapa kalangan yang menyatakan bahwa seharusnya kebijakan itu dilakukan sejak dulu, karena fungsi dan perannya tidak jelas. Dengan kebijakan penghapusan Bakorstanas dan Litsus tersebut, secara otomatis berarti Keppres No. 29/1998 tentang Bakorstanas dan Keppres No. 16/1999 tentang Litsus telah resmi di cabut. Dalam hal ini Presiden Abdurrahman Wahid juga mengatakan bahwa dua lembaga itu lebih banyak menimbulkan keruwetan dari pada kemanfaatan (Iskandar, 2004). Kebijakan pembubaran kedua lembaga tersebut bukanlah sebuah keputusan aksi “balas dendam” Presiden Abdurrahman Wahid apa yang terjadi di masa lalu. Namun, kebijakan tersebut adalah cita-cita lama dan pemikiran Abdurrahman Wahid sendiri mengenai demokrasi, pluralisme, HAM dan itu merupakan nilai -nilai yang kita perjuangkan selama ini.
Ketetapan MPR/VI/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri. Pasal 1 dari Tap berbunyi, “Tentara Nasional Indonesia dan kepolisian Negara Republik Indonesia secara kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masingmasing.” Pasal 2 dari Tap tersebut menyiratkan usaha untuk memperkuat, dengan cara mempertegas peran TNI dan Polri. Ayat (1) berbunyi, “TNI adalah alat Negara yang berperan dalam pertahanan Negara.” Ayat (2) berbunyi, “ Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat Negara yang berpera dalam memelihara keamanan.” Dalam pembahasan ini, maka langkah setrategis yang diambil Abdurrahman Wahid adalah realisasi pemisahan TNI-Polri dan menempatkan lembaga TNI dan Polri dibawah lembaga kePresidenan langsung. Ini merupakan langkah maju untuk menyibak tabir kerancuan antara tugas dan wewenang TNI dan Polri. Dalam hal ini, pemerintahan Abdurrahman Wahid telah mampu menindaklanjuti cita-cita reformasi dengan mengeluarkan kebijakan yang gagasannya dimulai pada masa Presiden BJ. Habibie melalui intruksi Presiden No. 2/1999 (iskandar, 2004). Keppres ini kemudian dikongkritkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan menerbitkan Keppres Nomor 89 Tahun 2000 tentang kedudukan kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam pasal 2 ayat 1 Keppres itu berbunyi: “Kepolisian Negara Republik Indonesia berkedudukan langsung dibawah Presiden”.
Dengan kebijakan semacam ini, Redifinisi dan reaktualisasi peran TNI itu benar-benar diimplementasikan secara riil oleh Pemerintahan sipil. TNI tidak bisa lagi memperalat kepolisian untuk berbagai kepetingan yang berhubungan dengan politik maupun keamanan. Reposisi ini merupakan aspek yang paling penting untuk mengembalikan keseimbangan sipil dalam rangka menciptakan demokrasi. Selama Presiden Abdurrahman Wahid menjadi Presiden, ketegangan Presiden Abdurrahman Wahid dengan DPR terus mengalami intensitas dan eskalasi yang semakin memanas, misalnya pada kasus buloggate dan bruneigate yang dijadikan komoditas politik oleh musuh-musuhnya lewat pembentukan Pansus (Panitia Khusus) yang ditugasi untuk mengusut kedua kasus tersebut. Kasus buloggate yang melibatkan aliran pengucuran dana yanatera bulog sebanyak Rp 35 miliar kepada beberapa orang tertentu, termasuk Suwondo yang diduga merupakan orang terdekat Presiden. Sedang kasus Bruneigate melibatkan pemberian hadiah berupa sejumlah uang yang diberikan oleh pihak Sultan Brunei kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Para musuh Abdurrahman Wahid menuduh dirinya tidak melaporkan pemberian hadiah itu kepada publik dan ia dianggap telah melanggar sumpah jabatan. Dan sebaliknya, Presiden Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa uang tersebut adalah hibah dari pihak Sultan Brunei kepada dirinya sebagai pribadi.
Ketegangan Abdurrahman Wahid dengan DPR ditandai dengan dikeluarkannya memorandum I dan memorandum II oleh DPR, walaupun Abdurrahman Wahid menuduh Pansus sebagai ilegal karena tidak tercantum dalam lembaran Negara. Atas dasar hasil-hasil kerja Pansus, DPR menyatakan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid “dapat diduga terlibat dalam kasus bullogate dan bruneigate.” Dengan mengambil kesimpulan bahwa Abdurrahman Wahid sungguh-sungguh melanggar haluan Negara. Bagi Abdurrahman Wahid, Logika DPR itu terasa aneh karena sesuatu yang masih bersifat dugaan, tetapi telah dimanipulasi sebagai “sungguh-sungguh melanggar haluan Negara.” Presiden
Abdurrahman Wahid sendiri dengan kasus buloggate dan bruneigatenya belum di bawa ke pengadilan, karena secara hukum Presiden Abdurrahman Wahid belum dinyatakan bersalah. Selama pemerintahan Abdurrahman Wahid bertahan 22 bulan, banyak kebijakan-kebijakan Presiden yang mengalami delegitimasi politik dan sosial yang mengakibatkan Presiden Abdurrahman Wahid lengser dari jabatannya, diantaranya adalah:
1.         Kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid yang menghapus Departemen sosial dan pembubaran Departemen penerangan. Dalam pandangan Abdurrahman Wahid Departemen sosial hanya sebagai sarang berbagai penyimpangan, seperti korupsi dan dana bantuan kemanusiaan yang tidak sampai secara utuh kepada para korban bencana alam atau para pengungsi yang di daerahnya terjadi konflik sosial. Sedangkan Departemen penerangan di anggap sering diperalat untuk mendistorsi berbagai pemberitaan yang hanya menguntungkan kepentingan para penguasa orde baru.
2.         Dicabutnya Tap MPRS No. XXV/1966 tentang larangan penyebaran ajaran komunisme, marxisme, leninisme di seluruh wilayah Indonesia.
3.         Membuka hubungan dagang (bukan hubungan diplomatik) dengan Negara zionis Israel
4.         Pencopotan beberapa menteri dan bongkar pasang kabinet. salah satunya adalah Kwik Kian Gie dari Fraksi PDI-P, Laksamana Sukardi dari Fraksi PDI-P, Yusuf Kalla dari Fraksi GOLKAR, Bambang Soedibjo dari PAN, Jend. Wiranto (TNI/Menko polkam) dan Hamzah Haz dari Fraksi PPP, yang kemudian di susul dengan Susilo Bambang Yudhoyono (TNI/Menko Polsoskam) dan Yusril Ihza Mahendrata dari Fraksi PBB.
5.         Sikap Presiden Abdurrahman Wahid yang sering meninggalkan Megawati Soekarno putri (Wapres), terutama dalam hal kebijakan memberhentikan beberapa menteri dan mengangkat para penggantinya.
6.         Hubungan Presiden Abdurrahman Wahid yang tidak harmonis dengan DPR-MPR.
7.         Tindakan Presiden Abdurrahman Wahid yang melakukan penggantian Kapolri dalam waktu yang relatif singkat.
8.         Ancaman Presiden Abdurrahman Wahid untuk memberlakukan dekrit Presiden apabila kompromi politik antara dirinya (sebagai Presiden) dengan para pemimpin partai politik tidak tercapai.
9.         Penolakan para pemimpin partai-partai politik (terutama PDIP, Golkar, PAN, PBB, dan PK) terhadap tawaran kompromi yang diajukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid untuk mencairkan kebekuan dan kebuntuan politik akibat ketegangan yang berkepanjangan antara Presiden Abdurrahman Wahid dan para musuh politiknya.
10.     Dukungan TNI/Polri (sebagai institusi) yang dari waktu ke waktu kian menyusut terhadap Presiden Abdurrahman Wahid. Akan tetapi setelah Presiden Abdurrahman Wahid melakukan tindakan pencopotan terhadap Menko Polkam Wiranto, Kapolri Rusdiharjo dan Suroyo Bimantoro dan kemudian Menko Polsoskam Susilo Bambang Yudhoyono, dukungan TNI/Polri semakin menipis dan bahkan tidak ada sama sekali. Ini terbukti bahwa TNI/Polri tidak akan mendukung apabila Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan dekrit.
Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, hubungan pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Abdurrahman Wahid dengan IMF juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuannya kepada pemerintah Indonesia, padahal roda perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan kondisi perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan, Bank Dunia juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
Ketidak stabilan politik dan sosial yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrahman Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia. Ditambah lagi dengan memburuknya hubungan antara pemerintah Indonesia dan IMF. Hal ini membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada masa pemerintahan reformasi cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan, lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Service mengkonfirmasikan bertambah buruknya country risk Indonesia. Meskipun beberapa indikator ekonomi makro mengalami perbaikan, namun karena kekhawatiran kondisi politik dan sosial, lembaga rating lainnya (seperti Standard & Poors) menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke negatif.
Kalau kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia akan mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa kembali negatif. Pemerintah tidak menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh (political will) untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and for all. Pemerintah cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU Bank Indonesia, desentralisasi fiskal, restrukturisasi utang, dan divestasi BCA dan Bank Niaga. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah yang controversial dan inkonsistens, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya sense of crisis terhadap kondisi riil perekonomian negara saat ini. Fenomena  makin  rumitnya  persoalan  ekonomi  ditunjukkan  oleh  beberapa indikator ekonomi. Pergerakan Indeks  Harga  Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8 Maret 2001 menunjukkan growth trend yang negatif.  Dalam perkataan lain, selama periode tersebut IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan semakin tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat terhadap prospek perekonomian Indonesia, paling tidak untuk periode jangka pendek indikator kedua yang menggambarkan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis dan masyarakat terhadap pemerintah reformasi adalah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Seperti yang dapat kita lihat pada grafik di bawah ini, pada awal tahun 2000 kurs rupiah sekitar Rp7.000,- per dolar AS dan pada tanggal 9 Maret 2001 tercatat sebagai hari bersejarah sebagai awal kejatuhan rupiah, menembus level Rp10.000,-per dolar AS. Untuk menahan penurunan lebih lanjut, Bank Indonesia secara agresif terus melakukan intervensi pasar dengan melepas puluhan juta dolar AS per hari melalui bank-bank pemerintah. Namun, pada tanggal 12 Maret 2001, ketika Istana Presiden dikepung para demonstran yang menuntut Presiden Gus Dur mundur, nilai tukar rupiah semakin merosot.
Pada bulan April 2001 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat menyentuh Rp12.000,- per dolar AS. Inilah rekor kurs rupiah terendah sejak Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia. Lemah dan tidak stabilnya nilai tukar rupiah tersebut sangat berdampak negatif terhadap roda perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa membawa Indonesia ke krisis kedua yang dampaknya terhadap ekonomi, sosial, dan politik akan jauh lebih besar daripada krisis pertama. Dampak negatif ini terutama karena dua hal. Pertama, perekonomian Indonesia masih sangat tergantung pada impor, baik untuk barang-barang modal dan pembantu, komponen dan bahan baku, maupun barang-barang konsumsi. Kedua, utang luar negeri (ULN) Indonesia dalam nilai dolar AS, baik dari sektor swasta maupun pemerintah, sangat besar. Indikator-indikator lainnya adalah angka inflasi yang diprediksi dapat menembus dua digit dan cadangan devisa yang pada minggu terakhir Maret 2000 menurun dari 29 milyar dolar AS menjadi 28,875 dolar AS.
Rangkuman keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid memiliki karakteristik sebagai berikut:
               Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai mengarah pada perbaikan, di antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju inflasi dan tingkat suku bunga yang rendah, sehingga kondisi moneter dalam negeri juga sudah mulai stabil.
               Hubungan pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga kurang baik, yang dikarenakan masalah, seperti Amandemen UU No.23 tahun 1999 mengenai bank Indonesia, penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri) dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda.
               Politik dan sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor asing menjadi enggan untuk menanamkan modal di Indonesia.
               Makin rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300 poin, dikarenakan lebih banyaknya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri.
Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
-   Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri
Setelah diangkat menjadi presiden dalam sidang istimewa MPR tahun 2001, Megawati membentuk kabinet yang dinamakan Kabinet Gotong Royong. Langkah langkah Politik Presiden Megawati antara lain:
1.            Memelihara dan memantapkan stabilitas Nasional.
Usaha ini dilakukan dengan meningkatkan kerukunan antar sesama anak bangsa dan membenahi stabilitas ekonomi. Usaha Megawati ini mendapat pukulan berat akibat peristiwa Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002.
2.            Menjaga keutuhan NKRI
Usaha ini dilakukan dengan menindak tegas terhadap gejala-gejala daerah, yang akan memisahkan diri; misalnya kasus Aceh, Papua, Maluku, Poso, dan lain-lain
3.            Membangun tatanan politik baru
Usaha ini dilakukan dengan mengeluarkan undang-undang  baru yakni:
a.       UU No. 12 Tahun 2003 tentang pemilihan umum.
b.      UU No. 22 Tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan DPR/MPR
c.       UU No. 23 Tahun 2003 tentang pemilihan presiden dan wakil presiden
Di samping itu, Megawati juga mendukung dana, tenaga, dan sumber daya lain untuk suksesnya penerapan UU tersebut. Segi yang lain, PNS dan TNI diharuskan netral dari politik.
4.            Melanjutkan amandemen UUD 1945Untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan dinamika masyarakat, maka dilakukan amandemen terhadap UUD 1945. Amandemen ini dilakukan melalui empat tahap. Amandemen ke-1 dan ke-2 telah disahkan masa pemerintahan sebelumnya, sedang amandemen ke-3 dan ke-4 disahkan masa pemerintahan Megawati.
5.            Meluruskan otonomi daerah
Otonomi yang diterapkan di Indonesia sering menimbulkan penafsiran yang keliru, sehingga menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan pemerintahan, antara lain:
a.       Timbulnya wacana ingin memisahkan dengan NKRI.
b.      Timbulnya daerahisme.
c.       Menolak aturan-aturan dari pemerintah pusat dan Penyimpangan penggunaah dana APBD.
Menyadari hal itu, maka pemerintah Megawati berusaha untuk meluruskan aturan otonomi daerah yang terdapat pada Undang-Undang No. 22 Tahun 7999. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Megawati dalam bidang ekonomi antara lain:
a.             Memutuskan hubungan kerja dengan IMF
b.            Melakukan restrukturisasi dan reformasi sektor keuangan dengan melakukan pembaruan ketentuan perundang-undangan
c.             Meningkatkan pendapatan melalui pajak, cukai, dan kepabeanan.
d.            Menciptakan situasi kondusif bagi investor
e.             Meningkatkan kegiatan ekspor.
f.             Mendorong kemajuan usaha kecil dan menengah
g.            Meningkutkan pemanfaatan sumber daya kelautan
Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :

·            Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
·            Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan- kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.

-       Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Pada periode kepemimpinannya yang pertama, SBY membentuk Kabinet Indonesia Bersatu yang merupakan kabinet pemerintahan Indonesia pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Kabinet Indonesia Bersatu dibentuk pada 21 Oktober 2004 dan masa baktinya berakhir pada tahun 2009. Pada 5 Desember 2005, Presiden Yudhoyono melakukan perombakan kabinet untuk pertama kalinya, dan setelah melakukan evaluasi lebih lanjut atas kinerja para menterinya, Presiden melakukan perombakan kedua pada 7 Mei 2007. Seperti Pembentukan Kabinet Bersatu jilid II
Pada periode kepemimpinannya yang kedua, SBY membentuk Kabinet Indonesia Bersatu II yang merupakan kabinet pemerintahan Indonesia pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Wakil Presiden Boediono. Susunan kabinet  ini berasal  daru usulan partai politik pengusul pasangan SBY-Boediono pada Pilpres 2009 yang mendapatkan kursi di DPR (Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB) ditambah Partai Golkar yang   bergabung setelahnya, tim sukses pasangan SBY-Boediono pada Pilpres 2009, serta kalangan profesional. Susunan Kabinet Indonesia Bersatu II diumumkan oleh Presiden SBY pada 21 Oktober 2009 dan dilantik sehari setelahnya. Pada 19 Mei 2010, Presiden SBY mengumumkan pergantian Menteri Keuangan. Pada tanggal 18 Oktober 2011, Presiden SBY mengumumkan perombakan Kabinet Indonesia Bersatu II, beberapa wajah baru masuk ke dalam kabinet dan beberapa menteri lainnya bergeser jabatan di dalam kabinet.
Konsep Trias Politika (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif) pada masa pemerintahan SBY mengalami perubahan progresif, dimana konsep tersebut berusaha menempatkan posisinya berdasarkan prinsip structural Sistem Politik Indonesia, yakni berdasarkan kedaulatan rakyat. Pada masa pemerintahan SBY, hal tersebut benar-benar terimplementasikan, dimana rakyat bisa memilih secara langsung calon wakil rakyat melalui Pemilu untuk memilih anggota dewan legislaif, dan Pilpres untuk pemilihan elit eksekutif, sekalipun untuk elit yudikatif, pemilihannya masih dilakukan oleh DPR dengan pertimbangan presiden. Di Indonesia sendiri, selama masa pemerintahan SBY di tahun 2004-2009, sistem kepartaian mengalami perubahan yang signifikan, dimana partai politik bebas untuk didirikan asalkan sesuai dengan persyaratan dan ketentuan yang berlaku, serta tidak menyimpang dari hakikat Pancasila secara universal. Masyarakat Indonesia pun dapat memilih calon wakil rakyat pilihan mereka secara langsung, hal tersebut tentu menunjukan apresiasi negara terhadap hak dasar bangsa secara universal dalam konteks pembentukan negara yang demokratis.
Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang- undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah. Pada pertengahan bulan Oktober 2006,Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negeri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006 (Rachbini, 2001).
Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sektor riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI),sehingga kinerja sektor riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi dilain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.
-   Pemerintahan Presiden Joko Widodo
Sejak menempati kursi pemerintahan, Presiden Joko Widodo baru menyelesaikan satu dari tiga tantangan yang dihadapinya. Tantangan yang dimaksud adalah stabilisasi politik. Di bidang politik, Presiden Joko Widodo harus diapresiasi, di mana euforia pertarungan lambat laun mulai di bawah kontrol Presiden Joko Widodo. Kubu oposisi sudah mulai terpecah, mencair, bahkan cenderung hanya Gerindra dan PKS yang jelas memposisikan diri sebagai oposisi. Sisanya sudah abu-abu dan ada yang merapat ke pemerintah. Akan tetapi, masalah stabilitas politik yang dihadapi justru berasal dari partai politik pendukungnya. Meski memposisikan diri sebagai pendukung pemerintahan, partaipartai tersebut kerap kali berbeda pandangan dengan sang presiden. Kondisi ini membuat publik sempat mempertanyakan kemampuan Jokowi untuk menghadapi kekuatan politik yang dihadapinya. Bukan hanya sekadar mengedepankan integritas bersih yang diusungnya, tapi keberaniannya melawan setiap kekuatan yang jelas-jelas ingin perlemah pemberantasan korupsi. Setelah itu, tampak bahwa persaingan politik pasca Pilpres lalu belumlah hilang seutuhnya, masih berbekas dan tersisa. Terlebih dalam ranah politik formal institusi kepartaian mengelompok dalam koalisi pro dan kontra pemerintah, dalam analogi Indonesia Hebat dan Merah Putih.
Dapat dilihat bahwa kepentingan sesaat memang menjadi hal yang mencolok, karena kawan dan lawan sulit dibedakan bahkan bisa bertemu untuk kepentingan temporer. Satu yang pasti, presiden tampak mulai bersitegang dengan partai pengusungnya. Kemampuan relasional presiden dengan partai pendukung perlu kembali dibenahi. Memang pada awal pemerintahan, Presiden Joko Widodo sudah dihadapkan pada konflik politik di parlemen. Konflik tersebut membelah parlemen menjadi dua kutub politik yang berseberangan, yakni kubu KMP dan KIH. Belum lagi, juga ada konflik di internal Partai Golkar dan PPP yang pada akhirnya juga melibatkan pemerintah untuk menyelesaikannya. Tarik menarik kepentingan politik ini tentu menguras waktu dan energi Pemerintah dan DPR sendiri. Akibatnya, program Pemerintah dan DPR tertunda. Target Pemerintah bersama DPR untuk membahas dan menyetujui rancangan undang-undang menjadi undang-undang masih sangat jauh dari target. Namun, konflik yang terjadi di parlemen akhirnya untuk sementara bisa dicairkan dengan berbagai pendekatan politik yang dilakukan oleh Jokowi-JK.
Jokowi-JK juga dihadapkan pada konflik suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA) hingga isu terorisme dan bangkitnya komunisme. Konflik dan isu tersebut turut mewarnai dinamika sosial politik selama satu tahun pemerintahan Jokowi-JK. Untung saja, permasalahan tersebut bisa diselesaikan dengan baik oleh pemerintah. Keadaan politik di atas tentunya ikut berpengaruh pada kecepatan gerak Presiden Joko Widodo dalam menjalankan kebijakan-kebijakan politiknya bagi kepentingan masyarakat. Pada aspek jalannya roda pemerintahan, para menteri nampak berjalan cepat, sesuai gerak institusi yang dikelolanya, meski kerap bersinggungan dan bergesekan satu dengan yang lain, memperlihatkan ketidakharmonisan para penyelenggara negara. Tentu, dalam persoalan ini Leadership Skill Presiden perlu dikuatkan, mengatur fungsi dan kedudukan para menteri sebagai pelaksana tugas pemerintahan sesuai dengan bidang kerjanya.[2]
Masih terkait kabinet, sebetulnya tidak hanya faktor kinerja menteri yang menjadi sorotan masyarakat, tetapi juga pada siapa yang menduduki jabatan menteri itu. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa penyusunan kabinet tidak semata berdasarkan transaksi politik semata, dengan mengorbankan faktor keahlian para Menteri itu sendiri di bidangnya, serta track record mereka yang baik. Pada awalnya, Presiden Joko Widodo sebetulnya telah menciptakan sinyal-sinyal kelembagaan ekonomi dan politik yang inklusif kepada masyarakat. Meski dilingkupi aktor-aktor yang tidak bebas kepentingan, Jokowi tetap bergeming memegang teguh prinsip non transaksional. Dalam tradisi politik transaksional, proses pencalonan presiden, maka orang-orang ataupun partai politik pendukung yang masuk dalam lingkaran tim kampanye bisa dipastikan mendapatkan jatah/posisi menteri, jabatan ataupun konsesi ekonomi lainnya. Semuanya sebagai timbal balik/balas budi atas jasa merebut kursi kepresidenan. Namun Presiden Joko Widodo tidak menerapkan tradisi tersebut. Presiden Joko Widodo sangat selektif dan cerdas memilih calon-calon pembantunya dengan melacak track record hingga pada catatan transaksi rekening orang yang digadang akan menjadi menteri dalam jajaran kebinetnya. KPK dan PPATK dijadikannya sebagai lembaga yang akan membantunya menfilter kebersihan calon menterinya dari perkara korupsi. Cara ini cukup efektif untuk mengurungkan ambisi para koruptor masuk dalam lingkar kuasa kepresidenan tanpa “ngasorake” orang-orang yang dulu mendukungnya dalam proses pilpres. Namun, dalam perkembangan terakhir, dalam penentuan jabatan menteri, Presiden Joko Widodo tampak seperti terjebak dalam politik transaksional. Presiden terlihat dalam kondisi dilematis dan tersandera baik oleh parpol pendukungnya sendiri bahkan kepentingan wakilnya sendiri. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan ekspektasi publik agar menteri yang diangkat bisa bekerja secara optimal untuk kepentingan rakyat. Hal yang tampak menonjol (terutama dalam masa 100 hari pertama pemerintahan) adalah usaha Presiden Joko Widodo dalam menertibkan sektor minyak bumi, begitu ia melantik kabinetnya. Langkah ini menunjukkan bahwa Presiden Joko Widodo memahami benar bahwa minyak bumi tidak sekedar barang ekonomi melainkan juga sudah menjadi komiditas politik. Kebijakan berikutnya adalah, Presiden Joko Widodo menyatakan pentingnya sektor pertanian, pembangunan infrastruktur, jaringan jalan, tol laut, dan sejumlah mega proyek lainnya. Kebijakan peluncuran Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Indonesia Sejahtera, merupakan hal yang patut diapresiasi.
Di bidang lain, pemerintah juga terus membangun konsolidasi birokrasi agar instruksi dari pusat bisa langsung dieksekusi oleh para aparat di daerah. Untuk mengubah mental seluruh aparat baik di pusat maupun di daerah, tidak bisa dilakukan dengan seketika. Pengamat politik dari Charta Politica, Yunarto Wijaya juga menilai bahwa pemerintahan Jokowi-Kalla memang sedang dalam tahap membenahi sejumlah masalah fundamental. Oleh karena itu, tantangan terberat Jokowi-Kalla adalah melawan dan menghadapi “arus besar” yang menginginkan pelemahan dalam pemberantasan korupsi.
Di bidang penegakan hukum dan HAM, Presiden Joko Widodo telah memberikan grasi kepada sejumlah orang yang selama ini bergabung dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM), pelaksanaan eksekusi mati terhadap para gembong narkoba yang sudah memasuki tahap kedua, melaksanakan reformasi birokrasi berdasarkan ketentuan dalam UU Aparatur Sipil Negara (ASN), walaupun belum maksimal, membekukan sejumlah perguruan tinggi swasta (PTS) ilegal, mendukung sepenuhnya langkah KPK memberantas korupsi bersamasama aparat penegak hukum. Di bidang politik, walaupun pada awalnya pemerintahan Jokowi - Jusuf Kalla dihadapkan kepada beragam 'gangguan politik' mulai dari "rivalitas yang tidak berkesudahan" antara Koalisi Merah Putih (KMP) dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), namun pada akhirnya Presiden Joko Widodo berhasil mempertahankan terjalinnya komunikasi politik dengan parlemen, bahkan ada kecenderungan positif KMP mulai mengurangi tekanan-tekanan politiknya seiring dengan misi pemerintahan Jokowi-JK untuk menyejahterakan masyarakat berjalan pada rel yang benar dan dinilai baik oleh KMP.
Presiden Joko Widodo juga melakukan reshuffle kabinet terhadap para menterinya yang 'lamban' bekerja dan diyakini reshuffle kabinet tidak akan berhenti dilakukan Jokowi sebagai langkah punish and reward serta evaluasi terus menerus. Selanjutnya adalah terkait kedaulatan maritim. Inilah untuk pertama kalinya pemerintahan Indonesia melihat ke laut, kawasan yang selama ini terabaikan. Selama ini laut Indonesia yang meliputi sekitar 2/3 luas wilayah Indonesia lebih banyak menyejahterakan bangsa lain daripada bangsa Indonesia sendiri.
Tantangan yang yang dihadapi Presiden Jokowi dibidang ekonomi tidaklah mudah. Paket Kebijakan Ekonomi yang dikeluarkan sejak 9 September 2015, berupaya untuk menyentuh berbagai aspek. Tujuannya untuk menangkal perlambatan ekonomi yang disebabkan oleh kondisi ekonomi global dan domestik dengan cara memperbaiki struktur ekonomi yang lebih kondusif bagi berkembangnya industri, kepastian berusaha di bidang perburuhan, kemudahan investasi, memangkas berbagai perizinan serta memperluas akses masyarakat untuk mendapatkan kredit perbankan (ekon.go.id). Terdapat beberapa kebijakan Jokowi dalam segi ekonomi:
-          Kebijakan penyelamatan ekonomi tahap I yang berfokus pada tiga hal besar, yakni meningkatkan daya saing industri, mempercepat proyek-proyek strategis nasional, dan mendorong investasi di sektor properti. Menurut Jokowi, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sebelumnya telah melakukan upaya stabilisasi fiskal dan moneter, termasuk di dalamnya adalah pengendalian inflasi. Sinergi kebijakan ini dilakukan guna menggerakkan mesin pertumbuhan ekonomi, antara lain dengan mendorong percepatan belanja pemerintah dan juga melakukan langkah-langkah penguatan neraca pembayaran.
-          Melindungi masyarakat dan menggerakkan ekonomi pedesaan. Antara lain dengan memberdayakan usaha mikro dan kecil dengan menyalurkan kredit usaha rakyat (KUR) dengan tingkat suku bunga yang rendah. Bunga KUR yang dulunya 22-23 persen (diturunkan) menjadi 12 persen. Untuk mendorong pembangunan infrastruktur di desa, lanjut presiden, pemerintah juga mengupayakan percepatan pencairan dan penyederhanaan pemanfaatan dana desa.
Kebijakan ekonomi tambahan untuk meningkatkan daya saing industri, mempercepat proyek-proyek strategis nasional, dan mendorong investasi di sektor properti. Untuk mendorong daya saing industri, Jokowi menyebutkan terdapat 89 peraturan dari 154 regulasi yang sifatnya menghambat daya saing industri akan dirombak. kebijakan deregulasi ini diharapkan presiden dapat menghilangkan tumpang tindih aturan dan duplikasi kebijakan. Terkait percepatan proyek strategis nasional, Jokowi memastikan pemerintah akan menghilangkan berbagai hal yang selama ini menyumbat pelaksanaannya
-          Pemerintah akan mendorong pembangunan rumah bagi masyarakat berpendapatan rendah serta membuka peluang investasi yang lebih besar di sektor properti. Ia ingin menekankan di sini bahwa paket kebijakan ekonomi ini bertujuan untuk menggerakkan kembali sektor riil kita yang akhirnya memberikan fondasi pelompatan kemajuan perekonomian kita ke depannya.
Beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah untuk mendorong perbaikan ekonomi antara lain, Di bidang perdagangan, pemerintah telah meluncurkan Indonesia National Single Window (INSW) yang diperbarui, sehingga siapa pun dapat memantau keluar-masuk barang ekspor-impor melalui satu sistem.
Dengan demikian akurasi data dan informasi kepabeanan dapat dipertanggung-jawabkan dengan transparan atau dapat diakses oleh semua pihak yang berkepentingan. Semua perizinan, dokumen, data, dan informasi lain yang diperlukan dalam pelayanan dan pengawasan kegiatan ekspor impor dan distribusi kini sudah harus dilakukan melalui Indonesia Nasional Single Window (INSW). Melalui INSW, tidak akan ada lagi proses birokrasi yang dilakukan secara manual dan tatap muka yang selama ini menjadi hambatan kelancaran arus barang, bahkan membuat distorsi yang membebani daya saing industri dan melemahkan daya beli konsumen.
Di bidang energi, pemerintah telah menurunkan harga solar sebesar Rp 200 pada Oktober 2015 ini. Selain itu, pemerintah juga mendorong nelayan untuk beralih dari penggunaan bahan bakar solar menjadi bahan bakar gas. Di bidang perbankan, pemerintah memberikan akses yang lebih luas bagi masyarakat, terutama golongan kelas menengah-bawah untuk mendapatkan akses ke sistem perbankan melalui fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga rendah, yakni 12 persen. Tak cuma itu, melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) untuk mendukung UKM yang berorientasi ekspor atau yang terlibat dalam produksi untuk produk ekspor, pemerintah juga memberikan fasilitas pinjaman atau kredit modal kerja dengan tingkat bunga yang lebih rendah dari tingkat bunga komersial. Fasilitas ini terutama diberikan kepada perusahaan padat karya dan rawan PHK. Untuk menarik investor, terobosan kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah memberikan layanan cepat dalam bentuk pemberian izin investasi dalam waktu 3 jam di Kawasan Industri. Dengan mengantongi izin tersebut, investor sudah bisa langsung melakukan kegiatan investasi. Kriteria untuk mendapatkan layanan cepat investasi ini adalah mereka yang memiliki rencana investasi minimal Rp 100 miliar dan atau rencana penyerapan tenaga kerja Indonesia di atas 1,000 (seribu) orang.
Di bidang fiskal, pemerintah menyediakan fasilitas pengurangan pajak penghasilan (PPh) badan mulai dari 10 hingga 100 persen untuk jangka waktu 5-10 tahun (tax holiday). Persyaratan penerima tax holiday adalah wajib pajak baru yang berstatus badan hukum, membangun industri pionir dengan rencana investasi minimal Rp 1 triliun, rasio utang terhadap ekuitas (debt equity ratio) 1:4, serta mengendapkan dana di perbankan nasional minimal 10 persen dari total rencana investasi hingga realisasi proyek. Yang disebut industri pionir meliputi industri logam hulu, pengilangan minyak bumi, kimia dasar organik, industri permesinan, industri pengolahan berbasis pertanian, kehutanan dan perikanan, industri telekomunikasi, informasi dan komunikasi, transportasi kelautan, industri pengolahan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan infrastruktur. Insentif fiskal lainnya yang ditawarkan pemerintah adalah pengurangan penghasilan netto sebesar 5 persen setahun selama enam tahun sebagai dasar pengenaan PPh badan (tax allowance). Fasilitas ini berbeda dengan tax holiday karena tidak mengurangi tarif PPh badan sebesar 25 persen, tetapi mengurangi penghasilan kena pajak maksimal 30 persen selama enam tahun. Tax allowance juga memperhitungkan penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, pemberian tambahan jangka waktu kompensasi kerugian, serta mengurangi 10 persen tarif PPh atas dividen yang dibayarkan kepada wajib pajak di luar negeri.
Pada sektor perburuhan, kebijakan untuk menerapkan formula pada penghitungan Upah Minimum juga disambut baik karena memberikan kepastian, baik kepada pengusaha maupun buruh, tentang kenaikan upah yang bakal diterima buruh setiap tahun dengan besaran yang terukur. Beberapa contoh deregulasi yang telah dilakukan itu menunjukkan konsistensi pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui berbagai upaya penyederhanaan peraturan dan perizinan, kemudahan berinvestasi, serta mendorong daya saing industri. Pada saat yang sama, pemerintah juga terus berupaya meningkatkan kegiatan produktif dan daya beli masyarakat melalui berbagai kebijakan yang pro rakyat. Bersama-sama BI dan Otoritas jasa Keuangan, pemerintah bekerja dan hadir untuk memulihkan kepercayaan pas.


H.    Partai Politik di Indonesia
            Partai politik merupakan salah satu pilar dari demokrasi yang memainkan peranan penting dalam proses penyelenggaraan negara.[3] Partai politik merupakan bentuk dari partisipasi politik masyarakat secara langsung dengan melibatkan diri dalam perebutan kekuasaan politik di masing-masing negara berbeda-beda. Partai politik pertama-tama lahir pada zaman kolonial, seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah yang merupakan gerakan partai politik tertutup, sedangkan Sarekat Islam, Partai Katolik, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Komunis Indonesia merupakan partai terbuka. Pada dasarnya, semua partai politik yang ada merupakan personifikasi keragaman budaya politik di Indonesia, yang dilahirkan melalui kebudayaan multipartai. Pada masa pendudukan Jepang, semua partai lama dibubarkan dan setiap kegiatan plitik dilarang. Hanya golongan Islam yang diperkenankan untuk membentuk suatu organisasi sosial yang dinamakan Masjumi, disamping beberapa organisasi baru yang diprakarsai oleh penguasa. Pada saat itu, sumber daya manusia dipaksa oleh Jepang untuk membangun Asia Timur Raya.
            Dalam masa revolusi fisik (1945-1949), partai-partai politik memainkan peran penting dalam proses pembuatan keputusan. Wakil-wakil partai duduk dalam KNIP dan kabinet kebanyakan terdiri dari wakil partai. Dalam masa ini, berbagai kabinet menghadapi berbagai tantangan, baik dari luar maupun dari dalam, misalnya dua Aksi Militer Belanda pada tahun 1947 serta 1948, dan pemberontakan PKI pada tahun 1948. Partai-partai tidak selalu sepakat mengenai strategi perjuangan untuk menghadapi pihak Sekutu, termasuk perundingan dengan Belanda dan masalah-masalah lain. Setiap kali kabinet koalisi berubah. Sampai Aksi Militer pada tanggal 19 Desember 1948 saat Presiden, Wakil Presiden serta beberapa menteri ditangkap, ada delapan cabinet.[4] Kedaulatan negara Indonesia baru diakui oleh dunia luar pada bulan Desember 1949, terutama sesudah berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara pada bulan Agustus 1950. Pola kabinet koalisi berjalan teru. Semua koalisi terdiri dari dua partai besar, yaitu Masjumi dan PNI. Kabinet pertama dan kedua dibawah Undang-Undang Dasar 1950 dipimpin oleh Masjumi, yaitu Kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman, sedangkan kabinet ketiga dan keempat dipimpin oleh PNI, yaitu Kabinet Wilopo dan Kabinet Ali Sastroamidjojo. Di antara kabinet itu, ada yang hanya berjalan tujuh setengah bulan, yaitu Kabinet Natsir (September 1950-April1951), sedangkan yang paling lama (sampai pemilihan umum 1955) adalah kabinet yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo selama dua tahun (Agustus 1953-Agustus 1955). Akhirnya, kabinet yang dipimpin oleh Burhanudin Harahap dari Masjumi berhasil menyelenggarakan pemilihan umum pertama pada tahun 1955. Pemilihan umum 1955 yang diselenggarakan dengan 100 tanda gambar menunjukan bahwa jumlah partai semakin bertambah, dari 21 partai (ditambah wakil tak berfraksi) sebelum pemilu menjadi 28 (termasuk perseorangan). Hasil pemilihan menetapkan beberapa partai saja yang memperoleh suara mayoritas, yaitu PNI (39 kursi), yang bersama-sama menduduki 77% dari jumlah kursi dalam DPR. Partai-partai lainnya masing-masing memperoleh satu sampai delapan kursi.
             Kabinet pertamahasil pemilihan umum merupakan koalisi dari dua partai besar, PNI dan Masjumi, beserta beberapa partai kecil lainnya, dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (II) dari PNI. PKI tetap diluar kabinet. Kabinet Ali Sastroamidjojo hanya bertahan selama dua belas bulan (Maret 1956-April 1957). Setelah kabinet Ali Sastoamidjojo berakhir, Kabinet Djuanda menggantikan posisinya. Kabinet ini bukan berasaln dari partai, artinya dari nonpartai. Kabinet Djuanda disebut dengan Zaken Kabinet Ekstra-Parlementer atau Kabinet Kerja yang bertahan selama dua tahun tiga bulan (25 April 1957-Juli 1959).
            Demikian seterusnya, keadaan negara semakin kacau, meskipun berkali-kali terjadi pergantian kabinet. Pemilu yang paling demokratis pun tetap tidak mampu mewujudkan negara yang adil dan makmur. Soekarno sebagai Presiden mengisyaratkan perlunya kembali kepada UUD 1945 untuk membangkitkan kesadaran politik bangsa. Hingga akhirnya terbit Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tahun 1959 sampai dengan tahun 1965 dinyatakan sebagai zaman demokrasi terpimpin. Dalam demokrasi terpimpin, kekuasaan negara didominasi oleh Presiden. Peran partai politik dan lembaga legislatif tidak signifikan. Negara lebih besar didominasi oleh kekuatan PKI dan Militer.
            Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara menggelindingkan konsep demokrasi terpimpin dengan membentuk lembaga-lembaga negara, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung. Dan ia pun membentuk Dewan Nasional yang anggotanya berasal dari kalangan buruh, petani, tokoh agama, militer, pengusaha, tokoh wanita. Secara keseluruhan, jumlahnya ada 40 orang. Dewan Nasional dibentuk sebagai bagian dari demokrasi terpimpin yang separuh dari suara politik diperoleh dari kalangan masyarakat.
Dalam perjalanan sebagai Kepala Negara di masa demokrasi terpimpin, Soekarno mengeluarkan Perpres No. 7/1959. Maklumat Pemerintah 3 November 1945 yang menganjurkan pembentukan partai-partai dicabut dan ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh partai untuk diakui oleh pemerintah. Partai yang memenuhi syarat adalah PKI, PNI, NU, Partai Katolik, Parrindo, Parkindo, Partai Murba, PSE Arudji, IPKI, Partai Islam Perti. Bagi partai yang tidak memenuhi persyaratan secara otomatis tersingkir, pada tahun 1960, partai politik jumlahnya hanya 10 partai. Soekarno sebagai Presiden membentuk wadah-wadah yang berfungsi memobilisasi massa, seperti dibentuknya Wadah Front Nasional pada tahun 1960, yang didalamnya ada anggota yang berasal dari Partai Komunis Indonesia, militer (ABRI), dan fungsionaris partai yang tidak mendapat jatah dalam partai yang memenuhi persyaratan. Front Nasional menggabungkan seluruh kekuatan ideologis partai politik. Oleh karena itu, disebut dengan NASAKOM, yaitu Nasionalis, Agama, dan Komunis. Kesempatan itu dimanfaatkan sepenuhnya oleh PKI untuk melakukan indoktrinasi komunismenya dan mengembangkan pengaruh-pengaruh gerakan kepartaiannya yang berbasis komunis kepada masyarakat. PKI melakukan gerakan yang tidak diduga sebelumnya oleh Soekarno, yakni Gestapu hingga tamatlah kekuatan demokrasi terpimpin.
            Partai Komunis Indonesia adalah penjahat ideologi dan pembunuh tanpa belas kasihan. Para jenderal dibantai bahkan ada yang dikubur hidup-hidup. Hingga lahirlah rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret yang diterimanya dari Presiden Soekarno. Orde Baru melalui TAP MPRS No. XXV tahun 1966 membubarkan PKI dan membekukan Partindo yang telah menjalin hubungan erat dengan PKL.
I.             Hubungan HTN dengan Ilmu Negara dan Ilmu Politik
            Istilah “Ilmu Negara” diambil dari istilah bahasa Belanda Staatsleer yang berasal dari istilah bahasa Jerman, Staatslehre. Dalam bahasa Inggris disebut Theory of  State atau The General Theory of State atau Political Theory, sedangkan dalam bahasa PrancisdinamakanTheorie d’etat. Timbulnya istilah Ilmu Negara atau Staatsleer sebagai istilah teknis adalah akibat penyelidikan dari seorang sarjana Jerman bernama George Jellinek. Ia dikenal sebagai Bapak Ilmu Negara. Ilmu negara adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki asas-asas pokok dan pengertian-penegrtian pokok tentang Negara dan Hukum Tata Negara. Munculnya Ilmu Negara sebagai Ilmu Pengetahuan yang berdiri sendiri adalah berkat jasa George Jellinek. Ia membagi ilmu kenegaraan menjadi dua bagian, yaitu:
1.      Ilmu Negara dalam arti sempit ( staatwissenschaften )
2.      Ilmu Pengetahuan Hukum ( rechtwissenschaften )
Pengertian rechtwissenchaften menurut Jellinek adalah Hukum Publik yang menyangkut soal kenegaraan, misalnya Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana dan sebagainya. Menurutnya hal penting dalam pembagian ilmu negara adalah bagian yang pertama, yaitu ilmu kenegaraan dalam arti sempit. Ilmu kenegaraan dalam arti sempit mempunyai tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
a.       Beschreibende Staatswissenschaft
Sifat ilmu kenegaraan ini adalah deskriptif yang hanya menggambarkan dan menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi yang berhubungan dengan negara.
b.      Theoretische Staatswissenschaft
Ilmu kenegaraan ini mengadakan penyelidikkan lebih lanjut dari bahan-bahan yang dikumpulkan oleh Beschreibende Staatwissenschaft dengan mengadakan analisi-analisis dan memisahkan mana yang mempunyai cirri-ciri yang khusus. Theoretische Staatswissenschaftmengadakan penyusunan tentang hasil dan sistematis. Inilah ilmu kenegaraan yang merupakan ilmu pengetahuan yang sebenarnya.
c.       Praktisch Staatswissenschaft  
Ilmu pengetahuan yang tugasnya mencari upaya bagaimana hasil penyelidikan Theoritissche Staatswissenschaft dapat dilaksanakan di dalam praktik ilmu pelajaran-pelajaran yang diberikan itu semata-mata mengenai hal-hal yang berguna untuk tujuan praktik.
Negara  sebagai objek tidak hanya dikaji di dalam ilmu negara, tetapi negara juga dijadikan objek kajian Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, negara sebagai objeknya yang menitikberatkan pada pengertian yang konkret. Artinya objek negara itu terikat pada tempat, keadaan, dan waktu tertentu. Dalam tinjauannya, Jellinek melihat negara dari sudut sosiologis dan yuridis, namun sebagaian besar dari uraiannya berkisar dibidang yuridis. Selain itu, pendapat Jellinek dipandang kurang dinamis karena kurang mengikuti atau memperhatikan perkembangan negara sebagai salah satu bangunan masyarakat yang hidup dan saling memengaruhi dengan bangunan lainnya. Hoerink mengatakan bahwa ilmu politik adalah semacam sosiologis dari negara. Ilmu negara dan hokum tata negara menyelidiki kerangka yuridis dari negara, sedangkan ilmu politik menyelidiki bagiannya yang ada disekitar kerangka itu. Dengan penggambaran seperti itu, Hoetink ingin menunjukkan betapa eratnya hubunngan antar ilmu negara dan ilmu politik kedua-duanya mempunyai objek penyelidikan yang sama, yaitu negara. Perbedaan nya hanya terletak pada metode yang digunakan. Ilmu negara menggunakan metode yuridis sedangkan ilmu politik menggunakan metode sosiologis.
Barents menggambarkan hubungan antara ilmu politik dan hokum tata negara dengan suatu perumpamaan bahwa hokum tata negara adalah kerangkanya, sedangkan ilmu politik merupakan daging yang ada di sekitarnya. Perbedaan antara ilmu negara dengan ilmu politik adalah ilmu negara menitikberatkan pada sifat-sifat teoritis tentang asas-asas pokok dan pengertian-pengertian pokok tentang negara. Oleh karena itu, ilmu negara kurang dinamis. Sementara itu, ilmu politik lebih menitik beratkan pada factor-faktor yang konkret, terutama berpusat pada gejala-gejala kekuasaan, baik mengenai organisasi negara maupun yang memengaruhi pelaksanaan tugas-tugas negara. Oleha Karen aitu, ilmu politik lebih dinamis dan hidup.
Berkaitan dengan perbedaan antara ilmu negara dan ilmu politik, Herman Heller menyimpulkan pembagian pendapat, yaitu sebagai berikut.
1.      Ada sarjana yang mengganggap ilmu politik sebagai bahas keadaan dalam kenyataan, sedangkan ilmu negara dinamakan ilmu pengetahuan teoretis yang sangat mementingkan segi normative.
2.      Ada segolongan sarjana yang mengganggap bahwa ilmu politik mementingkan sifat-sifat dinamis dari negara, yaitu proses-proses kegiatan  dan aktivitas negara. Perubahan negara yang terus-menerus yang disebabkan oleh golongan-golongan yang memperjuangkan kekuasaan. Subjek ilmu politik ialah gerakan-gerakan dan kekuatan-kekuatan dibelakang evolusi yang terus-menerus. Sebalinya, ilmu negara dianggap lebih mementingkan segi-segi statis dari negara, seolah-olah negara adalah beku dan membatasi diri pada penelitian lembaga kenegaraan yang resmi.
3.      Ilmu negara dianggap lebih tajam konsep-konsep nya dan lebih tentang metodologinya, tetapi ilmu politik dianggap lebih konkret dan lebih mendekati realita.
4.      Perbedaan yang praktis ialah ilmu negara lebih mendapat perhatian dari ahli hukum, sedangkan ahli-ahli sejarah dan sosiologi lebih tertatik kepada ilmu politik.
Ilmu negara yang merupakan ilmu pengetahuan yanag menyelidiki pengertian-pengertian pokok dan sendi-sendi pokok negara dapat memberikan dasar-dasar teoritis yang bersifat umum untuk hukum tata negara. Oleh karena itu, hukum tata negara tidak dapat dipelajari secara ilmiah dan teratur sebelum terlebih dahulu dipelajari pengetahuaan tentang pengertian-pengertian pokok dan sendi-sendi pokok pada negara umumnya.
Maka ilmu negara dapat memberikan dasar-dasar teoretis untuk hukum tata negara yang positif. Hukum tata negara merupakan penerapan atau pelerapan di dalam kenyataan-kenyataan konkret dari bahan-bahan teoretis yang dihasilkan oleh ilmu negara. Oleh karena itu , ilmu hukum tata negara mempunyai sifat praktis appliedscience yang bahan-bahan nya diselidiki, dikumpulkan dan disediakan oleh pure science ilmu negara.


J.            Kecenderungan Kajian Politik di Masa Lampau
Plato (427-347 SM) bisa di pandang sebai bapak filsafat politik dan Aristoteles sebagai bapak ilmu politik, sekurang-kurangnya di Barat. Keduanya memandang negara dari perspektif filosof yang melihat semua ilmu pengetahuan merupakan satu kesatuan yang utuh. Namun, berbeda dengan Plato, Aristoteles jauh lebih memberikan dukngan atas generalisasi dan preferensi nilainya melalui fakta yang dapat di amati dengan nyata (sebagai pengganti wawasan intuisifnya Plato). Sejarah politik negara-kota Yunani menurut Aristoteles menggambarkan suatu negara yang paling stabil an yang paling banyakmemberikan fasilitas bagi individu untuk mengembangkan kemampuan rasionalnya suatu negara yang pemilikan kekayaan telah meluas dan pada hakikatnya didistribusikan secara merata. Dengan demikian Aristoteles juga telah menunjukan fakta (kestabilan politik yang sebenarnya)yang relevan dengan preferensi nilainya (khususnya mengenai pengembangan rasional individu). Warisan zaman Romawi Kuno kepad ilmu politik yang utama adalah sumbangannya di bidang hukum, yurisprudensi, dan administrasi negara; kesemua bidang tersebutsejalan dengan Stoicisme mengenai kesamaan manusia, persaudaraan setiap orang, ketuhanan, dan keunikan nilai individu, yang bagaimanapun rendahnya, mempercaya cahaya Tuhan menjiwai seluruh semesta. Filsafat demokrasi, dengan asumsinya tentang rasionalitas, moralitas dan persamaan serta konsepnya tentang hukum alam dan hak-hak ilmiah, banyak menurun dari paham Stoic dan Cicero yang memadukan filsafat Stoic kedalam pemikiran politik Barat.
Selama abad pertengahan negara menjadi kurang penting dibanding gereja, yang bisa memaksakan kekuasaannya pada raja dan memecat para pangeran dan mengatur kebijakan umum. Filsafat politik sedikit lebih dari cabang di bawah teologi; pertentangan politik diselesaikan melalui himbauan yang berkuasa, yaitu tulisan-tulisan keagamaan, daripada pertimbangan empirikataupun praktis. Bagaimanapun, abad pertengahan meninggalkan warisan konsep-konsep yang tetap merupakan bagian penting dari pemikiran politik modern, seperti gagasan penyatuan dunia dan lembaga etika keagamaan yang membatasi tindakan politik, termasuk apa yang biasa disebut oleh filosof Kristen dengan ‘’kedamaian Tuhan”, “upah kejujuran”, “harga yang pantas”, dan gagasan mengenai “hukum tertinggi” yang perlu ditaati oleh penguasa atau negara. Dalam kenyataannya, setiap warga negara manapun saat ini yang menuntut hak untuk membatasi wewenang pemerintah, apakah melalui campur tangan militer, demonstrasi damai atau dengan kekerasan, membayar pajak, ataupun pengorbanan harta benda, secara tidak langsung penolakannya menunjukan satu gagasan hukum yang lebih tinggi.
Di bawah dominasi intelektualdan politik gereja Kristen, pemikiran politik pertama-tama berurusan dan untuk menjawab persoalan mengenai yang seharusnya (nilai), bukannya pertanyaan tentang yang ada (fakta). Dengan demikian pemikiran politik sepanjang abad pertenganhan jauh lebih dekatdengan tradisi Plato (filsafat) daripada dengan tradisi Aristoteles (ilmu). Apakah ini hanya kebetulan belaka bahwa gereja Kristen sendiri mempunyai beberapa kemiripan engan negara idealnya Plato seorang raja filsafat (paus) yang merupakan penjelmaan dari kebenaran mutlak (Tuhan menyatakan hukum), dan yang memimpin atas suatu hirarki kaku yang terdiri dari para wali (pendeta) yang hidup tanpa keluarga dan pemilikan pribadi, dan mereka inilah yang bergiliran mengawasi aktivitas kelas pekerja/buruh (pekerja tangan yang ahli/tukang dan orang awam)? Jelasnya preferensi nilai dari Plato dan gereja telah menempatkan masing-masing individu di bawah kebenaran mutlak. Jadi bentuk pemerintahan yang disiplin baik oleh Plato maupun gereja adalah pemerintahan otoriter. Dan pemerintahan otoriter, apakah religius atau sekuler, sering di cap sebagai berkhianat kepada semangat kebebasan untuk meminta penjelasan yang melengkapi penyelidikan ilmiah.
K.        Kecenderungan Modern
Renaissance membangkitkan kembali minat untuk mempelajari masa Yunani kuno dan Romawi, termasuk mempelajari karya filosof politik bersama. Kemunculan negara-negra nasionaldi Eropa Barat menggoyahkan belenggu kekuasaan paus dan kekaisaran Suci Romawi, dan khususnya ketika terjadi reformasi mengakibatkan berdirinya gereja-gereja nasional yang bergantung pada raja-raja yang kuat untuk kelangsungan hidupnya, hegemoni gereja abad pertengahan telah digulingkan dan suatu keseimbangan baru di bangun di antara wewenang sekuler dan spiritual. Niccolo Machiavelli (1496-1527), yang namanya secara tidak adildisamakan dengan watak bermuka dua yang kejam, menghabiskan abad pertengahan dengan memisahkan politik dari agama. Pertimbangan mengenai kesatuan nasional, keamanan dan kepentingan lebih tinggi dari pertimbangan paus dan dogma.
Selama periode yang umumnya disebut sejarah “modern” (tepatnya dimulai pada abad kelima belas), pokok persoalan dan metode ilmu politik sangat berubah. Sebagaimana Plato dan Aristoteles telah berusaha mencari hukum-hukum politik dan kebenaran untuk disamakan dengan penemuan rekan sesamanya dibadang fisika atau astronomi maka ilmuan politik modern sangat terkesan dan di pengaruhi oleh penemuan baru dan teori di berbagai bidang pengetahuan kemanusiaan lainnya. Sebenarnya Newton dan Descartes tidak hanya menyumbang pada fisika dan matematika saja tetapi juga pada ilmu politik; di akhir abad kedelapan belas, kessikannya dengan konsep demikian seperti pemisahan kekuasaan pemerintahan dan cheks and balances, menggambarkan suatu usaha untuk menerapkan prinsip-prinsip mekanika dan matematika kepada struktur pemerintahan. Sikap-sikap baru pada pemerintahan dan politik ini memperluas penggunaan metode empirik, pengamatan lembaga-lembaga dan proses-proses kehidupan manusia yang nyata agar mendapatkan dalil-dalil politik yang fundamental.
Pada pertengahan abad kesembilan belas, teori Darwin mengenai evolusi dan seleksi alami mulai mempunyai pengaruh yang sangat kuat atas ilmi politik; biologi memperkuat sejarah dan rupa-rupanya, evolusi organik. Perkembangan sosiologi, khususnya setelah abad kesembilan belas, mendorong para ilmuan politik untuk lebih perhatian kepada dampak kekuatan social di pemerintahan terhadap kekuatan social yang tidak di batasi oleh kelembagaan negara. Industrialisasi terhadap masyarakat yang sebelumnya hidup dari pertanian dan menajamnya pertentangan antara teori ekonomi klasik dan Marxis, dan antara kelas-kelas sosial baru yang dibentuk di atas landasan pembangunan industri, mendorong studi yang lebih mendalam tentang fakta ekonomi, kekuatan dan kecenderungan, karena semua itu melahirkan banyak masalah politik dan membantu terbentuknya tingkah laku politik.[5]
















Kesimpulan

Kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia pasca reformasi mengalami berbagai perubahan yang sangat dinamis. Berbeda dengan dinamika ketatanegaraan pada awal kemedekaan yang terjadi karena kondisi negara yang baru merdeka dan tuntutan mempertahankan kemerdekaan, dinamika yang terjadi pasca era reformasi ini didasarkan pada kerangka konstitusional, yaitu UUD 1945. Perubahan UUD 1945 yang dilakukan pada 1999 hingga 2002 bersifat sangat mendasar. Perubahan tersebut memberikan dasar-dasar substansial baru dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta tatanan kelembagaan yang baru pula.
Hasil perubahan UUD 1945 menegaskan dianutnya prinsip negara hukum yang demokratis. Hal itu diwujudkan derigan jaminan terhadap hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang lebih rind, serta pembatasan kekuasaan negara melalui pemisahan kekuasaan dengan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) agar masing-masing lembaga negara dapat menjalankan kekuasaan yang telah didistribusikan oleh UUD 1945 sebagai hukum tertinggi guna mencapai tujuan nasional. Perubahan tersebut; berpengaruh secara langsung terhadap tatanan kelembagaan negara baik cabang eksekutif, legislatif, dan yudikatif, maupun munculnya lembaga-lembaga baru sebagai organ negara yang independen.
Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya dinamika hukum dan kebijakan, serta kelembagaan sebagai bentuk pelaksanaan UUD 1945. Dinamika itu tentu tidak hanya terjadi di bidang politik, tetapi juga di bidang kehidupan kebangsaan yang lain, baik sosial maupun ekonomi. Hal itu mengingat materi muatan UUD 1945 yang tidak hanya memberikan dasar politik, tetapi juga dasar-dasar perekonomian nasional, kesejahteraan sosial, dan kebudayaan.
Namun, perkembangan tatanan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang demikian cepat tersebut, belum diiringi dengan ketersediaan literatur hukum yang memberikan informasi dan analisis terhadap perkembangan ketatanegaraan pasca reformasi. Bagi masyarakat, khususnya pembelajar hukum tata negara, tentu tidak mudah mempelajari masalah ketatanegaraan hanya dengan membaca ketentuan-­ketentuan normatif dalam peraturan perundang-undangan. Untuk memahami masalah ketatanegaraan dibutuhkan adanya pengetahuan dan pemahaman awal tentang berbagai konsep keilmuan serta pengetahuan tentang peraturan dan praktiknya baik di masa lalu maupun di negara lain. Oleh karena itu dibutuhkan literatur yang mengemas informasi dan memberikan analisa agar mudah dipahami


DAFTAR PUSTAKA


Azhari dan Inu Kencana Syafiie, Sistem Politik Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung 2012.
Basah, Sjachran. 1997. Ilmu Negara (Pengantar,metode, dan sejarah perkembangan). Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti
Budiarjo, Miriam. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Ikrar Mandiriabadi.
Ismatullah, Dedi. 2009. Hukum Tata Negara. Bandung : CV Pustaka Setia
Marijan, Kacung. 2011. Sistem Politik Indonesia. Jakarta : Predana Media Group
Ni’Matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013. 
Sukardja, Ahmad. 2012. Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara.
   Jakarta : Sinar Grafika.
Suwarma Al-Muchtar, (1999), Pengantar Studi HTN. Gelar Pustaka Mandiri. Bandung
Syamsuddin, Nazaruddin, Padmo Wahjono. Pengantar Ilmu Politik.Jakarta: Raja Grafindo Persada
Usep Ranawidjaya .1983.Hukum Tata Negara RI. Bandung: Pustaka Star
http://www.jimly.com/pemikiran/view/4
Aryojati Ardipandanto. 2015. Satu Tahun Pemeintahan Jokowi JK [online] :
http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VII-20-II-P3DI-
Oktober-2015-81.pdf diakses pada 3 Desember 2016.
Fachry Ali. 2013. ESAI POLITIK TENTANG HABIBIE (Dari Teknokrasi ke Demokrasi). Jakarta : MIZAN.




[1] Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Hal. 128
[2] Aryojati Ardipandanto. 2015. Satu Tahun Pemeintahan Jokowi JK [online] :
[3] Ahmad Sukardja. Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara. Hal. 144
[4] Dedi Ismatullah. Hukum Tata Negara. Hal. 300

[5] Nazaruddin Syamsuddin, Padmo Wahjono. Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013) hlm. 7


Share:

1 komentar:

  1. KABAR BAIK!!!

    Nama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.

    Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.

    Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.

    Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.

    Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.

    Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.

    ReplyDelete