A.
Transformasi
Politik
Transformasi
adalah sebuah proses perubahan secara berangsur angsur sehingga sampai pada
tahap ultimate, perubahan yang dilakukan dengan cara memberi respon terhadap pengaruh unsur eksternal dan
internal yang akan mengarahkan perubahan dari bentuk yang sudah dikenal
sebelumnya melalui proses menggandakan secara berulang-ulang atau melipat
gandakan. Laseau 1980 yang
dikutip oleh Sembiring
2006 memberikan kategori
Transformasi sebagai berikut:
1.
Transformasi
bersifat Tipologikal (geometri) bentuk geometri yang berubah dengan komponen pembentuk
dan fungsi ruang yang sama.
2.
Transformasi
bersifat gramatikal hiyasan (ornamental) dilakukan dengan menggeser, memutar,
mencerminkan, menjungkirbalikkan, melipat dll.
3.
Transformasi
bersifat refersal (kebalikan) pembalikan citra pada figur objek yang akan
ditransformasi dimana citra objek dirubah menjadi citra sebaliknya.
4.
Transformasi
bersifat distortion (merancukan) kebebasan perancang dalam beraktifitas.
Proses Transformasi
Habraken,
1976 yang dikutip oleh Pakilaran, 2006 (dalam http://www.ar. itb.ac.id/wdp/
diakses pada tanggal 11 November 2013) menguraikan proses transformasi yaitu
sebagai berikut
1. Perubahan yang terjadi secara
perlahan-lahan atau sedikit demi sedikit
2.
Tidak
dapat diduga kapan dimulainya dan sampai kapan proses itu akan berakhir
tergantung dari faktor yang mempengaruhinya
3. Komprehensif dan berkesinambungan
4. Perubahan yang terjadi mempunyai
keterkaitan erat dengan emosional (sistem nilai) yang ada dalam masyarakat.
Dan
dari pengertian politik, Politik dari bahasa Yunani: “politicos”, yang berarti dari,
untuk, atau yang berkaitan dengan warga Negara. dari bahasa Inggris politic : bijaksana, beradab,
berakal, yg dipikirkan, polite :
sopan, halus, beradab, sopan santun, terpilih, yg halus budi bahasanya. Politik
juga dapat diartikan sebagai proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang
antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam Negara.
Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang
berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik
adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Di
samping itu politik juga dapat dilihat dari sudut pandang berbeda, yaitu antara
lain:
-
politik adalah usaha yang ditempuh warga negara
untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
-
politik adalah hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan dan negara
-
politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk
mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
-
politik adalah segala sesuatu tentang proses
perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Transformasi arti
dari kata transformasi didalam kamus KBBI ialah perubahan rupa
(bentuk,sifat,fungsi dan sebagainya). Jadi transformasi politik itu adalah
perubahan politik dari zaman orde lama ke zaman orde baru dan ke zaman reformasi.
A.
Perkembangan Politik Era Presiden Soekarno
Sebagai pemimpin besar
revolusi, Soekarno dipandang sebagai Presiden Republik Indonesia yang punya
kharisma politik tersendiri. Lugas, tegas, menggebu-gebu, semangat, dan
cenderung anti-barat merupakan gambaran yang bisa kita saksikan pada setiap
pidato politiknya. Masa awal kepemimpinannya, ditandai dengan terbentuknya
sistem pemerintahan parlementer. Sistem ini menciptakan sebuah pemerintahan
yang memberi kekuasaan dominan kepada lembaga legislatif. Terbentuknya berbagai
partai politik yang bebas menyuarakan aspirasi merupakan tanda kehidupan
politik terakomodir. Perkembangan politik di era kepemimpinan Soekarno, telah
memberikan ruang luas bagi partai politik untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan
politiknya. Ini terbukti dengan terbentuknya sistem kepartaian (multipartai).
Masyarakat pun memiliki pilihan yang banyak untuk menempatkan keterwakilan
politiknya di parlemen. Pemilu sebagai ciri dari negara demokrastis, di era
Soekarno diselenggarakan dengan baik. Kebebasan pers menduduki posisi
tertinggi, sebagai media informasi yang dijamin kebebasannya. Namun hal
tersebut tidak berlangsung lama. Era kepemimpinan kemudian ditandai dengan
melemahnya sistem kepartaian yang bebas. Lalu terjadi gerakan perkembangan yang
lambat terhadap perkembangan politik Indonesia saat itu.
Demokrasi Parlementer
yang memegang peranan penting dalam pemerintahan tidak lagi dipandang sebagai
lembaga yang mempunyai kekuasaan luas. Presiden, dalam hal ini Soekarno, yang
kemudian menasbihkan dirinya sebagai presiden seumur hidup dalam bingkai
kepemimpinan yang disebutnya sebagai era Demokrasi Terpimpin. Fokus kebebasaan
kemudian "kabur". Saat itu, terjadi sentralisasi dalam segala bidang
dan tertutupnya akuntabilitas pemerintahan. Presiden menjadi dominan
kekuasaannya, dan berakibat melemahnya peran legislatif.Akhirnya, saat itu
tidak ada satu pola pengemban kehidupan politik yang demokrastis. Soekarno lalu
“dilengserkan” dari jabatannya sebagai presiden, melalui Surat Perintah Sebelas
Maret atau Supersemar yang “konon” berisi pemberian tanggung jawab pengambil
alihan kekuasaan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto. Peristiwa ini menandai
terbentuknya era baru kepemimpinan politik di Indonesia.
B.
Perkembangan Politik Era Presiden Soeharto
Perkembangan
politik Indonesia era kepemimpinan Presiden Soeharto di mulai ketika ia
"mengambil alih" kekuasaan dari Presiden Soekarno. Pemerintahan
politik dijalani berdasarkan asas Pancasila, yang juga mengatur seluruh
kehidupan berbangsa dan bernegara. Awalnya, realisasi pengamalan Pancasila
mampu diterima masyarakat sebagi "kiblat" pemerintahan politik yang
dijalankan Soeharto. Namun, berubah sebagai alat pemaksaan kehendak, yang
mengubah sistem pemerintahan menjadi otoriter. Presiden menjadi komandan
pemerintahan yang tidak boleh tersentuh oleh apapun dan siapapun. Kehidupan
politik yang diharapkan mengalami perkembangan setelah runtuhnya rezim Soekarno
ternyata hanya jadi retorika semata. Posisi politik lembaga legislatif yang
seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan, malah menjadi tameng dari pemerintah
yang dibangun secara over sentralistik. Rotasi kekuasaan politik tak pernah
terjadi hingga 32 tahun lamanya. Pemilu hanya dijadikan rutinitas lima tahunan
yang pemenangnya sudah bisa ditebak.
Partai Golkar menjadi
kendaraan politik yang ampuh digunakan oleh Soeharto untuk mengamankan setiap
keputusan politik pemerintahannya di DPR. Bahkan, Presiden Soeharto berubah
sangat arogan, dengan menggunakan kekuatan militer pada setiap situasi keamanan
yang bisa saja mendorong masyarakat untuk bergerak melawan rezimnya yang korup.
Sistem rekrut politik sebagai bagian dari penjaringan bakat politik baru,
dilakukan tidak terbuka. Perkembangan politik jalan di tempat dengan tidak
adanya refresh tokoh politik baru. Memang pemilu dilakukan setiap lima tahun
sekali, tetapi semua hanya sebagai formalitas belaka. Pejabat birokasi, Golkar,
dan ABRI diinstruksikan untuk memenangkan setiap putaran pemilu yang
berlangsung. Masyarakat dikekang kebebasannya memilih, serta dipaksa untuk
memilih partai tertentu yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Pertumbuhan partai
politik dibatasi hanya 3 partai, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai
Persatuan Pembagunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Era kepemimpinan Presiden Soeharto kemudian
dikenal sebagai masa tertindasnya kebebasan HAM, tercerabutnya akar
penghormatan hak-hak dasar manusia, bahkan terjadinya pelanggaran HAM dihampir
seluruh daerah di Nusantara. Masyarakat yang tersadarkan pada situasi politik
yang tidak sehat ini, akhirnya betul-betul memberikan perlawanan kepada
pemerintahan yang berkuasa. Melalui gerakan reformasi tahun 1998, yang dimotori
mahasiswa, rezim yang sering disebut sebagai rezim Orde Baru pun runtuh.
Harapan terciptanya pemerintahan yang bersih, termasuk bagi perkembangan
politik Indonesia ke arah yang lebih baik muncul di masyarakat.
C.
Perkembangan Politik Era
Reformasi
Tidak ada yang dapat
memberikan penilaian dengan pasti apakah cita-cita reformasi sudah terwujud
atau belum. Runtuhnya kekuasaan Soeharto padahal telah memberikan secercah
harapan bagi terciptanya iklim demokrasi yang jauh lebih baik. Namun, harapan
itu kenyataan hanya menjadi mimpi tanpa realisasi nyata. Masih adanya perbedaan
dalam pandangan ketegasan terhadap sistem pemerintahan, merupakan salah satu
indikator yang bisa kita lihat. Di sini terlihat ada persaingan politik yang
terjadi, antara pemerintah dan legislatif sebagai pembuat produk undang-undang.
Kekuasaan presiden tidak mutlak dijalankan secara penuh, tapi terpengaruh pada
parlemen. Hal ini akhirnya menciptakan situasi politik yang tidak sehat, karena
presiden terpaku oleh kepentingan lain. Kepentingan itu bisa jadi tidak
berpengaruh pada perbaikan kondisi bangsa secara keseluruhan.
Dari uraian tadi,
jelas terlihat bahwa sistem demokrasi dalam perkembangan politik Indonesia yang
dibangun pasca Orde Baru masih mencari bentuk yang ideal. Satu prestasi yang
patut kita cermati adalah keinginan yang kuat untuk merealisasikan sistem
pemilihan kepala daerah langsung. Kebebasan berserikat dan berpendapat yang ada
dalam undang-undang dasar direalisasikan dengan sistem multipartai. Perkembangan
politik di Indonesia sepertinya memang masih mencari jalannya untuk berkembang
lebih baik lagi. Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa butuh waktu
lagi untuk menemukan format sistem politik yang betul-betul mampu mendorong
terciptanya pemerintahan yang baik pula. Jika merunut pada itu semua, maka
perkembangan politik di Indonesia tidak ada yang mampu memprediksi akan tumbuh
seperti apa di masa depan.
D.
POLITIK DI ERA ORDE LAMA (1945-1968
Konfigurasi politik era orde lama
Presiden soekarno pasa tanggal 5 juli 1959
mengeluarkn dekrit presidn yang isinya pembubaran konstituante, di undangkan
secara rresmi dalam Lembaran Negara thun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69
yang berisi penetapan-penetpan berikut ini
a.
Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya kembali UUDS
1950
b.
Pembentukn MPRS dan DPAS.
Salah
satu dasar pertimbangan dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit presiden 5
juli 1959 adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya. Pada masa itu
Soekarno memakai system DEMOKRASI TERPIMPIN. Tindakan soekarno mengeluarkan dekrit pada tanggal 5 juli 1959
dipersoalkan keabsahanya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS
1950 presidn tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah
UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. System ini yang mengungkapkan
struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan berdasarkan pada system “trial and error”. Keadan ini terus
berlangsung hingg pechny pemberontkan
DI/TII yangh berhalun theokratisme islam
fundamental (1952-1962) dan kemudian pemilu 1955 melahirkan empat partai
besar yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI yang secar perlahan terjadi pergeseran
politik kesistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun.
1) Gerakan separatis pada
tahun 1957
2) Konflik ideology yang
tajam yaitu anatara pancasil dan ideoligi islam, sehingg terjdi kemacetan total
di bidang konstituante pada tahun 1959
Sistem parlementer yang mulai berlaku ebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan
dan kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 dan 1950, ternyata kurang
cocok untuk Indonesia meskipun dapat berjalan secara memuaskan dalam beberapa
negara Asia lain.[1] Persatuan yang
dapat digalang untuk selalu menghadapi musuh bersama menjadi kendor dan tidak
dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan
tercapai. Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi
peluang untuk dominasi partai-partai politik dan Dewan Pewakilan Rakyat.
Undang-undang Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan
eksekutif yang terdiri atas presiden sebagai kepala negara konstitusional (constituionalhead)
dan menteri-menterinya mempunyai tanggung jawab politik. Karena fragmentasi
partai-partai politik, setiap kabinet berdasarkan koalisi yang berkisar pada
satu atau dua partai besar dengan beberapa partai kecil. Koalisai ternyata
kurang mantap dan partai-partai dalam koalisi tidak segan-segan untuk menarik
dukungannya sewaktu-waktu, sehingga kabinet sering kali jatuh karena keretakan
dalam koalisi sendiri. Dengan demikian ditimbulkan kesan bahwa partai-partai
dalam koalisi kurang dewasa dalam menghadapi tanggung jawab mengenai
permasalahan pemerintahan. Di lain pihak, partai-partai dalam barisan oposisi
tidak mampu berperan sebagai oposisi yang konstruktif yang menyusun
program-program alternatif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif dari
tugas oposisi.
Umumnya kabinet dalam masa pra pemilihan umum yang diadakan pada tahun 1955
tidak dapat bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan, dan hal ini
menghambat perkembangan ekonomi dan politik oleh karena pemerintah tidak
mendapat kesempatan untuk melaksanakan programnya. Pemilihan umum tahun 1955
tidak membawa stabilitas yang diharapkan, bahkan tidak dapat menghindarkan
perpecahan yang paling gawat antara pemerintah pusat dan beberapa daerah. Di
samping itu ternyata ada beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak
memperoleh saluran dan tempat yang realistis dalam konstelasi politik, padahal
merupakan kekuatan yang paling penting, yaitu seorang presiden yang tidak mau
bertindak sebagairubberstomp (presiden yang membubuhi capnya
belaka) dan suatu tentara yang karena lahir dalam revolusi merasa bertanggung
jawab untuk turut menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh
masyarakat Indonesia pada umumnya.
Faktor-faktor semacam ini, ditambah dengan tidak adanya anggota-anggota
partai-partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus
mengenai dasar negara untuk undang-undang dasar baru, mendorong Ir. Soekarno
sebagai presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli yang menentukan
berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Degan demikian masa demokrasi
berdasarkan sistem parlementer berakhir.
E.
Masa Republik Indonesia II
(1959-1965): Masa Demokrasi Terpimpin
Ciri-ciri periode ini
ialah dominasi dari presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya
pengaruh komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial-politik. Dekrit
Presiden 5 Juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar
dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat.
Undang-Undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk
bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi Ketetapan MPRS No.
III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah
membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini (Undang-Undang Dasar memungkinkan
seorang presiden untuk dipilih kembali) yang ditentukan oleh Undang-Undang
Dasar. Selain itu, banyak lagi tindakan yang menyimpang dari atau menyeleweng
terhadap ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam tahun 1960 Ir.
Soekarno sebagai presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan
umum, padahal dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit
ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian.
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang mengganti Dewan Perwakilan Rakyat
pilihan rakyat ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah, sedangkan
fungsi kontrol ditiadakan. Bahkan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dijadikan
menteri dan dengan demikian ditekankan fungsi mereka sebagai pembantu presiden,
di samping fungsi sebagai wakil rakyat. Dalam rangka ini harus pula dlihat
beberapa ketentuan lain yang memberi wewenang kepada presiden sebagai badan
eksekutif untuk campur tangan di bidang lain selain bidang eksekutif. Misalnya
presiden diberi wewenang untuk campur tangan di bidang yudikatif berdasarkan
Undang-Undang No 19/1964, dan di bidang legislatif berdasarkan Peraturan
Presiden No. 14/1960 dalam hal anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencapai
mufakat.
Selain itu terjadi penyelewengan di bidang perundang-undangan dimana berbagai
tindakan pemerintah dilaksanakan melalui Penetapan Presiden (Penpres) yang
memakai Dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum. Tambahkan pula didirikan
badan-badan ekstra konstitusional sebagai arena kegiatan, sesuai dengan taktik
Komunisme Internasional yang menggariskan pembentukan front nasional sebagai
persiapan ke arah terbentuknya demokrasi rakyat. Partai politik dan pers yang
dianggap menyimpang dari rel revolusi ditutup, tidak dibenarkan , dan
dibreidel, sedangkan politik mercu suar di bidang hubungan luar negeri dan
ekoomi dalam negeri telah menyebabkan keadaan ekonomi menjadi bertambah suram.
G 30 S/PKI telah mengakhiri periode ini dan membuka peluang untuk dimulainya
masa demokrasi Pancasila.
F.
Masa Republik Indonesia III
(1965-1998): Masa Demokrasi Pancasila
Landasan formal dari periode ini adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945,
serta Ketetapan-Ketetapan MPRS. Dalam usaha untuk meluruskan kembali
penyelewengan terhadap Undang-Undang Dasar yang terlah terjadi dalam masa
Demokrasi Terpimpin, telah diadakan sejumlah tindakan korektif. Ketetapan MPRS
No. III/1963 yang menetapkan masa jabatan seumur hidup untuk Ir. Soekarno telah
dibatalkan dan jabatan presiden kembali menjadi jabatan efektif setiap lima
tahun. Ketetapan MPRS No. 19/1964 telah diganti dengan suatu undang-undang baru
(No. 14/1970) yang menetapkan kembali ke asas kebebasan badan-badan pengadilan.
Dewan Perwakilan Rakyat Dotong Royong diberi beberapa hak kontrol disampig
tetap mempunyai status menteri. Begitu pula tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong yang baru telah meniadakan pasal yang memberi wewenang kepada
presiden untuk memutuskan permasalahan yang tidak dapat mencapi mufakat antara
anggota badan legislatif. Gologan Karya, di mana anggota ABRI memainkan peranan
penting, diberi landasan konstitusional yang lebih formal. Selain itu beberapa
hak asasi diusahakan supaya diselenggarakan lebih penuh dengan memberi
kebebasan lebih luas kepada pers untuk menyatakan pendapat dan kepada
partai-partai politik untuk bergerak dan menyusun kekuatannya, terutama
menjelang pemilihan umum 1971. Dengan demikian diharapkan terbinanya
partisipasi golongan-golongan dalam masyarakat di samping diadakan pembangunan
ekonomi secara teratur serta terencana.
Perekmbangan lebih lanjut pada masa Republik Indonesia III (yang juga disebut
sebagai Orde Baru yang menggantikan Orde Lama) menunjukan peranan presiden yang
semakin besar. Secara lambat laun tercipta pemusatan kekuasaan di tangan presiden
karena Presiden Soeharto telah menjelma sebagai seorang tokoh yang paling
dominan dalam sistem politik Indonesia, tidak saja karena jabatannya sebagai
presiden dalam sistem presidental, tetapi juga karena pengaruhnya yang dominan
dalm elit politik Indonesia. Keberhasilan memimpin penumpasan G 30 S/PKI dan
kemudian membubarkan PKI dengan menggunakan Surat Perintah 11 Maret (Super
Semar) memberikan peluang yang besar kepada Jenderal Soeharto untuk tampil
sebagai tokoh yang paling berpengaruh di Inonesia. Status ini membuka peluang
bagi Jenderal Soeharto untuk menjadi presiden berikutnya sebagai pengganti
Presiden Soekarno.
Perlunya menjaga kestabilan politik, pembangunan nasional, dan integrasi
nasional telah digunakan sebagai alat pembenaran bagi pemerintah untuk
melakukan tindakan-tindakan politik, termasuk yang bertentangan dengan
demokrasi. Contohnya adalah prinsip monoloyolitas pegawai negeri sipil (PNS).
Semula prinsip itu diperlukan untuk melindungi Orde Baru dari gangguan-gangguan
yang mungkin timbul dari musuh-musuh Orde Baru dengan mewajibkan semua PNS
untuk memilih Golkar dalam setiap pemilihan umum (pemilu). Kemudian setelah
Orde Baru menjadi lebih kuat, ternyata prinsip monoloyalitas tersebut masih
tetap digunakan untuk mencegah partai politik lain keluar sebagai pemenang
dalam pemilu sehingga Golkar dan Orde Baru dapat terus berkuasa.
Masa Republik Indonesia III menunjukan keberhasilan dalam penyelenggaraan
pemilu. Pemilu diadakan secara teratur dan berkesinambungan sehingga selama
periode tersebut berhasil diadakan enam kali pemilu, masing-masing pada tahun
1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dari awal, Orde Baru memang
menginginkan adanya pemilu. Ini terlihat dari di keluarkannya Undang-undang
(UU) Pemilu pada tahun 1969, hanya setahun setelah Presiden Soeharto dilantik
sebagai presiden oleh MPRS pada tahun 1968 atau dua tahun setelah ia dilantik
sebagai Pejabat Presiden pada tahun 1967. Hal ini sesuai dengan slogan Orde
Baru pada masa awalnya, yakni Melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Namun ternyata nilai-nilai demokrasi tidak diberlakukan dalam pemilu-pemilu
tersebut karena tidak ada kebebasan memilih bagi para pemilih dan tidak ada
kesempatan yang sama bagi ketiga organisasi peserta pemilu (OPP) untuk
memenangkan pemilu. Sebelum fusi partai politik tahun 1973, semua OPP, kecuali
Golkar, menghadapi berbagai kendala dalam menarik dukungan dari para pemilih,
antara lain karena adanya asas monoloyalitas yang sudah disebutkan sebelumnya.
Setelah fusi 1973 yang menghasilkan dua partai politik di samping Golkar, tidak
ada perubahan dalam pemilu karena Golkar tetap dapat dipastikan memenangkan
setiap pemilu. Hal ini disebabkan karena OPP ini mendapatkan dukungan dan
fasilitas dari pemerintah sedangkan dua partai lainnya, yaitu Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menghadapi banyak
kendala dalam memperoleh dukungan dari para pemilih. Terlepas dari semua itu,
pelaksanaan pemilu sebanyak 6 kali tersebut telah memberikan pendidikan politik
yang penting. Bagi rakyat Indonesia sehingga rakyat telah terbiasa memberikan
suara dan menentukan pilihan dalam pemilu.
Keberhasilan pemerintah Presiden Soeharto untuk menjadikan Indonesia swasembada
beras pada pertengahan dasawarsa 1980-an dan pembangunan ekonomi pada masa-masa
setelah itu ternyata tidak diikuti dengan kemampuan untuk memberantas korupsi.
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) berkembang dengan pesat seiring dengan
keberhasilan pembangunan ekonomi. Keberhasilan pembangunan ekonomi malah
dianggap sebagai peluang untuk melakukan KKN yang dilakukan oleh para anggota
keluarga dan kroni para penguasa, baik dipusat maupun di daerah. Di bidang
politik, dominasi Presiden Soeharto telah membuat presiden menjadi peguasa
mutlak karena tidak ada satu institusi/lembaga pun yang dapat menjadi pengawas
presiden dan mencegahnya melakukan penyelewengan kekuasaan (abuse of power).
Menjelang berakhirnya Orde Baru, elite politik semakin tidak peduli dengan
aspirasi rakyat dan semakin banyak membuat kebijakan-kebijakan yang
menguntungkan para kroni dan merugikan negara dan rakyat banyak.
Akibat dari semua ini adalah semakin menguatnya kelompok-kelompok yang
menentang Presiden Soeharto dan Orde Baru. Yang menjadi pelopor para penentang
ini adalah para mahasiswa dan pemuda. Gerakan mahasiswa yang berhasil menduduki
Gedung MPR/DPR di Senayan pada bulan Mei 1998 merupakan langkah awal kejatuhan
Presiden Soeharto dan tumbangnya Orde Baru. Kekuatan mahasiswa yang besar yang
menyebabkan sulitnya mereka diusir dari gedung tersebut dan semakin kuatnya
dukungan para mahasiswa dan masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia
terhadap gerakan tersebut berhasil memaksa elite politik untuk berubah sikap
terhadap Presiden Soeharto. Pimpinan DPR secara terbuka meminta presiden turun.
Kemudian 14 orang menteri Kabinet Pembangunan menyatakan penolakan mereka untuk
bergabung dengan kabinet yang akan dibentuk oleh Presiden Soeharto yang
berusaha untuk memenuhi tuntutan mahasiswa. Melihat perkembangan politik
seperti ini, Presiden Soeharto merasa yakin bahwa ia tidak mendapat dukungan
yang besar dari rakyat dan orang-orang dekatnya sendiri, sehingga ia kemudian
memutuskan untuk mundur sebagai Presiden RI pada tanggal 20 Mei 1998. Mundurnya
Soeharto dari kursi presiden menjadi pertanda dari berakhirnya masa Republik
Indonesia III yang disusul oleh munculnya Republik Indonesia IV.
G.
Masa Republik Indonesia IV
(1998-sekarang): Masa Reformasi
Tumbangnya Orde Baru
membuka peluang terjadinya reformasi politik dan demokratisasi di Indonesia.
Pengalaman Orde Baru mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa pelanggaran
terhadap demokrasi membawa kehancuran bagi negara dan penderitaan rakyat. Oleh
karena itu bangsa Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan
demokratisasi, yakni proses pendemokrasian sistem politik Indonesia sehingga
kebebasan rakyat terbentuk, kedaulatan rakyat dapat ditegakkan dan pengawasan
terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat (DPR). Preiden
Habibie yang dilantik sebagai presiden untuk menggantikan Presiden Soeharto
dapat dianggap sebagai presiden yang akan memulai langkah-langkah demokratisasi
dalam Orde Reformasi. Oleh karena itu, langkah yang dilakukan pemerintahan
Habibie adalah mempersiapkan pemilu dan melakukan beberapa langkah penting
dalam demokratisasi. UU politik yang meliputi UU Partai Politik, UU Pemilu, dan
UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang baru disahkan pada awal 1999.
UU politik ini jauh lebih demokratis dibandingkan dengan UU politik sebelumnya
sehingga Pemilu 1999 menjadi pemilu yang demokratis yang diakui oleh dunia
internasional. Pada masa pemerintahan Habibie juga terjadi demokratisasi yang
tidak kalah pentingnya, yaitu penghapusan dwifungsi ABRI sehingga fungsi
sosial-politik ABRI (sekarang TNI atau Tentara Nasional Indonesia) dihilangkan.
Fungsi pertahanan menjadi fungsi satu-satunya yang dimiliki TNI semenjak
reformasi internal TNI tersebut.
Langkah terobosan yang dilakukan dalam proses demokratisasi adalah amandemen
UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR hasil Pemilu 1999 dalam empat tahap selama
empat tahun (1999-2002). Beberapa perubahan penting dilakukan terhadap UUD 1945
agar UUD 1945 mampu menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Peranan DPR
sebagai lembaga legislatif di perkuat, semua anggota DPR dipilih dalam pemilu,
pengawasan terhadap presiden lebih diperketat, dan hak asasi manusia memperoleh
jaminan yang semakin kuat. Amandemen UUD 1945 juga memperkenalkan pemilihan
umum untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung (pilpres).
Pilpres pertama dilakukan pada tahun 2004 setelah pemilihan umum untuk lembaga
legislatif.
Langkah demokratisasi berikutnya adalah pemilihan umum untuk memilih kepala
daerah secara langsung (pilkada) yang diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. UU ini mengharuskan semua kepala daerah di seluruh
Indonesia dipilih melalui pilkada mulai pertengahan 2005. Semenjak itu, semua
kepala daerah yang telah habis masa jabatannya harus dipilih melalui pilkada.
Pilkada bertujuan untuk menjadikan pemerintah daerah lebih demokratis dengan
diberikan hak bagi rakyat untuk menentukan kepala daerah. Hal ini tentu saja
berbeda dengan pemilihan kepala daerah sebelumnya yang bersifat tidak langsung
karena dipilih oleh DPRD.
Pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden pada tahun 2004 merupakan
tonggak sejarah politik penting dalam sejarah politik Indonesia modern karena
terpilihnya presiden dan wakil presiden yang didahului oleh terpilihnya
anggota-anggota DPR, DPD (Dewan Perwakilan Daerah), dan DPRD telah menuntaskan
demokratisasi dibidang lembaga-lembaga politik di Indonesia. Dapat dikatakan
bahwa demokratisasi telah berhasil membentuk pemerintah Indonesia yang demokratis
adalah proses tanpa akhir karena demokrasi adalah sebuah kondisi yang tidak
pernah terwujud secara tuntas. Namun dengan adanya perubahan-perubahan tadi,
demokrasi di Indonesia telah mempunyai dasar yang kuat untuk berkembang.
- Pemerintahan
Presiden BJ.Habibie
Ketika B.J Habibie dilantik menjadi Presiden RI,
keadaan di Indonesia sedang terjadi kericuhan. Banyak massa sedang berdemo dan
berhasil menduduki gedung MPR. Sebelum itu terjadi Tragedi Trisakti pada 12 Mei
1998 dimana 6 mahasiswa ditembak oleh tentara. Bahkan sebelum itu banyak
terjadi kericuhan lainnya. Tuntutan mahasiswa tentang reformasi
dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada 1998. Harga
kebutuhan pokok mengalami kenaikan yang sangat tajam. Pada saat itu, pemerintah
Soeharto merencanakan kenaikan BBM. Dalam menghadapi tuntukan reformasi
mahasiswa dan golongan intelektual lainnya, presiden Soeharto memberikan janji
melalui Menteri Dalam Negeri R. Hartono bahwa akan terjadi reformasi namun
bukan pada tahun 1998 melainkan tahun 2003 pada akhir masa kerja kabinet
Pembangunan VII yang baru dibentuk (1998-2003).
Namun janji
ini memunculkan kekecewaan di kalangan mahasiswa dan intelektual lainnya.
Meskipun ucapan R. Hartono diralat oleh Menteri Penerangan Prof. Ali Alwi Dahlan.
Sehingga kekecewaan itu ditumpahkan lewat turun ke jalan-jalan. Krisis total
politik, ekonomi, sosial-budaya, dan mental ini mendorong keberanian para tokoh
masyarakat mengumumkan tidak berlakunya lagi pemerintahan kabinet VII Presiden
Soeharto (Fachry Ali. 2013). Kebijakan Politik Habibie Selama Masa
Pemerintahannya (Fachry Ali. 2013),
a.
Pembebasan
Tahanan Politik.
Secara umum, tindakan pembebasan ini
meningkatkan legitimasi Habibie baik dari dalam maupun dari Luar Negeri. Ini
terkait dengan tuduhan bahwa bangsa Indonesia tidak memberi keterbukaan dalam
kebebasan individu. Sehingga para tahanan politik diberi amnesti (pengampunan)
dan abolisisi (penghapusan pidana).
b.
Naiknya
Habibie ke kursi presiden membuat Indonesia sedikit berubah pada bidang demokrasi. Orde Baru yang cenderung otoriter oleh Habibie
dirubah menjadi demokratis terutama terkait dengan kebebasan pers. Oleh karena
itu, Habibie menarik kembali pencabutan SIUPP mass media. Kebebasan pers ini
terkait dengan pemikiran Habibie bahwa sebuah pemerintahan harus mengakui bahwa
ada kerusakan didalam tubuh bangsa. Pemikiran ini berdasar kepada Accumulated Damaged Tolerance Theory yang ada dalam dunia penerbangan. Sesuai dengan Teori Toleransi Akumulasi
Kerusakan maka Habibie membuat ruang toleransi kerusakan negara dan bangsa.
Karena menurut Habibie selama 53 tahun para pemimpin Indonesia tidak memberikan
toleransi ini.
c.
Pembentukan
Partai Politik dan Percepatan Pemilu dari tahun 2003 ke tahun 1999
Presiden Habibie mengeluarkan UU No. 2 Tahun 1999 tentang
Partai Politik, UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, UU No. 4 Tahun 1999 tentang
MPR dan DPR. Hal ini dilakukan karena partai politik di Indonesia hanya terdiri
dari tiga Parpol. Ada 40 kontestan dari 150 parpol yang terdaftar, meskipun pada
akhirnya parlemen dan MPR yang memperpendek masa kepresidenan Habibie.
d.
Mengakhiri
kekuasaan negara yang terpusat.
Habibie mengeluarkan UU Otonomi yang radikal (UU No.
22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999). Orde Baru yang pembangunannya bersifat
sentralisasi di Pulau Jawa dialihkan menuju Otonomi Daerah, dimana setiap
daerah berhak mengembangkan daerahnya masing-masing sehingga tercapai keadilan
sosial bagi masyarakat di Indonesia.
Pada masa krisis ekonomi, ditandai dengan
tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian disusul dengan era Reformasi yang
dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie. Masa pemerintahan Habibie ditandai
dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu
dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan
pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi. Pada masa ini tidak
hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan
ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa
mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan (Rachbini, 2001).
Pemerintahan presiden BJ.Habibie Yang mengawali masa reformasi belum melakukan
manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya
diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik.
Pada tanggal
14 dan 15 Mei 1997, nilai tukar baht Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu
goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan ‘jual’. Apa yang
terjadi di Thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara Asia
lainnya, awal dari krisis keuangan di Asia. Sejak saat itu, posisi mata uang
Indonesia mulai tidak stabil. Sekitar bulan September 1997, nilai tukar rupiah
yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian nasional. Untuk mencegah agar
keadaan tidak tambah memburuk, pemerintah Orde Baru mengambil beberapa langkah
konkret, diantaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 triliun dalam upaya
mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara yang sangat dipengaruhi oleh
perubahan nilai rupiah tersebut.Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa
pemerintahan transisi memiliki karakteristik sebagai berikut:
·
Kegoncangan
terhadap rupiah terjadi pada pertengahan 1997, pada saat itu dari Rp. 2.500
menjadi Rp 2.650 per dollar AS. Sejak masa itu keadaan rupiah menjadi tidak
stabil.
·
Krisis
rupiah akhirnya menjadi semakin parah dan menjadi krisi ekonomi yang kemudian
memunculkan krisis politik terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
·
Pada awal
pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie disebut pemerintahan reformasi. Namun, ternyata
pemerintahan baru ini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, sehingga kalangan
masyarakat lebih suka menyebutnya sebagai masa transisi karena KKN semakin
menjadi, banyak kerusuhan.
- Pemerintahan
Transisi (Pasaribu, t,t)
Diawali
dengan melemahnya nilai tukar baht Thailand terhadap USD pada Mei 1997,
sehingga para investor mengambil keputusan jual baht untuk beli USD. Melemahnya
baht merambah sampai ke mata uang Asia lainnya (Ringgit Malaysia hingga
Rupiah). Hal ini menyebabkan terjadinya krisis keuangan di Asia. Nilai tukar
Rupiah terus melemah terhadap USD, pemerintah melakukan intervensi dengan
memperluas rentang intervensi. Namun hal itu tidak banyak membantu pemulihan
nilai tukar rupiah thd USD. Pada Oktober 1997, pemerintah memutuskan meminta bantuan
keuangan pada IMF. Paket bantuan I sebesar USD 40 Milyar diturunkan pada akhir
Oktober 1997. Bantuan tersebut diikuti dengan persyaratan penutupan atau
pencabutan izin usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak sehat. Setelah paket
bantuan, justru nilai tukar Rp semakin melemah. Akhirnya pemerintah membuat
kesepakatan dengan IMF dalam bentuk Letter
of Intent (LoI) pada Januari 1998. LoI berisi 50 butir kebijakan mencakup
ekonomi makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan, dan
reformasi struktural. Di bidang fiskal : penegasan penggunaan prinsip anggaran
berimbang pada APBN, usaha pengurangan pengeluaran pemerintah (menghilangkan
subsidi BBM dan listrik), membatalkan sejumlah proyek infrastruktur yang besar,
serta peningkatan pendapatan pemerintah. Setelah gagal dengan kesepakatan
pertama, dibuat lagi kesepakatan baru pada Maret 1998 dengan nama Memorandum
Tambahan tentang Kebijakan Ekonomi dan Keuangan (MTKEK).
Memorandum
tambahan itu antara lain: Program stabilisasi, dengan tujuan utama menstabilkan
pasar uang dan mencegah inflasi. Restrukturisasi perbankan dengan tujuan untuk
menyehatkan perbankan nasional. Reformasi struktural dalam perekonomian.
Penyelesaian utang luar negeri swasta dengan melibatkan pemerintah. Bantuan
untuk rakyat kecil sebagai kompensasi penurunan subsidi BBM dan listrik. Pada
periode ini masih dipimpin oleh Soeharto, namun pada akhir Mei 1998, terjadi
gerakan mahasiswa untuk menurunkannya. Soeharto kemudian digantikan oleh
Habibie yang merupakan awal terbentuknya pemerintahan transisi. Disebut dengan
transisi karena seharusnya melakukan perubahan (reformasi) terhadap apa yang
sudah dilakukan pemerintahan sebelumnya, tetapi ternyata pemerintahan yang baru
ini masih dianggap bagian dari gaya Orde Baru dan tidak ada perubahan yang
nyata dalam perekonomian. Di bidang ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar
rupiah terhadap dollar masih berkisar antara Rp 10.000 – Rp 15.000. Namun pada
akhir pemerintahannya, terutama setelah pertanggungjawabannya ditolak MPR,
nilai tukar rupiah meroket naik pada level Rp 6500 per dolar AS nilai yang
tidak akan pernah dicapai lagi di era pemerintahan selanjutnya. Selain itu, ia
juga memulai menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi
perekonomian. Untuk menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan ekonomi
Indonesia, BJ Habibie melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
-
Melakukan
restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan BPPN (Badan
Penyehatan Perbankan Nasional) dan unit Pengelola Aset Negara
-
Melikuidasi
beberapa bank yang bermasalah
-
Menaikkan
nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga di bawah Rp. 10.000,00
-
Membentuk
lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri
-
Mengimplementasikan
reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF
-
Mengesahkan
UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak
Sehat
Mengesahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen Pemerintahan presiden B.J. Habibie yang mengawali masa
reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang
ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas
politik.
- Pemerintah
Presiden Abdurrahman Wahid
Presidn
Abdurrahman Wahid memperjuangkan suatu tatanan politik nasional yang dihasilkan
oleh proklamasi kemerdekaan, dimana semua warga Negara memiliki derajat yang
sama tanpa memandang asal-usul Agama, Ras, Etnis, Bahasa, dan Jenis kelamin.
Konsekuensinya, politik umat Islam di Indonesia pun terikat dengan komitmen
tersebut. Segala bentuk eksklusivisme, sekterianisme, dan privilige-privilige
politik harus dijauhi. Termasuk di sini adalah pemberlakuan ajaran agama
melalui Negara dan hukum formal, demikian pula pula ide proposionalitas dalam
perwakilan di lembaga-lembaga Negara. Tuntutan-tuntutan semacam ini jelas
berlawanan dengan asas kesetaraan (egaliterianisme) bagi warga Negara.
Implikasi
lain dari komitmen terhadap asas kesetaraan ini adalah penolakan Presiden
Abdurrahman Wahid terhadap ide pemberntukan masyarakat dan Negara Islam sebagai
tujuan umat di Indonesia. Menurutnya, kedua ide tersebut pada prinsipnya
memiliki persamaan dengan tujuan formalitas ajaran Islam dalam masyarakat lewat
perangkat hukum. Ini berarti keinginan untuk menegakkan sebuah komunitas
politik yang eksklusif di luar jangkauan hukum obyektif yang diberlakukan
kepada seluruh warga Negara. Hasrat tersebut tidak konsisten dengan semangat
UUD 1945 yang hanya mengakui komunitas politik tunggal, yaitu warga Negara Indonesia.
Karena bagi Presiden Abdurrahman Wahid, seperti dikemukakan oleh Douglas
Ramage, sebuah negara Islam tidak perlu ada di negeri ini, yang harus
diperjuangkan oleh umat dalam politik adalah sebuah masyarakat Indonesia dimana
“umat Islam yang kuat, dalam pengertian berfungsi dengan baik” sebagai warga
Negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan yang lain (Hikam,
2000).
Munculnya konflik panjang antara para politisi
DPR dan Presiden Abdurrahman Wahid selama pemerintahannya yang ditandai dengan
kekecewaan- kekecewaan kalangan poros tengah sebagai pengusung naiknya Presiden
Abdurrahman Wahid sebagai Presiden, ketika Presiden Abdurrahman Wahid
membiarkan Menko Kesra dan Taskin, Hamzah Haz yang juga ketua umum PPP mengundurkan
diri dari kabinet yang hanya sebulan setelah pembentukannya. Padahal beberapa
waktu sebelumnya atau setelah pembentukan kabinet, Presiden Abdurrahman Wahid
berjanji tidak akan melakukan perombakan terhadapnya. “tidak ada reshuffle”,
demikian penegasan Presiden Abdurrahman Wahid di depan Pers (Maruto &
Anwari, 2002).
Nampaknya pengunduran diri yang dilakukan Hamzah
Haz merupakan awal melemahnya dukungan DPR terhadap Presiden Abdurrahman Wahid,
apalagi pengganti Hamzah Haz tidak diambil dari Partai Persatuan Pembangunan
(PPP). Gejala konflik antara Presiden Abdurrahman Wahid dan poros tengah makin
memanas pada awal tahun 2000, sejak pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid yang
menyebutkan bahwa PDI Perjuangan dan PKB sebagai dua partai besar di masa depan.
Akibat dari pernyataan presiden Abdurrahman Wahid, telah membuat partai-partai
yang tergabung dalam poros tengah (PPP, PAN, PBB, dan PK) menggelar acara “Aksi
Sejuta Ummat” yang menyerukan peleburan partai-partai Islam ke dalam satu
partai besar (Maruto & Anwari, 2002).
Gebrakan
pertama Presiden Abdurrahman Wahid menjadi Presiden ke empat Republik Indonesia
adalah menghapus eksistensi Departemen Penerangan (Deppen) dan Departemen
Sosisal (Depsos). Dalam penjelasan yang diberikan secara terbuka pada sidang
paripurna DPR, pada pertengahan November 1999, Presiden Presiden Abdurrahman
Wahid menegaskan bahwa penghapusan itu dilakukan semata-mata untuk efisiensi
dan perampingan kabinet pemerintahan, sekaligus dalam rangka implementasi
sepenuhnya UU No. 22/1999 tentang otonomi daerah (Otoda) (Iskandar, 2004).
Seperti kita
ketahui bahwa salah satu kendala dari pemberlakuan Otoda adalah kurang
terpenuhinya hak masyarakat untuk memperoleh informasi seluas mungkin berkaitan
dengan kondisi daerah dan kebijakan pemerintah daerahnya melalui media massa
yang ada tanpa harus ada intervensi Negara atasnya. Kendala ini akan teratasi
jika Negara (Pemerintah daerah) hanya melakukan fungsi fasilitasi agar
masyarakat mampu memperoleh seluruh informasi yang mereka butuhkan tanpa harus
takut akan adanya intervensi pemerintah seperti yang terjadi di era orde baru. Ketika
Presiden Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden, ia menghadapi tantangan
yang keras dalam membangun demokrasi di Negara ini. Salah satu bentuk persoalan
adalah aspirasi masyarakat, baik domestik maupun Internasional agar tindakan
hukum terhadap oknum TNI yang melakukan pelanggaran HAM di masa lalu. Menyusul
laporan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Azasi Manusia (KPP HAM) Timor timur
yang menyebut keterlibatannya Jenderal berbintang empat itu dalam pelanggaran
HAM pasca jajak pendapat di Timor timur, Presiden Abdurrahman Wahid meminta
Jenderal Wiranto mengundurkan diri sebagai Menteri Koordinator bidang politik
keamanan (Menko Polkam). Kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid untuk membebas
tugaskan Jenderal Wiranto menimbulkan pro-kontra di dalam negeri, dari kalangan
politisi, pengamat, bahkan dari kalangan tentara sendiri. Secara sengaja
Presiden Abdurrahman Wahid meminta Wiranto mundur ketika ia tengah melakukan
lawatan ke sejumlah Negara Eropa. Inilah cara Abdurrahman Wahid untuk menepis
kekhawatiran masyarakat internasional bahwa otoritas sipil di Indonesia tidak
sanggup mengendalikan kekuatan militer, penyokong utama kekuasaan Soeharto
selama 32 tahun. Apalagi permintaan mundur itu dilakukan di tengah upaya
masyarakat internasional mendorong pengadilan HAM internasional terhadap pelaku
pelanggaran HAM di Timor timur (Iskandar, 2004).
Upaya untuk
membebas tugaskan Wiranto dari jabatannya itu, Presiden Abdurrahman Wahid
dengan gagasannya itu, ingin mengembangkan tradisi baru bahwa jika ada pejabat
Negara yang melakukan pelanggaran HAM atau pelanggaran hukum lainnya, lebih
baik jika yang bersangkutan mengundurkan diri agar memudahkan pemeriksaan.
Dalam konteks ini, Presiden Abdurrahman Wahid sedang berusaha membangun budaya
dan etika baru dalam sistem politik nasional. Langkah itu pun merupakan bagian
penting untuk menumbuhkan kepercayaan dunia internasional. Salah satu prestasi
yang sangat besar dan patut di catat selama PRESIDEN Abdurrahman Wahid menjadi
Presiden adalah penghapusan badan koordinasi bantuan pemantapan stabilitas
nasional (Baskorstanas) dan lembaga penelitian khusus (Litsus). Kebijakan ini
dikeluarkan melalui keputusan Presiden (Keppres) No. 38/2000 tentang
penghapusan Baskorstanas dan Litsus yang selama orde baru menjadi alat represif
Negara (Iskandar, 2004). Kebijakan ini merupakan cermin gagasan besar Presiden
Abdurrahman Wahid untuk meletakkan TNI pada tempat yang sebenarnya sekaligus
mencabut sistem kontrol terhadap kebebasan masyarakat.
Kedua
lembaga yang di masa lalu menjadi instrumen rezim otoriter ini dinilai tidak
tepat lagi berada di alam politik baru yang demokratis. Kebijakan ini
mendapatkan respon positif yang sangat luas dari masyarakat, hingga ada
beberapa kalangan yang menyatakan bahwa seharusnya kebijakan itu dilakukan
sejak dulu, karena fungsi dan perannya tidak jelas. Dengan kebijakan
penghapusan Bakorstanas dan Litsus tersebut, secara otomatis berarti Keppres
No. 29/1998 tentang Bakorstanas dan Keppres No. 16/1999 tentang Litsus telah
resmi di cabut. Dalam hal ini Presiden Abdurrahman Wahid juga mengatakan bahwa
dua lembaga itu lebih banyak menimbulkan keruwetan dari pada kemanfaatan
(Iskandar, 2004). Kebijakan pembubaran kedua lembaga tersebut bukanlah sebuah
keputusan aksi “balas dendam” Presiden Abdurrahman Wahid apa yang terjadi di
masa lalu. Namun, kebijakan tersebut adalah cita-cita lama dan pemikiran
Abdurrahman Wahid sendiri mengenai demokrasi, pluralisme, HAM dan itu merupakan
nilai -nilai yang kita perjuangkan selama ini.
Ketetapan
MPR/VI/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri. Pasal 1 dari Tap berbunyi,
“Tentara Nasional Indonesia dan kepolisian Negara Republik Indonesia secara
kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masingmasing.” Pasal 2 dari
Tap tersebut menyiratkan usaha untuk memperkuat, dengan cara mempertegas peran
TNI dan Polri. Ayat (1) berbunyi, “TNI adalah alat Negara yang berperan dalam
pertahanan Negara.” Ayat (2) berbunyi, “ Kepolisian Negara Republik Indonesia
adalah alat Negara yang berpera dalam memelihara keamanan.” Dalam pembahasan
ini, maka langkah setrategis yang diambil Abdurrahman Wahid adalah realisasi
pemisahan TNI-Polri dan menempatkan lembaga TNI dan Polri dibawah lembaga
kePresidenan langsung. Ini merupakan langkah maju untuk menyibak tabir
kerancuan antara tugas dan wewenang TNI dan Polri. Dalam hal ini, pemerintahan
Abdurrahman Wahid telah mampu menindaklanjuti cita-cita reformasi dengan
mengeluarkan kebijakan yang gagasannya dimulai pada masa Presiden BJ. Habibie
melalui intruksi Presiden No. 2/1999 (iskandar, 2004). Keppres ini kemudian
dikongkritkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan menerbitkan Keppres Nomor
89 Tahun 2000 tentang kedudukan kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam
pasal 2 ayat 1 Keppres itu berbunyi: “Kepolisian Negara Republik Indonesia
berkedudukan langsung dibawah Presiden”.
Dengan kebijakan semacam ini, Redifinisi dan
reaktualisasi peran TNI itu benar-benar diimplementasikan secara riil oleh
Pemerintahan sipil. TNI tidak bisa lagi memperalat kepolisian untuk berbagai
kepetingan yang berhubungan dengan politik maupun keamanan. Reposisi ini
merupakan aspek yang paling penting untuk mengembalikan keseimbangan sipil
dalam rangka menciptakan demokrasi. Selama Presiden Abdurrahman Wahid menjadi
Presiden, ketegangan Presiden Abdurrahman Wahid dengan DPR terus mengalami
intensitas dan eskalasi yang semakin memanas, misalnya pada kasus buloggate dan bruneigate yang dijadikan komoditas politik oleh musuh-musuhnya
lewat pembentukan Pansus (Panitia Khusus) yang ditugasi untuk mengusut kedua
kasus tersebut. Kasus buloggate yang
melibatkan aliran pengucuran dana yanatera bulog sebanyak Rp 35 miliar kepada
beberapa orang tertentu, termasuk Suwondo yang diduga merupakan orang terdekat
Presiden. Sedang kasus Bruneigate melibatkan pemberian hadiah berupa sejumlah
uang yang diberikan oleh pihak Sultan Brunei kepada Presiden Abdurrahman Wahid.
Para musuh Abdurrahman Wahid menuduh dirinya tidak melaporkan pemberian hadiah
itu kepada publik dan ia dianggap telah melanggar sumpah jabatan. Dan
sebaliknya, Presiden Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa uang tersebut adalah
hibah dari pihak Sultan Brunei kepada dirinya sebagai pribadi.
Ketegangan
Abdurrahman Wahid dengan DPR ditandai dengan dikeluarkannya memorandum I dan
memorandum II oleh DPR, walaupun Abdurrahman Wahid menuduh Pansus sebagai
ilegal karena tidak tercantum dalam lembaran Negara. Atas dasar hasil-hasil
kerja Pansus, DPR menyatakan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid “dapat diduga
terlibat dalam kasus bullogate dan bruneigate.”
Dengan mengambil kesimpulan bahwa Abdurrahman Wahid sungguh-sungguh melanggar
haluan Negara. Bagi Abdurrahman Wahid, Logika DPR itu terasa aneh karena
sesuatu yang masih bersifat dugaan, tetapi telah dimanipulasi sebagai
“sungguh-sungguh melanggar haluan Negara.” Presiden
Abdurrahman
Wahid sendiri dengan kasus buloggate dan bruneigatenya belum di bawa ke
pengadilan, karena secara hukum Presiden Abdurrahman Wahid belum dinyatakan
bersalah. Selama pemerintahan Abdurrahman Wahid bertahan 22 bulan, banyak
kebijakan-kebijakan Presiden yang mengalami delegitimasi politik dan sosial
yang mengakibatkan Presiden Abdurrahman Wahid lengser dari jabatannya,
diantaranya adalah:
1.
Kebijakan
Presiden Abdurrahman Wahid yang menghapus Departemen sosial dan pembubaran
Departemen penerangan. Dalam pandangan Abdurrahman Wahid Departemen sosial
hanya sebagai sarang berbagai penyimpangan, seperti korupsi dan dana bantuan
kemanusiaan yang tidak sampai secara utuh kepada para korban bencana alam atau
para pengungsi yang di daerahnya terjadi konflik sosial. Sedangkan Departemen
penerangan di anggap sering diperalat untuk mendistorsi berbagai pemberitaan
yang hanya menguntungkan kepentingan para penguasa orde baru.
2.
Dicabutnya Tap
MPRS No. XXV/1966 tentang larangan penyebaran ajaran komunisme, marxisme,
leninisme di seluruh wilayah Indonesia.
3.
Membuka
hubungan dagang (bukan hubungan diplomatik) dengan Negara zionis Israel
4.
Pencopotan
beberapa menteri dan bongkar pasang kabinet. salah satunya adalah Kwik Kian Gie
dari Fraksi PDI-P, Laksamana Sukardi dari Fraksi PDI-P, Yusuf Kalla dari Fraksi
GOLKAR, Bambang Soedibjo dari PAN, Jend. Wiranto (TNI/Menko polkam) dan Hamzah
Haz dari Fraksi PPP, yang kemudian di susul dengan Susilo Bambang Yudhoyono
(TNI/Menko Polsoskam) dan Yusril Ihza Mahendrata dari Fraksi PBB.
5.
Sikap
Presiden Abdurrahman Wahid yang sering meninggalkan Megawati Soekarno putri
(Wapres), terutama dalam hal kebijakan memberhentikan beberapa menteri dan
mengangkat para penggantinya.
6.
Hubungan
Presiden Abdurrahman Wahid yang tidak harmonis dengan DPR-MPR.
7.
Tindakan
Presiden Abdurrahman Wahid yang melakukan penggantian Kapolri dalam waktu yang
relatif singkat.
8.
Ancaman
Presiden Abdurrahman Wahid untuk memberlakukan dekrit Presiden apabila kompromi
politik antara dirinya (sebagai Presiden) dengan para pemimpin partai politik
tidak tercapai.
9.
Penolakan
para pemimpin partai-partai politik (terutama PDIP, Golkar, PAN, PBB, dan PK)
terhadap tawaran kompromi yang diajukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid untuk
mencairkan kebekuan dan kebuntuan politik akibat ketegangan yang berkepanjangan
antara Presiden Abdurrahman Wahid dan para musuh politiknya.
10. Dukungan TNI/Polri (sebagai institusi) yang dari
waktu ke waktu kian menyusut terhadap Presiden Abdurrahman Wahid. Akan tetapi
setelah Presiden Abdurrahman Wahid melakukan tindakan pencopotan terhadap Menko
Polkam Wiranto, Kapolri Rusdiharjo dan Suroyo Bimantoro dan kemudian Menko
Polsoskam Susilo Bambang Yudhoyono, dukungan TNI/Polri semakin menipis dan
bahkan tidak ada sama sekali. Ini terbukti bahwa TNI/Polri tidak akan mendukung
apabila Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan dekrit.
Pada masa
kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun belum ada tindakan yang cukup
berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai
persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN,
pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat
skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat.
Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa
pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, hubungan pemerintah Indonesia dibawah
pimpinan Abdurrahman Wahid dengan IMF juga tidak baik, terutama karena masalah
amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi
daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar
negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya. Tidak
tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuannya kepada
pemerintah Indonesia, padahal roda perekonomian nasional saat ini sangat
tergantung pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut
oleh Paris Club (negara-negara donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa
Indonesia dengan kondisi perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit
keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali
utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan,
Bank Dunia juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika
kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
Ketidak stabilan politik dan sosial yang tidak
semakin surut selama pemerintahan Abdurrahman Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia. Ditambah lagi
dengan memburuknya hubungan antara pemerintah Indonesia dan IMF. Hal ini
membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan
kegiatan bisnis atau menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya, kondisi
perekonomian nasional pada masa pemerintahan reformasi cenderung lebih buruk
daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan, lembaga pemeringkat internasional
Moody’s Investor Service mengkonfirmasikan bertambah buruknya country risk
Indonesia. Meskipun beberapa indikator ekonomi makro mengalami perbaikan, namun
karena kekhawatiran kondisi politik dan sosial, lembaga rating lainnya (seperti
Standard & Poors) menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil
ke negatif.
Kalau
kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi
Indonesia akan mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya,
bahkan bisa kembali negatif. Pemerintah tidak menunjukkan keinginan yang
sungguh-sungguh (political will)
untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and for all. Pemerintah cenderung
menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap persoalannya hanya
terbatas pada agenda masalah amandemen UU Bank Indonesia, desentralisasi
fiskal, restrukturisasi utang, dan divestasi BCA dan Bank Niaga. Munculnya
berbagai kebijakan pemerintah yang controversial
dan inkonsistens, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan
KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar
negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya sense
of crisis terhadap kondisi riil perekonomian negara saat ini. Fenomena makin
rumitnya persoalan ekonomi
ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi. Pergerakan
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000
hingga 8 Maret 2001 menunjukkan growth
trend yang negatif. Dalam perkataan
lain, selama periode tersebut IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin yang
disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian
dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan semakin tidak
percayanya pelaku bisnis dan masyarakat terhadap prospek perekonomian
Indonesia, paling tidak untuk periode jangka pendek indikator kedua yang
menggambarkan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis dan masyarakat terhadap
pemerintah reformasi adalah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Seperti yang dapat kita lihat pada grafik di bawah ini, pada awal tahun 2000
kurs rupiah sekitar Rp7.000,- per dolar AS dan pada tanggal 9 Maret 2001
tercatat sebagai hari bersejarah sebagai awal kejatuhan rupiah, menembus level
Rp10.000,-per dolar AS. Untuk menahan penurunan lebih lanjut, Bank Indonesia
secara agresif terus melakukan intervensi pasar dengan melepas puluhan juta
dolar AS per hari melalui bank-bank pemerintah. Namun, pada tanggal 12 Maret
2001, ketika Istana Presiden dikepung para demonstran yang menuntut Presiden Gus
Dur mundur, nilai tukar rupiah semakin merosot.
Pada bulan
April 2001 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat menyentuh Rp12.000,- per
dolar AS. Inilah rekor kurs rupiah terendah sejak Abdurrahman Wahid terpilih
sebagai Presiden Republik Indonesia. Lemah dan tidak stabilnya nilai tukar
rupiah tersebut sangat berdampak negatif terhadap roda perekonomian nasional
yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa membawa Indonesia ke krisis
kedua yang dampaknya terhadap ekonomi, sosial, dan politik akan jauh lebih
besar daripada krisis pertama. Dampak negatif ini terutama karena dua hal.
Pertama, perekonomian Indonesia masih sangat tergantung pada impor, baik untuk
barang-barang modal dan pembantu, komponen dan bahan baku, maupun barang-barang
konsumsi. Kedua, utang luar negeri (ULN) Indonesia dalam nilai dolar AS, baik
dari sektor swasta maupun pemerintah, sangat besar. Indikator-indikator lainnya
adalah angka inflasi yang diprediksi dapat menembus dua digit dan cadangan
devisa yang pada minggu terakhir Maret 2000 menurun dari 29 milyar dolar AS
menjadi 28,875 dolar AS.
Rangkuman keadaan sistem ekonomi Indonesia pada
masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid memiliki karakteristik sebagai
berikut:
•
Dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai mengarah pada
perbaikan, di antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju inflasi dan
tingkat suku bunga yang rendah, sehingga kondisi moneter dalam negeri juga
sudah mulai stabil.
•
Hubungan
pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga kurang baik, yang
dikarenakan masalah, seperti Amandemen UU No.23 tahun 1999 mengenai bank
Indonesia, penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah untuk pinjam uang dari
luar negeri) dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda.
•
Politik dan
sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor asing menjadi
enggan untuk menanamkan modal di Indonesia.
•
Makin
rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) yang cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300 poin,
dikarenakan lebih banyaknya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian
dalam perdagangan saham di dalam negeri.
Pada masa
kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup
berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai
persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN,
pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat
skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat.
Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
- Pemerintahan
Presiden Megawati Soekarnoputri
Setelah diangkat menjadi presiden dalam sidang
istimewa MPR tahun 2001, Megawati membentuk kabinet yang dinamakan Kabinet
Gotong Royong. Langkah langkah Politik Presiden Megawati antara lain:
1.
Memelihara
dan memantapkan stabilitas Nasional.
Usaha ini dilakukan dengan meningkatkan kerukunan antar sesama anak
bangsa dan membenahi stabilitas ekonomi. Usaha Megawati ini mendapat pukulan
berat akibat peristiwa Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002.
2.
Menjaga
keutuhan NKRI
Usaha ini dilakukan dengan menindak tegas terhadap
gejala-gejala daerah, yang akan memisahkan diri; misalnya kasus Aceh, Papua,
Maluku, Poso, dan lain-lain
3.
Membangun
tatanan politik baru
Usaha ini dilakukan dengan mengeluarkan
undang-undang baru yakni:
a. UU No. 12 Tahun 2003 tentang pemilihan umum.
b. UU No. 22 Tahun 2003 tentang susunan dan
kedudukan DPR/MPR
c. UU No. 23 Tahun 2003 tentang pemilihan presiden
dan wakil presiden
Di samping itu, Megawati juga mendukung dana, tenaga, dan sumber daya
lain untuk suksesnya penerapan UU tersebut. Segi yang lain, PNS dan TNI
diharuskan netral dari politik.
4.
Melanjutkan
amandemen UUD 1945Untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan dinamika
masyarakat, maka dilakukan amandemen terhadap UUD 1945. Amandemen ini dilakukan
melalui empat tahap. Amandemen ke-1 dan ke-2 telah disahkan masa pemerintahan
sebelumnya, sedang amandemen ke-3 dan ke-4 disahkan masa pemerintahan Megawati.
5.
Meluruskan
otonomi daerah
Otonomi yang diterapkan di Indonesia sering menimbulkan penafsiran yang keliru,
sehingga menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan pemerintahan, antara
lain:
a. Timbulnya wacana ingin memisahkan dengan NKRI.
b. Timbulnya daerahisme.
c. Menolak aturan-aturan dari pemerintah pusat dan
Penyimpangan penggunaah dana APBD.
Menyadari
hal itu, maka pemerintah Megawati berusaha untuk meluruskan aturan otonomi
daerah yang terdapat pada Undang-Undang No. 22 Tahun 7999. Kebijakan-kebijakan
yang dilakukan oleh Megawati dalam bidang ekonomi antara lain:
a.
Memutuskan
hubungan kerja dengan IMF
b.
Melakukan
restrukturisasi dan reformasi sektor keuangan dengan melakukan pembaruan
ketentuan perundang-undangan
c.
Meningkatkan
pendapatan melalui pajak, cukai, dan kepabeanan.
d.
Menciptakan
situasi kondusif bagi investor
e.
Meningkatkan
kegiatan ekspor.
f.
Mendorong kemajuan
usaha kecil dan menengah
g.
Meningkutkan
pemanfaatan sumber daya kelautan
Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan
adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh
untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
·
Meminta
penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club
ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
·
Kebijakan
privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode
krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-
kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil
menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini
memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan
asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi.
Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk
menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
- Pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Pada periode
kepemimpinannya yang pertama, SBY membentuk Kabinet Indonesia Bersatu yang
merupakan kabinet pemerintahan Indonesia pimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono bersama Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Kabinet Indonesia
Bersatu dibentuk pada 21 Oktober 2004 dan masa
baktinya berakhir pada tahun 2009. Pada 5 Desember 2005, Presiden Yudhoyono melakukan perombakan kabinet
untuk pertama kalinya, dan setelah melakukan evaluasi lebih lanjut atas kinerja
para menterinya, Presiden melakukan perombakan kedua pada 7 Mei 2007. Seperti Pembentukan Kabinet Bersatu jilid II
Pada periode
kepemimpinannya yang kedua, SBY membentuk Kabinet Indonesia Bersatu II yang
merupakan kabinet pemerintahan Indonesia pimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono bersama Wakil Presiden Boediono. Susunan kabinet ini berasal
daru usulan partai politik pengusul pasangan SBY-Boediono pada Pilpres 2009 yang mendapatkan kursi di DPR
(Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB) ditambah Partai Golkar yang
bergabung setelahnya, tim sukses pasangan SBY-Boediono pada Pilpres
2009, serta kalangan profesional. Susunan Kabinet Indonesia Bersatu II
diumumkan oleh Presiden SBY pada 21 Oktober 2009 dan dilantik sehari
setelahnya. Pada 19 Mei 2010, Presiden SBY mengumumkan pergantian Menteri
Keuangan. Pada tanggal 18 Oktober 2011, Presiden SBY mengumumkan perombakan
Kabinet Indonesia Bersatu II, beberapa wajah baru masuk ke dalam kabinet dan
beberapa menteri lainnya bergeser jabatan di dalam kabinet.
Konsep Trias Politika (Eksekutif, Legislatif,
Yudikatif) pada masa pemerintahan SBY mengalami perubahan progresif, dimana
konsep tersebut berusaha menempatkan posisinya berdasarkan prinsip structural Sistem Politik Indonesia,
yakni berdasarkan kedaulatan rakyat. Pada masa pemerintahan SBY, hal tersebut
benar-benar terimplementasikan, dimana rakyat bisa memilih secara langsung
calon wakil rakyat melalui Pemilu untuk memilih anggota dewan legislaif, dan
Pilpres untuk pemilihan elit eksekutif, sekalipun untuk elit yudikatif,
pemilihannya masih dilakukan oleh DPR dengan pertimbangan presiden. Di
Indonesia sendiri, selama masa pemerintahan SBY di tahun 2004-2009, sistem
kepartaian mengalami perubahan yang signifikan, dimana partai politik bebas
untuk didirikan asalkan sesuai dengan persyaratan dan ketentuan yang berlaku,
serta tidak menyimpang dari hakikat Pancasila secara universal. Masyarakat
Indonesia pun dapat memilih calon wakil rakyat pilihan mereka secara langsung,
hal tersebut tentu menunjukan apresiasi negara terhadap hak dasar bangsa secara
universal dalam konteks pembentukan negara yang demokratis.
Kebijakan kontroversial pertama presiden
Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga
BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran
subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta
bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan kontroversial
pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung
Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang
berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial. Kebijakan yang
ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan
pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta
mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah
satunya adalah diadakannya Indonesian
Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan
para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama
untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah
yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor
asing, yang salah satunya adalah revisi undang- undang ketenagakerjaan. Jika
semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja
juga akan bertambah. Pada pertengahan bulan Oktober 2006,Indonesia melunasi
seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka
diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan
kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negeri kembali
mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk
kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa
di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006 (Rachbini,
2001).
Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara
lain karena pengucuran kredit perbankan ke sektor riil masih sangat kurang
(perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI),sehingga kinerja sektor riil
kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan
terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya
serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah
berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi dilain pihak, kondisi dalam
negeri masih kurang kondusif.
- Pemerintahan
Presiden Joko Widodo
Sejak menempati kursi pemerintahan, Presiden
Joko Widodo baru menyelesaikan satu dari tiga tantangan yang dihadapinya.
Tantangan yang dimaksud adalah stabilisasi politik. Di bidang politik, Presiden
Joko Widodo harus diapresiasi, di mana euforia pertarungan lambat laun mulai di
bawah kontrol Presiden Joko Widodo. Kubu oposisi sudah mulai terpecah, mencair,
bahkan cenderung hanya Gerindra dan PKS yang jelas memposisikan diri sebagai
oposisi. Sisanya sudah abu-abu dan ada yang merapat ke pemerintah. Akan tetapi,
masalah stabilitas politik yang dihadapi justru berasal dari partai politik
pendukungnya. Meski memposisikan diri sebagai pendukung pemerintahan,
partaipartai tersebut kerap kali berbeda pandangan dengan sang presiden.
Kondisi ini membuat publik sempat mempertanyakan kemampuan Jokowi untuk
menghadapi kekuatan politik yang dihadapinya. Bukan hanya sekadar mengedepankan
integritas bersih yang diusungnya, tapi keberaniannya melawan setiap kekuatan yang
jelas-jelas ingin perlemah pemberantasan korupsi. Setelah itu, tampak bahwa
persaingan politik pasca Pilpres lalu belumlah hilang seutuhnya, masih berbekas
dan tersisa. Terlebih dalam ranah politik formal institusi kepartaian
mengelompok dalam koalisi pro dan kontra pemerintah, dalam analogi Indonesia
Hebat dan Merah Putih.
Dapat
dilihat bahwa kepentingan sesaat memang menjadi hal yang mencolok, karena kawan
dan lawan sulit dibedakan bahkan bisa bertemu untuk kepentingan temporer. Satu
yang pasti, presiden tampak mulai bersitegang dengan partai pengusungnya.
Kemampuan relasional presiden dengan partai pendukung perlu kembali dibenahi.
Memang pada awal pemerintahan, Presiden Joko Widodo sudah dihadapkan pada
konflik politik di parlemen. Konflik tersebut membelah parlemen menjadi dua
kutub politik yang berseberangan, yakni kubu KMP dan KIH. Belum lagi, juga ada
konflik di internal Partai Golkar dan PPP yang pada akhirnya juga melibatkan
pemerintah untuk menyelesaikannya. Tarik menarik kepentingan politik ini tentu
menguras waktu dan energi Pemerintah dan DPR sendiri. Akibatnya, program
Pemerintah dan DPR tertunda. Target Pemerintah bersama DPR untuk membahas dan
menyetujui rancangan undang-undang menjadi undang-undang masih sangat jauh dari
target. Namun, konflik yang terjadi di parlemen akhirnya untuk sementara bisa
dicairkan dengan berbagai pendekatan politik yang dilakukan oleh Jokowi-JK.
Jokowi-JK juga dihadapkan pada konflik suku,
agama, ras dan antar-golongan (SARA) hingga isu terorisme dan bangkitnya komunisme.
Konflik dan isu tersebut turut mewarnai dinamika sosial politik selama satu
tahun pemerintahan Jokowi-JK. Untung saja, permasalahan tersebut bisa
diselesaikan dengan baik oleh pemerintah. Keadaan politik di atas tentunya ikut
berpengaruh pada kecepatan gerak Presiden Joko Widodo dalam menjalankan
kebijakan-kebijakan politiknya bagi kepentingan masyarakat. Pada aspek jalannya
roda pemerintahan, para menteri nampak berjalan cepat, sesuai gerak institusi
yang dikelolanya, meski kerap bersinggungan dan bergesekan satu dengan yang
lain, memperlihatkan ketidakharmonisan para penyelenggara negara. Tentu, dalam
persoalan ini Leadership Skill Presiden perlu dikuatkan, mengatur fungsi dan
kedudukan para menteri sebagai pelaksana tugas pemerintahan sesuai dengan
bidang kerjanya.[2]
Masih terkait kabinet, sebetulnya tidak hanya
faktor kinerja menteri yang menjadi sorotan masyarakat, tetapi juga pada siapa
yang menduduki jabatan menteri itu. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa
penyusunan kabinet tidak semata berdasarkan transaksi politik semata, dengan
mengorbankan faktor keahlian para Menteri itu sendiri di bidangnya, serta track record mereka yang baik. Pada
awalnya, Presiden Joko Widodo sebetulnya telah menciptakan sinyal-sinyal
kelembagaan ekonomi dan politik yang inklusif kepada masyarakat. Meski
dilingkupi aktor-aktor yang tidak bebas kepentingan, Jokowi tetap bergeming
memegang teguh prinsip non transaksional. Dalam tradisi politik transaksional,
proses pencalonan presiden, maka orang-orang ataupun partai politik pendukung
yang masuk dalam lingkaran tim kampanye bisa dipastikan mendapatkan
jatah/posisi menteri, jabatan ataupun konsesi ekonomi lainnya. Semuanya sebagai
timbal balik/balas budi atas jasa merebut kursi kepresidenan. Namun Presiden
Joko Widodo tidak menerapkan tradisi tersebut. Presiden Joko Widodo sangat
selektif dan cerdas memilih calon-calon pembantunya dengan melacak track record hingga pada catatan
transaksi rekening orang yang digadang akan menjadi menteri dalam jajaran
kebinetnya. KPK dan PPATK dijadikannya sebagai lembaga yang akan membantunya
menfilter kebersihan calon menterinya dari perkara korupsi. Cara ini cukup
efektif untuk mengurungkan ambisi para koruptor masuk dalam lingkar kuasa
kepresidenan tanpa “ngasorake” orang-orang yang dulu mendukungnya dalam proses
pilpres. Namun, dalam perkembangan terakhir, dalam penentuan jabatan menteri,
Presiden Joko Widodo tampak seperti terjebak dalam politik transaksional.
Presiden terlihat dalam kondisi dilematis dan tersandera baik oleh parpol pendukungnya
sendiri bahkan kepentingan wakilnya sendiri. Hal ini tentunya tidak sejalan
dengan ekspektasi publik agar menteri yang diangkat bisa bekerja secara optimal
untuk kepentingan rakyat. Hal yang tampak menonjol (terutama dalam masa 100
hari pertama pemerintahan) adalah usaha Presiden Joko Widodo dalam menertibkan
sektor minyak bumi, begitu ia melantik kabinetnya. Langkah ini menunjukkan
bahwa Presiden Joko Widodo memahami benar bahwa minyak bumi tidak sekedar
barang ekonomi melainkan juga sudah menjadi komiditas politik. Kebijakan
berikutnya adalah, Presiden Joko Widodo menyatakan
pentingnya sektor pertanian, pembangunan infrastruktur, jaringan jalan, tol
laut, dan sejumlah mega proyek lainnya. Kebijakan peluncuran Kartu Indonesia
Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Indonesia Sejahtera, merupakan hal
yang patut diapresiasi.
Di bidang
lain, pemerintah juga terus membangun konsolidasi birokrasi agar instruksi dari
pusat bisa langsung dieksekusi oleh para aparat di daerah. Untuk mengubah
mental seluruh aparat baik di pusat maupun di daerah, tidak bisa dilakukan
dengan seketika. Pengamat politik dari Charta Politica, Yunarto Wijaya juga
menilai bahwa pemerintahan Jokowi-Kalla memang sedang dalam tahap membenahi
sejumlah masalah fundamental. Oleh karena itu, tantangan terberat Jokowi-Kalla
adalah melawan dan menghadapi “arus besar” yang menginginkan pelemahan dalam
pemberantasan korupsi.
Di bidang
penegakan hukum dan HAM, Presiden Joko Widodo telah memberikan grasi kepada
sejumlah orang yang selama ini bergabung dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM),
pelaksanaan eksekusi mati terhadap para gembong narkoba yang sudah memasuki
tahap kedua, melaksanakan reformasi birokrasi berdasarkan ketentuan dalam UU
Aparatur Sipil Negara (ASN), walaupun belum maksimal, membekukan sejumlah
perguruan tinggi swasta (PTS) ilegal, mendukung sepenuhnya langkah KPK
memberantas korupsi bersamasama aparat penegak hukum. Di bidang politik,
walaupun pada awalnya pemerintahan Jokowi - Jusuf Kalla dihadapkan kepada
beragam 'gangguan politik' mulai dari "rivalitas yang tidak
berkesudahan" antara Koalisi Merah Putih (KMP) dengan Koalisi Indonesia
Hebat (KIH), namun pada akhirnya Presiden Joko Widodo berhasil mempertahankan
terjalinnya komunikasi politik dengan parlemen, bahkan ada kecenderungan
positif KMP mulai mengurangi tekanan-tekanan politiknya seiring dengan misi
pemerintahan Jokowi-JK untuk menyejahterakan masyarakat berjalan pada rel yang
benar dan dinilai baik oleh KMP.
Presiden
Joko Widodo juga melakukan reshuffle kabinet terhadap para menterinya yang
'lamban' bekerja dan diyakini reshuffle kabinet tidak akan berhenti dilakukan
Jokowi sebagai langkah punish and reward
serta evaluasi terus menerus. Selanjutnya adalah terkait kedaulatan maritim.
Inilah untuk pertama kalinya pemerintahan Indonesia melihat ke laut, kawasan
yang selama ini terabaikan. Selama ini laut Indonesia yang meliputi sekitar 2/3
luas wilayah Indonesia lebih banyak menyejahterakan bangsa lain daripada bangsa
Indonesia sendiri.
Tantangan yang yang dihadapi Presiden Jokowi
dibidang ekonomi tidaklah mudah. Paket Kebijakan Ekonomi yang dikeluarkan sejak
9 September 2015, berupaya untuk menyentuh berbagai aspek. Tujuannya untuk
menangkal perlambatan ekonomi yang disebabkan oleh kondisi ekonomi global dan
domestik dengan cara memperbaiki struktur ekonomi yang lebih kondusif bagi
berkembangnya industri, kepastian berusaha di bidang perburuhan, kemudahan
investasi, memangkas berbagai perizinan serta memperluas akses masyarakat untuk
mendapatkan kredit perbankan (ekon.go.id). Terdapat beberapa kebijakan Jokowi
dalam segi ekonomi:
-
Kebijakan
penyelamatan ekonomi tahap I yang berfokus pada tiga hal besar, yakni
meningkatkan daya saing industri, mempercepat proyek-proyek strategis nasional,
dan mendorong investasi di sektor properti. Menurut Jokowi, pemerintah dan Bank
Indonesia (BI) sebelumnya telah melakukan upaya stabilisasi fiskal dan moneter,
termasuk di dalamnya adalah pengendalian inflasi. Sinergi kebijakan ini
dilakukan guna menggerakkan mesin pertumbuhan ekonomi, antara lain dengan
mendorong percepatan belanja pemerintah dan juga melakukan langkah-langkah
penguatan neraca pembayaran.
-
Melindungi
masyarakat dan menggerakkan ekonomi pedesaan. Antara lain dengan memberdayakan
usaha mikro dan kecil dengan menyalurkan kredit usaha rakyat (KUR) dengan
tingkat suku bunga yang rendah. Bunga KUR yang dulunya 22-23 persen
(diturunkan) menjadi 12 persen. Untuk mendorong pembangunan infrastruktur di
desa, lanjut presiden, pemerintah juga mengupayakan percepatan pencairan dan
penyederhanaan pemanfaatan dana desa.
Kebijakan
ekonomi tambahan untuk meningkatkan daya saing industri, mempercepat
proyek-proyek strategis nasional, dan mendorong investasi di sektor properti.
Untuk mendorong daya saing industri, Jokowi menyebutkan terdapat 89 peraturan
dari 154 regulasi yang sifatnya menghambat daya saing industri akan dirombak.
kebijakan deregulasi ini diharapkan presiden dapat menghilangkan tumpang tindih
aturan dan duplikasi kebijakan. Terkait percepatan proyek strategis nasional,
Jokowi memastikan pemerintah akan menghilangkan berbagai hal yang selama ini
menyumbat pelaksanaannya
-
Pemerintah
akan mendorong pembangunan rumah bagi masyarakat berpendapatan rendah serta
membuka peluang investasi yang lebih besar di sektor properti. Ia ingin
menekankan di sini bahwa paket kebijakan ekonomi ini bertujuan untuk
menggerakkan kembali sektor riil kita yang akhirnya memberikan fondasi
pelompatan kemajuan perekonomian kita ke depannya.
Beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan
pemerintah untuk mendorong perbaikan ekonomi antara lain, Di bidang
perdagangan, pemerintah telah meluncurkan Indonesia
National Single Window (INSW) yang diperbarui, sehingga siapa pun dapat
memantau keluar-masuk barang ekspor-impor melalui satu sistem.
Dengan demikian akurasi data dan informasi
kepabeanan dapat dipertanggung-jawabkan dengan transparan atau dapat diakses
oleh semua pihak yang berkepentingan. Semua perizinan, dokumen, data, dan
informasi lain yang diperlukan dalam pelayanan dan pengawasan kegiatan ekspor
impor dan distribusi kini sudah harus dilakukan melalui Indonesia Nasional Single Window (INSW). Melalui INSW, tidak akan
ada lagi proses birokrasi yang dilakukan secara manual dan tatap muka yang
selama ini menjadi hambatan kelancaran arus barang, bahkan membuat distorsi
yang membebani daya saing industri dan melemahkan daya beli konsumen.
Di bidang energi, pemerintah telah menurunkan
harga solar sebesar Rp 200 pada Oktober 2015 ini. Selain itu, pemerintah juga
mendorong nelayan untuk beralih dari penggunaan bahan bakar solar menjadi bahan
bakar gas. Di bidang perbankan, pemerintah memberikan akses yang lebih luas
bagi masyarakat, terutama golongan kelas menengah-bawah untuk mendapatkan akses
ke sistem perbankan melalui fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga
rendah, yakni 12 persen. Tak cuma itu, melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
(LPEI) untuk mendukung UKM yang berorientasi ekspor atau yang terlibat dalam
produksi untuk produk ekspor, pemerintah juga memberikan fasilitas pinjaman
atau kredit modal kerja dengan tingkat bunga yang lebih rendah dari tingkat
bunga komersial. Fasilitas ini terutama diberikan kepada perusahaan padat karya
dan rawan PHK. Untuk menarik investor, terobosan kebijakan yang dilakukan
pemerintah adalah memberikan layanan cepat dalam bentuk pemberian izin
investasi dalam waktu 3 jam di Kawasan Industri. Dengan mengantongi izin
tersebut, investor sudah bisa langsung melakukan kegiatan investasi. Kriteria
untuk mendapatkan layanan cepat investasi ini adalah mereka yang memiliki
rencana investasi minimal Rp 100 miliar dan atau rencana penyerapan tenaga
kerja Indonesia di atas 1,000 (seribu) orang.
Di bidang
fiskal, pemerintah menyediakan fasilitas pengurangan pajak penghasilan (PPh)
badan mulai dari 10 hingga 100 persen untuk jangka waktu 5-10 tahun (tax holiday). Persyaratan penerima tax holiday adalah wajib pajak baru yang
berstatus badan hukum, membangun industri pionir dengan rencana investasi
minimal Rp 1 triliun, rasio utang terhadap ekuitas (debt equity ratio) 1:4, serta mengendapkan dana di perbankan
nasional minimal 10 persen dari total rencana investasi hingga realisasi
proyek. Yang disebut industri pionir meliputi industri logam hulu, pengilangan
minyak bumi, kimia dasar organik, industri permesinan, industri pengolahan
berbasis pertanian, kehutanan dan perikanan, industri telekomunikasi, informasi
dan komunikasi, transportasi kelautan, industri pengolahan di Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK), dan infrastruktur. Insentif fiskal lainnya yang ditawarkan
pemerintah adalah pengurangan penghasilan netto sebesar 5 persen setahun selama
enam tahun sebagai dasar pengenaan PPh badan (tax allowance). Fasilitas ini berbeda dengan tax holiday karena tidak mengurangi tarif PPh badan sebesar 25
persen, tetapi mengurangi penghasilan kena pajak maksimal 30 persen selama enam
tahun. Tax allowance juga
memperhitungkan penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, pemberian tambahan
jangka waktu kompensasi kerugian, serta mengurangi 10 persen tarif PPh atas
dividen yang dibayarkan kepada wajib pajak di luar negeri.
Pada sektor perburuhan, kebijakan untuk
menerapkan formula pada penghitungan Upah Minimum juga disambut baik karena
memberikan kepastian, baik kepada pengusaha maupun buruh, tentang kenaikan upah
yang bakal diterima buruh setiap tahun dengan besaran yang terukur. Beberapa
contoh deregulasi yang telah dilakukan itu menunjukkan konsistensi pemerintah
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui berbagai upaya penyederhanaan
peraturan dan perizinan, kemudahan berinvestasi, serta mendorong daya saing
industri. Pada saat yang sama, pemerintah juga terus berupaya meningkatkan
kegiatan produktif dan daya beli masyarakat melalui berbagai kebijakan yang pro
rakyat. Bersama-sama BI dan Otoritas jasa Keuangan, pemerintah bekerja dan
hadir untuk memulihkan kepercayaan pas.
H.
Partai Politik di Indonesia
Partai politik
merupakan salah satu pilar dari demokrasi yang memainkan peranan penting dalam
proses penyelenggaraan negara.[3] Partai
politik merupakan bentuk dari partisipasi politik masyarakat secara langsung
dengan melibatkan diri dalam perebutan kekuasaan politik di masing-masing
negara berbeda-beda. Partai politik pertama-tama lahir pada zaman kolonial,
seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah yang merupakan gerakan partai politik
tertutup, sedangkan Sarekat Islam, Partai Katolik, Partai Nasional Indonesia,
dan Partai Komunis Indonesia merupakan partai terbuka. Pada dasarnya, semua
partai politik yang ada merupakan personifikasi keragaman budaya politik di
Indonesia, yang dilahirkan melalui kebudayaan multipartai. Pada masa pendudukan
Jepang, semua partai lama dibubarkan dan setiap kegiatan plitik dilarang. Hanya
golongan Islam yang diperkenankan untuk membentuk suatu organisasi sosial yang
dinamakan Masjumi, disamping beberapa organisasi baru yang diprakarsai oleh
penguasa. Pada saat itu, sumber daya manusia dipaksa oleh Jepang untuk
membangun Asia Timur Raya.
Dalam masa revolusi fisik (1945-1949), partai-partai politik memainkan peran
penting dalam proses pembuatan keputusan. Wakil-wakil partai duduk dalam KNIP
dan kabinet kebanyakan terdiri dari wakil partai. Dalam masa ini, berbagai
kabinet menghadapi berbagai tantangan, baik dari luar maupun dari dalam,
misalnya dua Aksi Militer Belanda pada tahun 1947 serta 1948, dan pemberontakan
PKI pada tahun 1948. Partai-partai tidak selalu sepakat mengenai strategi
perjuangan untuk menghadapi pihak Sekutu, termasuk perundingan dengan Belanda
dan masalah-masalah lain. Setiap kali kabinet koalisi berubah. Sampai Aksi
Militer pada tanggal 19 Desember 1948 saat Presiden, Wakil Presiden serta
beberapa menteri ditangkap, ada delapan cabinet.[4] Kedaulatan negara
Indonesia baru diakui oleh dunia luar pada bulan Desember 1949, terutama sesudah
berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara pada bulan Agustus 1950. Pola kabinet
koalisi berjalan teru. Semua koalisi terdiri dari dua partai besar, yaitu
Masjumi dan PNI. Kabinet pertama dan kedua dibawah Undang-Undang Dasar 1950
dipimpin oleh Masjumi, yaitu Kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman, sedangkan
kabinet ketiga dan keempat dipimpin oleh PNI, yaitu Kabinet Wilopo dan Kabinet
Ali Sastroamidjojo. Di antara kabinet itu, ada yang hanya berjalan tujuh
setengah bulan, yaitu Kabinet Natsir (September 1950-April1951), sedangkan yang
paling lama (sampai pemilihan umum 1955) adalah kabinet yang dipimpin oleh Ali
Sastroamidjojo selama dua tahun (Agustus 1953-Agustus 1955). Akhirnya, kabinet
yang dipimpin oleh Burhanudin Harahap dari Masjumi berhasil menyelenggarakan
pemilihan umum pertama pada tahun 1955. Pemilihan umum 1955 yang
diselenggarakan dengan 100 tanda gambar menunjukan bahwa jumlah partai semakin
bertambah, dari 21 partai (ditambah wakil tak berfraksi) sebelum pemilu menjadi
28 (termasuk perseorangan). Hasil pemilihan menetapkan beberapa partai saja
yang memperoleh suara mayoritas, yaitu PNI (39 kursi), yang bersama-sama
menduduki 77% dari jumlah kursi dalam DPR. Partai-partai lainnya masing-masing
memperoleh satu sampai delapan kursi.
Kabinet pertamahasil pemilihan umum merupakan koalisi dari dua partai
besar, PNI dan Masjumi, beserta beberapa partai kecil lainnya, dipimpin oleh
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (II) dari PNI. PKI tetap diluar kabinet.
Kabinet Ali Sastroamidjojo hanya bertahan selama dua belas bulan (Maret
1956-April 1957). Setelah kabinet Ali Sastoamidjojo berakhir, Kabinet Djuanda
menggantikan posisinya. Kabinet ini bukan berasaln dari partai, artinya dari
nonpartai. Kabinet Djuanda disebut dengan Zaken Kabinet Ekstra-Parlementer atau
Kabinet Kerja yang bertahan selama dua tahun tiga bulan (25 April 1957-Juli
1959).
Demikian seterusnya, keadaan negara semakin kacau, meskipun berkali-kali
terjadi pergantian kabinet. Pemilu yang paling demokratis pun tetap tidak mampu
mewujudkan negara yang adil dan makmur. Soekarno sebagai Presiden
mengisyaratkan perlunya kembali kepada UUD 1945 untuk membangkitkan kesadaran
politik bangsa. Hingga akhirnya terbit Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tahun 1959
sampai dengan tahun 1965 dinyatakan sebagai zaman demokrasi terpimpin. Dalam
demokrasi terpimpin, kekuasaan negara didominasi oleh Presiden. Peran partai
politik dan lembaga legislatif tidak signifikan. Negara lebih besar didominasi
oleh kekuatan PKI dan Militer.
Presiden
Soekarno sebagai Kepala Negara menggelindingkan konsep demokrasi terpimpin
dengan membentuk lembaga-lembaga negara, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat
dan Dewan Pertimbangan Agung. Dan ia pun membentuk Dewan Nasional yang
anggotanya berasal dari kalangan buruh, petani, tokoh agama, militer,
pengusaha, tokoh wanita. Secara keseluruhan, jumlahnya ada 40 orang. Dewan
Nasional dibentuk sebagai bagian dari demokrasi terpimpin yang separuh dari
suara politik diperoleh dari kalangan masyarakat.
Dalam perjalanan sebagai
Kepala Negara di masa demokrasi terpimpin, Soekarno mengeluarkan Perpres No.
7/1959. Maklumat Pemerintah 3 November 1945 yang menganjurkan pembentukan
partai-partai dicabut dan ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
partai untuk diakui oleh pemerintah. Partai yang memenuhi syarat adalah PKI,
PNI, NU, Partai Katolik, Parrindo, Parkindo, Partai Murba, PSE Arudji, IPKI,
Partai Islam Perti. Bagi partai yang tidak memenuhi persyaratan secara otomatis
tersingkir, pada tahun 1960, partai politik jumlahnya hanya 10 partai. Soekarno
sebagai Presiden membentuk wadah-wadah yang berfungsi memobilisasi massa,
seperti dibentuknya Wadah Front Nasional pada tahun 1960, yang didalamnya ada
anggota yang berasal dari Partai Komunis Indonesia, militer (ABRI), dan
fungsionaris partai yang tidak mendapat jatah dalam partai yang memenuhi
persyaratan. Front Nasional menggabungkan seluruh kekuatan ideologis partai
politik. Oleh karena itu, disebut dengan NASAKOM, yaitu Nasionalis, Agama, dan
Komunis. Kesempatan itu dimanfaatkan sepenuhnya oleh PKI untuk melakukan
indoktrinasi komunismenya dan mengembangkan pengaruh-pengaruh gerakan
kepartaiannya yang berbasis komunis kepada masyarakat. PKI melakukan gerakan
yang tidak diduga sebelumnya oleh Soekarno, yakni Gestapu hingga tamatlah
kekuatan demokrasi terpimpin.
Partai Komunis Indonesia adalah penjahat ideologi dan pembunuh tanpa belas
kasihan. Para jenderal dibantai bahkan ada yang dikubur hidup-hidup. Hingga
lahirlah rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto melalui Surat Perintah 11
Maret yang diterimanya dari Presiden Soekarno. Orde Baru melalui TAP MPRS No.
XXV tahun 1966 membubarkan PKI dan membekukan Partindo yang telah menjalin
hubungan erat dengan PKL.
I.
Hubungan HTN dengan Ilmu
Negara dan Ilmu Politik
Istilah “Ilmu Negara” diambil dari istilah bahasa Belanda Staatsleer yang
berasal dari istilah bahasa Jerman, Staatslehre. Dalam bahasa
Inggris disebut Theory of State atau The General
Theory of State atau Political Theory, sedangkan dalam
bahasa PrancisdinamakanTheorie d’etat. Timbulnya istilah Ilmu Negara
atau Staatsleer sebagai istilah teknis adalah akibat
penyelidikan dari seorang sarjana Jerman bernama George Jellinek. Ia dikenal
sebagai Bapak Ilmu Negara. Ilmu negara adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
asas-asas pokok dan pengertian-penegrtian pokok tentang Negara dan Hukum Tata
Negara. Munculnya Ilmu Negara sebagai Ilmu Pengetahuan yang berdiri sendiri
adalah berkat jasa George Jellinek. Ia membagi ilmu kenegaraan menjadi dua bagian,
yaitu:
1.
Ilmu Negara dalam arti sempit ( staatwissenschaften )
2.
Ilmu Pengetahuan Hukum ( rechtwissenschaften )
Pengertian rechtwissenchaften menurut
Jellinek adalah Hukum Publik yang menyangkut soal kenegaraan, misalnya Hukum
Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana dan sebagainya. Menurutnya
hal penting dalam pembagian ilmu negara adalah bagian yang pertama, yaitu ilmu
kenegaraan dalam arti sempit. Ilmu kenegaraan dalam arti sempit mempunyai tiga
bagian, yaitu sebagai berikut:
a.
Beschreibende Staatswissenschaft
Sifat ilmu kenegaraan ini adalah deskriptif
yang hanya menggambarkan dan menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi yang
berhubungan dengan negara.
b.
Theoretische Staatswissenschaft
Ilmu kenegaraan ini mengadakan penyelidikkan lebih
lanjut dari bahan-bahan yang dikumpulkan oleh Beschreibende
Staatwissenschaft dengan mengadakan analisi-analisis dan memisahkan
mana yang mempunyai cirri-ciri yang khusus. Theoretische
Staatswissenschaftmengadakan penyusunan tentang hasil dan sistematis.
Inilah ilmu kenegaraan yang merupakan ilmu pengetahuan yang sebenarnya.
c.
Praktisch Staatswissenschaft
Ilmu pengetahuan yang tugasnya mencari upaya
bagaimana hasil penyelidikan Theoritissche Staatswissenschaft dapat
dilaksanakan di dalam praktik ilmu pelajaran-pelajaran yang diberikan itu
semata-mata mengenai hal-hal yang berguna untuk tujuan praktik.
Negara sebagai
objek tidak hanya dikaji di dalam ilmu negara, tetapi negara juga dijadikan
objek kajian Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Dalam Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi Negara, negara sebagai objeknya yang
menitikberatkan pada pengertian yang konkret. Artinya objek negara itu terikat
pada tempat, keadaan, dan waktu tertentu. Dalam tinjauannya, Jellinek melihat
negara dari sudut sosiologis dan yuridis, namun sebagaian besar dari uraiannya
berkisar dibidang yuridis. Selain itu, pendapat Jellinek dipandang kurang
dinamis karena kurang mengikuti atau memperhatikan perkembangan negara sebagai
salah satu bangunan masyarakat yang hidup dan saling memengaruhi dengan
bangunan lainnya. Hoerink mengatakan bahwa ilmu politik adalah semacam
sosiologis dari negara. Ilmu negara dan hokum tata negara menyelidiki kerangka
yuridis dari negara, sedangkan ilmu politik menyelidiki bagiannya yang ada
disekitar kerangka itu. Dengan penggambaran seperti itu, Hoetink ingin
menunjukkan betapa eratnya hubunngan antar ilmu negara dan ilmu politik
kedua-duanya mempunyai objek penyelidikan yang sama, yaitu negara. Perbedaan
nya hanya terletak pada metode yang digunakan. Ilmu negara menggunakan metode
yuridis sedangkan ilmu politik menggunakan metode sosiologis.
Barents menggambarkan
hubungan antara ilmu politik dan hokum tata negara dengan suatu perumpamaan
bahwa hokum tata negara adalah kerangkanya, sedangkan ilmu politik merupakan
daging yang ada di sekitarnya. Perbedaan antara ilmu negara dengan ilmu politik
adalah ilmu negara menitikberatkan pada sifat-sifat teoritis tentang asas-asas
pokok dan pengertian-pengertian pokok tentang negara. Oleh karena itu, ilmu
negara kurang dinamis. Sementara itu, ilmu politik lebih menitik beratkan pada
factor-faktor yang konkret, terutama berpusat pada gejala-gejala kekuasaan,
baik mengenai organisasi negara maupun yang memengaruhi pelaksanaan tugas-tugas
negara. Oleha Karen aitu, ilmu politik lebih dinamis dan hidup.
Berkaitan dengan
perbedaan antara ilmu negara dan ilmu politik, Herman Heller menyimpulkan
pembagian pendapat, yaitu sebagai berikut.
1.
Ada sarjana yang mengganggap ilmu politik sebagai bahas keadaan
dalam kenyataan, sedangkan ilmu negara dinamakan ilmu pengetahuan teoretis yang
sangat mementingkan segi normative.
2.
Ada segolongan sarjana yang mengganggap bahwa ilmu politik
mementingkan sifat-sifat dinamis dari negara, yaitu proses-proses
kegiatan dan aktivitas negara. Perubahan negara yang terus-menerus yang
disebabkan oleh golongan-golongan yang memperjuangkan kekuasaan. Subjek ilmu
politik ialah gerakan-gerakan dan kekuatan-kekuatan dibelakang evolusi yang
terus-menerus. Sebalinya, ilmu negara dianggap lebih mementingkan segi-segi
statis dari negara, seolah-olah negara adalah beku dan membatasi diri pada
penelitian lembaga kenegaraan yang resmi.
3.
Ilmu negara dianggap lebih tajam konsep-konsep nya dan lebih
tentang metodologinya, tetapi ilmu politik dianggap lebih konkret dan lebih
mendekati realita.
4.
Perbedaan yang praktis ialah ilmu negara lebih mendapat
perhatian dari ahli hukum, sedangkan ahli-ahli sejarah dan sosiologi lebih
tertatik kepada ilmu politik.
Ilmu negara yang
merupakan ilmu pengetahuan yanag menyelidiki pengertian-pengertian pokok dan
sendi-sendi pokok negara dapat memberikan dasar-dasar teoritis yang bersifat
umum untuk hukum tata negara. Oleh karena itu, hukum tata negara tidak dapat
dipelajari secara ilmiah dan teratur sebelum terlebih dahulu dipelajari
pengetahuaan tentang pengertian-pengertian pokok dan sendi-sendi pokok pada
negara umumnya.
Maka ilmu negara dapat
memberikan dasar-dasar teoretis untuk hukum tata negara yang positif. Hukum
tata negara merupakan penerapan atau pelerapan di dalam kenyataan-kenyataan
konkret dari bahan-bahan teoretis yang dihasilkan oleh ilmu negara. Oleh karena
itu , ilmu hukum tata negara mempunyai sifat praktis appliedscience yang
bahan-bahan nya diselidiki, dikumpulkan dan disediakan oleh pure
science ilmu negara.
J.
Kecenderungan Kajian
Politik di Masa Lampau
Plato (427-347 SM)
bisa di pandang sebai bapak filsafat politik dan Aristoteles sebagai bapak ilmu
politik, sekurang-kurangnya di Barat. Keduanya memandang negara dari perspektif
filosof yang melihat semua ilmu pengetahuan merupakan satu kesatuan yang utuh. Namun,
berbeda dengan Plato, Aristoteles jauh lebih memberikan dukngan atas
generalisasi dan preferensi nilainya melalui fakta yang dapat di amati dengan
nyata (sebagai pengganti wawasan intuisifnya Plato). Sejarah politik
negara-kota Yunani menurut Aristoteles menggambarkan suatu negara yang paling
stabil an yang paling banyakmemberikan fasilitas bagi individu untuk
mengembangkan kemampuan rasionalnya suatu negara yang pemilikan kekayaan telah
meluas dan pada hakikatnya didistribusikan secara merata. Dengan demikian
Aristoteles juga telah menunjukan fakta (kestabilan politik yang
sebenarnya)yang relevan dengan preferensi nilainya (khususnya mengenai
pengembangan rasional individu). Warisan zaman Romawi Kuno kepad ilmu politik
yang utama adalah sumbangannya di bidang hukum, yurisprudensi, dan administrasi
negara; kesemua bidang tersebutsejalan dengan Stoicisme mengenai kesamaan
manusia, persaudaraan setiap orang, ketuhanan, dan keunikan nilai individu,
yang bagaimanapun rendahnya, mempercaya cahaya Tuhan menjiwai seluruh semesta.
Filsafat demokrasi, dengan asumsinya tentang rasionalitas, moralitas dan
persamaan serta konsepnya tentang hukum alam dan hak-hak ilmiah, banyak menurun
dari paham Stoic dan Cicero yang memadukan filsafat Stoic kedalam pemikiran
politik Barat.
Selama abad
pertengahan negara menjadi kurang penting dibanding gereja, yang bisa
memaksakan kekuasaannya pada raja dan memecat para pangeran dan mengatur
kebijakan umum. Filsafat politik sedikit lebih dari cabang di bawah teologi;
pertentangan politik diselesaikan melalui himbauan yang berkuasa, yaitu
tulisan-tulisan keagamaan, daripada pertimbangan empirikataupun praktis.
Bagaimanapun, abad pertengahan meninggalkan warisan konsep-konsep yang tetap
merupakan bagian penting dari pemikiran politik modern, seperti gagasan
penyatuan dunia dan lembaga etika keagamaan yang membatasi tindakan politik,
termasuk apa yang biasa disebut oleh filosof Kristen dengan ‘’kedamaian Tuhan”,
“upah kejujuran”, “harga yang pantas”, dan gagasan mengenai “hukum tertinggi”
yang perlu ditaati oleh penguasa atau negara. Dalam kenyataannya, setiap warga
negara manapun saat ini yang menuntut hak untuk membatasi wewenang pemerintah,
apakah melalui campur tangan militer, demonstrasi damai atau dengan kekerasan,
membayar pajak, ataupun pengorbanan harta benda, secara tidak langsung
penolakannya menunjukan satu gagasan hukum yang lebih tinggi.
Di bawah dominasi
intelektualdan politik gereja Kristen, pemikiran politik pertama-tama berurusan
dan untuk menjawab persoalan mengenai yang seharusnya (nilai), bukannya
pertanyaan tentang yang ada (fakta). Dengan demikian pemikiran politik
sepanjang abad pertenganhan jauh lebih dekatdengan tradisi Plato (filsafat)
daripada dengan tradisi Aristoteles (ilmu). Apakah ini hanya kebetulan belaka
bahwa gereja Kristen sendiri mempunyai beberapa kemiripan engan negara idealnya
Plato seorang raja filsafat (paus) yang merupakan penjelmaan dari kebenaran
mutlak (Tuhan menyatakan hukum), dan yang memimpin atas suatu hirarki kaku yang
terdiri dari para wali (pendeta) yang hidup tanpa keluarga dan pemilikan
pribadi, dan mereka inilah yang bergiliran mengawasi aktivitas kelas
pekerja/buruh (pekerja tangan yang ahli/tukang dan orang awam)? Jelasnya preferensi
nilai dari Plato dan gereja telah menempatkan masing-masing individu di bawah
kebenaran mutlak. Jadi bentuk pemerintahan yang disiplin baik oleh Plato maupun
gereja adalah pemerintahan otoriter. Dan pemerintahan otoriter, apakah religius
atau sekuler, sering di cap sebagai berkhianat kepada semangat kebebasan untuk
meminta penjelasan yang melengkapi penyelidikan ilmiah.
K.
Kecenderungan Modern
Renaissance
membangkitkan kembali minat untuk mempelajari masa Yunani kuno dan Romawi,
termasuk mempelajari karya filosof politik bersama. Kemunculan negara-negra
nasionaldi Eropa Barat menggoyahkan belenggu kekuasaan paus dan kekaisaran Suci
Romawi, dan khususnya ketika terjadi reformasi mengakibatkan berdirinya
gereja-gereja nasional yang bergantung pada raja-raja yang kuat untuk
kelangsungan hidupnya, hegemoni gereja abad pertengahan telah digulingkan dan
suatu keseimbangan baru di bangun di antara wewenang sekuler dan spiritual.
Niccolo Machiavelli (1496-1527), yang namanya secara tidak adildisamakan dengan
watak bermuka dua yang kejam, menghabiskan abad pertengahan dengan memisahkan
politik dari agama. Pertimbangan mengenai kesatuan nasional, keamanan dan
kepentingan lebih tinggi dari pertimbangan paus dan dogma.
Selama periode yang
umumnya disebut sejarah “modern” (tepatnya dimulai pada abad kelima belas),
pokok persoalan dan metode ilmu politik sangat berubah. Sebagaimana Plato dan
Aristoteles telah berusaha mencari hukum-hukum politik dan kebenaran untuk
disamakan dengan penemuan rekan sesamanya dibadang fisika atau astronomi maka
ilmuan politik modern sangat terkesan dan di pengaruhi oleh penemuan baru dan
teori di berbagai bidang pengetahuan kemanusiaan lainnya. Sebenarnya Newton dan
Descartes tidak hanya menyumbang pada fisika dan matematika saja tetapi juga
pada ilmu politik; di akhir abad kedelapan belas, kessikannya dengan konsep
demikian seperti pemisahan kekuasaan pemerintahan dan cheks and balances,
menggambarkan suatu usaha untuk menerapkan prinsip-prinsip mekanika dan
matematika kepada struktur pemerintahan. Sikap-sikap baru pada pemerintahan dan
politik ini memperluas penggunaan metode empirik, pengamatan lembaga-lembaga
dan proses-proses kehidupan manusia yang nyata agar mendapatkan dalil-dalil
politik yang fundamental.
Pada pertengahan abad
kesembilan belas, teori Darwin mengenai evolusi dan seleksi alami mulai
mempunyai pengaruh yang sangat kuat atas ilmi politik; biologi memperkuat
sejarah dan rupa-rupanya, evolusi organik. Perkembangan sosiologi, khususnya
setelah abad kesembilan belas, mendorong para ilmuan politik untuk lebih
perhatian kepada dampak kekuatan social di pemerintahan terhadap kekuatan
social yang tidak di batasi oleh kelembagaan negara. Industrialisasi terhadap
masyarakat yang sebelumnya hidup dari pertanian dan menajamnya pertentangan
antara teori ekonomi klasik dan Marxis, dan antara kelas-kelas sosial baru yang
dibentuk di atas landasan pembangunan industri, mendorong studi yang lebih
mendalam tentang fakta ekonomi, kekuatan dan kecenderungan, karena semua itu
melahirkan banyak masalah politik dan membantu terbentuknya tingkah laku
politik.[5]
Kesimpulan
Kehidupan kebangsaan
dan kenegaraan Indonesia pasca reformasi mengalami berbagai perubahan yang
sangat dinamis. Berbeda dengan dinamika ketatanegaraan pada awal kemedekaan
yang terjadi karena kondisi negara yang baru merdeka dan tuntutan
mempertahankan kemerdekaan, dinamika yang terjadi pasca era reformasi ini
didasarkan pada kerangka konstitusional, yaitu UUD 1945. Perubahan UUD 1945
yang dilakukan pada 1999 hingga 2002 bersifat sangat mendasar. Perubahan
tersebut memberikan dasar-dasar substansial baru dalam penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara, serta tatanan kelembagaan yang baru pula.
Hasil perubahan UUD
1945 menegaskan dianutnya prinsip negara hukum yang demokratis. Hal itu
diwujudkan derigan jaminan terhadap hak asasi manusia dan hak konstitusional
warga negara yang lebih rind, serta pembatasan kekuasaan negara melalui
pemisahan kekuasaan dengan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and
balances) agar masing-masing lembaga negara dapat menjalankan kekuasaan yang
telah didistribusikan oleh UUD 1945 sebagai hukum tertinggi guna mencapai
tujuan nasional. Perubahan tersebut; berpengaruh secara langsung terhadap
tatanan kelembagaan negara baik cabang eksekutif, legislatif, dan yudikatif,
maupun munculnya lembaga-lembaga baru sebagai organ negara yang independen.
Perubahan-perubahan
tersebut mengakibatkan terjadinya dinamika hukum dan kebijakan, serta
kelembagaan sebagai bentuk pelaksanaan UUD 1945. Dinamika itu tentu tidak hanya
terjadi di bidang politik, tetapi juga di bidang kehidupan kebangsaan yang
lain, baik sosial maupun ekonomi. Hal itu mengingat materi muatan UUD 1945 yang
tidak hanya memberikan dasar politik, tetapi juga dasar-dasar perekonomian
nasional, kesejahteraan sosial, dan kebudayaan.
Namun, perkembangan
tatanan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang demikian cepat tersebut, belum
diiringi dengan ketersediaan literatur hukum yang memberikan informasi dan
analisis terhadap perkembangan ketatanegaraan pasca reformasi. Bagi masyarakat,
khususnya pembelajar hukum tata negara, tentu tidak mudah mempelajari masalah
ketatanegaraan hanya dengan membaca ketentuan-ketentuan normatif dalam
peraturan perundang-undangan. Untuk memahami masalah ketatanegaraan dibutuhkan
adanya pengetahuan dan pemahaman awal tentang berbagai konsep keilmuan serta
pengetahuan tentang peraturan dan praktiknya baik di masa lalu maupun di negara
lain. Oleh karena itu dibutuhkan literatur yang mengemas informasi dan
memberikan analisa agar mudah dipahami
DAFTAR PUSTAKA
Azhari dan Inu Kencana Syafiie, Sistem Politik
Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung 2012.
Basah, Sjachran. 1997. Ilmu Negara (Pengantar,metode,
dan sejarah perkembangan). Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti
Budiarjo,
Miriam. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Ikrar
Mandiriabadi.
Ismatullah,
Dedi. 2009. Hukum Tata Negara. Bandung : CV Pustaka Setia
Marijan,
Kacung. 2011. Sistem Politik Indonesia. Jakarta : Predana Media
Group
Ni’Matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2013.
Sukardja,
Ahmad. 2012. Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara.
Jakarta : Sinar Grafika.
Suwarma Al-Muchtar, (1999), Pengantar Studi HTN.
Gelar Pustaka Mandiri. Bandung
Syamsuddin, Nazaruddin, Padmo Wahjono. Pengantar Ilmu
Politik.Jakarta: Raja Grafindo Persada
Usep
Ranawidjaya .1983.Hukum Tata Negara RI. Bandung: Pustaka Star
http://www.jimly.com/pemikiran/view/4
Aryojati
Ardipandanto. 2015. Satu Tahun
Pemeintahan Jokowi – JK [online] :
http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VII-20-II-P3DI-
Oktober-2015-81.pdf diakses pada 3
Desember 2016.
Fachry
Ali. 2013. ESAI POLITIK TENTANG HABIBIE (Dari Teknokrasi ke Demokrasi). Jakarta : MIZAN.
[1]
Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar
Ilmu Politik. Hal. 128
[2]
Aryojati Ardipandanto. 2015. Satu Tahun Pemeintahan Jokowi –
JK [online] :
[3]
Ahmad Sukardja. Hukum
Tata Negara dan Administrasi Negara. Hal. 144
[4]
Dedi Ismatullah. Hukum
Tata Negara. Hal. 300
[5]
Nazaruddin Syamsuddin,
Padmo Wahjono. Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013)
hlm. 7
KABAR BAIK!!!
ReplyDeleteNama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.
Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.
Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.