RESIDIVIS DITINJAU DARI KUHP
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pasti memiliki tujuan yang sama meskipun terdiri dari individu yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut, maka diperlukan sebuah tatanan atau norma yang dapat menjadi barometer dalam menentukan arah dan tujuan cita-cita ideal masyarakat yang dimaksud.
Salah satu norma yang akan dibahas disini adalah norma hukum. Pada hakikatnya hukum merupakan seperangkat norma yang menjadi pedoman hidup bagi manusia tentang apa yang dilarang dan apa yang dibolehkan dalam bertindak, bersikap dan berperilaku guna menciptakan suasana kehidupan yang harmonis, aman, damai, dan tentram. Inilah yang menjadi postulat awal mengenai hukum serta yang menjadi cita-cita murni dan ideal dari diberlakukannya hukuim dalam sebuah masyarakat luas yang kita kenal dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di lain sisi, dalam perkembangan hukum di Indonesia ditemukan beberapa ketimnpangan serta masalah-masalah yang hukum lainnya yang sudah mencapai angka yang relative tinggi. Salah satu masalah hukum di Indonesia adalah lemahnya pemberian sanksi bagi pelanggar hukum. Pemberian sanksi tehadap pelanggar hukum di Indonesia hanya berssifat memberikan rasa malu bukan memberikan efek jera. Para penegak hukum dengan antusiasnya memamerkan pasal-pasal yang berjejal-jejal dalam pengadilan untuk menjerat pelaku pelenggar hukum, namun hasil yang didapat hanya keberhasilan semu. Karena mereka tidak didukung dengan system pemberian sanksi yang menimbulkan efek jera.
Itulah salah satu kelemahan penerapan hukum di Indonesia, dan pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana dengan pelanggar hukum yang sudah hilang rasa malunya, apakah sanksi yang berupa hukuman kurungan dapat membuat mereka jera?. Itulah yang menjadi masalah krusial di bidang hukum ysng melanda bangsa ini. Akibat dari masalah ini adalah munculnya patologi social atau penyakit masyarakat yang melahirkan beberaa oknum tertentu yang kesibukannya hanya sebatas keluar masuk bui.
Patologi social yang dimaksud adalah munculnya kelompok residivis. Residivis adalah istilah dalam hukum untuk jenis kejahatan yang tidak dapat dihentikan akan tetapi hanya dapat dicegah. Dalam kamus bahasa Indonesia istilaqh residivis diartikan sebagai orang yang pernah dihukum mengulangi tindak kejahatan yang serupa atau bisa disebut penjahat kambuhan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan residivis dalam KUHP?
2. Berapa banyak jenis residivis dalam KUHP?
3. Apa tujuan dari mengetahui pasal hukum tentang residivis?
C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui pengertian dari residivis itu sendiri
2. Mengetahui jenis-jenis residivis
3. Mengetahui pasal hukum tentang residivis
BAB II : Tinjauan Teoritis Tentang Residivis
PEMBAHASAN
A. Pengertian Residivis
Residivis sendiri berasal dari bahasa Perancis yaitu re dan cado. Re berarti lagi dan cado berarti jatuh, sehingga secara umum dapat diartikan sebagai melakukan kembali perbuatan-perbuatan criminal yang sebelumnya bisa dilakukannya setelah dijatuhi penghukumannya.
Berikut menurut beberapa orang yang bisa dibilang ahli dalam hal ini, diantaranya sebagai berikut :
a. Barda Nawawi Arief
Residivis terjadi dalam hal seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hukum yang tetap (inkraeht van gewysde), kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi.
b. I Made Widyana
Residivis itu terjadi apabila seseorang telah melakukan perbuatan pidana dan tetap perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi dengan putusan hakim. Pidana tersebut telah dijalankan akan tetapi setelah ia selesai menjalani pidana dan dikembalikan kepada masyarakat, dalam jangka waktu tertentu setelah pembebasan tersebut ia kembali melakukan perbuatan pidana.
c. Zainal Abidin Farid
Residivis atau pengulangan kejahatan tertentu terjadi bilamana oleh orang yang sama mewujudkan lagi suatu delik, yang diantara oleh putusan pengadilan negeri yang telah memidana pembuat delik.
Berdasarkan pengertian residivis diatas merupakan sama dengan pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang telah pernah dipidana. Hampir sama dengan ajaran gabungan dalam melakukan tindak pidana, akan tetapi diantar keduanya ada perbedaannya.
Penjelasan diatas dapat dipahami bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dianggap sebagai pengulangan tindak pidana atau residivis, yaitu :
1. Pelakunya adalah orang yang sama.
2. Terulangnya tindak pidana dan untuk tindak pidana terdahulu telah dijatuhi pidana oleh suatu
keputusan hakim.
3. Si pelaku sudah pernah menjalani hukuman atau hukuman penjara yang dijatuhkan kepadanya.
4. Pengulangan terjadi dalam waktu tertentu.
Jadi tidak sembarang perbuatan pidana seseorang bisa dikatakan sebagai residivis, karena ada criteria atau ketentuan-ketentuan yang telah diatur, sehingga perbuatan pidana bisa dikatakan sebagai residivis.
B. Pengertian Residivis dalam Konsep KUHP
Ada dua pasal yang disebutkan dalam KUHP yang mengatur akibat terjadinya sebuah tindakan pengulangan , dimana ada dua kelompok yang dikategorikan sebagai kejahatan pengulangan, yaitu :
1. Menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak pidana tertentu dengan syarat-syarat
tertentu yang dapat terjadi pengulangannya. Pengulangannya hanya terbatas terhadap tindak
pidana tertentu yang disebutkan dalam pasal 486, pasal 487, dan pasal 488 KUHP.
2. Diluar kelompok kejahatan dalam pasal 386 sampai pasal 388 KUHP juga menentukan
beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi pengulangan, misalnya pasal 216
ayat 3, pasal 489 ayat 2, pasal 495 ayat 2, dan pasal 512 ayat 3.
Mengingat pentingnya tujuan pidana sebagai pedoman dalam pemberian atau menjatuhkan pidana dimuat dalam konsep rancangan kitab UU KUHP, disamping itu juga adanya perkembangan pemikiran mengenai teori pemidanaan mengakibatkan tujuan pemidanaan yang ideal. Di samping itu dengan adanya kritik-kritik mengenai dasar pemidanaan yang menyangkut hubungan antara teori pidana. Pelaksanaan dan tujan yang hendak dicapai serta hasil yang diperoleh dari penerapan pidana.
Dalam perkembangannya, pengulangan tindak pidana dapat dibagin menjadi beberapa golongan. Menurut ilmu kriminologi, penggolongan residivis dibagi sesuai dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan, yaitu :
a. Pelanggaran hukum bukan residivis (mono delinquent/pelanggaran satu kali/first offenders)
yaitu yang melakukan hanya satu tindak pidana dan hanya sekali saja.
b. Residivis dapat dibagi lagi menjadi :
1) Penjahat yang takut meliputi pelanggaran hukum yang bukan residivis dan mereka yang
berkali-kali telah dijatuhi pidana umum namun antara masing-masing putusan pidana jarak
waktunya jauh, atau perbuatan pidananya begitu berbeda satu sama lain sehingga tidak
dapat dilakukan ada hubungan kriminalita atau dalam jarak waktu tersebut (misalnya 5
tahun menurut pasal 45 KUHP).
2) Penjahat kronis adalah golongan pelanggaran hukum yang telah mengalami penjatuhan
pidana yang berlipat ganda dalam waktu singkat diantara masing-masing putusan pidana.
3) Penjahat berat adalah mereka yang paling sedikit setelah dijatuhi pidana 2 kali dan
menjalani pidana berbulan-bulan dan lagi mereka yang karena kelakuan anti social
sudah merupakan kebiasaan atau sesuatu hal yang menetap bagi mereka.
4) Penjahat sejak umur muda, tipe ini memulai karirnya dalam kejahatan sejak ia anak-anak
dan dimulai dengan melakukan kenakalan anak.
Kritikan tersebut dapat berpengaruh besar terhadap proses pembuatan rancangan KUHP yang telah rampung pada tahun 2000 yang lalu dan telah di sosialisasikan sejak bulan Desember tahun 2000, “Konsep KUHP tersebut telah mengalami beberapa perubahan mulai dari konsep tahun 1971/1972 , konsep KUHP 1982/1983, konsep KUHP 1993 dan yang terakhir konsep tahun 2004.
Dari sudut ilmu pengetahuan hukum pidana, pengulangan tindak pidana dibedakan atas 3 jenis, yaitu :
a. Residivis yang dibedakan berdasarkan cangkupannya, antara lain :
1) Pengertian yang lebih luas yaitu bila meliputi orang-orang yang melakukan suatu rangkaian
tanpa yang diseiringi suatu penjatuhan pidana/condemnation.
2) Pengertian yang lebih sempit yaitu bila si pelaku telah melakukan kejahatan yang sejenis
(homologus recidivism) artinya ia menjalani suatu pidana tertentu dan ia mengulangi
perbuatan sejenis tadi dalam batas waktu tertentu (misalnya 5 tahun) terhitung sejak
terpidana menjalani sama sekali atau sebagian dari hukuman yang telah dijatuhkan.
b. Pengulangan tindak pidana yang dibedakan berdasarkan sifatnya, antara lain :
1) Accidentale recidivice yaitu apabila pengulangan tindak pidana yang dilakukan merupakan
akibat dari keadaan yang memaksa dan menjepitnya.
2) Habituele recidive yaitu pengulangan tindak pidana yang dilakukan karena si pelaku
memang sudah mempunyai inner criminal situation yaitu tabiat jahat sehingga kejahatan
merupakan perbuatan yang biasa baginya.
c. Selain kedua bentuk diatas, residivis dapat dibedakan lagi yaitu :
1) Residivis Umum (general recidive)
Tidak diperhatikan sifat perbuatan pidana yang diulangi, artinya asal saja residivis mengulangi perbuatan pidana, meskipun perbuatan tersebut tidak sejenis dengan perbuatan pidana terdahulu akan tetapi tetap digolongkan sebagai pengulangan. Dan residivis umum diatur dalam pasal 486 sampai pasal 488KUHP.
2) Residivis Khusus (special residive)
Sifat dari perbuatan pidana yang diulangi sangat diperlukan, artinya perbuatan yang diulangi harus semacam atau segolongan dengan perbuatan pidana terdahulu, atas perbuatan apa yang bersangkutan pernah menjalani hukuman. Menurut ajaran residive khusus, maka setiap pasal KUHP mempunyai ajaran residive/peraturan tentang residive sendiri, seperti dalam pasal 489 ayat 2, pasal 495 ayat 2, pasal 512 ayat 3 dan seterusnya.
Residivis umum diatur dalam pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP yang pada umumnya adalah mengenai kejahatan, seperti :
a. Pasal 486 menyatakan bahwa :
“Pidana penjara yang dirumuskan dalam pasal 127, 204 ayat pertama, 244-248, 253-260 bis, 263, 264, 266-268, 274, 362, 363, 365 ayat pertama, kedua dan ketiga, 368 ayat pertama dan kedua sepanjang disitu ditunjuk kepada ayat kedua dan ketiga pasal 365, pasal 369, 372, 374, 375, 378, 380, 381-383, 385-388, 397,399, 400, 402, 415, 417, 425, 432, ayat penghabisan, 452, 466, 480 dan 48, begitu pun pidana penjara selama waktu tertentu yang diancam menurut pasal 204 ayat kedua, 365 ayat keempat dan 368 ayat kedua, sepanjang disitu ditunjuk kepada ayat keempat pasal 365, dapat ditambah dengan sepertiga, jika yang bersalah ketika ketika melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak menjalani untuk keseluruhannya atau sebagian dari pidana penjara yang dijatuhi kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan, yang dimaksud dalam salah satu dari pasal 140-143, 145-149, kitab UU Hukum Pidana Tenatara, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum kadaluwarsa”.
b. Pasal 487 menyatakan bahwa :
“Pidana penjara yang ditentukan dalam pasal 131, 140 ayat pertama, 141, 170, 213, 214, 338, 341, 342, 344, 347, 348, 351, 353-355, 438-443, 459, dan 460, begitu pun pidana penjara selama waktu tertentu yang diancam menurut pasal 104, 130 ayat kedua dan ketiga, pasal 140 ayat kedua dan ketiga, 339, 340, dan 444, dapat ditambah sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal itu maupun karena salah satu kejahatan yang dimaksud dalam pasal 106 ayat kedua dan ketiga, 107 ayat kedua dan ketiga, 108 ayat kedua, sejauh kejahatan yang dilakukan itu atau perbuatan yang menyertai menyebabkan luka-luka atau kematian, pasal 131 ayat kedua dan ketiga, 137, dan 138 KUHP Tenatara, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan, atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum kadaluwarsa”.
c. Pasal 488 menyatakan bahwa :
“Pidana yang ditentukan dalam pasal 134-138, 142-144, 207, 208, 310-321, 483, dan 484, dapat ditambah sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian masa pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya karena salah satu kejahatan yang diterangkan pada pasal itu, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum kadaluwarsa.”
Dari penjelasan pasal-pasal diatas, kita dapat simpulkan bahwa residivis akan ditambah sepertiga hukuman, apabila telah memenuhi syarat berikut, yaitu :
1) Orang itu mengulangi kejahatan yang sama atau oleh UU dianggap sama macamnya.
2) Antar melakukan kejahatan satu dengan yang lainnya sudah ada putusan hakim (jika belum,
akan merupakan gabungan/samnloop).
3) Yang dijatuhi harus hukuman penjara (bukan kurungan maupun denda).
4) Perbuatan yang satu dengan yang lainnya tidak lebih dari 5 tahun.
Sedangkan residivis khusus diatur dalam pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP yang pada umumnya mengenai pelanggaran-pelanggaran, seperti :
a. Pasal 489 ayat 2 KUHP, menyatakan bahwa :
“Jika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama tiga hari”.
b. Pasal 495 ayat 2 KUHP, menyatakan bahwa :
“Jika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama enam hari”.
c. Pasal 512 ayat 3 KUHP, menyatakan bahwa :
“Jika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, maka dalam hal ayat pertama, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama dua bulan, dan dalam hal ayat kedua, paling lama satu bulan”.
Dari penjelasan pasal-pasal diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa residivis tidak sama dengan pelaku pelanggaran yang memiliki masa hukuman yang lebih ringan dibandingkan dengan masa hukuman tindak kejahatan.
KESIMPULAN
Residivis sendiri berasal dari bahasa Perancis yaitu re dan cado. Re berarti lagi dan cado berarti jatuh, sehingga secara umum dapat diartikan sebagai melakukan kembali perbuatan-perbuatan criminal yang sebelumnya bisa dilakukannya setelah dijatuhi penghukumannya.
Ada dua pasal yang disebutkan dalam KUHP yang mengatur akibat terjadinya sebuah tindakan pengulangan , dimana ada dua kelompok yang dikategorikan sebagai kejahatan pengulangan, yaitu :
1. Menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak pidana tertentu dengan syarat-syarat
tertentu yang dapat terjadi pengulangannya. Pengulangannya hanya terbatas terhadap tindak
pidana tertentu yang disebutkan dalam pasal 486, pasal 487, dan pasal 488 KUHP.
2. Diluar kelompok kejahatan dalam pasal 386 sampai pasal 388 KUHP juga menentukan
beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi pengulangan, misalnya pasal 216
ayat 3, pasal 489 ayat 2, pasal 495 ayat 2, dan pasal 512 ayat 3.
Residivis yang dibedakan berdasarkan cangkupannya yaitu luas dan sempit, residivis yang dibedakan berdasarkan sifatnya yaitu Accidentale recidivice dan Accidentale recidivice, residivis umum dan residivis khusus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Satochid Kartanegara. 2002. Hukum Pidana, (Jakarta: Kumpulan Kuliah Bagian Dua: Balai Lektur Mahasiswa). Hlm. 223
2. Zainal Abidin. 2007. Hukum Pidana I, ( Jakarta: Sinar Grafika), hlm. 431-432
3. Adami Khazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hlm. 117
4. Moeljatno. 2002. Asas-asas Hukum Pidana. (Jakarta: Rineka Cipta), hlm. 117
5. Utrecht E. 2000. Hukum Pidana II Rangkaian Sari Kuliah, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas), hlm. 200
0 komentar:
Post a Comment