Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Wednesday, June 20, 2018

HUKUM ACARA ADMINISTRASI NEGARA


HUKUM ACARA ADMINISTRASI NEGARA DAN BUKTI-BUKTINYA
Penuli:Nasrullah,dkk

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Dalam sisitem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat tiga pilar kekuasaan negara, yaitu Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif (Kehakiman). Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 24 UUD 1945 (Perubahan) Jo. UU No. 4 Tahun 2004, ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk yang ditandai  dengan disahkannya Undang-undang No. 5 tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986, dalam konsideran “Menimbang” undang-undang tersebut disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat. Dengan demikian lahirnya PTUN  juga menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia  (HAM).
Sebagai negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan dengan memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dari ketiga lembaga tersebut, eksekutif memiliki porsi, peran dan wewenang yang paling besar apabila dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh karenanya perlu ada kontrol terhadap pemerintah untuk adanya check and balances. Salah satu bentuk kontrol yudisial atas tindakan administrasi pemerintah adalah melalui lembaga peradilan. Dalam konteks inilah maka Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dibentuk dengan UU No. 5 tahun 1986, yang kemudian dengan adanya tuntutan reformasi di bidang hukum, telah disahkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun1986. Berangkat dari hal inilah kami membuat sebuah makalah dengan judul “Hukum Acara Peradilan Administrasi Negara ”.

B.       Rumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat dirumuskan masalah yang akan dibahas, yaitu :
1.      Apa yang dimaksud dengan hukum acara peradilan administrasi negara?
2.      Bagaimana proses penyelesaian perkara dalam hukum acara peradilan administrasi negara?

BAB II
LANDASAN TEORI

Keberadaan Hukum Administrasi Negara (selanjutnya disebut Hukum Tata Usaha Negara) didasari oleh beberapa peraturan perundang-undangan yang meliputi[1]:
1.    Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang rumusannya sebagai berikut: “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
2.    Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa: “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung  dan Badan Peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
3.    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

A.      Pengertian[2]
Sebelum membahas mengenai pengertian dari Peradilan Tata Usaha Negara, ada baiknya disinggung terlebih dahulu mengenai pengertian Tata Usaha Negara. Pasal 1 Ayat (1) UU. No. 5 Tahun 1986 merumuskan bahwa Tata Usaha Negara adalah administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan bak di pusat maupun di daerah. Indroharto menyimpulkan bahwa Tata Usaha Negara dapat diartikan sebagai berikut:[3] Tata Usaha Negara adalah sama dengan Administrasi Negara. Oleh karena itu, UndangUndang ini menurut Pasal 144 juga dapat disebut “Undang-Undang Peradilan Administrasi Negara”.
Dengan demikian, Hukum Tata Usaha Negara atau Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan penyelenggaraan urusan pemerintah (negara). Berkaitan dengan definisi Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tidak merumuskan definisinya. Namun bukan berarti tidak terdapat kejelasan mengenai definisi dari Peradilan Tata Usaha Negara itu sendiri, karena definisi/Peradilan Tata Usaha Negara itu sendiri dapat disimpulkan dari Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, bahwa yang dimaksud dengan Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang ditugasi untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang dianggap melanggar hak orang/badan hukum perdata.
Berdasarkan uraian tersebut, secara sederhana dapat dipahami bahwa  yang menjadi subjek di Peratun adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata sebagai Penggugat, dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat. Sementara itu yang menjadi objek di Peratun adalah Surat Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking).


B.       Kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara
Kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara ditentukan daam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang rumusannya sebagai berikut: “ Peradilan Tata usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.”
Lebih lanjut, dalam Pasal 5 Ayat (1)  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga ditegaskan bahwa: “Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.”
Demikian juga dalam Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, ditegaskan, bahwa “Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.”

C.      Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara memiliki ciri khas tersendiri. Ciri khas tersebut tampak dari asas-asas yang melandasinya, yaitu[4]:
1.        Asas Praduga Rechmatig (vernoeden van rechtmatigheid = presumption iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini gugatan menunda pelaksanaan KTUN yang digugat.
2.        Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian.
3.        Asas keaktifan hakim (dominus litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat Tata Usaha Negara sedangkan penggugat adalah orang perseorangan atau badan hukum perdata.
4.        Asas Putusan Pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga omnes”. Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian, putusan pengadilan TUN berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa.

D.      Istilah-Istilah Hukum Administrasi Negara[5]
1.      HAN (Hukum Administrasi Negara) atau Staat Administratief recht.
2.      Hukum Administrasi (Administratief recht) di Belanda.
3.      Hukum Tata Pemerintahan (Bestuur Recht) di UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
4.      Hukum Tata Usaha Pemerintahan
5.      Hukum Tata Usaha Negara (UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
6.      Administrative Law (di Inggris).
7.      Verwaltungs Recht (di Jerman).
8.      Droit Administratief (di Prancis).

E.       Subjek dan Objek Peradilan Tata Usaha Negara
1.      Subjek
Yang menjadi subjek dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah
a.       Penggugat
Yang disebut penggugat sesuai Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah seseorang atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subjek hukum saja yang dapat mengajukan gugatan.
b.      Tergugat
Ketentuan mengenai Tergugat terumus dalam Pasal 1Angka 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
2.      Objek
Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa objek sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

BAB III
PEMBAHASAN

A.      Kompetensi  Peradilan Tata Usaha Negara
1.      Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut merupakan wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi) maupun dalam lingkungan peradilan lain (Pengadilan Agama). Kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara terdapat dalam Pasal 47 yang menentukan bahwa Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
Yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara menurut Pasal 1 angka 4 adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun di Daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termask sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.        Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif Peradilan Tata Usaha Negara tertuang dalam Pasal 54 Undang-Undang No. 5 Tahun1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, meliputi[6]:
a.    Tempat kedudukan tergugat, yang dimaksud adalah tempat kedudukn secara nyata atau tempat kedudukan menurut hukum.
b.    Tempat kedudukan salah satu tergugat. Jika pihak yang menjadi tergugat lebih dari satu badan/pejabat Tata Usaha Negara, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu badan/pejabat Tata Usaha Negara yang menjadi tergugat tersebut.
c.    Tempat kedudukan penggugat untuk diteruskan kepada PTUN di tempat tergugat. Apabila tempat tergugat berada di luardaerah hukum pengadilan tempat kediaman penggugat, gugatan dapat disampaikan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara tempat kediaman penggugat untuk diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan.
d.   Tempat kedudukan penggugat, terhadap sengketa tata usaha negara tertentu yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Gugatan dapat diajukan di PTUN tempat penggugat berdomisili.
e.    PTUN Jakarta, dalam hal penggugat dan tergugat berkedudukan di kuar negeri, gugatan diajukan pada PTUN Jakarta.

B.       Keputusan Tata Usaha Negara
1.        Pengertian[7]
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 bahwa sengketa Tata Usaha Negara itu selalu merupakan akibat dari dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Oleh karena itu pengertian tentang apa itu Keputusan Tata Usaha Negara sangatlah penting untuk dipahami karena dengan memberikan pengertian yang lain akan memberikan pengertian yang salah tentang apa yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara.
Menurut Udang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubaha Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
2.        Unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara
a.    Penetapan Tertulis
Unsur ini menentukan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 harus merupakan penetapan tertulis. Penjelasan Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa “Istilah penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan tata Usaha Negara itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya”.
b.    Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Unsur ini menentukan bahwa “penetapan tertulis” itu harus dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Menurut Pasal 1 angka 2 yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atau dengan kata lain, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku mempunyai wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan.
c.    Tindakan Hukum Tata Usaha Negara
Adalah perbuatan hukum Badan atau Tata Usaha Negara yang bersumber pada ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban pada orang lain. Dengan kata lain, tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah tindakan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dilakukan atas dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku yang menimbulkan akibat hukum mengenai peraturan pemerintahan terhadap seseorang atau badan hukum perdata.
d.   Bersifat Konkret
Artinya, objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak tetapi terwujud, tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya keputusan mengenai pembongkaran rumah si A, izin usaha si B, pemberhentian si A sebagai PNS dll.
e.    Bersifat Individual
Artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan umum, tetaoi tertentu, baik alamat maupun hal yang dituju, dan
f.     Bersifat Final
Artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum.
g.    Menimbulkan Akibat Hukum
Maksudnya adalah menimbulkan akibat hukum Tata Usaha Negara, karena  penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha yang menimbulkan akibat hukum tersebut adalah berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara. Akibat hukum Tata Usaha Negara tersebut adalah[8] berupa :
1)      Mengutakan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada (declaratoir), misalnya surat keterangan PPAT yang isinya menyebutkan antara A dan B memang telah terjadi jual beli tanah.
2)      Menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru (constitutief), misalnya keputusan jaksa Agung tentang pengangkatan calon PNS atau surat izin impor ekspor suatu Perseroan Terbatas dari Kemenperidag.


C.      Praktik Gugatan Tata Usaha Negara
1.    Gugatan
Gugatan adalah suatu surat yang di ajukan oleh penguasa pada ketua pengadilan agama yang berwenag, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung suatu sengketa dan merupakan landasan dasar pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak. Berkenaan dengan gugatan, Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa gugatan merupakan permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan putusan.
Bentuk permohonan dalam Hukum Acara PTUN dapat dijumpai dalam Pasal 60 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang rumusannya sebagai berikut[9]:
a.       Ayat (1) Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan untuk bersengketa dengan Cuma-Cuma;
b.      Ayat (2) Permohonan diajukan pada waktu penggugat mengajukan gugatannya disertai dengan surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desa atau Lurah di tempat kediaman Pemohon;
c.       Ayat (3) Dalam keterangan tersebut harus dinyatakan bahwa pemohon itu betul-betul tidak mampu membayar biaya perkara. 

Selanjutnya lebih dipertegas dalam Pasal 61 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang rumusannya sebagai berikut[10]
a.    Ayat (1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 harus diperiksa dan ditetapkan oleh Pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa dan ditetapkan oleh Pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa;
b.    Ayat (2) Penetapan ini diambil di tingkat pertama dan terakhir;
c.    Ayat (3) Penetapan Pengadilan yang telah mengabulkan permohonan penggugat untuk bersengketa dengan Cuma-Cuma di tingkat pertama, juga berlaku di tingkat banding dan kasasi.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa permohonan untuk beracara dengan cuma-cuma pada Pengadilan Tata Usaha Negara haruslah diajukan pada waktu Penggugat mengajukannya dengan disertai surat keterangan tidak mampu yang menunjukkan bahwa penggugat benar-benar tidak mampu membayar biaya perkara. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya kewajiban membayar  uang muka biaya perkara sebelum gugatan dicatat dalam daftar perkara oleh Panitera Pengadilan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 59 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Sebelum suatu gugatan diajukan ke PTUN, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan oleh Penggugat. Hal dimaksud meliputi[11]
a.    Jangka Waktu Pengajuan Gugatan
Pengajuan gugatan dapat diajukan hanya dalam tempo 90 hari. Pasal 55 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
b.    Syarat-Syarat Gugatan
Gugatan yag hendak diajukan hendaknya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut[12]:
1)      Syarat Formal
Syarat formal suatu gugatanTata Usaha Negara ditentukan dalam Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu meliputi:
a)      Identitas Para Pihak yang meliputi nama, kewarganegaraan, domisili dan pekerjaan Penggugat atau kuasanya sertanama jabatan dan tempat kedudukan Tergugat.
b)      Tenggang waktu pengajuan gugatan. Hal ini perlu dicantumkan karena berkaitan dengan masa kadaluarsa pengajuan gugatan.
c)      Tanggal pengajuan gugatan. Penentuan masa kadaluarsa pengajuan suatu gugatan dapat dilihat dari tanggal diajukannya gugatan sehingga tanggal pengajuan gugatan wajib dicantumkan.
d)     Tanda tangan Penggugat atau Kuasanya. Untuk keabsahan suatu gugatan perlu dibubuhi tanda tangan sah dari Penggugat atau kuasanya.
2)      Syarat Materiil
Syarat materiil suatu gugatan Tata Usaha Negara adalah :
a)      Objek Gugatan, objek gugatan harus disebutkan secara jelas di dalam suatu gugatan. Misalnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 05/Kpts.Mendiknas/II/2005, tertanggal 2 Mei 2005
b)      Posita Gugatan (Dasar-Dasar Gugatan). Berisikan dalil-dalil Penggugat untuk mengajukan gugatan secara ringkas, sederhana dan jelas. Posita gugatan berisi fakta hukum, kualifikasi perbuatan Tergugat dan uraian kerugian Penggugat.
c)      Petitum. Merupakan kesimpulan dari suatu gugatan, berisikan hal-hal yang dituntut oleh Penggugat untuk diputuskan oleh hakim.
c.    Alasan-alasan Mengajukan Gugatan
Yang dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan Tata Usaha Negara meliputi[13]:
1)      Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
2)      Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Dalam penjelasan Pasal tersebut dirumuskan bahwa yang dimaksudkan asas-asas umum pemerintahan yang baik dalah asas-asas yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme, yakni meliputi asas kepastian hukum, terti=b penyelenggara negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas dan akuntabilitas.
2.      Mekanisme Pengajuan Gugatan
Setelah gugatan dirumuskan, Penggugat mendaftarkan gugatannya ke pengadilan yang berwenang memeriksa perkaranya, pendaftaran gugatan dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu:
a.       Daftar langsung di Peradilan Tata Usaha Negara. Setelah Penggugat membayar uang muka biaya perkara, panitera Pengadilan memberinya nomor register. Tanggal diterimanya gugatan dianggap sebagai tanggal diajukannya gugatan kepada Pengadilan.
b.      Melalui PTUN tempat kediaman penggugat, dalam haltempat kedudukan tergugat berada di luar daerah hukum pengadilan tempat kedudukan penggugat, maka gugatan dapat disampaikan melalui PTUN di tempat kediaman penggugat untuk diteruskan kepada PTUN yang berwenang memeriksa perkara itu di tempat kedudukan tergugat.
c.       Melalui surat tercatat sesuai Keputusan Badan Litbang Mahkamah Agung, maka gugatan dapat disampaikan melalui Pos dengan surat tercatat kepada PTUN.
3.      Pengaruh Keadaan Terhadap Gugatan
Setelah gugatan itu disampaikan ke pengadilan, dalam praktik seringkali terjadi hal-hal di luar yang direncanakan semula. Keadaan dimaksud meliputi:
a.    Perubahan Gugatan
Berkaitan dengan perubahan gugatan, hakim PTUN dapat mengijinkan penggugat untuk mengubah gugatannya dengan catatan perubahan dimaksud tidak menyimpang dari kejadian materiil yang menjadi dasar suatu gugatan dengan memperhatikan kepentingan kedua belah pihak. Dibolehkannya perubahan gugatan berdasarkan Pasal 75 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
b.    Pencabutan Gugatan
Pencabutan gugatan telah diatur di dalam Pasal 76 ayat (1) UU No.b5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Namun, dalam praktiknya banyak penggugat yang terlanjur sakit hati sehingga enggan menacabut gugatannya.
c.    Perdamaian
Dalam SEMA Nomor 2 Tahun1991 ditegaskan bahwa dalam perkara tata usaha negara dimungkinkan adanya perdamaian antara penggugat dan tergugat namun hanya dapat dilakukan di luar persidangan. Apabila perdamaian telah disepakati maka perkara di pengadilan dicabut dan dicoret dari daftar perkara di Pengadilan.

D.      Jenis-Jenis Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan Tata Usaha Negara
1.      Dismissal Process
Dismissal process adalah penelitian terhadap hal-hal yang bersifat formala adminiatratif yang harus dipenuhi dalam suatu gugatan seperti identitas para pihak, alamat para pihak  dan alamat pengadilan yang dituju. Dismissal Process tersebut merupakan prosedur khusus yang dilakukan PTUN dalam pemeriksaan perkara. Dalam Dissmissal Process tersebut ketua pengadilan berwenang memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkan ketetapan Dissmissal Process.
2.      Pemeriksaan dengan Acara Singkat
Jika penggugat merasa tidak puas terhadap hasil penetapan Dismissal precess maka sesuai Pasal 62 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, bahwa penggugat dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan dalam tenggang waktu empat belas hari setelah diucapkan, setelah itu pengadilan akan memeriksa dan memutus perlawanan dengan acara singkat sesuai ketentuan Pasal di atas.
3.      Pemeriksaan Persiapan
Acara pemerikasaan persiapan dalam hukum Acara Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 63 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata bahwa
(1) Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.
(2) Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)   Hakim:
a. wajib memberi nasihar kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari;
b. dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a penggugat belum menyempurnakan gugatan, maka Hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.
(4) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru.

Tujuan diadakannya pemeriksaan persiapan ini adalah untuk dapat meletakkan sengketanya dalam peta, baik mengenai obyeknya serta fakta-faktanya maupun mengenai problema hukum yang harus dijawab nanti.

E.       Pembuktian
Pembuktian merupakan suatu cara untuk membuktikan apa yang terjadi dalam suatu peristiwa atau hubungan hukum. Dalam memproleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau hubungan hukum benar-benar telah terjadi, Majelis Hakim memerlukan pembuktian yang meyakinkan agar dapat menerapkan hukum yang tepat. Dalil-dalil yang menjadi dasar gugatan harus mampu dibuktikan oleh penggugat sehingga gugatannya dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkaranya. Pembuktian yang berlaku dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah Pembuktian Bebas yang Terbatas. Dikatakan bebas terbatas karena alat-alat bukti yang boleh digunakan dalam membuktikan sesuatu sudah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 100.
Adapun alat-alat bukti dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dicantumkan dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang meliputi[14] :
1.    Surat atau Tulisan, menurut Pasal 101 bahwa alat bukti yang dipergunakan dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha meliputi :
a.       Akta Otentik, merupakan surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat yang berwenang untuk itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum.
b.      Akta di Bawah Tangan, merupakan surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya. Dikatakan “di bawah tangan” karena tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang melainkan dibuat sendiri oleh pihak yang berkepentingan dengan tujuan untuk dijadikan alat bukti.
c.       Surat-surat lainnya yang bukan Akta, merupakan surat-surat lain yang dapat dijadikan sebagai pendukung bukti-bukti yang diajukan. Kekuatan bukti surat bukan akta diserahkan kepada kebijaksanaan Majelis Hakim, apakah menganggapnya mempunyai kekuatan bukti sempurna atau menganggapnya sebagai permulaan bukti tertulis bila surat bukan akta diajukan ke muka sidang pengadilan.


2.    Keterangan Ahli
Untuk memperoleh kepastian tentang kebenaran suatu hal yang tidak mungkin diketahui oleh hakim berdasarkan ilmu yang dimilikinya, hakim dapat memerintahkan kepada seorang ahli dalam bidangnya agar memberikan keterangan/pendapatnya tentang peristiwa yang diperkarakan., baik atas permintaan salah satu pihak maupun karena jabatannya. Sebelum memberikan keterangan/pendapatnya lebih dahulu dia harus mengucapkan sumpah promisor, sehingga keterangan yang diberikannya itu adalah keterangan di bawah sumpah sah menurut Undang-Undang.
3.    Keterangan Saksi
Dalam pembuktian dengan saksi hendaknya digunakan lebih dari satu saksi karena keterangan seorang saksi saja tanpa alat bukti lain tidak dapat dipercaya atau unus testis nullus testis artinya satu saksi dianggap bukan saksi. Agar peristiwa terbukti dengan sempurna menurut hukum, keterangan seorang saksi harus dilengkapi dengan alat bukti lain, misalnya surat, pengakuan, sumpah.
4.    Pengakuan Para Pihak
Pengakuan yang diucapkan di persidangan dapat berupa pengakuan lisan dapat pula pengakuan tertulis yang dibacakan di persidangan. Pengakuan sifatnya membenarkan seluruh atau salah satu hak atau hubungan hukum yang dikemukakan oleh penggugat. Pasal 105 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negaramenjelaskan, bahwa pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecualin berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Hakim.
5.    Pengetahuan Hakim
Menurut Pasal 1O6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Salah satu daripadanya adalah hal-hal yang terjadi selama pemeriksaan oleh hakim tersebut, atau hakim lain yang ditunjuknya seperti hasil pemeriksaan setempat guna melakukan penilaian yang tepat mengenai perkara yang sedang diperiksa.

F.       Putusan
Setelah pemeriksaan perkara selesai, Majelis Hakim mengumpulkan semua hasil pemeriksaan untuk disaring mana yang penting dan mana yang tidak penting. Berdasarkan hasil pemeriksaan, Majelis Hakim berusaha menemukan peristiwanya kemudian menentukan apakah terjadi pelanggaran atau tidak, lalu menentukan peraturan hukum atau menemukan hukum yang akhirnya Hakim tersebut akan segera menjatuhkan putusannya.
Dalam putusan itu Hakim wajib mengadili semua bagian gugatan penggugat dan semua alasan yang telah dikemukakan oleh pihak-pihak. Ini berarti hakim harus memberikan putusan secara nyata untuk setiap bagian tuntutan penggugat. Putusan dalam Kamus Hukum diartikan sebagai vonis, yaitu Putusan Pengadilan sebagai akhir dari suatu pengadilan.
1.    Jenis-jenis Putusan
a.    Putusan Sela atau Putusan Antara (Interlocutoir Vonis) merupakan putusan yang mendahului dikeluarkannya putusan akhir. Putusan sela ini berguna dalam hal memperlancar pemeriksaan perkara. Putusan ini meliputi :
1)   Putusan Provisi, yaitu putusan yang diambil segera mendahului putusan akhir tentang pokok perkara, karena adanya alasan-alasan yang mendesak untuk itu. Misalnya putusan untuk menunda pelaksanaan Putusan Tata Usaha Negara yang disengketakan atau untuk mengijinkan Penggugat berperkara secara Prodeo.
2)   Putusan Insidentil, yatu putusan sela yang diambil secara insidentil karena adanya alasan-alasan tertentu. Misalnya karena kematian Kuasa Penggugat atau Tergugat.
b.   Putusan Akhir, merupakan putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Putusan akhir ini terdiri dari :
1)      Putusan akhir yang bersifat menghukum (condemnatoir), artinya putusan yang menghuum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi, meliputi memberi, membuat dan tidak berbuat.
2)      Putusan akhir yang bersifat menciptakan (constitusif), artinya putusan yang meniadakan atau menciptakan hukum.
3)      Putusan declaratoir, artinya putusan yang bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah.
2.    Amar Putusan PTUN
Menurut Pasal 97 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara menerangkan bahwa Amar Putusan PTUN dapat berupa[15]:
a.    Gugatan ditolak, gugatan Tata Usaha Negara yang diajukan oleh Penggugat dapat ditolak oleh Majelis Hakim karena Penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya.
b.    Gugatan dikabulkan, gugatan Tata Usaha Negara yang diajukan oleh Penggugat dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim jika Penggugat dapat membuktikan dalil-dalilnya secara sah dan meyakinkan.
c.    Gugatan tidak diterima, jika :
1)      Gugatan tidak memenuhi syarat yang ditentukan,
2)      Gugatan tidak berdasar hukum,
3)      Gugatan diinyatakan kabur,
4)      Gugatan bertentangan dengan kesusilaan/ketertiban umum,
5)      Objek gugatan tidak jelas,
6)      Subjek gugatan tidak lengkap.
d.   Gugatan gugur, jika :
1)      Para pihak atau kuasanya tidak hadir pada persidangan yang telah ditentukan dan telah dipanggil secara patut,
2)      Gugatan yang diajukan telah daluarsa.
3.      Materi Muatan Putusan PTUN
Materi suatu Putusan PTUN harus memuat :
a.       Ketuhaan Yang Maha Esa. Kepala putusan ini mempunyai kekuatan eksekutorial karena kalau tidak dicantumakn maka tidak dapat dilaksanakan bahkan lebih jauh diancam dengan Pembatalan.
b.      Identitas para pihak yang mencakup nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa. Pabila salahsatu di antara itu tidak terpenuhi maka putusan Hakim menjadi batal.
c.       Ringkasan gugatan penggugat danjawaban tergugat yang harus dimuat secara jelas.
d.      Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa. Pertimbangan yang dimaksud adalah pertimbangan tetang duduknya perkara dan pertimbangan tentang hukumnya.
e.       Alasan hukum yang menjadi dasar putusan harus bersifat yuridis.
f.       Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara.
g.      Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.

G.      Upaya Hukum
Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh Undang-Undang kepada seseorang atau Badan Hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim.
1.      Upaya Hukum Biasa
Adalah perlawanan terhadap putusan verstek, banding dan kasasi. Pada asasnya upaya hukum ini menangguhkan eksekusi. Pengecualiannya adalah apabila putusan tersebut dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu maka meskipun diajukan upaya hukum biasa namun eksekusi akan berjalan terus.
Adapun bentuk-bentuk upaya hukum biasa yang dikenal dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dimaksud meliputi :
a.    Perlawanan Terhadap Dismissal Process
Pasal 162 Ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa terhadap putusan Dismissal yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan dapat diajuan perlawanan kepada pengadilan dalam tenggang waktu empat belas hari setelah diucapkan.
b.    Banding
Sering juga disebut “ulangan pemeriksaan” yang (tingkat) kedua oleh sebuah pegadilan atasan yang mengulangi seluruh pemeriksaan, baik yang mengenai fakta-faktanya maupun penerapan hukum atau Undang-Undang. Prosedur pemeriksaan banding dalam PTUN siatur dalam ketentuan Pasal 122 Undang-Undang No. 5/1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

c.    Kasasi
Istilah Kasasi berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga apabila suatu permohonan Kasasi terhadap putusan pengadilan bawahan itu diterima oleh Mahkamah Agung, maka hal itu berarti, putusan tersebut dibatalkan karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukumnya. Ketentuan Kasasi dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 131 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam pemeriksaan di tingkat Kasasi tersebut ditentukan bahwa permohonan Kasasi dapat diajukan jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding dan hanya dapat diajukan satu kali.
2.      Upaya Hukum Luar Biasa
Pasal 132 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara menerangkan bahwa terhadap Putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung.

H.      Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara
Eksekusi merupakan pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pasal 115 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara merumuskan bahwa hanya putusan pengadilan yang telah memperolehkekuatan hukum tetap yang dilaksanakan.
1.    Bentuk-Bentuk Eksekusi PTUN
Bentuk-bentuk eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat berupa:
a.       Pelaksanaan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sesuai Pasal 97 Ayat (9) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
b.      Ganti Rugi
Kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dapat disertai pembebanan ganti rugi. Ganti rugi merupakan pembayaran sejumlah uang kepada orang/Badan Hukum Perdata atas beban Tata Usaha Negara karena adanya kerugian material yang diderita penggugat ( PP No. 43 Tahun 1991).
Dalam Prosesnya, Salinan Putusan yang berisi pembebanan pembayaran ganti rugi dikirimkan kepada Penggugat dan Tergugat dalam waktu tiga hari setelah Putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
c.       Kompensasi
Merupakan pembayaran sejumlah uang kepada seseorang atas beban Badan Tata Usaha Negara oleh karena putusan Pengadilan Tata Usaha Negara di bidang kepegawaian tidak dapat dilaksanakan oleh Badan Tata Usaha Negara. Kompensasi diatur dalam Pasal 117bUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
d.      Rehabilitasi
merupakan pemulihan hak-hak Penggugat di bidang kepegawaian dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya sebagai Pegawai Negeri seperti semula sebelum diterbitkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Ketentuan mengenai rehabilitasi diatur dalam Pasal 121 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
BAB IV
PENUTUP

Hukum Acara Peradilan Administrasi Negara atau Hukum Tata Usaha Negara merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara atau prosedur penyelesaian sengketa tata usaha negara di PTUN, serta mengatur hak dan kewajiban pihak pihak yang bersengketa (penggugat dan tergugat). Sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya KTUN.
Secara sederhana Hukum Acara diartikan sebagai Hukum Formilyang  bertujuan untuk mempertahankan Hukum Materil. Hal-hal yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya di atas, merupakan ketentuan-ketentuan tentang Hukum Materil di Peratun. Sementara itu mengenai Hukum Formilnya juga diatur dalam UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, mulai dari Pasal 53 s/d Pasal 132. Penggabungan antara Hukum Materil dan Hukum Formil ini merupakan karakteristik tersendiri yang membedakan Peradilan TUN dengan Peradilan lainnya.
Penyelesaian sengketa tun ada dua jalur yaitu jalur administrasi dan jalur peradilan. Jalur administrasi berdasarkan Pasal 48 ayat (1) : dalam hal suatu badan atau pejabat TUN diberi wewenang oleh atau berdasarkan peratu utk menyelesaikan scr administratif sengketa tun tertentu, maka sengketa TUN terebut harus diselesaikan melalui upaya administrasi yang tersedia.
Upaya administrasi  ada  dua, pertama Keberatan yaitu penyelesaian sengketa TUN oleh badan atau pejabat yang membuat KTUN itu sendiri. Misalnya keberatan wajib pajak atas penetapan besarnya pajak UU-6/1983 Pasal 25, kedua Banding adminsitrasi, yakni jika penyelesaian sengketa TUN oleh atasan atau instansi lain. Misalnya tentang penyelesaian PHK oleh P4D, P4P, dll. Kemudian jika tidak puas, banding ke PT TUN (Pasal 51 (3)). Apabila masih tidak puas, kasasi ke MA.
Penyelesaian sengketa melalui jalur peradilan berdasarkan Pasal 48 (2) : Peradilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, jika seluruh upaya administrasi yang bersangkutan telah digunakan.


DAFTAR PUSTAKA

Cahyati Dwi Putri, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Gramata Publishing, Depok, 2011.

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.

Muslimin Amrah, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, 1985.

Neng Yani Nurhayani, Pengantar Hukum Indonesia, Lembaga Peneitian UIN Sunan Gunung Djati, Bandung,  2014.

Philipus M. Hadjon, et. All., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2001.

R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.




[1] Dwi Putri Cahyati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok, Gramata Publishing, 2011, hal. 1.
[2] Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok, Gramata Publishing, 2011, hal. 8.
[3]Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1996, hal. 27.
[4]Philipus M. Hadjon, et. All., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2001, hlm. 133.
[5]Neng Yani Nurhayani, Pengantar Hukum Indonesia, Lembaga Peneitian UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, 2014, hal. 135.
[6]Dwi Putri Cahyati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok, Gramata Publishing, 2011, hal. 19-26.
[7]R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 17.
[8]Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 118-119.
[9]Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negar
[10]Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
[11]Dwi Putri Cahyawati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok, Gramata Publishing, 2011, hal. 43-44.
[12]Dwi Putri Cahyawati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok, Gramata Publishing, 2011, hal. 44-46.
[13]Dwi Putri Cahyawati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok, Gramata Publishing, 2011, hal. 50-51
[14]Dwi Putri Cahyawati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok, Gramata Publishing, 2011, hal. 86-87

[15]Dwi Putri Cahyawati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok, Gramata Publishing, 2011, hal. 98-99


Share:

0 komentar:

Post a Comment