BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Talak dari segi kesesuaian dengan sunnah dan bid’ah terbagi kepada sunni
dan bid’i. Sunnah adalah yang diizinkan Allah SWT. Bid’ah adalah yang dilarang
oleh syari’at. Asal bid’ah adalah membuat sesuatu yang baru setelah disempurnakan. Asal
pembagian ini adalah firman Allah SWT; “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan
istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar)...”(QS. Ath-Thalaaq:1).
Para fuqaha dengan kesepakatan mereka terhadap pembagian ini memiliki
beberapa pendapat dalam menentukan talak sunni dan bid’i, serta jenis hukum
dalam talak bid’i. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa talak ada tiga jenis, yaitu
talak yang paling bagus, talak yang bagus (talak sunnah), dan talak bid’iy.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan Talak Sunny dan Talak Bid’iy.?
2.
Apa
landasan hukumnya.?
3.
Bagaimana
pendapat ulama menyangkut keabsahan Talak Bid’iy.?
4.
Bagaimana
konsekuensi hukumnya?
C.
Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui dan memahami mengenai hal- hal yang berkaitan dengan Talak Sunny
dan Talak Bid’iy serta Talak bukan sunny juga bukan bid’iy.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Thalaq Sunny
Thalaq
sunny merupakan thalaq yang jatuh menurut tuntunan syara.
Maksudnya adalah Thalak yang
sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seorang suami mentalak istrinya yang
pernah dicampuri dengan sekali talak di masa bersih dan belum didukhul selama
bersih tersebut.[1] Dengan kata lain sunni menceraikan isteri
yang sudah pernah dicampurinya dengan satu thalaq pada waktu suci dan tidak
mencampuri di waktu suci.[2] Sesuai dengan firman Allah: Thalaq itu dua kali.
Karena itu peganglah dia dengan baik (Sesudah kamu menthalaq dua kali itu).
Maksudnya bahwa thalaq yang dibenarkan oleh agama untuk
dirujuk kembali ialah sekali cerai kemudian rujuk lalu cerai lagi kemudian
rujuk lagi. Kemudian apabila seorang suami yang menceraikan isterinya sesudah
rujuk yang kedua kalinya maka ia boleh memilih antara terus memegang isterinya
dengan baik-baik atau melepaskannya dengan baik-baik.
Menurut KHI pasal 121 bahwasannya thalaq sunny adalah: “Thalaq
yang dibolehkan yaitu thalaq yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci
dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.”
Ø
Thalaq
Dapat Dikatakan Thalaq Sunny Jika Memenuhi Empat Syarat:
- Isteri
yang di thalaq sudah pernah digauli, bila belum pernah digauli bukan
termasuk talak sunny;
- Istri
dapat segera melakukan iddah suci setelah dithalaq, yaitu dalam keadaan
suci dari haid;
- Thalaq itu dijatuhkan ketika isteri dalam keadaan suci, baik
dipermulaan, dipertengahan maupun diakhir suci, kendati beberapa saat lalu
datang haid;
- Suami tidak pernah menggauli istri
selama masa suci dimana thalaq itu dijatuhkan.
B. Landasan Hukum
Allah SWT berfirman dalam Q.S. Ath-Thalaq: 1
يا يها اانبي اذا طلقتم النساء فطلقو هن لعد تهن
Artinya : “Wahai Nabi apabila
kamu menceraikan isteri-isteri maka ceraikanlah dalam waktu iddahnya.”
Maksudnya apabila
kamu hendak menceraikan isteri maka ceraikanlah mereka menjelang iddahnya.
Bahwa perempuan yang tercerai dikatakan menyambut iddah yaitu apabila ia
diceraikan sesudah bersih dari haid atau nifas atau sebelum disetubuhinya.[3]
Menurut
firman Allah SWT : (QS. Al-Baqarah : 229)
اطلاق مرتان فامساك بمعروف او تسريح بإحسا ن
Artinya:
“bahwa thalaq yang di syari’atkan itu hanya sekali kemudian dirujuk,
kemudian sekali lagi lantas rujuk lagi, kemudian suami boleh memeilih mrujuk
lagi atau melepaskan dengan cara yang baik”
Hikmahnya ialah bahwa perempuan itu apabila diceraikan
sewaktu haid tidak langsung memasuki iddah karena iddanya akan bertambah
panjang, karena sisa waktu haidnya tidak dihitung dalam hal ini akan merugikan
pihak isteri, apabila isteri diceraikan pada saat sedang suci kemudian dicampuri
pada saat suci tersebut maka ia tidak tahu apakah ia hamil atau tidak, ia tidak
tahu iddah mana yang harus deperangi, iddah suci atau sampai ia melahirkan
anaknya?
Imam Muslim dan lain-lain meriwayatkan bahwa Abdullah bin
Umar menceraikan isterinya sewaktu haid, kemudian Umar bin Khatab menanyakan
masalahnya kepada Rasulullah SAW, beliau menjawab:
Artinya : “Perintahkan dia untuk
merujuknya, suruh ia mempergauli sampai ia suci, sampai ia haid kemudian suci
lagi. Kemudian kalau ia mau boleh menahan (merujuknya)setelah suci dan kalau ia
mau ia boleh menthalaqnya sebelum ia mencampurinya.”
Nafi’ bin Abdullah bin Umar r.a menceritakan bahwa pada
masa Rasulullah SAW, dia pernah menjatuhkan thalaq kepada isterinya yang sedang
haid. Lalu
Umar r.a. bertanya kepada Rasulullah SAW, tentang perkara tadi. Rasulullah SAW
bersabda: “Perintahkanlah
ia untuk merujuk isterinya, lalu tahanlah isterinya sampai ia suci dari
haidnya, kemudian haid (lagi). Setelah itu, ia suci dari haidnya. Kemudian jika
ia mau menahan isterinya ( maka tahanlah ), dan jika ia mau untuk menjatuhkan
thalaqnya sebelum menyetubuhinya ( maka thalaqlah ). Itulah iddah yang
diprintahkan Allah SWT. Kepada ( para suami ) untuk menjatuhkan thalaq kepada
isterinya”
Didalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa Ibnu Umar ra
menjatuhkan thalaq kepada isterinya yang sedang haid dengan sekali thalaq. Kemudian
Umar ra membawa masalah ini kepada Rasulullah SAW, lalu rasululah bersabda:
مر ه فليراجحها ثم ليطلقها إذا طهرت آو وهي حا مل
"Perintahkanlah
ia merujuk isterinya, kemudian thalaqlah ketika ia sudah bersih
( dari haidnya ) atau ketika ia hamil.”
Secara eksplisit riwayat ini menunjukan bahwa thalaq yang
dijatuhkan kepada seorang isteri yang sedang suci dari haid adalah thalaq yang
sesuai dengan Sunnah dan bukan merupakan thalaq bid’ah.Mazhab yang menganut
pendapat diatas adalah mazhab Abu Hanifah. Mereka beralasan bahwa larangan
untuk menjatuhkan thalaq adalah ketika perempuan dalam keadaan haid, tetapi
jika mereka sudah bersih dari haidnya maka larangan itu tidak ada, dalam arti
suami boleh menjatuhkan thalaq kepada isterinya ketika sang isteri dalam
keadaan bersih dari haid dan nifas.
C. Definisi Thalaq Bid’iy
Thalaq Bid'iy adalah thalak yang
dijatuhkan pada waktu dan jumlah yang tidak tepat. Maksud thalaq yang
dijatuhkan pada waktu yang tidak tepat adalah thalaq yang dijatuhkan terhadap
isteri pada waktu isteri tersebut haid atau thalaq yang dijatuhkan terhadap isteri
yang telah dicampuri pada waktu ia bersih. Sedangkan thalaq yang dijatuhkan
pada jumlah yang tidak tepat adalah thalaq yang diucapkan tiga kali pada waktu
yang bersamaan, ucapan thalaq tiga atau tiga thalaq yang diucapkan sekaligus. Umpamanya
seorang suami berkata kepada isterinya : Engkau terthalaq, engkau terthalaq, engkau
terthalaq. Atau seorang suami menthalaq isterinya di masa isterinya haid
atau nifas atau dimasa suci sesudah ia kumpul (disetubuhi).[4]
Alasan
Diharamkan Talak Bid`iy
a) Haid :
Karena masa haid yg saat itu dijatuhi talak, tidak dihitung sebagai bagian masa
iddah. Sehingga pasca ditalak, statusnya bukan isteri juga bukan
yang sedang idah.
b)
Suci tapi Dijimak : Karena ketidakjelasan masa idah yg
akan dijalaninya. Jika hamil, berarti memakai idah hamil, jika tdk hamil, maka
memakai idah quru’, walaupun masa suci tersebut masuk hitungan quru’.
D.
Pendapat
Ulama (Keabsahan Talak Bid’iy)
Thalaq yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang dalam
keadaan haid, beberapa ulama berbeda pendapat tentang jatuhnya thalaq, antara
lain:
·
Jumhur ulama berpendapat bahwa thalaq
tersebut dapat disahkan;
Pendapat madzhab
Abu Hanifah, Imam Syafi'i, Imam Maliki dan Imam Hambali, menyatakan bahwa
thalaq bid'iy
walaupun thalaqnya haram, tetapi hukumnya sah dan thalaqnya jatuh, beralaskan bahwa talaq bid’iy ini masih termasuk dalam makna ayat yang
umum. Adapun menurut Imam Malik hukum merujuknya
adalah wajib.
Mereka yang mengesahkan thalaq tersebut berpendapat bahwa
laki-laki yang telah menjatuhkan thalaq terhadap istrinya dalam keadaan
istrinya haid harus merujuk kembali istrinya. Dalil yang menjadi landasan
pendapat ini adalah sebagai berikut;
Ibnu “Umar radhiyallahu
“anhuma mentalak istrinya dalam keadaan haidh. Kemudian “Umar bin
Al-Khaththab radhiyallahu “anhu menanyakan hal tersebut kepada
Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam, maka beliau bersabda:
“Perintahkan agar ia kembali kepada (istri)nya,
kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haidh dan suci lagi. Setelah
itu bila ia menghendaki ia boleh tetap menahannya menjadi istri atau bila ia
menghendaki ia boleh menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah
masa “iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan istri.”[5]
Mengenai hukumnya rujuk akibat thalaq yang dijatuhkan
sewaktu haid, terbagi ke dalam dua golongan yaitu:
1.
Golongan pertama yang berpendapat bahwa
rujuknya itu wajib. Pernyataan ini dikemukakan oleh Imam Malik berserta
pengikutnya;
2.
Golongan kedua berpendapat bahwa laki-laki
yang menalak istrinya sewaktu haid tersebut disunahkan rujuk kembali tanpa
paksaan. Pendapat ini dinyatakan oleh Syafi'i, Abu Hanifah, Ats-tsauri, dan
Ahmad.
·
Segolongan ulama lain berpendapat
bahwa thalaq tersebut tidak sah;
Mereka menolak
memasukkan thalaq bid'iy
dalam pengertian thalaq pada umumnya, karena thalaq bid'i adalah thalaq yang
tidak diizinkan oleh Allah SWT. Demikian juga Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyim dan
Ibnu Hazm menolak jatuhnya thalaq sewaktu haid, dikarenakan mereka berpendapat apabila dianggap sah
thalaq pada waktu istri haid atau pada waktu istri suci namun telah dicampuri,
maka dalam hal itu terdapat unsur penganiyaan.
Rasulullah marah ketika diberi tahu tentang perceraian
Ibnu Umar, padahal Rasulullah SAW tidak pernah marah terhadap barang yang halal, walhasil telah disepakati bahwa
thalaq yang berlawanan dengan thalaq sunni dinamakan thalaq bid’i. Rasulullah
SAW bersabda :
“(Sesunggunhnya yang bid’ah adalah sesat)”
ان كل بد عة ضلا لة
Dapat disimpulkan talak ini adalah thalaq yang
bertentangan dengan tuntutan syara.
Seperti yang dijelaskan dalam hadits-hadits bahwasanya segala sesuatu yang
bertentangan
dengan syariat
Allah dan Rasulnya tidak dapat diterima
Nabi Muhammad SAW bersabda :
من عمل عملا ليس عليه امر نا فهو رد
Artinya :
“ Barang siapa yang
beramal tidak menuruti sunnahknu adalah tertolak.”
Orang yang
berpendapat bahwa perbuatan tersebut itu bid’ah maka tidak diperintahnkan Nabi.
Orang yang melakukan thalaq bid’iy terikat dengan hadits diatas dan tidak dapat
diterima kecuali apabila dapat mengemukakan alasan.
Demikian madzhab
Ibnu Umar dari kalangan shahabat, said bin Musayyab, Thawus dan Abu Qilab dari
kalangan Tabi’in. Pendapat ini dipegangi oleh orang-orang Zhahiriyyah, Ibnu Uqail dan Ibnu
Taimiyah dari kalangan Mazhab Hambali,
demikian pula imam-imam ahlul bait.
E.
Konsekuensi
Hukumnya
Ø
Talak
Sunniy dan Talak yang Bukan
Sunniy-Bid`iy : Disepakati Keabsahannya
Ø Talak Bid`iy : Mayoritas (Haram-Sah), Zhahiri-Taymiy (Haram-Tidak Sah)
Landasan Hukumnya sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ،
وَهِيَ حَائِضٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَسَأَلَ عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ ذَلِكَ ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم: مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا،.......(أخرجه مسلم وغيره
أن الفروج يحتاط لها أن الطلاق أوسع حكما وأقوى نفوذا
من النكاح الإحتياط في الخروج من الحرمة إلى الإباحة, أشد منه في العكس
v Merujuk Talak Bid`iy
·
Mayoritas
Ulama: Sunnah
·
Malikiyah:
Wajib (Dapat
dipaksa untuk rujuk)
Landasan
Hukumnya sebagai berikut:
عَنْ
نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ، وَهِيَ حَائِضٌ فِي عَهْدِ
رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَسَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَسُولَ اللهِ
صلى الله عليه وسلم عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: مُرْهُ
فَلْيُرَاجِعْهَا، ثُمَّ لِيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ، ثُمَّ تَحِيضَ،
ثُمَّ تَطْهُرَ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ، وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ
أَنْ يَمَسَّ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُطَلَّقَ
لَهَا النِّسَاءُ. (أخرجه مسلم وغيره)
عَنْ
سَالِمٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، فَذَكَرَ
ذَلِكَ عُمَرُ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ: «مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا،
ثُمَّ لِيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا، أَوْ حَامِلًا» (أخرجه مسلم وغيره)
v Mentalak
kembali saat suci pasca haid yang dijatuhi talak
ü
Haram:
1.
Qawl Ashah Syafi`iyah
2.
Abu Yusuf & Muhammad
3.
Taymiy
ü
Boleh:
1.
Hanafiyah
2.
Malikiyah
3.
Qawl Shahih Syafi`iyah
4.
Hanabilah
F. Thalaq bukan Sunny dan bukan Bid'iy
Adalah thalaq yang tidak
termasuk kategori thalaq sunni dan thalaq bid'iy. Yaitu :
1)
Thalaq yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah
digauli;
2)
Thalaq yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah
haid, atau istri yang telah lepas
haid;
3)
Thalaq yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang
hamil;
4)
Thalaq yang dijatuhkan terhadap istri yang masih kecil;
5)
Thalaq yang dijatuhkan terhadap istri yang mengkhulu';
6)
Thalaq karena sumpah 'ila
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Thalaq sunny merupakan thalaq yang jatuh menurut
tuntunan syara. Maksudnya adalah Thalak yang
sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seorang suami mentalak istrinya yang
pernah dicampuri dengan sekali talak di masa bersih dan belum didukhul selama
bersih tersebut. Menurut KHI pasal 121 bahwasannya thalaq sunny
adalah: “Thalaq yang dibolehkan yaitu thalaq yang dijatuhkan terhadap istri
yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.”
Thalaq Bid'iy adalah thalak yang dijatuhkan pada waktu dan jumlah yang
tidak tepat. Maksud thalaq yang dijatuhkan pada waktu yang tidak tepat adalah
thalaq yang dijatuhkan terhadap isteri pada waktu isteri tersebut haid atau
thalaq yang dijatuhkan terhadap isteri yang telah dicampuri pada waktu ia
bersih.
Jadi setelah kita mempelajari thalaq khusunya thalaq Sunny dan thalaq
Bid’iy ini kita harus lebih berhati-hati lagi dalam masalah talak dan harus
lebih memperhatikan keadaan seorang isteri supaya kita tidak menyalahi aturan yang telah ditentukan dan tentunya kita semua
dalam segala perbuatan ingin mendapat ridhonya Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Kompilasi Hukum Islam
Rahmat Hakim. 2000. Hukum Perkawinan Islam.
Bandung: Pustaka Setia.
Rusydi, Ibnu. 1997. Bidayatul Mujtahid wa
nihayatul muqtashid. Bandung: Trigenda Karya.
Sayyid Sabiq. 2013. Fiqh Sunnah. Jakarta:
Tinta Abadi Gemilang.
Syaikh Hasan Ayub. Penerjemah Abdul Ghafar.
2001. Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Wahbah Az-zuhaili. 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jakarta: Gema Insani Darul
Fikir.
[1] Rahmat Hakim (2000: 160)
[2] H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah, (Hal 192).
[3] Fikih Sunnah, Sayyid Sabiq,
hal 42.
[4] Fikih Sunnah, Sayyid Sabiq, hal , 45
[5] Hadits shahih; Riwayat Bukhari (No. 5332), Muslim (No. 1471), Abu Dawud dalam "Aunul Ma"bud (VI/227 No. 2165) dan An-Nasa"i (VI/138)
0 komentar:
Post a Comment