Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Wednesday, May 02, 2018

TALAK SUNNY DAN TALAK BID’IY


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Talak dari segi kesesuaian dengan sunnah dan bid’ah terbagi kepada sunni dan bid’i. Sunnah adalah yang diizinkan Allah SWT. Bid’ah adalah yang dilarang oleh syari’at. Asal bid’ah adalah membuat sesuatu  yang baru setelah disempurnakan. Asal pembagian ini adalah firman Allah SWT; “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)...”(QS. Ath-Thalaaq:1).
Para fuqaha dengan kesepakatan mereka terhadap pembagian ini memiliki beberapa pendapat dalam menentukan talak sunni dan bid’i, serta jenis hukum dalam talak bid’i. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa talak ada tiga jenis, yaitu talak yang paling bagus, talak yang bagus (talak sunnah), dan talak bid’iy.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Talak Sunny dan Talak Bid’iy.?
2.      Apa landasan hukumnya.?
3.      Bagaimana pendapat ulama menyangkut keabsahan Talak Bid’iy.?
4.      Bagaimana konsekuensi hukumnya?

C.    Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui dan memahami mengenai hal- hal yang berkaitan dengan Talak Sunny dan Talak Bid’iy serta Talak bukan sunny juga bukan bid’iy.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Thalaq Sunny
Thalaq sunny merupakan thalaq yang jatuh menurut tuntunan syara. Maksudnya adalah Thalak yang sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seorang suami mentalak istrinya yang pernah dicampuri dengan sekali talak di masa bersih dan belum didukhul selama bersih tersebut.[1] Dengan kata lain sunni menceraikan isteri yang sudah pernah dicampurinya dengan satu thalaq pada waktu suci dan tidak mencampuri di  waktu suci.[2] Sesuai dengan firman Allah: Thalaq itu dua kali. Karena itu peganglah dia dengan baik (Sesudah kamu menthalaq dua kali itu).
Maksudnya bahwa thalaq yang dibenarkan oleh agama untuk dirujuk kembali ialah sekali cerai kemudian rujuk lalu cerai lagi kemudian rujuk lagi. Kemudian apabila seorang suami yang menceraikan isterinya sesudah rujuk yang kedua kalinya maka ia boleh memilih antara terus memegang isterinya dengan baik-baik atau melepaskannya dengan baik-baik.
Menurut KHI pasal 121 bahwasannya thalaq sunny adalah: “Thalaq yang dibolehkan yaitu thalaq yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.”

Ø  Thalaq Dapat Dikatakan Thalaq Sunny Jika Memenuhi Empat Syarat:
  1. Isteri yang di thalaq sudah pernah digauli, bila belum pernah digauli bukan termasuk talak sunny;
  2. Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah dithalaq, yaitu dalam keadaan suci dari haid;
  3. Thalaq itu dijatuhkan ketika isteri dalam keadaan suci, baik dipermulaan, dipertengahan maupun diakhir suci, kendati beberapa saat lalu datang haid;
  4. Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci dimana thalaq itu dijatuhkan.

B.     Landasan Hukum
Allah SWT berfirman dalam Q.S. Ath-Thalaq: 1

يا يها اانبي اذا طلقتم النساء فطلقو هن لعد تهن
Artinya : Wahai Nabi apabila kamu menceraikan isteri-isteri maka ceraikanlah dalam waktu iddahnya.”
Maksudnya apabila kamu hendak menceraikan isteri maka ceraikanlah mereka menjelang iddahnya. Bahwa perempuan yang tercerai dikatakan menyambut iddah yaitu apabila ia diceraikan sesudah bersih dari haid atau nifas atau sebelum disetubuhinya.[3]
 Menurut firman Allah SWT : (QS. Al-Baqarah : 229)
اطلاق مرتان فامساك بمعروف او تسريح بإحسا ن
Artinya: “bahwa thalaq yang di syari’atkan itu hanya sekali kemudian dirujuk, kemudian sekali lagi lantas rujuk lagi, kemudian suami boleh memeilih mrujuk lagi atau melepaskan dengan cara yang baik”
Hikmahnya ialah bahwa perempuan itu apabila diceraikan sewaktu haid tidak langsung memasuki iddah karena iddanya akan bertambah panjang, karena sisa waktu haidnya tidak dihitung dalam hal ini akan merugikan pihak isteri, apabila isteri diceraikan pada saat sedang suci kemudian dicampuri pada saat suci tersebut maka ia tidak tahu apakah ia hamil atau tidak, ia tidak tahu iddah mana yang harus deperangi, iddah suci atau sampai ia melahirkan anaknya?
Imam Muslim dan lain-lain meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar menceraikan isterinya sewaktu haid, kemudian Umar bin Khatab menanyakan masalahnya kepada Rasulullah SAW, beliau menjawab:
Artinya : “Perintahkan dia untuk merujuknya, suruh ia mempergauli sampai ia suci, sampai ia haid kemudian suci lagi. Kemudian kalau ia mau boleh menahan (merujuknya)setelah suci dan kalau ia mau ia boleh menthalaqnya sebelum ia mencampurinya.”

Nafi’ bin Abdullah bin Umar r.a menceritakan bahwa pada masa Rasulullah SAW, dia pernah menjatuhkan thalaq kepada isterinya yang sedang haid. Lalu Umar r.a. bertanya kepada Rasulullah SAW, tentang perkara tadi. Rasulullah SAW bersabda: “Perintahkanlah ia untuk merujuk isterinya, lalu tahanlah isterinya sampai ia suci dari haidnya, kemudian haid (lagi). Setelah itu, ia suci dari haidnya. Kemudian jika ia mau menahan isterinya ( maka tahanlah ), dan jika ia mau untuk menjatuhkan thalaqnya sebelum menyetubuhinya ( maka thalaqlah ). Itulah iddah yang diprintahkan Allah SWT. Kepada ( para suami ) untuk menjatuhkan thalaq kepada isterinya
Didalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa Ibnu Umar ra menjatuhkan thalaq kepada isterinya yang sedang haid dengan sekali thalaq. Kemudian Umar ra membawa masalah ini kepada Rasulullah SAW, lalu rasululah  bersabda:

مر ه فليراجحها ثم ليطلقها إذا طهرت آو وهي   حا مل
"Perintahkanlah ia merujuk isterinya, kemudian thalaqlah ketika ia sudah bersih
 ( dari haidnya ) atau ketika ia hamil.”
Secara eksplisit riwayat ini menunjukan bahwa thalaq yang dijatuhkan kepada seorang isteri yang sedang suci dari haid adalah thalaq yang sesuai dengan Sunnah dan bukan merupakan thalaq bid’ah.Mazhab yang menganut pendapat diatas adalah mazhab Abu Hanifah. Mereka beralasan bahwa larangan untuk menjatuhkan thalaq adalah ketika perempuan dalam keadaan haid, tetapi jika mereka sudah bersih dari haidnya maka larangan itu tidak ada, dalam arti suami boleh menjatuhkan thalaq kepada isterinya ketika sang isteri dalam keadaan bersih dari haid dan nifas.

C.    Definisi Thalaq Bid’iy
Thalaq Bid'iy adalah thalak yang dijatuhkan pada waktu dan jumlah yang tidak tepat. Maksud thalaq yang dijatuhkan pada waktu yang tidak tepat adalah thalaq yang dijatuhkan terhadap isteri pada waktu isteri tersebut haid atau thalaq yang dijatuhkan terhadap isteri yang telah dicampuri pada waktu ia bersih. Sedangkan thalaq yang dijatuhkan pada jumlah yang tidak tepat adalah thalaq yang diucapkan tiga kali pada waktu yang bersamaan, ucapan thalaq tiga atau tiga thalaq yang diucapkan sekaligus. Umpamanya seorang suami berkata kepada isterinya : Engkau terthalaq, engkau terthalaq, engkau terthalaq. Atau seorang suami menthalaq isterinya di masa isterinya haid atau nifas atau dimasa suci sesudah ia kumpul (disetubuhi).[4]

Alasan Diharamkan Talak Bid`iy
a)      Haid : Karena masa haid yg saat itu dijatuhi talak, tidak dihitung sebagai bagian masa iddah. Sehingga pasca ditalak, statusnya bukan isteri juga bukan yang sedang idah.
b)      Suci tapi Dijimak : Karena ketidakjelasan masa idah yg akan dijalaninya. Jika hamil, berarti memakai idah hamil, jika tdk hamil, maka memakai idah quru’, walaupun masa suci tersebut masuk hitungan quru’.

D.    Pendapat Ulama (Keabsahan Talak Bid’iy)
Thalaq yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang dalam keadaan haid, beberapa ulama berbeda pendapat tentang jatuhnya thalaq, antara lain:
·         Jumhur ulama berpendapat bahwa thalaq tersebut dapat disahkan;
Pendapat madzhab Abu Hanifah, Imam Syafi'i, Imam Maliki dan Imam Hambali, menyatakan bahwa thalaq bid'iy walaupun thalaqnya haram, tetapi hukumnya sah dan thalaqnya jatuh, beralaskan bahwa talaq bid’iy ini masih termasuk dalam makna ayat yang umum. Adapun menurut Imam Malik hukum merujuknya adalah wajib.  
Mereka yang mengesahkan thalaq tersebut berpendapat bahwa laki-laki yang telah menjatuhkan thalaq terhadap istrinya dalam keadaan istrinya haid harus merujuk kembali istrinya. Dalil yang menjadi landasan pendapat ini adalah sebagai berikut;
Ibnu “Umar radhiyallahu “anhuma mentalak istrinya dalam keadaan haidh. Kemudian “Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu “anhu menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam, maka beliau bersabda:
Perintahkan agar ia kembali kepada (istri)nya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haidh dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki ia boleh tetap menahannya menjadi istri atau bila ia menghendaki ia boleh menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa “iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan istri.”[5]
Mengenai hukumnya rujuk akibat thalaq yang dijatuhkan sewaktu haid, terbagi ke dalam dua golongan yaitu:
1.      Golongan pertama yang berpendapat bahwa rujuknya itu wajib. Pernyataan ini dikemukakan oleh Imam Malik berserta pengikutnya;
2.      Golongan kedua berpendapat bahwa laki-laki yang menalak istrinya sewaktu haid tersebut disunahkan rujuk kembali tanpa paksaan. Pendapat ini dinyatakan oleh Syafi'i, Abu Hanifah, Ats-tsauri, dan Ahmad.
·         Segolongan ulama lain berpendapat bahwa thalaq tersebut tidak sah;
Mereka menolak memasukkan thalaq bid'iy dalam pengertian thalaq pada umumnya, karena thalaq bid'i adalah thalaq yang tidak diizinkan oleh Allah SWT. Demikian juga Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyim dan Ibnu Hazm menolak jatuhnya thalaq sewaktu haid, dikarenakan mereka berpendapat apabila dianggap sah thalaq pada waktu istri haid atau pada waktu istri suci namun telah dicampuri, maka dalam hal itu terdapat unsur penganiyaan.
Rasulullah marah ketika diberi tahu tentang perceraian Ibnu Umar, padahal Rasulullah SAW tidak pernah marah terhadap barang  yang halal, walhasil telah disepakati bahwa thalaq yang berlawanan dengan thalaq sunni dinamakan thalaq bid’i. Rasulullah SAW bersabda :
“(Sesunggunhnya yang bid’ah adalah sesat)”                         ان كل بد عة ضلا لة
Dapat disimpulkan talak ini adalah thalaq yang bertentangan dengan tuntutan syara. Seperti yang dijelaskan dalam hadits-hadits bahwasanya segala sesuatu yang bertentangan dengan syariat Allah dan Rasulnya tidak dapat diterima
Nabi  Muhammad SAW bersabda :
من عمل عملا ليس عليه امر نا فهو رد
Artinya :
“ Barang siapa yang beramal tidak menuruti sunnahknu adalah tertolak.”
Orang yang berpendapat bahwa perbuatan tersebut itu bid’ah maka tidak diperintahnkan Nabi. Orang yang melakukan thalaq bid’iy terikat dengan hadits diatas dan tidak dapat diterima kecuali apabila dapat mengemukakan alasan.
Demikian madzhab Ibnu Umar dari kalangan shahabat, said bin Musayyab, Thawus dan Abu Qilab dari kalangan Tabi’in. Pendapat ini dipegangi oleh orang-orang  Zhahiriyyah, Ibnu Uqail dan Ibnu Taimiyah  dari kalangan Mazhab Hambali, demikian pula imam-imam ahlul bait.

E.     Konsekuensi Hukumnya
Ø  Talak Sunniy dan Talak yang Bukan Sunniy-Bid`iy : Disepakati Keabsahannya
Ø  Talak Bid`iy : Mayoritas (Haram-Sah), Zhahiri-Taymiy (Haram-Tidak Sah)
Landasan Hukumnya sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ، وَهِيَ حَائِضٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَسَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ ذَلِكَ ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا،.......(أخرجه مسلم وغيره
أن الفروج يحتاط لها أن الطلاق أوسع حكما وأقوى نفوذا من النكاح الإحتياط في الخروج من الحرمة إلى الإباحة, أشد منه في العكس
v  Merujuk Talak Bid`iy
·         Mayoritas Ulama: Sunnah
·         Malikiyah: Wajib (Dapat dipaksa untuk rujuk)
Landasan Hukumnya sebagai berikut:
عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ، وَهِيَ حَائِضٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَسَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا، ثُمَّ لِيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ، ثُمَّ تَحِيضَ، ثُمَّ تَطْهُرَ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ، وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ. (أخرجه مسلم وغيره)
عَنْ سَالِمٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، فَذَكَرَ ذَلِكَ عُمَرُ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ: «مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا، ثُمَّ لِيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا، أَوْ حَامِلًا» (أخرجه مسلم وغيره)
v  Mentalak kembali saat suci pasca haid yang dijatuhi talak
ü  Haram:
1.      Qawl Ashah Syafi`iyah
2.      Abu Yusuf & Muhammad
3.      Taymiy
ü  Boleh:
1.      Hanafiyah
2.      Malikiyah
3.      Qawl Shahih Syafi`iyah
4.      Hanabilah
F.     Thalaq bukan Sunny dan bukan Bid'iy
Adalah thalaq yang tidak termasuk kategori thalaq sunni dan thalaq bid'iy. Yaitu :
1)      Thalaq yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli;
2)      Thalaq yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid, atau istri yang telah lepas haid;
3)      Thalaq yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil;
4)      Thalaq yang dijatuhkan terhadap istri yang masih kecil;
5)      Thalaq yang dijatuhkan terhadap istri yang mengkhulu';
6)      Thalaq karena sumpah 'ila





















BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Thalaq sunny merupakan thalaq yang jatuh menurut tuntunan syara. Maksudnya adalah Thalak yang sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seorang suami mentalak istrinya yang pernah dicampuri dengan sekali talak di masa bersih dan belum didukhul selama bersih tersebut. Menurut KHI pasal 121 bahwasannya thalaq sunny adalah: “Thalaq yang dibolehkan yaitu thalaq yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.”
Thalaq Bid'iy adalah thalak yang dijatuhkan pada waktu dan jumlah yang tidak tepat. Maksud thalaq yang dijatuhkan pada waktu yang tidak tepat adalah thalaq yang dijatuhkan terhadap isteri pada waktu isteri tersebut haid atau thalaq yang dijatuhkan terhadap isteri yang telah dicampuri pada waktu ia bersih.
Jadi setelah kita mempelajari thalaq khusunya thalaq Sunny dan thalaq Bid’iy ini kita harus lebih berhati-hati lagi dalam masalah talak dan harus lebih memperhatikan keadaan seorang isteri supaya kita tidak menyalahi aturan yang telah ditentukan dan tentunya kita semua dalam segala perbuatan ingin mendapat ridhonya Allah SWT.











DAFTAR PUSTAKA

*      Kompilasi Hukum Islam
*      Rahmat Hakim. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia.
*      Rusydi, Ibnu. 1997. Bidayatul Mujtahid wa nihayatul muqtashid. Bandung: Trigenda Karya.
*      Sayyid Sabiq. 2013. Fiqh Sunnah. Jakarta: Tinta Abadi Gemilang.
*      Syaikh Hasan Ayub. Penerjemah Abdul Ghafar. 2001. Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
*      Wahbah Az-zuhaili. 2011.  Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jakarta: Gema Insani Darul Fikir.









[1] Rahmat Hakim (2000: 160)
[2] H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah,  (Hal 192).
[3] Fikih Sunnah, Sayyid  Sabiq, hal 42.
[4] Fikih Sunnah, Sayyid Sabiq, hal , 45
[5] Hadits shahih; Riwayat Bukhari (No. 5332), Muslim (No. 1471), Abu Dawud dalam "Aunul Ma"bud (VI/227 No. 2165) dan An-Nasa"i (VI/138)


Share:

0 komentar:

Post a Comment