Sumber:Google.com
PENDAHULUAN
Penulis: Yusuf Abdul Aziz
A. Latar Belakang
Hukum waris
adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta
kekayaan seseorang yang meninggal dunia, dengan kata lain, mengatur peralihan
harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibat –
akibatnya bagi ahli waris.
Hukum Waris
yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam
dan Hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang berbeda-beda sesuai
dengan sistem kekerababatan yang mereka anut.
Berdasarkan Surat Mahkamah Agung
(“MA”) RI tanggal 8 Mei 1991 No. MA/kumdil/171/V/K/1991 ditentukan mengenai
ketentuan kewenangan hukum berdasarkan masing-masing kelompok Penduduk di
Indonesia yaitu::
- Penduduk Asli Indonesia, berlaku Hukum Adat;
- Orang Belanda, Eropa dan yang dipersamakan dengan
itu berlaku Hukum Perdata BW;
- Keturunan Tiong Hoa sejak tahun 1919 berlaku
Hukum Perdata Barat
- Keturunan Timur Asing Lainnya (Arab, Hindu,
Pakistan dan Lain-lain) dalam Pewarisan Berlaku Hukum Negara Leluhurnya.
Namun setelah lahirnya Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 atau yang
disebut Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), masalah Pewarisan bagi Penduduk
Indonesia yang beragama Islam diatur dalam Buku II Hukum Kewarisan (Pasal
171-214) KHI tersebut, adapun lembaga pengawas atas pewarisan tersebut adalah
Peradilan Agama.
Pengadilan Agama berwenang
mengeluarkan Fatwa atau penetapan mengenai Pembagian Harta Peninggalan seorang
pewaris yang beragama Islam. Kewenangan ini berdasarkan ketentuan Pasal 49
huruf b UU No. 3 / 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 / 1989 tentang
Peradilan Agama. Fatwa Waris dikeluarkan oleh Pengadilan Agama atas dasar
permohonan ahli waris. Fatwa Waris berlaku sebagai keterangan siapa saja yang
berhak untuk mewarisi harta peninggalan si Pewaris (ahli waris). Berdasarkan
Fatwa Waris tersebut, Notaris/PPAT dapat menentukan siapa saja yang berhak
untuk menjual tanah warisan dimaksud.
Berkenaan dengan itu, dalam
prakteknya yang terjadi sekarang banyak dari Penduduk warga Negara Indonesia
yang beragama selain Islam lebih memilih dan memakai Hukum Waris yang diatur
dalam KUHPerdata daripada Hukum Waris yang ditentukan sesuai dengan isi “Fatwa
Waris MA”, adapun upaya ini sering disebut dengan “Penundukan secara Sukarela”
dan diperbolehkan berdasarkan Pasal 131 ayat (2) huruf b yang menjelaskan
bahwa:
“Untuk orang-orang Indonesia,
golongan Timur Asing atau bagian-bagian dari golongan-golongan itu, yang
merupakan dua golongan dari penduduk, sepanjang kebutuhan masyarakat megnghendaki,
diberlakukan baik ketentuan perundang-undangan untuk golongan Eropa, sedapat
mungkin dengan mengadakan perubahan-perubahan seperlunya, maupun ketentuan
perundang-undangan yang sama dengan golongan Eropa, sedangkan untuk hal-hal
lain yang belum diatur di situ, bagi mereka berlaku peraturan hukum yang
bertalian dengan agama dan adat-kebiasaan mereka, yang hanya dapat menyimpang
dari itu, apabila temyata kepentingan umum atau kebutuhan masyarakat
menghendakinya”
Sehingga dengan adanya fasilitas Penundukan
secara sukarela ini, sebagian besar Penduduk Indonesia yang beragama selain
Islam melaksanakan kegiatan pewarisannya berdasarkan KUHPerdata. Oleh karena
kecenderungan seperti itu banyak yang berspekulasi bahwa Hukum Kewarisan di
Indonesia yang berlaku hanya 2 (dua) yaitu Hukum Kewarisan Islam berdasarkan
KHI dan UU No. 3/ 2006 untuk Penduduk Indonesia yang beragama Islam dan Hukum
Kewarisan Perdata Barat berdasarkan KUHPerdata untuk Penduduk Indonesia selain
Islam. Pernyataan adalah salah meskipun dalam prakteknya terjadi demikian. Akan
tetapi Hal tersebut tidak merubah keberlakukan Hukum Adat dan Hukum Agama
masing-masing dari Penduduk Selain Islam untuk diterapkan.
Hukum Perdata Barat yang terdapat
dalam KUHPerdata adalah bersifat mengatur atau yang disebut “anvullenrecht”,
hal ini bermaksud bahwa sebenarnya tidak unsur paksaan harus diterapkannya
ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata untuk diterapkan dalam permasalahan
Kewarisan di Indonesia namun apabila mereka menginginkan untuk menggunakan
KUHPerdata dalam penyelesaian Kewarisan mereka maka hal itu
diperbolehkan. Karena dalam prakteknya demikian, Penulis hanya membatasi
pembahasan mengenai Hukum Kewarisan selain Islam khusus hanya sebatas Hukum
Kewarisan menurut KUHPerdata sebagaimana banyak digunakan dalam praktek.
B. Rumusan
masalah
a. Bagaimana Definisi Hukum Kewarisan menurut Hukum
Perdata (BW) dan KHI
b. Hukum kewarisan menurut Kompilasi Hulum Islam (KHI).
c. Hukum Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW)
C. Tujuan
Penulisan
a. Agar mahasiswa mengetahui hukum waris menurut KHI dan
BW
b. Agar mahasiswa dapat memahami hukum kewarisan dalam
KHI
c. agar mahasiswa memahami hukum kewarisan menurut BW
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Hukum Kewarisan menurut Hukum Perdata (BW) dan KHI
Definisi Hukum Waris menurut hukum
perdata
Hukum waris (erfecht) ialah hukum yang mengatur
kedudukan antara kekayaan seseorang apabila orang tersebut meninggal dunia.
Prof. Wirjono Prododikoro menuturkan bahwa hukum waris sebagai soal apakah dan
bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang
ketika meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup. Dalam kata
lain hukum waris dapat dirumuskan sebagai salah satu peraturan hukum yang
mengatur tentang beralihnya harta warisan dari pewaris karena kematian kepada
ahli waris atau orang ditunjuk .
Menurut A. Pitlo, hukum waris adalah kumpulan
peraturan-peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya
seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati
dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam
hubungan antar mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antar mereka dengan
pihak ketiga .
Mr. Dr. H.D.M. Knol dalam bukunya BEGINSELEN VAN
HETPRIVAATRECHT, menyebutkan hukum waris mengatur ketentuan-ketentuan tentang
perpiandahan harta peninggalan dari orang yang telah meninggal kepada seorang
ahli waris atau lebih .
Dari beberapa pengertian di atas bahwa hukum waris
merupakan seperangkat hukum yang mengatur perpindahan atau beralihnya harta
kekayaan yang ditinggalkan dari pewaris ke ahli waris karena kematian baik
memiliki hubungan antar mereka maupun pihak lain.
2. Definisi Hukum Kewarisan menurut Kompilasi Hukum
Islam (KHI)
Dalam persfektif Islam para ulama menyebutkan ialah
berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli
warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan berupa harta (uang), tanah,
ataupun apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i .
Sedangkan Hukum kewarisan menurut KHI sebagaimana
disebutkan dalam pasal 1 poin a adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan
hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang
berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing .
B. kewarisan
menurut Kompilasi Hulum Islam (KHI).
Pada
dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya, yang
dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena kematian. Oleh karena itu, pewarisan
baru akan terjadi jika terpenuhi beberapa unsur-unsur persyaratan yang harus
dipenuhi :
1. Ada seseorang yang meninggal dunia atau pewaris
(erflater).
2. Ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris
yang akan memperoleh warisan pada saat meninggal dunia atau ahli waris
(erfgenaam).
3. Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan atau
harta warisan (nalatenschap).
Dalam hukum waris menurut BW. berlaku suatu asas bahwa
“ apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan
kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”. Hak-hak dan kewajiban
tersebut sepanjang termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hanya hak
dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang . sebagaimana tertera dalam pasal
830 KUHPerdata yaitu, pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Maksudnya,
bahwa jika seorang meninggal dunia, maka seluruh hak dan kewajibannya
beralih/berpindah kepada ahli warisnnya. Selanjutnya tercantum dalam pasal 833
KUHPerdata yaitu, sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh
hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang si yang meninggal .
Asas tersebut dia atas tadi tercantum pada suatu
pepatah Prancis yang berbunyi, “le mort saisit le vif”, sedangkan pengoperan
segala hak dan kewajiban dari pewaris (yang meninggal) oleh para ahli waris itu
dinamakan saisine .
a. Kewarisan dalam sistem hukum waris BW.
Sistem hukum ini meliputi seluruh harta benda beserta
hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan
yang dapat dinilai dengan uang. akan tetapi terhadap ketentuan tersebut ada
bebrapa pengecualian, dimana hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta
kekayaan ada juga yang tidak dapat beralih kepada ahli waris , yaitu:
a. Hak memungut hasil (vruchtgebruik).
b. Perjanjian pemburuhan, dengan pekerjaan yang harus
dilakukan bersifat pribadi.
c. Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk
maatschap menurut BW maupun Firma menurut WVK, sebab perkongsian ini berakhir
dengan meninggalnya salah seorang anggota persero.
Ada beberapa hak yang walaupun hak itu terletak dalam
lapangan hukum keluarga, akan tetapi dapat diwariskan kepada ahli waris pemilik
hak tersebut, yaitu:
a. Hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang
anak.
b. Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia
dinyatakan sebagai anak yang sah dari bapak atau ibunya.
Berdasarkan pasal 528 KUHPerdata, hak waris
diidentikan dengan hak kebendaan, sedangkan ketentuan pasal 584 KUHPerdata
menyebutkan hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan.
Oleh karenanya dalam BW, penempatannya dimasukan dalam buku II BW tentang Benda
(pasal 830 s/d 1130) .
Sistem waris BW tidak mengenal istilah “harta asal
maupun harta gonogini” atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan,
sebab harta warisan dalam BW dari siapa pun juga, merupakan kesatuan yang
secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih tangan peninggal
warisan/pewaris ke ahli warisnya. Artinya, dalam BW tidak dikenal perbedaan
pengaturan atas dasar macam atau asla barang-barang yang ditinggalkan pewaris.
Seperti yang ditegaskan dalam pasal 849 BWyaitu, undang-undang tidak memandang
sifat atau asal barang-barang dalam suatu peninggalan untuk mengatur pewarisan
terhadapnya. Sistem hukum BW menyebutkan harta asal yang dibawa masing-masing
ketika menikah, maupun harta yang diperoleh selama perkawinan digabungkan
menjadi satu kesatuan yang bulat yang akan beralih dan diwarisi oleh seluruh
ahli warisnya.
b. Pewaris dan dasar hukum mewarisi
Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik
laki-laki maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun
hak-hak yang diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan
selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat. Dasar
hukum seseorang ahli mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris
BW ada dua cara, yaitu:
- Menurut ketentuan undang-undang.
- Ditunjuk dalam surat wasiat.
Undang-undang telah menentukan bahwa untuk melanjutkan
kedudukan hukum seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan dengan
kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-undang memiliki prinsip
seseorang bebas untuk menentukan kehendaknya tentang harta kekayaan setelah
meninggal dunia. Akan tetapi apabila ternyata seorang tidak menentukan sendiri
ketika ia hidup tentang apa yang terjadi terhadap harta kekayaannya maka dalam
hal demikian undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta
kekayaan seseorang tersebut.
Selain undang-undang dasar lainnya yaitu dalam bentuk
surat wasiat. Surat wasiat atau testamen adalah suatu pernyataan tentang apa
yang dikehendaki oleh si pewaris. Surat wasiat berlaku setelah pembuat wasiat
meninggal dunia dan tidak dapat ditarik kembali. Selama pembuat surat wasiat
masih hidup, surat tersebut dapat diubah dan dicabut. seseorang dapat
mewariskan sebagian atau seluruhnya hartanya dengan surat wasiat. apabila
seseorang hanya menetapkan sebagian melalui surat wasiat, selain itu merupakan
bagian ahli waris berdasarkan undang-undang .Wasiat ini sebagaimana tercantum
dalam BW pasal 874, 875,879, 880, 890, 893, 894, 895, 897, 930, 944, 946, 947,
950, 951, 954, 988, yang mana didalamnya mengatur tentang pembahasan wasiat.
c. Ahli waris dan bagian masing-masing menurut BW.
Ahli waris ialah orang-orang tertentu, yang secara
limitative diatur dalam BW, yang menerima harta peninggalan , yaitu:
1. Ahli waris yang mewarisi berdasarkan kedudukan
sendiri atau mewarisi secara langsung, misalnya jika ayah meninggal dunia, maka
sekalian anak-anaknya tampil sebagai ahli waris. cara ini dikenal dengan
pewarisan ab instestato, yaitu perolehan warisan berdasarkan adanya hubungan
darah atau disebut pula pewarisan undang-undang, yang mana undang-undang dengan
sendirinya menjadi ahli waris. Yang termasuk dalam ab instetato terdapat empat
golongan dalam penentuan siapa saja yang berhak mewarisi ini berlaku asas
keutamaan golongan, maksudnya apabila golongan teratas tidak ada, maka yang
berhak mewarisi adalah golongan di bawah berikutnya, antara lain:
- Golongan I : yaitu suami/isteri yang masih hidup,
dan sekalian anak beserta keturunnya dalam garis lurus kebawah.
- Golongan II : yaitu orang tua dan saudara-saudara
pewaris. Pada asasnya bagian orang tua disamakan dengan bagian saudara-saudara
pewaris, tetapi ada jaminan di mana bagian orang tua tidak boleh kurang dari
seperempat harta peninggalan.
- Golongan III : Yaitu kakek-nenek yang mana terdapat
asas kloving, yaitu harta peninggalan harus dibagi dua, setengah untuk kakek
nenen pihak ayah, setengah bagian lain untuk kakek nenek pihak ibu. Hal ini
tidak terdapat golongan I dan II (pasal 853 dan 854).
- Golongan IV : Yaitu sanak saudara dalam garis ke
samping dan sanak saudara lainnya samapai derajat keenam.
2. Ahli waris berdasarkan penggantian (bij
plaatsvervulling), dalam hal ini disebut ahli waris tidak langsung.
3. Pihak ketiga yang bukan ahli waris dapat menikmati
harta peninggalan, yaitu dalam hal adanya suatu wasiat yang dibuat oleh
pewaris, yang menetapkan bagian tertentu harta peninggalannya diwariskan kepada
orang yang bukan ahli waris sebenarnya. pihak ketiga ini bisa pribadi ataupun
badan hukum. Cara pewarisan ini dikenal sebagai cara pewarisan testamentaire.
Pihak ketiga yang menerima warisan ini disebut legataris sedangakan harta
peninggalan tersebut disebut legaat.
Seorang Ahli waris diberi hak untuk berfikir selam
empat bulan (pasal 1024 BW) setelah itu harus menyatakan sikapnya apakah
menerima atau menolak warisan atau mungkin saja menarima warisan dengan syarat
yang dinamakan menerima warisan secara benefisiaire yang merupakan jalan tengah
antara menerima atau menolaknya. Setelah jangka waktu yang ditentukan oleh
undang-undang berakhir, seorang ahli waris dapat memilih antara tiga
kemungkinan, yaitu:
- Menerima warisan dengan penuh.
- Menerima warisan tetapi dengan ketentuan bahwa dia
tidak akan diwajibkan menbayar hutang-hutang pewaris yang melebihi bagiannya
dalam warisan itu, atau disebut dengan istilah menerima warisan secara
beneficiere.
- Menolak warisan
Akibat menolak warisan ialah dianggap tidak pernah
menjadi ahli waris, karena jika ia meninggal lebih dahulu dari pewaris ia tidak
dapat digantikan kedudukannya oleh anaknya-anaknya yang masih hidup.
Telah dikemukakan sebelumnya di dalamBW mengenal empat
golongan ahli waris yang bergiliran berhak atas harta peninggalan. Maksudnya,
apabila golongan pertama masih ada, maka golongan kedua dan seterusnya tidak
berhak atas harta peninggalan, demikian pula apabila golongan pertama tidak ada
sama sekali, yang berhak hanya golongan kedua., sedangkan yang lain tidak
berhak sama sekali. Berikut bagian masing-masing golongan :
a. Golongan I, bagiannya ditetapkan dalam pasal 852,
852a, 852b, dan 515 KUHPerdata.
b. Golongan II, bagiannya ditetapkan dalam pasal 854,
855, 856, dan 857 KUHPerdata.
c. Golongan III, bagiannya ditetapkan dalam pasal 853,
858, 859 KUHPerdata
d. Golongan IV, bagiannya ditetapkan dalam pasal 858
ayat 2, 861, 832 ayat 2, 862, 863, 864, 865, 866 KUHPerdata.
Ada pihak yang tersangkut dalam warisan yaitu pihak
ketiga, yang dalam BW dikenal adanya:
- Fidei Commis ialah suatu pemberian warisan kepada
seseorang ahli waris dengan ketentuan bahwa ia berkewajiban menyimpan warisan
itu dan setelah lewatnya suatu waktu warisan itu harus diserahkan kepada orang
lain, yang sudah ditetapkan dalam testament.
- Executer Testamentaire ialah pelaksana wasiat yang
ditunjuk oleh si pewaris, yang bertugas mengawasi pelaksanaan surat wasiat
secara sungguh-sungguh sesuai dengan kehendak pewaris.
- Bewindvoerder ialah orang yang ditentukan dalam
wasiat untuk mengurus harta peninggalan sehinggga ahli waris/legataris hanya
menerima penghasilan dari harta peninggalan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar
harta peninggalan tersebut tidak dihabiskan secara singkat oleh ahli
waris/legataris.
d. Peran balai harta peninggalan
Apabila harta warisan telah terbuka namun tidak
seorang pun ahli waris yang tampil ke muka sebagai ahli waris, tidak seseorang
pun yang menolak warisan, maka warisan tersebut dianggap sebagai harta warisan
yang tidak terurus. Dalam keadaan seperti ini tanpa menunggu perintah hakim,
Balai Harta Peninggalan wajib mengurus harta peninggalan tersebut. Pekerjaan
pengurus itu harus dilaporkan kepada kejaksaan negeri setempat. jika terjadi
perselisihan tentang apakah suatu harta peninggalan tidak terurus atau tidak,
penentuan ini akan diputus oleh hakim.
Dalam tugasnya Balai Harta Peninggalan memiliki
kewajiban-kewajiaban dalam mengurusi harta warisan yang tak terurus:
- Wajib membuat perincian inventaris tentang kedaan
harta peninggalan, yang didahului dengan penyegelan barang-barang.
- Wajib membereskan warisan, dalam arti menagih hutang
piutang pewaris dan membayar semua hutang pewaris. Apabila diminta oleh pihak
yang berwajib, balai Harta Peninggalan jugawajibkan memeberikan pertanggung
jawabkan.
- Wajib memanggil para ahli waris yang mungkin masih
ada melalui surat kabar atau paggilan resmi lainnya.
Jika dalam jangka waktu tiga tahun terhitung mulai
saat terbukanya warisan, belum juga ada ahli waris yang tampil ke muka, Balai
Harta Peninggalan akan memberikan pertanggungjawaban atas pengurusan itu kepada
Negara. Selanjutnya harta peninggalan itu akan diwarisi dan menjadi hak milik
Negara.
e. Ahli waris yang tidak patut menerima harta warisan
1. Seorang ahli waris membunuh atau setidak-tidaknya
mencoba membunuh.
2. Seorang ahli waris memfitnah.
3. Ahli waris yang dengan kekerasan mencegah atau
menghalangi pewaris untuk membuat atau menarik kembali surat wasiat.
4. Seoarang ahli waris menggelapkan, memusnahkan, dan
memalsukan surat wasiat.
C. Hukum
kewarisan menurut Kompilasi Hulum Islam (KHI).
Hukum
kewarisan menurut KHI menganut salah satu asas bilateral, yakni seorang
menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu dari garis
keturunan perempuan maupun garis keturunan laki-laki. Asas ini secara tegas
tercantum dalam QS. an-Nisa ayat: 7, 11, 12, dan 176.
Hukum kewarisan baru terjadi apabila memenuhi beberapa
unsur yang harus dipenuhi, yakni: Pertama, pewaris yaitu orang yang pada saat
meninggalnya atau yang dinyatakan meninggla berdasarkan putusan Peradilan
beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Kedua, ahli
waris yaitu orang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewarsi, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris. Ketiga, harta peninggalan yaitu harta yang
ditinggalkan oleh pewaris baik harta benda yang menjadi miliknya maupun
hak-haknya.
Dasar hukum kewarisan dalam disebutkan dalam surat
an-Nisa ayat 7-14, 33, 34 dan 176, surat al-Baqarah ayat 233, dan surat
al-Ahzab ayat 6. Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari
Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi
yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya.
Ahli waris memiliki kewajiban setalh pewaris meninggal
sebelum harta dibagikan antara lain:
- Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah
selesai.
- Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan,
perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih hutang.
- Menyelesaikan wasiat pewaris.
- Membagi harta warisan di antara ahli waris yang
berhak.
Hal di atas sebagaimana tercantum dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 175.
Hal-hal yang menjadi penyebab terhalangnya menjadi
ahli waris apabila dengan putusan hakim.
- Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh
atau menganiaya berat pada pewaris.
- Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan
pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam hukuman 5
tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Ahli waris dan bagian masing-masing.
Pembagian ahli waris yang terdiri dari beberapa
pengelompokan, yaitu:
a. Berdasarkan hubungan darah. terdiri dari dua
golongan, Pertama, golongan laki-laki: ayah, anak laki-laki, paman, dan kakek.
Kedua, golongan perempuan: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.
b. Berdasarkan hubungan perkawinan terdiri dari duda
dan janda.
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak
menerima warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Bagian-bagian harta warisan sebagaimana telah
ditetapkan dalam pasal 176-182 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Anak yang lahir di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan
keluarga dari pihak ibunya (pasal 186 KHI).
Wasiat di Kompilasi Hukum Islam berbeda dengan wasiat
pada hukum perdata BW. Disini wasiat diberikan kepada selain ahli waris seperti
anak asuh dan apabila ahli waris dapat diberikan wasiat apabila disetujui oleh
semua ahli waris, sebagaimana terteradalam pasal 195 ayat 3 Kompilasi Hukum
Islam (KHI). Ketentuan peraturan tentang wasiat dalam KHI dapat dilihat pada
pasal 194-210 KHI Buku II tentang kewarisan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
hukum waris menurut BW. berlaku suatu asas bahwa “ apabila seseorang meninggal
dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada
sekalian ahli warisnya”. Hak-hak dan kewajiban tersebut sepanjang termasuk
dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat
dinilai dengan uang.
Sebagaimana tertera dalam pasal 830 KUHPerdata yaitu,
pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Maksudnya, bahwa jika seorang
meninggal dunia, maka seluruh hak dan kewajibannya beralih/berpindah kepada
ahli warisnnya. Selanjutnya tercantum dalam pasal 833 KUHPerdata yaitu,
sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas
segala barang, segala hak dan segala piutang si yang meninggal. Dasar hukum
seseorang ahli mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris BW
ada dua cara, yaitu:
- Menurut ketentuan undang-undang.
- Ditunjuk dalam surat wasiat.
Hukum kewarisan menurut KHI menganut salah satu asas
bilateral, yakni seorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis
kerabat, yaitu dari garis keturunan perempuan maupun garis keturunan laki-laki.
Asas ini secara tegas tercantum dalam QS. an-Nisa ayat: 7, 11, 12, dan 176.
Wasiat di Kompilasi Hukum Islam berbeda dengan wasiat
pada hukum perdata BW. Disini wasiat diberikan kepada selain ahli waris seperti
anak asuh dan apabila ahli waris dapat diberikan wasiat apabila disetujui oleh
semua ahli waris, sebagaimana terteradalam pasal 195 ayat 3 Kompilasi Hukum
Islam (KHI).
0 komentar:
Post a Comment