BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Secara garis besar hukum
agrarian di Indonesia dapat dibagi menjadi dua masa yaitu sebelum masa
Indonesia merdeka atau jaman penjajahan dan masa seduah kemerdekaan ketentuan
dibidang agrarian pada masa itu yaitu masa penjajahan belanda sangat tidak
menguntungkan bagi orang Indonesia sendiri hal ini dikarenakan kebanyakan dari
aturan itu mendisriminasi hak hak orang Indonesia untuk emmpunyai
tanah.terlebih dengan adanya politik tnam paksa di Indonesia khususnya di bidng
pertanian.setelah Indonesia merdeka pemerintah merncang undang undang pokok
agrarian yang engatur tentng tanah dan lain lain bisa di lihat di undang undang
noemer 5 tahun 1960.
Hukum agrarian pati
membicarakan soal tanah.demikian kebanyakan kita berfikir mengenal agrarian
yang sering di perbincangkan karena
istilah agrarian identic dengan persoalan tanah hukum agrarian sebenenarnya
dalam hukum memiliki pengertian yang sangat luas dalam bahasa latin agrarian
biasa disebut dengan ager mempunyai arti tanah atau sebidang tanah definisi tentang agrarian yang demikian
sangat berlainan dengan pengertian yang termaksud dalam undang undang pokok
agrarian yang memberi pengertian agrarian adalah ialah bumi air dan seperti
yang telah kita ketahui bersama, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkadung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya, undang undang
daasar pasal 33 ayat 3. di samping memenuhi kebutuhan dasar, juga merupakan
alat investasi yang menguntungkan. Dengan kata lain, tanah dan bangunan
memiliki nilai ekonomis. Oleh karena itu, wajar apabila manusia atau masyarakat
sangat membutuhkan tanah lalu dibuat bangunan dan pastinya harus mempunyai hak
perolehan bangunan atas tanah itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang menjadi dasar Hak
Guna Bangunan atas Tanah Negara?
2.
Apa saja yang termasuk ke
dalam ruang lingkup Hak Guna Bangunan?
3.
Bagaimana tata cara
pemberian atau perolehan Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara?
4.
Kapan terjadinya Hak Guna
Bangunan itu dihapuskan dan dialihkan?
C. Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui dasar dari Hak
Guna Bangunan atas Tanah Negara
2.
Mengetahui apa saja yang
termasuk ke dalam ruang lingkup Hak Guna Bangunan
3.
Memahami bagaimana tata
cara pemberian atau perolehan Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara
4.
Memahami kapan terjadinya
Hak Guna Bangunan itu dihapuskan dan dialihkan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar Hak Guna Bangunan
Atas Tanah Negara
Pasal 16 ayat (2)
ditentukan ketentuan mengenai hak-hak atas air dan ruang angkasa sesuai yang
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) ialah Hak Guna Air, Hak Pemeliharaan dan
Penangkapan Ikan, dan Hak Guna Ruang Angkasa.
Berdasarkan Pasal 16 ayat
(1) huruf c di atas, penulis berpandangan bahwa Hak Guna Bangunan merupakan
salah satu jenis hak atas tanah yang telah diakui eksistensinya dalam Hukum
Agraria Indonesia.
Hak-hak atas tanah dari
segi asal tanahnya dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :
1.
Hak atas tanah yang
bersifat primer adalah hak atas tanah yang berasal dari Tanah Negara.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atas Tanah
Negara, Hak Pakai atas Tanah Negara;
2.
Hak atas tanah yang
bersifat sekunder adalah hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Guna Bangunan atas tanah Hak
Pengelolaan, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik, Hak Pakai atas tanah Hak
Pengelolaan, Hak Pakai atas tanah Hak Milik, Hak Sewa untuk bangunan, Hak Gadai
(Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan
Hak Sewa Tanah Pertanian.[1]
Makna yang terdapat di dalam perbedaan hak-hak atas tanah
dari segi asal tanahnya berdasarkan penjelasan di atas adalah hak atas tanah
yang bersifat primer adalah hak atas tanah yang murni berasal dari Tanah Negara
dan hak atas tanah bersifat sekunder adalah hak atas tanah yang berasal dari
tanah pihak lain.
UUPA dalam substansinya
yang mengatur tentang Hak Guna Bangunan diatur
dalam ketentuan Pasal 35 sampai dengan Pasal 40. Berdasarkan ketentuan
Pasal 50 ayat (2) UUPA mengenai Hak Guna Bangunan secara lebih lanjut diatur
dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud
disini adalah Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah yang diatur dalam ketentuan Pasal 19
sampai dengan Pasal 38 serta Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2
Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan
Pendafataran Tanah.
Terjadinya Hak Guna Bangunan
Pasal 37 UUPA menegaskan
bahwa Hak Guna Bangunan terjadi pada tanah yang dikuasai langsung oleh negara
atau tanah milik orang lain. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah berdasarkan ketentuan
Pasal 21 menyatakan bahwa terjadinya Hak Guna Bangunan (HGB) berdasarkan atas
Tanah negara.
Hak Guna Bangunan ini
terjadi dengan keputusan pemberian hak yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan
Nasional berdasarkan Pasal 9 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2
Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan
Pendafataran Tanah. Hak Guna Bangunan ini terjadi sejak keputusan pemberian Hak
Guna Bangunan tersebut didaftarkan oleh pemohon kepada Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah.
Sebagai tanda bukti haknya
diterbitkan sertifikat. Hal ini diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 23 Peraturan
Pemerintah No.40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak
Pakai Atas Tanah.
Hak Guna Bangunan memiliki
jangka watu yang berbeda-beda sesuai dengan asal tanahnya. Dasar hukum
pengaturan jangka waktu Hak Guna Bangunan diatur dalam ketentuan Pasal 26
sampai dengan Pasal 29 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan
Dan Hak Pakai Atas Tanah
Negara berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 30 tahun, dapat
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 Tahun, dan dapat diperbaharui
untuk jangka waktu paling lama 30 tahun.
Permohonan perpanjangan
jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan ini diajukan selambat-lambatnya
dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut atau
perpanjangannya. Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan
dicatat dalam Buku Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.
Syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh pemegang Hak Guna Bangunan untuk perpanjangan jangka waktu atau
pembaharuan Hak Guna Bangunan adalah :
1.
Tanahnya masih digunakan
dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut;
2.
Syarat-syarat pemberian
hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.
3.
Pemegang hak masih
memenuhi syarat sebagai pemegang hak;
4.
Tanah tersebut masih
sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (rt/rw) yang bersangkutan.
B. Ruang Lingkup Hak Guna
Bangunan
1.
Subyek Pemegang Hak Guna
Bangunan.
Hak Guna Bangunan
subjeknya menurut Pasal 36 UUPA jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun
1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah adalah
:
a. Warga Negara Indonesia;
b.Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia (Badan Hukum Indonesia).
Subjek Hak Guna Bangunan
apabila tidak memenuhi syarat sebagai Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum
Indonesia, maka dalam waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan Hak Guna
Bangunan tersebut kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Bila hal ini tidak
dilakukan maka Hak Guna Bangunannya hapus karena hukum dan tanahnya menjadi Tanah Negara.[2]
2.
Kewajiban Pemegang Hak
Guna Bangunan.
Kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan berdasarkan
ketentuan Pasal 30 dan 31 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas dinyatakan bahwa :
a.
Membayar uang pemasukan
yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;
b.
Menggunakan tanah sesuai
dengan peruntukannya dan persyaratan sebagai-mana ditetapkan dalam keputusan
dan perjanjian pemberiannya;
c.
Memelihara dengan baik
tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan
hidup;
d.
Menyerahkan kembali tanah
yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak
Milik sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus;
e.
Menyerahkan sertifikat Hak
Guna Bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.
3.
Fungsi Hak Guna Bangunan.
Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebani Hak Tanggungan yang diatur dalam ketentuan Pasal 39 UUPA jo Pasal 33
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah. Prosedur Hak Tanggungan atas Hak Guna
Bangunan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta BendaBenda Yang
Berkaitan dengan Tanah Adalah:
a.
Adanya perjanjian utang
piutang yang dibuat dengan akta notariil atau akta di bawah tangan sebagai
perjanjian pokoknya;
b.
Adanya penyerahan Hak Guna
Bangunan sebagai jaminan utang yang dibuktikan dengan Akta Pemberian Hak
Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai perjanjian ikutan;
c.
Adanya pendaftaran akta
Pemberian Hak Tanggungan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan Sertipikat Hak
Tanggungan.
C.
Tata Cara Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara
Tata Cara Pemberian Hak Guna Bangunan ini diatur dalam
Pasal 35 sampai Pasal 39 UU No.9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara
Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan,
yaitu sebagai berikut :
1.
Mengajukan permohonan Hak
Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) UU No 9 tahun
1999 kepada Menteri melalui Kepala
Kantor Pertanahan yang didaerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.
2.
Setelah berkas pemohon
diterima, Kepala Kantor Pertanahan :
a. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data
fisik.
b.Mencatat pada formulir isian sesuai contoh lampiran 4.
c. Memberitahukan tanda terima berkas permohonan sesuai
formulir isian lampiran 5. Memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya
untuk perundang-undangan yang berlaku, sesuai contoh lampiran 6.
3.
Kepala Kantor Pertanahan
menelitik kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik permohonan Hak
Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan memeriksa
kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan atau diproses
lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.
Dalam hal tanah yang
dimohon belum ada surat ukurnya,Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan Kepala
Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah untuk mempersiapkan surat ukur atau
melakukan pengukuran
5.
Selanjutnya Kepala Kantor
Pertanahan memerintahkan kepada :
a. Kepala Seksi Hak
Atas Tanah atau petugas yang ditunjuk untuk memeriksa permohonan hak terhadap
tanah yang sudah terdaftar, peningkatan, perpanjangan atau pembaharuan hak atas
tanah dan terhadap tanah yang data yuridis atau data fisiknya telah cukup untuk
mengambil keputusan yang dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah
(kojnstatering rapport), sesuai contoh Lampiran 7; atau
b. Tim Penelitian Tanah untuk memeriksa permohonan hak
terhadap tanah yang belum terdaftar yang dituangkan dalam Berita Acara, sesuai
contoh Lampiran 8; atau
6.
Panitia Pemeriksa Tanah A untuk memeriksa
permohonan hak terhadap tanah selain yang diperiksa sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf b, yang dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah sesuai
contoh Lampiran 9.
7.
Dalam hal data yuridis dan
data fisik belum lengkap Kepala Knator Pertanahan memberitahukan kepada pemohon
untuk melengkapinya.
8.
Dalam hal keputusan
pemberian Hak Guna Bangunan telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), setelah mempertimbangkan pendapat
Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau Pejabat yang ditunjuk atau Tim Penelitian
Tanah atau Panitia Pemeriksa Tanah A, sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Kepala Kantor Pertanahan menerbitkan keputusan pemberian hak Guna Bangunan atas
tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan
penolakannya .
9.
Dalam hal keputusan
pemberian Hak Guna Bangunan tidak dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan menyampaikan berkas permohonan tersebut kepada Kepala Kantor
Wilayah, disertai pendapat dan pertimbangannya, sesuai contoh Lampiran 10
10. Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat
dan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6), Kepala Kantor
Wilayah memerintahkan kepada Kepala Bidang Hak-hak Atas Tanah untuk:
a. Mencatat dalm
formulir isian sesuai contoh Lampiran 11.
b. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data
fisik, dan apabila belum lengkap segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan
untuk melengkapinya.
11. Kepala Kantor Wilayah meneliti kelengkapan dan kebenaran
data yuridis dan data fisik atas tanah yang dimohon beserta pendapat dan
pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(6) dan memeriksa kelayakan.
12. Dalam hal keputusan pemberian Hak Guna Bangunan telah
dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2), setelah mempertimbangkan pendapat Kepala Kantor Pertanahan
sebagaimana dimaksud Pasal 37 ayat (6), Kepala Kantor Wilayah menerbitkan
keputusan pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang dimohon atau keputusan
penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya.
13. Dalam hal keputusan pemberian Hak Guna Bangunan tidak
dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2), Kepala Kantor Wilayah menyampaikan berkas permohonan dimaksud kepada
Menteri disertai pendapat dan pertimbangannya. Sesuai contoh Lampiran 12.
14. Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat
dan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam 38 ayat (4), Menteri memerintahkan
kepada Pejabat yang ditunjuk untuk:
a. Mencatat dalam
formulir isian sesuai contoh Lampiran 13.
b. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data
fisik, dan apabila belum lengkap segera meminta Kepala Kantor Wilayah yang
bersangkutan untuk melengkapinya.
15. Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis
dan data fisik atas tanah yang dimohon dengan mempertimbangkan pendapat dan
Pertimbangan Kepala Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4)
dan selanjutnya memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya
dikabulkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
16. Setelah mempertimbangkan pendapat dan pertimbangan Kepala
Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4), Menteri
menerbitkan keputusan pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang dimohon atau
keputusan penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya.
D.
Hapusnya dan Beralihnya Hak Guna bangunan
Hapusnya Hak Guna Bangunan menurut Pasal 40 UUPA karena:
1.
Jangka waktu berakhir
2.
Dihentikan sebelum jangka
waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi.
3.
Dilepaskan oleh pemegang
haknya sebelum jangka waktunya berakhir.
4.
Ditelantarkan
5.
Tanahnya musnah
6.
Ketentuan dalam Pasal 36
ayat (2)
Dalam hal ini, pemilik
bangunan berbeda dari penguasa atas tanah dimana bangunan tersebut didirikan.
Ini berarti seorang pemegang hak guna bangunan adalah berbeda dari pemegang hak
milik atas sebidang tanah dimana bangunan tersebut didirikan; atau dalam
konotasi yang lebih umum, pemegang hak guna bangunan bukanlah pemegang hak
milik dari tanah dimana bangunan tersebut didirikan.
Dari penjelasan III/3
dalam UUPA maka hak yang dipunyai oleh pemegang hak sangat terbatas oleh karena
didirikan di atas tanah yang bukan haknya, jadi hanya terjadi sepanjang waktu
tertentu. Tidak seperti halnya dengan hak milik yang haknya adalah terpenuh di
antara hak-hak atas tanah. Setelah jangka waktunya berakhir hak guna bangunan dapat diperpanjang lagi paling
lama 20 tahun atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta
keadaan bangunan-bangunan.
Hal tersebut ditentukan
dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA yang menentukan bahwa: “Atas permintaan pemegang
hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan, jangka waktu
tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.” [3]
Berakhir atau hapusnya HGB
mengubah status tanah yang sebelumnya melekat pada pemegang HGB, beralih kepada
pihak yang berhak sesuai dengan status tanah awal sebelum adanya HGB tersebut,
baik itu kepada Negara, atau kepada pemegang Hak Pengelolaan, atau kepada
pemegang Hak Milik, sesuai dengan Pasal 36 PP 40/1996 yang berbunyi:
1.
Hapusnya Hak Guna Bangunan
atas tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 mengakibatkan tanahnya
menjadi tanah Negara. Hapusnya HGB tersebut menimbulkan kewajiban-kewajiban
yang harus dipenuhi oleh pemegang HGB, yaitu sebagai berikut :
Untuk Tanah Negara PP 40/1996 Pasal 37 berbunyi:
a. Apabila Hak Guna
Bangunan atas tanah Negara hapus dan tidak diper-panjang atau tidak
diperbaharui, maka bekas pemegang Hak Guna Bangunan wajib membongkar bangunan
dan benda-benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanahnya kepada Negara
dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu satu tahun sejak hapusnya
Hak Guna Bangunan.
b. Dalam hal bangunan dan benda-benda sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) masih diperlukan, maka bekas pemegang hak diberikan ganti rugi
yang bentuk dan jumlahnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
c. Pembongkaran
bangunan dan benda-benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan atas
biaya bekas pemegang Hak Guna Bangunan.
d.
Jika bekas pemegang Hak Guna Bangunan lalai
dalam memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka bangunan dan
benda-benda yang ada di atas tanah bekas Hak Guna Bangunan itu dibongkar oleh
Pemerintah atas biaya bekas pemegang Hak Guna Bangunan.
Beralihnya Hak Guna Bangunan.
Hak Guna Bangunan dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain yang diatur dalam ketentuan Pasal 35
ayat (3) UUPA jo Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah. Hak Guna Bangunan dapat
beralih dengan cara pewarisan yang harus dibuktikan dengan adanya surat wasiat
atau surat keterangan sebagai ahli waris yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang, surat keterangan kematian pemegang Hak Guna Bangunan yang dibuat
oleh pejabat yang berwenang, bukti identitas para ahli warisnya dan sertipikat
Hak Guna Bangunan yang bersangkutan.
Prosedur peralihan Hak
Guna Bangunan karena pewarisan diatur dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah No.
40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas jo
Pasal 42 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo
Pasal 111 dan Pasal 112 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Hak Guna Bangunan juga dapat dialihkan oleh pemegang Hak
Guna Bangunan kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Guna Bangunan.
Bentuk dialihkan tersebut dapat berupa jual beli, tukar-menukar, hibah,
penyertaan dalam modal perusahaan yang harus dibuktikan dengan akta PPAT,
sedangkan lelang dibuktikan dengan Berita Acara Lelang yang dibuat oleh pejabat
dari Kantor Lelang.
Peralihan Hak Guna
Bangunan tersebut harus didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan dilakukan perubahan nama dalam
sertipikat dari pemegang Hak Guna Bangunan yang lama kepada penerima Hak Guna
Bangunan yang baru. Prosedur pemindahan Hak Guna Bangunan karena jual beli,
tukar menukar, hibah, dan penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan diatur
dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah jo Pasal 37 sampai dengan Pasal 40
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Pasal 97
sampai dengan Pasal 106 Permen Agraria/ Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
Prosedur pemindahan Hak
Guna Bangunan karena lelang diatur dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 40
Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah
jo Pasal 41 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo
Pasal 107 sampai dengan Pasal 110 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
Dalam peralihan Hak Guna
Bangunan ini ada ketentuan khusus, yaitu peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah
Hak Pengelolaan harus dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang
Hak Pengelolaan. Demikian pula dengan peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah
Hak Milik harus dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemilik tanah
yang bersangkutan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Undang-Undang Pokok
Agraria No. 1 Tahun 1969, Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013
2.
Yang termasuk ke dalam
ruang lingkup Hak Guna Bangunan antara lain Subjek pemegang Hak Guna Bangunan
meliputi Warga Negara Indonesia&Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Badan Hukum Indonesia), Kewajiban
Pemegang Hak Guna Bangunan dan Fungsi Hak Guna Bangunan itu sendiri
3.
Tata Cara Pemberian Hak
Guna Bangunan ini diatur dalam Pasal 35 sampai Pasal 39 UU No.9 Tahun 1999
Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah
Negara Dan Hak Pengelolaan.
4.
Hapusnya Hak Guna Bangunan
menurut Pasal 40 UUPA karena:
a.
Jangka waktu berakhir
b.
Dihentikan sebelum jangka
waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi.
c.
Dilepaskan oleh pemegang
haknya sebelum jangka waktunya berakhir.
d.
Ditelantarkan
e.
Tanahnya musnah
f.
Ketentuan dalam Pasal 36
ayat (2)
Hak Guna Bangunan dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain yang diatur dalam ketentuan Pasal 35
ayat (3) UUPA jo Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang
Pokok Agraria No. 1 Tahun 1968
Chomzah,
H. Ali Ahmad 2003, Hukum Agraria Pertanahan di Indonesia, Penerbit Prestasi
Pustaka Publisher, Jakarta
Harba,
H.M, 2015, Hukum Agraria Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
T.
Keizerina Devi, 2006, "Perkembangan Hukum Perdata Sejak Masa Kolonial
Sampai Kemerdekaan", Citra Justicia, Volume II No.2, Desember.
Santoso, Urip, 2001, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas
Tanah, Kencana Pranada Media Group, Jakarta
[1]
Santoso, Urip, 2001, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Pranada
Media Group, Jakarta hal. 91
[2]
Santoso, Urip, 2001, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Pranada
Media Group, Jakarta hal. 110
[3]
T. Keizerina Devi, "Perkembangan Hukum
Perdata Sejak Masa Kolonial Sampai Kemerdekaan", Citra Justicia, Volume II
No.2, Desember 2006, hal. 4
0 komentar:
Post a Comment