Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Monday, May 07, 2018

PEROLEHAN HAK GUNA BANGUNAN ATAS TANAH NEGARA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang Masalah
Secara garis besar hukum agrarian di Indonesia dapat dibagi menjadi dua masa yaitu sebelum masa Indonesia merdeka atau jaman penjajahan dan masa seduah kemerdekaan ketentuan dibidang agrarian pada masa itu yaitu masa penjajahan belanda sangat tidak menguntungkan bagi orang Indonesia sendiri hal ini dikarenakan kebanyakan dari aturan itu mendisriminasi hak hak orang Indonesia untuk emmpunyai tanah.terlebih dengan adanya politik tnam paksa di Indonesia khususnya di bidng pertanian.setelah Indonesia merdeka pemerintah merncang undang undang pokok agrarian yang engatur tentng tanah dan lain lain bisa di lihat di undang undang noemer 5 tahun 1960.
Hukum agrarian pati membicarakan soal tanah.demikian kebanyakan kita berfikir mengenal agrarian yang sering di perbincangkan  karena istilah agrarian identic dengan persoalan tanah hukum agrarian sebenenarnya dalam hukum memiliki pengertian yang sangat luas dalam bahasa latin agrarian biasa disebut dengan ager mempunyai arti tanah atau sebidang tanah  definisi tentang agrarian yang demikian sangat berlainan dengan pengertian yang termaksud dalam undang undang pokok agrarian yang memberi pengertian agrarian adalah ialah bumi air dan seperti yang telah kita ketahui bersama, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya, undang undang daasar pasal 33 ayat 3. di samping memenuhi kebutuhan dasar, juga merupakan alat investasi yang menguntungkan. Dengan kata lain, tanah dan bangunan memiliki nilai ekonomis. Oleh karena itu, wajar apabila manusia atau masyarakat sangat membutuhkan tanah lalu dibuat bangunan dan pastinya harus mempunyai hak perolehan bangunan atas tanah itu sendiri.



 

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang menjadi dasar Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara?
2.      Apa saja yang termasuk ke dalam ruang lingkup Hak Guna Bangunan?
3.      Bagaimana tata cara pemberian atau perolehan Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara?
4.      Kapan terjadinya Hak Guna Bangunan itu dihapuskan dan dialihkan?

C.    Tujuan Penelitian
1.      Mengetahui dasar dari Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara
2.      Mengetahui apa saja yang termasuk ke dalam ruang lingkup Hak Guna Bangunan
3.      Memahami bagaimana tata cara pemberian atau perolehan Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara
4.      Memahami kapan terjadinya Hak Guna Bangunan itu dihapuskan dan dialihkan












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Dasar Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara
Pasal 16 ayat (2) ditentukan ketentuan mengenai hak-hak atas air dan ruang angkasa sesuai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) ialah Hak Guna Air, Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan, dan Hak Guna Ruang Angkasa.
Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf c di atas, penulis berpandangan bahwa Hak Guna Bangunan merupakan salah satu jenis hak atas tanah yang telah diakui eksistensinya dalam Hukum Agraria Indonesia. 
Hak-hak atas tanah dari segi asal tanahnya dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :
1.      Hak atas tanah yang bersifat primer adalah hak atas tanah yang berasal dari Tanah Negara. Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara, Hak Pakai atas Tanah Negara;
2.      Hak atas tanah yang bersifat sekunder adalah hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik, Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan, Hak Pakai atas tanah Hak Milik, Hak Sewa untuk bangunan, Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.[1]
Text Box: 3Makna yang terdapat di dalam perbedaan hak-hak atas tanah dari segi asal tanahnya berdasarkan penjelasan di atas adalah hak atas tanah yang bersifat primer adalah hak atas tanah yang murni berasal dari Tanah Negara dan hak atas tanah bersifat sekunder adalah hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain.
UUPA dalam substansinya yang mengatur tentang Hak Guna Bangunan diatur  dalam ketentuan Pasal 35 sampai dengan Pasal 40. Berdasarkan ketentuan Pasal 50 ayat (2) UUPA mengenai Hak Guna Bangunan secara lebih lanjut diatur dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud disini adalah Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah yang diatur dalam ketentuan Pasal 19 sampai dengan Pasal 38 serta Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah.
Terjadinya Hak Guna Bangunan
Pasal 37 UUPA menegaskan bahwa Hak Guna Bangunan terjadi pada tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah berdasarkan ketentuan Pasal 21 menyatakan bahwa terjadinya Hak Guna Bangunan (HGB) berdasarkan atas Tanah negara.
Hak Guna Bangunan ini terjadi dengan keputusan pemberian hak yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Pasal 9 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah. Hak Guna Bangunan ini terjadi sejak keputusan pemberian Hak Guna Bangunan tersebut didaftarkan oleh pemohon kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah.
Sebagai tanda bukti haknya diterbitkan sertifikat. Hal ini diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 23 Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah.
Hak Guna Bangunan memiliki jangka watu yang berbeda-beda sesuai dengan asal tanahnya. Dasar hukum pengaturan jangka waktu Hak Guna Bangunan diatur dalam ketentuan Pasal 26 sampai dengan Pasal 29 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
Dan Hak Pakai Atas Tanah Negara berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 Tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun.
Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan ini diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut atau perpanjangannya. Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan dicatat dalam Buku Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemegang Hak Guna Bangunan untuk perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan adalah :
1.      Tanahnya masih digunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut;
2.      Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.
3.      Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak;
4.      Tanah tersebut masih sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (rt/rw) yang bersangkutan.

B.     Ruang Lingkup Hak Guna Bangunan
1.      Subyek Pemegang Hak Guna Bangunan.
Hak Guna Bangunan subjeknya menurut Pasal 36 UUPA jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah adalah :
a. Warga Negara Indonesia;
b.Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Badan Hukum Indonesia).
Subjek Hak Guna Bangunan apabila tidak memenuhi syarat sebagai Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia, maka dalam waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan Hak Guna Bangunan tersebut kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Bila hal ini tidak dilakukan maka Hak Guna Bangunannya hapus karena hukum dan  tanahnya menjadi Tanah Negara.[2]
2.      Kewajiban Pemegang Hak Guna Bangunan.
Kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan berdasarkan ketentuan Pasal 30 dan 31 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas dinyatakan bahwa :
a.       Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;
b.      Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagai-mana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya;
c.       Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup; 
d.      Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada Negara,  pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus;
e.       Menyerahkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.
3.      Fungsi Hak Guna Bangunan.
Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan yang diatur dalam ketentuan Pasal 39 UUPA jo Pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah. Prosedur Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta BendaBenda Yang Berkaitan dengan Tanah Adalah:
a.       Adanya perjanjian utang piutang yang dibuat dengan akta notariil atau akta di bawah tangan sebagai perjanjian pokoknya;
b.      Adanya penyerahan Hak Guna Bangunan sebagai jaminan utang yang dibuktikan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai perjanjian ikutan;
c.       Adanya pendaftaran akta Pemberian Hak Tanggungan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan Sertipikat Hak Tanggungan.

C.    Tata Cara Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara
Tata Cara Pemberian Hak Guna Bangunan ini diatur dalam Pasal 35 sampai Pasal 39 UU No.9 Tahun 1999 Tentang  Tata Cara  Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan, yaitu sebagai berikut :
1.      Mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) UU No 9 tahun 1999  kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang didaerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.
2.      Setelah berkas pemohon diterima, Kepala Kantor Pertanahan :
a. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik.
b.Mencatat pada formulir isian sesuai contoh lampiran 4.
c. Memberitahukan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian lampiran 5. Memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya untuk perundang-undangan yang berlaku, sesuai contoh lampiran 6.
3.      Kepala Kantor Pertanahan menelitik kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik permohonan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan atau diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.      Dalam hal tanah yang dimohon belum ada surat ukurnya,Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah untuk mempersiapkan surat ukur atau melakukan pengukuran
5.      Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada :
a.  Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau petugas yang ditunjuk untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang sudah terdaftar, peningkatan, perpanjangan atau pembaharuan hak atas tanah dan terhadap tanah yang data yuridis atau data fisiknya telah cukup untuk mengambil keputusan yang dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah (kojnstatering rapport), sesuai contoh Lampiran 7; atau
b. Tim Penelitian Tanah untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang belum terdaftar yang dituangkan dalam Berita Acara, sesuai contoh Lampiran 8; atau
6.       Panitia Pemeriksa Tanah A untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah selain yang diperiksa sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, yang dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah sesuai contoh Lampiran 9.
7.      Dalam hal data yuridis dan data fisik belum lengkap Kepala Knator Pertanahan memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapinya.
8.      Dalam hal keputusan pemberian Hak Guna Bangunan telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), setelah mempertimbangkan pendapat Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau Pejabat yang ditunjuk atau Tim Penelitian Tanah atau Panitia Pemeriksa Tanah A, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Pertanahan menerbitkan keputusan pemberian hak Guna Bangunan atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya .
9.      Dalam hal keputusan pemberian Hak Guna Bangunan tidak dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan menyampaikan berkas permohonan tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah, disertai pendapat dan pertimbangannya, sesuai contoh Lampiran 10
10.  Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6), Kepala Kantor Wilayah memerintahkan kepada Kepala Bidang Hak-hak Atas Tanah untuk:
a.  Mencatat dalm formulir isian sesuai contoh Lampiran 11.
b. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum lengkap segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untuk melengkapinya.
11.  Kepala Kantor Wilayah meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik atas tanah yang dimohon beserta pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6) dan memeriksa kelayakan.
12.  Dalam hal keputusan pemberian Hak Guna Bangunan telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), setelah mempertimbangkan pendapat Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud Pasal 37 ayat (6), Kepala Kantor Wilayah menerbitkan keputusan pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya.
13.  Dalam hal keputusan pemberian Hak Guna Bangunan tidak dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Kepala Kantor Wilayah menyampaikan berkas permohonan dimaksud kepada Menteri disertai pendapat dan pertimbangannya. Sesuai contoh Lampiran 12.
14.  Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam 38 ayat (4), Menteri memerintahkan kepada Pejabat yang ditunjuk untuk:
a.  Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 13.
b. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum lengkap segera meminta Kepala Kantor Wilayah yang bersangkutan untuk melengkapinya.
15.  Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik atas tanah yang dimohon dengan mempertimbangkan pendapat dan Pertimbangan Kepala Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) dan selanjutnya memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
16.  Setelah mempertimbangkan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4), Menteri menerbitkan keputusan pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya.

D.    Hapusnya dan Beralihnya Hak Guna bangunan
Hapusnya Hak Guna Bangunan menurut Pasal 40 UUPA karena:
1.      Jangka waktu berakhir
2.      Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi.
3.      Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir.
4.      Ditelantarkan
5.      Tanahnya musnah
6.      Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2)
Dalam hal ini, pemilik bangunan berbeda dari penguasa atas tanah dimana bangunan tersebut didirikan. Ini berarti seorang pemegang hak guna bangunan adalah berbeda dari pemegang hak milik atas sebidang tanah dimana bangunan tersebut didirikan; atau dalam konotasi yang lebih umum, pemegang hak guna bangunan bukanlah pemegang hak milik dari tanah dimana bangunan tersebut didirikan.
Dari penjelasan III/3 dalam UUPA maka hak yang dipunyai oleh pemegang hak sangat terbatas oleh karena didirikan di atas tanah yang bukan haknya, jadi hanya terjadi sepanjang waktu tertentu. Tidak seperti halnya dengan hak milik yang haknya adalah terpenuh di antara hak-hak atas tanah. Setelah jangka waktunya berakhir hak  guna bangunan dapat diperpanjang lagi paling lama 20 tahun atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunan.
Hal tersebut ditentukan dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA yang menentukan bahwa: “Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.” [3]
Berakhir atau hapusnya HGB mengubah status tanah yang sebelumnya melekat pada pemegang HGB, beralih kepada pihak yang berhak sesuai dengan status tanah awal sebelum adanya HGB tersebut, baik itu kepada Negara, atau kepada pemegang Hak Pengelolaan, atau kepada pemegang Hak Milik, sesuai dengan Pasal 36 PP 40/1996 yang berbunyi:
1.      Hapusnya Hak Guna Bangunan atas tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 mengakibatkan tanahnya menjadi tanah Negara. Hapusnya HGB tersebut menimbulkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang HGB, yaitu sebagai berikut :
Untuk Tanah Negara PP 40/1996 Pasal 37 berbunyi:
a.  Apabila Hak Guna Bangunan atas tanah Negara hapus dan tidak diper-panjang atau tidak diperbaharui, maka bekas pemegang Hak Guna Bangunan wajib membongkar bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanahnya kepada Negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu satu tahun sejak hapusnya Hak Guna Bangunan.
b. Dalam hal bangunan dan benda-benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih diperlukan, maka bekas pemegang hak diberikan ganti rugi yang bentuk dan jumlahnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
c.  Pembongkaran bangunan dan benda-benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan atas biaya bekas pemegang Hak Guna Bangunan.
d.                Jika bekas pemegang Hak Guna Bangunan lalai dalam memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka bangunan dan benda-benda yang ada di atas tanah bekas Hak Guna Bangunan itu dibongkar oleh Pemerintah atas biaya bekas pemegang Hak Guna Bangunan.

Beralihnya Hak Guna Bangunan.
Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain yang diatur dalam ketentuan Pasal 35 ayat (3) UUPA jo Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah. Hak Guna Bangunan dapat beralih dengan cara pewarisan yang harus dibuktikan dengan adanya surat wasiat atau surat keterangan sebagai ahli waris yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, surat keterangan kematian pemegang Hak Guna Bangunan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, bukti identitas para ahli warisnya dan sertipikat Hak Guna Bangunan yang bersangkutan.
Prosedur peralihan Hak Guna Bangunan karena pewarisan diatur dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas jo Pasal 42 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Pasal 111 dan Pasal 112 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Hak Guna Bangunan juga dapat dialihkan oleh pemegang Hak Guna Bangunan kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Guna Bangunan. Bentuk dialihkan tersebut dapat berupa jual beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan dalam modal perusahaan yang harus dibuktikan dengan akta PPAT, sedangkan lelang dibuktikan dengan Berita Acara Lelang yang dibuat oleh pejabat dari Kantor Lelang.
Peralihan Hak Guna Bangunan tersebut harus didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan dilakukan perubahan nama dalam sertipikat dari pemegang Hak Guna Bangunan yang lama kepada penerima Hak Guna Bangunan yang baru. Prosedur pemindahan Hak Guna Bangunan karena jual beli, tukar menukar, hibah, dan penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan diatur dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah jo Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Pasal 97 sampai dengan Pasal 106 Permen Agraria/ Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Prosedur pemindahan Hak Guna Bangunan karena lelang diatur dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah jo Pasal 41 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Pasal 107 sampai dengan Pasal 110 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Dalam peralihan Hak Guna Bangunan ini ada ketentuan khusus, yaitu peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan harus dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Pengelolaan. Demikian pula dengan peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik harus dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemilik tanah yang bersangkutan.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Undang-Undang Pokok Agraria No. 1 Tahun 1969, Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013
2.      Yang termasuk ke dalam ruang lingkup Hak Guna Bangunan antara lain Subjek pemegang Hak Guna Bangunan meliputi Warga Negara Indonesia&Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Badan Hukum Indonesia), Kewajiban Pemegang Hak Guna Bangunan dan Fungsi Hak Guna Bangunan itu sendiri
3.      Tata Cara Pemberian Hak Guna Bangunan ini diatur dalam Pasal 35 sampai Pasal 39 UU No.9 Tahun 1999 Tentang  Tata Cara  Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan.
4.      Hapusnya Hak Guna Bangunan menurut Pasal 40 UUPA karena:
a.       Jangka waktu berakhir
b.      Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi.
c.       Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir.
d.      Ditelantarkan
e.       Tanahnya musnah
f.       Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2)
Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain yang diatur dalam ketentuan Pasal 35 ayat (3) UUPA jo Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah.



DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Pokok Agraria No. 1 Tahun 1968
Chomzah, H. Ali Ahmad 2003, Hukum Agraria Pertanahan di Indonesia, Penerbit Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta
Harba, H.M, 2015, Hukum Agraria Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
T. Keizerina Devi, 2006, "Perkembangan Hukum Perdata Sejak Masa Kolonial Sampai Kemerdekaan", Citra Justicia, Volume II No.2, Desember.
Santoso, Urip, 2001, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Pranada Media Group, Jakarta
Text Box: 15
 



[1] Santoso, Urip, 2001, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Pranada Media Group, Jakarta  hal. 91
[2] Santoso, Urip, 2001, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Pranada Media Group, Jakarta  hal. 110
[3] T. Keizerina Devi, "Perkembangan Hukum Perdata Sejak Masa Kolonial Sampai Kemerdekaan", Citra Justicia, Volume II No.2, Desember 2006, hal. 4

Share:

0 komentar:

Post a Comment