Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Thursday, May 24, 2018

KONTROVERSI PERPPU ORMAS


KONTROVERSI PERPPU TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN

Sumber:Google.com/liputaan6.com

Abstrak
Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Substansi Perppu tersebut menuai kontroversi dari berbagai pihak karena menghapus mekanisme tahapan penjatuhan sanksi secara berjenjang terhadap organisasi kemasyarakatan (ormas) sebagaimana diatur dalam Pasal 62 hingga Pasal 81 Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) Presiden berhak menerbitkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Namun yang menjadi permasalahan, kegentingan yang memaksa seperti apa yang mendorong Pemerintah menerbitkan Perppu. Dalam hal ini DPR harus mempertimbangkan untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan berdasarkan argumentasi yang kuat atas kegentingan yang memaksa tersebut.
Pendahuluan
Pemerintah secara resmi menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu No. 2 Tahun 2017). Perppu yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 10 Juli 2017 tersebut merupakan penyempurnaan atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas).
Penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2017 memunculkan perdebatan dan kontroversi dari berbagai pihak yang mempertanyakan multitafsir dari alasan penerbitan dan substansi Perppu No. 2 Tahun 2017. Menurut Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon, terbitnya Perppu No. 2 Tahun 2017 berpotensi menimbulkan keresahan di masyarakat karena tidak adanya kegentingan memaksa saat ini yang dinilai tidak memenuhi syarat terbitnya Perppu No. 2 Tahun 2017. Sementara dari substansi Perppu No. 2 Tahun 2017, dinilai oleh sebagian pihak dapat membuka peluang bagi pemerintah untuk bertindak sewenang-wenang terhadap ormas. Perppu No. 2 Tahun 2017 mengatur bahwa pemerintah bisa membubarkan ormas tanpa harus melalui proses pengadilan.
Mengacu pada konsideran menimbang dalam Perppu No. 2 Tahun 2017, salah satu persoalan yang menjadi alasan terbitnya Perppu No. 2 Tahun 2017 yaitu UU Ormas belum menganut asas cantrarius actus. Asas tersebut menyatakan lembaga yang mengeluarkan izin atau yang memberikan pengesahan ormas juga mempunyai wewenang untuk mencabut atau membatalkannya. Namun terhadap penerapan asas tersebut menurut mantan anggota Pansus RUU Ormas, ketiadaan asas cantrarius actus dalam UU Ormas tidaklah tepat, karena tidak ada keharusan secara hukum lembaga yang memberikan pengesahan secara otomatis memiliki kewenangan mencabut atau membatalkan status badan hukum ormas yang bersangkutan.
Kementerian Hukum dan HAM mencabut status badan hukum ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pencabutan status badan hukum tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. AHU-0028.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan HTI. Demgan adanya pencabutan SK Badan Hukum HTI, maka ormas tersebut dinyatakan bubar sesuai dengan Perppu No. 2 Tahun 2017. Pencabutan status badan hukum merupakan tindakan tegas yang diberikan kepada ormas HTI sebagai upaya mencegah munculnya penyimpangan atas ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2017 menimbulkan permasalahan dan kontroversi di masyarakat. Oleh karena itu tulisan ini akan mengkaji bagaimana kontroversi Perppu No. 2 Tahun 2017 baik dilihat dari aspek penerbitan perppu maupun substansi dari Perppu No. 2 Tahun 2017 tersebut.
Substansi Perppu No. 2 Tahun 2017
Perppu No. 2 Tahun 2017 mengubah 5 (lima) pasal yaitu Pasal 1, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, dan Pasal 62, serta menghapus 18 pasal dalam UU Ormas. Ketentuan yang mengalami perubahan antara lain pengertian ormas dalam Pasal 1 Perppu No. 2 Tahun 2017. Berdasarkan Perppu No. 2 Tahun 2017, pengertian ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945. Definisi ormas di Perppu No. 2 Tahun 2017 tersebut menambahkan frasa UUD Tahun 1945 dari yang sebelumnya berbunyi ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Perubahan yang paling signifikan adalah Pasal 59 Perppu No. 2 Tahun 2017 yang mengatur semakin spesifik hal-hal yang dilarang dilakukan ormas. Larangan terhadap ormas dalam Pasal 59 Perppu No. 2 Tahun 2017 di antaranya:
1)      menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan;
2)      menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara lain atau lembaga/ badan internasional menjadi nama, lambang, atau bendera ormas; dan/atau
3)      menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar ormas lain atau partai politik.
4)      menerima dari atau memberikan kepada pihak manapun sumbangan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau mengumpulkan dana untuk partai politik.
5)      melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan;
6)      melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia;
7)      melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial;
8)      melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
9)      menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang; dan
10)  melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Pengaturan sanksi lebih tegas dalam Perppu No. 2 Tahun 2017. Terkait dengan sanksi administratif, penerapan azas contraries actus terdapat dalam penjelasan Pasal 61 ayat (3) huruf b Perppu No. 2 Tahun 2017 yang intinya menyatakan Menteri Hukum dan HAM berwenang mencabut status badan hukum ormas karena Menkumham yang memberikan atau menerbitkan status badan hukum ormas. UU Ormas sebelum dikeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2017 tidak mengatur ketentuan ini.
Selain sanksi administrasi, Perppu No. 2 Tahun 2017 juga mengatur sanksi pidana yang merupakan substansi baru dalam UU Ormas. UU Ormas sebelum dikeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2017 tidak mengatur ketentuan ini. Perppu No. 2 Tahun 2017 menyisipkan bab baru di antara BAB XVII dan BAB XVIII yaitu BAB XVIIA tentang Ketentuan Pidana yang mengatur Pasal 82A yang berbunyi:
1.      Setiap orang yang menjadi anggota dan/ atau pengurus ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.
2.      Setiap orang yang menjadi anggota dan/ atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf a dan huruf b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
3.      Selain pidana penjara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersangkutan diancam dengan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan pidana.
Pengaturan pidana minimal khusus dalam Pasal 82A Perppu No. 2 Tahun 2017 memberikan ancaman pidana yang cukup berat bagi anggota dan pengurus ormas yang melanggar ketentuan larangan dalam Perppu No. 2 Tahun 2017. Perppu No. 2 Tahun 2017 juga memuat pasal peralihan yang menyebutkan bahwa pada saat perppu ini mulai berlaku semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari UU Ormas dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Perppu No. 2 Tahun 2017.
Kontroversi Perppu No. 2 Tahun 2017
Perppu memiliki dasar hukum dalam UUD Tahun 1945 berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyatakan “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Definisi perppu dijabarkan kembali dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 1 angka 4 UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”.
Penjelasan mengenai frasa “kegentingan memaksa” antara lain dapat ditemukan dalam Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009. Mahkamah Konstitusi menafsirkan frasa “kegentingan memaksa” yang dimaksud konstitusi sebagai prasyarat perlu dibuat sebuah perppu adalah ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU, UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada UU tetapi tidak memadai dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Terkait dengan penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2017, terdapat beberapa perdebatan terkait dengan parameter “kegentingan yang memaksa”. Pakar hukum tata negara, Margarito, mempertanyakan kegentingan terbitnya Perppu No. 2 Tahun 2017, yakni keadaan bagaimana yang secara faktual ada dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dapat dinilai sebagai genting, sehingga harus ditangani secara genting dan hal tersebut harus dijelaskan oleh Pemerintah. Selain itu, pakar hukum tata negara lainnya, Refly Harun, menilai penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2017 bukan hanya mengancam keberadaan HTI, namun juga ormas lain. Sejalan dengan kedua pendapat ini, ahli hukum tata negara Universitas Hasanuddin, Irman Putra Sidin menyatakan, penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2017 bisa mengancam seluruh ormas yang ada sebab perppu tersebut berlaku secara umum. Meskipun maksud dari penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2017 untuk membubarkan satu atau beberapa ormas saja.
Sementara substansi Perppu No. 2 Tahun 2017 juga menjadi perdebatan. Menurut Yusril Ihza Mahendra, substansi Perppu No. 2 Tahun 2017 memberikan peluang seluas-luasnya kepada Pemerintah, khususnya Mendagri dan Menkumham untuk menilai apakah suatu ormas itu menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Terhadap ormas yang melanggar ketentuan tersebut akan dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. Sanksi administratif bagi ormas berbadan hukum yang terdaftar di Kemenhumkam sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) Perppu No. 2 Tahun 2017 adalah pencabutan status badan hukum oleh Menkumham terkait dengan penerapan asas contrarius actus. Pencabutan status badan hukum tersebut, menurut Pasal 80A Perppu No. 2 Tahun 2017 sekaligus disertai dengan pernyataan pembubaran ormas. Semua proses di atas cukup dilakukan oleh Menkumham, baik sendiri ataupun meminta pendapat pihak lain. Untuk itu berdasarkan Pasal 61 ayat (1) Perppu No. 2 Tahun 2017 ini, Menkumham dapat membubarkan ormas tanpa melalui proses pengadilan.
Selain sanksi administratif menurut Yusril, sanksi pidana juga dapat dikenakan kepada setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung menganut paham yang bertentangan dengan Pancasila. Perbuatan tersebut melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (4) Perppu No. 2 Tahun 2017 dan dapat dipidana seumur hidup atau pidana penjara penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat pula dikenai dengan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 82A ayat (2) dan ayat (3) Perppu No. 2 Tahun 2017. Pengaturan ini sebelumnya tidak ada dalam UU Ormas.
Penutup
Perppu No. 2 Tahun 2017 dinilai oleh banyak pihak memiliki kelemahan baik dari penerbitan maupun substansi Perppu No. 2 Tahun 2017. Menurut Pasal 22 UUD Tahun 1945, penafsiran terhadap keadaan negara yang dianggap genting dan memaksa menjadi kewenangan subjektif Presiden. Namun, merujuk Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2011, perppu harus diajukan ke DPR pada masa persidangan berikutnya setelah penerbitan perppu sebagai rancangan undangundang (RUU) penetapan perppu. Untuk itu DPR dalam membahas substansi Perppu No. 2 Tahun 2017 diharapkan dapat menampung aspirasi masyarakat dalam memutuskan disetujui atau tidak Perppu No. 2 Tahun 2017. Selain itu, DPR dalam mempertimbangkan untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perppu No. 2 Tahun 2017 harus berdasarkan argumentasi yang kuat atas kegentingan yang memaksa sesuai dengan Pasal 22 UUD Tahun 1945.

Referensi
Almanar, Husni Jalil dan M. Nur Rasyid, Kedudukan Perppu dalam Sistem Perundangundangan di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3, No. 2, Universitas Syiah Kuala, 2015.
“Kritik Yusril soal Perppu Pembubaran Ormas”, http://nasional.kompas.com/ read/2017/07/11/20521511/kritik.yusril.soal. perppu.pembubaran.ormas, diakses 25 mei 2018.
“Perppu Pembubaran Ormas Dinilai Jalan Pintas yang Mengancam”, http://nasional.kompas. com/read/2017/07/12/10054471/perppu.pembubaran.ormas.dinilai.jalan.pintas.yang.mengancam.demokrasi/, diakses 25 mei 2018.
“Polemik dan Kontroversi Seputar Perppu Ormas”, http://www.buletinlokal.com/ 2017/07/polemik-dan-kontroversi-seputar. html, diakses 25 mei 2018.
“Pro Kontra Pembubaran Ormas”, https:// geotimes.co.id/pro-kontra-perppupembubaran-ormas-hti/, diakses 25 mei 2018.
“Sengitnya pro-kontra Perppu Ormas”, http:// www.rappler.com/indonesia/berita/175463- pro-kontra-perppu-ormas, diakses 25 mei 2018.
“Yusril Menilai Perppu Ormas Melanggar UndangUndang Dasar 1945”, http://www.tribunnews. com/nasional/2017/07/12/yusril-nilai-perppupembubaran-ormas-melanggar-undangundang-dasar-1945, diakses 17 Juli 2017.

Share:

0 komentar:

Post a Comment