KONTROVERSI PERPPU TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG ORGANISASI
KEMASYARAKATAN
Sumber:Google.com/liputaan6.com
Abstrak
Pemerintah
menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun
2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) No. 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan. Substansi Perppu tersebut menuai kontroversi dari
berbagai pihak karena menghapus mekanisme tahapan penjatuhan sanksi secara
berjenjang terhadap organisasi kemasyarakatan (ormas) sebagaimana diatur dalam
Pasal 62 hingga Pasal 81 Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan. Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) Presiden berhak menerbitkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dalam hal ikhwal
kegentingan yang memaksa. Namun yang menjadi permasalahan, kegentingan yang
memaksa seperti apa yang mendorong Pemerintah menerbitkan Perppu. Dalam hal ini
DPR harus mempertimbangkan untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan
persetujuan berdasarkan argumentasi yang kuat atas kegentingan yang memaksa
tersebut.
Pendahuluan
Pemerintah
secara resmi menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No.
17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu No. 2 Tahun 2017).
Perppu yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 10 Juli 2017 tersebut
merupakan penyempurnaan atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan (UU Ormas).
Penerbitan
Perppu No. 2 Tahun 2017 memunculkan perdebatan dan kontroversi dari berbagai
pihak yang mempertanyakan multitafsir dari alasan penerbitan dan substansi
Perppu No. 2 Tahun 2017. Menurut Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon, terbitnya
Perppu No. 2 Tahun 2017 berpotensi menimbulkan keresahan di masyarakat karena
tidak adanya kegentingan memaksa saat ini yang dinilai tidak memenuhi syarat
terbitnya Perppu No. 2 Tahun 2017. Sementara dari substansi Perppu No. 2 Tahun
2017, dinilai oleh sebagian pihak dapat membuka peluang bagi pemerintah untuk
bertindak sewenang-wenang terhadap ormas. Perppu No. 2 Tahun 2017 mengatur
bahwa pemerintah bisa membubarkan ormas tanpa harus melalui proses pengadilan.
Mengacu
pada konsideran menimbang dalam Perppu No. 2 Tahun 2017, salah satu persoalan
yang menjadi alasan terbitnya Perppu No. 2 Tahun 2017 yaitu UU Ormas belum
menganut asas cantrarius actus. Asas tersebut menyatakan lembaga yang
mengeluarkan izin atau yang memberikan pengesahan ormas juga mempunyai wewenang
untuk mencabut atau membatalkannya. Namun terhadap penerapan asas tersebut
menurut mantan anggota Pansus RUU Ormas, ketiadaan asas cantrarius actus dalam
UU Ormas tidaklah tepat, karena tidak ada keharusan secara hukum lembaga yang
memberikan pengesahan secara otomatis memiliki kewenangan mencabut atau
membatalkan status badan hukum ormas yang bersangkutan.
Kementerian
Hukum dan HAM mencabut status badan hukum ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Pencabutan status badan hukum tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Hukum dan HAM No. AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan
Menteri Hukum dan HAM No. AHU-0028.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian
Badan Hukum Perkumpulan HTI. Demgan adanya pencabutan SK Badan Hukum HTI, maka
ormas tersebut dinyatakan bubar sesuai dengan Perppu No. 2 Tahun 2017.
Pencabutan status badan hukum merupakan tindakan tegas yang diberikan kepada
ormas HTI sebagai upaya mencegah munculnya penyimpangan atas ideologi Pancasila
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penerbitan
Perppu No. 2 Tahun 2017 menimbulkan permasalahan dan kontroversi di masyarakat.
Oleh karena itu tulisan ini akan mengkaji bagaimana kontroversi Perppu No. 2
Tahun 2017 baik dilihat dari aspek penerbitan perppu maupun substansi dari
Perppu No. 2 Tahun 2017 tersebut.
Substansi
Perppu No. 2 Tahun 2017
Perppu
No. 2 Tahun 2017 mengubah 5 (lima) pasal yaitu Pasal 1, Pasal 59, Pasal 60,
Pasal 61, dan Pasal 62, serta menghapus 18 pasal dalam UU Ormas. Ketentuan yang
mengalami perubahan antara lain pengertian ormas dalam Pasal 1 Perppu No. 2
Tahun 2017. Berdasarkan Perppu No. 2 Tahun 2017, pengertian ormas adalah
organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela
berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan
untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945. Definisi
ormas di Perppu No. 2 Tahun 2017 tersebut menambahkan frasa UUD Tahun 1945 dari
yang sebelumnya berbunyi ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk
oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan,
kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi
tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila.
Perubahan
yang paling signifikan adalah Pasal 59 Perppu No. 2 Tahun 2017 yang mengatur
semakin spesifik hal-hal yang dilarang dilakukan ormas. Larangan terhadap ormas
dalam Pasal 59 Perppu No. 2 Tahun 2017 di antaranya:
1)
menggunakan nama,
lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan nama, lambang, bendera, atau
atribut lembaga pemerintahan;
2)
menggunakan dengan
tanpa izin nama, lambang, bendera negara lain atau lembaga/ badan internasional
menjadi nama, lambang, atau bendera ormas; dan/atau
3)
menggunakan nama,
lambang, bendera, atau tanda gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar ormas lain atau
partai politik.
4)
menerima dari atau
memberikan kepada pihak manapun sumbangan dalam bentuk apa pun yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
mengumpulkan dana untuk partai politik.
5)
melakukan tindakan
permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan;
6)
melakukan
penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di
Indonesia;
7)
melakukan tindakan
kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas
umum dan fasilitas sosial;
8)
melakukan kegiatan
yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
9)
menggunakan nama,
lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya
atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi
gerakan separatis atau organisasi terlarang; dan
10) melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau menganut, mengembangkan, serta
menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Pengaturan
sanksi lebih tegas dalam Perppu No. 2 Tahun 2017. Terkait dengan sanksi
administratif, penerapan azas contraries actus terdapat dalam penjelasan Pasal
61 ayat (3) huruf b Perppu No. 2 Tahun 2017 yang intinya menyatakan Menteri
Hukum dan HAM berwenang mencabut status badan hukum ormas karena Menkumham yang
memberikan atau menerbitkan status badan hukum ormas. UU Ormas sebelum dikeluarkan
Perppu No. 2 Tahun 2017 tidak mengatur ketentuan ini.
Selain
sanksi administrasi, Perppu No. 2 Tahun 2017 juga mengatur sanksi pidana yang
merupakan substansi baru dalam UU Ormas. UU Ormas sebelum dikeluarkan Perppu
No. 2 Tahun 2017 tidak mengatur ketentuan ini. Perppu No. 2 Tahun 2017
menyisipkan bab baru di antara BAB XVII dan BAB XVIII yaitu BAB XVIIA tentang
Ketentuan Pidana yang mengatur Pasal 82A yang berbunyi:
1.
Setiap orang yang
menjadi anggota dan/ atau pengurus ormas yang dengan sengaja dan secara
langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf d dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.
2.
Setiap orang yang
menjadi anggota dan/ atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara
langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (3) huruf a dan huruf b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun.
3.
Selain pidana
penjara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersangkutan diancam dengan
pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan pidana.
Pengaturan
pidana minimal khusus dalam Pasal 82A Perppu No. 2 Tahun 2017 memberikan
ancaman pidana yang cukup berat bagi anggota dan pengurus ormas yang melanggar
ketentuan larangan dalam Perppu No. 2 Tahun 2017. Perppu No. 2 Tahun 2017 juga
memuat pasal peralihan yang menyebutkan bahwa pada saat perppu ini mulai
berlaku semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari UU
Ormas dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Perppu No. 2 Tahun 2017.
Kontroversi
Perppu No. 2 Tahun 2017
Perppu
memiliki dasar hukum dalam UUD Tahun 1945 berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD
Tahun 1945 yang menyatakan “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden
berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
Definisi perppu dijabarkan kembali dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 1 angka 4 UU No. 12 Tahun 2011
menyatakan bahwa “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan
yang memaksa”.
Penjelasan
mengenai frasa “kegentingan memaksa” antara lain dapat ditemukan dalam
Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009. Mahkamah
Konstitusi menafsirkan frasa “kegentingan memaksa” yang dimaksud konstitusi
sebagai prasyarat perlu dibuat sebuah perppu adalah ada kebutuhan mendesak
untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU, UU yang
dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada UU tetapi tidak
memadai dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat
UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan
keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Terkait
dengan penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2017, terdapat beberapa perdebatan terkait
dengan parameter “kegentingan yang memaksa”. Pakar hukum tata negara,
Margarito, mempertanyakan kegentingan terbitnya Perppu No. 2 Tahun 2017, yakni
keadaan bagaimana yang secara faktual ada dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara yang dapat dinilai sebagai genting, sehingga harus ditangani secara
genting dan hal tersebut harus dijelaskan oleh Pemerintah. Selain itu, pakar
hukum tata negara lainnya, Refly Harun, menilai penerbitan Perppu No. 2 Tahun
2017 bukan hanya mengancam keberadaan HTI, namun juga ormas lain. Sejalan
dengan kedua pendapat ini, ahli hukum tata negara Universitas Hasanuddin, Irman
Putra Sidin menyatakan, penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2017 bisa mengancam
seluruh ormas yang ada sebab perppu tersebut berlaku secara umum. Meskipun
maksud dari penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2017 untuk membubarkan satu atau
beberapa ormas saja.
Sementara
substansi Perppu No. 2 Tahun 2017 juga menjadi perdebatan. Menurut Yusril Ihza
Mahendra, substansi Perppu No. 2 Tahun 2017 memberikan peluang seluas-luasnya
kepada Pemerintah, khususnya Mendagri dan Menkumham untuk menilai apakah suatu
ormas itu menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang
bertentangan dengan Pancasila. Terhadap ormas yang melanggar ketentuan tersebut
akan dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. Sanksi administratif
bagi ormas berbadan hukum yang terdaftar di Kemenhumkam sebagaimana diatur
dalam Pasal 61 ayat (1) Perppu No. 2 Tahun 2017 adalah pencabutan status badan
hukum oleh Menkumham terkait dengan penerapan asas contrarius actus. Pencabutan
status badan hukum tersebut, menurut Pasal 80A Perppu No. 2 Tahun 2017
sekaligus disertai dengan pernyataan pembubaran ormas. Semua proses di atas
cukup dilakukan oleh Menkumham, baik sendiri ataupun meminta pendapat pihak
lain. Untuk itu berdasarkan Pasal 61 ayat (1) Perppu No. 2 Tahun 2017 ini,
Menkumham dapat membubarkan ormas tanpa melalui proses pengadilan.
Selain
sanksi administratif menurut Yusril, sanksi pidana juga dapat dikenakan kepada
setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus ormas yang dengan sengaja
dan secara langsung atau tidak langsung menganut paham yang bertentangan dengan
Pancasila. Perbuatan tersebut melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (4) Perppu No.
2 Tahun 2017 dan dapat dipidana seumur hidup atau pidana penjara penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat pula
dikenai dengan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 82A ayat (2)
dan ayat (3) Perppu No. 2 Tahun 2017. Pengaturan ini sebelumnya tidak ada dalam
UU Ormas.
Penutup
Perppu
No. 2 Tahun 2017 dinilai oleh banyak pihak memiliki kelemahan baik dari
penerbitan maupun substansi Perppu No. 2 Tahun 2017. Menurut Pasal 22 UUD Tahun
1945, penafsiran terhadap keadaan negara yang dianggap genting dan memaksa
menjadi kewenangan subjektif Presiden. Namun, merujuk Pasal 52 UU No. 12 Tahun
2011, perppu harus diajukan ke DPR pada masa persidangan berikutnya setelah
penerbitan perppu sebagai rancangan undangundang (RUU) penetapan perppu. Untuk
itu DPR dalam membahas substansi Perppu No. 2 Tahun 2017 diharapkan dapat
menampung aspirasi masyarakat dalam memutuskan disetujui atau tidak Perppu No.
2 Tahun 2017. Selain itu, DPR dalam mempertimbangkan untuk memberikan
persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perppu No. 2 Tahun 2017
harus berdasarkan argumentasi yang kuat atas kegentingan yang memaksa sesuai
dengan Pasal 22 UUD Tahun 1945.
Referensi
Almanar,
Husni Jalil dan M. Nur Rasyid, Kedudukan Perppu dalam Sistem Perundangundangan
di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3, No. 2, Universitas Syiah Kuala, 2015.
“Kritik
Yusril soal Perppu Pembubaran Ormas”, http://nasional.kompas.com/
read/2017/07/11/20521511/kritik.yusril.soal. perppu.pembubaran.ormas, diakses
25 mei 2018.
“Perppu
Pembubaran Ormas Dinilai Jalan Pintas yang Mengancam”, http://nasional.kompas.
com/read/2017/07/12/10054471/perppu.pembubaran.ormas.dinilai.jalan.pintas.yang.mengancam.demokrasi/,
diakses 25 mei 2018.
“Polemik
dan Kontroversi Seputar Perppu Ormas”, http://www.buletinlokal.com/
2017/07/polemik-dan-kontroversi-seputar. html, diakses 25 mei 2018.
“Pro
Kontra Pembubaran Ormas”, https:// geotimes.co.id/pro-kontra-perppupembubaran-ormas-hti/,
diakses 25 mei 2018.
“Sengitnya
pro-kontra Perppu Ormas”, http:// www.rappler.com/indonesia/berita/175463-
pro-kontra-perppu-ormas, diakses 25 mei 2018.
“Yusril
Menilai Perppu Ormas Melanggar UndangUndang Dasar 1945”, http://www.tribunnews.
com/nasional/2017/07/12/yusril-nilai-perppupembubaran-ormas-melanggar-undangundang-dasar-1945,
diakses 17 Juli 2017.
0 komentar:
Post a Comment