BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Peradilan (Qadha’) dalam Islam
Secara
bahasa (etimologi) arti qadha’ antara lain: menyelesaikan, menunaikan,
dan memutuskan hukum atau membuat suatu ketetapan. Makna yang terakhir inilah
yang digunakan dalam konteks ini.
Sedangkan
dari segi istilah (terminologi) ahli fiqih, qadha’ berarti Lembaga Hukum
dan perkataan yang harus dituruti yang di ucapkan oleh seseorang yang mempunyai
wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar mengharuskan orang
mengikutinya. Menurut Muhammad Sallam Madkur, qadha’ disebut
hakim karena dia melarang pelaku dari perbuatan tidak adil.
Karena
adanya berbagai pengertian dari kata qadha’ itu, maka ia bisa digunakan
dalam arti memutuskan perselisihan oleh hakim. Orang yang melakukannya disebut qadhi.
Menurut para ahli fiqih, terminologi syariat dari kata qadha’ adalah
memutuskan perselisihan dan menghindarkan perbedaan serta konflik-konflik.
Dengan definisi tersebut di atas dapat dikatakan bahwa tugas qadha’ (Lembaga Peradilan) adalah menampakkan hukum agama, bukan menetapkan suatu hukum, karena hukum telah ada dalam hal yang dihadapi oleh hakim. Hakim hanya menerapkannya ke alam nyata, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada.
B.
Unsur-Unsur dan
Prinsip dalam Peradilan Islam
Unsur-Unsur Peradilan Islam
Unsur-unsur peradilan Islam disebut juga dengan rukun qadha’.
Secara bahasa, rukun yaitu bagian yang kuat, yang berfungsi menahan
sesuatu. Secara istilah, rukun berarti bagian tertentu yang mesti dari
sesuatu, karena terwujudnya sesuatu itu mesti dengan adanya bagian itu. Jadi,
rukun qadha’ (unsur-unsur peradilan) yaitu apa yang menunjukkan
eksistensi peradilan itu, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ahli
fiqih menyebutkan bahwa peradilan Islam mempunyai lima rukun atau unsur, yaitu:
a)
Hakim (qadhi)
Yakni
orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan
gugatan dan perselisihan, dikarenakan penguasa tidak bisa melaksanakan sendiri
tugas-tugas peradilan. Sebagaimana yang dilakukan nabi Muhammad SAW pada masa
hidupnya. Beliau mengangkat qadli-qadli untuk bertugas menyelesaikan
sengketa di antara manusia di tempat yang jauh.
b)
Hukum (qodho’)
Yaitu suatu
keputusan produk qadli untuk menyelesaikan perselisihan dan memutuskan
persengketaan. Ada dua bentuk keputusan hakim:
§
Qadla’
ilzam, yaitu menetapkan hak/macam hukuman
kepada salah salah satu pihak dengan redaksi “aku putuskan atasmu demikian”,
atau menetapkan suatu hak dengan tindakan, seperti pembagian secara paksa.
§ Qadla’ tarki (penetapan
berupa penolakan). Seperti ucapan qadli kepada penggugat: kamu tidak berhak
menuntut dari tergugat, karena kamu tidak mampu membuktikan, dan atas sumpah
tergugat.
c)
Al-mahkum bih (hak)
Yaitu
sesuatu yang diharuskan oleh qadli untuk dipenuhi atas suatu hak. Pada qadla’
ilzam, yang dimaksud adalah dengan memenuhi hak penggugat. Sedangkan
pada qadla’ tarki, yang dimaksudkan adalah penolakan atas gugatannya
itu. Atas dasar itulah, al-mahkum bih adalah hak itu sendiri. Hak itu
adakalanya hak Allah semata, hak manusia semata, atau hak yang dipersekutukan
antara Allah dan manusia tetapi salah satu lebih berat.
Apabila
hak yang dituntut itu merupakan hak manusia semata, atau menurut lazimnya
merupakan hak manusia, maka penuntutnya adalah pemilik hak itu sendiri, atau
orang yang diberi kuasa olehnya. Si penuntut itu disebut mudda’i
(penggugat). Jika ternyata dia tidak menuntut atau membatalkan tuntutannya,
maka ia tidak boleh dipaksa untuk menuntut haknya. Apabila hak yang dituntut
itu adalah hak Allah semata-mata atau menurut lazimnya hak itu merupakan hak
Allah, maka tuntutan itu dilakukan oleh penuntut umum (jaksa). Menurut
hanafiyyah, yang dimaksud hak Allah adalah hak masyarakat (publik).
d)
Al-mahkum
‘alaih
Yaitu
orang yang dijatuhi putusan atasnya. Mahkum ‘alaih yaitu orang yang dikenai
putusan untuk diambil haknya, baik ia mudda’a alaih (tergugat) atau mudda’i
(penggugat).
e)
Al-mahkum lahu
Yaitu
penggugat suatu hak, yang merupakan hak manusia semata-mata (hak perdata), atau
hak yang lazimnya merupakan hak manusia semata-mata. Mahkum lah harus melakukan
sendiri gugatan atas haknya atau dengan perantaraan orang yang diberi kuasa
olehnya, dan ia harus datang sendiri ke persidangan atau wakilnya. Adapun bila
hak itu merupakan hak Allah semata, maka mahkum lah-nya adalah syara’.
Dalam hal ini, tuntutan bukan datang dari perorangan, tetapi sesuai syari’at
Islam. Tuntutan itu dilakukan oleh lembaga penuntut umum.
Adapun di
Indonesia, unsur-unsur peradilan agama meliputi:
1.
Kekuasaan
negara yang merdeka.
2.
Penyelenggara
kekuasaan negara, yakni pengadilan.
3.
Perkara yang
menjadi wewenang pengadilan.
4.
Pihak-pihak
yang berperkara.
5.
Hukum yang
dijadikan rujukan dalam berperkara
6.
Prosedur dalam
menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara.
7.
Penegakan hukum
dan keadilan sebagai tujuan.
Prinsip-prinsip
peradilan Islam
Negara-negara
modern melaksanakan kepentingannya dengan menggunakan tiga kekuasaan (Trias
Politica), yaitu;
1)
Kekuasaan
perundang-undangan (Legislatif) / as-sulthoh at-tasyri’iyyah yang berwenang
membuat undang-undang.
2)
Kekuasaan
eksekutif / as-sulthoh at-tanfidziyyah yang bertugas melaksanakan
undang-undang.
3)
Kekuasaan
kehakiman / as-sulthoh al-qodlo’iyyah yang berwenang menerapkan
undang-undang untuk menyelesaikan perselisihan dan menegakkan keadilan di
antara manusia.
Kita lihat bahwa kekuasaan peradilan
/ kehakiman itu terpisah dari dua kekuasaan yang lain. Ini berarti bahwa kedua
kekuasaan / lembaga lainnya tidak diperkenankan mengintervensi atau ikut campur
dalam perkara-perkara atau urusan peradilan.
Teori pemisahan kekuasaan ini
memunculkan prinsip-prinsip penting dalam peradilan Islam yang jumlahnya ada
delapan (8) yaitu:
a)
Istiqlal al-qodlo’
(kemerdekaan kehakiman)
Kekuasaan
kehakiman itu merdeka/berdiri sebagai lembaga kekuasaan tersendiri. Tujuannya
adalah untuk menjaga peradilan agar tidak terkena pengaruh atau dengan kata
lain untuk menghindari adanya turut campur dua kekuasaan lain; legislatif dan
eksekutif. Ini adalah hal yang bagus dan rasional dalam tatanan hukum. Prinsip
ini sudah ada sejak masa Rasulullah SAW hidup.
b)
Al-Musawah
amamal qodlo’ (kesamaan di hadapan hukum)
Kebanyakan
orang beranggapan bahwa prinsip kemerdekaan, persaudaraan, dan persamaan itu
tidak dikenal sebelum meletusnya revolusi Prancis pada akhir abad ke-18 M.
Padahal sebenarnya prinsip itu telah dikemukakan baik dalam al-qur’an, hadits,
dan ucapan Khulafa’ur Rosyidin sejak abad ke-7 masehi. Dalam mengadili,
Rasulullah SAW selalu bersikap sama di antara pihak yang berselisih. Begitu
juga yang dilakukan oleh para khulafa’ur rosyidin.
Amirul
mu’minin Umar ibn al-Khatthab r.a pernah memberikan nasehat kepada seorang
qodli: “bersikaplah sama di antara manusia di hadapanmu dalam pernyataan dan
keputusan. Sehingga orang yang mulia tidak berharap kemenangan perkara dalam
keculasanmu, dan orang yang lemah tidak putus asa dari keadilanmu.”
c)
Majjaniyatul qodlo’ (peradilan gratis).
Di
negara-negara Islam, sejak dulu tidak pernah ada qodli yang boleh memungut
biaya dari orang yang berperkara ke pengadilan. Hal ini untuk menunjukkan
kedermawanan dan tidak adanya sikap tamak dalam diri sang Hakim/qodli.
Pemerintahan Islam lah yang menggaji mereka (para qodli). Prinsip
seperti ini tidak dikenal oleh negara-negara eropa kecuali setelah revolusi
Prancis. Akan tetapi, dengan adanya prinsip ini bukan berarti orang yang
berperkara tidak menyerahkan uang sama sekali ke pengadilan. Undang-undang
positif mengharuskan penyerahan sedikit biaya untuk mengurus (administrasi)
perkara yang diajukan.
d)
At-taqodli ‘ala
darojatain aw al-isti’naf (upaya hukum
naik banding).
Berdasarkan
prinsip ini, orang berperkara yang telah mendapatkan keputusan hukum atas suatu
kasus di pengadilan tingkat pertama, boleh mengajukan kasus itu lagi ke
pengadilan yang lebih tinggi alias naik banding untuk mendapatkan keputusan
hukum lagi atas kasus tersebut. Pengadilan yang lebih tinggi ini mempunyai
kemerdekaan atau kebebasan untuk menentukan, apakah keputusan pertama atas
kasus itu (hasil pengadilan sebelumnya) dikukuhkan , diganti, atau dibatalkan.
Prinsip ini telah dikenal luas dalam semua undang-undang positif. Prinsip ini
mempunyai faedah yang penting. Ia mendorong qodli/hakim untuk berhati-hati dan
mengerahkan usaha maksimal dalam menangani kasus yang diajukan kepadanya.
Karena hakim tersebut tahu bahwa hukum yang ia putuskan akan mungkin
ditampakkan/diperlihatkan lagi di kemudian hari (di pengadilan banding), jika
ternyata ada kekeliruan dalam keputusannya itu. Sehingga hal ini mendorong sang
hakim untuk ber-ijtihad dan melakukan penelitian secara mendalam agar hukum
yang ia putuskan tidak diganti atau dianulir.
e)
Al-qodlo’ fil
Islam yaqumu ‘ala nidhomi al-qodli al-fard (kehakiman Islam menerapkan aturan hakim tunggal).
Dalam
sistem peradilan Islam, yang memutuskan perkara di antara manusia adalah
seorang qodli saja. Dalam kondisi ada kebutuhan, Fuqoha’ memperbolehkan sang
hakim didampingi beberapa Ulama’ sebagai pendamping yang akan memberikan
sumbangan pendapat pada hakim. Akan tetapi mereka (ulama’) tidak boleh ikut
campur dalam memutuskan hukum atas kasus yang disidangkan. Pendapat mereka
hanya sebagai pertimbangan seperlunya bagi hakim. Jadi yang memutuskan hukum
tetap sang hakim/qodli itu sendiri.
f)
‘Alaniyatu
majlisil qodlo’ (sidang
peradilan yang terbuka)
Fuqoha’ bersepakat
atas terbukanya pengadilan. Bahwa pengadilan dilaksanakan secara terbuka.
Sebagaimana Rasulullah menyelenggarakan persidangan di masjid.
g)
Hushulul
ijro’at fi muwajahatil khushum (mempertemukan
pihak yang berselisih)
Keputusan
hukum tidak bisa dijatuhkan sebelum kedua belah pihak terkait dipertemukan
(saling mengetahui dan didengarkan pendapatnya masing-masing). Mengenai pihak
berperkara yang ghaib (tidak hadir dalam persidangan), ada kaedah-kaedah
tersendiri yang mengaturnya, sehingga hak masing-masing pihak tetap terjaga.
a)
Sulthotul qodli
fil fiqhi al-islamiy (kekuasaan
kehakiman dalam fikih Islam)
Dalam
pelaksanaan kekuasaan kehakiman, walaupun sudah ada undang-undang positif yang
diterapkan, fikih (hukum Islam) tetap menjadi pijakan dalam menetapkan,
mengganti atau menganulir hukum.
C.
Kedudukan dan
Fungsi Peradilan Islam
Kedudukan Peradilan Islam
Peradilan
adalah fardu kifayah untuk menghindarkan kezhaliman dan meluruskan
persengketaan. Penguasa wajib mengangkat hakim untuk menegakan hukum di kalangan
masyarakat.
Sejarah adanya
peradilan telah dikenal sejak masa islam, karena didorong oleh kebutuhan
kemakmuran hidup dan kejadian manusia itu sendiri, oleh karena itu, peradilan
telah dikenal sejak masa-masa pertama, dan tidak mungkin suatu pemerintahan di
dunia ini, apapun bentuknya, yang akan dapat berdiri tanpa menegakan peradilan,
karena manusia sebagai mahluk sosial tidak mungkin dapat menghindari
persengketaan dalam kehidupan bermasyarakat, Oleh karena itu pula maka
peradilan di pandang suci oleh semua bangsa, dalam berbagai tingkat
kemajuannya. Karena manegakkan peradilan berarti memerintahkan kebaikan dan
mencegah bahaya kedzhaliman, menyampaikan hak kepada yang punya, mencegah
tindakan kedzaliman, mengusahakan ishlah di antara manusia,
menyelamatkan sebagian mereka dari kesewenangan-wenangan sebagian yang lain, karena
manusia tidak mungkin memperoleh kestabilan urusan
mereka tanpa adanya peradilan. Dengan adanya peradilan maka darah manusia
dilindungi, dan pada suatu saat terpaksa ditumpahkan, dan dengan peradilan
manusia diperjodohkan, dan perzinaan di haramkan, dan harta benda ditetapkan
pemiliknya, serta muamalat dapat di ketahui mana yang boleh ,mana yang di
larang,mana yang makruh dan mana yang disunnatkan. Hal ini selaras dengan
tujuan hukum Islam yaitu mendatangkan kemaslahatan dan menghilangkan
kemudharatan (Jalbu al-naf’i wa daf’u al-dharar).
Kehidupan
manusia pada setiap masanya selalu membutuhkan peradilan, sebab kalau tidak, maka
kehidupan mereka akan menjadi liar, sekedar menetapkan susunan undang-undang
belumlah cukup untuk menyelamatkan kehidupan sosial dan menertibkannya, karena
manusia kadang-kadang berselisih tentang makna serta kewajiban menghormatinya, dan
kadang-kadang Perselisihan mereka itu terletak pada penerapan rumusan
undang-undang itu terhadap kasus yang terjadi, baik yang menyangkut makna
undang-undang itu sendiri maupun segi lainya, dan kadang-kadang ada yang secara
terang-terangan menentang rumusan undang-undang. Maka peradilanlah yang akan
berperan menentukan makna undang-undang dengan secara sempurna, karena
menentukan yang lebih nyata dari kekhususan-kekhususan rumusan undang-undang
adalah termasuk sifat suatu penetapan. Dalam hukum islam, yang menjadi sumber
hukum/ Undang-undang tertinggi adalah Al-Quran dan Al-Hadits. Artinya, dengan
adanya Peradilan perintah-perintah serta larangan-larangan yang tertera dalam
Al-Quran dan hadits dapat dijalankan secara komprehensif oleh umat manusia.
Mengingat pentingnya kedudukan lembaga peradilan dalam masyarakat/negara Allah swt. berfirman dalam
Surat Al-Baqarah ayat 251 sebagai berikut:
...seandainya
Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang
lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan)
atas semesta alam.
Allah SWT,
Menandaskan bahwa allah menolak keganasan orang-orang dhalim dengan
kejam melalui kekuatan yang ada pada hakim, dengan undang-undang yang
dilaksanakan dengan seksama oleh penguasa yang adil, supaya ketrentaman hidup
dan kesentosaan masyarakat berwujud di tengah-tengah pergolakan dunia. Oleh
karena itu, Syari’at islam memandang tugas Qadla’, suatu tugas yang pokok dan
berkedudukan tinggi.
Untuk
mengembangkan keadilan dan mengendalikan lembaga keadilan, Allah SWT mengutus
para rosul dan menugaskan mereka menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi di
antara masyarakat ummat. hal ini di tunjukan oleh ayat 78 surat al-anbiya dan
surat shad ayat 26 sebagai berikut:
“Dan (ingatlah
kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan Keputusan mengenai
tanaman, Karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. dan
adalah kami menyaksikan Keputusan yang diberikan oleh mereka itu,”
“Hai Daud,
Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka
berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang
berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan”.
Fungsi
Peradilan Islam
Fungsi
Peradilan Sebagai lembaga negara yang ditugasi untuk menyelasaikan dan
memutuskan setiap perkara dengan adil, maka peradilan berfungsi untuk
menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat yang dibina melalui
tegaknya hukum. Peradilan Islam bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan umat
dengan tetap tegaknya
hukum Islam. Karena itu peradilan Islam mempunyai tugas pokok:
a. Mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa.
b.
Menetapkan sanksi dan menerapkan kepada para
pelaku perbuatan yang melanggar hukum.
D.
Peradilan Islam
di Indonesia
Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Indonesia merupakan negara hukum.
Sehingga secara de jure Indonesia merupakan negara yang sangat menjunjung
tinggi norma-norma hukum untuk mewujudkan kemaslahatan bagi warga negaranya.
Lembaga peradilan dalam hal ini berperan sebagai lembaga penegak hukum dan
merupakan lembaga yang memegang kekuasaan kehakiman yang merupakan salah satu
kekuasaan tertinggi negara.
Yang
menjalankan peradilan Islam di Indonesia adalah Peradilan Agama. Peradilan
agama mempunyai kewenangan absolut untuk menyelesaikan perkara yang terjadi
diantara masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Namun, kewenangan peradilan
agama hanya berkutat pada perkara-perkara perdata saja. Sedangkan perkara
pidananya masih ditangani oleh peradilan umum. Karena tidak dapat dipungkiri
bahwa negara Indonesia merupakan negara kesatuan dan bukan negara Islam.
Susunan Organisasi Peradilan Agama
Susunan hierarki peradilan agama secara instansional diatur dalam pasal
6 UU No.7 tahun1989.
Menurut ketentuan pasal ini secara instansional,lingkugan peradilan
agama terdiri dari 2 tingkat :
1.
Pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama.
2.
Pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan tingkat
banding
Makna pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama ialah
pengadilan yang bertindak menerima,memeriksa,dan memutus setiap permohonan atau
gugatan pada tahap paling awal dan paling bawah. Pengadilan agama bertindak
sebagai peradilan sehari hari menampung pada tahap awal dan memutus atau
mengadili pada tahap awal segala perkara yang diajukan masyarakat mencari
keadilan. Tidak boleh mengajukan suatu permohonan atau gugatan langsung ke
pengadilan tinggi agama. Semua jenis perkara terlebih dahulu mesti melalui
pengadilan agama dalam kedudukan hierarki sebagai pengadilan tingkat pertama.
Terhadap semua permohonan atau gugat perkara yang diajukan kepadanya dalam
kedudukan sebagai instansi pengadilan tingkat pertama,harusn menerima, memeriksa,
dan memutusnya,
dilarang menolak untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara yang diajukan kepada nya dengan dalih apapun. Hal
ini ditegaskan dalam pasal 56 yang bunyinya: “Pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak atau kurang jelas,melainkan wajib memeriksa dan wajib memutus nya”.
Dari pengertian pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama
adalah pengadilan terbawah yang bertindak sebagai pintu gerbang penerimaan,
pemeriksaan dan pemetusan setiap perkara. Perkara yang tidak lebih dulu
diajukan ke pengadilan agama tidak akan pernah mendapat penyelesaian. Tidak
boleh lansung diajukan ke pengadilan yang lebih tinggi yakni Pengadilan Tinggi.
Karena fungsi peradilan yang di berikan undang-undang kepada pengadilan tinggi bukan sebagai pengadilan tingkat
pertama, tapi pengadilan tingkat banding.
Pengadilan Tinggi agama kedudukannya sebagai pengadilan tingkat banding,
bertindak dan berwenang memeriksa ulang suatu perkara yang diperiksa dan di
putus oleh pengadilan agama, apabila pihak yang berperkara mengajukan
permintaan banding.
Susunan pengadilan agama secara horizontal berkedudukan pada setiap kota
madya atau ibu kota kabupaten. Susunan horizontal pengadilan tinggi agama
berkedudukan pada setiap ibu kota provinsi. Selanjutnya susunan horizontal
dengan sendirinya merupakan penentuan batas kekuasaan daerah hukum masing-masing pengadilan. Daerah hukum pengadilan agama hanya meliputi daerah
kota madya atau daerah kabupaten dimana ia terletak. Seluas daerah itulah
kewenangan atau kompetensi relatifnya. Begitu juga daerah hukum pengadilan
agama. Daerah hukum masing-masing sesuai dengan
daerah provinsi dimana dia terletak. Memang pada dasarnya luas daerah hukum
masing-masing pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di sesuaikan dengan
daerah hukum pemerintahan kota madya atau kabupaten dan provinsi.
Susunan Organisasi Pengadilan Agama sesuai Bab II, Bagian Pertama,
Pasal 9 UU Nomor 7 tahun 1989 terdiri dari :
1.
Pimpinan ;
2.
Hakim Anggota ;
3.
Panitera ;
4.
Sekretaris dan
5.
Juru Sita
Sedangkan pada Pengadilan Tinggi Agama, terdiri dari :
1.
Pimpinan ;
2.
Hakim Anggota ;
3.
Panitera dan
4.
Sekretaris
E.
Hikmah dari
Adanya Peradilan Islam
Hikmah
Peradilan Sesuai dengan fungsi dan tujuan peradilan sebagaimana dijelaskan di
atas, maka dengan adanya peradilan akan diperoleh himah yang besar bagi
kehidupan umat, yaitu: Terwujudnya suatu masyarakat yang bersih, karena hak
setiap orang terutama hak asasinya dapat
dilindungi dan dipenuhi sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku.
Hal ini sejalan dengan hadis Nabi SAW yang artinya:
“Dari Jabir
katanya : Saya dengar Rasulullah saw bersabda : Tidak (dinilai)bersih suatu
masyarakat dimana hak orang yang lemah diambil oleh yang kuat” (H.R. Ibnu
Hiban)
Demikian pula pada pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi :
1)
Segala warga negara bersamaaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
2)
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.Aparatu pemerintah yang bersih dan
berwibawa dapat terwujud di tengah-tengah mansayarakat yang bersih.
Dengan demikian pada gilirannya negara akan semakin kuat sejalan dengan
tegaknya hukum.
Terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat. Artinya hak-hak setiap orang
dihargai dan tidak teraniaya. Firman Allah dalam Al-Quran :
Artinya: “Dan
(menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkan
dengan adil” (Q.S. An-Nisa : 58)
Dengan
masyarakat yang bersih, pemerintah yang bersih dan berwibawa serta tegaknya
keadilan, maka akan terwujud ketentraman, kedamaian dan keamanan dalam
masyarakat.Dapat mewujudkan suasana yang mendorong untuk meningkatkan ketaqwaan
kepada Allah SWT, bagi semua pihak.Firman Allah SWT :Artinya : Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada taqwa (Q.S. Al-Maidah : 8)
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad salam madkur, Peradilan dalam Islam.,
Pt Bina ilmu,1993
Hasbi ash-shiddieQy, Sejarah Peradilan Islam.,
bulan bintang jakarta,1970
Sayyid sabiq, Fiqih sunnah,. al-ma’arif
bandung, 1993
0 komentar:
Post a Comment