Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Wednesday, May 02, 2018

FILSAFAT HUKUM ISLAM


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Peradilan (Qadha’) dalam Islam
Secara bahasa (etimologi) arti qadha’ antara lain: menyelesaikan, menunaikan, dan memutuskan hukum atau membuat suatu ketetapan. Makna yang terakhir inilah yang digunakan dalam konteks ini.
Sedangkan dari segi istilah (terminologi) ahli fiqih, qadha’ berarti Lembaga Hukum dan perkataan yang harus dituruti yang di ucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar mengharuskan orang mengikutinya. Menurut Muhammad Sallam Madkur, qadha’ disebut hakim karena dia melarang pelaku dari perbuatan tidak adil.
Karena adanya berbagai pengertian dari kata qadha’ itu, maka ia bisa digunakan dalam arti memutuskan perselisihan oleh hakim. Orang yang melakukannya disebut qadhi. Menurut para ahli fiqih, terminologi syariat dari kata qadha’ adalah memutuskan perselisihan dan menghindarkan perbedaan serta konflik-konflik.

Dengan definisi tersebut di atas dapat dikatakan bahwa tugas qadha’ (Lembaga Peradilan) adalah menampakkan hukum agama, bukan menetapkan suatu hukum, karena hukum telah ada dalam hal yang dihadapi oleh hakim. Hakim hanya menerapkannya ke alam nyata, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada.
B.     Unsur-Unsur dan Prinsip dalam Peradilan Islam
Unsur-Unsur Peradilan Islam
Unsur-unsur peradilan Islam disebut juga dengan rukun qadha’. Secara bahasa, rukun yaitu bagian yang kuat, yang berfungsi menahan sesuatu. Secara istilah, rukun berarti bagian tertentu yang mesti dari sesuatu, karena terwujudnya sesuatu itu mesti dengan adanya bagian itu. Jadi, rukun qadha’ (unsur-unsur peradilan) yaitu apa yang menunjukkan eksistensi peradilan itu, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ahli fiqih menyebutkan bahwa peradilan Islam mempunyai lima rukun atau unsur, yaitu: 
a)      Hakim (qadhi)
Yakni orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan dan perselisihan, dikarenakan penguasa tidak bisa melaksanakan sendiri tugas-tugas peradilan. Sebagaimana yang dilakukan nabi Muhammad SAW pada masa hidupnya. Beliau mengangkat qadli-qadli untuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat yang jauh.

b)      Hukum (qodho’)
Yaitu suatu keputusan produk qadli untuk menyelesaikan perselisihan dan memutuskan persengketaan. Ada dua bentuk keputusan hakim:
§  Qadla’ ilzam, yaitu menetapkan hak/macam hukuman kepada salah salah satu pihak dengan redaksi “aku putuskan atasmu demikian”, atau menetapkan suatu hak dengan tindakan, seperti pembagian secara paksa. 
§  Qadla’ tarki (penetapan berupa penolakan). Seperti ucapan qadli kepada penggugat: kamu tidak berhak menuntut dari tergugat, karena kamu tidak mampu membuktikan, dan atas sumpah tergugat.
c)      Al-mahkum bih (hak)
Yaitu sesuatu yang diharuskan oleh qadli untuk dipenuhi atas suatu hak. Pada qadla’ ilzam, yang dimaksud adalah dengan memenuhi hak penggugat. Sedangkan pada qadla’ tarki, yang dimaksudkan adalah penolakan atas gugatannya itu. Atas dasar itulah, al-mahkum bih adalah hak itu sendiri. Hak itu adakalanya hak Allah semata, hak manusia semata, atau hak yang dipersekutukan antara Allah dan manusia tetapi salah satu lebih berat. 
Apabila hak yang dituntut itu merupakan hak manusia semata, atau menurut lazimnya merupakan hak manusia, maka penuntutnya adalah pemilik hak itu sendiri, atau orang yang diberi kuasa olehnya. Si penuntut itu disebut mudda’i (penggugat). Jika ternyata dia tidak menuntut atau membatalkan tuntutannya, maka ia tidak boleh dipaksa untuk menuntut haknya. Apabila hak yang dituntut itu adalah hak Allah semata-mata atau menurut lazimnya hak itu merupakan hak Allah, maka tuntutan itu dilakukan oleh penuntut umum (jaksa). Menurut hanafiyyah, yang dimaksud hak Allah adalah hak masyarakat (publik). 
d)      Al-mahkum ‘alaih 
Yaitu orang yang dijatuhi putusan atasnya. Mahkum ‘alaih yaitu orang yang dikenai putusan untuk diambil haknya, baik ia mudda’a alaih (tergugat) atau mudda’i (penggugat).
e)      Al-mahkum lahu
Yaitu penggugat suatu hak, yang merupakan hak manusia semata-mata (hak perdata), atau hak yang lazimnya merupakan hak manusia semata-mata. Mahkum lah harus melakukan sendiri gugatan atas haknya atau dengan perantaraan orang yang diberi kuasa olehnya, dan ia harus datang sendiri ke persidangan atau wakilnya. Adapun bila hak itu merupakan hak Allah semata, maka mahkum lah-nya adalah syara’. Dalam hal ini, tuntutan bukan datang dari perorangan, tetapi sesuai syari’at Islam. Tuntutan itu dilakukan oleh lembaga penuntut umum. 


Adapun di Indonesia, unsur-unsur peradilan agama meliputi:
1.      Kekuasaan negara yang merdeka.
2.      Penyelenggara kekuasaan negara, yakni pengadilan.
3.      Perkara yang menjadi wewenang pengadilan.
4.      Pihak-pihak yang berperkara.
5.      Hukum yang dijadikan rujukan dalam berperkara
6.      Prosedur dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara.
7.      Penegakan hukum dan keadilan sebagai tujuan.
Prinsip-prinsip peradilan Islam
Negara-negara modern melaksanakan kepentingannya dengan menggunakan tiga kekuasaan (Trias Politica), yaitu;
1)      Kekuasaan perundang-undangan (Legislatif) / as-sulthoh at-tasyri’iyyah yang berwenang membuat undang-undang.
2)      Kekuasaan eksekutif / as-sulthoh at-tanfidziyyah yang bertugas melaksanakan undang-undang.
3)      Kekuasaan kehakiman / as-sulthoh al-qodlo’iyyah yang berwenang menerapkan undang-undang untuk menyelesaikan perselisihan dan menegakkan keadilan di antara manusia.
Kita lihat bahwa kekuasaan peradilan / kehakiman itu terpisah dari dua kekuasaan yang lain. Ini berarti bahwa kedua kekuasaan / lembaga lainnya tidak diperkenankan mengintervensi atau ikut campur dalam perkara-perkara atau urusan peradilan.
Teori pemisahan kekuasaan ini memunculkan prinsip-prinsip penting dalam peradilan Islam yang jumlahnya ada delapan (8) yaitu:
a)      Istiqlal al-qodlo’ (kemerdekaan kehakiman)
Kekuasaan kehakiman itu merdeka/berdiri sebagai lembaga kekuasaan tersendiri. Tujuannya adalah untuk menjaga peradilan agar tidak terkena pengaruh atau dengan kata lain untuk menghindari adanya turut campur dua kekuasaan lain; legislatif dan eksekutif. Ini adalah hal yang bagus dan rasional dalam tatanan hukum. Prinsip ini sudah ada sejak masa Rasulullah SAW hidup. 
b)      Al-Musawah amamal qodlo’ (kesamaan di hadapan hukum)
Kebanyakan orang beranggapan bahwa prinsip kemerdekaan, persaudaraan, dan persamaan itu tidak dikenal sebelum meletusnya revolusi Prancis pada akhir abad ke-18 M. Padahal sebenarnya prinsip itu telah dikemukakan baik dalam al-qur’an, hadits, dan ucapan Khulafa’ur Rosyidin sejak abad ke-7 masehi. Dalam mengadili, Rasulullah SAW selalu bersikap sama di antara pihak yang berselisih. Begitu juga yang dilakukan oleh para khulafa’ur rosyidin.
Amirul mu’minin Umar ibn al-Khatthab r.a pernah memberikan nasehat kepada seorang qodli: “bersikaplah sama di antara manusia di hadapanmu dalam pernyataan dan keputusan. Sehingga orang yang mulia tidak berharap kemenangan perkara dalam keculasanmu, dan orang yang lemah tidak putus asa dari keadilanmu.” 
c)      Majjaniyatul qodlo’ (peradilan gratis).
Di negara-negara Islam, sejak dulu tidak pernah ada qodli yang boleh memungut biaya dari orang yang berperkara ke pengadilan. Hal ini untuk menunjukkan kedermawanan dan tidak adanya sikap tamak dalam diri sang Hakim/qodli. Pemerintahan Islam lah yang menggaji mereka (para qodli). Prinsip seperti ini tidak dikenal oleh negara-negara eropa kecuali setelah revolusi Prancis. Akan tetapi, dengan adanya prinsip ini bukan berarti orang yang berperkara tidak menyerahkan uang sama sekali ke pengadilan. Undang-undang positif mengharuskan penyerahan sedikit biaya untuk mengurus (administrasi) perkara yang diajukan.
d)     At-taqodli ‘ala darojatain aw al-isti’naf (upaya hukum naik banding).
Berdasarkan prinsip ini, orang berperkara yang telah mendapatkan keputusan hukum atas suatu kasus di pengadilan tingkat pertama, boleh mengajukan kasus itu lagi ke pengadilan yang lebih tinggi alias naik banding untuk mendapatkan keputusan hukum lagi atas kasus tersebut. Pengadilan yang lebih tinggi ini mempunyai kemerdekaan atau kebebasan untuk menentukan, apakah keputusan pertama atas kasus itu (hasil pengadilan sebelumnya) dikukuhkan , diganti, atau dibatalkan. Prinsip ini telah dikenal luas dalam semua undang-undang positif. Prinsip ini mempunyai faedah yang penting. Ia mendorong qodli/hakim untuk berhati-hati dan mengerahkan usaha maksimal dalam menangani kasus yang diajukan kepadanya. Karena hakim tersebut tahu bahwa hukum yang ia putuskan akan mungkin ditampakkan/diperlihatkan lagi di kemudian hari (di pengadilan banding), jika ternyata ada kekeliruan dalam keputusannya itu. Sehingga hal ini mendorong sang hakim untuk ber-ijtihad dan melakukan penelitian secara mendalam agar hukum yang ia putuskan tidak diganti atau dianulir.
e)      Al-qodlo’ fil Islam yaqumu ‘ala nidhomi al-qodli al-fard (kehakiman Islam menerapkan aturan hakim tunggal).
Dalam sistem peradilan Islam, yang memutuskan perkara di antara manusia adalah seorang qodli saja. Dalam kondisi ada kebutuhan, Fuqoha’ memperbolehkan sang hakim didampingi beberapa Ulama’ sebagai pendamping yang akan memberikan sumbangan pendapat pada hakim. Akan tetapi mereka (ulama’) tidak boleh ikut campur dalam memutuskan hukum atas kasus yang disidangkan. Pendapat mereka hanya sebagai pertimbangan seperlunya bagi hakim. Jadi yang memutuskan hukum tetap sang hakim/qodli itu sendiri.
f)       ‘Alaniyatu majlisil qodlo’ (sidang peradilan yang terbuka)
Fuqoha’ bersepakat atas terbukanya pengadilan. Bahwa pengadilan dilaksanakan secara terbuka. Sebagaimana Rasulullah menyelenggarakan persidangan di masjid. 
g)      Hushulul ijro’at fi muwajahatil khushum (mempertemukan pihak yang berselisih)
Keputusan hukum tidak bisa dijatuhkan sebelum kedua belah pihak terkait dipertemukan (saling mengetahui dan didengarkan pendapatnya masing-masing). Mengenai pihak berperkara yang ghaib (tidak hadir dalam persidangan), ada kaedah-kaedah tersendiri yang mengaturnya, sehingga hak masing-masing pihak tetap terjaga.
a)      Sulthotul qodli fil fiqhi al-islamiy (kekuasaan kehakiman dalam fikih Islam)
Dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman, walaupun sudah ada undang-undang positif yang diterapkan, fikih (hukum Islam) tetap menjadi pijakan dalam menetapkan, mengganti atau menganulir hukum.
C.    Kedudukan dan Fungsi Peradilan Islam
Kedudukan Peradilan Islam
Peradilan adalah fardu kifayah untuk menghindarkan kezhaliman dan meluruskan persengketaan. Penguasa wajib mengangkat hakim untuk menegakan hukum di kalangan masyarakat.
Sejarah adanya peradilan telah dikenal sejak masa islam, karena didorong oleh kebutuhan kemakmuran hidup dan kejadian manusia itu sendiri, oleh karena itu, peradilan telah dikenal sejak masa-masa pertama, dan tidak mungkin suatu pemerintahan di dunia ini, apapun bentuknya, yang akan dapat berdiri tanpa menegakan peradilan, karena manusia sebagai mahluk sosial tidak mungkin dapat menghindari persengketaan dalam kehidupan bermasyarakat, Oleh karena itu pula maka peradilan di pandang suci oleh semua bangsa, dalam berbagai tingkat kemajuannya. Karena manegakkan peradilan berarti memerintahkan kebaikan dan mencegah bahaya kedzhaliman, menyampaikan hak kepada yang punya, mencegah tindakan kedzaliman, mengusahakan ishlah di antara manusia, menyelamatkan sebagian mereka dari kesewenangan-wenangan sebagian yang lain, karena manusia tidak mungkin memperoleh kestabilan  urusan mereka tanpa adanya peradilan. Dengan adanya peradilan maka darah manusia dilindungi, dan pada suatu saat terpaksa ditumpahkan, dan dengan peradilan manusia diperjodohkan, dan perzinaan di haramkan, dan harta benda ditetapkan pemiliknya, serta muamalat dapat di ketahui mana yang boleh ,mana yang di larang,mana yang makruh dan mana yang disunnatkan. Hal ini selaras dengan tujuan hukum Islam yaitu mendatangkan kemaslahatan dan menghilangkan kemudharatan (Jalbu al-naf’i wa daf’u al-dharar).
Kehidupan manusia pada setiap masanya selalu membutuhkan peradilan, sebab kalau tidak, maka kehidupan mereka akan menjadi liar, sekedar menetapkan susunan undang-undang belumlah cukup untuk menyelamatkan kehidupan sosial dan menertibkannya, karena manusia kadang-kadang berselisih tentang makna serta kewajiban menghormatinya, dan kadang-kadang Perselisihan mereka itu terletak pada penerapan rumusan undang-undang itu terhadap kasus yang terjadi, baik yang menyangkut makna undang-undang itu sendiri maupun segi lainya, dan kadang-kadang ada yang secara terang-terangan menentang rumusan undang-undang. Maka peradilanlah yang akan berperan menentukan makna undang-undang dengan secara sempurna, karena menentukan yang lebih nyata dari kekhususan-kekhususan rumusan undang-undang adalah termasuk sifat suatu penetapan. Dalam hukum islam, yang menjadi sumber hukum/ Undang-undang tertinggi adalah Al-Quran dan Al-Hadits. Artinya, dengan adanya Peradilan perintah-perintah serta larangan-larangan yang tertera dalam Al-Quran dan hadits dapat dijalankan secara komprehensif oleh umat manusia.
Mengingat pentingnya kedudukan lembaga peradilan dalam masyarakat/negara Allah swt. berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 251  sebagai berikut:



...seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.
Allah SWT, Menandaskan bahwa allah menolak keganasan orang-orang dhalim dengan kejam melalui kekuatan yang ada pada hakim, dengan undang-undang yang dilaksanakan dengan seksama oleh penguasa yang adil, supaya ketrentaman hidup dan kesentosaan masyarakat berwujud di tengah-tengah pergolakan dunia. Oleh karena itu, Syari’at islam memandang tugas Qadla’, suatu tugas yang pokok dan berkedudukan tinggi.
Untuk mengembangkan keadilan dan mengendalikan lembaga keadilan, Allah SWT mengutus para rosul dan menugaskan mereka menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi di antara masyarakat ummat. hal ini di tunjukan oleh ayat 78 surat al-anbiya dan surat shad ayat 26  sebagai berikut:



“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan Keputusan mengenai tanaman, Karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. dan adalah kami menyaksikan Keputusan yang diberikan oleh mereka itu,”



“Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan”.
Fungsi Peradilan Islam
Fungsi Peradilan Sebagai lembaga negara yang ditugasi untuk menyelasaikan dan memutuskan setiap perkara dengan adil, maka peradilan berfungsi untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat yang dibina melalui tegaknya hukum. Peradilan Islam bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan umat dengan tetap tegaknya hukum Islam. Karena itu peradilan Islam mempunyai tugas pokok:
a.       Mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa.
b.      Menetapkan sanksi dan menerapkan kepada para pelaku perbuatan yang melanggar hukum.
D.    Peradilan Islam di Indonesia
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Sehingga secara de jure Indonesia merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi norma-norma hukum untuk mewujudkan kemaslahatan bagi warga negaranya. Lembaga peradilan dalam hal ini berperan sebagai lembaga penegak hukum dan merupakan lembaga yang memegang kekuasaan kehakiman yang merupakan salah satu kekuasaan tertinggi negara.
Yang menjalankan peradilan Islam di Indonesia adalah Peradilan Agama. Peradilan agama mempunyai kewenangan absolut untuk menyelesaikan perkara yang terjadi diantara masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Namun, kewenangan peradilan agama hanya berkutat pada perkara-perkara perdata saja. Sedangkan perkara pidananya masih ditangani oleh peradilan umum. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia merupakan negara kesatuan dan bukan negara Islam.
Susunan Organisasi Peradilan Agama
Susunan hierarki peradilan agama secara instansional diatur dalam pasal 6 UU No.7 tahun1989. Menurut ketentuan pasal ini secara instansional,lingkugan peradilan agama terdiri dari 2 tingkat :
1.      Pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama.
2.      Pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding
Makna pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama ialah pengadilan yang bertindak menerima,memeriksa,dan memutus setiap permohonan atau gugatan pada tahap paling awal dan paling bawah. Pengadilan agama bertindak sebagai peradilan sehari hari menampung pada tahap awal dan memutus atau mengadili pada tahap awal segala perkara yang diajukan masyarakat mencari keadilan. Tidak boleh mengajukan suatu permohonan atau gugatan langsung ke pengadilan tinggi agama. Semua jenis perkara terlebih dahulu mesti melalui pengadilan agama dalam kedudukan hierarki sebagai pengadilan tingkat pertama. Terhadap semua permohonan atau gugat perkara yang diajukan kepadanya dalam kedudukan sebagai instansi pengadilan tingkat pertama,harusn menerima, memeriksa, dan memutusnya, dilarang menolak untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara yang diajukan kepada nya dengan dalih apapun. Hal ini ditegaskan dalam pasal 56 yang bunyinya: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas,melainkan wajib memeriksa dan wajib memutus nya”.
Dari pengertian pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama adalah pengadilan terbawah yang bertindak sebagai pintu gerbang penerimaan, pemeriksaan dan pemetusan setiap perkara. Perkara yang tidak lebih dulu diajukan ke pengadilan agama tidak akan pernah mendapat penyelesaian. Tidak boleh lansung diajukan ke pengadilan yang lebih tinggi yakni Pengadilan Tinggi. Karena fungsi peradilan yang di berikan undang-undang kepada pengadilan tinggi bukan sebagai pengadilan tingkat pertama, tapi pengadilan tingkat banding.
Pengadilan Tinggi agama kedudukannya sebagai pengadilan tingkat banding, bertindak dan berwenang memeriksa ulang suatu perkara yang diperiksa dan di putus oleh pengadilan agama, apabila pihak yang berperkara mengajukan permintaan banding.
Susunan pengadilan agama secara horizontal berkedudukan pada setiap kota madya atau ibu kota kabupaten. Susunan horizontal pengadilan tinggi agama berkedudukan pada setiap ibu kota provinsi. Selanjutnya susunan horizontal dengan sendirinya merupakan penentuan batas kekuasaan daerah hukum masing-masing pengadilan. Daerah hukum pengadilan agama hanya meliputi daerah kota madya atau daerah kabupaten dimana ia terletak. Seluas daerah itulah kewenangan atau kompetensi relatifnya. Begitu juga daerah hukum pengadilan agama. Daerah hukum masing-masing sesuai dengan daerah provinsi dimana dia terletak. Memang pada dasarnya luas daerah hukum masing-masing pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di sesuaikan dengan daerah hukum pemerintahan kota madya atau kabupaten dan provinsi.
Susunan Organisasi Pengadilan Agama sesuai Bab II, Bagian Pertama, Pasal 9 UU Nomor 7 tahun 1989 terdiri dari :
1.      Pimpinan ;
2.      Hakim Anggota ;
3.      Panitera ;
4.      Sekretaris dan
5.      Juru Sita
Sedangkan pada Pengadilan Tinggi Agama, terdiri dari :
1.      Pimpinan ;
2.      Hakim Anggota ;
3.      Panitera dan
4.      Sekretaris

E.     Hikmah dari Adanya Peradilan Islam
Hikmah Peradilan Sesuai dengan fungsi dan tujuan peradilan sebagaimana dijelaskan di atas, maka dengan adanya peradilan akan diperoleh himah yang besar bagi kehidupan umat, yaitu: Terwujudnya suatu masyarakat yang bersih, karena hak setiap  orang terutama hak asasinya dapat dilindungi dan dipenuhi sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi SAW yang artinya:
“Dari Jabir katanya : Saya dengar Rasulullah saw bersabda : Tidak (dinilai)bersih suatu masyarakat dimana hak orang yang lemah diambil oleh yang kuat” (H.R. Ibnu Hiban)
Demikian pula pada pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi :         
1)      Segala warga negara bersamaaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib   menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
2)      Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.Aparatu pemerintah yang bersih dan berwibawa dapat terwujud di tengah-tengah mansayarakat yang bersih.
             Dengan demikian pada gilirannya negara akan semakin kuat sejalan dengan tegaknya hukum. Terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat. Artinya hak-hak setiap orang dihargai dan tidak teraniaya. Firman Allah dalam Al-Quran :


Artinya: “Dan (menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkan dengan adil” (Q.S. An-Nisa : 58)
Dengan masyarakat yang bersih, pemerintah yang bersih dan berwibawa serta tegaknya keadilan, maka akan terwujud ketentraman, kedamaian dan keamanan dalam masyarakat.Dapat mewujudkan suasana yang mendorong untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT, bagi semua pihak.Firman Allah SWT :Artinya : Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa (Q.S. Al-Maidah : 8)

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad salam madkur, Peradilan dalam Islam., Pt Bina ilmu,1993
Hasbi ash-shiddieQy, Sejarah Peradilan Islam., bulan bintang jakarta,1970
Sayyid sabiq, Fiqih sunnah,. al-ma’arif bandung, 1993
http://www.google.com/FungsiPeradilanIslam


Share:

0 komentar:

Post a Comment