Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Friday, May 04, 2018

TINDAK PIDANA ANAK


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setiaptahun kasus tindakan kejahatan yang dilakukan oleh anak semakin meningkat,dalam kasus-kasu tertentu anak yang menjadi pelaku mendapat menjadi perhatiankhusus bagi aparat penegak hukum. Oleh karena itu upaya pencegahan danpenanggualangan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, perlu segeradilakukan. Salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap anak yangberhadapan dengan hukum saat ini melalui peradilan pidan anak.
Tujuandiadakannya sistem peradilan pidana anak tidak semata-mata ber-tujuan untukmemeberikan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana, tetapi lebihdifokuskan pada pertanggung jawaban pelaku terhadap korban tindak pidana. Demikesejahteraan anak yang bersangkutan tanpa mengurangi perhatian dan kepentinganmasyarakat.
Dengan demikian, tujuan system peradilan pidana anak yaitu memajukan kesejahteraan anak dan memperhatikan prinsip proporsionalitas.tujuan memajukan kesejahteraan anak merupakan fokus utama, berate menghindari sanksi pidana yang sifatnya semata-mata hanya untuk menghukum. Tujuan pada prinsip proporsional, karena mengekang penggunaan sanksi-sanksi. Yang kebanyakan dinyatakan dalam batasan-batasan ganjaran yang setimpal dengan beratnya dengan beratnya pelanggaran hukum. Tetapi juga memperhatikan keadaan pribadinya.[1]
Demikian pula secara nasional pada bulan juli tahun 2014 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentan Sistem Peradilan Pidana Anak telah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk dilaksanakan setelah disahkan pada bulan juli tahun 2012 silam. Di dalam Undang-undnag tersebut pasal 6 sampai dengan pasal 15 terdapat diversi.

B.     Rumusan Masalah
Penjabaran latar belakang diatas, dapat diambil mengenai pokok permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan diversi?  
2.      Bagaimana prosedur penerapan diversi dalam tindak pidana anak ber-dasarkan undang-undang yang berlaku ?
BAB II
DESKRIPSI
A.    Konsep Dasar Diversi
Diversi merupakan pembaharuan dalam sistem peradilan pidana anak. Peng-alihan (Divertion) yang melibatkan pengalihan dari proses peradilan kepada bantuan pelayanan masyarakat bisa dilakukan pada suatu dasar formal dan in formal di dalam beberapa sistem hukum. Praktik pelayanan demikian perlu diprioritaskan untuk menghindari akibat negatif yang ditimbulkan dalam administrasi peradilan anak, karena keterlibatan anak dalam proses peradilan sebenarnya telah mengalami proses stigmatisasi. Dengan demikian, pengalihan dilaksanakan pada setiap tingkat pembuat keputusan baik pada tingkat polisi, penuntut umum, maupun pengadilan.[2]
Merujuk pada pasal 1 butir 7 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012, pengerti-an diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilam. Lalu, pasal 5 ayat (3) menegaskan “dalam sistem Peradilan Pidana Anak Wajib diupayakan Diversi”.
Mengenai batas usia bagi pemidanaan anak dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 1 angka 3, 4, 5 pada dasarnya mengatur bahwa anak adalah anak yang belum mencapai umur 18 tahun. Namun, khusus usia anak yang dapat diajukan atau diproses melalui sistem peradilan pidana adalah orang yang usianya telah mencapai 12 tahun tetapi belum berusia 18 tahun. Dalam Pasal 330 Kitab Undang-Undang Perdata Indonesia (Burgelijk Wetbook), pengertian orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Kemudian dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur bahwa anak yang dimaksud dalam Undang-Undang Perkawinan adalah orang yang belum mencapai usia 18 tahun (Pasal 47, 48, 50).
BAB III
PEMBAHASAN
A.    Tujuan Disversi
Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discretion atau ‘diskresi’. Diskresi[3] adalah wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau menghentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakannya. Adapun tujuann dari Diskresi yakni :
a)      Menghindari penahanan anak
b)      Menghindari cap/ label sebagai penjahat
c)      Meningkatkan keterampilan hidup anak
d)     Meningkatkan rasa tanggung jawab anak
e)      Mencegah penanggulangan tindak pidana
f)       Meningkatkan intervensi bagi kepentingan korban tanpa proses formal
g)      Menghindarkan anak mengikuti proses sistem peradilan pidana anak (SPPA)
h)      Menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif proses peradilan

B.     Tata Cara Pelaksanaan Disversi
Program Diversi dalam perkara anak dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dalam kesempatan ini saya ingin mencontohkan program diversi yang bisa dilakukan dalam menangani kasus yang melibatkan anak, adapun contoh-contoh caranya yakni sebagai berikut:
1.      Non Intervensi
Non- inetrvensi merupakan upaya terbaik karena diversi tanpa melalui proses formal merupakan upaya yang optimal, terutama bagi pidana yang tidak serius dimana keluarga, sekolah, atau lembaga pengawasan sosial informal dapat berperan dengan cara yang layak dan membangun. Cara Non- Intervensi dapat dibagi menjadi
(a)    Peringatan informal : melibatkan polisi untuk mengatakan kepada anak bahwa apa yang dilakukannya salah dan memperingatkan agar tidak melakukannya lagi. Tidak ada berita acara untuk itu.
(b)   Peringatan Formal : polisi harus mengantarkan anak pulang dan memberi peringatan kepada orang tua atau walinya. Polisi mencatat peringatan itu dalam catatan diversi yang disimpan di kantor polisi.
(c)    Ganti kesalahan dengan kebaikan / restitusi : anak diminta mengganti kesalahan dengan kebaikan, misalnya dengan membayar ganti kerugian pada korban sesuai dengan kemampuan anak.
(d)   Pelayanan masyarakat : anak diminta melakukan pelayanan masyarakat atau penuhi tugas tertentu selama beberapa jam. Hal ini berfungsi untuk pengembangan kejiwaan dan pendidikan anak.
(e)    Melibatkan anak dalam program keterampilan : melibatkan anak pada program keterampilan yang dikelola lembaga pelayanan sosial – LSM, baik anak pelaku maupun anak pada umumnya.
(f)    Menyusun rencana polisi, anak, dan keluarga : melibatkan anak, keluarga, dan polisi, bersama-sama membahas hal yang harus dilakukan, misalnya ganti kesalahan dengan kebaikan bagi korban maupun masyrakat perkuat ikatan keluarga dan dukungan anak lain, serta mencegah penanggulangan tindak pidana lagi.
(g)   Rencana yang diputuskan lembaga tradisional adat : kasus-kasus anak dapat juga dilimpahkan penanganannya pada lembaga tradisional
(h)   Rencana didasrkan hasil pertemuan kelompok keluarga : pertemuan antar kelompok keluarga melibatkan semua pihak terkena dampak tindak pidana anak.

C.    Prinsip Pelaksanaan Disversi
Pelaksanaan diversi pada prinsipnya dapat dilakukan disetiap tingkat pemeriksaan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dipersidangan dan pelaksanaan putusan hakim. Tetapi dalam ketentuan hukum di Indonesia, Diversi hanya dimungkinkan di tingkat penyidikan (Polisi), sedangkan lembaga-lembaga lain belum ada aturannya. Diversi harus dilakukan sesuai dengan prinnsip-prinsip diversi yakni :
1.      Anak tidak boleh dipaksa untuk mengakui tindakan pidananya
2.      Hanya dapat dilakukan bila anak mengakui kesalahan
3.      Pemenjaraan/penahanan bukan bagian dari diversi (tidak boleh ada pencabutan kemerdekaan anak)
4.      Adanya kemungkinan penyerahan kembali ke pengadilan bila sosial tidak berhasil
5.      Hak anak tetap diperhatikan dalam hal kasus anak diajukan ke pengadilan
6.      Tidak ada diskriminasi.

D.    Pengaturan Sistem Pidan Anak
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak(UU SPPA) yang mulai diberlakukan dua tahun setelah tanggal pengundang-annya, yang merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak) yang bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Undang-Undang Pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Berikut  hal-hal penting yang diatur dalam Undang-Undang SPPA
1.      Definisi Anak di Bawah Umur
Undang-Undang SPPA mendefenisikan anak di bawah umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori:
a.       Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA) .
b.      Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1 angka 4 UU SPPA).
c.       Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi)(Pasal 1 angka 5 UU SPPA).
d.      Sebelumnya, Undang-Undang Pengadilan Anak tidak membedakan kategori Anak Korban dan Anak Saksi. Konsekuensinya, Anak Korban dan Anak Saksi tidak mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini mengakibatkan banyak tindak pidana yang tidak terselesaikan atau bahkan tidak dilaporkan karena anak cenderung ketakutan menghadapi sistem peradilan pidana.
2.      Penjatuhan Sanksi
Menurut Undang-Undang SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun (Pasal 69 ayat (2) UU SPPA) dan Pidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas.
a)      Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal 82 UU SPPA):
1)      Pengembalian kepada orang tua/Wali
2)      Penyerahan kepada seseorang
3)      Perawatan di rumah sakit jiwa
4)      Perawatan di LPKS
5)      Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh
6)      pemerintah atau badan swasta
7)      Pencabutan surat izin mengemudi dan/atau
8)      Perbaikan akibat tindak pidana.
b)      Sanksi Pidana
Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi atas Pidana
Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal 71 UU SPPA):
·         Pidana Pokok terdiri atas:
1)      Pidana peringatan
2)      Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan
3)      Pelatihan kerja
4)      Pembinaan dalam lembaga
5)      Penjara.
·         Pidana Tambahan terdiri dari:
1)      Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
2)      Pemenuhan kewajiban adat.
Undang-Undang SPPA juga mengatur dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputus-an untuk: 
a)      Menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b)      Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembim-bingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
3.      Penahanan
Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang SPPA menyatakan bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
4.      Pemeriksaan Terhadap Anak Sebagai Saksi atau Anak Korban
Undang-Undang SPPA  memberikan kemudahan bagi anak saksi atau anak korban dalam memberikan keterangan di pengadilan. Saksi/korban yang tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan dengan alasan apapun dapat memberikan keterangan di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan setempat, dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya yang terlibat dalam perkara tersebut. Anak saksi/korban juga diperbolehkan memberikan keterangan melalui pemeriksaan jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi audiovisual. Pada saat memberikan keterangan dengan cara ini, anak harus didampingi
oleh orang tua/Wali, Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya [Pasal 58 ayat (3) UU SPPA].
Hak Mendapatkan Bantuan Hukum
Undang-Undang SPPA memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak pidana untuk mendapatkan bantuan hukum tanpa mempermasalahkan jenis tindak pidana telah dilakukan. Anak berhak mendapatkan bantuan hukum di setiap tahapan pemeriksaan, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di pengadilan (Pasal 23 UU SPPA). Anak Saksi/Anak Korban wajib didampingi oleh orang tua/Wali, orang yang dipercaya oleh anak, atau pekerja sosial dalam setiap tahapan pemeriksaan. Akan tetapi, jika orang tua dari anak tersebut adalah pelaku tindak pidana, maka orang tua/Walinya tidak wajib mendampingi (Pasal 23 Ayat (3)UU SPPA).
5.      Lembaga Pemasyarakatan
Dalam Pasal 86 ayat (1) UU SPPA, anak yang belum selesai menjalani pidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. Pengaturan tersebut tidak ada dalam Pasal 61 UU Pengadilan Anak. Walaupun demikian, baik UU SPPA dan UU Pengadilan Anak sama-sama mengatur bahwa penempatan anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun (Penjelasan Pasal 86 ayat (2) UU SPPA dan Penjelasan Pasal 61 ayat (2) UU Pengadilan Anak).



BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilam. Lalu, pasal 5 ayat (3) menegaskan “dalam sistem Peradilan Pidana Anak Wajib diupayakan Diversi”.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang mulai diberlakukan dua tahun setelah tanggal pengundang-annya, yang merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak) yang bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Undang-Undang Pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.




[1] Setya Wahyudi. Implementasi Ide Disversi Dalam Pembaharuan System Peradilan Pidana Anak Di Indonesia (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011) Hlm.2
[2] Dwidja Priyatno. Wajah Hukum Pidana Asas dan Perkembangan. (Bekasi: Gramata Publishing, 2012). Hlm. 303
[3] Lahirnya kewenangan diskresi pada kepolisian didasarkan pada Undang-Undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Replik Indonesia, Pasal 18 ayat (1) dan (2) yang berbunyi : Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundangundangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Share:

0 komentar:

Post a Comment