BAB I
PENDAHULUAN
Penulis: Yusuf Abdul Aziz
A. Latar Belakang
Islam
adalah Agama yang Universal. Hukum Islam yang bersumber pada al-Quran dan
Sunnah, di dalamnya tidak hanya mengatur pokok-pokok permasalahan hubungan
manusia dengan Tuhannya saja, melainkan mengatur pula hubungan manusia dengan
Manusia lainnya.
Hubungan
manusia dengan manusia diatur dalam bidang Mu’amalah (arti luas). Bidang Mu’amalah ini membahas hubungan
keluarga, Ekonomi, Pidana, Peradilan, Kenegaraan dan lain sebagainya.
Pembahasan
makalah ini akan mengupas bidang Pidana Islam atau Fiqh Jinayah. Di dalam Fiqh
Jinayah dikenal tiga jenis tindak pidana, antara lain; Jarimah Hudud, Jarimah
Qishas-Diyat, dan Jarimah Ta’zir. Jarimah Hudud adalah tindak pidana yang
merupakan Hak Allah, oleh sebab itu, macam dan jumlah sanksinya telah
ditetapkan dalam al-Quran sehingga kewenangan hakim dalam wilayah Hudud
hanyalah dalam pelaksanaannya saja.
Lain
halnya dengan Hudud, jarimah Qishas-Diyat telah ditentukan jenis sanksinya
tetapi tidak memiliki batas tertinggi dan batas terendah, sehingga banyaknya
sanksi bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu, maka
jarimah ini termasuk pada hak manusia karena yang dilanggar adalah hak manusia.
Ibn Nujaym Mengatakan;[3]
“Jarimah
Qishas sama dengan Jarimah Hudud”
ia
mengatakan bahwa dasar kesamaan keduanya terletak pada keharusan untuk
berhati-hati dalam penjatuhannya.
Jarimah
qishas dibagi menjadi lima macam, yaitu; 1) pembunuhan sengana, 2) pembunuhan
karena kesalahan, 3) pembunuhan semi sengaja, 4) penganiayaan sengaja, dan 5)
penganiayaan tidak sengaja.[4] Qishas dalam pembunuhan berbeda hukumnya dengan
qishas dalam penganiayaan, namun pada keduanya bisa terhalang penjatuhannya
bahkan bisa gugur karena adanya syubhat.
B.
Rumusan Masalah
Dalam
uraian di atas ada beberapa masalah yang perlu di uraikan dengan dikaji lebih
jauh.
a) Bagaimana
pengertian qiqsas menurut pandangan ulama
b) Bagaimana
dan hal-hal apa saja yang menjadikan terhalangnya qishas
C.
Tujuan Penulisan
a) Mengetahui
pengertian Qishas dari pandangan ulama
b) Mengetahui
hal-hal yang menghalngi terjadinya qishas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Qishas
Hukum
pidana dalam Islam mengenal tiga jenis tindak pidana atau yang disebut Jarimah.
Jarimah tersebut antara lain; Jarimah Hudud, Jarimah Qishas-Diyat, dan Jarimah
Ta’zir. Pembahasan kali ini akan mengupas tentang Jarimah Qishas-Diyat.
Ketiga
jenis tindak pidana di atas telah mendapat pengaturannya dalam al-Qur’an dan
dalam Hadits Rasulullah saw, dan Hakim hanya diberi kekuasaan untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut.
Asas
Legalitas Jarimah tersebut sesuai dengan kaidah berikut:
“Tidak
ada tindak pidana dan tidak ada hukuman tanpa adanya aturan”[5]
Qishas
sendiri adalah jenis jarimah yang sanksinya serupa dengan perbuatan yang
dilakukan pelaku terhadap korban. Dengan kata lain qishas adalah balasan
setimpal bagi pelaku. Jika pelaku memotong tangan korbannya, maka ia akan
diberi balasan yang sama, yaitu dengan memotong kembali tangan pelaku. Hal ini
didasarkan pada Firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang yang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita, maka barang
siapa yang mendapatkan suatu pemaafan dar saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang ma’ruf, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada
yang memberi maaf dengan cara yang ma’ruf. Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhanmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, maka baginya siksa yang pedih.”(al-Baqarah:178)
Qishas merupakan salah satu dari dari kajian jarimah
yang di bahas dalam Fiqh Jinayah.
Jarimah Qishas yaitu yang di jerat dengan hukuman
mati atau Diat. Baik Diat maupun qishas adalah hukuman yang telah di tentukan
oleh syara. Bedanya dengan hukuman had adalah bahwa hukuman had adalah hak
Allah ( hak masyarakat), sedangkan qishas dan diyat merupakan hak manusia
(Individu). Di samping itu, perbedaan yang lain adalah karena hukuman qishas
dan diat merupakan hak manusia maka hak
tersebut maka hukuman tersebut dapat di maafkan dan atau di gugurkan oleh
korban atau keluarga korban, sedangkan hukuman had tidak bias dimaafkan atau d
gugurkan.
B. Hal-Hal
Yang Menggugurkan Qishas
a)
Hilangnya Objek
Qishas
Objek qishas
dalam tindak pidana pembunuhan adalah jiwa nyawa pelaku pembunuh. Apabila objek
qishas tidak ada, karena meninggal dunia, dengan sendirinya hukuman qishas
menjadi gugur. Hanya saja yang jadi masalah disini adalah apakah sudah
meningggal terhukum, ia masih di bebani kewajiban membayar diat atau tidak ?
menurut Hanafiyah dan Malikiyah, sebagaimana dikutif Wahbah Zuhaili, apabila
qishas gugur karena meninggalnya pelaku terhukum, ia tidak diwajibkan ia tidak
diwajibkan membayar diat. Alasanya adalah karena qishas merupakan wajib ain.
Apabila pelaku meninggal, kewajiban tersebut menjadi gugur, dan wali keluarga
tidak diwajibkan membayar diat.
Menurut Hambaliyah, apabila qishas
gugur karena meninggalnya pelaku, wali masih berhak memilih diat. Hal ini
karena kewajiban yang di bebankan karena pembunuh sengaja adalah salah satu
dari dua perkara, yaitu qishas atau diat. Apabila keluarga korban memilih untuk
mengambil diat, diat tersebut wajib di bayar, walaupun pelaku tidak
menyetujuinya. Menurut Madzhab Syafi’I adalah, walaupun pendapat yang rajah
mengakui qishas sebagai wajib ain, sebagaimana pendapat Hanafiyah dan
Malikiyahh, namun syafi’i berpendapat bahwa diat merupalan pengganti qishas
apabila qishas gugur karena pengampunan atau sebagainya, seperti meninggal
pelaku terhukum. Dengan demikian keluarga korban berhak untuk mengambil diat
tanpa menunggu persetujuan pelaku terhukum.
b)
Pengampunan
Pengampunan
dalam qiqhas di bolekan oleh para ulama, bahkan lebih utama dibandingkan dengan
pelaksanaanya. Hal ini didassarkan kepada Firman Allah Surat Al-Baqoroh. Ayat.
178.
Maka
banrang siapa memdapatkan suatu pemaafan dari saudara, hendaklah yang memaafkan
mengikuti dengan cara yang baik dsan hendaknya ygng diberi maafa membayarar
diat kepada yagn member maaf dengan cara yang baik pala.
(QS. Al-Baqaroh: 178.
Pernyataaan
untuk memberilan suatu pernyataan pengampunan tersebut dapat dilakukan secara
lisan atua tertulis. Yang redaksi kalimat nya bias disesuaikan dengan liasan
masing-masing daerah. Dengan kata membebaskan, memaafakan, melepaskan,
memberikan dan sebagainya.
Penganpunan
menurut persepsi Imama Malik dan Abu Hanifah sebagaimana yang dikutif oleh
Abdul Qodir Audah, adalah pembebasan dari Qishas dan tidak otomatis
mengakibatkan adanya hukuman diat. Menurut mereka menurut mereka tampilnya diat
menggantikan Qishas. Bukan dengan pengampunan melainkan dengan perdamaian
(shulh). Dengan demikian penggantian hokum qishahs dengan diat tidak bias
ditempatkan secara sepihak, melainkan harus dengan persetujuan kedua belah
pihak, yaitu pihak wali keluarga korban dan pihak pembunuh.
Sedangkan
menurut imam Syafi’I dan hambali. Pengampunan itu disamping menggugurka qishas
dan secara otomatis timbulnya hukuman diat bagi pelaku pembunuuhan.
c)
Shull
(Pengampunan)
Shull dalam
bahasa adalah Qott’u Al munaazaah. Yang artinya memutuskan perselisihan. Dalam
syara’, seperti ni dikemukakan oleh sayid sabiq
”Suatu
akaad perjanjian yang menyelesaikan persengketaan antara dua orang yang
bersangkutan berperkara.”
Apabila
pengertian tersebut dikaitkan dengan qishas, shull berarti perjanjian atau
perdamaian antara pihak wali korban dan pihak pembunuh umtuk membebaskan
hukuman qishas dengan imbalan.
Para ulama telah
sepakat tentang dibolehkanuya shull. Dalam qishas sehingga dengan adanya shull
antara kedua belah pihak maka qishas menjadi gugur. Shull boleh diminta dengann
imbalan yang lebih besar daripada diat sama dengan dia sama atau kecil dari
pada diat. Juga boleh dengan tunai atau juga dengan angsuran, dengan jeis diat atau selain jenis diat atau selain
jenis diat. Dengan syarat diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara.
d)
Diwarisnya Hak
Qishas
Hukuman qishas
dapat gugur apabila wali korban menjadi pewaris hak qishas. Contohnya seperti
orang divonis hukuman qishas kemudian ia meninggal, dan pembunuh mewarisi hak
qishas tersebut, baik seluruhnya maupun sebagkianya atau qishas diwarisi oleh
seorang yang memiliki orang yang tidak memilii hak qishas dari pembunuh, yaitu
anaknya.
Contohnya:
seorang anak membunuh ayahnya, dan anak tersebut mempunyai saudara. Kemudian
saudara tersebut yang memiliki hak qishas meninggal, dan ia tidak memiliki ahli
waris sekan saudaranya yang membunuh tadi. Dalm kondisi ini pembunuh tersebut
menjadi ahki waris atas hak qishasny. Demngan demikian ,aka hukuman qishas
menjadi gugur, karena tidak mungkin seorang melaksanakan qishas terhadap
dirinya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Qishas
adalah pembunuhan terhadap jiwa manusia dengan cara yang disukai oleh pembunuh.
Tetapi didalam qishas ada sesuatu yang menghalangi qishas
Hal-hal
yang dapat menghalangi qishas ada empat macam yaitu hilangnya objek qishas,
pengampunan, shull( perdamaian), dan diwarisnya hak qishas.
0 komentar:
Post a Comment