BAB I
PENDAHULUAN
Penulis: Yusuf Abdul Aziz
A.Latar Belakang
Penegakan hukum
adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma
hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan
hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut
subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat
pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum
dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada
norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan
hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya
diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan
memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Berbicara mengenai Hak Asasi Manusia
(HAM) dalam kehidupan demokrasi kita terasa makin mencuat, meski pemahaman
terhadapnya belum memuaskan karena banyak konsepsi yang dikembangkan masih
dipahami secara beragam mulai dari orang/masyarakat awam hingga kalangan yang
'melek' HAM. HAM yang bersifat kodrati dan berlaku universal itu pada
hakikatnya berisi pesan moral yang menghendaki setiap orang baik secara
individu ataupun kelompok bahkan penguasa/pemerintah (negara) harus menghormati
dan melindunginya.Pesan moral yang ada, memang belum mengikat atau belum
mempunyai daya ikat secara hukum untuk dipaksakan pada setiap orang. Ketika ia dimuat (dicantumkan dan
ditegaskan) melalui berbagai piagam dan konvensi internasional, maka semua
orang harus menghormatinya. Paling tidak negara (sebagai yang bertanggung jawab
dalam rangka penghormatan dan pelaksanaan HAM) yang ikut terlibat dalam atau
sebagai peserta konvensi dan terlibat dalam penandatanganannya, juga terhadap
piagam yang telah disetujui bersama itu, akan terikat dan berkewajiban untuk
meratifikasinya ke dalam peraturan perundangan masing-masing negara
bersangkutan. Dalam proses demikian, HAM telah diakomodasi ke dalam hukum.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah Hakikat tentang HAM dan hukum pidana mati?
2.
Bagaimana pelaksanaan hukuman mati di Indonesia?
3.
Bagaimanakah Pro Kontra Pidana Mati di Indonesia?
4.
Hukum pidana mati dalam perspektif HAM?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah
ini adalah; untuk mengetahui bagaimana hakekat sebenarnya tentang hukum pidana
mati dan hukum HAM yang ada di Negara kesatuan Republik Indonesia
Selain
itupun kita dapat mengetahui bagaimana sejarah munculnya hukuman mati di
indonesia dan bagaimana Hukum HAM dalam memandang hukuman tersebut.
D. Manfaat Hasil Penulisan
Semoga hasil penulisan dari makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca dan bagi penulis khususnya, karena pada dasarnya
kita semua adalah seorang yang masih membutuhkan banyak ilmu dan pengetahuan
untuk mengetahui segala hal yang ada di dalam kehidupan kita, dalam makalah
inipun menjelaskan beberapa pendapat pakar terhadap hukum pidana yang nantinya
akan menjadikan referensi tersendiri bagi para pembaca dalam memaknai hukum
pidana tersebut.
Kemudian
pandangan hukum HAM terhadap pidana mati yang terdapat di Negara Indonesia pun
mengiringi pemaparan makalah ini, dengan tujuan untuk membuka wawasan para
penbaca tentang pandangan HAM terhadap pidana mati tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian HAM
Dalam Hak Asai Manusia terkandung
pengertian hak kewajiban yang dimiliki oleh setiap orang dalam tata pergaulan
hidupnya serta dengan lingkungan. Kehidupannya serta dengan Tuhannya, terdapat
beberapa tata kehidupan yang bersumber dari Tuhan atau agama (hak kodrat) yaitu
hak hidup, kebebasan (freedom) serta hak jiwa raga yaitu hak menikmati
kekayaan kebahagiaan (pursult of happiness) ketiga hak kodrati diatas
diturunkan tuhan kepada setiap umatnya tanpa pilih kasih untuk melengkapi
hidupnya sedangkan kewaiban yang dipikul oleh kita yaitu kewajiban bersyukur,
beriman dan bertakwa kepada-Nya. Di sisi lain terdapat hak kewajiban yang
bersumber dari kehidupan sesama manusia, lingkungan hidup dimana kita hidup
dimasyarakat. Sumber ini kita kenla dengan sebutan kaidah atau norma social,
kebiasaan atau adapt istiadat, hak dan kewajiban yang lain di tentukan oleh Negara
dan organisasi-organisasi seperti PBB dan lain-lain.[1][1]
Secara
khusus hak asasi manusia ini dapat dirinci yaitu:
a.
Hak asasi pribadi, yang meliputi hak
kemerdekaan memeluk agama, menyatakan pendapat, dan kebebasan berorganisasi
atau berpartai.
b. Hak asasi ekonomi, yang meliputi hak
kebebasan memiliki sesuatu, hak membeli atau menjual sesuatu, dan hak
mengadakan suatu perjanjian atau kontrak.
c. Hak asasi
mendapat pengayoman dan perlakuan yang sama dalam keadilan dan pemerintahan
(hak persamaan hukum).
HAM merupakan hak-hak kodrati yang
diperoleh setiap manusia berkat pemberian Tuhan semesta alam, sesungguhnnya
tidak dapat dipisahkan dari hakikatnnya oleh karena itu setiap manusia berhak
mendapat kehidupan yang layak, kebebesan, keselamatan dan kebahagiaan. Didalam
Negara merdeka hak-hak asasi manusia seharusnnya secara keselruruhan terjamin,
Karena pada hakikatannya kemerdekaan negara dan bangsa berarti kemerdekaan pula
bagi warga negara oleh karena itu setiap wargan gera sudah sewajarnya menikmati
kemerdekaan nasionalnya yang berwujud kebebesan dalam fitrahnnya misalnnya :
hak memilih dan dipilih, hak mendapat perlindungan dan perlakuan yang
baik/adil, hanya mendapat pendidikan dan pengajaran, serta hak mendapat
pekerjaan dan penghidupan yang layak dan kesejahteraan hidup, kesadaran
menghormati hak asasi dalam pergaulan, mencerminkan kedewasaan dan kebijakan
seseorang,. Kritik dan penyampaian juga menunjukan kematangan seseorang.
Masalah hak asasi manusia adalah hak masalah sesama manusia, hal ini mengandung
arti akan menyangkut masalah hak dan kewajiban tugas dan tangung jawab, serta
penghormatan dan perlakuan terhadap sesama manusia. Setiap pelanggaran terhadap hak
asasi oleh sesama warga negera, mengakibatkan tidak adannya tertib sosial dan
tertib hukum.
2.
Hukum Pidana Mati
Pidana mati merupakan
bagian dari jenis-jenis pidana yang berlaku berdasarkan hukum pidana positif
Indonesia. Bentuk pidana ini merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan
merampas jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana
ini juga merupakan hukuman tertua dan paling kontroversial dari berbagai
bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya
masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan
terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.[2][3]
Berdasarkan sejarah pidana mati bukanlah bentuk hukuman yang
relatif baru di Indonesia. Pidana ini telah dikenal sejak zaman
kerajaan-kerajaan. Hal ini dapat dibuktkan dengan memperhatikan jenis-jenis
pidana menurut hukum adat atau huum para raja dahulu, umpamanya:
a. mencuri dihukum potong tangan ;
b.
pidana mati dilakukan dengan jalan
memotong-motong daging dari badan (sayab), kepala ditumbuk (sroh), dipenggal
dan kemudian kepalanya ditusuk dengan gantar (tanjir), dan sebagainya.[3][4]
Pelaksanaan eksekusi mati di wilayah Indonesia tidak hanya
terpatok pada keterangan di atas. Misalnya, di Aceh eksekusi bisa dilaksanakan
dengan lembing, di Bali dapat dilaksanakan dengan cara ditenggelamkan ke
laut,sedangkan pada suku batak dilaksanakan dengan sistem alternatif dimana
apabila pembunuh tidak membayar uang salah maka eksekusi bisa dilaksanakan, dan
berbagai macam jenis-jenis eksekusi mati lainnya. Dengan memperhatikan
kebiasaaan (adat) dan hukum adat dari Aceh sampai Irian memperlihatkan kepada
kita pidana mati dikenal oleh semua suku di Indonesia. Hingga penulis menarik
kesimpulan bahwa bukan Belanda lah yang memperkenalkan pidana mati pada bangsa ini.
Penerapan hukum pidana oleh pemerintah Belanda di wilayah
Indonesia diberlakukan berdasarkan pemberlakuan “Wet boek van
Strafrecht” yang mulai berlaku pada 1 Januari 1918. Pada ketentuan ini,
pidana mati ditetapkan sebagai salah satu jenis pidana pokok yang tertuang
dalam pasal 10. Pelaksanaan eksekusi pidana mati dilakukan dengan hukuman
gantung sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP. Kemudian dengan Staatsblad
1945 Nomor123 yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda, pidana mati dijatuhkan
dengan cara ditembak mati. Hal ini diperkuat dengan Penetapan Presiden Nomor 2
Tahun 1964 tahun 1964, Lembaran Negara 1964 Nomor 38 kemudian ditetapkan
menjadi Undang-undang nomor 5 Tahun 1969 yang menetapkan bahwa pidana mati
dijalankan dengan cara menembak mati terpidana. Dalam hal ini eksekusi harus
dihadiri Jaksa (Kepala Kejaksaan Negeri) sebagai eksekutor dan secara tekhnis
pelaksaan eksekusi dilakukan oleh regu tembak kepolisian.
Patut diketahui bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap
terpidana mati haruslah dilaksanakan setelah putusan pengadilan yang dijatuhkan
padanya berkekuatan hukum tetap dan kepada si terpidana telah diberikan
kesempatan untuk mengajukan grasi kepada Presiden. Pelaksanaan eksekusi dapat
dilaksanakan dengan terlebih dahulu melalui fiat executie (persetujuan
Presiden).
Maka jelaslah disini bahwa pidana mati pada dasarnya dan
seharusnya dijadikan sebagai sarana penal yang terakhir dan hanya dapat
dipergunakan terhadap orang-orang yang tidak dapat dilakukan pembinaan lagi dan
dirasakan membahayakan kehidupan masyarakat luas bahkan negara sekalipun.
B. Pelaksanaan Hukuman Pidana Mati
di Indonesia
Untuk
pelaksanaan pidana mati di Indonesia pada mulanya dilaksanakan menurut
ketentuan dalam pasal 11 KUHP yang menyatakan bahwa “pidana mati dijalankan
oleh algojo atas penggantungan dengan mengikat leher si terhukum dengan sebuah
jerat pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan dari bawah kakinya”.
Karena
dirasa kurang sesuai maka kemudian pasal tersebut di atas diubah dengan
ketentuan dalam S. 1945 : 123 dan mulai berlaku sejak tanggal 25 agustus 1945.
Pasal 1 aturan itu menyatakan bahwa: “menyimpang dari apa tentang hal ini yang
ditentukan dalam undang-undang lain, hukuman mati dijatuhkan pada orang-orang
sipil (bukan militer), sepanjang tidak ditentukan lain oleh gubernur jenderal
dilakukan dengan cara menembak mati”.untuk
ketentuan pelaksanaannya secara rinci di jelaskan pada UU No. 2 (PNPS) tahun
1964.
Berdasarkan
keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa eksekusi hukuman mati di
Indonesia yang berlaku saat ini dilakukan dengan cara menembak mati bukan
dengan cara menggantungkan si terpidana pada tiang gantungan.
1)
Tiga kali 24 jam sebelum pelaksanaan
pidana mati, jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan memberitahukan kepada
terpidana dan apabila ada kehendak terpidana untuk mengemukakan sesuatu maka
pesan tersebut diterima oleh jaksa;
2)
Apabila terpidana sedang hamil harus
ditunda pelaksanaannya hingga melahirkan;
3)
Tempat pelaksanaan pidana mati
ditentukan oleh Menteri Kehakiman di daerah hukum pengadilan hukum pengadilan
tingkat 1 yang bersangkutan;
4)
Kepala Polisi Daerah yang
bersangkutan bertanggungjawab mengenai pelaksanaannya;
5) Pelaksanaan pidana mati dilaksanakan
oleh suatu regu penembak polisi di bawah pimpinan seorang perwira polisi;
6) Kepala Polisi Daerah yang
bersangkutan harus menghadiri pelaksanaan tersebut;
7) Pelaksanaan tidak boleh dimuka umum;
8) Penguburan jenazah diserahkan pada
keluarga;
9) Setelah selesai pelaksanaan pidana
mati tersebut Jaksa yang bersangkutan harus membuat berita acara pelaksanaan
pidana mati tersebut, yang kemudian salinan surat putusan tersebut harus
dicantumkan ke dalam surat putusan pengadilan.
Indonesia
merupakan salah satu negara yang banyak menjatuhkan pidana mati. Berdasarkan
catatan berbagai Lembaga Hak Asasi Manusia Internasional, Indonesia termasuk
salah satu negara yang yang masih menerapkan ancaman hukuman mati pada sistem
hukum pidananya (Retentionist Country). Retentionist maksudnya de jure
secara yuridis, de facto menurut fakta mengatur pidana mati untuk segala
kejahatan. Tercatat 71 negara yang termasuk dalam kelompok ini. Salah satu
negara terbesar di dunia yang termasuk dalam retentionist country ini adalah
Amerika Serikat. Dari 50 negara bagian, ada 38 negara bagian yang masih
mempertahankan ancaman pidana mati . Padahal seperti diketahui, Amerika Serikat
merupakan salah satu negara yang paling besar gaungnya dalam menyerukan
perlindungan hak asasi manusia di dunia. Namun dalam kenyataannya masih tetap
memberlakukan ancaman pidana mati, juga dalam hukum militernya.
Hasil
sejumlah studi tentang kejahatan tidak menunjukkan adanya korelasi antara
hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan. Beberapa studi menunjukkan,
mereka yang telah dipidana karena pembunuhan (juga yang berencana) lazimnya
tidak melakukan kekerasan di penjara. Begitu pula setelah ke luar penjara
mereka tidak lagi melakukan kekerasan atau kejahatan yang sama. Sebaliknya
sejumlah ahli mengkritik, suatu perspektif hukum tidak dapat menjangkau hukum
kerumitan kasus-kasus kejahatan dengan kekerasan di mana korban bekerjasama
dengan pelaku kejahatan, di mana individu adalah korban maupun pelaku
kejahatan, dan dimana orang yang kelihatannya adalah korban dalam kenyataan
adalah pelaku kejahatan .
C. Pro dan Kontra Pidana Mati di
Indonesia
Pidana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan
tahun lalu telah menuai pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut tidak
hanya terjadi di Indonesia, namun terjadi hampir di seluruh Negara yang ada
pada saat ini. Setiap ahli hukum, aktivis hak asasi manusia dan lain sebagainya
selalu menyandarkan pendapat pro dan kontra pada lembaga pidana mati dengan
alasan yang logis dan rasional.
Kecendrungan para ahli yang setuju pidana mati tetap
dipertahankan eksistensinya, umumnya didasarkan pada alasan konvensional yaitu
kebutuhan pidana mati sangat dibutuhkan guna menghilangkan orang-orang yang
dianggap membahayakan kepentingan umum atau negara dan dirasa tidak dapat
diperbaiki lagi, sedangkan mereka yang kontra terhadap pidana mati lazimnya
menjadikan alasan pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia dan
merupakan bentuk pidana yang tidak dapat lagi diperbaiki apabila setelah
eksekusi dilakukan diemukan kesalahan atas vonis yang dijatuhkan hakim.
Adapun beberapa ahli maupun tokoh yang mendukung eksistensi
pidana mati ialah Jonkers, Lambroso, Garofalo, Hazewinkel Suringa, Van Hanttum,
Barda Namawi Arief, Oemar Senoadji, dan T.B Simatupang.
Jonkers
mendukung pidana mati dengan pendapatnya bahwa “alasan pidana tidak dapat
ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan” bukanlah alasan yang dapat
diterima untuk menyatakan ”pidana mati tak dapat diterima. Sebab di pengadilan
putusan hakim biasanya didasarkan alasan-alasan yang benar.”[4][5]
Selanjutnya, Lambroso dan Garofalo berpendapat bahwa pidana
mati itu adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk
melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.[5][6] Individu itu
tentunya adalah orang-orang yang melakukan kejahatan yang luar biasa serius (extraordinary
crime)
Pada
kesempatan lain, Suringa berpendapat pidana mati merupakan suatu bentuk hukuman
yang sangat dibutuhkan dalam suatu masa tertentu terutama dalam hal transisi
kekuasaan yang beralih dalam waktu yang singkat. Penulis bergumen seperti itu
didasarkan pendapat Suringa yang menyatakan bahwa pidana mati adalah
suatu alat pembersih radikal yang pada setiap masa revolusioner kita cepat
dapat mempergunakannya.[6][7]
Salah satu pakar hukum pidana dan tokoh pembaharuan hukum
pidana nasional Barda Nawawi Arief secara eksplisit dalam sebuah bukunya
menyatakan bahwa pidana mati masih perlu dipertahankan dalam konteks
pembaharuan KUHP Nasional. Hal ini dapat penulis gambarkan, melalui pendapatnya
yang menyatakan :
“bahwa
walaupun dipertahankan pidana mati terutama didasarkan sebagai upaya
perlindungan masyarakat (jadi lebih menitikberatkan atau berorintasi pada
kepentingan masyarakat), namun dalam penerapannya diharapkan bersifat selektif,
hati-hati dan berorientasi juga pada perlindungan/kepentingan individu (pelaku
tindak pidana)”.[7][8]
Selanjutnya, inkonstitusioanal atau tidaknya pidana mati
sebenarnya telah terjawab dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada Permohonan
Pengujian materil Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 yang diajukan oleh empat terpidana mati kasus
narkotika melalui kuasa hukumnya berkenaan dengan inkonstitusionalitas pidana
mati yang termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang
Narkotika. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, secara tegas dinyatakan
bahwa ancaman pidana mati pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang
Narkotika tidaklah bertentangan dengan Konstitusi. Secara analogi dapat ditrik
sebuah kesimpulan bahwa pidana mati bukanlah suatu tindakan inkonstituional.
Untuk
memperkuat argumen di atas, maka alangkah baiknya penulis memperkuatnya dengan
menyajikan bunyi dari Konklusi dari Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
permohonan tersebut, yang menyatakan :
Ketentuan
Pasal 80 Ayat (1) huruf a, Ayat (2) huruf (a), Ayat (3) huruf a; Pasal 81 Ayat
(3) huruf (a); Pasal 82 Ayat (1) huruf a, Ayat 2 (huruf) a dan Ayat (3)
huruf a dalam UU Narkotika, sepanjang yang mengenai ancaman pidana mati, tidak
bertentatangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan
keterangan tersebut, sebenarnya dapatlah secara jelas bahwa pidana mati
tidaklah bertentangan dengan Konstitusi Negara kita dan masih layak
dipertahankan keberadaannyanya dalam hukum pidana positif. Hanya saja
berdasarkan putusan tersebut pembaharuan hukum pidana yang berkaitan dengan
pidana mati hendaknya untuk ke depan memperhatikan sungguh-sungguh hal sebagai
berikut :
a. pidana mati bukan lagi merupakan
pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif;
b. pidana mati dapat dijatuhkan dengan
masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji
dapat diubah dengan penjara seumur hidup atau selama 20 puluh tahun;
c. pidana mati tidak dapat dijatuhkan
terhadap anak-anak yang belum dewasa;
d. eksekusi pidana mati terhadap
perempuan hamil dan seorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil
tersebut melahirkan dan terpidana mati yang sakit jiwa tersebut sembuh.
Jadi,
berdasarkan uraian pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa para pendukung
pidana mati pada zaman modern ini semata-mata menjadikan pidana mati sebagai
instrumen untuk melindungi masyarakat dan Negara baik dalam bentuk preventif
maupun represif. Represif di sini bukanlah menjadikan mereka yang
diperintah menjadi rentan dan lemah layaknya kekuasaan otoriter yang
menjadikan pidana mati sebagai alat untuk menyingkirkan orang-orang yang
bersebrangan dengan penguasa. Selain itu, dalam perumusan KUHP Nasional yang
baru, dalam hal pidana mati haruslah memperhatikan bunyi putusan di atas.
Demikian sebaliknya, para ahli dan tokoh yang kontra
terhadap pidana mati pun tidaklah sedikit dan menyandarkan argumennya pada
sebuah landasan berpikir yang ilmiah. Seorang tokoh aliran klasik yang sangat
terkenal karena kevokalannya menetang pidana mati ialah seorang berkebangsaan
Italia yang bernama Beccaria. Alasan Beccaria menentang pidana mati ialah
proses yang dijalankan dengan cara yang amat buruk sekali terhadap seseorang
yang dituduh membunuh anaknya sendiri (beberapa waktu setelah eksekusi dapat
dibuktikan bahwa putusan tersebut salah).[8][9]
Ferri
yang juga seorang berkbangsaan Italia dalam hal menentang pidana mati
berpendapat bahwa untuk menjaga orang yang mempunyai pradisposisi untuk
kejahatan cukup dengan pidana penjara seumur hidup, tidak perlu dengan pidana
mati.[9][10]
Pada
putusan Mahkamah Konstitusi dalam Permohonan Pengujian materil Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa pidana mati tidaklah bertentangan dengan konstitusi terdapat
empat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim konstituisi.
Hakim-hakim tersebut adalah Hakim Konstitusi H. Harjono, Hakim Konstitusi H.
Achmad Roestandi, Hakim Konstitusi H.M. Laica Marzuki, dan Hakim Konstitusi
Maruarar Siahaan. Dalam hal ini penulis sedikit menyampaikan alasan Hakim
Konstitusi Maruarar Siahaan menolak adanya pidana mati. :
Bagi
hak untuk hidup, tidak terdapat petunjuk yang menyatakan pembatasan hak itu
dapat dilakukan dengan menghilangkan hidup itu sendiri, meskipun diakui dan
telah menjadi bagian dari hak asasi orang lain yang harus pula dihormati, hak
untuk hidup boleh dibatasi karena hukum membutuhuhkan keadilan untuk
mengembalikan keseimbangan yang dicederai oleh pelanggaran yang dilakukannya
berupa pembatasan ruang geraknya dengan ditempatkan dalam tempat khusus serta
menjalani pembinaan-pembinaan tertentu yang diwajibkan.
Jelas
pendapat Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menitikberatkan pada konsep hak
asasi manusia. Hal ini sesuai dengan perkembangan penolakan terhadap pidana
mati dewasa ini (masa sebelumnya penolakan pidana mati ditekankan atas
pelaksanaan eksekusi yang kejam dan efektivitas pidana mati tersebut).
Maka
jelaslah, permasalahan pro dan kontra terhadap pidana mati merupakan suatu
permasalahan yang tidak mudah untuk digeneralisirkan dalam satu pola pikir yang
sama pada setiap orang.
D. Hukum Pidana Mati Dalam
Perspektif HAM
Jika dikaji
lebih mendalam sesuai dengan ketentuan DUHAM, terdapat beberapa pasal didalam
DUHAM yang tidak memperbolehkan hukuman mati, antara lain:
Berdasarkan
Pasal 3 ” Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan, dan keamanan
pribadi ”.Bentuk yang paling ekstrim dari pelanggaran hak untuk hidup ini
ialah pembunuhan atau melukai jasmai atau rohani dari seseorang ataupun dari
kelompok ( Leah Levin, 1987: 45). Hukuman mati jelas telah melanggar pasal ini,
dimana orang yang dijatuhi hukuman mati telah dirampas kehidupannya,
kemerdekaannya, keamanan pribadinya. Bagaimanapun juga hukuman mati adalah
hukuman yang sangat melanggar hak untuk hidup bagi manusia sebagai makluk
ciptaan Tuhan.Dapat dilihat banyak orang yang telah dijatuhi hukuman mati,
antara lain koruptor di Cina, Saddam Hussein, ataupun lainnya. Namun seperti
kasus Rwanda dan Yugoslavia pelaku pelanggaran HAM hanya diganjar dengan
hukuman maksimal pidana seumur hidup, karena hukuman mati di jaman modern ini
mulai ditinggalkan oleh negara-negara di dunia, meskipun masih ada beberapa
negara yang masih melaksanakannya dengan berbagai cara, seperti digantung,
ditembak, dan disuntik. Bagaimanapun caranya hukuman mati tetap saja melukai
diri dan mengambil hak hidup dari seseorang.
Jika pidana
mati ditinjau menurut Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil politik yaitu
Pasal 6 ayat (1) Pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup. Hak ini
harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun insan manusia yang secara gegabah
boleh dirampas kehidupannya. Seperti halnya dijelaskan pada Pasal 3 DUHAM
bahwa pelaksanaan eksekusi mati, telah melanggar pasal 6 ayat (1), eksekusi
mati pada dasarnya menimbulkan kesakitan fisik dan dirampasnya hak hidup dari
seseorang, dan ini yang bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) ICCPR dan Pasal 3
DUHAM. Meskipun banyak negara belum menghapuskan hukuman mati antara lain
Indonesia, Cina dan negara Irak belum menghapuskan hukuman mati, yang menjadi
permasalahan adalah tidak adanya pemenuhan dan pengaturan yang jelas terhadap
pelaksanaan pidana hukuman tersebut baik itu dalam proses penangkapan maupun
dalam pelaksanaan pemeriksaan di persidangan, sehingga hal tersebut
bertentangan dengan konsep the rule of law dimana terdapatnya pengaturan
yang jelas baik itu persamaan kedudukan di muka hukum dan juga terdapatnya
peradilan yang bebas dan tidak memihak yang berimberimplikasi kekuasaan
kehakimanh yang merdeka.
Pasal 6 ayat
(2) Kovenen Internasional Tentang Hak Sipil Politik menyatakan bahwa Di
negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusannya dapat diberikan
hanya untuk kejahatan yang paling berat, sesuai dengan undang-undang yang
berlaku pada waktu kejahatan demikian dilakukan, dan tanpa melanggar suatu
ketentuan dari Kovenan ini dan Konvensi Tentang Pencegahan Dan Penghukuman
Kejahatan Pemusnahan (suku) Bangsa. Hukuman ini hanya boleh dilaksanakan dengan
putusan terakhir dari pengadilan yang berwenang. Lebih lanjut Pasal 6 ayat
(4) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik mengatur bahwa Seseorang
yang telah dihukum mati harus mempunyai hak untuk memohon pengampunan atau
keringanan hukuman. Amnesti, pengampunan, atau keringanan hukuman mati dapat
diberikan dalam segala bab. Dalam hal ini menurut uraian diatas penulis
mencoba berpendapat dengan memperhatikan beberapa aspek, karena dalam memahami
suatu peraturan hendanknya diperhatikan aspek filosofis, sosiologis, dan
yuridis dalam dilakukannya ataupun diterapkannya pidana mati, meskipun dalam
HAM hukuman mati dilarang karena tidak sesuai dengan Pasal 3 DUHAM dan juga
banyak dari negara di dunia yang telah menghapuskan hukuman mati.
Di samping
pengaturan tentang hak dasar yaitu hak untuk hidup yang diatur dalam DUHAM
tersebut yang dalam hal ini dihubungkan dengan hukuman mati, terdapat
pengecualian terhadap pelaksanaan hak tersebut yaitu dengan adanya pemahaman
mendalam terhadap adanya derogable rights, yaitu dalam hal yang pertama
”a public emergency which treatens the life of nation” dapat dijadikan
dasar untuk membatasi pelaksanaan hak-hak kebebasan dasar, dengan syarat bahwa
kondisi keadaan darurat (public emergency) tersebut harus diumumkan
secara resmi (be officially proclaimed), bersifat terbatas serta tidak
boleh diskriminatif. (Muladi, 2004 : 101). Hal tersebut diatur secara limitatif
dalam Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik, dalam Pasal 4 ayat
(1) ICCPR menyatakan, dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan
bangsa dan terdapatnya keadaan darurat tersebut telah diumumkan secara resmi,
negara-negara pihak pada kovenan ini dapat mengambil upaya-upaya yang
menyimpang (derogate) dari kewajiban mereka berdasarkan kovenan ini,
sejauh hal itu dituntut oleh situasi darurat tersebut, dengan ketentuan bahwa
upaya-upaya tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban negara-negara pihak
itu menurut hukum internasional, dan tidak menyangkut diskriminasi berdasarkan
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan asal-usul sosial, sehingga
vonis mati yang dijatuhkan terhadap Saddam tidak bertentangan dengan Pasal 3
DUHAM, karena kejahatan yang dilakukan adalah kejahatan HAM berat dan memenuhi
ketentuan Pasal 4 ICCPR.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari
penjelasan dan pemaparan dalam bab pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa HAM merupakan
hak-hak kodrati yang diperoleh setiap manusia berkat pemberian Tuhan semesta
alam, sesungguhnnya tidak dapat dipisahkan dari hakikatnnya oleh karena itu
setiap manusia berhak mendapat kehidupan yang layak, kebebesan, keselamatan dan
kebahagiaan.
Pidana Mati merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan
merampas jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana
ini juga merupakan hukuman tertua dan paling kontroversial dari berbagai
bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya
masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan
terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.
Perdebatan
hukum terhadap absah tidaknya pidana mati berangkat dari perbedaan pendapat
mengenai hukum mati dalam pandangan HAM, yang pada satu sisi masih mengakui
pidana mati dan sisi lain mengakui hak hidup. Bagi pihak yang menolak pidana
mati, berpendapat bahwa pidana mati secara hukum adalah inkonstitusional,
karena bertentangan dengan konstitusi. Dalam tata urutan peraturan perundangan
di Indonesia, setiap peraturan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan
dengan yang di atasnya. Undang-undang yang memuat pidana mati bertentangan
dengan konstitusi yang mengakui hak hidup. Karena konstitusi dalam tata hukum
Indonesia lebih tinggi dibanding dengan undang-undang, maka pidana mati dalam
undang-undang itu harus diamandemen. Pro kontra penerapan Pidana Hukuman Mati
di Indonesia secara garis besar mengerucut ke dalam dua bagian besar yaitu;
(1)
Bahwa hukuman mati tidak melanggar HAM karena pelaku telah melanggar HAM korban
dan HAM masyarakat. Parahnya tudingan mengenai hukuman mati melangar HAM
dinilai sebagai sebuah pernyataan sepihak yang tidak melihat bagaimana HAM
korban kejahatan itu dilanggar.
(2)
Hukuman mati dinilai melanggar HAM karena dicabutnya hak hidup seseorang yang
sebetulnya hak itu sangat dihargai dan tiada seorangpun yang boleh mencabutnya.
Oleh karena itu hukuman mati harus dihapuskan dalam perundang-undangan yang
ada.
B. Saran
1. Bagi aparat
penegak hukum, khususnya bagi para pembuat produk hukum hendaknya lebih
memperhatikan aspek kemanusiaan dalam hal membuat suatu rumusan yang berisi
tentang pidana mati, dan juga terhadap aparat penegak hukum harus lebih
memperhatikan aspek kedepan beserta alasan tentang penerapan pidana mati.
2. Bagi seluruh masyarakat hendaknya mematuhi hukum yang bertujuan untuk
mencapai keadilan dal ketertiban, karena dengan tertibnya hukum dapat tercipta
suatu kondisi yang nyaman, serta memperhatikan ketentuan internasional hak
asasi manusia dalam penerapan pidana mati.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Mustofa,
Bachsan. Sistem Hukum Indonesia. Bandung: Remaja Karya,1984.
Azra,
Azyumardi. Demokrasi HAM dan masyarakat madani. Jakarta: Tim ICCE
UIN,2003
Djamali,
R. Abdoel. Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Rajawali
Pers, 2005
R.
Soesilo. Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus.
Bogor: Politea, 2001.
A.
Hamzah & A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan
di Masa Depan. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985.
Arief,
Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2005.
Sumber Elektronik
http://witantra.wordpress.com/2008/05/30/ertikel-HAM/ Diakses
pada tanggal 30 Januari 2015 pukul 21.05 WIB
http://ayub.staff.hukum.uns.ac.id/artikel-artikel/hukuman-mati-menurut-perspektif-ham-internasional/
Diakses pada tanggal 30 Januari
2015 pukul 21.08 WIB
http://bem-umk13.blogspot.com/2012/07/makalah-efektivitas-pemidanaan-hukuman_26.html Diakses pada tanggal 30 Januari 2015 pukul 21.15 WIB
http://habyb-mudzakir-08.blogspot.com/2014/10/makalah-hukum-pidana-cara-merumuskan_14.html Diakses
pada tanggal 30 Januari 2015 pukul 21.22 WIB
http://www.indomedia.com/bpost/052005/24/opini/opini1.htm/ Diakses pada tanggal 1 Februari 2015 pukul 20.16 WIB
Sumber
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana.
0 komentar:
Post a Comment