Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Sunday, May 13, 2018

PIDANA MATI DAN HAM


BAB I
PENDAHULUAN
Penulis: Yusuf Abdul Aziz
A.Latar Belakang
  Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Berbicara mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kehidupan demokrasi kita terasa makin mencuat, meski pemahaman terhadapnya belum memuaskan karena banyak konsepsi yang dikembangkan masih dipahami secara beragam mulai dari orang/masyarakat awam hingga kalangan yang 'melek' HAM. HAM yang bersifat kodrati dan berlaku universal itu pada hakikatnya berisi pesan moral yang menghendaki setiap orang baik secara individu ataupun kelompok bahkan penguasa/pemerintah (negara) harus menghormati dan melindunginya.Pesan moral yang ada, memang belum mengikat atau belum mempunyai daya ikat secara hukum untuk dipaksakan pada setiap orang. Ketika ia dimuat (dicantumkan dan ditegaskan) melalui berbagai piagam dan konvensi internasional, maka semua orang harus menghormatinya. Paling tidak negara (sebagai yang bertanggung jawab dalam rangka penghormatan dan pelaksanaan HAM) yang ikut terlibat dalam atau sebagai peserta konvensi dan terlibat dalam penandatanganannya, juga terhadap piagam yang telah disetujui bersama itu, akan terikat dan berkewajiban untuk meratifikasinya ke dalam peraturan perundangan masing-masing negara bersangkutan. Dalam proses demikian, HAM telah diakomodasi ke dalam hukum.
B.   Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Hakikat tentang HAM dan hukum pidana mati?
2. Bagaimana pelaksanaan hukuman mati di Indonesia?
3. Bagaimanakah Pro Kontra Pidana Mati di Indonesia?
4. Hukum pidana mati dalam perspektif HAM?
C. Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah; untuk mengetahui bagaimana hakekat sebenarnya tentang hukum pidana mati dan hukum HAM yang ada di Negara kesatuan Republik Indonesia
Selain itupun kita dapat mengetahui bagaimana sejarah munculnya hukuman mati di indonesia dan bagaimana Hukum HAM dalam memandang hukuman tersebut.
D. Manfaat Hasil Penulisan
      Semoga hasil penulisan dari makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan bagi penulis khususnya, karena pada dasarnya kita semua adalah seorang yang masih membutuhkan banyak ilmu dan pengetahuan untuk mengetahui segala hal yang ada di dalam kehidupan kita, dalam makalah inipun menjelaskan beberapa pendapat pakar terhadap hukum pidana yang nantinya akan menjadikan referensi tersendiri bagi para pembaca dalam memaknai hukum pidana tersebut.
Kemudian pandangan hukum HAM terhadap pidana mati yang terdapat di Negara Indonesia pun mengiringi pemaparan makalah ini, dengan tujuan untuk membuka wawasan para penbaca tentang pandangan HAM terhadap pidana mati tersebut.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian HAM
      Dalam Hak Asai Manusia terkandung pengertian hak kewajiban yang dimiliki oleh setiap orang dalam tata pergaulan hidupnya serta dengan lingkungan. Kehidupannya serta dengan Tuhannya, terdapat beberapa tata kehidupan yang bersumber dari Tuhan atau agama (hak kodrat) yaitu hak hidup, kebebasan (freedom) serta hak jiwa raga yaitu hak menikmati kekayaan kebahagiaan (pursult of happiness) ketiga hak kodrati diatas diturunkan tuhan kepada setiap umatnya tanpa pilih kasih untuk melengkapi hidupnya sedangkan kewaiban yang dipikul oleh kita yaitu kewajiban bersyukur, beriman dan bertakwa kepada-Nya. Di sisi lain terdapat hak kewajiban yang bersumber dari kehidupan sesama manusia, lingkungan hidup dimana kita hidup dimasyarakat. Sumber ini kita kenla dengan sebutan kaidah atau norma social, kebiasaan atau adapt istiadat, hak dan kewajiban yang lain di tentukan oleh Negara dan organisasi-organisasi seperti PBB dan lain-lain.[1][1]
Secara khusus hak asasi manusia ini dapat dirinci yaitu:
a.       Hak asasi pribadi, yang meliputi hak kemerdekaan memeluk agama, menyatakan pendapat, dan kebebasan berorganisasi atau berpartai.
b.      Hak asasi ekonomi, yang meliputi hak kebebasan memiliki sesuatu, hak membeli atau menjual sesuatu, dan hak mengadakan suatu perjanjian atau kontrak.
c.       Hak asasi mendapat pengayoman dan perlakuan yang sama dalam keadilan dan pemerintahan (hak persamaan hukum).
HAM merupakan hak-hak kodrati yang diperoleh setiap manusia berkat pemberian Tuhan semesta alam, sesungguhnnya tidak dapat dipisahkan dari hakikatnnya oleh karena itu setiap manusia berhak mendapat kehidupan yang layak, kebebesan, keselamatan dan kebahagiaan. Didalam Negara merdeka hak-hak asasi manusia seharusnnya secara keselruruhan terjamin, Karena pada hakikatannya kemerdekaan negara dan bangsa berarti kemerdekaan pula bagi warga negara oleh karena itu setiap wargan gera sudah sewajarnya menikmati kemerdekaan nasionalnya yang berwujud kebebesan dalam fitrahnnya misalnnya : hak memilih dan dipilih, hak mendapat perlindungan dan perlakuan yang baik/adil, hanya mendapat pendidikan dan pengajaran, serta hak mendapat pekerjaan  dan penghidupan yang layak dan kesejahteraan hidup, kesadaran menghormati hak asasi dalam pergaulan, mencerminkan kedewasaan dan kebijakan seseorang,. Kritik dan penyampaian juga menunjukan kematangan seseorang. Masalah hak asasi manusia adalah hak masalah sesama manusia, hal ini mengandung arti akan menyangkut masalah hak dan kewajiban tugas dan tangung jawab, serta penghormatan dan perlakuan terhadap sesama manusia. Setiap pelanggaran terhadap hak asasi oleh sesama warga negera, mengakibatkan tidak adannya tertib sosial dan tertib hukum.

  2. Hukum Pidana Mati
  Pidana mati merupakan bagian dari jenis-jenis pidana yang berlaku berdasarkan hukum pidana positif Indonesia. Bentuk pidana ini merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana ini  juga merupakan hukuman tertua dan paling kontroversial dari berbagai bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.[2][3]
Berdasarkan sejarah pidana mati bukanlah bentuk hukuman yang relatif baru di Indonesia. Pidana ini telah dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan. Hal ini dapat dibuktkan dengan memperhatikan jenis-jenis pidana menurut hukum adat atau huum para raja dahulu, umpamanya:
            a. mencuri dihukum potong tangan ;
b. pidana mati dilakukan dengan jalan memotong-motong daging dari badan (sayab), kepala ditumbuk (sroh), dipenggal dan kemudian kepalanya ditusuk dengan gantar (tanjir), dan sebagainya.[3][4]
Pelaksanaan eksekusi mati di wilayah Indonesia tidak hanya terpatok pada keterangan di atas. Misalnya, di Aceh eksekusi bisa dilaksanakan dengan lembing, di Bali dapat dilaksanakan dengan cara ditenggelamkan ke laut,sedangkan pada suku batak dilaksanakan dengan sistem alternatif dimana apabila pembunuh tidak membayar uang salah maka eksekusi bisa dilaksanakan, dan berbagai macam jenis-jenis eksekusi mati lainnya. Dengan memperhatikan kebiasaaan (adat) dan hukum adat dari Aceh sampai Irian memperlihatkan kepada kita pidana mati dikenal oleh semua suku di Indonesia. Hingga penulis menarik kesimpulan bahwa bukan Belanda lah yang memperkenalkan pidana mati pada bangsa ini.
Penerapan hukum pidana oleh pemerintah Belanda di wilayah Indonesia diberlakukan berdasarkan  pemberlakuan “Wet boek van Strafrecht” yang mulai berlaku pada 1 Januari 1918. Pada ketentuan ini, pidana mati ditetapkan sebagai salah satu jenis pidana pokok yang tertuang dalam pasal 10. Pelaksanaan eksekusi pidana mati dilakukan dengan hukuman gantung sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP. Kemudian dengan Staatsblad 1945 Nomor123 yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda, pidana mati dijatuhkan dengan cara ditembak mati. Hal ini diperkuat dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tahun 1964, Lembaran Negara 1964 Nomor 38 kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang nomor 5 Tahun 1969 yang menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan cara menembak mati terpidana. Dalam hal ini eksekusi harus dihadiri Jaksa (Kepala Kejaksaan Negeri) sebagai eksekutor dan secara tekhnis pelaksaan eksekusi dilakukan oleh regu tembak kepolisian.
Patut diketahui bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati haruslah dilaksanakan setelah putusan pengadilan yang dijatuhkan padanya berkekuatan hukum tetap dan kepada si terpidana telah diberikan kesempatan untuk mengajukan grasi kepada Presiden. Pelaksanaan eksekusi dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu melalui fiat executie (persetujuan Presiden).
Maka jelaslah disini bahwa pidana mati pada dasarnya dan seharusnya dijadikan sebagai sarana penal yang terakhir dan hanya dapat dipergunakan terhadap orang-orang yang tidak dapat dilakukan pembinaan lagi dan dirasakan membahayakan kehidupan masyarakat luas bahkan negara sekalipun.
B. Pelaksanaan Hukuman Pidana Mati di Indonesia
Untuk pelaksanaan pidana mati di Indonesia pada mulanya dilaksanakan menurut ketentuan dalam pasal 11 KUHP yang menyatakan bahwa “pidana mati dijalankan oleh algojo atas penggantungan dengan mengikat leher si terhukum dengan sebuah jerat pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan dari bawah kakinya”.
Karena dirasa kurang sesuai maka kemudian pasal tersebut di atas diubah dengan ketentuan dalam S. 1945 : 123 dan mulai berlaku sejak tanggal 25 agustus 1945. Pasal 1 aturan itu menyatakan bahwa: “menyimpang dari apa tentang hal ini yang ditentukan dalam undang-undang lain, hukuman mati dijatuhkan pada orang-orang sipil (bukan militer), sepanjang tidak ditentukan lain oleh gubernur jenderal dilakukan dengan cara menembak mati”.untuk ketentuan pelaksanaannya secara rinci di jelaskan pada UU No. 2 (PNPS) tahun 1964.
Berdasarkan keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa eksekusi hukuman mati di Indonesia yang berlaku saat ini dilakukan dengan cara menembak mati bukan dengan cara menggantungkan si terpidana pada tiang gantungan.
Beberapa ketentuan terpenting dalam pelaksanaan pidana mati adalah sebagai berikut:
1)      Tiga kali 24 jam sebelum pelaksanaan pidana mati, jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan memberitahukan kepada terpidana dan apabila ada kehendak terpidana untuk mengemukakan sesuatu maka pesan tersebut diterima oleh jaksa;
2)      Apabila terpidana sedang hamil harus ditunda pelaksanaannya hingga melahirkan;
3)      Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman di daerah hukum pengadilan hukum pengadilan tingkat 1 yang bersangkutan;
4)      Kepala Polisi Daerah yang bersangkutan bertanggungjawab mengenai pelaksanaannya;
5)      Pelaksanaan pidana mati dilaksanakan oleh suatu regu penembak polisi di bawah pimpinan seorang perwira polisi;
6)      Kepala Polisi Daerah yang bersangkutan harus menghadiri pelaksanaan tersebut;
7)      Pelaksanaan tidak boleh dimuka umum;
8)      Penguburan jenazah diserahkan pada keluarga;
9)      Setelah selesai pelaksanaan pidana mati tersebut Jaksa yang bersangkutan harus membuat berita acara pelaksanaan pidana mati tersebut, yang kemudian salinan surat putusan tersebut harus dicantumkan ke dalam surat putusan pengadilan.
Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak menjatuhkan pidana mati. Berdasarkan catatan berbagai Lembaga Hak Asasi Manusia Internasional, Indonesia termasuk salah satu negara yang yang masih menerapkan ancaman hukuman mati pada sistem hukum pidananya (Retentionist Country). Retentionist maksudnya de jure secara yuridis, de facto menurut fakta mengatur pidana mati untuk segala kejahatan. Tercatat 71 negara yang termasuk dalam kelompok ini. Salah satu negara terbesar di dunia yang termasuk dalam retentionist country ini adalah Amerika Serikat. Dari 50 negara bagian, ada 38 negara bagian yang masih mempertahankan ancaman pidana mati . Padahal seperti diketahui, Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang paling besar gaungnya dalam menyerukan perlindungan hak asasi manusia di dunia. Namun dalam kenyataannya masih tetap memberlakukan ancaman pidana mati, juga dalam hukum militernya.
Hasil sejumlah studi tentang kejahatan tidak menunjukkan adanya korelasi antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan. Beberapa studi menunjukkan, mereka yang telah dipidana karena pembunuhan (juga yang berencana) lazimnya tidak melakukan kekerasan di penjara. Begitu pula setelah ke luar penjara mereka tidak lagi melakukan kekerasan atau kejahatan yang sama. Sebaliknya sejumlah ahli mengkritik, suatu perspektif hukum tidak dapat menjangkau hukum kerumitan kasus-kasus kejahatan dengan kekerasan di mana korban bekerjasama dengan pelaku kejahatan, di mana individu adalah korban maupun pelaku kejahatan, dan dimana orang yang kelihatannya adalah korban dalam kenyataan adalah pelaku kejahatan .




C. Pro dan Kontra Pidana Mati di Indonesia
Pidana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan tahun lalu telah menuai pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut  tidak hanya terjadi di Indonesia, namun terjadi hampir di seluruh Negara yang ada pada saat ini. Setiap ahli hukum, aktivis hak asasi manusia dan lain sebagainya selalu menyandarkan pendapat pro dan kontra pada lembaga pidana mati dengan alasan yang logis dan rasional.
Kecendrungan para ahli yang setuju pidana mati tetap dipertahankan eksistensinya, umumnya didasarkan pada alasan konvensional yaitu kebutuhan pidana mati sangat dibutuhkan guna menghilangkan orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan umum atau negara dan dirasa tidak dapat diperbaiki lagi, sedangkan mereka yang kontra terhadap pidana mati lazimnya menjadikan alasan pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia dan merupakan bentuk pidana yang tidak dapat lagi diperbaiki apabila setelah eksekusi dilakukan diemukan kesalahan atas vonis yang dijatuhkan hakim.
Adapun beberapa ahli maupun tokoh yang mendukung eksistensi pidana mati ialah Jonkers, Lambroso, Garofalo, Hazewinkel Suringa, Van Hanttum, Barda Namawi Arief, Oemar Senoadji, dan T.B Simatupang.
Jonkers mendukung pidana mati dengan pendapatnya bahwa “alasan pidana tidak dapat  ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan”  bukanlah alasan yang dapat diterima untuk menyatakan ”pidana mati tak dapat diterima. Sebab di pengadilan putusan hakim biasanya didasarkan alasan-alasan yang benar.”[4][5]
Selanjutnya, Lambroso dan Garofalo berpendapat bahwa pidana mati itu adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.[5][6] Individu itu tentunya adalah orang-orang yang melakukan kejahatan yang luar biasa serius (extraordinary crime)
Pada kesempatan lain, Suringa berpendapat pidana mati merupakan suatu bentuk hukuman yang sangat dibutuhkan dalam suatu masa tertentu terutama dalam hal transisi kekuasaan yang beralih dalam waktu yang singkat. Penulis bergumen seperti itu didasarkan pendapat  Suringa yang menyatakan bahwa pidana mati adalah suatu alat pembersih radikal yang pada setiap masa revolusioner kita cepat dapat mempergunakannya.[6][7]
Salah satu pakar hukum pidana dan tokoh pembaharuan hukum pidana nasional Barda Nawawi Arief secara eksplisit dalam sebuah bukunya menyatakan bahwa pidana mati masih perlu dipertahankan dalam konteks pembaharuan KUHP Nasional. Hal ini dapat penulis gambarkan, melalui pendapatnya yang menyatakan :
“bahwa walaupun dipertahankan pidana mati terutama didasarkan sebagai upaya perlindungan masyarakat (jadi lebih menitikberatkan atau berorintasi pada kepentingan masyarakat), namun dalam penerapannya diharapkan bersifat selektif, hati-hati dan berorientasi juga pada perlindungan/kepentingan individu (pelaku tindak pidana)”.[7][8]
Selanjutnya, inkonstitusioanal atau tidaknya pidana mati sebenarnya telah terjawab dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada Permohonan Pengujian materil Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang diajukan oleh empat terpidana mati kasus narkotika melalui kuasa hukumnya berkenaan dengan inkonstitusionalitas pidana mati yang termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa ancaman pidana mati pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika tidaklah bertentangan dengan Konstitusi. Secara analogi dapat ditrik sebuah kesimpulan bahwa pidana mati bukanlah suatu tindakan inkonstituional.
Untuk memperkuat argumen di atas, maka alangkah baiknya penulis memperkuatnya dengan menyajikan bunyi dari Konklusi dari Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan tersebut, yang menyatakan :
Ketentuan Pasal 80 Ayat (1) huruf a, Ayat (2) huruf (a), Ayat (3) huruf a; Pasal 81 Ayat (3) huruf (a); Pasal 82 Ayat (1) huruf  a, Ayat 2 (huruf) a dan Ayat (3) huruf a dalam UU Narkotika, sepanjang yang mengenai ancaman pidana mati, tidak bertentatangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan keterangan tersebut, sebenarnya dapatlah secara jelas bahwa pidana mati tidaklah bertentangan dengan Konstitusi Negara kita dan masih layak dipertahankan keberadaannyanya dalam hukum pidana positif. Hanya saja berdasarkan putusan tersebut pembaharuan hukum pidana yang berkaitan dengan pidana mati hendaknya untuk ke depan memperhatikan sungguh-sungguh hal sebagai berikut :
a.      pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif;
b.     pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan penjara seumur hidup atau selama 20 puluh tahun;
c.      pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;
d.     eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana mati yang sakit jiwa tersebut sembuh.
Jadi, berdasarkan uraian pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa para pendukung pidana mati pada zaman modern ini semata-mata menjadikan pidana mati sebagai instrumen untuk melindungi masyarakat dan Negara baik dalam bentuk preventif maupun represif. Represif di sini bukanlah menjadikan mereka yang diperintah  menjadi rentan dan lemah layaknya kekuasaan otoriter yang menjadikan pidana mati sebagai alat untuk menyingkirkan orang-orang yang bersebrangan dengan penguasa. Selain itu, dalam perumusan KUHP Nasional yang baru, dalam hal pidana mati haruslah memperhatikan bunyi putusan di atas.

Demikian sebaliknya, para ahli dan tokoh yang kontra terhadap pidana mati pun tidaklah sedikit dan menyandarkan argumennya pada sebuah landasan berpikir yang ilmiah. Seorang tokoh aliran klasik yang sangat terkenal karena kevokalannya menetang pidana mati ialah seorang berkebangsaan Italia yang bernama Beccaria. Alasan Beccaria menentang pidana mati ialah proses yang dijalankan dengan cara yang amat buruk sekali terhadap seseorang yang dituduh membunuh anaknya sendiri (beberapa waktu setelah eksekusi dapat dibuktikan bahwa putusan tersebut salah).[8][9]
Ferri yang juga seorang berkbangsaan Italia dalam hal menentang pidana mati berpendapat bahwa untuk menjaga orang yang mempunyai pradisposisi untuk kejahatan cukup dengan pidana penjara seumur hidup, tidak perlu dengan pidana mati.[9][10]
Pada putusan Mahkamah Konstitusi dalam Permohonan Pengujian materil Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa pidana mati tidaklah bertentangan dengan konstitusi terdapat empat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim konstituisi. Hakim-hakim tersebut adalah Hakim Konstitusi H. Harjono, Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi, Hakim Konstitusi H.M. Laica Marzuki, dan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan. Dalam hal ini penulis sedikit menyampaikan alasan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menolak adanya pidana mati. :
Bagi hak untuk hidup, tidak terdapat petunjuk yang menyatakan pembatasan hak itu dapat dilakukan dengan menghilangkan hidup itu sendiri, meskipun diakui dan telah menjadi bagian dari hak asasi orang lain yang harus pula dihormati, hak untuk hidup boleh dibatasi karena hukum membutuhuhkan keadilan untuk mengembalikan keseimbangan yang dicederai oleh pelanggaran yang dilakukannya berupa pembatasan ruang geraknya dengan ditempatkan dalam tempat khusus serta menjalani pembinaan-pembinaan tertentu yang diwajibkan.

Jelas pendapat Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menitikberatkan pada konsep hak asasi manusia. Hal ini sesuai dengan perkembangan penolakan terhadap pidana mati dewasa ini (masa sebelumnya penolakan pidana mati ditekankan atas pelaksanaan eksekusi yang kejam dan efektivitas pidana mati tersebut).
Maka jelaslah, permasalahan pro dan kontra terhadap pidana mati merupakan suatu permasalahan yang tidak mudah untuk digeneralisirkan dalam satu pola pikir yang sama pada setiap orang.
D. Hukum Pidana Mati Dalam Perspektif HAM
Jika dikaji lebih mendalam sesuai dengan ketentuan DUHAM, terdapat beberapa pasal didalam DUHAM yang tidak memperbolehkan hukuman mati, antara lain:
Berdasarkan Pasal 3 ” Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan, dan keamanan pribadi ”.Bentuk yang paling ekstrim dari pelanggaran hak untuk hidup ini ialah pembunuhan atau melukai jasmai atau rohani dari seseorang ataupun dari kelompok ( Leah Levin, 1987: 45). Hukuman mati jelas telah melanggar pasal ini, dimana orang yang dijatuhi hukuman mati telah dirampas kehidupannya, kemerdekaannya, keamanan pribadinya. Bagaimanapun juga hukuman mati adalah hukuman yang sangat melanggar hak untuk hidup bagi manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan.Dapat dilihat banyak orang yang telah dijatuhi hukuman mati, antara lain koruptor di Cina, Saddam Hussein, ataupun lainnya. Namun seperti kasus Rwanda dan Yugoslavia pelaku pelanggaran HAM hanya diganjar dengan hukuman maksimal pidana seumur hidup, karena hukuman mati di jaman modern ini mulai ditinggalkan oleh negara-negara di dunia, meskipun masih ada beberapa negara yang masih melaksanakannya dengan berbagai cara, seperti digantung, ditembak, dan disuntik. Bagaimanapun caranya hukuman mati tetap saja melukai diri dan mengambil hak hidup dari seseorang.

Jika pidana mati ditinjau menurut Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil politik yaitu Pasal 6 ayat (1) Pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun insan manusia yang secara gegabah boleh dirampas kehidupannya. Seperti halnya dijelaskan pada Pasal 3 DUHAM bahwa pelaksanaan eksekusi mati, telah melanggar pasal 6 ayat (1), eksekusi mati pada dasarnya menimbulkan kesakitan fisik dan dirampasnya hak hidup dari seseorang, dan ini yang bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) ICCPR dan Pasal 3 DUHAM. Meskipun banyak negara belum menghapuskan hukuman mati antara lain Indonesia, Cina dan negara Irak belum menghapuskan hukuman mati, yang menjadi permasalahan adalah tidak adanya pemenuhan dan pengaturan yang jelas terhadap pelaksanaan pidana hukuman tersebut baik itu dalam proses penangkapan maupun dalam pelaksanaan pemeriksaan di persidangan, sehingga hal tersebut bertentangan dengan konsep the rule of law dimana terdapatnya pengaturan yang jelas baik itu persamaan kedudukan di muka hukum dan juga terdapatnya peradilan yang bebas dan tidak memihak yang berimberimplikasi kekuasaan kehakimanh yang merdeka.

Pasal 6 ayat (2) Kovenen Internasional Tentang Hak Sipil Politik menyatakan bahwa Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusannya dapat diberikan hanya untuk kejahatan yang paling berat, sesuai dengan undang-undang yang berlaku pada waktu kejahatan demikian dilakukan, dan tanpa melanggar suatu ketentuan dari Kovenan ini dan Konvensi Tentang Pencegahan Dan Penghukuman Kejahatan Pemusnahan (suku) Bangsa. Hukuman ini hanya boleh dilaksanakan dengan putusan terakhir dari pengadilan yang berwenang. Lebih lanjut Pasal 6 ayat (4) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik mengatur bahwa Seseorang yang telah dihukum mati harus mempunyai hak untuk memohon pengampunan atau keringanan hukuman. Amnesti, pengampunan, atau keringanan hukuman mati dapat diberikan dalam segala bab. Dalam hal ini menurut uraian diatas penulis mencoba berpendapat dengan memperhatikan beberapa aspek, karena dalam memahami suatu peraturan hendanknya diperhatikan aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam dilakukannya ataupun diterapkannya pidana mati, meskipun dalam HAM hukuman mati dilarang karena tidak sesuai dengan Pasal 3 DUHAM dan juga banyak dari negara di dunia yang telah menghapuskan hukuman mati.

Di samping pengaturan tentang hak dasar yaitu hak untuk hidup yang diatur dalam DUHAM tersebut yang dalam hal ini dihubungkan dengan hukuman mati, terdapat pengecualian terhadap pelaksanaan hak tersebut yaitu dengan adanya pemahaman mendalam terhadap adanya derogable rights, yaitu dalam hal yang pertama ”a public emergency which treatens the life of nation” dapat dijadikan dasar untuk membatasi pelaksanaan hak-hak kebebasan dasar, dengan syarat bahwa kondisi keadaan darurat (public emergency) tersebut harus diumumkan secara resmi (be officially proclaimed), bersifat terbatas serta tidak boleh diskriminatif. (Muladi, 2004 : 101). Hal tersebut diatur secara limitatif dalam Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik, dalam Pasal 4 ayat (1) ICCPR menyatakan, dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa dan terdapatnya keadaan darurat tersebut telah diumumkan secara resmi, negara-negara pihak pada kovenan ini dapat mengambil upaya-upaya yang menyimpang (derogate) dari kewajiban mereka berdasarkan kovenan ini, sejauh hal itu dituntut oleh situasi darurat tersebut, dengan ketentuan bahwa upaya-upaya tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban negara-negara pihak itu menurut hukum internasional, dan tidak menyangkut diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan asal-usul sosial, sehingga vonis mati yang dijatuhkan terhadap Saddam tidak bertentangan dengan Pasal 3 DUHAM, karena kejahatan yang dilakukan adalah kejahatan HAM berat dan memenuhi ketentuan Pasal 4 ICCPR.















BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari penjelasan dan pemaparan dalam bab pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa HAM merupakan hak-hak kodrati yang diperoleh setiap manusia berkat pemberian Tuhan semesta alam, sesungguhnnya tidak dapat dipisahkan dari hakikatnnya oleh karena itu setiap manusia berhak mendapat kehidupan yang layak, kebebesan, keselamatan dan kebahagiaan.
Pidana Mati merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana ini  juga merupakan hukuman tertua dan paling kontroversial dari berbagai bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.
Perdebatan hukum terhadap absah tidaknya pidana mati berangkat dari perbedaan pendapat mengenai hukum mati dalam pandangan HAM, yang pada satu sisi masih mengakui pidana mati dan sisi lain mengakui hak hidup. Bagi pihak yang menolak pidana mati, berpendapat bahwa pidana mati secara hukum adalah inkonstitusional, karena bertentangan dengan konstitusi. Dalam tata urutan peraturan perundangan di Indonesia, setiap peraturan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya. Undang-undang yang memuat pidana mati bertentangan dengan konstitusi yang mengakui hak hidup. Karena konstitusi dalam tata hukum Indonesia lebih tinggi dibanding dengan undang-undang, maka pidana mati dalam undang-undang itu harus diamandemen. Pro kontra penerapan Pidana Hukuman Mati di Indonesia secara garis besar mengerucut ke dalam dua bagian besar yaitu;
(1) Bahwa hukuman mati tidak melanggar HAM karena pelaku telah melanggar HAM korban dan HAM masyarakat. Parahnya tudingan mengenai hukuman mati melangar HAM dinilai sebagai sebuah pernyataan sepihak yang tidak melihat bagaimana HAM korban kejahatan itu dilanggar.
(2) Hukuman mati dinilai melanggar HAM karena dicabutnya hak hidup seseorang yang sebetulnya hak itu sangat dihargai dan tiada seorangpun yang boleh mencabutnya. Oleh karena itu hukuman mati harus dihapuskan dalam perundang-undangan yang ada.
B. Saran
1. Bagi aparat penegak hukum, khususnya bagi para pembuat produk hukum hendaknya lebih memperhatikan aspek kemanusiaan dalam hal membuat suatu rumusan yang berisi tentang pidana mati, dan juga terhadap aparat penegak hukum harus lebih memperhatikan aspek kedepan beserta alasan tentang penerapan pidana mati.
2. Bagi seluruh masyarakat hendaknya mematuhi hukum yang bertujuan untuk mencapai keadilan dal ketertiban, karena dengan tertibnya hukum dapat tercipta suatu kondisi yang nyaman, serta memperhatikan ketentuan internasional hak asasi manusia dalam penerapan pidana mati.























DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Mustofa, Bachsan. Sistem Hukum Indonesia. Bandung: Remaja Karya,1984.
Azra, Azyumardi. Demokrasi HAM dan masyarakat madani. Jakarta: Tim ICCE UIN,2003
Djamali, R. Abdoel. Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Rajawali Pers, 2005
R. Soesilo. Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus. Bogor: Politea, 2001.
A. Hamzah & A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985.
Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005.
Sumber Elektronik
http://witantra.wordpress.com/2008/05/30/ertikel-HAM/ Diakses pada tanggal 30 Januari 2015 pukul 21.05 WIB
http://www.indomedia.com/bpost/052005/24/opini/opini1.htm/ Diakses pada tanggal 1 Februari 2015 pukul 20.16 WIB

Sumber Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana.













Share:

0 komentar:

Post a Comment