Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Wednesday, May 02, 2018

HUKUM KEWARISAN ISLAM




A.    PENDAHULUAN
Hukum kewarisan Islam di Indonesia adalah hukum waris yang bersumber kepada Al-Qur’an dan   Hadits hukum yang berlaku universal. Namun jika ada beberapa perbedaan paham di kalangan ulama mazhab dengan tidak mengurangi ketaatan umat Islam kepada ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka perbedaan pendapat tersebut dibolehkan dan dapat dipandang sebagai rahmat. Kewarisan (Al-mirats), yang disebut juga sebagai faraidh berarti bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana telah diatur dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadits, sehingga dapat  disimpulkan  bahwa  pewarisan  adalah  perpindahan  hak  dan  kewajiban tentang kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia terhadap orang-orang yang masih hidup dengan bagian-bagian yang telah ditetapkan dalam nash-nash,
baik Al-Qur’an dan Al-Hadits.[1]

Dalam pembagian warisan, terkadang seorang atau beberapa orang ahli waris yang bukan mahjub dan bukan mamnu, tidak menerima bagian. Bagian yang seharusnya mereka terima dalam pewarisan itu diberikan kepada seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya sesuai dengan perjanjian yang mereka lakukan. Perjanjian pengoperan pembagian seorang atau beberapa orang ahli waris kepada seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya disebut at-takharuj. Perjanjian itu disebut at-takharuj karena adanya mutakharaj (متخرج), yaitu pihak yang diundurkan, setelah diberi imbalan seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya.
Menurut syariat islam ahli waris juga memperbolehkan salah seorang pewaris menyatakan dirinya tidak akan mengambil hak warisnya, kemudian memberikanya  kepada  ahli  waris  yang  lain  atau  yang  ditunjukannya,hal  ini dikenal dengan istilah “Pengunduran diri” atau “ menggugurkan diri dari hak warisnya yang disebut juga dengan Takharuj (keluar).Dasar hukum Pembagian harta warisan merupakan hasil ijtihad (atsar sahabat) atas peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan.[2]
At-takharuj dalam hukum waris Islam ialah berdamainya salah seorang ahli waris untuk keluar (tidak mengambil) tirkah (harta peninggalan), sebagai Imbalannya dari harta yang telah diambilnya atau sebab lainnya. Dengan kata lain apabila para ahli waris mengadakan perdamaian dengan jalan mengeluarkan sebagian ahli dari haknya atas bagian harta warisan dengan imbalannya menerima sejumlah harta tertentu, dari harta warisan atau harta lain disebut juga takharuj (tashaluh).[3]
Pembagian harta warisan telah mendapat dasar hukum yang kuat dengan adanya  Undang-undang  Nomor  7  tahun  1989  tentang  Peradilan  Agama,  dan Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Di dalam pasal 49 Undang-undang   tersebut   ditentukan   bahwa   Pengadilan   Agama   berwenang mengadili perkara warisan orang Islam.


B.     PEMBAHASAN

1.      Pengertian Takharuj
Secara arti kata, takharuj berarti saling keluar. Dalam arti terminologis biasa diartikan keluarnya seorang atau lebih dari kumpulan ahli waris dengan penggantian  haknya  dari  salah  seorang  diantara  ahli  waris  lainnya.[4]
Al-Takharruj pada perinsipnya merupakan salah satu bentuk pembagian harta warisan secara damai berdasarkan musyawarah antara para ahli waris. Al-Takharuj adalah pengunduran diri seorang ahli waris dari hak yang dimilikinya, dan hanya meminta imbalan berupa sejumlah uang atau barang tertentu dari salah seorang ahli waris lainnya.[5]
Jadi, takharuj adalah suatu perjanjian damai antar para ahli waris atas keluarnya  atau mundurnya salah seorang ahli waris atau sebagaian ahli waris untuk tidak menerima hak bagiannya dari harta warisan peninggalan pewaris dengan syarat mendapat imbalan tertentu berupa sejumlah uang atau barang dari ahli waris lain.
Pengertian perdamaian menurut KUH Perdata Pasal 1851 menyebutkan, perdamaian  adalah suatu perjanjian  dengan mana kedua   belah   pihak,   dengan   menyerahkan,   menjanjikan   atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau pun mencegah timbulnya suatu perkara.


2.      Dasar Hukum Takharuj
Kebolehan  pembagaian harta warisan secara damai didasarkan pada atsar sahabat sebagai berikut:
عن ابي يوسف عمن حدثه عن عمرو ابن دينار عن عباس ان احدي نساء عبد الرحمن  بن عوف صلحوها على ثلاثة وثامنين الفا على ان  اخرجوها من ميرث
Dari Abi Yusuf dari seorang yang menceritakan kepadanya, dari Amru bin Dinar dari ibnu Abbas: Salah seorang istri Abdurrahman bin Auf diajak berdamai oleh para ahli waris terhadap harta sejumlah delapan puluh tiga ribu dengan mengeluarkannya dari pembagian harta warisan.[6]
‘Umar ibnu al-Khaththab r.a. suatu saat memberikan nasihat kepada kaum muslimin:
ردالقضى بين ذاوالارحام حتى يصطلح فان الخطاب يرث الضغين
 “Ruddu al-qadla baina dzawi al-arham hatta yasthalihu fa inna al-khitab yuritsu al-daghain”
yang artinya:
"Kemabalikanlah penyelesaian perkara diantara keluarga, sehingga mereka dapat mengadakan perdamaian, karena sesungguhnya penyelesaian dengan keputusan pengadilan itu menimbulkan perasaan tidak enak".[7]
أن يتصا لح الو ر ثة على إ خرا ج بعضهم عن نصيبه في ا لميرا ث نظير شيء معين من التر كة أ و من غيره .
Perjanjian atau perdamaian para ahli waris atas keluarnya/mundurnya sebagian mereka dalam (menerima) bagiannya dalam pewarisan dengan memberikan suatu prestasi/imbalan tertentum baik (imbalan itu) dari harta peninggalan maupun dari yang lainnya (Yusuf Musa, 1959:374).[8]

   Selain itu, dasar hukumnya adalah analogi terhadap perjanjian jual beli dan perjanjian tukar menukar barang yang syarat kebolehannya adalah adanya keridhaan (kerelaan) masing-masing pihak yang mengadakan trasanksi.  Hal tersebut didasarkan pada Q.S. al-Nisa/4: 29 sebagai berikut:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

3.      Praktik Penyelesaian Takharuj
Dalam  pelaksanaan  penyelesaian  secara  takharuj  dapat  berlaku dalam tiga bentuk :
·         Pertama, kesepakatan dua orang diantara ahli waris untuk keluarnya salah seorang dari pembagian warisan dengan imbalan tertentu yang diberikan oleh pihak lain dari hartanya sendiri.[9]
·         Kedua, kesepakatan seluruh ahli waris atas keluarnya salah seorang di antara mereka dari kelompok penerima warisan, dengan imbalan yang dipikul bersama dari harta mereka di luar hak yang mereka terima dari harta warisan.[10]
·         Ketiga, kesepakatan semua ahli waris atas keluarnya salah seorang di antaranya dari kelompok penerima warisan dengan imbalan tertentu dari harta peninggalan itu sendiri.[11]
Bila diperhatikan, bentuk ketiga ini terlihat bahwa masalahnya berbeda dengan   dua   bentuk   sebelumnya   karena   ahli   waris   menempuh   cara pembagian yang menyimpang dari yang ditentukan dalam hukum kewarisan dan ada kemungkinan lebih atau kurang dari hak yang semestinya diterima.
Walaupun  pembagian  warisan  dalam  bentuk  tahkaruj  dibenarkan dalam  Islam  namun  praktik  pembagiannya  harus  tetap  memenui  syarat-syarat.  Diantara  syarat-syarat  pentingnya  adalah  harus  ada  kecakapan hukum yang didasarkan atas kerelaan penuh dari pihak-pihak yang terlibat dalam warisan. Hal ini menjadi keharusan karena dalam pembagian warisan dalam bentuk takharuj ada pihak-pihak yang akan menggugurkan atau mengorbankan haknya baik keseluruhan maupun sebagian. Dalam menggugurkan hak milik diperlukan kecakapan untuk bertindak secara hukum.[12]
Penyelesaian secara takharuj adalah bentuk tindakan kebijaksanaan yang hanya digunakan dalam keadaan tertentu, bila kemaslahatan dan keadilan menghendakinya. Hal ini dilakukan tanpa sama sekali menghindarkan diri dari ketentuan yang ditetapkan oleh Allah SWT. dengan cara ini suatu kesulitan  dalam  pemecahan persoalan  pembagian  warisan dalam keadaan tertentu dapat diselesaikan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 183 disebutkan:
·         Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.
·         Pasal tersebut menjadi acuan dalam pembagian warisan secara damai dengan mengedepankan kerelaan bersama, walaupun pasal ini mengakibatkan pembagian warisan yang berbeda dari petunjuk pembagian warisan yang telah ditentukan dalam Bab III Kompilasi Hukum Islam namun hal ini tetap dibenarkan demi tercapainya kemaslahatan diantara para ahli waris.

Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya. [13]
Contoh 1:
Seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris terdiri atas: isteri, ibu, dan seorang saudara laki-laki sekandung. Harta yang ditinggalkan berupa tanah seluas 24 ha. Saudara laki-laki mengadakan takharuj dengan ibu, dengan perjanjian saudara laki-laki sekandung mengundurkan diri dari penerimaan warisan sebagai suatu tegen-prestasi atas sejumlah uang yang diberikan ibu kepadanya.
  • Pembagian sebelum takharuj:

-          Isteri                            : ¼                                                       : 3

-          Ibu                               : 1/3                  a.m: 12                        : 4

-          Saudara lk sekandung : ‘a                                                       : 5

 12

-          Isteri                : mendapat 3/12 x 24 ha = 6 ha

-          Ibu                   : mendapat 4/12 x 24 ha = 8 ha

-          Sdr lk skdg      : mendapat 5/12 x24 ha = 10 ha

  • Pembagian sesudah takharuj
Karena saudara laki-laki mengadakan takharuj dengan ibu, maka bagiannya diberikan kepada ibu. Sehingga bagian mereka setelah takharuj sebagai berikut:
Isteri mendapat 6 ha.
Ibu mengdapat 8 ha. + 10 ha. = 18 ha.
Contoh 2:
Seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan seorang seorang suami, anak permpuan, ibu, dan seorang saudara laki-laki sebapak. Harta peninggalan berupa sebuah rumah dan uang sebesar 48.000.000.00. Para ahli waris mengadakan takharuj, dengan perjanjian anak perempuan mengundurkan diri dan kepadanya diberikan sebuah rumah.
  • Pemabagiian sebelum takharuj:

-          Anak perempuan         : ½                                           : 6        (diberikan rumah)       

-          Suami                          : ¼                   a.m. 12           : 3

-          Ibu                               : 1/6                                          : 2               = (Rp.48.000.000,00)

-          Sdr lk sebapak             : ‘a                                           : 1
 12

  • Pembagian sesudah takharuj:

-          Anak perem perempuan diberikan rumah

-          Suami                    : 3 à 3/6 x Rp. 48.000.000,00 = Rp. 24.000.000,00

-          Sdr lk sebapak       : 2 à 2/6 x Rp. 48.000.000,00 = Rp. 16.000.000,00


Contoh 3:
Seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan seorang isteri, anak perempuan, dan bapak. Harta yang ditinggalkannya berupa sawah seluas 16 ha. Para ahli waris mengadakan takharuj, dengan perjanjian bapak yang mengundurkan diri dengan mendapat imbalan atau tegen-prestasi sebesar Rp. 5.000.000,00 dari isteri dan anak perempuan (masing-masing Rp. 2,5.000.000,00).

  • Pembagian sebelum takharuj:

-          Isteri                : 1/8                                                       : 1

-          Anak               : ½                   a.m. 8              : 4

-          Bapak              : ‘a                                           : 3
  8

  • Pembagian sesudah takharuj:

Karena bapak megadakan takharuj dengan isteri dan anak perempuan, maka bgiannya diberikan kepada mereka (sesuai perbandingan jumlah yang mereka berikan kepada bapak). Sehingga bagian mereka setelah takharuj sebagai berikut:
Bapak              : mendapat Rp. 5.000.000,00 (dibayar oleh isteri dan anak perempuan)
Isteri                : mendapat 2 ha + ½ x 6 ha. = 5 ha.
Anak pr           : mendapat 8 ha + ½ x 6 ha. =11 ha.

4.      Pembagian Waris Secara Damai Di Pengadilan Agama
Penyelesaian sengketa melalui perdamaian jauh lebih efektif dan efisien. Sebenarnya sejak semula Pasal 130 HIR (herzein inlandsch reglement) maupun Pasal 154 RBG (rechtreglement voor de buitengewesten) mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui jalan damai.
Pasal 130 ayat (1) dan (2) HIR berbunyi:
·         Jika Pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka Pengadilan Negeri dengan bantuan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.
·         Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, dibuat sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menaati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.[14]

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA RI.) nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Pembagian  harta  warisan   dapat  dilakukan  dengan   jalan  damai diantara para ahli waris. Pelaksanaan pembagian warisan secara damai setelah terjadi sengketa pada Pengadilan Agama, dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu:
1)      Dilakukan atau diupayakan oleh mediator yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa, baik dari mediator dari kalangan hakim maupun dari mediator kalangan luar hakim.
2)      Dilakukan atau diupayakan oleh majelis hakim yang menangani perkara yang bersangkutan.
Proses   mediasi   di   Pengadilan   Agama   umumnya   dipimpin   oleh mediator dari kalangan hakim yang dipilih oleh para pihak yang berperkara karena belum ada pihak luar yang memenuhi syarat menjadi mediator. Tenggang  waktu  yang  diberikan  kepada  mediator  untuk  melaksanakan proses mediasi adalah selama empat puluh hari, dan dapat ditambah lima belas hari lagi jika dibutuhkan. Mediator yang memimpin upaya perdamaian wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan para pihak dan mencari berbagai pilihan penyelesaian terbaik bagi para pihak yang bersengketa.
Apabila  terjadi  perdamaian,  mediator  merumuskan  isi  kesepakatan para pihak yang bersengketa dan dibuat akte perdamaian. Setelah akte perdamaian selesai dan dibacakan kepada para pihak, mediator melaporkan hasil kesepakatan yang telah dibuat kepada majelis hakim yang menangani perkara tersebut. Majelis hakim yang menerima laporan perdamaian dari mediator, membacakan hasil perdamaian tersebut dan dimasukkan dalam
putusan akhir.
Prinsip  kewarisan  Islam  sangat  penting  dipahami  oleh  mediator sebagai pegangan ketika menjembatani para pihak yang bersengketa dalam masalah waris. Meskipun mediator tidak memahami dengan sempurna ketentuan pembagian dan cara membagikan harta warisan, namun prinsip kewarisan   ini   harus   dipahami   dengan baik, karena  dapat membuka kesempatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa kewarisan mereka.

Mediator dalam melakukan mediasi sengketa waris dapat melakukan beberapa hal sebagai berikut:
a.       Mediator meyakinkan para pihak yang bersengketa bahwa ia benar-benar ingin membantu ahli waris dalam menyelesaikan sengketa dan tidak ada kepentingan apapun terhadap sengketa tersebut. Hal ini penting dalam rangka menumbuhkan kepercayaan para ahli waris terhadap mediator. Kepercayaan yang dimiliki mediator akan memudahkan baginya melakukan upaya mediasi lanjut.
b.      Mediator   memetakan   faktor-faktor   penyebab   terjadinya   sengketa waris. Pemetaan ini dilakukan setelah para pihak yang bersengketa duduk dan bertemu satu  sama  lain yang difasilitasi oleh mediator. Pada pertemuan tersebut mediator meminta pihak yang bersengketa mengungkapkan dengan jelas dan lengkap faktor penyebab terjadinya sengketa. Penyebab terjadinya sengketa waris semestinya diketahui oleh mediator, guna menyusun langkah-langkah selanjutnya dalam mediasi.
c.       Berdasarkan  faktor  penyebab  terjadinya  sengketa  waris,  mediator dapat menyusun pertemuan lanjutan dengan meminta para pihak mengungkapkan keinginan dan kepentingan yang ingin diperoleh dari penyelesaian sengketa  waris. Dalam  pertemuan  ini mediator dapat meminta ahli waris untuk menyampaikan kemungkinan-kemungkinan penyelesaian sengketa waris yang mereka alami. Pada posisi ini, mediator tidak menawarkan jalan keluar, tetapi memberi kebebasan bagi para pihak menemukan jalan sendiri, agar kesepakatan damai dapat terwujud.
d.      Bila  mediator  menemukan  salah  satu  pihak  tidak  bersedia menyampaikan keinginan dan kepentingannya, maka mediator dapat mengadakan kaukus. Dalam kaukus, mediator dapat bertemu secara terpisah dengan masing-masing pihak, sehingga mereka dapat leluasa mengungkapkan kepentingan masin-masing.
e.       Mediator yang telah mendapatkan informasi lengkap tentang keinginan dan  kepentingan masing-masing  pihak  selanjutnya mengkomunikasikan keinginan dan kepentingan tersebut dari satu pihak kepada pihak lain.
f.       Jika keinginan dan kepentingan masing-masing pihak sudah dipahami satu sama lain, maka mediator dapat mengajak para pihak untuk membuat kesepakatn-kesepakatan. Bila para pihak yang bersengketa tidak menemukan kesepakatan, maka mediator dapat mengajukan tawaran  kesepakatan  kepada  pihak  yang  bersengketa. Keputusan akhir menerima atau menolak kesepakatan yang ditawarkan mediator secara penuh tergantung kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam masalah kewarisan.[15]
MEDIATOR PENGADILAN AGAMA SAMARINDA BERHASIL MENDAMAIKAN SENGKETA TANAH WARISAN SELUAS 80.000 METER PERSEGI ( 8 HEKTAR)

Created on Rabu, 29 Oktober 2014 01:31
Rabu, 29 Oktober 2014 01:31

Alhamdulillah dengan kesungguhannya mengupayakan perdamaian antara Para Penggugat sebanyak 3 orang bersaudara dengan Para Tergugat sebanyak 5 orang bersaudara dalam sengketa tanah warisan seluas 80.000 meter persegi, yang merupakan harta peninggalan ayah Para Penggugat dan Juga ayah Para Tergugat, hanya saja berbeda ibu, karena semasa hidup sang ayah memiliki 2 orang istri, yakni ibu para penggugat dan ibu para tergugat, Mediator (Hakim) Pengadilan Agama Samarinda ini kembali berhasil mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa untuk sama-sama menanda tangani Surat Perdamaian yang dikuatkan dengan Akta Perdamaian, meskipun saat terjadinya mediasi ada diantara para pihak yang walk out meninggalkan ruang mediasi kemudian bisa masuk dan duduk bersama melanjutkan mediasi dan ada pula yang menangis karena menyadari tetap menjalin hubungan silaturahim itu lebih penting dari hanya sekedar berebut harta warisan;
Mediator (Hakim) Pengadilan Agama Samarinda ini sebelumnya selama bertugas sejak September 2013 yang lalu, juga sudah banyak (lebih dari 10 perkara) berhasil mendamaikan sengketa yang ditanganinya baik ketika dia menjadi mediator maupun ketika menjadi Hakim (Ketua Majelis C1, C2 dan atau anggota majelis B) dari berbagai jenis Perkara seperti Perceraian, Gugatan Harta Bersama dan Gugatan Waris
Sesungguhnya tidak semua mediator/Hakim, dengan mudah berhasil mendamaikan para pihak yang bersengketa, karena pada dasarnya orang yang bersengketa di Pengadilan Agama adalah mereka yang sudah menemui jalan buntu dalam menyelesaikan masalah diantara mereka, hal tersebut dapat dilihat dari beberapa faktor sebagai berikut :

Faktor –faktor ketidak berhasilan, antara lain:
    Mediator ketika mengupayakan perdamaian masih menganggap dirinya sebagai hakim yang mencari bukti-bukti pembenaran / kewajaran kenapa para pihak mempertahankan argumen-argumen merereka; sehingga
    Mediator terlalu subyektif memihak salah satu pihak;
    Mediator tidak dapat memberikan solusi, atau ketika memberikan solusi tidak sampai kepada akar atau pokok permasalahan yang melatar belakangi sengketa;
    Mediator tidak sungguh-sungguh dalam melakukan mediasi , kecuali hanya sekedar melaksanakan tugas / perintah berdasarkan Peraturan Perundang-undangan saja;
    Mediator tidak menyadari bahwa upaya mediasi yang dilakukan adalah bagian dari amal shalih jika diniatkan dengan ikhlas semata-mata untuk berupaya mendamaikan orang-orang yang bersengketa;

Faktor-faktor keberhasilan, antara lain :

    Mediator harus menyadari bahwa upaya mediasi yang dilakukan adalah bagian dari amal shalih jika diniatkan dengan ikhlas semata-mata untuk berupaya mendamaikan orang-orang yang bersengketa;
    Mediator harus sungguh-sungguh secara maksimal memberikan solusi kepada para pihak yang bersengketa untuk menemukan kesepakatan perdamaian dengan solusi yang nyata membantu membuatkan surat perdamaian, jika para pihak tidak bisa membuat sendiri surat perdamaian , atau jika para pihak sendiri telah menemui jalan buntu;
    Mediator harus menjadikan mediasi sebagai ladang dakwah, amar ma’ruf dan nahi munkar kepada para pihak yang bersengketa, dan tidak perlu kecewa apalagi sakit hati ketika para pihak tidak berhasil didamaikan, karena tugas mediator hanyalah mengarahkan dan membantu memecahkan persoalan diantara para pihak yang bersengketa;
    Mediator dan para pihak berada di ruangan (sarana dan Prasarana) yang aman dan nyaman;
    Mediator ketika menjalankan mediasi (mencari Solusi) harus meninggalkan statusnya sebagai hakim (mencari bukti);

Berikut ini adalah contoh Asli Surat Perdamaian yang dibuatkan oleh Mediator tersebut:

BISSMILLAH
SURAT PERDAMAIAN

Pada hari ini Selasa, tanggal 21 Oktober 2014 Masehi, bertepatan dengan tanggal 25 Zulhijah 1435 Hijriyah; Kami yang bertanda tangan di bawah ini :

    Anonim, sebagai Penggugat I;
    Anonim, sebagai Penggugat II;
    Anonim, sebagai Penggugat III;

Selanjutnya Penggugat I, Penggugat II dan Penggugat III disebut Pihak Pertama;
Dan :

    Anonim, sebagai Tergugat I;
    Anonim, sebagai Tergugat II;
    Anonim, sebagai Tergugat III;
    Anonim, sebagai Tergugat IV;
    Anonim, sebagai Tergugat V;

Selanjutnya Tergugat I sampai dengan Tergugat V disebut sebagai Pihak Kedua;
Serta :
Drs. Tamimudari, M.H., Hakim Pengadilan Agama Samarinda, sebagai MEDIATOR;
Menerangkan :
Bahwa Pihak Pertama dan Pihak Kedua telah bersepakat untuk mengakhiri sengketa mengenai Gugatan pembagian harta warisan sebagaimana dalam surat gugatan penggugat tertanggal 15 september 2014, yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Samarinda dengan Nomor Perkara 1423/Pdt.G/2014/PA.Smd. dengan damai, dan untuk hal-hal tersebut telah mengadakan persetujuan sesuai dengan Surat Perdamaian, bertanggal 21 September 2014, yang pada pokoknya sebagai berikut:
        Bahwa Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat bahwa semasa hidup almarhum Anonim mempunyai harta peninggalan berupa sebidang tanah yang berukuran 4 x 2 Hektar yang berjumlah 8 Hektar dengan ukuran lebar 80 (delapan puluh) meter dan panjang 1000 (seribu) meter, sehingga luasnya sama dengan 80.000 (delapan puluh ribu) M persegi, yang terletak di Gunung Cermin Sempaja, Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda yang diukur oleh Yayasan Satria Samarinda pada tanggal 30 Juni 1978, dan surat-surat tanda kepemilikannya ada pada pihak Pertama;
        Bahwa Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat bahwa harta peninggalan almarhum Anonim tersebut, dibagikan kepada para pihak sebagai ahli waris dengan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Surah An Nisa Ayat (11) dan Kompilasi Hukum Pasal 176, yakni bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan;
        Bahwa Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat bahwa semua anak laki-laki dari almarhum Anonim akan mengurangi bagian yang diterimanya masing sebanyak 2 (dua) meter x 1000 (seribu) meter untuk pembuatan jalan ditengah-tengah tanah yang merupakan harta peninggalan almarhum Anonim tersebut, sehingga ditengah-tengah tanah yang merupakan harta peninggalan almarhum Anonim tersebut terdapat jalan dengan lebar 8 (delapan) meter dan panjang 1000 (seribu) meter, sehingga perhitungannya adalah sebagai berikut :
a.       Anonim, sebagai anak laki-laki mendapat 2/12 X 80.000 = 13.333,3333 - 2000 = 11.333,3333 Meter persegi;
b.      Anonim, sebagai anak perempuan mendapat 1/12 X 80.000 = 6.666,66667 Meter persegi;
c.       Anonim, sebagai anak laki-laki mendapat 2/12 X 80.000 = 13.333,3333 - 2000 = 11.333,3333 Meter persegi;
d.      Anonim, sebagai anak perempuan mendapat 1/12 X 80.000 = 6.666,66667 Meter persegi;
e.       Anonim, sebagai anak laki-laki mendapat 2/12 X 80.000 = 13.333,3333 - 2000 = 11.333,3333 Meter persegi;
f.       Anonim, sebagai anak perempuan mendapat 1/12 X 80.000 = 6.666,66667 Meter persegi;
g.      Anonim, sebagai anak laki-laki mendapat 2/12 X 80.000 = 13.333,3333 - 2000 = 11.333,3333 Meter persegi;
h.      Anonim, sebagai anak perempuan mendapat 1/12 X 80.000 = 6.666,66667 Meter persegi;
        Bahwa Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat bahwa Denah atau lokasi serta ukuran tanah yang menjadi bagian dan hak masing-masing ahli waris dari almarhum Anonim adalah sebagai berikut :
bissmillah5. Bahwa Pihak Pertama dan Pihak Kedua berjanji saling tolong menolong dalam hal penyelesaian atau pengurusan atau pembuatan surat-surat (balik nama) kepemilikan harta peninggalan yang dibagi tersebut di atas untuk masing-masing ahli waris;
6. Bahwa dengan ditanda–tanganinya Surat perdamaian ini, maka permasalahan antara Pihak Pertama dengan Pihak Kedua sebagaimana telah terdaftar dibawah perkara perdata No. 1423/Pdt.G/2014/PA.Smd. tertanggal 15 September 2014 tentang Gugatan Pembagian Harta Warisan dinyatakan telah SELESAI SECARA DAMAI DAN KEKELUARGAAN dan Pihak Pertama dengan Pihak Kedua berjanji untuk tidak akan tuntut menuntut lagi baik sekarang maupun dikemudian hari baik secara perdata maupun pidana;
7. Bahwa Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat agar isi kesepakatan surat Perdamaian ini mengikat dan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, memohon kepada Ketua Pengadilan Agama Samarinda / Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini agar dikokohkan dalam bentuk Putusan;
Demikian Surat Perdamaian ini dibuat dengan sebenarnya, dalam keadaan pikiran sehat, tenang serta tanpa ada paksaan dari siapapun agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya dan Semoga Allah SWT memberkahinya. Amin.
Ttd.
Pihak Pertama,

Ttd.
Pihak Kedua,

Para Penggugat
Para Tergugat

MEDIATOR,
Ttd.

Drs. Tamimudari, M.H.

C.    Penutup
1.      Simpulan
Dalam pembagian warisan, terkadang seorang ahli waris yang bukan mahjub dan bukan mamnu, tidak menerima bagian. Bagian yang seharusnya mereka terima dalam pewarisan itu diberikan kepada seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya sesuai dengan perjanjian yang mereka lakukan. Perjanjian pengoperan pembagian seorang atau beberapa orang ahli waris kepada seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya disebut at-Takharuj. Perjanjian itu disebut at-Takharuj karena adanya mutakharaj (متخر ج (, yaitu pihak yang diundurkan, setelah diberi prestasi atau imbalan oleh soerang atau beberapa orang ahli waris lainnya.
Oleh karena itu, sebagai seorang muslim kita wajib mempelajari Fiqh Mawarist yang bertujuan untuk mencegah perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta waris, sehingga orang yang memperalajarinya mempunyai kedudukan tinggi dan mendapatkan pahala yang besar. Ini dikarenakan ilmu faraidh merupakan bagian dari ilmu-ilmu Qur’ani dan produk agama.









Daftar Pustaka
Ø  Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. (Gunung   Djati Bandung.2001)
Ø  Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta : Gema Insani Press,1996)
Ø  Amir Syarifuddin, 2008, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana.
Ø  Harijah Damis. Memahami Pembagian Harta Warisan Secara Damai. Al-Itqon. 2012. Jakarta.
Ø  Ahmad rofiq. fiqh mawaris.Jakarta. PT.Rajagrafindo persada. 2012, hlm. 201
Ø  Fiqh mawaris hukum kewarisan Islam, Jakarta, 1997, gaya media pratama, drs. H. Suparman Usman, sh, drs. Yusuf Somawinata
Ø  Satria Effendi, 2010, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta: Prenamedia),
Ø  R.Soesilo, 1985, RIB/HIR Dengan Penjelasan (Bogor, Politeia),





[1] Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. (Gunung   Djati Bandung.2001) hlm.1
[2] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta : Gema Insani Press,1996) hlm.141
[3] Ibid.
[4] Amir Syarifuddin, 2008, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, hlm.297
[5] Op.cit.
[6] Harijah Damis. Memahami Pembagian Harta Warisan Secara Damai. Al-Itqon. 2012. Jakarta. Hlm. 124
[7] Ahmad rofiq. fiqh mawaris.Jakarta. PT.Rajagrafindo persada. 2012, hlm. 201
[8]  Fiqh mawaris hukum kewarisan Islam, Jakarta, 1997, gaya media pratama, drs. H. Suparman Usman, sh, drs. Yusuf Somawinata
[9] Amir Syarifudin. Op.cit. hlm. 300
[10] Ibid. hlm. 301
[11] Ibid. hlm. 301
[12] Satria Effendi, 2010, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta: Prenamedia), hlm.
343.
[13] Amir syarifudin, op.cit. hlm. 302

[14] R.Soesilo, 1985, RIB/HIR Dengan Penjelasan (Bogor, Politeia), hlm.88
[15] Harijah Damis. Op.cit. hlm.129

Share:

0 komentar:

Post a Comment