A.
PENDAHULUAN
Hukum kewarisan Islam di Indonesia
adalah hukum waris yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadits hukum yang berlaku universal. Namun
jika ada beberapa perbedaan paham di kalangan ulama mazhab dengan tidak
mengurangi ketaatan umat Islam kepada ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka
perbedaan pendapat tersebut dibolehkan dan dapat dipandang sebagai rahmat.
Kewarisan (Al-mirats), yang disebut juga sebagai faraidh berarti bagian
tertentu dari harta warisan sebagaimana telah diatur dalam nash Al-Qur’an dan
Al-Hadits, sehingga dapat
disimpulkan bahwa pewarisan
adalah perpindahan hak
dan kewajiban tentang kekayaan
seseorang yang telah meninggal dunia terhadap orang-orang yang masih hidup
dengan bagian-bagian yang telah ditetapkan dalam nash-nash,
baik Al-Qur’an dan Al-Hadits.[1]
Dalam pembagian warisan, terkadang seorang atau beberapa orang ahli waris yang bukan mahjub dan bukan mamnu, tidak menerima bagian. Bagian yang seharusnya mereka terima dalam pewarisan itu diberikan kepada seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya sesuai dengan perjanjian yang mereka lakukan. Perjanjian pengoperan pembagian seorang atau beberapa orang ahli waris kepada seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya disebut at-takharuj. Perjanjian itu disebut at-takharuj karena adanya mutakharaj (متخرج), yaitu pihak yang diundurkan, setelah diberi imbalan seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya.
Menurut syariat islam ahli waris juga
memperbolehkan salah seorang pewaris menyatakan dirinya
tidak akan mengambil hak warisnya, kemudian memberikanya kepada
ahli waris
yang
lain atau
yang ditunjukannya,hal
ini
dikenal dengan istilah “Pengunduran diri” atau “
menggugurkan diri dari
hak warisnya yang disebut juga dengan Takharuj (keluar).Dasar hukum Pembagian
harta warisan merupakan hasil ijtihad (atsar sahabat) atas peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah
Usman bin Affan.[2]
At-takharuj dalam hukum waris Islam ialah berdamainya salah seorang
ahli waris untuk keluar (tidak
mengambil) tirkah (harta peninggalan), sebagai
Imbalannya dari harta yang
telah diambilnya atau sebab lainnya. Dengan kata lain apabila
para
ahli waris mengadakan perdamaian
dengan jalan mengeluarkan sebagian ahli dari
haknya
atas bagian harta warisan dengan imbalannya menerima sejumlah harta tertentu, dari harta warisan atau harta lain disebut juga takharuj (tashaluh).[3]
Pembagian harta warisan telah mendapat dasar hukum yang kuat dengan
adanya
Undang-undang
Nomor
7
tahun
1989 tentang Peradilan
Agama,
dan Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Di dalam pasal 49 Undang-undang tersebut ditentukan
bahwa Pengadilan Agama berwenang
mengadili perkara warisan
orang
Islam.
B. PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Takharuj
Secara arti kata, takharuj berarti saling keluar. Dalam arti
terminologis biasa diartikan keluarnya seorang atau lebih dari kumpulan ahli
waris dengan penggantian haknya dari
salah seorang diantara
ahli waris lainnya.[4]
Al-Takharruj pada perinsipnya merupakan salah satu bentuk pembagian
harta warisan secara damai berdasarkan musyawarah antara para ahli waris. Al-Takharuj
adalah pengunduran diri seorang ahli waris dari hak yang dimilikinya, dan hanya
meminta imbalan berupa sejumlah uang atau barang tertentu dari salah seorang
ahli waris lainnya.[5]
Jadi, takharuj adalah suatu perjanjian damai antar para ahli waris
atas keluarnya atau mundurnya salah
seorang ahli waris atau sebagaian ahli waris untuk tidak menerima hak bagiannya
dari harta warisan peninggalan pewaris dengan syarat mendapat imbalan tertentu
berupa sejumlah uang atau barang dari ahli waris lain.
Pengertian perdamaian menurut KUH Perdata Pasal 1851 menyebutkan,
perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah
pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan
atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang
bergantung atau pun mencegah timbulnya suatu perkara.
2.
Dasar Hukum
Takharuj
Kebolehan pembagaian harta warisan secara damai
didasarkan pada atsar sahabat sebagai berikut:
عن ابي يوسف عمن حدثه عن عمرو ابن دينار عن عباس ان احدي نساء عبد
الرحمن بن عوف صلحوها على ثلاثة وثامنين
الفا على ان اخرجوها من ميرث
Dari Abi Yusuf dari
seorang yang menceritakan kepadanya, dari Amru bin Dinar dari
ibnu
Abbas: Salah seorang istri Abdurrahman bin Auf diajak berdamai oleh para ahli waris terhadap harta sejumlah delapan puluh tiga ribu dengan mengeluarkannya dari
pembagian harta warisan.[6]
‘Umar ibnu al-Khaththab r.a. suatu saat memberikan nasihat kepada kaum muslimin:
ردالقضى بين
ذاوالارحام حتى يصطلح فان الخطاب يرث الضغين
“Ruddu al-qadla baina dzawi al-arham hatta
yasthalihu fa inna al-khitab yuritsu al-daghain”
yang artinya:
"Kemabalikanlah
penyelesaian perkara diantara keluarga, sehingga mereka dapat mengadakan
perdamaian, karena sesungguhnya penyelesaian dengan keputusan pengadilan itu
menimbulkan perasaan tidak enak".[7]
أن يتصا لح الو ر ثة على إ خرا ج بعضهم عن نصيبه
في ا لميرا ث نظير شيء معين من التر كة أ و من غيره .
Perjanjian atau perdamaian para ahli waris
atas keluarnya/mundurnya sebagian mereka dalam (menerima) bagiannya dalam
pewarisan dengan memberikan suatu prestasi/imbalan tertentum baik (imbalan itu)
dari harta peninggalan maupun dari yang lainnya (Yusuf Musa, 1959:374).[8]
Selain itu, dasar hukumnya
adalah analogi terhadap perjanjian jual beli dan perjanjian tukar menukar
barang yang syarat kebolehannya adalah adanya keridhaan (kerelaan)
masing-masing pihak yang mengadakan trasanksi.
Hal tersebut didasarkan pada Q.S. al-Nisa/4: 29 sebagai berikut:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ
إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ
أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.
3. Praktik Penyelesaian Takharuj
Dalam pelaksanaan
penyelesaian secara takharuj
dapat berlaku dalam tiga bentuk :
·
Pertama,
kesepakatan dua orang diantara ahli waris untuk keluarnya salah seorang dari
pembagian warisan dengan imbalan tertentu yang diberikan oleh pihak lain dari
hartanya sendiri.[9]
·
Kedua,
kesepakatan seluruh ahli waris atas keluarnya salah seorang di antara mereka
dari kelompok penerima warisan, dengan imbalan yang dipikul bersama dari harta
mereka di luar hak yang mereka terima dari harta warisan.[10]
·
Ketiga,
kesepakatan semua ahli waris atas keluarnya salah seorang di antaranya dari
kelompok penerima warisan dengan imbalan tertentu dari harta peninggalan itu
sendiri.[11]
Bila
diperhatikan, bentuk ketiga ini terlihat bahwa masalahnya berbeda dengan dua
bentuk sebelumnya karena
ahli waris menempuh
cara pembagian yang menyimpang dari yang ditentukan dalam hukum
kewarisan dan ada kemungkinan lebih atau kurang dari hak yang semestinya
diterima.
Walaupun pembagian warisan
dalam bentuk tahkaruj
dibenarkan dalam Islam namun
praktik pembagiannya harus
tetap memenui syarat-syarat. Diantara
syarat-syarat pentingnya adalah
harus ada kecakapan hukum yang didasarkan atas kerelaan
penuh dari pihak-pihak yang terlibat dalam warisan. Hal ini menjadi keharusan
karena dalam pembagian warisan dalam bentuk takharuj ada pihak-pihak yang akan
menggugurkan atau mengorbankan haknya baik keseluruhan maupun sebagian. Dalam
menggugurkan hak milik diperlukan kecakapan untuk bertindak secara hukum.[12]
Penyelesaian
secara takharuj adalah bentuk tindakan kebijaksanaan yang hanya digunakan dalam
keadaan tertentu, bila kemaslahatan dan keadilan menghendakinya. Hal ini
dilakukan tanpa sama sekali menghindarkan diri dari ketentuan yang ditetapkan
oleh Allah SWT. dengan cara ini suatu kesulitan
dalam pemecahan persoalan pembagian
warisan dalam keadaan tertentu dapat diselesaikan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal
183 disebutkan:
·
Para
ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan,
setelah masing-masing menyadari bagiannya.
·
Pasal
tersebut menjadi acuan dalam pembagian warisan secara damai dengan
mengedepankan kerelaan bersama, walaupun pasal ini mengakibatkan pembagian
warisan yang berbeda dari petunjuk pembagian warisan yang telah ditentukan
dalam Bab III Kompilasi Hukum Islam namun hal ini tetap dibenarkan demi
tercapainya kemaslahatan diantara para ahli waris.
Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam
pembagian warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya. [13]
Contoh 1:
Seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris terdiri
atas: isteri, ibu, dan seorang saudara laki-laki sekandung. Harta yang
ditinggalkan berupa tanah seluas 24 ha. Saudara laki-laki mengadakan takharuj
dengan ibu, dengan perjanjian saudara laki-laki sekandung mengundurkan diri
dari penerimaan warisan sebagai suatu tegen-prestasi atas sejumlah uang
yang diberikan ibu kepadanya.
- Pembagian
sebelum takharuj:
-
Isteri
: ¼ :
3
-
Ibu :
1/3 a.m:
12 : 4
-
Saudara lk sekandung : ‘a :
5
12
-
Isteri : mendapat 3/12 x 24 ha = 6 ha
-
Ibu :
mendapat 4/12 x 24 ha = 8 ha
-
Sdr lk skdg : mendapat 5/12 x24 ha = 10 ha
- Pembagian
sesudah takharuj
Karena saudara laki-laki mengadakan takharuj dengan ibu,
maka bagiannya diberikan kepada ibu. Sehingga bagian mereka setelah takharuj
sebagai berikut:
Isteri mendapat 6 ha.
Ibu mengdapat 8 ha. + 10 ha. = 18 ha.
Contoh 2:
Seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan seorang seorang
suami, anak permpuan, ibu, dan seorang saudara laki-laki sebapak. Harta
peninggalan berupa sebuah rumah dan uang sebesar 48.000.000.00. Para ahli waris
mengadakan takharuj, dengan perjanjian anak perempuan mengundurkan diri
dan kepadanya diberikan sebuah rumah.
- Pemabagiian
sebelum takharuj:
-
Anak
perempuan : ½ : 6 (diberikan rumah)
-
Suami
: ¼ a.m. 12 : 3
-
Ibu :
1/6 :
2 = (Rp.48.000.000,00)
-
Sdr lk sebapak : ‘a :
1
12
- Pembagian
sesudah takharuj:
-
Anak perem perempuan diberikan rumah
-
Suami : 3 à 3/6 x Rp. 48.000.000,00 = Rp. 24.000.000,00
-
Sdr lk sebapak : 2 à 2/6 x Rp. 48.000.000,00 = Rp. 16.000.000,00
Contoh 3:
Seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan seorang isteri, anak
perempuan, dan bapak. Harta yang ditinggalkannya berupa sawah seluas 16 ha.
Para ahli waris mengadakan takharuj, dengan perjanjian bapak yang
mengundurkan diri dengan mendapat imbalan atau tegen-prestasi sebesar
Rp. 5.000.000,00 dari isteri dan anak perempuan (masing-masing Rp.
2,5.000.000,00).
- Pembagian
sebelum takharuj:
-
Isteri
: 1/8 :
1
-
Anak : ½ a.m.
8 : 4
-
Bapak : ‘a :
3
8
- Pembagian
sesudah takharuj:
Karena
bapak megadakan takharuj dengan isteri dan anak perempuan, maka bgiannya
diberikan kepada mereka (sesuai perbandingan jumlah yang mereka berikan kepada
bapak). Sehingga bagian mereka setelah takharuj sebagai berikut:
Bapak : mendapat Rp. 5.000.000,00
(dibayar oleh isteri dan anak perempuan)
Isteri : mendapat 2 ha + ½ x 6 ha. = 5
ha.
Anak pr : mendapat 8 ha + ½ x 6 ha. =11 ha.
4. Pembagian Waris Secara Damai Di
Pengadilan Agama
Penyelesaian
sengketa melalui perdamaian jauh lebih efektif dan efisien. Sebenarnya sejak
semula Pasal 130 HIR (herzein inlandsch reglement) maupun Pasal 154 RBG (rechtreglement
voor de buitengewesten) mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui
jalan damai.
Pasal 130 ayat
(1) dan (2) HIR berbunyi:
·
Jika
Pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka Pengadilan Negeri
dengan bantuan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.
·
Jika
perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, dibuat
sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan
menaati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan
dijalankan sebagai putusan yang biasa.[14]
Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA RI.) nomor 1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan. Pembagian
harta warisan dapat
dilakukan dengan jalan
damai diantara para ahli waris. Pelaksanaan pembagian warisan secara
damai setelah terjadi sengketa pada Pengadilan Agama, dapat ditempuh dengan dua
cara, yaitu:
1) Dilakukan atau diupayakan oleh
mediator yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa, baik dari mediator dari
kalangan hakim maupun dari mediator kalangan luar hakim.
2) Dilakukan atau diupayakan oleh
majelis hakim yang menangani perkara yang bersangkutan.
Proses mediasi
di Pengadilan Agama
umumnya dipimpin oleh mediator dari kalangan hakim yang
dipilih oleh para pihak yang berperkara karena belum ada pihak luar yang
memenuhi syarat menjadi mediator. Tenggang
waktu yang diberikan
kepada mediator untuk
melaksanakan proses mediasi adalah selama empat puluh hari, dan dapat
ditambah lima belas hari lagi jika dibutuhkan. Mediator yang memimpin upaya
perdamaian wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan
para pihak dan mencari berbagai pilihan penyelesaian terbaik bagi para pihak
yang bersengketa.
Apabila terjadi
perdamaian, mediator merumuskan
isi kesepakatan para pihak yang
bersengketa dan dibuat akte perdamaian. Setelah akte perdamaian selesai dan
dibacakan kepada para pihak, mediator melaporkan hasil kesepakatan yang telah
dibuat kepada majelis hakim yang menangani perkara tersebut. Majelis hakim yang
menerima laporan perdamaian dari mediator, membacakan hasil perdamaian tersebut
dan dimasukkan dalam
putusan akhir.
Prinsip kewarisan
Islam sangat penting
dipahami oleh mediator sebagai pegangan ketika menjembatani
para pihak yang bersengketa dalam masalah waris. Meskipun mediator tidak
memahami dengan sempurna ketentuan pembagian dan cara membagikan harta warisan,
namun prinsip kewarisan ini harus
dipahami dengan baik,
karena dapat membuka kesempatan para
pihak untuk menyelesaikan sengketa kewarisan mereka.
Mediator dalam
melakukan mediasi sengketa waris dapat melakukan beberapa hal sebagai berikut:
a. Mediator meyakinkan para pihak yang
bersengketa bahwa ia benar-benar ingin membantu ahli waris dalam menyelesaikan
sengketa dan tidak ada kepentingan apapun terhadap sengketa tersebut. Hal ini
penting dalam rangka menumbuhkan kepercayaan para ahli waris terhadap mediator.
Kepercayaan yang dimiliki mediator akan memudahkan baginya melakukan upaya
mediasi lanjut.
b. Mediator memetakan
faktor-faktor penyebab terjadinya
sengketa waris. Pemetaan ini dilakukan setelah para pihak yang
bersengketa duduk dan bertemu satu
sama lain yang difasilitasi oleh
mediator. Pada pertemuan tersebut mediator meminta pihak yang bersengketa
mengungkapkan dengan jelas dan lengkap faktor penyebab terjadinya sengketa.
Penyebab terjadinya sengketa waris semestinya diketahui oleh mediator, guna
menyusun langkah-langkah selanjutnya dalam mediasi.
c. Berdasarkan faktor
penyebab terjadinya sengketa
waris, mediator dapat menyusun
pertemuan lanjutan dengan meminta para pihak mengungkapkan keinginan dan
kepentingan yang ingin diperoleh dari penyelesaian sengketa waris. Dalam
pertemuan ini mediator dapat
meminta ahli waris untuk menyampaikan kemungkinan-kemungkinan penyelesaian
sengketa waris yang mereka alami. Pada posisi ini, mediator tidak menawarkan
jalan keluar, tetapi memberi kebebasan bagi para pihak menemukan jalan sendiri,
agar kesepakatan damai dapat terwujud.
d. Bila
mediator menemukan salah
satu pihak tidak
bersedia menyampaikan keinginan dan kepentingannya, maka mediator dapat
mengadakan kaukus. Dalam kaukus, mediator dapat bertemu secara terpisah dengan
masing-masing pihak, sehingga mereka dapat leluasa mengungkapkan kepentingan
masin-masing.
e. Mediator yang telah mendapatkan
informasi lengkap tentang keinginan dan
kepentingan masing-masing
pihak selanjutnya
mengkomunikasikan keinginan dan kepentingan tersebut dari satu pihak kepada
pihak lain.
f. Jika keinginan dan kepentingan
masing-masing pihak sudah dipahami satu sama lain, maka mediator dapat mengajak
para pihak untuk membuat kesepakatn-kesepakatan. Bila para pihak yang
bersengketa tidak menemukan kesepakatan, maka mediator dapat mengajukan tawaran kesepakatan
kepada pihak yang
bersengketa. Keputusan akhir menerima atau menolak kesepakatan yang
ditawarkan mediator secara penuh tergantung kepada pihak-pihak yang bersengketa
dalam masalah kewarisan.[15]
MEDIATOR PENGADILAN AGAMA SAMARINDA
BERHASIL MENDAMAIKAN SENGKETA TANAH WARISAN SELUAS 80.000 METER PERSEGI ( 8
HEKTAR)
Created on Rabu, 29 Oktober 2014
01:31
Rabu, 29 Oktober 2014 01:31
Alhamdulillah dengan kesungguhannya
mengupayakan perdamaian antara Para Penggugat sebanyak 3 orang bersaudara
dengan Para Tergugat sebanyak 5 orang bersaudara dalam sengketa tanah warisan
seluas 80.000 meter persegi, yang merupakan harta peninggalan ayah Para
Penggugat dan Juga ayah Para Tergugat, hanya saja berbeda ibu, karena semasa
hidup sang ayah memiliki 2 orang istri, yakni ibu para penggugat dan ibu para
tergugat, Mediator (Hakim) Pengadilan Agama Samarinda ini kembali berhasil
mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa untuk sama-sama menanda tangani
Surat Perdamaian yang dikuatkan dengan Akta Perdamaian, meskipun saat terjadinya
mediasi ada diantara para pihak yang walk out meninggalkan ruang mediasi
kemudian bisa masuk dan duduk bersama melanjutkan mediasi dan ada pula yang
menangis karena menyadari tetap menjalin hubungan silaturahim itu lebih penting
dari hanya sekedar berebut harta warisan;
Mediator (Hakim) Pengadilan Agama
Samarinda ini sebelumnya selama bertugas sejak September 2013 yang lalu, juga
sudah banyak (lebih dari 10 perkara) berhasil mendamaikan sengketa yang
ditanganinya baik ketika dia menjadi mediator maupun ketika menjadi Hakim
(Ketua Majelis C1, C2 dan atau anggota majelis B) dari berbagai jenis Perkara
seperti Perceraian, Gugatan Harta Bersama dan Gugatan Waris
Sesungguhnya tidak semua
mediator/Hakim, dengan mudah berhasil mendamaikan para pihak yang bersengketa,
karena pada dasarnya orang yang bersengketa di Pengadilan Agama adalah mereka
yang sudah menemui jalan buntu dalam menyelesaikan masalah diantara mereka, hal
tersebut dapat dilihat dari beberapa faktor sebagai berikut :
Faktor –faktor ketidak berhasilan,
antara lain:
Mediator ketika mengupayakan perdamaian masih menganggap dirinya sebagai
hakim yang mencari bukti-bukti pembenaran / kewajaran kenapa para pihak
mempertahankan argumen-argumen merereka; sehingga
Mediator terlalu subyektif memihak salah satu pihak;
Mediator tidak dapat memberikan solusi, atau ketika memberikan solusi
tidak sampai kepada akar atau pokok permasalahan yang melatar belakangi
sengketa;
Mediator tidak sungguh-sungguh dalam melakukan mediasi , kecuali hanya
sekedar melaksanakan tugas / perintah berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
saja;
Mediator tidak menyadari bahwa upaya mediasi yang dilakukan adalah
bagian dari amal shalih jika diniatkan dengan ikhlas semata-mata untuk berupaya
mendamaikan orang-orang yang bersengketa;
Faktor-faktor keberhasilan, antara
lain :
Mediator harus menyadari bahwa upaya mediasi yang dilakukan adalah
bagian dari amal shalih jika diniatkan dengan ikhlas semata-mata untuk berupaya
mendamaikan orang-orang yang bersengketa;
Mediator harus sungguh-sungguh secara maksimal memberikan solusi kepada
para pihak yang bersengketa untuk menemukan kesepakatan perdamaian dengan
solusi yang nyata membantu membuatkan surat perdamaian, jika para pihak tidak
bisa membuat sendiri surat perdamaian , atau jika para pihak sendiri telah
menemui jalan buntu;
Mediator harus menjadikan mediasi sebagai ladang dakwah, amar ma’ruf dan
nahi munkar kepada para pihak yang bersengketa, dan tidak perlu kecewa apalagi
sakit hati ketika para pihak tidak berhasil didamaikan, karena tugas mediator
hanyalah mengarahkan dan membantu memecahkan persoalan diantara para pihak yang
bersengketa;
Mediator dan para pihak berada di ruangan (sarana dan Prasarana) yang
aman dan nyaman;
Mediator ketika menjalankan mediasi (mencari Solusi) harus meninggalkan
statusnya sebagai hakim (mencari bukti);
Berikut ini adalah contoh Asli Surat
Perdamaian yang dibuatkan oleh Mediator tersebut:
BISSMILLAH
SURAT PERDAMAIAN
Pada hari ini Selasa, tanggal 21
Oktober 2014 Masehi, bertepatan dengan tanggal 25 Zulhijah 1435 Hijriyah; Kami
yang bertanda tangan di bawah ini :
Anonim, sebagai Penggugat I;
Anonim, sebagai Penggugat II;
Anonim, sebagai Penggugat III;
Selanjutnya Penggugat I, Penggugat
II dan Penggugat III disebut Pihak Pertama;
Dan :
Anonim, sebagai Tergugat I;
Anonim, sebagai Tergugat II;
Anonim, sebagai Tergugat III;
Anonim, sebagai Tergugat IV;
Anonim, sebagai Tergugat V;
Selanjutnya Tergugat I sampai dengan
Tergugat V disebut sebagai Pihak Kedua;
Serta :
Drs. Tamimudari, M.H., Hakim
Pengadilan Agama Samarinda, sebagai MEDIATOR;
Menerangkan :
Bahwa Pihak Pertama dan Pihak Kedua
telah bersepakat untuk mengakhiri sengketa mengenai Gugatan pembagian harta
warisan sebagaimana dalam surat gugatan penggugat tertanggal 15 september 2014,
yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Samarinda dengan Nomor Perkara
1423/Pdt.G/2014/PA.Smd. dengan damai, dan untuk hal-hal tersebut telah
mengadakan persetujuan sesuai dengan Surat Perdamaian, bertanggal 21 September
2014, yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa Pihak Pertama dan Pihak Kedua
sepakat bahwa semasa hidup almarhum Anonim mempunyai harta peninggalan berupa
sebidang tanah yang berukuran 4 x 2 Hektar yang berjumlah 8 Hektar dengan
ukuran lebar 80 (delapan puluh) meter dan panjang 1000 (seribu) meter, sehingga
luasnya sama dengan 80.000 (delapan puluh ribu) M persegi, yang terletak di
Gunung Cermin Sempaja, Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan Samarinda Utara,
Kota Samarinda yang diukur oleh Yayasan Satria Samarinda pada tanggal 30 Juni
1978, dan surat-surat tanda kepemilikannya ada pada pihak Pertama;
Bahwa Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat
bahwa harta peninggalan almarhum Anonim tersebut, dibagikan kepada para pihak
sebagai ahli waris dengan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Surah An Nisa
Ayat (11) dan Kompilasi Hukum Pasal 176, yakni bagian seorang anak laki-laki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan;
Bahwa Pihak Pertama dan Pihak Kedua
sepakat bahwa semua anak laki-laki dari almarhum Anonim akan mengurangi bagian
yang diterimanya masing sebanyak 2 (dua) meter x 1000 (seribu) meter untuk
pembuatan jalan ditengah-tengah tanah yang merupakan harta peninggalan almarhum
Anonim tersebut, sehingga ditengah-tengah tanah yang merupakan harta
peninggalan almarhum Anonim tersebut terdapat jalan dengan lebar 8 (delapan)
meter dan panjang 1000 (seribu) meter, sehingga perhitungannya adalah sebagai
berikut :
a. Anonim, sebagai anak laki-laki
mendapat 2/12 X 80.000 = 13.333,3333 - 2000 = 11.333,3333 Meter persegi;
b. Anonim, sebagai anak perempuan
mendapat 1/12 X 80.000 = 6.666,66667 Meter persegi;
c. Anonim, sebagai anak laki-laki
mendapat 2/12 X 80.000 = 13.333,3333 - 2000 = 11.333,3333 Meter persegi;
d. Anonim, sebagai anak perempuan
mendapat 1/12 X 80.000 = 6.666,66667 Meter persegi;
e. Anonim, sebagai anak laki-laki
mendapat 2/12 X 80.000 = 13.333,3333 - 2000 = 11.333,3333 Meter persegi;
f. Anonim, sebagai anak perempuan
mendapat 1/12 X 80.000 = 6.666,66667 Meter persegi;
g. Anonim, sebagai anak laki-laki
mendapat 2/12 X 80.000 = 13.333,3333 - 2000 = 11.333,3333 Meter persegi;
h. Anonim, sebagai anak perempuan
mendapat 1/12 X 80.000 = 6.666,66667 Meter persegi;
Bahwa Pihak Pertama dan Pihak Kedua
sepakat bahwa Denah atau lokasi serta ukuran tanah yang menjadi bagian dan hak
masing-masing ahli waris dari almarhum Anonim adalah sebagai berikut :
bissmillah5. Bahwa Pihak Pertama dan
Pihak Kedua berjanji saling tolong menolong dalam hal penyelesaian atau
pengurusan atau pembuatan surat-surat (balik nama) kepemilikan harta
peninggalan yang dibagi tersebut di atas untuk masing-masing ahli waris;
6. Bahwa dengan ditanda–tanganinya
Surat perdamaian ini, maka permasalahan antara Pihak Pertama dengan Pihak Kedua
sebagaimana telah terdaftar dibawah perkara perdata No. 1423/Pdt.G/2014/PA.Smd.
tertanggal 15 September 2014 tentang Gugatan Pembagian Harta Warisan dinyatakan
telah SELESAI SECARA DAMAI DAN KEKELUARGAAN dan Pihak Pertama dengan Pihak
Kedua berjanji untuk tidak akan tuntut menuntut lagi baik sekarang maupun
dikemudian hari baik secara perdata maupun pidana;
7. Bahwa Pihak Pertama dan Pihak
Kedua sepakat agar isi kesepakatan surat Perdamaian ini mengikat dan dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya, memohon kepada Ketua Pengadilan Agama
Samarinda / Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini agar dikokohkan dalam
bentuk Putusan;
Demikian Surat Perdamaian ini dibuat
dengan sebenarnya, dalam keadaan pikiran sehat, tenang serta tanpa ada paksaan
dari siapapun agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya dan Semoga Allah SWT
memberkahinya. Amin.
Ttd.
Pihak Pertama,
Ttd.
Pihak Kedua,
Para Penggugat
Para Tergugat
MEDIATOR,
Ttd.
Drs. Tamimudari, M.H.
C. Penutup
1. Simpulan
Dalam
pembagian warisan, terkadang seorang ahli waris yang bukan mahjub dan bukan
mamnu, tidak menerima bagian. Bagian yang seharusnya mereka terima dalam
pewarisan itu diberikan kepada seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya
sesuai dengan perjanjian yang mereka lakukan. Perjanjian pengoperan pembagian
seorang atau beberapa orang ahli waris kepada seorang atau beberapa orang ahli
waris lainnya disebut at-Takharuj. Perjanjian itu disebut at-Takharuj karena
adanya mutakharaj (متخر ج (, yaitu pihak yang diundurkan, setelah
diberi prestasi atau imbalan oleh soerang atau beberapa orang ahli waris
lainnya.
Oleh
karena itu, sebagai seorang muslim kita wajib mempelajari Fiqh Mawarist yang
bertujuan untuk mencegah perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta waris,
sehingga orang yang memperalajarinya mempunyai kedudukan tinggi dan mendapatkan
pahala yang besar. Ini dikarenakan ilmu faraidh merupakan bagian dari ilmu-ilmu
Qur’ani dan produk agama.
Daftar Pustaka
Ø Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia. (Gunung Djati
Bandung.2001)
Ø Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam,
(Jakarta : Gema Insani Press,1996)
Ø Amir Syarifuddin, 2008, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta:
Kencana.
Ø Harijah Damis. Memahami Pembagian Harta Warisan Secara Damai.
Al-Itqon. 2012. Jakarta.
Ø Ahmad rofiq. fiqh mawaris.Jakarta. PT.Rajagrafindo persada.
2012, hlm. 201
Ø Fiqh mawaris hukum kewarisan Islam, Jakarta, 1997, gaya media pratama, drs. H. Suparman Usman, sh, drs. Yusuf Somawinata
Ø Satria Effendi, 2010, Problematika Hukum Keluarga Islam
Kontemporer (Jakarta: Prenamedia),
Ø R.Soesilo, 1985, RIB/HIR Dengan Penjelasan (Bogor, Politeia),
[1] Habiburrahman,
Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. (Gunung Djati Bandung.2001) hlm.1
[2] Muhammad Ali
Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta : Gema Insani
Press,1996) hlm.141
[3] Ibid.
[4] Amir
Syarifuddin, 2008, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, hlm.297
[5] Op.cit.
[6]
Harijah Damis. Memahami Pembagian Harta Warisan Secara Damai. Al-Itqon. 2012.
Jakarta. Hlm. 124
[7]
Ahmad rofiq. fiqh mawaris.Jakarta. PT.Rajagrafindo persada. 2012, hlm. 201
[8] Fiqh
mawaris hukum kewarisan Islam, Jakarta, 1997, gaya media pratama, drs. H.
Suparman Usman, sh, drs. Yusuf Somawinata
[9] Amir
Syarifudin. Op.cit. hlm. 300
[10] Ibid. hlm. 301
[11] Ibid.
hlm. 301
[12] Satria
Effendi, 2010, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta:
Prenamedia), hlm.
343.
[13] Amir
syarifudin, op.cit. hlm. 302
[14] R.Soesilo,
1985, RIB/HIR Dengan Penjelasan (Bogor, Politeia), hlm.88
[15] Harijah Damis.
Op.cit. hlm.129
0 komentar:
Post a Comment