Sumber: Youtube.com/
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TERORISME DUNIA MAYA DI INDONESIA
Sumber: Google.com
1.
Pendahuluan
Terorisme kini berkembang
lebih cepat seiring dengan cepatnya perkembangan teknologi, hingga sistem
perkembangan gerakan masif dalam kejahatan pidana terorisme bukan lagi pada
bentuk konsep konvensional dalam sebaran kebencian pada pemerintahan yang
berdaulat saja, tapi banyak mencederai dan merusak kehidupan kemanusiaan dalam
konsep pemikiran radikalisme dan berkembang menjadi radikalisasi. Perkembangan
teknologi terjadi dengan pesat dan tanpa batas (borderless) membawa dampak pada
setiap orang dalam proses interaksi kehidupannya.
Perkembangan teknologi
tersebut terkait dengan penggunaan teknologi informasi yang bergerak
menggunakan sistem internet conection network. Aspek perkembangan terhadap
kemanfaatan internet itu memasuki ruang lini kehidupan masyarakat tanpa
mengenal strata yang hidup dalam tatanan bentuk kehidupan masyarakat yang telah
lama berjalan dengan keteraturan norma dan nilanya. Konsekuensi terjadinya
perkembangan teknologi dengan dunia internet itu menuai dampak negatif dan positif
dalam proses pergaulan internasional dengan menggunakan desaign teknologi
internet di dalam penggunaan ruang maya.
Dampak positif yang ada
terjadi dalam ruang kehidupan nyata adalah mempermudah percepatan komunikasi
dan informasi yang ada dalam kelanjutan capaian pada sasaran yang dituju.
Kehidupan sosial begitu dinamis dalam pemerataan informasi dengan berbagai
peristiwa yang terjadi diberbagai belahan dunia dapat diketahui dalam hitungan
detik. Namun sebaliknya berbagai peristiwa tadi yang terjadi diantaranya adalah
peristiwa akibat dari perilaku dan perbuatan hukum yang menyimpang dari
kelaziman manusia, dengan menggunakan media sosial sebagai alat untuk
menggerakan maksud dan mencapai tujuan negatifnya, misal gerakan masif
menyebarkan ideologi dari kelompok radikalisasi yang menginginkan orang percaya
bahwa gerakan yang dilakukannya adalah benar, setelah itu melakukan tindak
lanjut dengan memberikan pandangan bahwa pemerintahan yang sah dan berdaulat
perlu dihancurkan dengan suatu gerakan tindakan nyata di luar ruang cyber
dengan memberikan ancaman tekanan yang menimbulkan ketakutan pada semua orang
atau yang dikenal dengan teror.
Kondisi tersebut yang
terjadi dalam era globalisasi yang mulai hadir di Abad ke-20 tepatnya saat
terjadi revolusi elektronika yang memudahkan seluruh transaksi dan interaksi
kehidupan manusia. Akhirnya dunia dapat menyatu dan saling tahu dan terbuka
serta saling bergantung satu sama lain. Di dalam situasi itu pergerakan
kemajuan teknologi itu melahirkan penggabungan komputer dengan telekomunikasi
yang menghadirkan fenomena teknologi yang sangat mengagumkan yaitu mengubah
konfigurasi desain komunikasi dari konvensional ke sistem digital.
Dalam hal ini terjadi 3
(tiga) proses hingga mencapai dunia virtual yang menjadi nyata. dimensi pertama
adalah kenyataan keras pada kehidupan empiris (biasa disebut hard reality),
dimensi kedua merupakan kenyataan dalam keadaan simbolik dan nilai-nilai yang
dibentuk (dipadankan dengan sebutan soft reality), maka dengan dimensi ketiga
dikenal kenyataan maya (virtual reality) yang melahirkan suatu format
masyarakat lainnya.[1]
Terkait dengan hal
tersebut di atas dengan kemajuan teknologi yang tertuju pada kemajuan
telekomunikasi, multimedia dan teknologi informasi (telematika) yang akhirnya
memberikan dampak perubahan pada tatanan organisasi dan hubungan masyarakat,
karena tidak dapat dihindari fleksibilitas dan kemampuan telematika dengan
cepat memasuki berbagai aspek kehidupan manusia.
Kemajuan teknologi dengan
penemuan internet merupakan satu penyebab terjadinya perubahan sosial dan
penyebab terjadinya pertentangan dalam masyarakat diantaranya adalah revolusi
dalam ruang masyarakat, sebagaimana juga dikatakan Satjipto Raharjo : [2]Dalam kehidupan manusia
banyak alasan yang dapat dikemukakan sebagai penyebab timbulnya suatu perubahan
di dalam masyarakat, tetapi perubahan dalam penerapan hasil-hasil teknologi
modern dewasa ini banyak disebut-sebut sebagai salah satu sebab bagi terjadinya
perubahan sosial.
Sejalan dengan hal di
atas Soerjono Soekanto [3]mengatakan bahwa kemajuan
di bidang teknologi akan berjalan dengan munculnya perubahan-perubahan di
bidang kemasyarakatan. Perubahan-perubahan itu dapat mengenai nilai sosial,
kaidah-kaidah sosial, pola-pola perikelakuan, organisasi dan susunan lembagai kemasyarakatan.
Kemajuan teknologi
membawa tuntutan tersendiri dalam kehidupan masyarakat dalam ketentuan
kebutuhan masyarakat, pemerintah dan regulasi yang mengatur kehidupan dalam
ruang terbuka atas penggunaan teknologi informasi yang berkembang dan membawa
dampak perubahan perilaku budaya hukum dengan sebuah pertanggungjawaban dalam
pola hukum baru. Kenyataan itu adalah dengan penegakan hukum terhadap banyaknya
tindak kejahatan yang kini mulai bergerak dan dilakukan dari ruang cyber.
Pengaruh dari penggunaan
media internet dan dengan pola komunikasi yang semakin aktif di berbagai bentuk
media sosial semakin membuka kreatifitas pola perilaku budaya hukum yang
menyimpang dari bentuk pola kejahatan konvensional. Beberapa jenis tindak
pidana semakin mudah dilakukan, bahkan yang terjadi semakin banyak tindak
pidana dilakukan atas nama kebebasan tanpa batas di ruang maya tersebut.
Sebut saja semakin tinggi
angka kejahatan pencemaran nama baik, pornografi, prostitusi, pembobolan
rekening, perusakan jaringan cyber (hacking), sampai dengan penanaman ideologi
melalui tindakan komunikasi dengan hate speech terhadap pemerintahan berdaulat,
bahkan kejahatan terorisme dari ruang maya itu terus berkembang dengan pola
yang beragam. [4]
Kejahatan cyber
belakangan sangat dikenal dalam bentuk kejahatan model baru dewasa ini.
Kejahatan cyber terkait dengan perubahan perilaku budaya hukum yang menyentuh
setiap orang dalam interaksi sosial akibat dari pesatnya penggunaan teknologi
informasi.
Secara umum kejahatan
yang dilakukan di dunia cyber dimengerti sebagai [5]: upaya memasuki dan atau
menggunakan fasilitas komputer atau jaringan komputer tanpa ijin dan dengan
melawan hukum dengan atau tanpa menyebabkan perubahan dan atau kerusakan pada
fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan tersebut.
Pada dasarnya cyber crime
meliputi semua tindak pidana yang berkenaan dengan informasi, sistem informasi
(information system) itu sendiri, serta sistem komunikasi yang merupakan sarana
untuk penyampaian/pertukaran informasi itu kepada pihak lainnya
(transmitter/originator to recipient). Tindak pidana di ruang maya itu yang
populer disebut sebagai cyber crime di dalam literatur juga dikenal istilah
computer crime.
Pendapat lain seperti
Organization for Economic Cooperation Development (OECD) [6]juga mengemukakan istilah
computer related crime yang berarti: “Any illegal, unethical or unauthorized
behavior involving automatic data processing and/or transmission data”. Ada
beberapa kategori tindak pidana yang masuk dalam cyber crime yang dipandang
merupakan extra ordinary crime oleh karena bentuk kejahatannya yang masuk pada
unsur kejahatan yang terorganisir dan melewati batas negara yaitu cyber
terrorism.
Aksi terorisme yang marak
belakangan ini ditenggarai merupakan hasil giat masif dari ruang cyber.
Kejahatan berkaitan dengan ideologi dan pencucian otak (brain wash) mengenai
paham negara dan perekrutannya dengan melakukan komunikasi aktif menggunakan
alat teknologi, menjadi kegiatan utama yang digerakan kepentingan kelompok
radikalisasi untuk melakukan aksinya. Contoh nyata yang dapat kita lihat saat
ini adalah organisasi Radikal IS atau yang lebih dikenal dengan ISIS (Islamic
State of Iraq and Syam/Syria) menggunakan jejaring media sosial untuk merekrut
anggota baru dan terus secara kuat mempublikasikan keberadaan kelompoknya
sebagai kekuatan negara baru yang akan memimpin kekhalifahan di muka bumi dan
dengan berbagai cara melakukan aksi teror melalui dunia maya.
Indonesia sebagai negara hukum berupaya
membuat regulasi dalam penanganan kejahatan teknologi informasi khususnya dalam
pengelolaan informasi dan transaksi elektronik beserta infrastruktur dan
pengaturannya. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik [7]diharapkan dapat mengatasi
berbagai kejahatan cyber, dan dikuatkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme[8]. Kebijakan pemerintah akan
diperkuat lagi dengan beberapa Pasal yang termuat dalam RUU KUHP yang baru
,semua dilakukan pemerintah untuk menjaga keamanan Negara dan melindungi warga
negaranya dari tindakan kejahatan terorisme yang diwujudkan di ruang nyata.
2.
Pembahasan
2.1 Penggunaan Teknologi
Informasi dan Perubahan Perilaku Budaya Hukum
Masyarakat Indonesia
memasuki pergaulan Internasional melalui media internet dengan berbagai pola
komunikasi dalam kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi informasi itu ditandai
dengan kehadiran perangkat keras bernama komputer dan perangkat lunak program
internet. Definisi komputer dari Institut Komputer Indonesia [9]adalah suatu rangkaian peralatan
dan fasilitas yang bekerja secara elektronik, dibawah kontrol suatu sistem
pengoperasian (operating system) untuk melaksanakan pekerjaan berdasarkan
rangkaian instruksi yang disebut program, serta mempunyai media penyimpanan di
dalam mesin (internal storage) yang digunakan untuk menyimpan operating system,
program dan data yang diperoleh.
Sementara itu internet merupakan program atau
perangkat lunak (software) yang membentuk sistem pengoperasian (oeprating
system) dan peralatan itu digunakan sebagai alat proses data elektronik,
magnetik, optikal, untuk melaksanakan fungsi logika, aritmetika, penyimpanan,
dan penemuan data kembali. Akibat dari penggunaan teknologi informasi dengan
perangkat bernama komputer itu melahirkan gaya hidup yang berbeda dalam
kenyataan yang sebenarnya. Perilaku budaya hukum dalam setiap orang di dunia
maya berbeda hingga melahirkan istilah-istilah baru dalam pola kehidupan di
dunia dunia maya. Dampak secara umum keberadaan teknologi informasi memberikan
pengaruh terhadap terjadinya perubahan dari akibat kemajuan teknologi informasi
yang berkembang yaitu terjadinya masalah-masalah sosial. Kondisi itu
dikarenakan masyarakat yang belum siap menerima perubahan secara cepat akan
dampak dari kehadiran komputer atas asas kemanfaatan yang begitu besar baik
positif maupun negatif.
Perubahan yang terjadi
bukan saja dalam bentuk pola berpikir tetapi juga telah mengurai nilai-nilai
masyarakat lebih luas lagi dari nilai-nilai baku dalam tatanan masayarakat
konvensional, dan perubahan itu melahirkan masyarakat dunia maya secara virtual
menjadi nyata. perubahan yang terjadi juga memberikan dampak buruk pada pola
kejahatan gaya baru yang lebih dikenal di dalam tindak pidana sebagai kejahatan
di ruang maya. Perilaku budaya hukum masyarakat kini telah bergeser, dari mampu
menghargai orang lain, dan mentaati nilai, norma dan kaidah hukum yang berlaku
pada kelaziman di dalam masyarakat, kini atas nama kebebasan hak asasi manusia,
seseorang dapat berlaku sekehendak hati dan atas kepentingan yang melekat dalam
dirinya.
Perilaku hukum bukan
hanya berarti taat hukum, tetapi semua perilaku yang merupakan reaksi terhadap
sesuatu yang sedang terjadi dalam sistem hukum (reacting to something going on
the legal system) sehingga tidak mentaati hukum yang diberlakukan dalam sistem
kehidupan masyarakat sosial. Kaitannya perilaku hukum dalam kehidupan
masyarakat bukan hanya reaksi taat,(obey) dan tidak taat (disobery) melainkan
juga reaksi menggunakian (use) atau tidak menggunakan (not use) terhadap suatu
aturan hukum. Kemanfaatan media (the covergance media) membawa perubahan pada
perilaku dalam penggunaan teknologi informasi, ketika setiap orang tidak mampu
memahami hakikat perubahan dalam bidang teknologi informasi itu. [10]
Akibat pengaruh
penggunaan media internet dalam kehidupan masyarakat dewasa ini yang paling
nyata tidak hanya memperoleh kemudahan dalam segala urusan secara legal, tetapi
terjadi juga munculnya jenis tindak pidana yang semakin banyak dilakukan dengan
beragam modus operandi. Hal itu berkaitan dengan kemanfaatan teknologi yang
digunakan oleh para pelaku kejahatan di ruang dunia maya (cyberspace) dengan
istilah cybercrime.
Terminologi cybercrime
menunjukan bahwa kejahatan yang dilakukan itu ada dalam ranah cyberspace.
Kejahatan yang berbasis pada teknologi informasi dengan menggunakan media
komputer sebagaimana terjadi saat ini, dapat disebut dengan beberapa istilah
yaitu computer misuse, computer abuse, computer fraud, computer – related
crime, computerassisted crime, atau computer crime.[11]
Kejahatan yang
menggunakan teknologi informasi dengan alat yang dikenal sebutannya komputer
itu menurut penulis adalah segala bentuk kejahatan yang dilakukan dengan pola
komputerisasi melalui jaringan dan para penggunanya.
Kejahatan dunia maya atau cybercrime dengan
menggunakan teknologi informasi kecanggihan komputer itu, dari pandangan
keilmuan secara umum dibagi dalam 2 (dua) kategori yaitu :
1.
Cybercrime dalam pengertian sempit adalah
kejahatan terhadap penggunaan sistem komputer;
2.
Cybercrime dalam pengertian luas mencakup
kejahatan terhadap sistem atau jaringan komputer dan kejahatan yang menggunakan
sarana komputer.
Perubahan di dalam
masyarakat telah terjadi, batasan wilayah hukum masyarakat satu negara dengan
negara lain telah terlampaui oleh kegiatan di ruang dunia maya yang membawa
berbagai dampak hukum akibat perilaku budaya hukum yang juga telah berubah.
Di dalam hal ini perlu
disikapi dengan tegas oleh pemerintah atas dampak dari perubahan perilaku
budaya hukum yang ada dengan membatasi penggunaan teknologi dalam hal
pengawasan secara ketat terhadap provider yang ada dan beroperasi di Indonesia.
kondisi ini sudah banyak dilakukan oleh negara tetangga seperti malaysia,
singapura dan negara tetangga lainnya yang lebih tegas dalam hal mengawal dan
megawasi beroperasinya para owner dari provide yang ada.
Situasi tesebut dilakukan
guna mengurangi tingkat kejahatan yang terjadi di ruang dunia maya akibat dari
perilaku pengguna dengan perilaku yang tidak pada kepantasan dan menyimpang
dalam menggunakan sarana perangkat lunak dan keras komputer. Ketegasan sikap
itu diperlukan ketentuan peraturan perundang-undangan hukum media yang memiliki
subtansi tegas dalam melindungi kepentingan kemanan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, sekaligus melindungi warga negara dalam kemanan diri sebagai
pengguna dari ruang cyber, meski Indonesia telah memiliki satu Undang-Undang
berkaitan dengan Telekomunikasi yaitu Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang telah mengakomodir mengatasi kejahatan cyber atau cyber crime.
2.2 Tindak Pidana Cyber
Terrorism di Dunia Maya (Cyberspace) sebagai Cybercrime
Hukum pada dasarnya
merupakan batasan bagi masyarakat dalam bertingkah laku terhadap pelanggaran
dan untuk itu diperlukan sanksi dengan daya paksa otoritas tertinggi dalam
kedaulatan suatu negara. Hukum diperlukan untuk menciptakan ketertiban dalam
masyarakat dan memberikan keadilan. Ketertiban dan keadilan itu diperuntukan
bagi individu maupun kolektif.
Kemajuan teknologi yang
berkembang dalam dunia modern saat ini adalah suatu kemajuan yang ditandai
setiap orang menggengamdunia dengan sentuhan jari dalam perangkat teknologi,
dan setiap orang melakukaninteraksi sosialnya dengan seluruh giat dari jarak
jauh dimulai dari ruang maya dikenal dengan istilah cyberspace. Mengapa gerak
di ruang dunia maya itu harus dibatasi dengan perangkat hukum oleh karena kehidupan
nyata itu berpindah ke ruang maya dengan segala aspek negatif yang terjadi dan
menjadi persoalan hukum.
Cyberspace merupakan
dunia virtual yang dibentuk dari hasil penyatuan antara manusia dan teknologi,
yaitu dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (Information and
communication technology–ICT). Teknologi Informasi dan komunikasi merupakan
gabungan dari teknologi komputer, telekomunikasi serta jaringan komputer dan
telekomunikasi, seperti yang digambarkan oleh Koops, [12]sebagai berikut :
technologies that store,
transmit, and/or process information and communication...the term is generally
used to indicate “modern” or “high” technology, in particular electronic data –
processing technologies. Thus, ICT focuses on computers, telecommunication, and
computer and telecommunication networks. The term is sometimes used as a
virtual synonym for the internet.
Di dalam dunia cyberspace
bersifat bordeless itu setiap orang datang dari mana saja dan kapan saja serta
dapat memasuki ruang yang teramat luas untuk saling berkomunikasi tanpa perlu
berada secara fisik di dalam ruang tempat mereka berkomunikasi. Di ruang maya
cyberspace itu sebagai dunia baru dalam kehidupan manusia modern terdapat makna
hak asasi manusia.
Dunia cyber tiap manusia memiliki eksistensi
diri yaitu memiliki kebebasan mendasar sebagai salah satu hak bagi setiap orang
untuk tidak menggunakan identitas asli, meski di Indonesia kulturnya berbeda
dengan jelas menggunakan identitas diri asli. Semakin berkembang dunia maya
maka semakin berkembang juga ideologi kebebasan dalam dunia cyber. Hal ini
dinyatakan dan disebut oleh Langdon Winner sebagai cyberlibertarianism yaitu:[13]
a collection of ideas
that links ecstatic enthusiasm for electronically mediated forms of living with
radical, right wing libertarian ideas about the proper definition of freedom,
social life, economic, and politics in the years to come.
Bila penggagas ideologi
ini mengatakan bahwa internet milik bersama oleh karena itu setiap orang
memiliki hak penuh untuk berada dan melakukan interaksi di dalamnya. Maka penulis
melihat dunia maya itu dalam sistem internet merupakan ruang tak bertuan, dan
itu berarti setiap orang berhak ada di dalamnya untuk melakukan interaksi di
dunia tersebut. [14]
Akan tetapi regulasi
dalam dunia nyata untuk menarik permasalahan hukum dari ruang maya yang terjadi
tetap diperlukan, hingga dibutuhkan perangkat hukum untuk menyelesaikan perkara
hukum yang terjadi di ruang maya (cyberspace) itu. Menurut penulis kebebasan
itu siapapun memilikinya, namun kebebasan itu juga harus memiliki batasan oleh
karena setiap orang yang memiliki kebebasan dapat memberikan penghargaan atas
kebebasan yang dimilikinya sendiri sebagai sebuah ketertiban bersama dalam
menjaga ketertiban dan keadilan secara umum, dan sebagai hak melekat bagi
setiap manusia. Kebebasan menggunakan identitas dimanfaatkan untuk menipu,
kebebasan untuk berekspresi digunakan untuk menyebarkan informasi yang berisi
fitnah, kebebasan untuk mengembangkan teknologi dan kreativitas digunakan untuk
merusak dan menyebarkan virus.
Atas kebebasan
berekspresi di ruang maya (cyberspace) itu menimbulkan bentuk kejahatan baru
yang dikenal dengan cyber crime yang tentunya tidak diatur di dalam
Undangundang konvensional, dan juga dapat pula berupa kejahatan konvensional
yang menggunakan sarana komputer atau sistem komputer, seperti halnya kejahatan
teror, atau dikenal dengan istilah cyber terrorism, karena kegiatannya
menggunakan perangkat komputer untuk menyebarkan ideologi yang bersifat teror
dalam upaya menjalankan aksi kejahatannya di dunia maya.
Pengertian pada definisi terorisme banyak
bermunculan, satu yang dapat kita lihat adalah pendapat dari Golose [15]yang menyatakan terorisme
merupakan tindakan yang melawan hukum dengan cara menebarkan teror secara
meluas kepada masyarakat dengan ancaman atau kekerasan, baik yang diorganisir
maupun tidak, serta menimbulkan akibat berupa penderitaan fisik dan atau
psykologis dalam waktu yang berkepanjangan sehingga dikategorikan sebagai tindak
kejahatan yang luar dan kejahatan terhadap manusia.
Di samping itu dapat kita
lihat juga pengertian Tindak Pidana Terorisme dalam ketentuan peraturan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme. Pada Pasal 1 angka 1 Perppu tersebut enyatakan bahwa
tindak pidana terorisme adalah “segala perbuatan yang memenuhi unsur–unsur
tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang ini”.
Aksi kejahatan terorisme
kini banyak melakukan pergerakannya dengan memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi yang dikenal dengan istilah cyber terrorism. Bentuk kejahatan
terorisme memiliki karakteristik melewati lintas batas negara dalam dunia maya
dikenal dengan cyber terrorism. Perhatian dunia tertuju pada cyber terrorism
ini memiliki alasan kuat, karena menjadi ancaman bagi semua negara-negara di
dunia yang memiliki tujuan hidup damai tanpa ada tekanan teror pada setiap
warganegaranya.
Berkemangnya
infrastruktur vital berbasis komputerisasi seperti sistem perbankan, ecommerce,
e-goverment dan lain-lain maka potensi kejahatan terorisme dengan kemanfaatan
teknologi informasi sangat rentan terjadi dalam ruang maya (cyberspace). Contoh
nyata ditemukannya laptop yang digunakan salah satu tokoh peledakan bom bali
imam samudera yang disita penyidik, dan diketahui adanya hubungan yang kuat
antara aksi terorisme dengan tindak pidana berbasis teknologi informasi, bahwa
internet dijadikan sarana komunikasi, propaganda, serta cardign untuk
memperoleh dana bagi pembiayaan aksi teror.[16]
Kemajuan teknologi
informasi dan telekomunikasi memicu semakin berkembangnya bentuk-bentuk
kejahatan terorisme di ruang maya. Fakta ini menunjukan pada argumen
JeanJacques Rousseau yang mengatakan bahwa : [17]
Kemajuan seni dan ilmu
pengetahun tidak menunjukkan moralitas manusia.sebagaimana sebuah teori
mengatakan, crime is a product of society it self yang dapat diartikan bahwa
masyarakat itu sendirilah yang melahirkan suatu kejahatan. Semakin tinggi
tingkat intelektualitas suatu masyarakat, maka semakin canggih pula kejahatan
yang mungkin terjadi dalam masyarakat tersebut.
Aksi kejahatan teroris yang berpindah dari
dunia nyata ke dalam bentuk terorisme dunia maya (cyberspace), merupakan aksi
kejahatan yang bisa diperhitungkan kecepatannya menguasai daerah strategis yang
menjadi objek uantuk dilakukan aksi teror pada sasarannya. Aksi teroris yang
menggunakan sarana kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi memang
dirasakan tidak mengenal prinsip-prinsip diskriminasi target yang menjadi
sasarannya. Aksi terorisme sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime),
dikarenakan memiliki karakteristik kejahatan dalam tingkat pola internasional,
dengan bentuk kejahatan yang terorganisir secara internasional.
Aksi teroris yang
menggunakan kemanfaatan teknologi (convergance technology) adalah menunjuk pada
kemanfaatan penggunaan cyberspace untuk menjalankan rangkaian proses aksi
kejahatannya. Di dalam ketentuan Perppu No. 1 Tahun 2002 dan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tidak disebutkan secara eksplisit apa yang dimaksud dengan
cyber terrorism. Di dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 hanya
disebutkan alat bukti elektronik (electronik evidence) sebagai alat bukti yang
sah.
Informasi yang dikirmkan,
diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu, dan data yang merekam secara elektronik merupakan alat bukti. Tidak
mudah untuk mendefinisikan cyber terrorism karena banyak definisi yang
berkembang. Andi Hamzah[18] menyatakan bahwa
“kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan
komputer secara ilegal”.
Sejalan dengan pendapat
Andi Hamzah, yang didukung oleh pemikiran dan pendapat Cahyana [19]yang menyatakan bahwa:
terorisme pada dasarnya sudah terjadi jika seseorang atau kelompok orang
melakukan kegiatan ilegal melalui teknologi informasi. Menurutnya penyusupan ke
dalam sistem komputer yang diproteksi milik orang lain dan mencuri data atau
merusak data maupun informasi digolongkan sebagai terorisme informasi.
Dari uraian tersebut
menegaskan bahwa pada pemahaman cyber terrorism harus memiliki karakteristik
bukan saja hanya menggunakan unsur media telekomunikasi dan informasi atau
kecanggihan teknologi saja telekomunikasi yang digunakan sebagai sarana dan
objek sasaran untuk melaksanakan aksi terorisme yang lebih penting dan yang
dikedepankan adalah bentuk provokasi pada sifat kalimat yang dikomunikasikan
yang mengandung kebencian (hate speech) dan secara terus menerus dilakukan
sebarannya melalui alat teknologi telekomunikasi.
Sebagai contoh pada Tahun
2015 ada banyak situs yang diblokir oleh pihak Kementerian Komunikasi dan
Informasi RI yang bekerjasama dengan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme RI, yang banyak menuai kritikan tajam dari berbagai kalangan atas
tindakan tersebut. Bagi penulis itu adalah salah satu upaya untuk mengurangi
sinisme dalam hal kebencian yang ditebarkan kepada Pemerintah dan mempengaruhi masyarakat
awam dalam memahami aqidah yang seharusnya.
Tentunya dengan tujuan
untuk menjaga keamanan dan pertahanan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia Di
dalam pemikiran Michael Vatism [20]ada 3 (tiga) cara
bagaimana kaum teroris memanfaatkan komputer sebagai alat (tool) untuk
melakukan kejahatan di ruang cyber (cyber crime) dalam menjalankan aksinya,
dapat dibuktikan sebagai berikut :
1. Komputer
sebagai alat dengan membuat home page yang digunakan sebagai sarana propaganda,
rekruitmen, mengumpulkan data/informasi dari sektor privat atau data rahasia
dan mengadakan hubungan dengan kelompok teroris lainnya, dan seluruh aktivitas
menggunakan encrypt;
2. Sebagai
penerima atau alat bukti; dengan ditemukannya data – data pada komputer yang
dijadikan alat bukti adanya tindak pidana terorisme yang telah atau sedang
direncanakan, ini dilakukan dengan men-decrypt dokumen (file-file) encrypt pada
komputer pelaku;
3. Target, dalam hal ini pelaku kejahatan
mengadakan konsolidasi dan koordinasi dalam melakukanan sasaran aksi terornya,
misalnya pada kasus laptop milik pelaku kejahatan bom bali setelah dilakukan
decrypt terbukti internet dipakai untuk mengadakan koordinasi pada aksi teror
dan targetnya.
Cyber Terrorism merupakan
salah satu jenis kejahatan yang masuk dalam kategori Cyber Crime karena
kejahatan dalam dunia maya (cyber crime) secara sederhana dapat diartikan
sebagai jenis kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan media internet
sebagai alat bantu melakukan aksi terornya. Cyber terrorism dalam ruang maya
(cyber space) berkembang begitu pesat dengan berbagai pola interaksi kejahatan
yang dilakukan setiap orang yang berniat untuk melakukan tindak pidana di ruang
maya.
Fakta hukum menunjukan terjadinya
penyalahgunaan terhadap kemanfaatan internet oleh para teroris, sebagaimana
halnya yang pernah terjadi di Indonesia yang dilakukan oleh Imam Samudera,
terpidana mati atas kasus bom Bali, dengan perannya mengontrol jaringan teroris
dari bilik penjara dengan berkomunikasi melalui internet. Imam Samudera berhasil
menyelundupkan laptop ke dalam sel nya atas bantuan seorang sipir Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS) Kerobokan yaitu Benny Irawan yang berhasil direkrut
sebagai anggota teroris di dalam Lapas .[21]
Bukti lain adanya
penyalahgunaan pada situs internet dalam penyebaran propaganda terorisme. Media
Online yang populer menyebarkan paham terorisme adalah arrahmah.com dan
diketahui adanya keterlibatan Muhammad Jibril yang juga bergelar Princes of
Jihad sebagai pendiri dan Chief Executif Officer (CEO) .[22]
Tindak pidana Cyber
terrorism merupakan kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan alat teknologi
berupa komputer di ruang maya (cyberspace) dengan unsur utamanya melakukan
kegiatan teror, propaganda, koordinasi dari jarak jauh dan dengan menebarkan
kebencian (hate teror), menghimpun dana, perekrutan, pelatihan dan perencanaan
secara terorganisir yang melewati batas negara, hingga menjadi kejahatan di
dunia maya (cyber crime).
Tindakan melawan hukum
yang dilakukan setiap orang dan atas nama kelompok tertentu ini di cyberspace
mengakibatkan timbulnya korban jiwa dan materiil yang besar terhadap keamanan
orang lain, atas upaya penyerangan pada sistem komputer yang merusak data,
sistem komputer serta infrastruktur vital. Dengan demikian jelas sudah cyber
terrorism sebagai kejahatan di ruang maya (cybercrime) perlu ditegaskan
pengaturan hukumnya dalam Hukum Nasional Indonesia, agar dapat dipidanakan atas
pertanggungjawaban hukum bagi setiap orang dan atau kelompok tertentu dengan
sengaja melakukan aksi kejahatan di ruang maya yang menyebabkan terganggunya
keamanan terhadap orang lain dengan pembuktian unsur elektronika yang ada.
2.3 Penegakan Hukum atas
Tindak Pidana Cyber Terrorism dalam Hukum Nasional
Aksi teorisme merupakan
tindakan seorang atau kelompok orang yang ingin mempertahankan hidup individu
dan kolektif kelompoknya, dengan upaya yang dilakukan secara keliru yaitu
mengancam dan membahayakan kelangsungan hidup orang lain. Itu berarti tindak
pidana kejahatan teroris harus dilarang dan pelakunya dihukum dalam ketentuan
hukum yang berlaku dalam setiap negara yang berdaulat dan memiliki ketentuan
hukum.
Indonesia sebagai negara
hukum yang ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 dalam konteks Konstitusi
Negara, telah merespon terjadinya percepatan kebutuhan akan antisipasi
permasalahan hukum akibat perilaku hukum menyimpang dalam menggunakan komputer
dan berinteraksi untuk melakukan kejahatan. Tidak dipungkiri pengaturan khusus
cyber terrorism memang belum ada, meski Indonesia telah memiliki beberapa
ketentuan Undang-undang yang terkait dengan cyber terrorism. Sejauh mana
sebenarnya kebutuhan akan cyber law sebagai lex specialis pada pengaturan cyber
terrorism. Perlu dimasukan secara khusus pengaturan tindak pidana cyber
terrorism pada ketentuan Hukum Dunia maya (cyber law) yang sejatinya
kebutuhannya telah mendesak untuk digunakan.
Ini disebabkan semakin
tinggi frekuensi penggunaan teknologi dengan sistem yang berkembang, dengan
konvergensi media (convergance of media) yang ada. Pengaturan mengenai cyber
terrorism dalam cyber law diharapkan bisa memberikan kepastian tegas dalam
penjelasan hukum mengenai pengaturan kejahatan cyber terrorism secara khusus.
Tentunya memiliki alasan utama yaitu adanya aspek yang terkait dengan kejahatan
tindak pidana cyber terrorism yang dipertegas secara komprehensif dalam sebuah
ketentuan undang-undang cyber law yang mengatur pergerakan dan penggunaan serta
penyimpangan dalam tindakan kejahatan cyber yang menggunakan komputer sebagai
alat utama dan kemanfaatan dari media teknologi yang berkembang.
Artinya tidak hanya
bergantung pada satu Undang-Undang (umbrella act) saja, meski kita tahu telah
ada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, ataupun Undang-Undang Nomor 36 Tahun
1999 Tentang Telekomunikasi, atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Memang secara yuridis dalam penyelesaian
masalah hukum tindak pidana cyber terrorism ini hakim yang menangani harus
melakukan penemuan hukum melalui penafsiran dan konstruksi hukum. Namun
demikian bila pemangunan hukum nasional mengapresiasi hadirnya cyber law secara
terintgrasi akan menjadi sebuah penguatan kepastian hukum yang lebih baik,
mengingat banyak sekali gerakan terkait tindak pidana terorisme semakin
berkemang dengan berbagai pola komunikasi dalam kemanfaatan media yang ada,
sebagai alat komunikasi untuk melakukan aksi kejahatannya.
Di dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme dapat digunakan untuk
menjerat pelaku Cyber Terrorism karena terdapat Pasal yang mengatur tindak
pidana terrorism pada ketentuan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 11 dan Pasal
12. Pada ketentuan Undang-Undang ini dinyatakan bahwa seseorang dianggap
melakukan aksi terorisme dan dapat dijatuhi hukuman walaupan tindak pidana
terorisme belum terjadi atau baru hanya sampai pada tahap dengan maksud atau
dengan tujuan atau merencanakan tindak pidana terorisme. Untuk mengetahui
seseorang atau sekelompok orang memiliki maksud dan rencana melakukan tindak pidana
terorisme tentunya pihak penyidik harus mendapatkan barang bukti guna mendukung
dugaan tersebut bila ternyata telah ada niat dalam upaya tindak pidana terorisme.
Ketentuan Pasal 27
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, telah menyatakan berbagai macam alat bukti,
dan satu diantaranya menyebutkan adanya alat bukti elektronik sebagai alat
bukti yang sejajar dan sah sebagaimana dimaksud dalam hukum Acara Pidana.
Sejajar dengan pembuktian itu disebutkan juga dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP
bahwa alat bukti itu adalah berupa Informasi yang diucapkan, dikirimkan,
disimpan secara elektronik dengan menggunakan alat optik seupa dengan hal itu
yaitu data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau
didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa batuan suatu sarana, baik
yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang
terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara
atau gambar, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol,
atau perforasi yang memiliki makna atau dapat difahami oleh orang yang mampu
membaca atau memahaminya.
Akan tetapi persoalannya
tidak semudah yang kita fahami. Itu dikarenakan ada permasalahan dalam
kesulitan keterukuran untuk mengetahui niat seseorang merencanakan, bermaksud
dan bertujuan melakukan aksi terorisme. Analisa yang tajam dalam hal
penyalahgunaan alat komputer dalam bentuk komunikasi dan informasi yang
berkembang tidak boleh meleset hingga terjadi salah tangkap. Aparat hukum dalam
hal ini penegak hukum yang berwenang harus benar-benar dapat menganalisa secara
validitas terkait penggunaan alat-alat bukti elektronik yang digunakan untuk
komunikasi secara elektronik apakah itu telah digunakan penyalahgunaan atau
tidak dengan alat komputer dengan program internet.
Terkait upaya pembuktian
bahwa seseorang atau kelompok tertentu melakukan tindak pidana cyber terrorism
dalam investigasi terorisme, maka penting kiranya kita melihat beberapa
ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang Patriot Amerika Serikat, yang bisa
menjadi perbandingan dalam penciptaan Undang-Undang terkait dengan cyber
terrorism atau kejahatan terorisme di ruang maya.Undang-Undang Patriot amerika
Serikat itu diantaranya mengatur mengenai :[23]
a. Ketentuan
“roving wiretap” agar departemen kehakiman memiliki kekuasaan untuk menyadap
guna menelusuri jejak para tersangka tanpa mengindahkan telepon yang mereka
gunakan.
b. Memperkenalkan
sharing informasi yang semula dilindungi oleh grand jury di antara aparat
intelejen dan aparat penegak hukum
c. Memperkenankan
penyitaan pesan-pesan voicemail sesuai dengan surat perintah (warrant)
d. Meningkatkan
kekuasaan untuk menelusuri jejak para tersangka melalui internet.
e. Mensyaratkan
pembukaan (disclosure) komunikasi para pelanggan atau catatan oleh para
provider pelayanan komputer di daerah yang jauh (remote) dan pelayanan jasa
komunikasi elektronik seperti ISPs kepada publik tanpa ditunda jika penyedia
jasa (provider) mempunyai alasan yang dapat dipercaya adanya suatu yang
membahayakan secara langsung atau mematikan atau melukai secara fisik.
f. Memberikan
kekebalan (immunity) kepada provider jasa komunikasi elektronik atau wire atau
orang yang menyediakan informasi, fasilitas atau bantuan teknis sesuai perintah
atau permintaan pengadilan guna memberi bantuan darurat.
g. Melegalisasi
tindakan aparat penegak hukum untuk menangkap (intercept) komunikasi elektronik
atau wire dari penyalahgunaan komputer dan memiliki alasan untuk meyakini isi
komunikasi tersebut relevan bagi penyelidikan.
h. Memuat
ketentuan matahari terbenam (sunset principle) di mana beberapa ketentuan yang
berkenaan dengan pengawasan akan berakhir.
Ketentuan Undang-Undang
Patriot Amerika Serikat di atas hanyalah sebagai pembanding. Negara Indonesia
telah memiliki Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme yang pada saat kelahiran undang-undang tersebut dijiwai dengan
semangat proteksi kedaulatan negara, proteksi HAM bagi tersangka/terdakwa, dan
juga proteksi terhadap korban-korban terorisme serta fasilitas publik [24].
Saat ini telah dilakukan
upaya oleh kementerian POLHUKAM, Hukum dan HAM, dan lembaga terkait lainnya
seperti Badan Nasional Penanggulangan Teroris (NCTA National Counter Terrorism
Act) untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yang
dalam kebutuhan terhadap penanganan tindak pidana terorisme telah berkembang
dengan penggunaan alat teknologi bernama komputer, dan perilaku kejahatannya
telah berubah pola dengan penyalahgunaan alat teknologi komunikasi dan informasi
tersebut, hingga lahir istilah cyber crime dalam tindak pidana cyber terrorism.
Termasuk juga Basrief
Arief [25]yang menyatakan “Terorisme
merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang membutuhkan pola
penanganan yang luar biasa pula (extra ordinary measure) yang berbeda dengan
penanganan tindak pidana pada umumnya”. Maka kondisi itu melahirkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1Tahun 2002 yang kemudian menjadi
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, yang saat ini mengalami upaya revisi dalam Program Legislasi
Nasional 2016.
Kendati demikian dengan
adanya rencana melakukan amandemen itu sebaiknya dipikirkan juga adanya upaya
penyusunan perundang-undangan terkait dengan cyber terrorism dalam pembangunan
hukum nasional yaitu hadirnya cyber law Indonesia. Terkait dengan pembangunan
hukum nasional secara khusus mengenai cyber law perlu perhatian serius yang
diharapkan menjadi undang-undang specialis, maka jiwa undangundang yang akan mengatur
cyber law mengandung philosophy kehidupan manusia yang adil. Untuk itu dalam
pandangan pakar hukum media[26]. menyatakan sebagai
berikut :
1. Ketentuan
mengenai terorisme dan undang-undang lain terkait cyber terrorism harus sesuai
dengan budaya, kondisi masyarakat, stabilitas politik pemerintahan, struktur
geografis dan asas keseimbangan antara proteksi HAM serta pembatasan HAM dalam
kerangka pandangan legastik-moralistik yang menegaskan pendekatan politik.
2. Penyusunan
rumusan delik harus memperhatikan kepentingan keamanan negara (Nasional
Defence), kepentingan peradilan yang baik (due process of law) dan kepentingan
perlindungan korban (victim protection).
3. Kebijakan
kontra terorisme harus tetap memperhatikan mekanisme demokratis dan titik
keseimbangan prinsip kebebasan dan prinsip keamanan. Ditegakannya civil
liberties seperti tetap memperhatikan non derogable rights, diantaranya dengan
menghormati hak untuk diperlakukan sama di depan hukum. Penghormatan terhadap
hak asasi manusia merupakan salah satu syarat berdirinya negara hukum
4. Terkait
dengan kewenangan luar biasa para penegak hukum dalam menangani aksi terorisme
pada umumnya dan cyber terrorism pada khususnya, maka perlu dipertimbangkannya
penerapan sunset principle, yaitu pemberlakuan hukum yang bersifat time
limited, khususnya bagi pasal-pasal yang dimaksudkan untuk memberi kewenangan
luar biasa kepada para penegak hukum dalam menangani aksi terorisme; perlu
diperhatikannya sistem peradilan pidana yang terpadu sebab proses investigasi melibatkan
aparat non-judicial seperti Badan Intelejen Nasional (BIN) dan TNI. Selain itu,
keterlibatan BIN dan TNI dalam mekanisme pre-trial yang diadopsi sistem Anglo
Saxon tanpa mengadopsi sistem peradilan akan mengindahkan hak-hak untuk
mengajukan keberatan (harbeas corpus) sehingga mekanisme praperadilan tidak
dapat dilakukan; perlu adanya regulasi yang rinci mengenai code of conduct,
rule of engagement dan ketentuan pidana bagi aparat yang melakukan pelanggaran;
diaturnya secara khusus mengenai hak-hak tersangka ataupun terdakwa dan dalam
proses penyelidikan dan penyidikan, investigasi dan hearing harus dilakukan
sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 yang melarang penyiksaan
dalam proses penyidikan dan penyelidikan.
5. Pengertian
terorisme termasuk diantaranya cyber terrorism harus lebih tegas dan jelas
bukan berupa ketentuan pasal karet (un-predictable).
6. Terorisme
hanya dapat dicegah melalui kebijakan negara yang komprehensip untuk membentuk
pemerintahan yang demokratis, sejahtera dan tegaknya keadilan. Bersamaan dengan
itu perlu diadakannya kerjasama internasional mengingat sifat internet yang
beroperasi secara virtual dan lintas batas negara.
7. Sanksi
pidana dalam suatu undang-undang lex specialist harus ditetapkan dengan
memperhatikan syarat-syarat : ketetapan sanksi dalam lex specialist tidak boleh
lebih rendah dari ketetapan yang tercantum dalam undang-undang lainnya;
mempertimbangkan harmonisasi dengan undang-undang lain yang sudah ada terlebih
dahulu agar tidak terjadi tumpang tindih produk hukum atau inkonsistensi
hukuman; dan sanksi dapat berupa hukuman penjara atau denda.
Kesimpulan
Kejahatan Dunia maya
(cyber crime) merupakan fenomena sosial yang terjadi di ruang maya, sejatinya
adalah kejahatan secara konvensional yang berpindah ruang di dalam dunia maya,
namun esensinya sama yaitu melakukan tindak pidana kejahatan dengan penggunaan
kemajuan teknologi adalah komputer dengan program internet sebagai alat (tool)
dalam melakukan tindak pidana kejahatan.
Konsekuensi logis atass kemajuan teknologi
menimbulkan kejahatan yang berbasis teknologi dalam penyalahgunaan komputer
(computer misuse), yang banyak dikenal dengan istilah kejahatan dunia maya
(cyber crime). Kejahatan dunia maya ini termasuk di dalamnya adalah kejahatan
terorisme (cyber terrorism). Tindak pidana terorisme menjadi perhatian dunia,
karena sifatnya yang melakukan teror dengan menggunakan perangkat komputer
(computer related crime) dalam melakukan aksi tindak pidana terorismenya
tentunya dengan convergance teknologi memudahkan kejahatan terorisme dalam
ruang maya bergerak leluasa disebabkan jangkauan sasaran dan objek yang dituju
bersifat tanpa batas (borderless).
Cyber terrorism
dinyatakan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) dan semua
negara menyoroti tindak kejahatan ini yang berdampak pada gangguan keamanan
negara dan setiap orang yang menjadi warga negara tidak merasa aman dan tenang
oleh aksi kejahatan teroris yang mulai berinvasi ke dalam ruang maya (cyber
space). Kejahatan terorisme dikatakan extra ordinary crime itu karena sifat
kejahatan teroris kini bergerak melakukan aksinya melampaui batas negara dan
terorganisir (transnational organice crime).
Cyber crime adalah satu
diantara perkembangan kejahatan berbasis teknologi yang membawa permasalahan di
bidang hukum. Kejahatan di ruang dunia maya (cyber crime) dalam dunia virtual
ini merupakan kejahatan modern yang bersifat kompleks, rumit dan tidak mengenal
batas waktu/ruang (borderless), memerlukan penanganan hukum secara khusus lex
specialis dalam menghadirkan perangkat hukum yang berkaitan dengan penegakan
hukum dunia maya (cyber law).
Untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat pencari keadilan maka lahir Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang saat ini menjadi hukum cyber
law pertama di Indonesia yang dapat dijadikan upaya penegakan hukum dalam
menyelesaikan permasalahan kejahatan dunia maya (cyber crime) meski diakui
masih jauh dari harapan dalam melakukan penegakan hukum.
Undang-Undang ITE setelah
berjalan ternyata tidak efektif dan belum mampu menjawab persoalan hukum dalam
mengatasi perkembangan kejahatan di ruang dunia maya yang semakin berkembang
khususnya kejahatan terorisme (cyber terrorism), yang secara intensif
menyebarkan kebencian (hate speech) dalam melakukan aksi terorisme-nya. Cyber
Terrorism perlu diatur secara khusus dalam ketentuan Undang-Undang khusus
tentang penyalahgunaan komputer/cyber crime atau diatur dalam bab regulasi
cyber crime law Indonesia yang harus disegerakan.
Itu berarti perlunya
dilakukan revisi terhadap Undang-Undang ITE agar dapat menyempurnakan
penyelesaian permasalahan hukum dalam hal tindak pidana terhadap Informatika
dan telematika, terkait penegakan hukum atas tindak pidana terorisme (cyber
terrorism) dan kejahatan cyber (cyber crime) lainnya, yang banyak merugikan
orang lain dan mengancam keamanan setiap orang dan keamanan negara secara luas.
Daftar Pustaka
A.
Book
Golose,Petrus
Reinhard. Invasi Terrorisme Ke Cyberspace. Jakarta: YPKIK, 2015.
Hamzah, Andi. Aspek-Aspek
Pidana Di Bidang Komputer. Jakarta: Ghalia, 1989.
Indonesia,
Institut Komputer. Pengenalan Komputer (Introducing to Computer). Jakarta:
Institut Komputer Indonesia, 1981.
Indonesia,
Kejaksaan Agung Republik. Panduan Penanganan Perkara Tindak Pidana Terorisme
Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Cet ke I., 2013.
Kusamaatmadja,
Mochtar. Pengantar Hukum Internasional,. 9th ed. Bandung: Putra Abardin, 1999.
Maskun. Kejahatan
Siber (Cyber Crime) Suatu Pengantar. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2013.
Nusantara, Abdul
Hakim G. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Dalam Perspektif
Negara Hukum. Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2003.
Sitompul, Josua.
Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Jakarta:
Tatanusa, 2012.
Widodo. Sistem
Pemidanaan Dalam Cyber Crime. Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2010.
Wisnubroto, AI.
Strategi Penanggulangan Kejahatan Telematika. Yogyakarta: Atma Jaya, 2010.
B.
Journal
Atmasasmita,
Romli. “Aspek Nasional Dan Global Pemberantasan Terorisme.” Jurnal Hukum
Internasional 2, no. 3 (2003).
Koops, Jaap, Miriam Lips, Corien Prins, and
Maurice Scellekens, eds. Starting Points for ICT Regulation, Deconstructing
Prevalent Policy One-Liners. IT & Law Series. Vol. 9. The Haque, 2006.
C.
Proceeding
Ahmadjayadi,
Cahyana. “Dampak Teknologi Komunikasi Dan Informasi Terhadap Kegiatan
Terorisme.” Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2003.
Vatis, Michael.
“Cyber-Terrorism and Information Warfare Threats and Responses.” In The
Terrorism Studies Program at The George Washington University. Washington: The
Potomac Institute for Policy Studies, 1998.
[1] Josua
Sitompul, Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana
(Jakarta: Tatanusa, 2012).
[2] AI
Wisnubroto, Strategi Penanggulangan Kejahatan Telematika (Yogyakarta: Atma
Jaya, 2010).
[3] Sitompul,
Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana.
[4] Ibid.
[5] Maskun,
Kejahatan Siber (Cyber Crime) Suatu Pengantar (Jakarta: Kencana Prenada Media,
2013).
[6] Ibid.
[7] Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik (Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
No. 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4843, 2008).
[8] Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Menjadi Undang-Undang (Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 No. 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4284, 2003).
[9] Institut
Komputer Indonesia, Pengenalan Komputer (Introducing to Computer) (Jakarta:
Institut Komputer Indonesia, 1981). p. 2.
[10] Widodo,
Sistem Pemidanaan Dalam Cyber Crime (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2010). p.
27.
[11] Wisnubroto,
Strategi Penanggulangan Kejahatan Telematika. p. 1.
[12] Jaap
Koops et al., eds., Starting Points for ICT Regulation, Deconstructing
Prevalent Policy OneLiners, IT & Law Series, vol. 9 (The Haque, 2006).
[13] Sitompul,
Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana. p..35.
[14] Romli
Atmasasmita, “Aspek Nasional Dan Global Pemberantasan Terorisme,” Jurnal Hukum
Internasional 2, no. 3 (2003). p. 228.
[15] Ibid.
p. 48.
[16] Mochtar
Kusamaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 9th ed. (Bandung: Putra Abardin,
1999). p. 15. Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa kemajuan teknologi memberi
pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan masyarakat Internasional dan
hukum Internasional yang mengaturnya.
[17] Andi
Hamzah, Aspek-Aspek Pidana Di Bidang Komputer (Jakarta: Ghalia, 1989).
[18] Cahyana
Ahmadjayadi, “Dampak Teknologi Komunikasi Dan Informasi Terhadap Kegiatan
Terorisme” (Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2003). p. 10.
[19] Michael
Vatis, “Cyber-Terrorism and Information Warfare Threats and Responses,” in The
Terrorism Studies Program at The George Washington University (Washington: The
Potomac Institute for Policy Studies, 1998). p. 68.
[20] Petrus
Reinhard Golose, Invasi Terrorisme Ke Cyberspace (Jakarta: YPKIK, 2015). p. 18.
[21] Ibid.
[22] Abdul
Hakim G. Nusantara, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Dalam
Perspektif Negara Hukum (Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2003). p. 1.
[23] Atmasasmita,
“Aspek Nasional Dan Global Pemberantasan Terorisme.” p. 11
[24] Kejaksaan
Agung Republik Indonesia, Panduan Penanganan Perkara Tindak Pidana Terorisme
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, cet ke I, 2013. p. v.
[25] Atmasasmita,
“Aspek Nasional Dan Global Pemberantasan Terorisme.” p. 80.
[26]
0 komentar:
Post a Comment