Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Thursday, May 10, 2018

SISTEM HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Saat membicarakan hukum dan institusi negara yang melaksanakan hukum, maka kita kerap mengaitkannya dengan wacana tentang “Keadilan Formal” (Formal Justice) yang dijalankan dan dihasilkan oleh hukum maupun proses hukum yang juga formal. Mengapa dikatakan “formal”, mengingat proses hukum yang dilaksanakan oleh institusi negara di bidang hukum itu didasarkan pada hukum yang tertulis dan terkodifikasikan, dilakukan oleh aparat resmi negara yang diberi kewenangan, serta membutuhkan proses beracara yang juga standar dan mengabadi.
Namun demikian, wajah lain dari hukum dan proses hukum yang formal tadi adalah terdapatnya fakta bahwa keadilan formal tadi, sekurang-kurangnya di Indonesia, ternyata mahal, berkepanjangan, melelahkan, tidak menyelesaikan masalah dan, yang lebih parah lagi, penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Salahsatu dari berbagai masalah yang menjadikan bentuk keadilan ini terlihat problematik adalah, mengingat terdapatnya dan dilakukannya satu proses yang sama bagi semua jenis masalah (One for All Mechanism). Inilah yang mengakibatkan mulai berpalingnya banyak pihak guna mencari alternatif penyelesaian atas masalahnya.

Bila dikaitkan dengan cita-cita mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia guna membentuk Negara Hukum (Recht Staat), dan bukan Negara Kekuasaan (Macht Staat), maka salah satu indikator capaiannya adalah terbentuknya kondisi dan kemampuan warga negara atau masyarakat untuk patuh hukum (Citizen Who Abides the Law), atau bahkan masyarakat yang patuh hukum (Law Abiding Citizen). Dalam situasi tersebut, proses penegakan hukum tidak seyogyanya sepenuhnya atau selamanya dilakukan dengan mempergunakan metode keadilan formal, yang salahsatunya berupa tindakan kepolisian represif dan dilanjutkan dengan proses hukum litigatif (Law Enforcement Process). Sebagaimana disadari, tindakan formal litigatif tersebut banyak bergantung pada upaya paksa dan kewenangan petugas hukum yang melakukannya. Selanjutnya, kalaupun muncul suatu hasil, maka umumnya akan berakhir dengan situasi “kalah-kalah” (lost-lost) atau “menang-kalah” (win-lost).
Dalam konteks kehadiran masyarakat yang mau untuk patuh pada hukum ataupun yang telah patuh hukum dalam suatu negara kesatuan tersebut, maka semangat yang muncul dewasa ini adalah juga semangat pengenyampingan untuk tidak mempergunakan proses penegakan hukum via litigasi tersebut. Namun bedanya adalah, dalam konteks ini, pengenyampingan dilakukan guna mencapai suatu situasi “menang-menang” (win-win) antara pihak-pihak terkait, yang diperkirakan juga akan lebih menyembuhkan (healing) terkait para pihak yang terlibat (khususnya korban), serta lebih resolutif (sebagai suatu kata bentukan “re-solusi” yang dapat diartikan sebagai “tercapainya kembali solusi yang sebelumnya tidak lagi diperoleh”). Minimal, pengakhiran konflik atau sengketa bisa dilakukan tanpa ada pihak yang kehilangan muka atau elegant solution.
Alternatif terkait pengenyampingan tersebut adalah, bahwa diperkirakan akan lebih tepat apabila dalam kondisi, alasan  dan atau perbuatan tertentu, bisa dilakukan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif atau alternative dispute resolutions (selanjutnya disebut dengan ADR).
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Sengketa?
2.      Apa Sebab Terjadinya Sengketa?
3.      Bagaimana Sistem Penyelesaian Sengketa?
C.     Tujuan
1.      Untuk Mengetahui Apa Itu Sengketa?
2.      Untuk Mengetahui Apa Sebab Terjadinya Sengketa?
3.      Untuk Memahami Bagaimana Sistem Penyelesaian Sengketa?





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Sengketa
Sengketa berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat terjadi antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok, antara perusahaan dengan perusahaan, antara perusahaan dengan negara, antara negara satu dengan yang lainnya, dan sebagainya. Dengan kata lain, sengketa dapat bersifat publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup lokal, nasional maupun internasional. Sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain, yang kemudian pihak tersebut menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua. Jika situasi menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadi lah apa yang dinamakan dengan sengketa. Dalam konteks hukum khususnya hukum kontrak, yang dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara para pihak karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan. Dengan kata lain telah terjadi wanprestasi oleh pihak-pihak atau salah satu pihak.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan sengketa ialah suatu perselisihan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang saling mempertahankan persepsinya masing-masing, di mana perselisihan tersebut dapat terjadi karena adanya suatu tindakan wanprestasi dari pihak-pihak atau salah satu pihak dalam perjanjian.
Pengertian sengketa menurut para ahli:
1.      Menurut Nurnaningsih Amriani, yang dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak dalam perjanjian karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian. Hal yang sama juga disampaikan oleh
2.      Takdir Rahmadi, yang mengartikan bahwa konflik atau sengketa merupakan situasi dan kondisi di mana orang-orang saling mengalami perselisihan yang bersifat faktual maupun perselisihanperselisihan yang ada pada persepsi mereka saja.
3.      Menurut Winardi, Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
4.      Menurut Ali Achmad, Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
5.      Menurut Edi Prajoto, Sengketa tanah adalah merupakan konflik antara dua orang atau lebih yang sama mempunyai kepentingan atas status hak objek tanah antara satu atau beberapa objek tanah yang dapat mengakibatkan akibat hukum tertentu bagi para pihak.

B.     Sebab-sebab Terjadinya Sengketa
Berikut ini beberapa teori tentang sebab-sebab terjadinya sengketa, antara lain:
a.       Teori hubungan masyarakat
Teori hubungan masyarakat, menitikberatkan adanya ketidakpercayaan dan rivalisasi kelompok dalam masyarakat. Para penganut teori ini memberikan solusi-solusi terhadap konflik-konflik yang timbul dengan cara peningkatan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik, serta pengembangan toleransi agar masyarakat lebih bisa saling menerima keberagaman dalam masyarakat.
b.      Teori negosiasi prinsip
Teori negosiasi prinsip menjelaskan bahwa konflik terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan diantara para pihak. Para penganjur teori ini berpendapat bahwa agar sebuah konflik dapat diselesaikan, maka pelaku harus mampu memisahkan perasaan pribadinya dengan masalah-masalah dan mampu melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan dan bukan pada posisi yang sudah tetap.


c.       Teori identitas
Teori ini menjelaskan bahwa konflik terjadi karena sekelompok orang merasa identitasnya terancam oleh pihak lain. Penganut teori identitas mengusulkan penyelesaian konflik karena identitas yang terancam dilakukan melalui fasilitasi lokakarya dan dialog antara wakil-wakil kelompok yang mengalami konflik dengan tujuan mengidentifikasikan ancaman-ancaman dan kekhawatiran yang mereka rasakan serta membangun empati dan rekonsiliasi. Tujuan akhirnya adalah pencapaian kesepakatan bersama yang mengakui identitas pokok semua pihak.
d.      Teori kesalahpahaman antar budaya
Teori kesalahpahaman antar budaya menjelaskan bahwa konflik terjadi karena ketidakcocokan dalam berkomunikasi diantara orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda. Untuk itu, diperlukan dialog antara orang-orang yang mengalami konflik guna mengenal dan memahami budaya masyarakat lainnya, mengurangi stereotipe yang mereka miliki terhadap pihak lain.
e.       Teori transformasi
Teori ini menjelaskan bahwa konflik dapat terjadi karena adanya masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan serta kesenjangan yang terwujud dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat baik sosial, ekonomi maupun politik. Penganut teori ini berpendapat bahwa penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui beberapa upaya seperti perubahan struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan, peningkatan hubungan, dan sikap jangka panjang para pihak yang mengalami konflik, serta pengembangan proses-proses dan sistem untuk mewujudkan pemberdayaan, keadilan, rekonsiliasi dan pengakuan keberadaan masing-masing.
f.       Teori kebutuhan atau kepentingan manusia
Pada intinya, teori ini mengungkapkan bahwa konflik dapat terjadi karena kebutuhan atau kepentingan manusia tidak dapat terpenuhi/ terhalangi atau merasa dihalangi oleh orang/ pihak lain. Kebutuhan dan kepentingan manusia dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu substantif, prosedural, dan psikologis.
Kepentingan substantif (substantive) berkaitan dengan kebutuhan manusia yang yang berhubungan dengan kebendaan seperti uang, sandang, pangan, papan/rumah, dan kekayaan. Kepentingan prosedural (procedural) berkaitan dengan tata dalam pergaulan masyarakat, sedangkan kepentingan psikologis (psychological) berhubungan dengan non-materiil atau bukan kebendaan seperti penghargaan dan empati.

C.     Sistem Penyelesaian Sengketa
Berdasarkan peraktek peradilan dalam berbagai system hukum yang berlaku di Indonesia, terdapat dua model penyelesaian sengketa/perkara yaitu:
1.      Penyelesain Sengketa Melalui Pengadilan (Litigasi)
Timbulnya sengketa bermula dari adanya konflik yang disebabkan oleh terjadinga benturan atau perbedaan kepentingan satu pihak dengan pihak lain. Di dalam kehidupan bermasyarakat setiap individu mempunyai kepentingan yang berbeda satu sama lain, adakalanya kepentingan-kepentingan itu saling bertentangan satu sama lain dan dapat menimbulkan sengketa. Konflik dapat terjadi ketika dua orang atau lebih terlibat dalam suatu peristiwa atau keadaan yang sama naumn belum tentu mereka memandang peristiwa itu dari kacamata yang sama.
Suatu konflik dapat berasal dari perikatan atau di luar perikatan. Konflik yang berasal dari perikatan timbul apabila salah satu pihak dalam perjanjian melakukan wanprestasi atau mengingkari isi perjanjian. Satu pihak memandang isi perjanjian harus dipenuhi, pihak lain memandang bahwa ketentuan atau isi perjanjian tersebut dapat diingkari, sedangkan konflik yang timbul di luar perikatan terjadi pada konflik-konflik yang melibatkan masyarakat didalamnya, seperti misalnya kasus pencemaran lingkungan hidup. Pada dasarnya penyelesaian sengketa perdata dilakukan secara damai dengan cara dilakukan perdamaian antara para pihak yang bersengketa, karena timbulnya sengketa berpamgkal pada kepentingan pribadi masing-masing yang saling berbenturan, sehingga penyelesaian masalahnya sangat tergantung pada inisiatif para pihak. Penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan baik secara konvensional melalui pengadilan (secara litigasi), atau dengan menggunakan penyelesaian sengketa alternative di luar pengadilan Penyelesaian sengketa melalui pengadilan tunduk terhadap ketentuan hokum acara perdata, yaitu HIR (het Herzienne Indonesisch Reglement) untuk wilayah Jawa dan Madura, RBg (Rechtsreglement Buitengeweisten), serta peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur mengenai acara perdata.
Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan, dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. Dengan kata lain Hukum Acara Perdata adalah sekumpulan peraturan yang mengatur cara bagaimana seseorang harus bertindak terhadap orang lain, atau bagaimana seseorang dapat bertindak terhadap Negara atau badan hukum (juga sebaliknya) seandainya hak dan kepentingan mereka terganggu, melalui suatu badan yang disebut badan peradilan, sehingga terdapat tertib hukum. Menurut Pasal 10 Undang-Undang No. 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, kita mengenal 4 macam Badan Peradilan, yaitu Peradilan Umum. Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara Semua badan peradilan ini bermuara di Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi. Di samping Mahkamah Agung, Indonesia juga memliki Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan pada tingkat pertama dan terakhir dengan kewenangan yang berbeda. Dengan demikian saat ini kekuasaan kehaliman di Indonesia berada di tangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan, di mana semua pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan win-lose solution. Prosedur dalam jalur litigasi ini sifatnya lebih formal dan teknis, menghasilkan kesepakatan yang bersifat menang kalah, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif dan menimbulkan permusuhan diantara para pihak yang bersengketa. Kondisi ini menyebabkan masyarakat mencari alternatif lain yaitu penyelesaian sengketa di luar proses peradilan formal. Penyelesaian sengketa di luar proses peradilan formal ini lah yang disebut dengan “Alternative Dispute Resolution” atau ADR.

2.      Penyelesain Sengketa Diluar Pengadilan (Non Litigasi)
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah penyelelesaian secara damai antara para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui perdamaian berakar pada budaya hukum masyarakat kita, di mana di lingkungan masyarakat adat dikenal adanya runggun adat, kerapatan adat, peradilan adat atau peradilan desa. Lembaga musyawarah, mufakat dan tenggang rasa merupakan falsafah Negara yang digali dari hukum adat dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dunia usaha/perdagangan yang membutuhkan gerak cepat serta terlibat dalam hubungan-hubungan global, maka perhitungan untung rugi terjadi dalam hitungan detik bukan lagi jam, hari dan bulan; serta perhitungan biaya menjadi unsur penting, maka jika timbul sengketa dibutuhkan cara penyelesaian yang cepat dan tepat. Sementara penyelesaian sengketa secara konvensional melalui pengadilan (litigasi) merupakan suatu proses yang panjang dan rumit serta birokratis sehingga memerlukan waktu yang lama, disamping juga diperlukan biaya yang tidak sedikit.
Penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan biayanya relatif lebih murah, yang lebih disukai oleh masyarakat dunia usaha, adalah penyelesaian sengketa alternatif. Penyelesaian sengketa alternatif adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian sengketa Mariam Darus, Beberapa Pemikiran Mengenai Penyelesaian Sengketa di Bidang Ekonomi dan Keuangan, dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Mengenai penyelesaian sengketa alternatif ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase.
Dalam prakteknya bentuk-bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang dikenal dan biasa digunakan adalah negosiasi, mediasi, dan arbitrase. Mengenai arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa, penulis masukkan ke dalam cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, karena arbitrase tidak termasuk Badan Peradilan, sebagaimana kita ketahui sampai saat ini manurut Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, system peradilan kita memiliki 4 macam Badan Peradilan, yaitu: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer.
Akhir-akhir ini pembahasan mengenai alternatif dalam penyelesaian sengketa semakin ramai dibicarakan, bahkan perlu dikembangkan untuk mengatasi kemacetan dan penumpukan perkara di pengadilan maupun di Mahkamah Agung. Alternatif dalam penyelesaian sengketa jumlahnya banyak diantaranya:
a.       Arbitrase
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menjelaskan bahwa arbitrase (wasit) adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase digunakan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara negosiasi/konsultasi maupun melalui pihak ketiga serta untuk menghindari penyelesaian sengketa melalui Badan Peradilan yang selama ini dirasakan memerlukan waktu yang lama.
b.      Negosiasi
Menurut Ficher dan Ury, negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Susanti Adi Nugroho, bahwa negosiasi ialah proses tawar menawar untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain melalui proses interaksi, komunikasi yang dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan
penyelesaian atau jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi oleh kedua belah pihak.
c.       Mediasi
Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif, dapat membantu dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan aktivitas mereka sehingga dapat lebih efektif dalam proses tawar menawar. Mediasi juga dapat diartikan sebagai upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran, dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat.
d.      Konsiliasi
Konsiliasi merupakan lanjutan dari mediasi. Mediator berubah fungsi menjadi konsiliator. Dalam hal ini konsiliator menjalankan fungsi yang lebih aktif dalam mencari bentuk-bentuk penyelesaian sengketa dan menawarkannya kepada para pihak. Jika para pihak dapat menyetujui, solusi yang dibuat konsiliator akan menjadi resolution. Kesepakatan yang terjadi bersifat final dan mengikat para pihak. Apabila pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa, proses ini disebut konsiliasi.
e.       Penilaian ahli
Penilaian ahli merupakan cara penyelesaian sengketa oleh para pihak dengan meminta pendapat atau penilaian ahli terhadap perselisihan yang sedang terjadi.
f.       Pencari fakta (fact finding)
Pencari fakta adalah sebuah cara penyelesaian sengketa oleh para pihak dengan meminta bantuan sebuah tim yang biasanya terdiri atas para ahli dengan jumlah ganjil yang menjalankan fungsi penyelidikan atau penemuan fakta-fakta yang diharapkan memperjelas
duduk persoalan dan dapat mengakhiri sengketa
Penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui APS tetap di perbolehkan, akan tetapi putusan APS hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi (executoir) dari pengadilan. Bahwa APS ini hanya diatur dalam satu pasal dan tidak mendalam dalam UU No. 30 Tahun 1999, yaitu melalui cara musyawarah para pihak yang bersengketa melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
Jika dilihat dalam bentuk perundang-undangan Indonesia bahwa APS juga dikenal dan diakui, yaitu yang antara lain diatur dalam:
1)      Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 Bab Kedelapanbelas, Buku III KUH Perdata tentang Perdamaian (Stb. 1838 tentang Burgerlijke Wetboek).
2)      Reglemen Acara Perdata (Reglement of de Rechrsvordering, Staatsblad 1847.52), mulai Pasal 615 s/d Pasal 651
3)      Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941.44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsregement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227)
4)      Piagam PBB, khususnya Pasal 33 ayat (1)
5)      GATT, khususnya Paragraph 1 Pasal XXII
6)      ICC = The International Chamber of Commerce
7)      WIPO Mediation Rules (effective from October 1, 1994)
8)      UU No. 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal (Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of other States)
9)      UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
10)  UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, disahkan pada tanggal 19 September 1997 (LN Tahun 1997 No. 68, TLN No. 3699)
11)  UU No.5 Tahun 1999 Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, disahkan pada tgl 5 Maret 1999 (LN Tahun 1999 No. 33, TLN No. 3817).
12)  UU No.8 Thn. 1999 tentang Perlindungan Konsumen, disahkan pada tanggal 20 April 1999 (LN Thn 1999 No.42), khususnya Pasal 49 sampai dengan Pasal 58
13)  UU No.18 Thn 1999 ttg Jasa Konstruksi, disahkan pada tanggal 7 Mei 1999 (LN Thn 1999 No. 54, TLN No. 3833), khususnya Pasal 37.
14)  UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
15)  UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
16)  UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mencabut UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
17)  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Penangguhan Mulai Berlakunya UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
18)  PP No.54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (PJPSLH).
19)  PP No.57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional, tanggal 21 Juli 2001 (LN Tahun 2001 No.102, TLN No.4125).
20)  PP No.58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, tanggal 21 Juli 2001 (LN Tahun 2001 No.103, TLN No.4126).
21)  Keppres No.34 Tahun 1981 tenrtang Pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards
22)  Keppres No.9 Tahun 1998 tentang INDRA
23)  Keppres No.75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaiangan Usaha.
24)  Keppres No.90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
25)  Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 tgl. 30 Desember 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitor yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitor yang Tidak Menyelesaikan PKPS.
26)  Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
27)  Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
28)  Surat Edaran Mahkamah Agung No.1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai.
29)  Peraturan Bank Indonesia No.:7/7/Pbi/2005 Tgl. 20 Januari 2005 Tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
30)  Keputusan Menteri Agama No.30 Tahun 1977 tentang Badan Penasehat Perkawinan (BP-4).
31)  Keputusan Menteri Agama No.61 A Tahun 1984 tentang Pembentukan Tim Penyusunan Naskah Pedoman Penasehatan Perkawinan.
32)  Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No: Kep-461/KMK.01/2004 tanggal 27 September 2004 tentang Prosedur Operasi Standar Kebijakan Perdamaian Sehubungan dengan Penanganan Aset Negara Berperkara.
33)  Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan RI No.: 301/MPP/Kep/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
34)  Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350/MPP/Kep/12/2001 tentang Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
35)  Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No: Kep-92/Men/VI/2004 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator serta Tata Kerja Mediasi.



BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat terjadi antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok, antara perusahaan dengan perusahaan, antara perusahaan dengan negara, antara negara satu dengan yang lainnya, dan sebagainya. Dengan kata lain, sengketa dapat bersifat publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup lokal, nasional maupun internasional.
Sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain, yang kemudian pihak tersebut menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua. Jika situasi menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadi lah apa yang dinamakan dengan sengketa.
Sengketa diantaranya terjadi karena ketidakpercayaan dan rivalisasi kelompok dalam masyarakat. Para penganut teori ini memberikan solusi-solusi terhadap konflik-konflik yang timbul dengan cara peningkatan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik, serta pengembangan toleransi agar masyarakat lebih bisa saling menerima keberagaman dalam masyarakat.
Berdasarkan peraktek peradilan dalam berbagai system hukum yang berlaku di Indonesia, terdapat dua model penyelesaian sengketa/perkara yaitu:
1.      Penyelesain Sengketa Melalui Pengadilan (Litigasi)
Litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan, di mana semua pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan win-lose solution. Prosedur dalam jalur litigasi ini sifatnya lebih formal dan teknis.
2.      Penyelesain Sengketa Diluar Pengadilan (Non Litigasi)
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah penyelelesaian secara damai antara para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui perdamaian berakar pada budaya hukum masyarakat kita, di mana di lingkungan masyarakat adat dikenal adanya runggun adat, kerapatan adat, peradilan adat atau peradilan desa.



Share:

0 komentar:

Post a Comment