BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Saat
membicarakan hukum dan institusi negara yang melaksanakan hukum, maka kita
kerap mengaitkannya dengan wacana tentang “Keadilan Formal” (Formal Justice)
yang dijalankan dan dihasilkan oleh hukum maupun proses hukum yang juga formal.
Mengapa dikatakan “formal”, mengingat proses hukum yang dilaksanakan oleh
institusi negara di bidang hukum itu didasarkan pada hukum yang tertulis dan
terkodifikasikan, dilakukan oleh aparat resmi negara yang diberi kewenangan,
serta membutuhkan proses beracara yang juga standar dan mengabadi.
Namun
demikian, wajah lain dari hukum dan proses hukum yang formal tadi adalah
terdapatnya fakta bahwa keadilan formal tadi, sekurang-kurangnya di Indonesia,
ternyata mahal, berkepanjangan, melelahkan, tidak menyelesaikan masalah dan, yang
lebih parah lagi, penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Salahsatu
dari berbagai masalah yang menjadikan bentuk keadilan ini terlihat problematik
adalah, mengingat terdapatnya dan dilakukannya satu proses yang sama bagi semua
jenis masalah (One for All Mechanism). Inilah yang mengakibatkan mulai
berpalingnya banyak pihak guna mencari alternatif penyelesaian atas masalahnya.
Bila dikaitkan dengan cita-cita mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia guna membentuk Negara Hukum (Recht Staat), dan bukan Negara Kekuasaan (Macht Staat), maka salah satu indikator capaiannya adalah terbentuknya kondisi dan kemampuan warga negara atau masyarakat untuk patuh hukum (Citizen Who Abides the Law), atau bahkan masyarakat yang patuh hukum (Law Abiding Citizen). Dalam situasi tersebut, proses penegakan hukum tidak seyogyanya sepenuhnya atau selamanya dilakukan dengan mempergunakan metode keadilan formal, yang salahsatunya berupa tindakan kepolisian represif dan dilanjutkan dengan proses hukum litigatif (Law Enforcement Process). Sebagaimana disadari, tindakan formal litigatif tersebut banyak bergantung pada upaya paksa dan kewenangan petugas hukum yang melakukannya. Selanjutnya, kalaupun muncul suatu hasil, maka umumnya akan berakhir dengan situasi “kalah-kalah” (lost-lost) atau “menang-kalah” (win-lost).
Dalam konteks
kehadiran masyarakat yang mau untuk patuh pada hukum ataupun yang telah patuh
hukum dalam suatu negara kesatuan tersebut, maka semangat yang muncul dewasa
ini adalah juga semangat pengenyampingan untuk tidak mempergunakan proses
penegakan hukum via litigasi tersebut. Namun bedanya adalah, dalam konteks ini,
pengenyampingan dilakukan guna mencapai suatu situasi “menang-menang” (win-win)
antara pihak-pihak terkait, yang diperkirakan juga akan lebih menyembuhkan
(healing) terkait para pihak yang terlibat (khususnya korban), serta lebih
resolutif (sebagai suatu kata bentukan “re-solusi” yang dapat diartikan sebagai
“tercapainya kembali solusi yang sebelumnya tidak lagi diperoleh”). Minimal,
pengakhiran konflik atau sengketa bisa dilakukan tanpa ada pihak yang
kehilangan muka atau elegant solution.
Alternatif
terkait pengenyampingan tersebut adalah, bahwa diperkirakan akan lebih tepat
apabila dalam kondisi, alasan dan atau
perbuatan tertentu, bisa dilakukan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif
atau alternative dispute resolutions (selanjutnya disebut dengan ADR).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Sengketa?
2.
Apa Sebab Terjadinya Sengketa?
3.
Bagaimana Sistem Penyelesaian Sengketa?
C.
Tujuan
1.
Untuk Mengetahui Apa Itu Sengketa?
2.
Untuk Mengetahui Apa Sebab Terjadinya Sengketa?
3.
Untuk Memahami Bagaimana Sistem Penyelesaian Sengketa?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Sengketa
Sengketa berarti pertentangan atau konflik,
Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang,
kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Sengketa dapat
terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat terjadi antara individu
dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan
kelompok, antara perusahaan dengan perusahaan, antara perusahaan dengan negara,
antara negara satu dengan yang lainnya, dan sebagainya. Dengan kata lain,
sengketa dapat bersifat publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi
baik dalam lingkup lokal, nasional maupun internasional. Sengketa adalah suatu
situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain, yang kemudian
pihak tersebut menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua. Jika situasi
menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadi lah apa yang dinamakan dengan
sengketa. Dalam konteks hukum khususnya hukum kontrak, yang dimaksud dengan
sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara para pihak karena adanya
pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah dituangkan dalam suatu kontrak,
baik sebagian maupun keseluruhan. Dengan kata lain telah terjadi wanprestasi
oleh pihak-pihak atau salah satu pihak.
Dengan
demikian, yang dimaksud dengan sengketa ialah suatu perselisihan yang terjadi
antara dua pihak atau lebih yang saling mempertahankan persepsinya
masing-masing, di mana perselisihan tersebut dapat terjadi karena adanya suatu
tindakan wanprestasi dari pihak-pihak atau salah satu pihak dalam perjanjian.
Pengertian sengketa menurut para ahli:
1.
Menurut Nurnaningsih Amriani, yang dimaksud dengan sengketa adalah
perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak dalam perjanjian karena adanya
wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian. Hal yang
sama juga disampaikan oleh
2.
Takdir Rahmadi, yang mengartikan bahwa konflik atau sengketa
merupakan situasi dan kondisi di mana orang-orang saling mengalami perselisihan
yang bersifat faktual maupun perselisihanperselisihan yang ada pada persepsi
mereka saja.
3.
Menurut Winardi, Pertentangan atau konflik yang terjadi antara
individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau
kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat
hukum antara satu dengan yang lain.
4.
Menurut Ali Achmad, Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak
atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan
atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
5.
Menurut Edi Prajoto, Sengketa tanah adalah merupakan konflik antara
dua orang atau lebih yang sama mempunyai kepentingan atas status hak objek
tanah antara satu atau beberapa objek tanah yang dapat mengakibatkan akibat hukum
tertentu bagi para pihak.
B.
Sebab-sebab Terjadinya Sengketa
Berikut ini beberapa teori tentang
sebab-sebab terjadinya sengketa, antara lain:
a.
Teori hubungan masyarakat
Teori hubungan masyarakat,
menitikberatkan adanya ketidakpercayaan dan rivalisasi kelompok dalam
masyarakat. Para penganut teori ini memberikan solusi-solusi terhadap
konflik-konflik yang timbul dengan cara peningkatan komunikasi dan saling
pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik, serta pengembangan
toleransi agar masyarakat lebih bisa saling menerima keberagaman dalam
masyarakat.
b.
Teori negosiasi prinsip
Teori negosiasi prinsip menjelaskan
bahwa konflik terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan diantara para pihak.
Para penganjur teori ini berpendapat bahwa agar sebuah konflik dapat
diselesaikan, maka pelaku harus mampu memisahkan perasaan pribadinya dengan
masalah-masalah dan mampu melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan dan bukan
pada posisi yang sudah tetap.
c.
Teori identitas
Teori ini menjelaskan bahwa konflik
terjadi karena sekelompok orang merasa identitasnya terancam oleh pihak lain.
Penganut teori identitas mengusulkan penyelesaian konflik karena identitas yang
terancam dilakukan melalui fasilitasi lokakarya dan dialog antara wakil-wakil
kelompok yang mengalami konflik dengan tujuan mengidentifikasikan
ancaman-ancaman dan kekhawatiran yang mereka rasakan serta membangun empati dan
rekonsiliasi. Tujuan akhirnya adalah pencapaian kesepakatan bersama yang
mengakui identitas pokok semua pihak.
d.
Teori kesalahpahaman antar budaya
Teori kesalahpahaman antar budaya
menjelaskan bahwa konflik terjadi karena ketidakcocokan dalam berkomunikasi
diantara orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda. Untuk itu,
diperlukan dialog antara orang-orang yang mengalami konflik guna mengenal dan
memahami budaya masyarakat lainnya, mengurangi stereotipe yang mereka miliki
terhadap pihak lain.
e.
Teori transformasi
Teori ini menjelaskan bahwa konflik
dapat terjadi karena adanya masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan
serta kesenjangan yang terwujud dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat baik
sosial, ekonomi maupun politik. Penganut teori ini berpendapat bahwa
penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui beberapa upaya seperti perubahan
struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan, peningkatan
hubungan, dan sikap jangka panjang para pihak yang mengalami konflik, serta
pengembangan proses-proses dan sistem untuk mewujudkan pemberdayaan, keadilan,
rekonsiliasi dan pengakuan keberadaan masing-masing.
f.
Teori kebutuhan atau kepentingan manusia
Pada intinya, teori ini
mengungkapkan bahwa konflik dapat terjadi karena kebutuhan atau kepentingan
manusia tidak dapat terpenuhi/ terhalangi atau merasa dihalangi oleh orang/
pihak lain. Kebutuhan dan kepentingan manusia dapat dibedakan menjadi tiga
jenis yaitu substantif, prosedural, dan psikologis.
Kepentingan substantif (substantive) berkaitan
dengan kebutuhan manusia yang yang berhubungan dengan kebendaan seperti uang,
sandang, pangan, papan/rumah, dan kekayaan. Kepentingan prosedural (procedural)
berkaitan dengan tata dalam pergaulan masyarakat, sedangkan kepentingan
psikologis (psychological) berhubungan dengan non-materiil atau bukan kebendaan
seperti penghargaan dan empati.
C.
Sistem Penyelesaian Sengketa
Berdasarkan peraktek peradilan dalam berbagai
system hukum yang berlaku di Indonesia, terdapat dua model penyelesaian
sengketa/perkara yaitu:
1.
Penyelesain Sengketa Melalui Pengadilan (Litigasi)
Timbulnya sengketa bermula dari
adanya konflik yang disebabkan oleh terjadinga benturan atau perbedaan
kepentingan satu pihak dengan pihak lain. Di dalam kehidupan bermasyarakat
setiap individu mempunyai kepentingan yang berbeda satu sama lain, adakalanya
kepentingan-kepentingan itu saling bertentangan satu sama lain dan dapat
menimbulkan sengketa. Konflik dapat terjadi ketika dua orang atau lebih
terlibat dalam suatu peristiwa atau keadaan yang sama naumn belum tentu mereka
memandang peristiwa itu dari kacamata yang sama.
Suatu konflik dapat berasal dari
perikatan atau di luar perikatan. Konflik yang berasal dari perikatan timbul
apabila salah satu pihak dalam perjanjian melakukan wanprestasi atau
mengingkari isi perjanjian. Satu pihak memandang isi perjanjian harus dipenuhi,
pihak lain memandang bahwa ketentuan atau isi perjanjian tersebut dapat
diingkari, sedangkan konflik yang timbul di luar perikatan terjadi pada
konflik-konflik yang melibatkan masyarakat didalamnya, seperti misalnya kasus
pencemaran lingkungan hidup. Pada dasarnya penyelesaian sengketa perdata
dilakukan secara damai dengan cara dilakukan perdamaian antara para pihak yang
bersengketa, karena timbulnya sengketa berpamgkal pada kepentingan pribadi
masing-masing yang saling berbenturan, sehingga penyelesaian masalahnya sangat
tergantung pada inisiatif para pihak. Penyelesaian sengketa perdata dapat
dilakukan baik secara konvensional melalui pengadilan (secara litigasi), atau
dengan menggunakan penyelesaian sengketa alternative di luar pengadilan
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan tunduk terhadap ketentuan hokum acara
perdata, yaitu HIR (het Herzienne Indonesisch Reglement) untuk wilayah Jawa dan
Madura, RBg (Rechtsreglement Buitengeweisten), serta peraturan
perundang-undangan lainnya yang mengatur mengenai acara perdata.
Hukum Acara Perdata adalah
rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap
dan di muka pengadilan, dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu
sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
Dengan kata lain Hukum Acara Perdata adalah sekumpulan peraturan yang mengatur
cara bagaimana seseorang harus bertindak terhadap orang lain, atau bagaimana
seseorang dapat bertindak terhadap Negara atau badan hukum (juga sebaliknya)
seandainya hak dan kepentingan mereka terganggu, melalui suatu badan yang
disebut badan peradilan, sehingga terdapat tertib hukum. Menurut Pasal 10
Undang-Undang No. 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, kita mengenal 4
macam Badan Peradilan, yaitu Peradilan Umum. Peradilan Agama, Peradilan Militer
dan Peradilan Tata Usaha Negara Semua badan peradilan ini bermuara di Mahkamah
Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi. Di samping Mahkamah Agung, Indonesia
juga memliki Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan pada tingkat pertama
dan terakhir dengan kewenangan yang berbeda. Dengan demikian saat ini kekuasaan
kehaliman di Indonesia berada di tangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Litigasi merupakan proses
penyelesaian sengketa di pengadilan, di mana semua pihak yang bersengketa
saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka
pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi
adalah putusan yang menyatakan win-lose solution. Prosedur dalam jalur litigasi
ini sifatnya lebih formal dan teknis, menghasilkan kesepakatan yang bersifat
menang kalah, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya,
membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif dan menimbulkan permusuhan
diantara para pihak yang bersengketa. Kondisi ini menyebabkan masyarakat mencari
alternatif lain yaitu penyelesaian sengketa di luar proses peradilan formal.
Penyelesaian sengketa di luar proses peradilan formal ini lah yang disebut
dengan “Alternative Dispute Resolution” atau ADR.
2.
Penyelesain Sengketa Diluar Pengadilan (Non Litigasi)
Penyelesaian sengketa di luar
pengadilan adalah penyelelesaian secara damai antara para pihak yang
bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui perdamaian berakar pada budaya hukum
masyarakat kita, di mana di lingkungan masyarakat adat dikenal adanya runggun
adat, kerapatan adat, peradilan adat atau peradilan desa. Lembaga musyawarah,
mufakat dan tenggang rasa merupakan falsafah Negara yang digali dari hukum adat
dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dunia usaha/perdagangan
yang membutuhkan gerak cepat serta terlibat dalam hubungan-hubungan global,
maka perhitungan untung rugi terjadi dalam hitungan detik bukan lagi jam, hari
dan bulan; serta perhitungan biaya menjadi unsur penting, maka jika timbul
sengketa dibutuhkan cara penyelesaian yang cepat dan tepat. Sementara
penyelesaian sengketa secara konvensional melalui pengadilan (litigasi)
merupakan suatu proses yang panjang dan rumit serta birokratis sehingga
memerlukan waktu yang lama, disamping juga diperlukan biaya yang tidak sedikit.
Penyelesaian sengketa yang lebih
cepat dan biayanya relatif lebih murah, yang lebih disukai oleh masyarakat
dunia usaha, adalah penyelesaian sengketa alternatif. Penyelesaian sengketa
alternatif adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian sengketa Mariam Darus,
Beberapa Pemikiran Mengenai Penyelesaian Sengketa di Bidang Ekonomi dan
Keuangan, dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian
ahli. Mengenai penyelesaian sengketa alternatif ini diatur dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase.
Dalam prakteknya bentuk-bentuk
penyelesaian sengketa alternatif yang dikenal dan biasa digunakan adalah
negosiasi, mediasi, dan arbitrase. Mengenai arbitrase sebagai lembaga
penyelesaian sengketa, penulis masukkan ke dalam cara penyelesaian sengketa di
luar pengadilan, karena arbitrase tidak termasuk Badan Peradilan, sebagaimana
kita ketahui sampai saat ini manurut Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, system peradilan kita memiliki 4 macam
Badan Peradilan, yaitu: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha
Negara, dan Peradilan Militer.
Akhir-akhir ini pembahasan mengenai
alternatif dalam penyelesaian sengketa semakin ramai dibicarakan, bahkan perlu dikembangkan
untuk mengatasi kemacetan dan penumpukan perkara di pengadilan maupun di
Mahkamah Agung. Alternatif dalam penyelesaian sengketa jumlahnya banyak
diantaranya:
a.
Arbitrase
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
menjelaskan bahwa arbitrase (wasit) adalah cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase digunakan untuk
mengantisipasi perselisihan yang mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami
perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara negosiasi/konsultasi maupun
melalui pihak ketiga serta untuk menghindari penyelesaian sengketa melalui
Badan Peradilan yang selama ini dirasakan memerlukan waktu yang lama.
b.
Negosiasi
Menurut Ficher dan Ury, negosiasi
merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada
saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda.
Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Susanti Adi Nugroho, bahwa
negosiasi ialah proses tawar menawar untuk mencapai kesepakatan dengan pihak
lain melalui proses interaksi, komunikasi yang dinamis dengan tujuan untuk
mendapatkan
penyelesaian atau jalan keluar dari
permasalahan yang sedang dihadapi oleh kedua belah pihak.
c.
Mediasi
Mediasi pada dasarnya adalah
negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur
mediasi yang efektif, dapat membantu dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan
aktivitas mereka sehingga dapat lebih efektif dalam proses tawar menawar. Mediasi
juga dapat diartikan sebagai upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan
kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral, dan tidak membuat
keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk
terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran, dan
tukar pendapat untuk tercapainya mufakat.
d.
Konsiliasi
Konsiliasi merupakan lanjutan dari
mediasi. Mediator berubah fungsi menjadi konsiliator. Dalam hal ini konsiliator
menjalankan fungsi yang lebih aktif dalam mencari bentuk-bentuk penyelesaian sengketa
dan menawarkannya kepada para pihak. Jika para pihak dapat menyetujui, solusi
yang dibuat konsiliator akan menjadi resolution. Kesepakatan yang terjadi
bersifat final dan mengikat para pihak. Apabila pihak yang bersengketa tidak
mampu merumuskan suatu kesepakatan dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan
keluar dari sengketa, proses ini disebut konsiliasi.
e.
Penilaian ahli
Penilaian ahli merupakan cara
penyelesaian sengketa oleh para pihak dengan meminta pendapat atau penilaian
ahli terhadap perselisihan yang sedang terjadi.
f.
Pencari fakta (fact finding)
Pencari fakta adalah sebuah cara
penyelesaian sengketa oleh para pihak dengan meminta bantuan sebuah tim yang
biasanya terdiri atas para ahli dengan jumlah ganjil yang menjalankan fungsi penyelidikan
atau penemuan fakta-fakta yang diharapkan memperjelas
duduk persoalan dan dapat mengakhiri sengketa
Penyelesaian perkara di luar
pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui APS tetap di perbolehkan, akan
tetapi putusan APS hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh
izin atau perintah untuk dieksekusi (executoir) dari pengadilan. Bahwa APS ini
hanya diatur dalam satu pasal dan tidak mendalam dalam UU No. 30 Tahun 1999,
yaitu melalui cara musyawarah para pihak yang bersengketa melalui prosedur yang
disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
Jika dilihat dalam bentuk
perundang-undangan Indonesia bahwa APS juga dikenal dan diakui, yaitu yang
antara lain diatur dalam:
1)
Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 Bab Kedelapanbelas, Buku III
KUH Perdata tentang Perdamaian (Stb. 1838 tentang Burgerlijke Wetboek).
2)
Reglemen Acara Perdata (Reglement of de Rechrsvordering, Staatsblad
1847.52), mulai Pasal 615 s/d Pasal 651
3)
Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene
Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941.44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk
Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsregement Buitengewesten, Staatsblad
1927:227)
4)
Piagam PBB, khususnya Pasal 33 ayat (1)
5)
GATT, khususnya Paragraph 1 Pasal XXII
6)
ICC = The International Chamber of Commerce
7)
WIPO Mediation Rules (effective from October 1, 1994)
8)
UU No. 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi Penyelesaian Perselisihan
antara Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal (Convention on
the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of other
States)
9)
UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
10)
UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, disahkan
pada tanggal 19 September 1997 (LN Tahun 1997 No. 68, TLN No. 3699)
11)
UU No.5 Tahun 1999 Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, disahkan pada tgl 5 Maret 1999 (LN Tahun 1999 No. 33, TLN No.
3817).
12)
UU No.8 Thn. 1999 tentang Perlindungan Konsumen, disahkan pada
tanggal 20 April 1999 (LN Thn 1999 No.42), khususnya Pasal 49 sampai dengan
Pasal 58
13)
UU No.18 Thn 1999 ttg Jasa Konstruksi, disahkan pada tanggal 7 Mei
1999 (LN Thn 1999 No. 54, TLN No. 3833), khususnya Pasal 37.
14)
UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
15)
UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
16)
UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mencabut UU
No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
17)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Penangguhan
Mulai Berlakunya UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
18)
PP No.54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Penyelesaian
Sengketa Lingkungan Hidup (PJPSLH).
19)
PP No.57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional,
tanggal 21 Juli 2001 (LN Tahun 2001 No.102, TLN No.4125).
20)
PP No.58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen, tanggal 21 Juli 2001 (LN Tahun 2001 No.103, TLN
No.4126).
21)
Keppres No.34 Tahun 1981 tenrtang Pengesahan Convention on the
Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards
22)
Keppres No.9 Tahun 1998 tentang INDRA
23)
Keppres No.75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaiangan Usaha.
24)
Keppres No.90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen.
25)
Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 tgl. 30 Desember 2002 tentang
Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitor yang Telah Menyelesaikan
Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitor yang Tidak Menyelesaikan PKPS.
26)
Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
27)
Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan
28)
Surat Edaran Mahkamah Agung No.1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan
Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai.
29)
Peraturan Bank Indonesia No.:7/7/Pbi/2005 Tgl. 20 Januari 2005
Tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
30)
Keputusan Menteri Agama No.30 Tahun 1977 tentang Badan Penasehat
Perkawinan (BP-4).
31)
Keputusan Menteri Agama No.61 A Tahun 1984 tentang Pembentukan Tim
Penyusunan Naskah Pedoman Penasehatan Perkawinan.
32)
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No:
Kep-461/KMK.01/2004 tanggal 27 September 2004 tentang Prosedur Operasi Standar
Kebijakan Perdamaian Sehubungan dengan Penanganan Aset Negara Berperkara.
33)
Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan RI No.:
301/MPP/Kep/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
34)
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No.350/MPP/Kep/12/2001 tentang Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
35)
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
No: Kep-92/Men/VI/2004 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator serta
Tata Kerja Mediasi.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Sengketa dapat
terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat terjadi antara individu
dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan
kelompok, antara perusahaan dengan perusahaan, antara perusahaan dengan negara,
antara negara satu dengan yang lainnya, dan sebagainya. Dengan kata lain,
sengketa dapat bersifat publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi
baik dalam lingkup lokal, nasional maupun internasional.
Sengketa
adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain,
yang kemudian pihak tersebut menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua.
Jika situasi menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadi lah apa yang
dinamakan dengan sengketa.
Sengketa
diantaranya terjadi karena ketidakpercayaan dan rivalisasi kelompok dalam
masyarakat. Para penganut teori ini memberikan solusi-solusi terhadap
konflik-konflik yang timbul dengan cara peningkatan komunikasi dan saling
pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik, serta pengembangan
toleransi agar masyarakat lebih bisa saling menerima keberagaman dalam
masyarakat.
Berdasarkan
peraktek peradilan dalam berbagai system hukum yang berlaku di Indonesia,
terdapat dua model penyelesaian sengketa/perkara yaitu:
1.
Penyelesain Sengketa Melalui Pengadilan (Litigasi)
Litigasi merupakan proses
penyelesaian sengketa di pengadilan, di mana semua pihak yang bersengketa
saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka
pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi
adalah putusan yang menyatakan win-lose solution. Prosedur dalam jalur litigasi
ini sifatnya lebih formal dan teknis.
2.
Penyelesain Sengketa Diluar Pengadilan (Non Litigasi)
Penyelesaian sengketa di luar
pengadilan adalah penyelelesaian secara damai antara para pihak yang
bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui perdamaian berakar pada budaya hukum
masyarakat kita, di mana di lingkungan masyarakat adat dikenal adanya runggun
adat, kerapatan adat, peradilan adat atau peradilan desa.
0 komentar:
Post a Comment