Sumber:Goole.com
Bab 15. Gen yang Egois?
Genetika
Baru pada akhir tahun
1930-an mekanisme evolusi Darwin – yakni seleksi alam –diterima secara luas.
Pada masa ini, para ilmuwan terkemuka seperti Fisher, Haldane dan Wright
menjadi para pendiri neo-Darwinisme, yang menggabungkan seleksi alam dengan
genetika Mendel. Teori hereditas [pewarisan ciri-ciri induk] adalah esensial
bagi hubungan antara teori evolusi dan teori sel. Di abad ke-19, ahli biologi
Scheilden, Schwann dan Virchow menjelaskan bahwa sel adalah unit dasar dari
makhluk hidup. Di tahun 1944, Oswald Avery mengidentifikasi DNA dalam inti sel
sebagai bahan yang membangun basis hereditas. Penemuan struktur heliks ganda
DNA oleh Crick dan Watson semakin memperjelas proses evolusi. Variasi-variasi
Darwinian disebabkan oleh perubahan dalam DNA, yang muncul dari mutasi acak dan
pengaturan ulang molekular internal, yang menjadi landasan bekerjanya seleksi
alam.
Gregor Johann Mendel,
seorang biarawan Austria, dan seorang botanis amatir, di tahun 1860-an membuat
satu studi yang cermat tentang ciri-ciri yang diwariskan pada tanaman. Diakemudian
menemukan fenomena pewarisan genetik. Mendel, seorang yang pemalu dan rendah
hati, mengirimkan penemuannya pada seorang ahli biologi ternama yang, seperti
dapat kita harapkan, menganggap penemuannya itu sebagai omong kosong. Karena
sangat terpukul, Mendel menyembunyikan idenya dari dunia dan kembali ke
tanaman-tanamannya. Karyanya yang revolusioner ini baru ditemukan kembali di
tahun 1900-an ketika ilmu genetika dilahirkan. Perkembangan dalam teknik
mikroskop memungkinkan untuk melihat ke dalam sel, yang membawa kita pada
penemuan gen dan kromosom.
Genetika memungkinkan
kita memahami perkembangan kehidupan yang berlangsung terus-menerus. Evolusi
kehidupan berarti kemunculan molekul-molekul yang sanggup menyalin dirinya
sendiri, yang dapat memindahkan ciri-ciri satu bentuk kehidupan ke generasi
selanjutnya. Mekanisme ini adalah asam deoksiribonukleat (DNA). Molekul DNA
yang sanggup menyalin diri sendiri ini tidaklah terkonsentrasi dalam satu
bagian tubuh tertentu, melainkan terkandung dalam tiap sel hewan atau tumbuhan.
Spesies yang berevolusi paling tinggi, produk evolusi selama 3 miliar tahun,
adalah manusia. Pada saat dewasa, manusia tersusun dari sekitar satu triliun
sel, tapi pada saat pembuahan ia hanya terdiri dari satu sel saja. Bagaimana
ini dapat terjadi? Rahasianya ada pada DNA. Di dalam sel tunggal ini terdapat
molekul DNA yang mengandung kode genetik untuk rekonstruksi seorang manusia.
Informasi genetik yang terkandung dalam gen-gen ini disimpan dalam bentuk sandi
kimiawi. Gen adalah sebuah bagian dari DNA yang memiliki informasi untuk
membuat satu jenis protein tertentu.
Gen-gen yang
terkandung dalam tiap sel adalah bagian dari organisme yang mengandung semua
informasi yang diperlukan untuk menciptakan hewan atau tumbuhan tertentu.
Kebanyakan gen membawa informasi yang mengarahkan sel untuk membuat protein.
Beberapa gen memberitahu sel dalam embrio di mana mereka berada dan apakah
mereka harus tumbuh menjadi tangan atau kaki. Urutan DNA yang tersimpan dalam
gen-gen ini menentukan makhluk hidup macam apa yang akan tercipta. Informasi
hereditas tersimpan dalam inti tiap sel dalam bentuk rantai gen-gen yang
dinamai kromosom. Seperti sebuah buku teks yang hidup, dua set kromosom memuat
semua gen yang dimiliki oleh satu individu, menentukan sifat dari struktur
protein-protein yang melakukan sebagian besar kerja di dalam tubuh.
Baru di tahun 1950-an
komposisi kimia dari gen ditemukan, yakni DNA. Di tahun 1953 Francis Crick dan
James Watson membuat sebuah terobosan revolusioner dalam genetika dengan penemuan
model heliks gandadari molekul-molekul asam nukleat. Penemuan ini membawa
mereka berbagi Hadiah Nobel di tahun 1962. Ini memperjelas bagaimana kromosom
disalin dalam pembelahan sel. DNA hadir dalam bentuk-bentuk kehidupan yang
paling sederhana sekalipun: sebuah virus memiliki satu molekul DNA tunggal.
Semua bentuk kehidupan yang kita kenal pada akhirnya tergantung pada DNA.
Penemuan dan perkembangan genetika semakin mengungkap rahasia evolusi.
Hukum-hukum evolusi yang ditemukan oleh Darwin telah diperkaya oleh pemahaman
genetika, melalui karya Fisher, Haldane dan Wright, para pendiri
neo-Darwinisme.
Gen adalah unit
hereditas. Seluruh koleksi gen yang dimiliki oleh satu organisme disebut genom.
Pada saat ini pada ilmuwan sedang berusaha mengenali semua gen-genyang dimiliki
manusia, yang jumlahnya sekitar 100 ribu. Gen-gen itu sendiri mereproduksi diri
dalam tiap generasi sel; protein dalam bentuk enzim-enzim khusus memainkan
peran penting dalam proses ini. Melalui reproduksi-diri, gen dibentuk lagi dan
lagi dalam tiap sel baru. Dengan demikian, gen-gen secara tidak langsung
menghasilkan protein yang membangun dan memelihara semua sel. Dari sel-sel
bakteri, sel-sel tumbuhan dan sel-sel hewan; sel-sel yang terspesialisasi untuk
membentuk daun dan batang, otot dan tulang, hati dan ginjal, dan banyak lagi,
termasuk otak. Tiap sel mengandung gen yang sama dengan yang ada pada sel yang
pertama membentuk mereka. Tiap sel manusia mungkin mengandung informasi genetik
yang dibutuhkan untuk membuat tiap jenis sel manusia, dan dengan demikian
keseluruhan manusia, tapi dalam tiap sel hanya satu potongan informasi yang
digunakan. Ini dapat disamakan dengan sebuah buku panduan, di mana hanya
beberapa halaman tertentu, dan bahkan hanya beberapa baris atau kata yang dipilih
untuk menyandikan protein tertentu yang diperlukan untuk menghasilkan berbagai
jenis sel.
Efek dari reproduksi
seksual adalah percampuran atau pengocokan gen. Sel-sel seksual (telur atau
sperma) hanya mengandung 23 kromosom, tapi ketika bergabung membentuk jumlah
normal 46 kromosom. Sel yang baru ini akan, seperti kata Dawkins, menjadi “satu
mosaik dari gen-gen ibu dan ayah.” Ketika dua himpunan kromosom bersatu, jika
dua gen memberi sinyal yang berbeda, salah satu akan berjaya dari yang lain.
Gen untuk mata cokelat, misalnya, bersifat dominan terhadap gen untuk mata
biru. Ini adalah apa yang dikenal sebagai gen resesif atau dominan. Kadang kala
kompromi hibrida dihasilkan.
Melalui reproduksi
kita mendapatkan variasi. Dari sudut pandang evolusi, ini adalah hal yang
vital. Reproduksi aseksual dari organisme primitif menghasilkan salinan yang
identik dengan sel induknya, di manamutasi sangat jarang terjadi. Di pihak
lain, reproduksi seksual, dengan kombinasi-kombinasi gen baru dari dua sumber,
meningkatkan kemungkinan variasi genetik dan mempercepat tingkat kecepatan
evolusi itu sendiri. Setiap bentuk kehidupan membawa sandi informasi genetiknya
di dalam DNA. Bukti-bukti kesamaan moyang kita terletak pada kemiripan struktur
sel dari semua makhluk hidup. Mekanisme pewarisannya adalah sama, di mana DNA
menentukan kalau tikus akan berbentuk seperti tikus, manusia seperti manusia,
dan bakteri seperti bakteri. Beberapa organisme, seperti bakteri, hanya
memiliki satu molekul DNA utama, sementara sel-sel kita sendiri, dan sel-sel
dari organisme yang lebih tinggi mengandung sejumlah bundel DNA yang terpisah
(kromosom).
Gen dan Lingkungan
Selama lebih dari 25
tahun terakhir, ideologi kembar reduksionisme dan determinisme biologis telah
mendominasi segala cabang biologi. Metode reduksionisme berusaha menjelaskan
properti-properti dari keseluruhan yang kompleks – misalnya, protein – melalui
properti-properti atom-atomnya dan bahkan partikel-partikel fundamental yang
menyusun atom-atom itu. Semakin dalam kita pergi, semakin baik pula pemahaman
kita (klaimnya begitu). Lebih jauh lagi, mereka menyatakan bahwa unit-unit yang
menyusun keseluruhan terjadi sebelum keseluruhan itu terjadi, bahwa satu rantai
kausalitas yang berjalan dari bagian menuju keseluruhan, bahwa telur selalu
datang lebih dahulu dari ayam.
Determinisme biologis berkaitan sangat erat dengan
reduksionisme. Ia mengklaim, contohnya, bahwa perilaku manusia ditentukan oleh
gen-gen yang dimiliki seseorang. Dan ini membawa mereka pada kesimpulan bahwa
seluruh masyarakat manusia ditentukan oleh jumlah perilaku semua individu dalam
masyarakat tersebut. Kontrol genetik ini sama dengan ide-ide lama yang
dinyatakan dengan istilah “sifat alami manusia”. Lagi-lagi para ilmuwan boleh
berpendapat bahwa ini bukanlah apa yang mereka maksud, tapi ide tentang
determinisme dan tentang gen sebagai “entitas yang tetap dan tak berubah”
bertebaran dalam pernyataan-pernyataan mereka dan digunakan dengan senyum puas
oleh para politisi sayap kanan. Bagi mereka, ketidakadilan sosial adalah sesuatu
yang patut disayangkan, tapi juga statis dan tak dapat diubah; oleh karenanya
mustahil untuk memperbaiki keadaan sosial, karena dengan melakukan inimaka kita
akan “melawan kehendak alam”. Ide ini telah dinyatakan oleh Richard Dawkins
dalam The Selfish Gene yang digunakan sebagai buku teks
di berbagai universitas Amerika.
Mekanisme evolusi
dikondisikan oleh kesalingterhubungan dialektik antara gen dan lingkungannya.
Sebelum Darwin, Lamarck telah mengajukan sebuah teori evolusi yang berbeda,
yang menyatakan bahwa individu beradaptasi langsung terhadap lingkungannya dan
meneruskan modifikasi ini pada keturunannya. Interpretasi mekanik ini telah
dibuktikan keliru sepenuhnya, sekalipun ide bahwa lingkungan dapat mengubah
hereditas secara langsung telah muncul kembali di Rusia, di bawah Stalin, dalam
bentuk Lysenkoisme. Evolusi manusia memiliki sifat“alamiah” maupun “sejarah”.
Bahan baku genetik memasuki hubungan dinamis dengan lingkungan sosial, ekonomi
dan budaya. Mustahil memahami proses evolusi dengan mengambil salah satu saja
tanpa menyertakan yang lain karena adanya interaksi terus-menerus antara
unsur-unsur biologis dan “budaya”.
Telah dibuktikan secara meyakinkan bahwa kemampuan-kemampuan
yang didapat dari proses belajar (yang diturunkan dari lingkungan) tidaklah
dapat diteruskan secara biologis. Budaya diteruskan dari satu generasi ke
generasi berikut hanya melalui pendidikan dan teladan. Inilah salah satu ciri
yang menentukan, yang memisahkan masyarakat manusia dari kerajaan hewan,
sekalipun elemen-elemen ini dapat pula diamati di antara kera-kera tingkat
tinggi. Sangat mustahil bagi kita untuk menyangkal peran vital dari gen dalam
perkembangan manusia, bahkan hal ini tidak bertentangan sedikit pun dengan
materialisme. Namun, apakah dengan demikian “semuanya tergantung dari gen”?
Mari kita kutip apa yang dikatakan oleh ahli genetika terkemuka Theodore
Dobzhansky:
“Kebanyakan evolusionis kontemporer berpendapat bahwa adaptasi
spesies pada lingkungan adalah agen utama yang menggerakkan dan mengarahkan evolusi
biologis. ... Namun, kebudayaan adalah alat adaptasi yang jauh lebih efisien
daripada proses biologis yang membawa pada kelahiran dan perkembangannya
sendiri. Ia jauh lebih efisien di antara hal-hal lain karena ia sangat cepat –
gen-gen yang berubah diteruskan hanya pada keturunan langsung dari individu di
mana mereka pertama muncul; untuk menggantikan gen-gen lama, orang-orang yang
membawa gen baru itu harus secara perlahan memiliki keturunan lebih banyak dan
menggantikan seluruhnya generasi terdahulu. Kebudayaan yang berubah dapat
diteruskan kepada siapa saja tanpa memandang keturunan biologis, atau dapat
dipinjam dalam bentuk jadi dari orang lain.”[1]
Para ahli biologi
membagi organisme menjadi dua bagian, susunan genetiknya, yang dikenal sebagai
genotip, dan kualitas yang nampak di permukaan, fenotip. Adalah satu kesalahan
yang umum jika kita menganggap bahwa di antara keduanya terdapat satu hubungan
sebab-akibat yang sederhana. Genotip, katanya, datang sebelum fenotip, dan
dengan demikian merupakan unsur yang menentukan dalam persamaan itu. Kita
dilahirkan dengan satu himpunan gen tertentu, yang tidak dapat diubah, dan ini
menentukan nasib kita, sama pastinya seperti posisi planet-planet dalam
astrologi.Determinisme mekanis genetik macam ini adalah sama dengan teori-teori
palsu Lysenko. Ini adalah Lamarckisme yang diputarbalik. Pada kenyataannya,
genotip, atau gen yang ditemukan di dalam inti tiap sel kurang lebih tidak
berubah– dengan memperhitungkan terjadinya mutasi sekali-kali. Fenotip, atau
ciri-ciri morfologi, fisiologi dan perilaku total dari satu individu, tidaklah
statis. Sebaliknya, ia berubah terus sepanjang hidup organisme itu melalui
interaksi antara genotip dan lingkungannya, dan antara fenotip dengan
lingkungannya. Dengan kata lain, ia adalah hasil interaksi dialektik antara
organisme dengan lingkungan. Jika Albert Einstein dilahirkan di sebuah
perkampungan kumuh New York, atau sebuah desa di India, tidak akan butuh banyak
kepandaian untuk melihat bahwa potensi genetik yang dimilikinya akan
tersia-siakan.
Studi genetika menyediakan jawaban yang meyakinkan bagi
idealisme. Tidak ada satu organisme pun yang akan dapat mengada tanpa genotip.
Dan tidak ada genotip yang dapat mengada tanpa adanya spaciotemporal
continuum – atau lingkungan. Gen berinteraksi dengan
lingkungan untuk melahirkan proses perkembangan manusia. Sesungguhnya, jika
hereditas adalah sempurna, tidak akan pernah ada evolusi, karena hereditas
adalah kekuatan yang konservatif. Pada hakikatnya hereditas adalah mekanisme
untuk menyalin diri sendiri. Tapi ada sebuah kontradiksi yang inheren di dalam
gen, di mana kadang kala dihasilkan sebuah salinan yang tidak sempurna –
mutasi. Kecelakaan mutasi ini jumlahnya tak terhingga, kebanyakan bukan hanya
tidak berguna, tapi benar-benar merugikan bagi organisme itu.
Satu mutasi tunggal tidak dapat mengubah satu spesies menjadi
spesies lainnya. Informasi yang terkandung dalam gen tidaklah tinggal di sana
dalam isolasi mutlak. Ia memasuki kontak dengan dunia fisik, di mana ia diuji,
diolah, diartikulasi dan dimodifikasi. Jika satu varian tertentu terbukti
menyediakan protein yang lebih baik dari varian lain dalam satu lingkungan
tertentu, ia akan berkembang biak, sementara yang lain akan tersingkir. Pada
titik tertentu, variasi-variasi kecil ini akan mencapai satu tahap kualitatif,
dan sebuah spesies baru terbentuk. Inilah makna seleksi alam. Selama sekitar
empat miliar tahun, gen-gen dari tiap benda hidup – tumbuhan dan hewan,
termasuk manusia – telah terbentuk dengan cara ini. Ini bukanlah sebuah proses
yang berjalan searah. Gagasan determinasi genetik, bahwa gen adalah penguasa,
telah digambarkan oleh Francis Crick, salah satu penemu kode DNA, sebagai
“dogma sentral” dari biologi molekuler. Dogma ini tidak lebih sahih daripada
dogma Immaculata Conceptio(Dikandung Tanpa Noda)[2]. Dalam hubungan dialektik antara
organisme dengan lingkungannya, informasi tentang fenotip mengalir balik ke
dalam genotip. Gen kemudian “diseleksi” oleh lingkungan, yang menentukan mana
yang akan bertahan, dan mana yang akan gugur.
Kode genetik
memainkan peran vital dalam memberikan“kerangka” bagi manusia, sementara
lingkungan bekerja untuk mengisi dan mengembangkan perilaku dan kepribadian.
Keduanya bukan faktor yang saling terpisah, tapi bergabung secara dialektik
untuk menghasilkan satu individu dan ciri-ciri unik mereka. Tidak ada dua orang
yang identik satu sama lain. Namun, sekalipun tidak mungkin mengubah susunan
hereditas dari seseorang, sangat mungkin untuk mengubah lingkungannya. Cara
untuk memperbaiki potensi seseorang adalah dengan memperbaiki lingkungannya.
Gagasan ini telah memprovokasi argumen yang panas selama bertahun-tahun: apakah
mungkin mengatasi atau mengubah “kekurangan” genetik melalui perbaikan
lingkungan? Salah satu ahli genetika awal yang ternama, Francis Galton,
berusaha menunjukkan bahwa kejeniusan adalah faktor keturunan, dan mendukung
kebijakan perkawinan selektif untuk memelihara stok orang-orang cerdas. Gagasan
bahwa orang kulit putih kelas menengah ke atas memiliki gen yang superior dari
kelas-kelas dan ras-ras lain menjangkiti masyarakat Victorian. Pandangan ini
telah menjadi ideologi gerakan eugenik yang menganjurkan pemandulan paksa untuk
mencegah berkembangbiaknya mereka-mereka yang secara biologis tidak baik. Data
yang kurang ilmiah, yang menggunakan tes IQ (intelligence quotient), digunakan
untuk mendukung determinisme biologis dan ketidakadilan sosial yang didasarkan
pada ras, jenis kelamin atau kelas; ketidakadilan yang katanya tidak dapat
diubah karena itu hanya cerminan dari kepemilikan atas gen-gen yang inferior.
“Kecerdasan” dan Gen
Sosiobiologis E. O.
Wilson menyatakan pandangan kaum determinisme biologis sebagai berikut:
“Jika sebuah masyarakat terencana – yang penciptaannya niscaya
terjadi di abad berikut – dapat dengan sengaja mengendalikan anggota-anggotanya
keluar dari stres dan konflik yang memberi keuntungan Darwinian pada
fenotip-fenotip yang merusak (agresi dan keegoisan), maka fenotip yang lain
(kerja sama dan altruisme) boleh jadi hancur bersama mereka. Dalam hal ini,
dalam makna genetik sepenuhnya, kontrol sosial justru akan merampok kemanusiaan
dari tangan manusia.”[3]
Dengan kata lain,
dengan menyingkirkan aspek-aspek yang buruk dari kemanusiaan, kita akan juga
menyingkirkan aspek-aspek baiknya! Lagi-lagi, Wilson mencampuradukkan genotip
dan fenotip dengan mengimplikasikan bahwa fenotip (bukannya genotip) adalah
tetap dan tidak berubah. Tidak demikian. Genotip tidaklah “menyandikan”
ciri-ciri yang ada pada fenotip dan tidak ada gen altruisme. Setiap makhluk
hidup adalah hasil dari sebuah interaksi terus-menerus antar gen, lingkungan
dan fenotip itu sendiri. Namun, kita harus juga menghindari jebakan lain bahwa
organisme adalah makhluk tidak berdaya di “tangan” gen dan lingkungannya.
Organisme juga memainkan peran aktif dalam proses itu. Semua makhluk hidup
berinteraksi dengan lingkungannya dengan cara yang dialektik.
“Anggapan bahwa
sebuah sel seksual membawa satu partikel yang disebut ‘kecerdasan’ yang akan
membuat pembawanya menjadi cerdas dan bijak tidak peduli apa yang terjadi
padanya, sungguh, adalah anggapan yang menggelikan,” tegas Dobzhansky. “Tapi
jelas bahwa orang-orang yang kita temui tidak sama kecerdasannya, kemampuan dan
sikapnya, dan bukannya tidak beralasan untuk menganggap bahwa
perbedaan-perbedaan ini sebagian disebabkan oleh sifat-sifat dasar yang
dimiliki orang-orang ini dan sebagian lagi karena lingkungan mereka.”
Sekalipun genetika
dengan jelas menunjukkan sifat materialis dan dialektik dari proses kehidupan,
ia telah melahirkan kontroversi yang panas dan membuka pintu bagi idealisme dan
paham-paham reaksioner. Pemahaman akan genetika yang sepihak niscaya akan
berujung pada kesalahan dan kebingungan. Demikianlah, beberapa ahli genetika
telah terjebak pada determinisme biologis atau determinisme genetik. Ini juga
terjadi pada para sosiobiologis seperti E. O. Wilson dan Richard Dawkins.
Berkomentar tentang hal ini, Steven Rose bertanya:
“Apakah teori evolusi
menunjukkan bahwa beberapa aspek manusia – kapitalisme, nasionalisme,
patriarki, xenophobia, agresi dan persaingan –‘tersalin’ di dalam 'gen egois'
kita? Beberapa ahli biologi telah mengklaim bahwa mereka memiliki jawaban atas
pertanyaan ini secara afirmatif, dan para teoretikus politik dari sayap kanan –
dari kaum monetaris libertarian sampai neo-fasis telah menggunakan
pernyataan-pernyataan mereka sebagai pembenaran 'ilmiah' atas filsafat politik
mereka.”
Satu-satunya
kesimpulan dari sini adalah bahwa kapitalisme dan segala keburukannya adalah
“alamiah”, karena diturunkan dari fakta-fakta biologis. Teori ketidaksetaraan
rasial dan seksual juga telah mencari basis dari interpretasi-interpretasi
tertentu dari ilmu pengetahuan.
Perumpamaan-perumpamaanevolusi yang sederhana dan kasar ini,
seperti “yang paling kuat yang menang” (survival of the fittest)
dan “persaingan untuk hidup” (the struggle for existence),dipungut
oleh Herbert Spencer dan dimasukkan ke dalam kosakata Darwinisme Sosial. Di
dalam biologi ditemukanlah konfirmasi atas kapitalisme, ketidaksetaraan kelas
dan imperialisme. Nampaknya para sosiobiologis semodel E. O. Wilson membuntuti
Darwinisme Sosial dalam pandangan mereka tentang sifat manusia dan determinisme
biologis. Marx dan Engels menjelaskan bahwa “manusia menentukan dirinya
sendiri”. Sifat manusia, seperti kesadaran, adalah produk dari kondisi-kondisi
sosial dan ekonomi yang dominan. Itulah mengapa sifat manusia terus berubah
sepanjang sejarah, mengikuti perkembangan masyarakat itu sendiri. Bagi para
sosiobiologis, ciri-ciri manusia tampaknya ditetapkan secara biologis melalui
gen-gen kita, yang menyokong mitos bahwa “kita tidak akan dapat mengubah sifat
manusia.”
Sesungguhnya, apa
yang disebut “sifat manusia” telah berubah dan diubah lagi berkali-kali
sepanjang sejarah manusia, seperti yang ditunjukkan oleh Dobzhansky:
“Darlington (1953)
percaya bahwa 'kemampuan adaptasi individu sungguh merupakan ilusi besar dari
pengamatan yang berdasarkan akal-sehat. Itu adalah ilusi yang bertanggung jawab
atas beberapa kesalahan utama dari administrasi ekonomi dan politik hari ini.
Individu dan populasi tidak dapat dipindahkan dari tempat atau pekerjaan yang
satu ke yang lain setelah satu masa pelatihan yang cocok dengan kebutuhan
segelintir perancang, sebagaimana petani di gunung tidak akan dapat diubah
menjadi nelayan atau penjahat kambuhan diubah menjadi warga negara yang baik.'
“Sekalipun terdapat
banyak kekurangan dan ketidakpastian dalam pengetahuan kita tentang genetika
manusia, terdapat cukup banyak bukti yang berlawanan dengan pandangan
Darlington, dan bukti-bukti ini sangat konklusif.
“Sejarah sangat kaya dengan bukti bahwa individu dan populasi
dapat dengan berhasil berpindah dari tempat atau pekerjaan yang satu ke yang
lain. Revolusi industri di banyak negeri di seluruh dunia telah menunjukkan
bukti yang sangat kuat tentang hal ini. Moyang dari jutaan buruh yang sekarang
ada tentulah para petani yang 'sejak jaman tak terkira' telah selalu membajak
sawah. Pergerakan dari desa ke kota-kota industrial sekarangpun masih terus
berlangsung, dan pada skala yang besar pula, di negeri-negeri 'berkembang'.”[4]
Tes IQ
Satu istilah yang
sering disalahgunakan oleh para determinis genetik adalah hereditas, khususnya
dalam bidang pengujian IQ. Psikolog Hans Eysenck di Inggris, Richard Herrstein
dan Arthur Jensen di Amerika Serikat telah mempromosikan ide bahwa kecerdasan
sebagian besar merupakan warisan. Mereka juga beranggapan bahwa rata-rata IQ
dari kulit hitam secara genetik lebih rendah dari orang kulit putih, dan juga
IQ orang -orang Irlandia secara genetik lebih rendah dari orang Inggris.
Eysenck percaya bahwa orang kulit hitam dan Irlandia telah dibiakkan secara
selektif untuk gen-gen “IQ rendah”. Sesungguhnya, tes IQ telah terbukti
mengandung cacat inheren di dalamnya. Sebenarnya tidak ada unit pengukuran
untuk “kecerdasan”, sebagaimana halnya untuk tinggi atau berat. IQ adalah
sebuah konsep imajiner yang didasarkan pada asumsi-asumsi yang sembarangan.
Tes IQ dimulai pada
awal abad ke-20 ketika Alfred Binet menciptakan satu tes sederhana untuk
mengenali anak-anak yang memiliki kesulitan belajar. Bagi Binet ini adalah alat
untuk mengenali kesulitan-kesulitan yang dapat diperbaiki melalui “ortopedi
mental”. Pastinya ia tidak percaya bahwa tes ini dapat mengukur semacam
kecerdasan yang “tetap”, dan bagi mereka yang berpikir semacam itu, balasan
dari Binet tajam adanya: “Kita harus memprotes dan bereaksi melawan pesimisme
brutal macam ini.”
Basis bagi tes Binet
cukup sederhana: anak yang lebih tua seharusnya sanggup menjalankan tugas-tugas
mental yang tidak dapat dijalankan anak yang lebih muda. Ia kemudian
mengumpulkan tes-tes yang cocok untuk tiap kelompok usia; mereka yang dianggap
lebih cerdas atau kurang cerdas dinilai berdasarkan hal ini. Di mana anak-anak
mengalami kesulitan,makatindakan-tindakan perbaikan harus dilaksanakan. Namun
sistem ini, di tangan orang lain, digunakan untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan
yang berbeda. Dengan wafatnya Binet, para penganjur eugenik melihat peluang
mereka untuk memperkuat pesan-pesan determinis mereka. Kecerdasan kemudian
dilihat sebagai sesuatu yang ditetapkan melalui hereditas dan berhubungan
dengan asal kelas sosial dan ras mereka. Ketika Lewis Terman memperkenalkan tes
Stanford-Binet ke Amerika Serikat, ia memperjelas bahwa kecerdasan yang
rendah“sangat jamak terdapat di tengah orang-orang keturunan Indian-Spanyol dan
keluarga-keluarga Meksiko di Barat Daya, dan juga di kalangan orang negro.
Kebodohan mereka nampaknya bersifat rasial, atau setidaknya inheren dalam
keturunan keluarga mereka.... Anak-anak dari kelompok ini harus dipisahkan
dalam kelas-kelas khusus.... Mereka tidak dapat menguasai abstraksi, tapi mereka
sering kali dapat dididik menjadi buruh yang efisien.... Tidak ada kemungkinan
saat ini untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka seharusnya tidak
diperkenankan melakukan reproduksi, sekalipun dari sudut pandang eugenik mereka
merupakan problem yang parah karena mereka berkembang biak dengan luar biasa
cepat.”
Pandangan ini menjadi
sikap sistem pendidikan di Amerika Serikat sehubungan dengan tes ini. Satu
puntiran baru dimasukkan untuk memperluas cakupan ilmiahnya: standar baru
ditetapkan untuk orang dewasa dan rasio antara usia dan usia-mental
–“intelligence quotient” atau IQ.
Di Inggris, psikolog Inggris Sir Cyril Lodowic Burt adalah orang
yang menerjemahkan dan membela tes Binet dengan jauh lebih obsesif daripada
kawan-kawan Amerikanya. Ia mengklaim bahwa laki-laki lebih cerdas daripada
perempuan berdasarkan studi yang katanya telah dilakukannya. Tuan terhormat ini
katanya juga memiliki bukti ilmiah yang paling kuat bahwa orang-orang Kristen
lebih cerdas daripada orang Yahudi, orang Inggris lebih cerdas daripada orang
Irlandia, kelas atas Inggris lebih cerdas daripada kelas bawah Inggris, dan
seterusnya. Tidak mengherankan bahwa Burt sendiri kebetulan adalah dari kelas
atas, berkebangsaan Inggris, Kristen dan tentunya laki-laki! Dengan cara ini,
para penindas membenarkan penindasan, orang-orang yang kaya dan berkuasa
membenarkan privilese mereka, berdasarkan anggapan bahwa korban-korban mereka
adalah “inferior”. Selama 65 tahun, sampai kematiannya di tahun 1971 Burt terus
melanjutkan karyanya tentang eugenik dan tes IQ, setelah diberi gelar
kebangsawanan untuk “jasanya” bagi umat manusia. Ia berperan dalam menetapkan
sistem pendidikan “eleven plus” yang terkenal “harum” namanya itu,
yang memisahkan antara sekolah “secondary modern” dengan grammar
school.[5] Burt menjelaskan: “Kapasitas
haruslah membatasi isi. Mustahil bagi satu botol berukuran satu pint (568 mL)
untuk memuat susu lebih dari satu pint; demikian pula mustahil bagi seorang
anak untuk mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada yang
diizinkan oleh kapasitas yang dimilikinya.”
Dengan demikian tes
Binet telah disimpangkan demikian jauh untuk memperkuat karakter kelas dari
masyarakat. Ada orang yang dilahirkan untuk menjadi penggali batubara atau
pengangkut air, dan yang lain dilahirkan untuk berkuasa atas masyarakat. Tes
itu tidak lagi digunakan untuk memperbaiki, tapi justru untuk memisahkan.
Bagaimanapun tes IQ itu dimodifikasi, semuanya memiliki akar yang sama:
“kecerdasan” yang ditetapkan di muka sebagai ukuran untuk menilai semua orang.
Akan tetapi, tes-tes ini sangatlah dipengaruhi oleh stereotip kebudayaan dan sosial,
yang menentukan hasil dari tes tersebut. Pada akhirnya, apa itu kecerdasan?
Bagaimana kita bisa menilai kecerdasan secara kuantitatif? Kecerdasan bukanlah
seperti berat badan atau tinggi badan. Kecerdasan bukanlah sebuah hal yang
tetap, seperti yang diklaim oleh Burt, tetapi elastik. Potensi otak manusia
tidak ada batasnya. Tugas masyarakat adalah untuk memungkinkan manusia memenuhi
potensi tersebut. Fakta-fakta lingkungan dapat menghambat atau mendorong
potensi ini. Asuh seorang anak di kondisi sosial yang buruh, maka sang anak
akan dalam posisi yang lebih tidak menguntungkan dibandingkan dengan mereka
yang diasuh dengan seluruh kebutuhan mereka tersedia. Latar belakang sosial
sangatlah penting. Jika kita mengubah lingkungan di sekitar kita, kita akan mengubah
sang anak. Kendati klaim-klaim kaum determinis biologi, kecerdasan bukanlah
sesuatu yang statis atau ditentukan secara genetik.
Obsesi untuk secara statistik memplot “kecerdasan” melalui kurva
Gauss adalah satu upaya untuk memaksakan ketertundukan sosial. Mereka yang
berada di luar norma dikatakan “abnormal” dan harus mendapatkan perlakuan
khusus. Klaimnya adalah bahwa ini bersifat genetik dan menentukan kelas, ras
dan hidup kita. Tapi, pada kenyataannya, sekalipun genotip kita tetap, fenotip
kita terus berubah. Kehilangan satu tangan atau kaki tidak dapat dikembalikan
lagi, setidaknya pada saat ini, tapi jelas tidak diwariskan. Penyakit Wilson[6] merupakan penyakit turunan, tapi
bukannya tidak dapat diobati. “Bahkan,” kata Rose, Kamin dan Lewontin, “fenotip
juga tidak berkembang secara linear dari genotip sejak kelahiran sampai kedewasaan.
'Kecerdasan' dari seorang bayi bukanlah sekedar satu persentase tertentu dari
tingkat kecerdasannya pada masa dewasa, bukan seperti sebuah botol susu yang
terus-menerus diisi.”
Upaya panik Burt untuk membangun basis genetika dari IQ telah
membuatnya terpaksa secara sistematik memalsukan catatan dan datanya sendiri.
Studinya yang terkenal tentang IQ dari dua orang kembar yang dipisahkan
berujung pada pernyataannya yang luar biasa bahwa tidak ada korelasi sama
sekali antara lingkungan dengan kecerdasan kedua kembar itu. Baginya, segala
sesuatu ditentukan oleh gen dari kedua anak kembar itu. Ia adalah idola bagi
semua kaum determinis genetik, dan karyanya memberi mereka amunisi untuk
memajukan tujuan-tujuan mereka. Di tahun 1978, D. D. Dorfman, seorang psikolog
Amerika, membuktikan secara meyakinkan bahwa Tuan yang terhormat dari Inggris
itu telah memalsukan datanya. Setelah Tuan itu dibuktikan sebagai penipu, para
pendukungnya terpaksa mengganti taktik, dengan mencela Burt karena kecerobohan
ilmiahnya! Karya Burt tentang IQ adalah sejajar dengan penemuan Piltdown Man[7]. Bahkan pada saat itu – sekalipun setelah
lima belas tahun penuh inkonsistensi – penelitian-penelitiannya tetap dipuji
oleh para ilmuwan terkemuka sebagai bukti bahwa IQ ditentukan oleh faktor
turunan. Sekalipun Burt telah disingkirkan kredibilitasnya, orang-orang
konservatif terus memeluk erat filsafat reaksionernya sebagai batu penjuru dari
cara pandang kelas mereka.
Studi yang lebih
baru, yang melibatkan anak-anak kembar yang terpisah di Inggris, Amerika dan
Denmark, tidak membuktikan faktor turunan dari IQ. Studi ini telah dijawab
dengan meyakinkan oleh Rose, Kamin dan Lewontin. Kesimpulan mereka?
“Kami tidak tahu apa
itu yang dimaksud dengan heritabilitas IQ. Data itu sama sekali tidak
memungkinkan kami untuk menghitung sebuah estimasi yang cukup baik tentang
variasi genetik untuk IQ dalam populasi apapun. Sejauh yang kami tahu,
heritabilitas IQ mungkin nol atau mungkin juga 50%. Kenyataannya, sekalipun
banyak sekali penelitian yang dicurahkan untuk menelaahnya, persoalan apakah IQ
diwariskan atau tidak sama sekali tidak ada hubungannya dengan persolan yang
sedang dibahas. Signifikansi besar yang dilekatkan oleh para determinis pada
heritabilitas adalah konsekuensi dari kepercayaan mereka yang keliru bahwa
heritabilitas berarti keadaan yang tidak akan pernah dapat diubah.
“Gen tidak menentukan IQ atau sifat-sifat lain dari sebuah
organisme. Tidak ada korespondensi satu-satu antara gen yang diwarisi dari
induk dengan tinggi, berat, tingkat metabolisme, kerawanan terhadap penyakit,
kesehatan atau karakter-karakter organik penting lainnya ... tiap organisme
adalah hasil yang unik dari interaksi antara gen dan lingkungan pada tiap tahap
kehidupannya.”[8]
Eugenik
Eugenik adalah sebuah kata yang diciptakan di tahun 1883 oleh
Francis Galton, yang merupakan sepupu Darwin. Keinginan untuk “memperbaiki”
stok gen manusia sering kali terkait dengan teori-teori pseudo-ilmiah yang
diajukan oleh mereka yang ingin menunjukkan “keunggulan” dari satu kelompok
tertentu – ras, bangsa, kelas sosial, atau jenis kelamin, dalam hal darah atau
“keturunan yang baik”. Omong kosong reaksioner semacam itu biasanya dibungkus
dengan atmosfer“ilmiah” untuk memberi kesan keilmiahan pada prasangka-prasangka
yang paling irasional dan menjijikkan. Di Amerika, “negeri orang-orang bebas”
itu, gerakan eugenik mencatat kemenangan dalam pengesahan berbagai
undang-undang pemandulan paksa bagi mereka yang “inferior secara biologis”.
Negara bagian Indiana meloloskan Undang-undang Pemandulan di tahun 1907.
Praktek ini dapat dijalankan atas mereka yang dianggap gila, imbesil atau
idiot, sebagaimana saran dari dewan ahli. Tujuh puluh tahun lalu John Scopes[9]mengajar biologi dengan menggunakan sebuah
buku berjudul A Civic Biology, karangan G. W. Hunter, yang
mengandung satu kasus terkenal tentang keluarga Juke dan Kallikak[10]. Di bawah judul Paratisitism
and Its Cost to Society – the Remedy (Parasitisme dan
Kerugiannya terhadap Masyarakat – Pengobatannya), buku itu mengatakan:
“Ratusan keluarga
seperti yang digambarkan di atas masih ada sampai hari ini, menyebarkan penyakit,
imoralitas dan kejahatan ke segala penjuru negeri ini. Kerugian yang disebabkan
oleh keluarga macam ini bagi masyarakat sangatlah besar. Sama seperti beberapa
hewan atau tumbuhan menjadi parasit atas tumbuhan atau hewan lainnya,
keluarga-keluarga semacam ini menjadi parasit atas masyarakat. Mereka bukan
hanya berbuat jahat pada orang lain melalui korupsi, pencurian atau penyebaran
penyakit, tapi mereka benar-benar dilindungi dan dijaga oleh negara dengan
menggunakan dana publik. Panti-panti dan rumah-rumah penampungan orang miskin
sebagian besar didirikan untuk mereka. Mereka sungguh parasit sejati.
“Jika orang-orang
semacam ini adalah hewan tingkat rendah, kita mungkin akan dapat membunuh
mereka untuk mencegah penyebarannya. Kemanusiaan tidak akan memperbolehkan ini,
tapi kita sesungguhnya memiliki obat untuk menyembuhkan penyakit ini, dengan
memisahkan kedua jenis kelamin di panti-panti atau institusi-institusi serupa
lainnya, dan dengan berbagai cara mencegah mereka kawin dengan orang lain dan
mencegah mereka menyebarkan ras yang demikian rendah dan bodoh itu.”
Sampai tahun 1930-an, lebih dari 30 negara bagian di Amerika
telah mencanangkan Undang-Undang Pemandulan, memperluas cakupannya ke para
alkoholik dan pecandu obat, dan bahkan orang buta dan tuli. Kampanye itu
mencapai puncaknya di tahun 1927, ketika Mahkamah Agung, dengan suara 8 lawan
1, membenarkan hukum pemandulan di Virginia dalam kasus Buck vs Bell. Kasus ini
melibatkan seorang gadis kulit putih berusia 19 tahun bernama Carrie Buck, yang
dipaksa masuk ke dalam State Colony for Epileptics and
Feeble-Minded (Koloni untuk Pengidap Epilepsi dan Cacat
Mental), dan merupakan orang pertama yang dimandulkan di bawah UU tersebut. Dia
dipilih, menurut Harry Laughlin, pengawas Kantor Catatan Eugenik (yang ingin
menyingkirkan “sepersepuluh bagian yang paling tidak berharga dari populasi
kita”) karena dia, anak perempuannya dan ibunya secara genetik adalah di bawah
normal. Informasi ini didapatkan dari tes IQ Stanford-Binet – yang kemudian
terbukti keliru. Hakim dalam kasus ini, O. W. Holmes menyatakan “Tiga generasi
imbesil sudah cukup.” Saudara perempuan Carrie, Doris, juga diam-diam
dimandulkan di bawah UU yang sama. Putri Carrie, Vivian, meninggal di tahun
1932 karena sakit. Para gurunya menggambarkannya sebagai “murid yang sangat
cerdas.”
Di bulan Januari 1935, sekitar 20.000 pemandulan paksa untuk
tujuan eugenik dijalankan di Amerika Serikat. Laughlin ingin agar jaring itu
juga menangkap “para gelandangan, pengangguran dan orang miskin” dan gagasan ini
diadopsi dengan sangat bersemangat di Jerman, di bawah Nazi, di mana Erbgesundheitsrechts[harfiah:
UU tentang kesehatan keturunan, yaitu, eugenik] memandulkan 375.000 orang,
termasuk 4.000 karena buta atau tuli. Di Amerika Serikat, pada akhirnya, 30.000
orang dipaksa menjalani pemandulan. Walaupun eugenik klasik telah dibuktikan
keliru, versi barunya, seperti pembedahan psikologis, muncul pula. Yang satu
ini memproklamirkan ide bahwa pembedahan otak dapat menyingkirkan masalah
sosial, terutama kekerasan. Dua ahli bedah psikologis Amerika, Vernon Mark dan
Frank Ervin, bahkan berpendapat bahwa kerusuhan di kota-kota Amerika Serikat
disebabkan oleh masalah mental (deranged amygdalas)
dan dapat disembuhkan dengan pembedahan otak para pemimpin daerah kumuh. Riset
untuk area biologi ini dilakukan dan dibiayaibadan-badan penegak hukum Amerika
Serikat.
Dalam mencari
calon-calon untuk dibedah otaknya, sebuah surat dari tahun 1971 antara Direktur
Penjara, Badan Humas di Sacramento, dan Direktur Rumah Sakit dan Klinik, Pusat
Medik Universitas California, menunjukkan mentalitas dari sebagian komunitas
“ilmiah”. Direktur Penjara itu minta diberikan narapidana yang cocok “yang
telah menunjukkan sikap agresif dan destruktif, yang mungkin disebabkan oleh
penyakit syaraf yang parah” untuk dikenai “prosedur pembedahan dan
diagnostik... untuk menemukan pusat di otak yang mungkin telah rusak dan yang
mungkin dapat menjadi fokus bagi berbagai episode perilaku penuh kekerasan,”
untuk diangkat melalui pembedahan.
Jawabannya menyarankan
seorang kandidat yang “dipindahkan... karena menunjukkan militansi yang semakin
tinggi, kemampuan memimpin dan kebencian terhadap orang kulit putih... ia
adalah salah satu pemimpin pemogokan di bulan April 1971.... Juga pada waktu
yang kira-kira bersamaan, muncul banyak bahan bacaan yang
revolusioner.”Ideologi-ideologi reaksioner inilah yang menjadi latar belakang
teoritik dari reaksi-reaksi politik. Di tahun 1980, Dr. K. Nelson, yang waktu
itu menjabat direktur Rumah Sakit Lynchburg di mana Carrie Buck dimandulkan,
menemukan bahwa lebih dari 4.000 operasi telah dilaksanakan, yang terakhir pada
tahun 1972. Tes IQ yang digunakan dalam kasus Buck telah lama terbukti keliru.
Ide-ide pemandulan paksa yang reaksioner ini tidak hanya terdapat di masa-masa
“Abad Pertengahan yang Gelap”, tapi masih terus hidup sampai sekarang, yang
terus disokong oleh teori-teori pseudo-ilmiah, khususnya di Amerika. Sampai
sekarang UU Pemandulan masih tercantum dalam Kitab UU di 22 negara bagian
Amerika Serikat.
Kejahatan dan Genetika
Sejak awal 1970-an, proporsi warga negara Amerika yang menghuni
penjara telah meningkat lebih dari tiga kali lipat. Di Inggris, mereka yang
tinggal di balik jeruji jumlahnya mencapai rekor tertinggi sepanjang segala
abad. Penjara-penjara demikian penuh sesak sehingga banyak narapidana kini
ditempatkan di kantor-kantor polisi. “Inggris di tahun 1991 memiliki tingkat
proporsi populasi penghuni penjara yang lebih tinggi daripada setiap negara
yang tergabung dalam Dewan Eropa, kecuali Hungaria,” lapor Financial
Times (10 Maret 1994). Sekalipun demikian, tingkat kekerasan
masih tetap tinggi di kedua negeri ini. Krisis ini telah menyebabkan
berkembangnya ide-ide reaksioner yang berusaha menghubungkan perilaku kriminal
dengan faktor-faktor biologis. “Untuk setiap pengurangan tingkat kejahatan
sebesar 1%, kita menghemat anggaran negeri ini sebesar $1,2 miliar,” ujar
psikolog Amerika Adrian Raine. Berhubungan dengan ini, US Institute of Health
telah meningkatkan anggaran untuk penelitian yang berhubungan dengan kekerasan
sebesar $58 juta. Dan di bulan Desember 1994 National Science Foundation
memulai promosi proposal untuk pembentukan sebuah konsorsium riset lima tahun
berbiaya $12 juta. “Dengan kemajuan yang dapat diharapkan, kita akan sanggup
mendiagnosa banyak orang yang otaknya secara biologis terdorong untuk melakukan
kekerasan,” demikian klaim Stuart Yudofsky, ketua jurusan psikologi di Baylor
College of Medicine dalam majalah Scientific American edisi
Maret 1995.
Kini telah menjadi
mode di lingkaran-lingkaran tertentu untuk melekatkan segala hal pada kecacatan
genetik atau biologis, bukannya mengakui bahwa masalah sosial muncul dari
kondisi sosial. Aliran determinisme genetik telah menarik segala jenis
kesimpulan yang reaksioner, mereduksi segala masalah sosial ke tingkat
genetika. Belum lama lalu, sebuah riset katanya mengungkapkan bahwa banyak
penjahat bengisyang memiliki kelebihan kromosom Y. Namunstudi-studi yang lebih
baru menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang relevan antara kromosom Y dan
kriminalitas. Kini bukti akan adanya kekurangan aktivitas di korteks frontal
pada otak para pembunuh tengah menarik perhatian sebagai hubungan antara
biologi dan kekerasan. Ada proposal untuk memulai Inisiatif Federal untuk
Penanganan Kejahatan agar mengidentifikasi setidaknya 100.000 anak dari daerah
pemukiman orang miskin“yang diperkirakan memiliki cacat genetik dan biokimia
yang akan membuat mereka cenderung melakukan kekerasan di masa mendatang.”
Bahaya dari riset-riset palsu yang berusaha menghubungkan genetika
dengan ras atau perilaku kriminal atau anti-sosial selalu ada.
Kesimpulan-kesimpulan yang keliru dapat ditarik dari statistik bahwa di Amerika
Serikat, di mana 12,4% populasi adalah kulit hitam, dan mereka mencakup 44,8%
dari total penangkapan berkenaan kasus kekerasan. Dalam artikel yang sama
di Scientific
American, kita dapat membaca: “Ada alasan untuk risau bahwa apa
yang nampak sebagai telaah biologis objektif ini, yang mengabaikan faktor
perbedaan budaya dan sosial, dapat secara kelirumemperkuat stereotip-stereotip
rasial.” Karena adanya ancaman ini, telah terjadi boikot-boikot terhadap
pengambilan contoh darah dan urine dari ras-ras minoritas. Jadi, menurut Raine,
“semua telaah biologis dan genetik yang dilakukan sampai saat ini hanya
dilakukan atas orang kulit putih.”
Raine melanjutkan:
“Bayangkan bahwa Anda adalah ayah dari seorang anak berusia delapan tahun.
Dilema etiknya adalah seperti ini: saya dapat menyatakan pada Anda, 'Kami telah
melakukan berbagai macam pengukuran, dan kami dapat meramalkan dengan
keakuratan 80% bahwa anak Anda akan melakukan tindak kekerasan yang parah dalam
waktu 20 tahun. Kami dapat menawarkan kepada Anda serangkaian program
intervensi biologis, sosial dan kognitif yang akan sangat mengurangi
kemungkinan ia menjadi seorang penjahat kejam.'
“Apa yang akan Anda
lakukan? Apakah Anda akan menempatkan putra Anda di dalam program itu dan
menjalani risiko memberinya stigma sebagai seorang penjahat kejam sekalipun
terdapat kemungkinan riil bahwa ia tidak bersalah? Atau Anda akan mengatakan
tidak pada program tersebut dan mengambil risiko kemungkinan 80% bahwa anak
Anda akan; tumbuh besar untuk (a) merusak hidupnya, (b) merusak hidup Anda, (c)
merusak hidup saudara-saudaranya, dan, yang paling penting (d) merusak hidup
orang-orang tidak bersalah yang menjadi korbannya?”
Pertama-tama, sama
sekali tidak mungkin meramalkan perilaku kriminal seorang anak di masa depan –
apalagi dengan akurasi 80%. Dan kedua, ini menimpakan kesalahan tindakan
kriminalitas di pundak individu. Argumen yang reaksioner ini gagal melihat
bahwa kejahatan, kekerasan, dan masalah-masalah sosial lainnya adalah produk
dari masyarakat yang kita diami. Ini adalah masyarakat yang didasarkan pada
penghisapan atas manusia dan maksimalisasi keuntungan yang menghasilkan pengangguran
massal, gelandangan, kemiskinan, dan kehidupan yang memalukan. Kondisi sosial
ini, pada gilirannya, menghasilkan kejahatan, kekerasan dan brutalitas. Ini
tidak ada hubungannya dengan gen atau biologi, dan tetapi ada hubungannya
dengan barbarisme dari masyarakat kapitalistik.
Para determinis
biologi digunakan untuk menyokong ide-ide sosial kaum reaksioner. Bukannya
masyarakat yang harus dipersalahkan untuk adanya kejahatan, kemiskinan,
pengangguran, dsb., tapi individu, melalui gen atau kondisi biologis mereka
yang cacat. Dengan demikian, jawabannya adalah bedah otak atau genetik. Ilmuwan
determinis biologi lainnya berusaha mencari tingkat testosteron yang abnormal,
atau detak jantung yang lebih lambat sebagai penjelasan atas kekerasan yang
dilakukan manusia. Beberapa ilmuwan telah menunjuk pada rendahnya tingkat
serotonin, sebuah zat kimia dalam tubuh yang mempengaruhi, di antaranya, kerja
otak. Maka, C. R. Jeffry menulis dalam Journal of Criminal Justice Reeducation:
“Dengan meningkatkan tingkat serotonin dalam otak, kita akan dapat menurunkan
tingkat kekerasan.” Maka, peningkat serotonin, seperti obat antidepresi Prozac
disuntikkan pada pasien untuk mengobati agresi mereka. Kekeliruan dari
pandangan ini dijelaskan oleh fakta bahwa zat kimia ini dapat naik atau turun
di berbagai tempat yang berbeda di dalam otak dan pada waktu yang berbeda-beda
pula, dengan efek yang berbeda-beda. Lingkungan dapat juga mempengaruhi tingkat
serotonin ini. Namun, “fakta” ini tidak boleh mengganggu orang-orang ini untuk
membuat klaim yang luar biasa konyol dalam upaya menegakkan pandangan mereka
yang reaksioner itu.
Jeffrey menganjurkan
bahwa “Ilmu pengetahuan harus memberitahu kita individu yang mana yang akan
menjadi kriminal dan mana yang tidak, individu mana yang akan menjadi korban
dan mana yang tidak, dan strategi penegakan hukum macam apa yang akan atau
tidak akan berhasil.” Yudofsky memperkuat antusiasme Jeffry dengan
pernyataannya: “Kita kini berada di ambang revolusi pengobatan genetik. Masa
depan kita adalah untuk memahami genetika yang mengatur penyakit agresif dan
mengenali mereka yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk melakukan
kekerasan.” Ia percaya bahwa anak yang hiperaktif harus diperiksa dan, jika
perlu, diberi obat beta-blocker, anti-epileptik atau lithium. Yudofsky
mengatakan bahwa obat-obatan ini “murah” dan merupakan “kesempatan luar biasa
untuk industri farmasi.” Tidak sulit untuk mengetahui siapa yang dia layani.
“Ada wilayah di mana
kita dapat mulai menggunakan pendekatan biologis,” ujar Fishbein. “Kaum remaja
nakal harus dinilai secara individual.” Ia melanjutkannya dengan menganjurkan
pengobatan paksa bagi kriminal, tapi bila ini juga belum berhasil, “mereka
harus dipenjara selamanya.” Masters percaya bahwa “kita kini tahu cukup banyak tentang
sistem serotonergik sehingga jika kita melihat seorang anak tidak terlalu
berhasil di sekolah, kita harus meneliti tingkat serotonin di otaknya.”
Rasisme dan Genetika
Pada tahun 1900, Albert Beveridge, seorang anggotaSenat Amerika
Serikat dari Indiana, mengatakan pada salah satu sesi parlemen bahwa“Tuhan
tidak menyiapkan orang-orang berbahasa Inggris dan orang-orang Teutonic[11] selama seribu tahun hanya supaya
kita dapat mengagumi diri kita sendiri.... Ia telah membuat kita sanggup
membentuk pemerintahan supaya kita boleh mendirikan pemerintahan itu di
kalangan orang-orang barbar dan terkebelakang.”[12]
1.
Shockley, salah satu
penemu transistor, berpendapat bahwa karena orang kulit hitam secara praktis
kurang cerdas daripada kulit putih, mereka tidak seharusnya diberi kesempatan
yang setara, sebuah pandangan yang juga dimiliki oleh psikolog terkenal Hans J.
Eysenck. Sifat alami manusia dilihat sebagai sumber dan penjelasan dari segala
penyakit sosial, dengan caramenarik paralel-paralel yang cacat antara kehidupan
manusia dan kehidupan hewan-hewan lain. Klaim yang lebih luas dari sosiobiologi
adalah bahwa rasisme dan nasionalisme adalah kepanjangan alamiah dari
tribalisme [paham kesukuan] yang, pada gilirannya, adalah produk dari “seleksi
kekerabatan”. “Nasionalisme dan rasisme,” papar E. O. Wilson, “datang dari
tribalisme sederhana yang dipupuk secara budaya.” Ide ini telah pula diajukan
oleh Richard Dawkins: “Dengan demikian, prasangka rasis dapat diterjemahkan
sebagai generalisasi irasional dari kecenderungan seleksi-kekerabatan untuk
merasa dekat dengan individu-individu yang secara fisik mirip dengan kita
sendiri dan bersikap tidak-baik pada individu yang berbeda tampilannya.”[13]
Menurut bapak
sosiobiologi, E. O. Wilson, “dalam masyarakat berburu-meramu, laki-laki berburu
dan perempuan tinggal di rumah. Bias yang kuat ini terus hidup dalam sebagian
besar masyarakat pertanian dan industri, dan dengan alasan ini saja
kelihatannya bias itu memiliki asal-usul genetik.” Ia mengatakan bahwa
laki-laki “secara alamiah” bersifat poligami, sementara perempuan “secara
alamiah” monogami. Salah satu fitur dari sosiobiologi adalah perbandingan
antara hubungan sosial manusia dengan dunia hewan, sebagai pembenaran untuk
dominasi laki-laki dan struktur kelas. “Bias genetik,” kata Wilson, “cukup
intensif untuk menyebabkan pembagian kerja yang substansial bahkan dalam
masyarakat yang paling bebas dan egalitarian di masa mendatang.” Inilah tema,
yang berdasarkan dunia hewan, yang berusaha dipopulerkan oleh ahli ilmu hewan
Desmond Morris.
Upaya-upaya baru-baru ini untuk membuktikan bahwa kecerdasan
adalah sesuatu yang diwariskan telah berpusat di sekitar tes IQ. The
Bell Curve karangan Charles Murraymengulang paham lama bahwa
genetika dapat menjelaskan jurang antara rata-rata IQ antara kulit hitam dan
kulit putih di Amerika. Argumen-argumen dasar dalam buku ini telah berulang
kali dipatahkan. Menurut psikiater Peter Breggin, buku itu adalah sebuah upaya
untuk “menghidupkan kembali citra kaum Afro-Amerika sebagai King Kong yang penuh
kekerasan dan bodoh.” (The Guardian, 13 Maret 1995) Tapi bukti terkuat yang
menunjukkan kekeliruan determinisme genetik datang dari sebuah buku baru
berjudul The
History and Geography of Human Genes yang ditulis oleh
ahli-ahli genetika populasi Luca Cavalli-Sforza, Paolo Menozzi dan Alberto
Piazza. Buku ini adalah satu sintesis yang mengagumkan dari lebih dari 50 tahun
riset dalam bidang genetika populasi. Buku tersebut adalah uraian terbaik
sampai hari ini tentang bagaimana manusia bervariasi pada tingkat kromosom
mereka. Kesimpulan kuat dari buku ini adalah bahwa kalau gen-gen untuk tampilan
luar manusia seperti warna kulit atau tinggi badan diabaikan, maka apa yang ada
di bawah kulit sama persis bagi semua “ras” manusia.Bahwa variasi antara
individu jauh lebih besar daripada variasi antar kelompok. Menurut majalah
Time, “Kenyataannya, keragaman antar individu demikian besarnya sehingga
seluruh konsep tentang ras menjadi tak bermakna pada tingkat genetik. Para
penulis menyatakan bahwa 'tidak ada basis ilmiah' untuk teori-teori yang
mengajukan keunggulan genetik dari satu populasi atas populasi lain.” (16
Januari 1995)
Dalam ulasannya atas
buku ini, Time menyatakan: “Sekalipun terdapat berbagai kesulitan, para ilmuwan
ini membuat penemuan-penemuan yang mematahkan semua mitos. Salah satunya bahkan
dimuat dalam sampul buku itu: sebuah peta berwarna tentang variasi genetik
dunia menggambarkan Afrika di satu ujung spektrum dan Australia di ujung yang
lain. Karena suku Aborigin Australia dan orang-orang sub-Sahara di Afrika
memiliki berbagai ciri-ciri tampilan yang serupa seperti warna kulit dan bentuk
tubuh, mereka dianggap berkerabat dekat. Tapi gen mereka mengungkapkan kisah
yang berbeda. Dari semua manusia, orang-orang Australia adalah yang paling jauh
kekerabatannya dari orang-orang Afrika, dan paling mirip dengan tetangga
mereka, orang-orang Asia Tenggara.” Ulasan itu menyimpulkan, “Apa yang dilihat
mata sebagai perbedaan rasial – antara orang Eropa dan Afrika, misalnya –
hanyalah adaptasi terhadap iklim sejalan dengan pergerakan manusia dari satu
benua ke benua lain.” Buku ini juga membenarkan bahwa tempat kelahiran umat
manusia, dan juga titik awal migrasi manusia adalah Afrika, dengan demikian
menunjukkan bahwa pencabangan dari Afrika adalah yang tertua dari pohon
kekerabatan manusia.
Penggunaan teori
biologi dan genetika untuk membenarkan politik reaksioner bukanlah sebuah hal
yang baru, sekalipun pada dasawarsa lalu ia telah diberi suntikan tenaga baru
oleh kecenderungan pemerintah Barat untuk melancarkan ofensif terhadap negara
kesejahteraan dan segala kemenangan yang pernah dicapai oleh kelas buruh.
Hukum-hukum pasar – yaitu hukum rimba – kembali menjadi mode. Ini termasuk,
tentu saja, universitas, di mana selalu saja ada orang yang siap berenang mengikuti
arus yang sedang dominan, yang memberi keuntungan paling besar bagi peningkatan
karier mereka.
Ada banyak akademisi yang jujur, yang mendekati subjek mereka
dengan cara yang tidak emosional. Tapi tentu akan menjadi naif jika kita
percaya bahwa serangkaian huruf di belakang nama seseorang akan membuat orang
itu kebal dari tekanan masyarakat di mana mereka hidup, tidak peduli apakah
mereka sadar akan tekanan itu atau tidak. Di tahun 1949, N. Pastore melakukan
satu telaah atas pendapat dari 24 psikolog, ahli biologi dan sosiolog berkenaan
dengan masalah nature-nurture (alam-lingkungan) [masalah apakah
yang lebih dominan faktor alami atau lingkungan]. Dari 12 orang yang mengaku
“liberal atau radikal”, 11 mengatakan bahwa lingkungan lebih penting dari
hereditas, dan 1 menyatakan sebaliknya. Di kubu konservatif, hasilnya persis
kebalikan –11 menyatakan hereditas lebih penting dan hanya 1 yang menyatakan
lingkungan lebih penting! Dobzhansky menganggap hasil ini “menggundahkan”. Bagi
kami, ini tidak mengherankan.
Roger Scruton,
seorang profesor filsafat dari Inggris, menarik pelajaran sosial dari
pengamatan ini: “Para ahli bioekonomi mengatakan bahwa program pemerintah yang
memaksa individu untuk menjadi kurang kompetitif dan egois daripada apa yang
telah diprogramkan alam pada mereka secara genetik pastilah ditakdirkan gagal.”
Ini cocok benar dengan kemunculan kembali determinisme genetik di Amerika, dan
bukti-bukti yang mereka ajukan bahwa orang kulit hitam lebih inferior daripada
kulit putih, dan bahwa kelas buruh lebih inferior daripada kelas menengah dan
kelas atas. Dukungan ilmiah untuk kepalsuan-kepalsuan macam ini digunakan untuk
menciptakan aura “objektivitas”.
The Selfish Gene
Richard Dawkins, yang menjadi terkenal dengan bukunya yang
diberi judul kontroversial The Selfish Gene (Gen
yang Egois), telah menjadi pusat dari polemik yang panas tentang genetika. Para
ahli biologi molekuler telah mengidentifikasi pentingnya gen dalam mereplikasi
salinan molekul DNA. Gen mengandung perintah-perintah sandi yang menghasilkan
batu-batu penyusun kehidupan, asam amino. Zat-zat ini menyusun protein yang
membentuk sel dan organ. Karena ini, beberapa ahli biologi molekuler dan juga
sosiobiologi telah menyatakan bahwa seluruh seleksi alam, pada akhirnya,
berlaku pada tingkat DNA. Ini telah menyebabkan sejumlah ilmuwan untuk menjadi
terobsesi dengan sifat menakjubkan dari gen, sehingga tidak sedikit yang gagal
membedakan kayu dari pohon. Beberapa orang telah melekatkan sifat-sifat mistik
pada gen, yang lalu melahirkan kesimpulan-kesimpulan reaksioner. Ide bahwa
ciri-ciri fisik, mental dan moral merupakan warisan dari gen yang tak berubah
dan tak dapat diubah jelas tidak didukung oleh fakta-fakta ilmu genetika. Namun
ide ini terus muncul lagi dan lagi dalam literatur dan telah menimbulkan dampak
yang serius pada kebijakan sosial sepanjang abad ke-20.
Gen meneruskan
pengaruh dari induk pada turunannya. Ia hanya dapat didefinisikan sebagai
perbedaan antara sejumlah gen yang saling berbeda (disebut alel) yang
mempengaruhi satu hal tertentu (misal, warna mata dipengaruhi oleh alel untuk
warna biru ataucokelat). Perbedaan ini ditemukan melalui pengujian/pengamatan
biokimia, fisiologis, struktural atau prilaku (setelah sumber variasi lainnya,
seperti lingkungan, diabaikan).
Sayangnya, banyak ilmuwan dan orang-orang lain yang menggunakan
penyederhanaan yang menyesatkan dari definisi di atas. Khususnya, bahwa sebuah
gen yang berkontribusi pada sifat hewan yang berbeda dari yang lainnya kemudian
dianggap sebagai gen yang menentukan perilaku khasnya tersebut. Dawkins bukan
satu-satunya ilmuwan yang jatuh ke dalam jebakan ini. Di tahun 1970-an banyak
orang yang berbicara tentang kode genetik untuk ciri-ciri fisik dan perilaku.
Juga bahwa sebuah gen harus diperbandingkan dengan gen lain untuk ciri-ciri
yang sama. Gen bukanlah satu entitas yang dapat berdiri sendiri. Seperti yang
ditunjukkan dengan tepat oleh J. B. S Haldane, genetika adalah ilmu tentang
perbedaan bukan kesamaan. Sederhananya, Anda dan saya boleh jadi sama-sama
egois – tetapi perbedaan antara kita berdua tidak.Kita tidak boleh menerapkan
ciri personal dalam perbandingan. Dalam bukunya The
Selfish Gene, Dawkins melompat-lompat dari satu definisi
[berkontribusi] ke definisi yang lain [menentukan], sambil mengklaim bahwa keduanya
dapat dipertukarkan – padahal tidak. Hasilnya adalah dukungan terhadap
determinisme biologis. Satu generasi penuh orang Amerika dan para ilmuwannya
tumbuh besar dengan kebingungan semacam ini.
Riset ilmiah ke dalam
genetika menunjukkan kemungkinan untuk ilmu kedokteran, di mana
penyakit-penyakit genetik seperti Huntington's chorea, Duchene muscular
dystrophy, dan lain-lain telah dikenali. Namun, ada pernyataan yang menyebar
luas bahwa dengan cara tertentu gen juga bertanggung jawab atas segala hal lainnya,
seperti homoseksualitas dan kriminalitas. Determinisme genetik mereduksi segala
masalah sosial ke tingkat genetika. Di bulan Februari 1995, satu konferensi
tentang Genetika Perilaku Kriminal dan Anti-Sosial diadakan di London. Sepuluh
dari tigabelas pembicara adalah dari Amerika Serikat di mana seminar serupa
diadakan di tahun 1992, di mana tekanan publik berhasil menyingkirkan nada
rasis dari pertemuan itu. Sekalipun ketua konferensi, Sir Michael Rutter dari
London Institute of Psychiatry menyatakan “tidak ada itu yang namanya gen untuk
kriminalitas,” peserta lain seperti Dr. Gregory Carey dari Institute of
Behavioural Genetics, University of Colorado, bertahan bahwa faktor genetik
secara keseluruhan bertanggung jawab untuk 40-50% tindak kejahatan dengan
kekerasan. Sekalipun ia mengatakan bahwa akan menjadi tidak praktis untuk
“mengobati”kriminalitas dengan rekayasa genetik, yang lain mengatakan bahwa ada
prospek yang baik untuk mengembangkan obat-obatan untuk mengendalikan agresi
yang berlebihan kalau kita bisa menemukan gen yang bertanggung jawab untuk
perilaku itu. Walau demikian, ia menyarankan bahwa aborsi harus dipertimbangkan
ketika pemeriksaan pra-kelahiran menunjukkan bahwa seorang anak memiliki
kemungkinan dilahirkan dengan gen yang akan mendorong perilaku agresif atau
antisosial. Pandangan ini didukung oleh Dr. David Goldman dari Laboratory of
Neurogenetics di US National Institute of Health. “Keluarga-keluarga harus
diberi informasi dan harus diberi keleluasaan untuk menentukan secara pribadi bagaimana
menggunakan informasi itu.” (The Independent, 14 Februari 1995)
Menurut Profesor Hans
Bruner dari Nijmegen University Hospital di Belanda, para lelaki dari keluarga
yang mewarisi abnormalitas genetik tertentu dari kromosom X yang menyebabkan
defisiensi enzim yang berhubungan dengan pesan-pesan di otak, telah menunjukkan
“agresi impulsif” termasuk arson (pembakaran rumah) dan percobaan perkosaan.
Dr. David Goldman dari NIH Laboratory of Neurogenetic di Maryland, dan Profesor
Matti Virkkunen dari University of Helsinky mengatakan mereka telah menemukan
variasi genetik dalam proses kimia otak yang mengarah pada agresi.
“Perusahaan-perusahaan farmasi telah menyatakan minat mereka dalam penemuan
kami,” kata Virkkunen. (The Financial Times, 14 Februari 1995)
Steven Rose
menggambarkan konferensi itu sebagai “bermasalah,merisaukandan tidak seimbang.”
Konferensi itu dikecamdi dalamsebuah surat oleh 15 orang ilmuwan. Dr. Zakari
Erzinclioglu, direktur dari Centre for Forensic Science pada Durham University,
menyebutnya sebagai “sangat merisaukan, terbelakang dan berniat jahat.” Ashley
Montague menunjuk bahwa “bukan 'gen kriminal' yang membuat orang menjadi
kriminal, tapi dalam sebagian besar kasus adalah 'kondisi sosial yang
kriminal'.”
Buku Richard Dawkins The Selfish Gene yang
edisi pertamanya muncul di tahun 1976 membuat beberapa pernyataan yang
mengejutkan. “Kita dilahirkan egois,” kata Dawkins. Sekalipun ia mengatakan
bahwa “gen tidak memiliki kemampuan meramal” dan “tidak merencanakan sejak
awal”Dawkinsmemberikan gen sebuah kesadaran dan identitas “egois”. Gen berusaha
mereplikasi dirinya sendiri, seakan-akan mereka dengan sadar merencanakan
bagaimana hal ini dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya:
“Tentunya secara prinsip, dan juga dalam fakta, gen mengulurkan
tangannya melalui dinding tubuh individu dan merekayasa objek-objek di dunia
luar, beberapa tidak hidup, beberapa adalah makhluk hidup lain, beberapa
terletak jauh sekali dari mereka. Dengan sedikit imajinasi kita dapat melihat
gen duduk di pusat sebuah jaring-jaring kekuatan fenotip yang jauh
jangkauannya. Dan sebuah objek di dunia adalah pusat dari bersatunya segala
jaring-jaring pengaruh dari banyak gen yang duduk di dalam banyak organisme.
Jangkauan jauh dari gen tidak mengenal batas.”[14] Karena bagi Dawkins organisme
individual tidak bertahan dari satu generasi ke generasi yang lain, tapi gen
bertahan, maka pastilah seleksi alam bekerja pada apa yang bertahan, yaitu,
gen. Maka, segala seleksi pastilah pada akhirnya bekerja di tingkat DNA. Pada
saat bersamaan, tiap gen berkompetisi satu dengan lainnya untuk mereproduksi
dirinya dalam generasi berikutnya. “Apa yang sebenarnya demikian unik tentang
gen? Jawabannya adalah bahwa mereka semua adalah replikator.”
Dalam pandangan ini,
replikator kehidupan adalah gen; maka organisme adalah sekedar kendaraan bagi
gen (“mesin untuk bertahan hidup – kendaraan robot yang diprogram secara buta
untuk memelihara molekul-molekul egois yang dikenal sebagai gen” ... “mereka
berkerumun dalam koloni-koloni raksasa, aman di dalam robot raksasa yang
canggung itu”). Ini adalah pengulangan pepatah Butler yang terkenal bahwa ayam
hanyalah sekedar cara bagi sebutir telur untuk menghasilkan butir telur yang
lain. Seekor hewan, bagi Dawkins, hanyalah cara dari DNA untuk membuat lebih
banyak DNA. Ia memberikan gen semacam kualitas mistik tertentu, yang pada hakikatnya
bersifat teleologis.
“Saya curiga,” kata Dawkins dalam pembelaannya, “bahwa Rose dan
Gould adalah determinis karena mereka percaya bahwa setiap tindakan kita punya
basis fisik dan materialistik. Begitu juga saya... pandangan apapun yang kita
ambil tentang persoalan determinisme, dimasukkannya kata 'genetik' tidak akan
mengubah sesuatu pun.” Ia kemudian menambahkan, “jika Anda memiliki darah
determinis Anda akan percaya bahwa segala tindakan Anda ditentukan oleh
sebab-sebab fisik di masa lalu... Apa bedanya kalau salah satu sebab fisik itu
adalah genetik? Mengapa determinisme genetik dianggap lebih niscaya, atau lebih
merupakan satu pembenaran, daripada 'determinisme lingkungan'?”[15]
Segala hal di alam ini memiliki sebab dan akibat, di mana sebuah
akibat pada gilirannya menjadi sebab. Dawkins mencampuradukkan determinisme dan
fatalisme: “Satu organisme adalah alat bagi DNA.” Determinisme genetik memiliki
definisi yang jelas, di mana gen dikatakan sebagai “menentukan” sifat fenotip.
Tidak ada keraguan bahwa gen memiliki dampak yang kuat terhadap bentuk
organisme, tapi entitasnya akan secara menentukan dipengaruhi oleh
lingkungannya. Contohnya, jika dua kembar identik ditempatkan pada dua
lingkungan yang sama sekali berbeda, akan ada dua karakter yang berbeda.
Seperti yang dijelaskan Rose, “Pada kenyataannya, seleksi harus bekerja pada
berbagai tingkat. Serangkaian DNA boleh atau boleh tidak diseleksi, tapi DNA
itu terekspresikan dengan latar belakang seluruh genotip; serangkaian gen-gen
tertentu atau seluruh genotip pastilah mewakili satu tingkatan seleksi yang
berbeda. Lebih jauh lagi, genotip eksis dalam fenotip, dan apakah fenotip ini
dapat bertahan atau tidak bergantung pada interaksinya dengan fenotip-fenotip
lain. Maka ia hanya akan diseleksi dengan latar belakang populasi di mana ia
muncul.”[16]
Dawkins dipaksa untuk menarik mundur sejumlah pernyataannya, di
mana dia memperbaiki argumen-argumennya pada edisi-edisi berikut The
Selfish Gene(1989) dan dalam The Extended Phenotype (1982).
Ia mengatakan bahwa bahasanya yang flamboyan telah membuat dirinya mudah
disalahartikan dan disalahpahami: “Terlalu mudah untuk terhanyut, dan
mengizinkan gen memiliki kebijaksanaan kognitif dan kemampuan merencanakan
'strategi' mereka.” Namun ia tetap mempertahankan argumen dasarnya dan
memandang kehidupan “dalam makna replikator genetik yang memelihara dirinya
melalui fenotip-fenotip mereka.” Dan bahwa “seleksi alam adalah kemampuan bertahan
diferensial dari gen-gen.”Dawkins kini mengatakan “gen dapat memodifikasi
dampak dari gen lain, dan dapat memodifikasi dampak dari lingkungannya.
Peristiwa-peristiwa lingkungan, baik internal maupun eksternal, dapat
memodifikasi dampak dari gen, dan dapat memodifikasi dampak dari
peristiwa-peristiwa lingkungan lainnya.” Tapi, di luar konsesi ini, tesis utama
Dawkins tidak berubah.
Misalnya, ia
mengatakan:
“Kontrasepsi adalah
sesuatu yang diserang sebagai 'tidak alamiah'. Demikianlah ia adanya, sangat
tidak alamiah. Masalahnya, begitu juga negara kesejahteraan. Saya pikir
kebanyakan dari kita percaya bahwa negara kesejahteraan adalah hal yang sangat
baik. Tapi Anda tidak dapat memiliki negara kesejahteraan yang tidak alami,
kecuali jika Anda juga memiliki sistem keluarga berencana yang tidak alamiah,
jika tidak demikian maka hasil akhirnya pastilah kesengsaraan yang jauh lebih
besar daripada apa yang dapat kita temui di alam.”
Ia melanjutkan:
“Negara kesejahteraan
mungkin adalah sistem altruistik yang paling besar yang pernah dikenal oleh
dunia hewan. Tapi tiap sistem altruistik memiliki ketidakstabilan internal,
karena ia terbuka untuk disalahgunakan oleh individu yang egois, yang siap
mengeksploitasinya. Seorang yang memiliki lebih banyak anak daripada yang dapat
diberinya makan mungkin terlalu bodoh, dalam sebagian besar kasus, untuk
dituduh sengaja melakukan eksploitasi yang jahat.”
Menurut Dawkins
pengadopsian anak berlawanan dengan naluri dan kepentingan “gen yang egois”.
“Dalam kebanyakan
kasus kita harus menganggap pengadopsian anak, bagaimanapun menyentuhnya hal
itu, sebagai sebuah kegagalan dalam aturan yang inheren dalam diri kita. Ini
karena perempuan yang baik itu tidak melakukan hal yang terbaik bagi gennya
sendiri dengan memelihara anak yatim piatu. Ia membuang waktu dan energi yang
seharusnya ditanamkannya pada kehidupan kerabatnya sendiri, khususnya
anak-anaknya di masa depan. Mungkin ini adalah sesuatu yang terjadi terlalu
jarang, sehingga seleksi alam 'tidak mau repot-repot' mengubah aturan dengan
membuat naluri keibuan dapat menjadi lebih selektif.”
Ia menyatakan bahwa “jika seorang perempuan diberi bukti-bukti
yang kuat bahwa akan terjadi kelaparan, dia punya kepentingan diri sendiri yang
egois untuk mengurangi tingkat kelahirannya sendiri.” Dawkins juga percaya
bahwa seleksi alam akan memilih anak yang menipu, berbohong, licik dan
mengeksploitasi dan bahwa “ketika kita melihat populasi hewan liar kita boleh
berharap untuk melihat penipuan dan keegoisan di dalam keluarga. Frase 'anak harus
menipu' berarti bahwa gen yang cenderung membuat anak menipu memiliki
keuntungan dalam populasi gen.”[17] Ia menyimpulkan bahwa organisme
adalah alat dari DNA, bukannya sebaliknya.
Komentar-komentar ini
menarik bukan karena apa yang mereka katakan pada kita tentang gen, tapi karena
apa yang mereka ungkap tentang keadaan masyarakat dalam dekade terakhir abad
ke-20 ini. Dalam masyarakat tertentu, otot yang kuat atau kemampuan untuk
berlari cepat dapat membawa keuntungan genetik. Jika keuntungan serupa
dilekatkan pada kecenderungan untuk berbohong, menipu dan mengeksploitasi,
artinya ciri-ciri semacam itu adalah kualitas yang paling penting dalam
masyarakat modern, dan hal ini tentu saja sepenuhnya benar dari sudut pandang
“nilai-nilai pasar”. Walaupun sangatlah dapat dipertanyakan apakah kualitas
semacam itu dapat, pada kenyataannya, diteruskan melalui mekanisme genetik,
jelas bahwa mereka adalah ciri-ciri paling hakiki dari egoisme borjuasi.
“Perang semua melawan semua”, seperti yang diungkapkan si tua Hobbes, adalah
sudut pandang dasar dari masyarakat borjuis.
Benarkah bahwa
mentalitas semacam itu adalah bagian yang terkondisi secara genetik dari “sifat
alami manusia”? Mari kita ingatkan lagi diri kita bahwa kapitalisme dan
nilai-nilainya baru ada selama 200 tahun terakhir dari sekitar 5.000 tahun
sejak kita mengenal tulisan, dan 100.000 tahun yang telah berlalu sejak nenek
moyang kita mulai menjadi manusia. Masyarakat manusia, pada sebagian besar
waktu keberadaannya, telah didasarkan pada prinsip kerja sama. Sungguh, manusia
tidak akan pernah mengangkat dirinya di atas tingkatan hewani tanpa hal ini.
Kompetisi sama sekali bukan sebuah komponen esensial dari cara berpikir
manusia. Kompetisi adalah fenomena yang baru saja muncul, satu cerminan dari
sebuah masyarakat yang didasarkan pada produksi komoditi, yang memuntir dan
merusak sifat manusia ke dalam pola perilaku yang pasti akan dianggap
menjijikkan dan tidak alami di masa lalu.
Terlalu mudah untuk menyalahkan fenomena yang misterius seperti
“gen kita” untuk memahami moralitas egoisme dari perekonomian pasar. Lebih jauh
lagi, ini bukan masalah kehewanan, tapi masalah kelas sosial. Individu
kapitalis bersaing satu dengan lainnya dan tidak ragu untuk menggunakan segala
macam cara untuk menggulingkan pesaingnya – berbohong, menipu, spionase
industri, insider dealing, pencaplokan predatoris–semua ini
dianggap praktek dagang yang normal. Dari sudut pandang kelas buruh, segalanya
sangat berbeda. Ini bukan persoalan moralitas individu, tapi masalahbagaimana
kelas sosial dapat bertahan (persoalan sosial yang sejajar dengan “survival of
the fittest”). Satu-satunya kekuatan yang dimiliki kelas buruh untuk melawan
para majikan adalah kekuatan persatuan, yakni kerja sama.
Tanpa organisasi,
yang dimulai dari tingkat serikat buruh, kelas buruh hanyalah bahan mentah
untuk dieksploitasi. Kebutuhan kaum buruh untuk bersatuguna mempertahankan
kepentingan-kepentingannya adalah sebuah pelajaran yang harus dipelajari lagi
dan lagi. Egoisme dan “individualisme” (dalam pemaknaan borjuasi) berarti
kekalahan bagi kelas buruh. Tiap orang yang menyabot pemogokan selalu dipuja-puji
sebagai pembela agung dari “kebebasan individu” oleh pers milik para milyuner
karena merupakan kepentingan para majikan untuk memecah-mecah kelas buruh,
untuk mereduksinya menjadi komponen-komponen yang terpisah-pisah, yang
masing-masing berada dalam cengkeraman Modal. Di sini juga, hukum dialektika
berlaku bahwa keseluruhan pastilah lebih besar dari jumlah bagian-bagiannya.
Sadar atau tidak, mereka yang mengajukan keegoisan sebagai hal yang ideal, atau
setidaknya sebagai “sifat alami manusia” telah mengambil posisi yang jelas
dalam hubungannya dengan perjuangan antara kelas pekerja upahan dan Modal, dan
tidak boleh mengeluh ketika mereka dikritik telah menyediakan pelumas bagi
gerinda yang dijalankan tanpa ampun oleh Nyonya Thatcher.
Dawkins melihat
evolusi bukan sebagai hasil dari perjuangan organisme tapi sebagai sebuah
perjuangan antar gen untuk rebutan menyalin dirinya sendiri. Tubuh yang mereka
diami adalah sekunder. Ia membuang prinsip Darwin bahwa individu adalah unit
seleksi. Ini adalah ide yang keliru secara fundamental. Seleksi alam bekerja
atas organisme, atas tubuh. Ia memilih bentuk tubuh tertentu karena mereka
lebih cocok dengan lingkungan tertentu. Gen adalah sepotong DNA yang terkandung
di dalam inti sel, sejumlah besar dari mereka berperan dalam perkembangan
sebagian besar bagian tubuh. Ini pada gilirannya dipengaruhi oleh serangkaian
faktor lingkungan, internal maupun eksternal. Seleksi tidaklah terjadi langsung
atas bagian per bagian. Seleksi alam terjadi atas tubuh karena mereka dengan
cara tertentu “lebih cocok”, yaitu, lebih kuat, lebih ganas, lebih hangat, dan
sebagainya. Jika memang ada gen khusus untuk kekuatan atau ciri-ciri lainnya,
maka Dawkins mungkin benar. Tapi tidak demikian halnya. Misalnya, perintah
untuk pembentukan telinga dikandung dalam beberapa gen yang terpisah, separuh
datang dari ayah, separuh dari ibu.
Seperti yang
dijelaskan oleh Stephen Jay Gould:
“Seleksi alam menerima atau menolak seluruh organisme karena
sekumpulan bagian tubuh, yang berinteraksi dengan cara yang kompleks, membawa
keuntungan tertentu.... Organisme jauh lebih berharga daripada sekedar
amalgamasi gen. Mereka punya sejarah yang bermakna; bagian-bagian mereka
berinteraksi dalam cara yang kompleks. Organisme dibangun dari gen-gen yang
bertindak dalam sebuah konserto, dipengaruhi oleh lingkungan, diterjemahkan
menjadi bagian-bagian yang dilihat maupun yang tak terlihat oleh seleksi.
Molekul-molekul yang menentukan sifat-sifat air adalah analogi yang buruk bagi
gen dan tubuh.”[18]
Analisa ini telah
didukung oleh Steven Rose dalam kritiknya atas Dawkins:
Pada kenyataannya, seleksi harus bekerja pada berbagai tingkat.
Serangkaian DNA boleh atau boleh tidak diseleksi, tapi DNA itu terekspresikan
dengan latar belakang seluruh genotip; serangkaian gen-gen tertentu atau
seluruh genotip pastilah mewakili satu tingkatan seleksi yang berbeda. Lebih
jauh lagi, genotip eksis dalam fenotip, dan apakah fenotip ini dapat bertahan
atau tidak bergantung pada interaksinya dengan fenotip-fenotip lain. Maka ia
hanya akan diseleksi dengan latar belakang populasi di mana ia muncul.”[19]
Metode Dawkins membawanya tercebur ke dalam lumpur idealisme,
ketika ia mencoba berpendapat bahwa kebudayaan manusia dapat direduksi menjadi
unit yang disebutnya memes, yang
kelihatannya, seperti gen, bersifat mereplikasi diri sendiri dan berkompetisi
untuk bertahan hidup. Ini jelas keliru. Kebudayaan manusia diteruskan dari
generasi ke generasi, bukan melalui memes, tapi melalui
pendidikan, dalam maknanya yang terluas. Keragaman budaya tidak terkait dengan
gen tapi dengan sejarah sosial. Pendekatan Dawkins pada hakikatnya adalah
reduksionis.
Masyarakat dipecah
menjadi organisme, organisme menjadi sel, sel menjadi molekul, dan molekul
menjadi atom. Bagi Dawkins, sifat dan motivasi manusia haruslah dipahami dengan
menganalisa DNA-nya. Sama persis dengan James Watson (yang bersama Crick dan
Franklin menemukan double helix) yang menyatakan “Apa lagi selain atom?” Mereka
tidak pernah menganggap penting berbagai tingkat analisis, atau cara
determinasi yang kompleks dan bertingkat-tingkat. Mereka mengabaikan hubungan
hakiki antara sel dan organisme sebagai sebuah keseluruhan. Metode empirik ini,
yang muncul bersama dengan revolusi ilmiah di tengah kelahiran kapitalisme,
bersifat progresif pada masanya, tapi kini telah menjadi belenggu atas
perkembangan ilmu pengetahuan dan pemahaman atas alam.
Masa Depan Genetika
“Sampai baru-baru
ini, satu-satunya akses pada gen yang membentuk dunia natural ini adalah
melalui perubahan atas lingkungan. Kini gen-gen itu dapat direkayasa secara
langsung. Ini membuat perubahan menjadi mudah, segera dan dapat dipahami;
teknologi yang memungkinkan rekayasa genetika langsung juga membuka pintu untuk
memeriksa aktivitas gen. Tapi pada saat bersamaan ia membuat perubahan menjadi
sesuatu yang acak, karena gen yang tidak akan dikembangkan secara spontan oleh
hewan apapun kini menjadi mungkin. Teknik-teknik baru ini akan memberi umat
manusia satu kekuatan yang belum pernah ada sebelumnya untuk mengubah dunia –
dan untuk mengubah dirinya sendiri.” (The Economist, 25 Februari 1995.)
Selama tiga dasawarsa
terakhir, kemajuan-kemajuan raksasa telah dibuat dalam bidang genetika
molekuler. Di tahun 1972, gen pertama telah diisolasi dan direproduksi
(“kloning”) di laboratorium. Konsekuensi dari hal ini sangatlah mengkhawatirkan
sehingga para ilmuwan bersepakat untuk secara sukarela menghentikan upaya
rekombinasi gen-gen hasil klon ke dalam DNA organisme lain. Tapi kini
dimasukkannya gen hasil klon ke dalam DNA manusia sudah hampir menjadi hal yang
rutin. Pada dasawarsa pertama dari abad ke-21, para ilmuwan akan mengetahui
semua protein dalam tubuh manusia. Pengetahuan semacam ini memiliki implikasi
yang luar biasa bagi masa datang – baik maupun buruk.
Sampai baru-baru ini,
gen masih dilingkupi misteri, seperti Benda-dalam-dirinya-sendiri-nya Kant. Gen
dianggap sebagai tuan yang kejam dari nasib manusia, yang keras kepala, tidak
dapat diubah, dan tidak dapat diraba dalamnya. Berbicara tentang gen bukan
hanya bicara tentang pewarisan. Ini satu pembicaraan tentang nasib kita. Dan
nasib adalah sebuah mahkamah pengadilan yang tidak memiliki banding. Tapi kini,
untuk pertama kalinya dalam sejarah kehidupan di planet ini, hadir satu
kemungkinan bagi umat manusia untuk mengendalikan nasibnya sendiri, pada
tingkatan yang terdalam. Bertentangan dengan segala omong kosong dari para
reaksioner genetik, tidak pernah benar bahwa gen menentukan sepenuhnya evolusi
manusia. Sekalipun mereka memainkan peran yang besar pada kehidupan manusia,
gen tidak mengendalikannya. Paling-paling, mereka menetapkan parameter tertentu
untuk membatasi atau mengizinkan. Tapi kini genotip itu sendiri, untuk pertama
kalinya, ditempatkan di bawah kendali. Ini adalah perkembangan yang
revolusioner, yang penuh berisi berbagai konsekuensi yang besar bagi masa depan
umat manusia.
Kemunculan kehidupan
dari materi anorganik adalah lompatan evolusioner raksasa. Setelah serangkaian
transformasi, perkembangan dari otak yang dapat berpikir sebagai hasil dari
kehidupan sosial dan kerja kolektif adalah langkah raksasa berikutnya. Kini,
untuk pertama kalinya selama empat miliar tahun, umat manusia sedang berada
dalam proses untuk menguasai rahasia evolusinya sendiri. Seleksi alam tidak
lagi menjadi kekuatan misterius yang buta. Genotip yang maha kuasa itu dapat
ditundukkan ke bawah kendali fenotip. Umat manusia memiliki potensi untuk
menentukan nasibnya sendiri, dan memodifikasi seleksi alam yang tanpa ampun itu.
“Seperti juga
organisme adalah interpretasi dari informasi genetik di dalam lingkungan
tertentu,” tulis Oliver Morton, “demikian pula penggunaan pengetahuan genetik
ini akan tergantung pada lingkungannya – ekonomi dan etik, personal dan politik
– di mana penggunaan itu dilakukan. Penggunaan itu, baik atau jahat, pasti akan
terjadi. Gen yang tadinya dengan ketat membatasi dan mengatur kini ditundukkan
ke bawah kehendak manusia; batasan-batasan akan digeser dan dilonggarkan. Gen
tidak pernah menjadi tuan seutuhnya atas nasib manusia, tapi juga mereka tidak
pernah menjadi pembantu bagi umat manusia. Sampai saat ini.” (The Economist, 25
Februari 1995)
Percuma kita meratapi
penemuan ini, seperti halnya percuma saja sekelompok buruh yang putus asa
menghancurkan mesin-mesin pada pada awal Revolusi Industri. Penemuan ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah bagian yang vital bagi perkembangan
masyarakat, yang memungkinkan umat manusia untuk mendapatkan kendali yang lebih
besar atas batasan-batasan yang dipaksakan oleh alam. Hanya dengan cara inilah
umat manusia akan benar-benar bebas. Masalahnya bukan terletak pada apa yang
ditemukan oleh pemikiran manusia. Masalahnya adalah bagaimana penemuan itu
digunakan. Perkembangan ilmu pengetahuan membuka satu cakrawala baru yang
menggemparkan dari perkembangan umat manusia yang tak terbatas itu sendiri.
Tapi ada satu sisi yang lebih gelap dari semua ini. Abad ke-20 membawa pesan
yang buruk tentang kengerian macam apa yang dapat datang dari kapitalisme yang
berada dalam epos kemunduran historisnya. Teknik rekayasa genetik di tangan
perusahaan-perusahaan monopoli yang tidak terkontrol, yang hanya berminat pada
keuntungan besar, merupakan sebuah ancaman yang mendirikan bulu roma.
Seluruh perkembangan
teknologi, yang terus-menerus meruntuhkan segala rintangan yang menghadangnya,
dan menyatukan dunia dengan cara yang tak pernah terbayangkan sebelumnya,
adalah sebuah argumen yang berpihak pada perekonomian dunia yang terencana.
Bukan seperti karikatur mengerikan yang digambar oleh Stalinisme, tapi sebuah
masyarakat yang dijalankan secara demokratis, di mana manusia akan meraih
kendali sadar atas kehidupan dan takdir mereka. Berdasarkan perekonomian yang
ditata secara harmonis, yang menyatukan sumberdaya dari seluruh planet, sebuah
cakrawala perkembangan yang tak terbatas terbuka lebar. Di satu pihak kita
memiliki tugas menjagabumi kita, membuatnya cocok bagi umat manusia,
memperbaiki kerusakan-kerusakan yang telah disebabkan oleh kerakusan
perusahaan-perusahaan multinasional. Di pihak lain, kita melihat di hadapan
kita satu tantangan terbesar yang pernah dihadapi oleh spesies kita –
penjelajahan antariksa, yang terkait dengan masalah kemampuan umat manusia
untuk bertahan hidup di masa datang. Ilmu rekayasa genetik, yang kini masih
pada tahap janin, mungkin kelak akan terkait dengan tuntutan perjalanan panjang
menjelajah antariksa. Pada saat ini, semua ini masih berada di alam spekulasi.
Namun sejarah seratus tahun terakhir telah memperlihatkan betapa cepatnya ide
yang kelihatannya demikian fantastik sekalipun untuk segera menjadi kenyataan.
Apa yang kita lihat
pada saat ini adalah sebuah potensi raksasa. Dalam konteks perekonomian yang
demokratik dan direncanakan secara harmonis, di mana manusiasecara bebas dan
dengan sadar menentukan takdirnya sendiri, ilmu sains genetika akan berhenti
menjadi penghambat kemajuan manusia dan akan menempati kedudukannya yang
sebenarnya, di dalam telaah dan transformasi atas kehidupan itu sendiri. Ini
bukanlah satu khayalan. Mengutip Oliver Morton:
“Kemungkinan dari
biologi ini hampir-hampir tak berbatas. Dunia alam, termasuk tubuh dan pikiran
manusia, akan menjadi dapat dibentuk. Organ-organ yang dicangkok mungkin akan
membentuk kembali otak manusia, virus yang dirancang khusus akan membangun
kembali jaringan tubuh yang telah mengalami penuaan. Organ manusia yang
ditumbuhkan pada hewan untuk cangkok kini telah mulai dikerjakan. Berbagai
jenis makhluk baru mungkin akan muncul, makhluk-makhluk yang boleh menjadi
pusat kekaguman kita. Jika umat manusia tidak dapat menemukan kawan di antara
bintang-bintang, ia dapat menciptakan makhluk cerdas baru di bumi. Perbedaan
genetik antara manusia dan simpanse sangatlah kecil; spesies cerdas yang baru
bukanlah satu kemustahilan.
“Semua ini akan
dimungkinkan oleh genetika. Tapi, pada saat bersamaan, kejayaan gen akan pudar.
Gen telah kehilangan posisi istimewanya sebagai pembawa informasi. Informasi
biologis akan disimpan dalam pikiran dan komputer, selain dalam gen, dan gen
hanya akan menjadi salah satu cara untuk merekayasa dunia ini, cocok untuk satu
hal dan tidak cocok untuk hal lainnya, seperti protein terapeutik....
“Apa yang semula unik
pada gen kini berada dalam genggaman umat manusia. Genggaman itu kelak akan
segera memiliki semua kuasa yang pada satu waktu pernah dilekatkan pada gen dan
lain-lain. Kecerdasan yang sama akan dapat membentuk gen dan lingkungan, yang
selama ini bekerja sama untuk membuat semua organisme seperti adanya. Kendali
atas informasi biologis pada skala ini – atas data mentah dan cara pengolahannya
– berarti kendali atas biologi, kendali atas kehidupan itu sendiri.” (The
Economist, 25 Februari 1995.)
________________
Catatan Kaki
[1] Dobzhansky 21.
[2] Dogma Immaculata Conceptio atau
Dikandung Tanpa Noda adalah dogma sentral gereja Katolik Roma bahwa Maria, ibu
Yesus Kristus, dikandung tanpa noda.Dogma ini menyatakan bahwa sejak lahir,
Maria telah bebas dari segala macam dosa. Dogma ini sering disalah artikan dengan
kelahiran Yesus dari Maria yang masih perawan (Catatan Editor).
[3] E. O. Wilson, Sociobiology—The New Synthesis, hal. 575.
[4] Dobzhansky 264.
[5] Dari tahun 1944 hinggal awal 1970an, anak-anak Inggris
yang tidak lolos tes ujian “Eleven Plus” dimasukkan ke dalam sekolah “Secondary
Modern”. Mereka yang tidak lolos ujian dianggap tidak cocok untuk pendidikan
akademis dan teknik, dan dimasukkan ke sekolah “Secondary Modern” untuk
diajarkan hal-hal praktis (kerja kayu, kerja domestik, dsb). Yang lolos ujian
dimasukkan ke dalam “Grammar School”.Anak-anak sekolah “Secondary Modern”
biasanya datang dari kelas pekerja, sementara “Grammar School” dari kelas atas.
Sekolah “Secondary Modern” juga menerima anggaran pendidikan yang lebih kecil.
[6]Penyakit Wilson adalah penyakit turunan dimana metal tembaga
terakumulasi di organ-organ tubuh, terutama di hati dan otak, dan bila tidak
diobati akan menyebabkan gagal hati atau penyakit syaraf. Gejala-gejala
penyakit ini dapat diobati dengan diet makanan yang rendah kadar tembaganya,
atau dengan obat-obatan yang membantu menurunkan kadar tembaga dari tubuh
pasien. (Catatan Penerjemah)
[7] Penemuan Piltdown Man adalah salah satu skandal terbesar
dalam sejarah ilmu pengetahuan, di mana beberapa orang ilmuwan, untuk keperluan
membuktikan teori penciptaan, merekayasa fosil palsu di Piltdown. Setelah
ditemukannya teknik penentuan usia geologis melalui pengukuran isotop radioaktif,
terbukti bahwa fosil itu adalah palsu. Namun fosil-fosil palsu itu telah
terlanjur melahirkan berbagai buku setelah selama puluhan tahun dianggap
sebagai pembenaran yang paling meyakinkan atas teori Penciptaan. (Catatan
Penerjemah)
[8] See S. Rose, L. Kamin dan R. Lewontin, Not in our Genes,
hal. 84, 86, 87, 96, 116 dan 95.
[9] John Scopes (1900-1970) adalah seorang guru di Tennessee,
Amerika. Pada 1925, dia diadili oleh pengadilan negara bagian Tennessee karena
mengajarkan teori evolusi di kelasnya. Pada saat itu di Tennessee ada hukum
yang melarang pengajaran teori evolusi di sekolah. Kasus ini dikenal luas
sebagai Pengadilan Scopes.
[10] Pada tahun
1912, seorang psikolog dan eugenis terkenal dari Amerika, Henry G. Goddard
menerbitkan buku berjudul “The Kallikak Family: A Study in the Heredity of
Feeble-Mindedness”. Buku ini mengandung studinya mengenai heritabilitas dari
catat mental (sakit jiwa, kedunguan, kesulitan belajar, dll). Nama Kallikak
adalah nama keluarga palsu yang digunakan di buku ini, yang berasal dari bahasa
Yunani: kallos yang berarti cantik, dan kakos yang berarti buruk.
Buku ini mengikuti
seorang pasien dari institusi anak-anak cacat mentalnya, yang bernama Deborah
Kallikak. Silsilah Deborah dipelajari, dan ditemukan bahwa kakek buyutnya,
Martin Kallikak, pernah bersenggama dengan seorang perempuan cacat mental.
Kakek buyutnya lalu menikah dengan perempuan lain yang normal, sehingga ia
punya dua garis keturunan. Garis keturunan dari perempuan yang cacat mental,
menurut klaim Goddard, semuanya lahir dengan berbagai cacat mental (miskin,
gila, kriminal, bodoh, dll.) Sementara garis keturunan dengan perempuan yang
normal semuanya adalah orang-orang yang baik, terhormat, dan makmur.
Dengan pengamatan
ini, Goddard mengklaim bahwa ia telah menemukan bahwa kecerdasan, moralitas,
dan kriminalitas adalah sesuatu yang diwariskan lewat keturunan. Sebagai
kesimpulannya, dia menganjurkan kebijakan memisahkan orang-orang yang
dianggapnya cacat mental dari yang normal,mencegah perkawinan antar mereka dan
juga pemandulan.
Studi yang serupa di
New York dengan keluarga Juke. Sejak itu, istilah Kallikak dan Juke adalah
representasi dari kepercayaan bahwa ada gen-gen moralitas dan kriminalitas yang
diturunkan, yang digabungkan dengan kepercayaan reliji mengenai dosa ayah dan
gagasan eugenik yang pseudo-ilmiah.
[11] Ras Teutonic adalah
ras Germanic, yang pada masa modern ini meliputi orang-orang Inggris, Norwegia,
Denmark, Swedia, Jerman, Austria, Belanda, Flemish.
[12] America’s
Destiny, 1900. Albert Beveridge.
[13] Dawkins, The
Selfish Gene, hal. 108.
[14] Dawkins, The
Selfish Gene, hal. 3 dan 265-6.
[15] Dawkins, The
Extended Phenotype, hal. 10-11.
[16] S. Rose,
Molecules dan Minds, hal. 64-5.
[17] Dawkins, The
Selfish Gene, hal. 126, 109, 129 dan 150.
[18] Gould, The
Panda’s Thumb, hal. 77-8.
[19] Rose, Molecules
dan Mind, hal. 64-5.
0 komentar:
Post a Comment