Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Friday, May 04, 2018

Nalar Yang Memberontak-Bagian Kedua: Waktu, Ruang, dan Gerak-Bab 5. Revolusi dalam Fisika


Bagian Kedua: Waktu, Ruang, dan Gerak

Bab 5. Revolusi dalam Fisika
Dua ribu tahun lalu, orang berpikir bahwa hukum-hukum alam semesta telah tercakup seluruhnya dalam geometrinya Euclides. Tidak ada sesuatu pun yang dapat ditambahkan kepadanya. Ini adalah ilusi yang ada di tiap jaman. Untuk waktu yang panjang setelah wafatnya Newton, para ilmuwan berpikir bahwa ia telah menyatakan segala sesuatu yang perlu dikatakan tentang hukum-hukum alam. Laplace mengeluh bahwa hanya ada satu alam semesta, dan Newton telah mendapat berkah besar sehingga ia telah menemukan semua hukum yang mengaturnya. Selama dua ratus tahun teori Newton tentang sifat partikel dari cahaya diterima secara luas, yang menentang teori bahwa cahaya adalah gelombang, yang diajukan oleh fisikawan Belanda, Huygens. Kemudian teori cahaya sebagai partikel dinegasi oleh orang Prancis, A. J. Fresnel, yang teori gelombang cahayanya telah dikonfirmasi oleh percobaan J. B. L. Foucault. Newton telah meramalkan bahwa cahaya, yang berjalan dengan kecepatan 186.000 mil per detik (± 300.000 km/detik) di ruang hampa, seharusnya berjalan lebih cepat dalam air. Para pendukung teori gelombang cahaya meramalkan bahwa kecepatannya harusnya lebih rendah, dan eksperimen membuktikan bahwa mereka benar.
Terobosan besar untuk teori gelombang dicapai oleh ilmuwan cemerlang dari Skotlandia James Clerk Maxwell, pada paruh kedua abad ke-19. Maxwell mendasarkan dirinya pada kerja eksperimental dari Michael Faraday, yang menemukan induksi elektromagnet, dan menyelidiki sifat-sifat magnet, dengan kedua kutubnya, utara dan selatan, yang melibatkan gaya-gaya tak kasat mata yang membentang di bumi dari ujung ke ujung. Maxwell memberi penemuan empirik ini satu bentuk universal dengan menerjemahkannya ke dalam persamaan matematika. Karyanya ini membimbing orang ke dalam penemuan medan, yang kemudian menjadi dasar Einstein untuk merumuskan teori relativitas umumnya. Satu generasi berdiri di atas bahu generasi sebelumnya, saling menegasi dan memelihara penemuan yang terdahulu, terus-menerus memperdalamnya, dan memberinya bentuk-bentuk dan hakikat yang lebih umum.
Tujuh tahun setelah meninggalnya Maxwell, Hertz mendeteksi untuk pertama kalinya gelombang elektromagnetik yang diramalkan oleh Maxwell. Teori partikel, yang telah berkuasa sejak Newton, nampaknya dihantam hancur oleh elektromagnetik Maxwell. Sekali lagi para ilmuwan percaya bahwa mereka telah menggenggam satu teori yang akan dapat menjelaskan segala sesuatu. Hanya ada beberapa masalah yang masih harus dibereskan, dan kita akan segera mengetahui segala sesuatu yang perlu diketahui tentang alam semesta ini. Tentu saja, ada beberapa ketidakcocokan yang mengganggu, tapi nampaknya cukup kecil sehingga dapat diabaikan. Walau demikian, hanya dalam beberapa dasawarsa kemudian, beberapa ketidakcocokan “kecil” ini terbukti cukup untuk menggulingkan seluruh struktur teori yang ada dan mendorong terjadinya revolusi ilmiah yang kuat.
Partikel atau Gelombang?
Semua orang tahu gelombang itu apa. Ia adalah fitur umum yang dihubungkan dengan air. Seperti halnya gelombang dapat dihasilkan oleh seekor bebek yang bergerak di atas permukaan sebuah kolam, demikian pula sebuah partikel, misalnya sebuah elektron, dapat menyebabkan satu gelombang elektromagnetik, ketika ia bergerak melintasi ruang. Gerakan bergetar dari elektron mengganggu medan listrik dan magnet, menyebabkan gelombang menyebar secara kontinu, seperti riak dalam kolam. Tentu saja analogi ini hanyalah aproksimasi. Ada perbedaan mendasar antara gelombang air dan gelombang elektromagnetik. Gelombang yang disebut terakhir ini tidak membutuhkan satu medium kontinu yang harus dilaluinya dalam perjalanan, seperti air misalnya. Sebuah getaran elektromagnetik adalah satu gangguan periodik yang menjalarkan dirinya sendiri melalui struktur elektrik materi. Walau demikian, perbandingan itu dapat memberi penjelasan yang lebih terang.
Fakta bahwa kita tidak dapat melihat gelombang ini tidaklah berarti bahwa keberadaan mereka tidak dapat kita deteksi, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita memiliki pengalaman langsung merasakan gelombang cahaya dan gelombang radio, bahkan sinar-X. Satu-satunya perbedaan antara mereka semua adalah pada frekuensinya. Kita tahu bahwa sebuah gelombang di air akan menyebabkan satu objek yang sedang mengapung terangkat naik-turun, lebih cepat atau lebih lambat, tergantung kekuatan gelombang itu sendiri – riak yang disebabkan oleh seekor bebek tentu jauh lebih lemah daripada yang disebabkan oleh sebuah kapal motor. Mirip dengan itu, osilasi elektron akan berbanding lurus dengan intensitas gelombang cahaya.
Persamaan Maxwell, yang telah didukung oleh eksperimen Hertz dan lain-lain, menyediakan satu bukti yang kuat untuk mendukung teori bahwa cahaya merupakan gelombang, yang memiliki sifat-sifat elektromagnetik. Walau demikian, pada peralihan abad, orang mengumpulkan bukti-bukti bahwa teori inipun keliru. Di tahun 1900 Max Planck menunjukkan bahwa teori gelombang klasik membuat beberapa ramalan yang tak dapat dibuktikan dalam praktek. Ia mengajukan bahwa cahaya datang dalam partikel-partikel yang diskrit atau dalam “paket-paket”(kuanta). Situasinya menjadi lebih rumit lagi oleh adanya fakta bahwa eksperimen-eksperimen lain membuktikan hal-hal yang bertentangan. Dapatlah diperlihatkan bahwa sebuah elektron adalah sebuah partikel dengan menumburkannya pada layar fluorescent dan mengamati pendar yang dihasilkan oleh tumbukan itu; atau dengan mengamati jalur yang dibentuk elektron dalam kamar gas; atau melalui titik-titik mini yang muncul dalam sebuah plat foto yang sudah dicuci. Di pihak lain, jika dua lubang dibuat di sebuah layar, dan elektron dialirkan melalui sebuah sumber tunggal, mereka akan membentuk pola interferensi, yang menunjukkan bahwa elektron memiliki sifat gelombang.
Hasil yang paling aneh justru didapat dari eksperimen celah-ganda yang terkenal itu, di mana sebuah elektron tunggal ditembakkan pada sebuah layar yang mengandung dua celah dan sebuah plat foto di belakangnya. Pada celah yang mana elektron tunggal itu akan lewat? Pola interferensi yang terbentuk pada plat foto di belakang celah itu jelas adalah pola yang hanya dapat dibentuk oleh dua celah. Hal ini membuktikan bahwa elektron melewati kedua celah itu sekaligus sehingga dapat membentuk sebuah pola interferensi. Ini tentunya bertentangan dengan hukum-hukum akal-sehat, tapi eksperimen ini tak dapat dibantah lagi kebenarannya. Sebuah elektron bersifat baik sebagai partikel maupun sebagai gelombang. Ia berada dalam dua (atau lebih) tempat sekaligus, dan dalam beberapa keadaan gerak sekaligus!
“Janganlah kita bayangkan,” komentar Banesh Hoffmann, “bahwa para ilmuwan menerima penemuan baru ini dengan sorak kemenangan. Mereka menentang penemuan-penemuan ini dan menolaknya sejauh mereka dapat, menciptakan segala jenis jebakan dan hipotesis alternatif dalam sebuah upaya putus asa untuk menyelamatkan diri dari keharusan menerima fakta itu sebagai kebenaran. Tapi paradoks itu telah hadir dengan mencolok sejak 1905 dalam kasus cahaya, dan bahkan lebih awal lagi, dan tidak seorang pun memiliki keberanian atau kecerdikan untuk menyelesaikan persoalan ini sampai munculnya mekanika kuantum yang baru itu. Ide-ide baru ini sangatlah sulit diterima karena kita terus secara insting berusaha membangun gambaran tentangnya dalam bentuk-bentuk partikel tradisional, dengan mengabaikan prinsip ketidakpastian Heisenberg. Kita terus menghindar dari penggambaran sebuah elektron sebagai sesuatu yang, sembari memiliki gerak, mungkin tidak memiliki posisi, dan sembari memiliki posisi, mungkin tidak mengenal konsep gerak atau diam.”[1]
Di sini kita melihat bekerjanya negasi dari negasi. Pada pandangan pertama, kita kelihatannya telah menempuh satu lingkaran penuh. Teori partikel cahaya dari Newton telah dinegasi oleh teori gelombang Maxwell. Teori ini, pada gilirannya, dinegasi pula oleh teori partikel yang baru, yang dikemukakan oleh Planck dan Einstein. Tapi hal ini tidaklah berarti kembali pada teori Newtonian lama, tapi menempuh lompatan kualitatif ke depan, dengan melibatkan satu revolusi sejati dalam ilmu pengetahuan. Semua ilmu pengetahuan harus dirombak total, termasuk hukum gravitasi Newton itu sendiri.
Revolusi ini tidaklah membuat persamaan Maxwell tidak berlaku lagi, persamaan itu tetap sahih untuk sejumlah besar operasi tentang medan. Yang ditunjukkan hanyalah, di luar batas tertentu, ide-ide fisika klasik tidak lagi berlaku. Gejala dunia partikel sub-atomik tidaklah dapat dipahami dengan metode-metode mekanika klasik. Di sini, ide-ide mekanika kuantum dan relativitas bermain penuh. Pada sebagian besar waktu di abad ini, fisika telah didominasi oleh teori relativitas dan mekanika kuantum yang, pada awalnya, ditolak mentah-mentah oleh orang-orang yang mendominasi sains, yang berpegangan erat-erat pada pandangan-pandangan lama. Ada pelajaran yang penting di sini. Upaya apapun untuk memaksakan satu “solusi final” terhadap pandangan kita atas alam semesta ini pasti akan menemui kegagalan.
Mekanika Kuantum
Perkembangan fisika kuantum merupakan lompatan besar ke muka dalam sains, satu perpecahan yang menentukan dengan determinisme mekanik kuno dari fisika “klasik”. (Metode “metafisik”, adalah istilah yang gemar digunakan Engels untuk menggambarkannya.) Sebagai gantinya, kita mendapatkan satu pandangan atas alam yang lebih lentur dan dinamis – dengan kata lain, dialektik. Dimulai dengan penemuan Planck tentang keberadaan kuantum, yang pada awalnya terlihat sebagai sebuah rincian yang remeh, hampir seperti sebuah anekdot, seluruh wajah fisika mengalami perubahan. Di sini kita mendapati sebuah sains baru yang dapat menjelaskan fenomena peluruhan radioaktif dan menelaah dengan sangat rinci data spektroskopi yang kompleks itu. Secara langsung hal itu membawa kita pada pendirian sebuah ilmu baru – kimia teoritik, yang mampu menyelesaikan masalah-masalah yang tadinya tak terpecahkan. Secara umum, serangkaian kesulitan teoritik tersingkirkan, setelah satu sudut pandang baru diterima. Fisika baru telah mengungkap kekuatan maha dahsyat yang tersimpan dalam inti atom. Hal ini membawa kita langsung pada penyalahgunaan energi nuklir –yang dapat memusnahkan kehidupan di muka bumi – atau justru pada masa depan yang sampai sekarang tak berani dibayangkan orang, dengan kelimpahan tanpa batas dan kemajuan sosial melalui penggunaan fusi nuklir secara damai. Teori relativitas Einstein menjelaskan bahwa massa dan energi adalah dua hal yang setara. Jika massa sebuah objek diketahui, dengan mengalikannya pada kuadrat kecepatan cahaya, materi akan berubah menjadi energi.
Einstein menunjukkan bahwa cahaya, yang sampai saat itu masih dianggap sebagai sebuah gelombang, berperilaku seperti sebuah partikel. Cahaya, dengan kata lain, adalah salah satu bentuk saja dari materi. Hal ini telah dibuktikan di tahun 1919, ketika ditunjukkan bahwa cahaya dapat dibelokkan oleh gaya gravitasi. Louis de Broglie kemudian menunjukkan bahwa materi, yang dianggap hanya terdiri dari partikel, selalu memiliki pula sifat-sifat gelombang. Batasan antara materi dan energi telah dihapuskan untuk selamanya. Materi dan energi adalah ... sama. Ini adalah kemajuan raksasa dari ilmu pengetahuan. Dan dari sudut pandang Materialisme yang Dialektik, materi dan energi adalah sama. Engels menggambarkan energi (“gerak”) sebagai “mode eksistensi, ciri internal, dari materi”.[2]
Argumen yang mendominasi fisika partikel selama bertahun-tahun, yakni apakah partikel sub-atomik seperti foton dan elektron adalah partikel atau gelombang akhirnya diselesaikan oleh mekanika kuantum yang menegaskan bahwa partikel sub-atomik dapat, dan memang, berperilaku sebagai partikel dan gelombang sekaligus. Seperti sebuah gelombang, cahaya menghasilkan interferensi, tapi, sebuah foton cahaya juga dapat memantul ketika membentur sebuah elektron, yakni berlaku seperti sebuah partikel. Hal ini bertentangan dengan logika formal. Bagaimana mungkin “akal-sehat” menerima bahwa sebuah elektron dapat ada di dua tempat sekaligus? Atau bahkan bergerak, pada kecepatan tinggi yang tak terbayangkan, ke berbagai jurusan sekaligus? Cahaya yang berperilaku sebagai gelombang dan partikel sekaligus akan dilihat sebagai kontradiksi yang tak terselesaikan. Upaya untuk menjelaskan fenomena kontradiktif dari dunia sub-atomik dengan cara-cara logika formal akan membawa kita meninggalkan pemikiran rasional sama sekali. Dalam kesimpulannya atas sebuah karya yang ditulis tentang revolusi kuantum, Banesh Hoffmann sanggup menulis:
“Berapa sering lagi kita harus mengagumi karya Tuhan yang luar biasa, yang menciptakan langit dan bumi dari sebuah hakikat primat dari sebuah rincian yang demikian indah sehingga dengannya Ia dapat menciptakan otak dan pikiran yang bernyala dengan berkah kemampuan meramal yang ilahiah untuk menerobos misteri ciptaan-Nya sendiri. Jika pikiran dari seorang Bohr atau Einstein membuat kita terkagum-kagum dengan kekuatannya, bagaimana kita mulai memuja keagungan Tuhan yang menciptakannya?”[3]
Sayangnya, ini bukan satu contoh yang merupakan pengecualian. Sejumlah besar literatur modern tentang sains, termasuk banyak yang ditulis para ilmuwan itu sendiri, dipenuhi dengan pandangan yang mistis, religius atau kuasi-religius semacam ini. Ini adalah hasil langsung dari filsafat idealis yang masih dipegang, sadar atau tidak sadar, oleh banyak sekali ilmuwan.
Hukum-hukum mekanika kuantum akan runtuh di hadapan “akal-sehat” (yaitu, logika formal), tapi berkesesuaian benar dengan materialisme dialektik. Ambillah, misalnya, pandangan tentang sebuah titik. Seluruh geometri tradisional diturunkan dari satu titik, yang selanjutnya menjadi garis, bidang, kubus, dsb. Walau demikian, pengamatan yang lebih rinci menunjukkan bahwa sebuah titik tidaklah memiliki keberadaan mandiri.
Titik dipandang sebagai pernyataan ruang yang terkecil, sesuatu yang tidak memiliki dimensi. Pada kenyataannya, titik tersebut terdiri dari atom-atom – elektron, inti atom, foton, dan partikel-partikel lain yang lebih kecil lagi. Pada akhirnya, ia lenyap dalam sebuah fluks gelombang kuantum yang tidak pernah berhenti bergetar. Dan tidak ada akhir bagi proses ini. Tidak ada “titik” yang dapat ditetapkan sama sekali. Inilah jawaban final bagi para idealis yang berusaha mencari “bentuk” sempurna yang katanya terdapat “di luar” realitas material yang dapat diamati. Satu-satunya “realitas puncak” adalah alam semesta material yang tidak berhingga, abadi, dan terus berubah, yang jauh lebih indah dalam segala variasi bentuk dan prosesnya yang tanpa henti ketimbang segala macam petualangan ajaib dari fiksi ilmiah. Alih-alih satu lokasi yang dapat ditentukan – satu “titik”–kita memiliki sebuah proses, sebuah fluks yang tanpa henti. Segala upaya untuk memaksakan batasan bagi hal ini, dalam bentuk awal atau akhir, pasti akan menemui kegagalan.
Melenyapnya Materi?
Jauh sebelum ditemukannya relativitas, sains telah menemukan dua prinsip dasar – kekekalan energi dan kekekalan massa. Hukum yang pertama ditemukan oleh Leibniz di abad ke-17, dan kemudian dikembangkan di abad ke-19 sebagai sebuah hasil dari prinsip-prinsip mekanika. Jauh sebelum itu, manusia jaman purba telah menemukan secara praktek prinsip kesetaraan antara kerja dan panas, ketika ia membuat api melalui gesekan, dengan demikian mengubah energi (kerja) menjadi panas. Pada awal abad ini, ditemukan bahwa massa hanyalah salah satu bentuk energi. Satu partikel materi bukan lain adalah energi, yang sangat terkonsentrasi dan terlokalisasi. Jumlah energi yang terkonsentrasi dalam sebuah partikel berbanding lurus dengan massanya, dan jumlah total energi adalah selalu tetap. Hilangnya sejumlah energi tertentu akan selalu diimbangi dengan didapatnya sejumlah energi dalam bentuk lain. Sambil terus mengubah bentuknya, bagaimanapun, energi akan tetap sama selamanya.
Revolusi yang disebabkan oleh Einstein adalah satu pembuktian bahwa massa itu sendiri mengandung jumlah energi yang luar biasa. Kesetaraan massa dan energi dinyatakan dalam persamaan E = mc² di mana c melambangkan kecepatan cahaya (sekitar 186.000 mil per detik atau 300.000 km per detik), E adalah energi yang terkandung dalam sebuah benda diam, dan m adalah massanya. Energi yang terkandung dalam massa m adalah setara dengan massa ini yang dikalikan kuadrat dari kecepatan cahaya yang luar biasa besar itu. Dengan demikian, massa adalah bentuk energi yang teramat terkonsentrasi, kekuatan yang boleh digambarkan oleh fakta bahwa energi yang dilepaskan dalam sebuah ledakan atom dihasilkan ketika hanya 10% dari massanya diubah menjadi energi. Biasanya, energi raksasa yang terkunci dalam materi ini tidak mewujud, dan dengan demikian tidak diperhatikan oleh manusia. Tapi jika proses di dalam inti atom mencapai satu titik kritis, sebagian energi akan dilepaskan, sebagai energi kinetik.
Karena massa hanyalah salah satu bentuk energi, baik materi maupun energi tidak dapat diciptakan maupun dihancurkan. Bentuk-bentuk energi, di pihak lain, sangatlah beragam. Sebagai contoh, ketika proton di dalam matahari bersatu untuk membentuk inti atom helium, energi nuklir dilepaskan. Pertama-tama ini mungkin nampak sebagai energi kinetik dari gerak inti atom, yang kemudian memberi sumbangan pada energi panas yang dilepaskan matahari. Sebagian energi ini dipancarkan dari matahari dalam bentuk foton, mengandung partikel-partikel energi elektromagnetik. Partikel-partikel ini, pada gilirannya, diubah oleh proses fotosintesis menjadi energi kimia potensial yang tersimpan dalam tumbuhan, yang pada giliran selanjutnya, diserap oleh manusia dengan memakan tanaman, atau hewan yang hidup dari memakan tanaman, untuk menyediakan kehangatan dan energi bagi otot, aliran darah, otak, dan lain-lain.
Hukum-hukum fisika klasik secara umum tak dapat diterapkan pada tingkat sub-atomik. Walau demikian, terdapatlah satu hukum yang tidak mengenal pengecualian di alam – hukum kekekalan energi. Para fisikawan tahu bahwa baik muatan positif maupun negatif tidaklah dapat diciptakan dari sebuah ketiadaan. Fakta ini terekspresikan dalam hukum kekekalan muatan listrik. Dengan demikian, dalam proses untuk menghasilkan partikel beta, lenyapnya neutron (yang tidak bermuatan) menimbulkan sepasang partikel yang muatannya berlawanan – proton yang bermuatan positif dan elektron yang bermuatan negatif. Bersama-sama, kedua partikel baru itu memiliki muatan gabungan setara dengan nol.
Jika kita melakukan proses kebalikannya, ketika sebuah proton memancarkan sebuah positron dan berubah menjadi neutron, muatan dari partikel asli (proton) adalah positif dan partikel yang dihasilkan (neutron dan positron), bersama-sama, juga bermuatan positif. Dalam seluruh perubahan yang beraneka ragam ini, hukum kekekalan muatan dipatuhi secara ketat, seperti halnya hukum-hukum kekekalan yang lain. Tidak secuilpun energi yang diciptakan atau dihancurkan. Dan fenomena semacam itu juga tidak akan pernah terjadi.
Ketika sebuah elektron dan anti-partikelnya, positron, saling menghancurkan, massa mereka “hilang”, yaitu, diubah menjadi dua partikel cahaya (foton) yang terbang berhamburan ke arah yang berlawanan. Walau demikian, keduanya memiliki energi total yang sama dengan kedua partikel yang telah bersatu untuk menghasilkan mereka. Kesetaraan massa-energi, momentum linear dan muatan listrik dipelihara dengan ketat. Gejala ini sama sekali tidak sama dengan pelenyapan dalam makna penghancuran. Secara dialektik, elektron dan positron dinegasi dan dipelihara pada saat bersamaan. Materi dan energi (yang hanya merupakan dua cara untuk menyatakan hal yang sama) tidak akan pernah dapat diciptakan maupun dihancurkan, hanya diubah.
Dari sudut pandang materialisme dialektik, materi adalah realitas objektif yang diberikan kepada kita dalam persepsi-indrawi. Ini mencakup bukan saja objek yang “solid” melainkan juga cahaya. Foton adalah sama materialnya dengan elektron atau positron. Massa terus-menerus diubah menjadi energi (termasuk cahaya – foton) dan energi menjadi massa. “Penghancuran” sebuah positron dan elektron menghasilkan sepasang foton, tapi kita juga melihat proses yang kebalikannya: ketika dua foton bertemu, sebuah elektron dan sebuah positron dapat dihasilkan, asalkan foton itu mengandung energi yang cukup. Hal ini kadangkala disajikan pada kita dalam konsep penciptaan materi “dari ketiadaan”. Tidak ada hal semacam itu. Apa yang kita lihat di sini bukanlah penghancuran maupun penciptaan apapun, tapi satu peralihan yang terus-menerus dari materi menjadi energi dan sebaliknya. Ketika sebuah foton menghantam inti atom, ia berhenti mengada sebagai sebuah foton. Ia hilang, tapi menyebabkan satu perubahan di dalam atom – sebuah elektron meloncat dari satu orbit yang lebih rendah ke orbit lain yang lebih tinggi tingkatan energinya. Di sini juga proses yang kebalikannya terjadi. Ketika sebuah elektron melompat ke orbit yang berenergi lebih rendah, sebuah foton muncul.
Proses perubahan yang terus-menerus ini, yang mencirikan dunia di tingkat sub-atomik adalah sebuah pembenaran yang dahsyat terhadap fakta bahwa dialektika bukanlah sekedar reka-reka subjektif, tapi sungguh-sungguh terhubung dengan proses objektif yang terjadi secara alamiah. Proses ini telah berjalan tanpa terputus sepanjang segala abad. Ia adalah pembuktian konkret dari tidak dapat dihancurkannya materi – persis kebalikan dari apa yang tadinya hendak dibuktikan oleh para idealis.
“Batu Penyusun Materi”?
Selama berabad-abad para ilmuwan berusaha dengan sia-sia untuk menemukan “batu penyusun materi”– partikel pamungkas yang terkecil. Seratus tahun yang lalu, mereka pikir mereka telah menemukannya dalam bentuk atom (yang, dalam bahasa Yunani, berarti “sesuatu yang tak dapat dibagi lagi”). Penemuan partikel-partikel sub-atomik memaksa fisika untuk merambah lebih dalam ke dalam struktur materi. Di tahun 1928, para ilmuwan berpikir bahwa mereka telah menemukan partikel-partikel yang terkecil – proton, elektron dan foton. Seluruh dunia material dianggap tersusun dari ketiga partikel ini. Selanjutnya, ini juga diruntuhkan oleh penemuan neutron, positron, deuteron, dan serombongan partikel lain, yang semakin kecil, dengan keberadaan yang semakin sekejap – neutrino, pi-meson, mu-meson, k-meson, dan banyak lagi yang lain. Umur dari beberapa partikel ini sangat kecil – mungkin sepersemiliar detik – sehingga mereka digambarkan sebagai “partikel virtual”– sesuatu yang sama sekali tak terbayangkan sebelum datangnya jaman kuantum.
Tauon berumur hanya sepertriliun detik, sebelum luruh menjadi muon, dan kemudian menjadi elektron. Pion yang netral lebih pendek lagi masa hidupnya, luruh dalam waktu kurang dari satu per quadriliun (10 pangkat 15) detik untuk membentuk sepasang partikel sinar gamma. Walau demikian, partikel-partikel gamma ini hidup sampai usia lanjut, dibandingkan dengan yang lain-lain yang hanya hidup selama seperseratus mikrodetik. Beberapa yang lain, seperti partikel sigma yang netral, luruh setelah seper seratus triliun detik. Di tahun 1960-an, bahkan ini masih dikalahkan oleh penemuan partikel-partikel yang lebih pendek lagi masa hidupnya sehingga keberadaannya hanya dapat disimpulkan dari keharusan mereka untuk meluruh agar terbentuk beberapa partikel turunan yang telah diketahui. Masa paruh-hidup dari partikel-partikel ini berada di kisaran seper beberapa triliun detik. Mereka dikenal sebagai partikel resonan. Dan inipun belum lagi akhir ceritanya.
Lebih dari seratus limapuluh partikel lain ditemukan kemudian, yang kemudian dikenal sebagai hadron. Situasinya demikian ruwet. Seorang fisikawan Amerika, Dr. Murray Gell-Mann, dalam upayanya untuk menjelaskan struktur partikel-partikel sub-atomik, telah mempostulatkan beberapa partikel yang lain lagi, yang lebih mendasar, quark, yang lagi-lagi dicanangkan sebagai “batu penyusun materi yang pamungkas”. Gell-Mann berteori bahwa terdapat enam jenis quark dan bahwa keluarga quark adalah paralel dengan keenam anggota keluarga partikel yang lebih ringan, yang disebut lepton. Semua materi kini dianggap terdiri dari duabelas partikel penyusun. Namun, bahkan bentuk materi paling dasar yang dikenal ilmu pengetahuan ini masih juga mengandung kualitas-kualitas kontradiktif yang sama dengan apa yang kita amati di seluruh alam semesta, bersesuaian dengan hukum dialektik tentang kesatuan dari hal-hal yang bertentangan. Quark juga hadir dalam pasangan-pasangan, dengan muatan positif dan negatif, sekalipun, dengan anehnya, dinyatakan dalam pecahan.
Sekalipun ada fakta bahwa pengalaman telah menunjukkan bahwa tidak ada batasan bagi materi, para ilmuwan terus bersikeras melancarkan pencarian sia-sia terhadap “batu penyusun materi”. Benar bahwa ekspresi itu hanyalah penemuan sensasional dari para jurnalis dan para ilmuwan yang terobsesi dengan kemungkinan promosi, dan bahwa pencarian partikel yang semakin lama semakin kecil dan mendasar adalah kegiatan ilmiah yang sangat bonafide, yang berguna untuk memperdalam pengetahuan kita tentang cara bekerjanya alam semesta ini. Tapi, walau demikian, kita tentu mendapatkan kesan bahwa sedikitnya beberapa dari mereka benar-benar percaya bahwa mungkin bagi kita untuk mencapai satu bentuk realitas yang pamungkas, yang merupakan batasan di mana di luar itu tidak ada lagi sesuatu pun yang dapat ditemukan, setidaknya di tingkat sub-atomik.
Quark kini dianggap sebagai yang pamungkas dan terakhir dari keduabelas “batu penyusun” sub-atomik yang katanya menyusun segala materi di alam semesta. “Hal yang menarik adalah bahwa inilah potongan materi yang terakhir yang akan pernah kita kenal, seperti yang diramalkan oleh kosmologi dan Model Standard dari fisika partikel, Dr. David Schramm dilaporkan berujar, 'Inilah potongan teka-teki yang terakhir itu.'“[4] Jadi, quark adalah “partikel pamungkas”. Ia disebut fundamental dan tidak memiliki struktur lagi di dalamnya. Tapi hal yang sama telah pula diramalkan di masa lalu untuk atom, lalu proton, dan sebagainya dan seterusnya. Dengan cara yang sama, kita dapat dengan yakin meramalkan penemuan bentuk-bentuk yang lebih “fundamental” lagi dari materi di masa depan. Fakta bahwa keadaan pengetahuan dan teknologi kita yang sekarang tidaklah mengizinkan kita untuk menentukan sifat-sifat quark tidaklah kemudian mewajibkan kita untuk mengatakan bahwa ia tidak memiliki struktur lagi di dalamnya. Sifat dan ciri quark masih harus menunggu telaah lebih lanjut, dan tidak ada alasan untuk menganggap bahwa hal ini tidak akan mungkin tercapai, bahwa mustahil bagi kita untuk merambah ke kedalaman struktur materi yang tidak berujung. Inilah cara yang selalu ditempuh ilmu pengetahuan dalam kemajuannya. Halangan-halangan yang tadinya dianggap mustahil dipecahkan oleh satu generasi dijungkirkan oleh generasi berikutnya, dan demikian seterusnya sepanjang jaman. Seluruh pengalaman lampau kita memberi segala alasan untuk percaya bahwa proses dialektis kemajuan pengetahuan manusia ini adalah sama tak berujungnya seperti alam semesta itu sendiri.
_______________
Catatan Kaki 
[1] B. Hoffmann, The Strange Story of the Quantum, hal. 147.
[2] Engels, Dialectics of Nature, hal. 92.
[3] B. Hoffmann, The Strange Story of the Quantum, hal. 194-5
[4] Financial Times, 1/4/94, penekanan dari kami.



Share:

0 komentar:

Post a Comment