Bagian Kedua: Waktu, Ruang, dan Gerak
Bab 5. Revolusi dalam Fisika
Dua ribu tahun lalu, orang berpikir bahwa hukum-hukum alam
semesta telah tercakup seluruhnya dalam geometrinya Euclides. Tidak ada sesuatu
pun yang dapat ditambahkan kepadanya. Ini adalah ilusi yang ada di tiap jaman.
Untuk waktu yang panjang setelah wafatnya Newton, para ilmuwan berpikir bahwa
ia telah menyatakan segala sesuatu yang perlu dikatakan tentang hukum-hukum
alam. Laplace mengeluh bahwa hanya ada satu alam semesta, dan Newton telah
mendapat berkah besar sehingga ia telah menemukan semua hukum yang mengaturnya.
Selama dua ratus tahun teori Newton tentang sifat partikel dari cahaya diterima
secara luas, yang menentang teori bahwa cahaya adalah gelombang, yang diajukan
oleh fisikawan Belanda, Huygens. Kemudian teori cahaya sebagai partikel
dinegasi oleh orang Prancis, A. J. Fresnel, yang teori gelombang cahayanya
telah dikonfirmasi oleh percobaan J. B. L. Foucault. Newton telah meramalkan
bahwa cahaya, yang berjalan dengan kecepatan 186.000 mil per detik (± 300.000
km/detik) di ruang hampa, seharusnya berjalan lebih cepat dalam air. Para
pendukung teori gelombang cahaya meramalkan bahwa kecepatannya harusnya lebih
rendah, dan eksperimen membuktikan bahwa mereka benar.
Tujuh tahun setelah meninggalnya Maxwell, Hertz mendeteksi untuk
pertama kalinya gelombang elektromagnetik yang diramalkan oleh Maxwell. Teori
partikel, yang telah berkuasa sejak Newton, nampaknya dihantam hancur oleh
elektromagnetik Maxwell. Sekali lagi para ilmuwan percaya bahwa mereka telah
menggenggam satu teori yang akan dapat menjelaskan segala sesuatu. Hanya ada
beberapa masalah yang masih harus dibereskan, dan kita akan segera mengetahui
segala sesuatu yang perlu diketahui tentang alam semesta ini. Tentu saja, ada
beberapa ketidakcocokan yang mengganggu, tapi nampaknya cukup kecil sehingga
dapat diabaikan. Walau demikian, hanya dalam beberapa dasawarsa kemudian,
beberapa ketidakcocokan “kecil” ini terbukti cukup untuk menggulingkan seluruh
struktur teori yang ada dan mendorong terjadinya revolusi ilmiah yang kuat.
Partikel atau Gelombang?
Semua orang tahu gelombang itu apa. Ia adalah fitur umum yang
dihubungkan dengan air. Seperti halnya gelombang dapat dihasilkan oleh seekor
bebek yang bergerak di atas permukaan sebuah kolam, demikian pula sebuah
partikel, misalnya sebuah elektron, dapat menyebabkan satu gelombang
elektromagnetik, ketika ia bergerak melintasi ruang. Gerakan bergetar dari
elektron mengganggu medan listrik dan magnet, menyebabkan gelombang menyebar
secara kontinu, seperti riak dalam kolam. Tentu saja analogi ini hanyalah
aproksimasi. Ada perbedaan mendasar antara gelombang air dan gelombang
elektromagnetik. Gelombang yang disebut terakhir ini tidak membutuhkan satu
medium kontinu yang harus dilaluinya dalam perjalanan, seperti air misalnya.
Sebuah getaran elektromagnetik adalah satu gangguan periodik yang menjalarkan
dirinya sendiri melalui struktur elektrik materi. Walau demikian, perbandingan
itu dapat memberi penjelasan yang lebih terang.
Fakta bahwa kita tidak dapat melihat gelombang ini tidaklah
berarti bahwa keberadaan mereka tidak dapat kita deteksi, bahkan dalam
kehidupan sehari-hari. Kita memiliki pengalaman langsung merasakan gelombang
cahaya dan gelombang radio, bahkan sinar-X. Satu-satunya perbedaan antara
mereka semua adalah pada frekuensinya. Kita tahu bahwa sebuah gelombang di air
akan menyebabkan satu objek yang sedang mengapung terangkat naik-turun, lebih
cepat atau lebih lambat, tergantung kekuatan gelombang itu sendiri – riak yang
disebabkan oleh seekor bebek tentu jauh lebih lemah daripada yang disebabkan
oleh sebuah kapal motor. Mirip dengan itu, osilasi elektron akan berbanding
lurus dengan intensitas gelombang cahaya.
Persamaan Maxwell,
yang telah didukung oleh eksperimen Hertz dan lain-lain, menyediakan satu bukti
yang kuat untuk mendukung teori bahwa cahaya merupakan gelombang, yang memiliki
sifat-sifat elektromagnetik. Walau demikian, pada peralihan abad, orang
mengumpulkan bukti-bukti bahwa teori inipun keliru. Di tahun 1900 Max Planck
menunjukkan bahwa teori gelombang klasik membuat beberapa ramalan yang tak
dapat dibuktikan dalam praktek. Ia mengajukan bahwa cahaya datang dalam
partikel-partikel yang diskrit atau dalam “paket-paket”(kuanta).
Situasinya menjadi lebih rumit lagi oleh adanya fakta bahwa
eksperimen-eksperimen lain membuktikan hal-hal yang bertentangan. Dapatlah
diperlihatkan bahwa sebuah elektron adalah sebuah partikel dengan
menumburkannya pada layar fluorescent dan mengamati pendar yang dihasilkan oleh
tumbukan itu; atau dengan mengamati jalur yang dibentuk elektron dalam kamar
gas; atau melalui titik-titik mini yang muncul dalam sebuah plat foto yang
sudah dicuci. Di pihak lain, jika dua lubang dibuat di sebuah layar, dan
elektron dialirkan melalui sebuah sumber tunggal, mereka akan membentuk pola
interferensi, yang menunjukkan bahwa elektron memiliki sifat gelombang.
Hasil yang paling aneh justru didapat dari eksperimen
celah-ganda yang terkenal itu, di mana sebuah elektron tunggal ditembakkan pada
sebuah layar yang mengandung dua celah dan sebuah plat foto di belakangnya.
Pada celah yang mana elektron tunggal itu akan lewat? Pola interferensi yang
terbentuk pada plat foto di belakang celah itu jelas adalah pola yang hanya
dapat dibentuk oleh dua celah. Hal ini membuktikan bahwa elektron melewati
kedua celah itu sekaligus sehingga dapat membentuk sebuah pola interferensi.
Ini tentunya bertentangan dengan hukum-hukum akal-sehat, tapi eksperimen ini
tak dapat dibantah lagi kebenarannya. Sebuah elektron bersifat baik sebagai
partikel maupun sebagai gelombang. Ia berada dalam dua (atau lebih) tempat
sekaligus, dan dalam beberapa keadaan gerak sekaligus!
“Janganlah kita
bayangkan,” komentar Banesh Hoffmann, “bahwa para ilmuwan menerima penemuan
baru ini dengan sorak kemenangan. Mereka menentang penemuan-penemuan ini dan
menolaknya sejauh mereka dapat, menciptakan segala jenis jebakan dan hipotesis
alternatif dalam sebuah upaya putus asa untuk menyelamatkan diri dari keharusan
menerima fakta itu sebagai kebenaran. Tapi paradoks itu telah hadir dengan
mencolok sejak 1905 dalam kasus cahaya, dan bahkan lebih awal lagi, dan tidak
seorang pun memiliki keberanian atau kecerdikan untuk menyelesaikan persoalan
ini sampai munculnya mekanika kuantum yang baru itu. Ide-ide baru ini sangatlah
sulit diterima karena kita terus secara insting berusaha membangun gambaran
tentangnya dalam bentuk-bentuk partikel tradisional, dengan mengabaikan prinsip
ketidakpastian Heisenberg. Kita terus menghindar dari penggambaran sebuah
elektron sebagai sesuatu yang, sembari memiliki gerak, mungkin tidak memiliki
posisi, dan sembari memiliki posisi, mungkin tidak mengenal konsep gerak atau
diam.”[1]
Di sini kita melihat bekerjanya negasi dari negasi. Pada
pandangan pertama, kita kelihatannya telah menempuh satu lingkaran penuh. Teori
partikel cahaya dari Newton telah dinegasi oleh teori gelombang Maxwell. Teori
ini, pada gilirannya, dinegasi pula oleh teori partikel yang baru, yang
dikemukakan oleh Planck dan Einstein. Tapi hal ini tidaklah berarti kembali
pada teori Newtonian lama, tapi menempuh lompatan kualitatif ke depan, dengan
melibatkan satu revolusi sejati dalam ilmu pengetahuan. Semua ilmu pengetahuan
harus dirombak total, termasuk hukum gravitasi Newton itu sendiri.
Revolusi ini tidaklah membuat persamaan Maxwell tidak berlaku
lagi, persamaan itu tetap sahih untuk sejumlah besar operasi tentang medan.
Yang ditunjukkan hanyalah, di luar batas tertentu, ide-ide fisika klasik tidak
lagi berlaku. Gejala dunia partikel sub-atomik tidaklah dapat dipahami dengan
metode-metode mekanika klasik. Di sini, ide-ide mekanika kuantum dan
relativitas bermain penuh. Pada sebagian besar waktu di abad ini, fisika telah
didominasi oleh teori relativitas dan mekanika kuantum yang, pada awalnya,
ditolak mentah-mentah oleh orang-orang yang mendominasi sains, yang berpegangan
erat-erat pada pandangan-pandangan lama. Ada pelajaran yang penting di sini.
Upaya apapun untuk memaksakan satu “solusi final” terhadap pandangan kita atas
alam semesta ini pasti akan menemui kegagalan.
Mekanika Kuantum
Perkembangan fisika kuantum merupakan lompatan besar ke muka
dalam sains, satu perpecahan yang menentukan dengan determinisme mekanik kuno
dari fisika “klasik”. (Metode “metafisik”, adalah istilah yang gemar digunakan
Engels untuk menggambarkannya.) Sebagai gantinya, kita mendapatkan satu pandangan
atas alam yang lebih lentur dan dinamis – dengan kata lain, dialektik. Dimulai
dengan penemuan Planck tentang keberadaan kuantum, yang pada awalnya terlihat
sebagai sebuah rincian yang remeh, hampir seperti sebuah anekdot, seluruh wajah
fisika mengalami perubahan. Di sini kita mendapati sebuah sains baru yang dapat
menjelaskan fenomena peluruhan radioaktif dan menelaah dengan sangat rinci data
spektroskopi yang kompleks itu. Secara langsung hal itu membawa kita pada
pendirian sebuah ilmu baru – kimia teoritik, yang mampu menyelesaikan
masalah-masalah yang tadinya tak terpecahkan. Secara umum, serangkaian
kesulitan teoritik tersingkirkan, setelah satu sudut pandang baru diterima.
Fisika baru telah mengungkap kekuatan maha dahsyat yang tersimpan dalam inti
atom. Hal ini membawa kita langsung pada penyalahgunaan energi nuklir –yang
dapat memusnahkan kehidupan di muka bumi – atau justru pada masa depan yang
sampai sekarang tak berani dibayangkan orang, dengan kelimpahan tanpa batas dan
kemajuan sosial melalui penggunaan fusi nuklir secara damai. Teori relativitas
Einstein menjelaskan bahwa massa dan energi adalah dua hal yang setara. Jika
massa sebuah objek diketahui, dengan mengalikannya pada kuadrat kecepatan
cahaya, materi akan berubah menjadi energi.
Einstein menunjukkan
bahwa cahaya, yang sampai saat itu masih dianggap sebagai sebuah gelombang,
berperilaku seperti sebuah partikel. Cahaya, dengan kata lain, adalah salah
satu bentuk saja dari materi. Hal ini telah dibuktikan di tahun 1919, ketika
ditunjukkan bahwa cahaya dapat dibelokkan oleh gaya gravitasi. Louis de Broglie
kemudian menunjukkan bahwa materi, yang dianggap hanya terdiri dari partikel,
selalu memiliki pula sifat-sifat gelombang. Batasan antara materi dan energi
telah dihapuskan untuk selamanya. Materi dan energi adalah ... sama. Ini adalah
kemajuan raksasa dari ilmu pengetahuan. Dan dari sudut pandang Materialisme
yang Dialektik, materi dan energi adalah sama. Engels menggambarkan energi (“gerak”) sebagai “mode eksistensi, ciri
internal, dari materi”.[2]
Argumen yang
mendominasi fisika partikel selama bertahun-tahun, yakni apakah partikel
sub-atomik seperti foton dan elektron adalah partikel atau gelombang akhirnya
diselesaikan oleh mekanika kuantum yang menegaskan bahwa partikel sub-atomik
dapat, dan memang, berperilaku sebagai partikel dan gelombang sekaligus.
Seperti sebuah gelombang, cahaya menghasilkan interferensi, tapi, sebuah foton
cahaya juga dapat memantul ketika membentur sebuah elektron, yakni berlaku
seperti sebuah partikel. Hal ini bertentangan dengan logika formal. Bagaimana
mungkin “akal-sehat” menerima bahwa sebuah elektron dapat
ada di dua tempat sekaligus? Atau bahkan bergerak, pada kecepatan tinggi yang
tak terbayangkan, ke berbagai jurusan sekaligus? Cahaya yang berperilaku
sebagai gelombang dan partikel sekaligus akan dilihat sebagai kontradiksi yang
tak terselesaikan. Upaya untuk menjelaskan fenomena kontradiktif dari dunia
sub-atomik dengan cara-cara logika formal akan membawa kita meninggalkan
pemikiran rasional sama sekali. Dalam kesimpulannya atas sebuah karya yang
ditulis tentang revolusi kuantum, Banesh Hoffmann sanggup menulis:
“Berapa sering lagi
kita harus mengagumi karya Tuhan yang luar biasa, yang menciptakan langit dan
bumi dari sebuah hakikat primat dari sebuah rincian yang demikian indah
sehingga dengannya Ia dapat menciptakan otak dan pikiran yang bernyala dengan
berkah kemampuan meramal yang ilahiah untuk menerobos misteri ciptaan-Nya
sendiri. Jika pikiran dari seorang Bohr atau Einstein membuat kita
terkagum-kagum dengan kekuatannya, bagaimana kita mulai memuja keagungan Tuhan
yang menciptakannya?”[3]
Sayangnya, ini bukan satu contoh yang merupakan pengecualian. Sejumlah
besar literatur modern tentang sains, termasuk banyak yang ditulis para ilmuwan
itu sendiri, dipenuhi dengan pandangan yang mistis, religius atau
kuasi-religius semacam ini. Ini adalah hasil langsung dari filsafat idealis
yang masih dipegang, sadar atau tidak sadar, oleh banyak sekali ilmuwan.
Hukum-hukum mekanika kuantum akan runtuh di hadapan “akal-sehat”
(yaitu, logika formal), tapi berkesesuaian benar dengan materialisme dialektik.
Ambillah, misalnya, pandangan tentang sebuah titik. Seluruh geometri
tradisional diturunkan dari satu titik, yang selanjutnya menjadi garis, bidang,
kubus, dsb. Walau demikian, pengamatan yang lebih rinci menunjukkan bahwa
sebuah titik tidaklah memiliki keberadaan mandiri.
Titik dipandang sebagai pernyataan ruang yang terkecil, sesuatu
yang tidak memiliki dimensi. Pada kenyataannya, titik tersebut terdiri dari
atom-atom – elektron, inti atom, foton, dan partikel-partikel lain yang lebih
kecil lagi. Pada akhirnya, ia lenyap dalam sebuah fluks gelombang kuantum yang
tidak pernah berhenti bergetar. Dan tidak ada akhir bagi proses ini. Tidak ada
“titik” yang dapat ditetapkan sama sekali. Inilah jawaban final bagi para
idealis yang berusaha mencari “bentuk” sempurna yang katanya terdapat “di luar”
realitas material yang dapat diamati. Satu-satunya “realitas puncak” adalah
alam semesta material yang tidak berhingga, abadi, dan terus berubah, yang jauh
lebih indah dalam segala variasi bentuk dan prosesnya yang tanpa henti
ketimbang segala macam petualangan ajaib dari fiksi ilmiah. Alih-alih satu
lokasi yang dapat ditentukan – satu “titik”–kita memiliki sebuah proses, sebuah
fluks yang tanpa henti. Segala upaya untuk memaksakan batasan bagi hal ini,
dalam bentuk awal atau akhir, pasti akan menemui kegagalan.
Melenyapnya Materi?
Jauh sebelum ditemukannya relativitas, sains telah menemukan dua
prinsip dasar – kekekalan energi dan kekekalan massa. Hukum yang pertama
ditemukan oleh Leibniz di abad ke-17, dan kemudian dikembangkan di abad ke-19
sebagai sebuah hasil dari prinsip-prinsip mekanika. Jauh sebelum itu, manusia
jaman purba telah menemukan secara praktek prinsip kesetaraan antara kerja dan
panas, ketika ia membuat api melalui gesekan, dengan demikian mengubah energi
(kerja) menjadi panas. Pada awal abad ini, ditemukan bahwa massa hanyalah salah
satu bentuk energi. Satu partikel materi bukan lain adalah energi, yang sangat
terkonsentrasi dan terlokalisasi. Jumlah energi yang terkonsentrasi dalam
sebuah partikel berbanding lurus dengan massanya, dan jumlah total energi
adalah selalu tetap. Hilangnya sejumlah energi tertentu akan selalu diimbangi
dengan didapatnya sejumlah energi dalam bentuk lain. Sambil terus mengubah
bentuknya, bagaimanapun, energi akan tetap sama selamanya.
Revolusi yang disebabkan oleh Einstein adalah satu pembuktian
bahwa massa itu sendiri mengandung jumlah energi yang luar biasa. Kesetaraan
massa dan energi dinyatakan dalam persamaan E = mc² di mana c melambangkan
kecepatan cahaya (sekitar 186.000 mil per detik atau 300.000 km per detik), E
adalah energi yang terkandung dalam sebuah benda diam, dan m adalah massanya.
Energi yang terkandung dalam massa m adalah setara dengan massa ini yang
dikalikan kuadrat dari kecepatan cahaya yang luar biasa besar itu. Dengan
demikian, massa adalah bentuk energi yang teramat terkonsentrasi, kekuatan yang
boleh digambarkan oleh fakta bahwa energi yang dilepaskan dalam sebuah ledakan
atom dihasilkan ketika hanya 10% dari massanya diubah menjadi energi. Biasanya,
energi raksasa yang terkunci dalam materi ini tidak mewujud, dan dengan
demikian tidak diperhatikan oleh manusia. Tapi jika proses di dalam inti atom
mencapai satu titik kritis, sebagian energi akan dilepaskan, sebagai energi
kinetik.
Karena massa hanyalah salah satu bentuk energi, baik materi
maupun energi tidak dapat diciptakan maupun dihancurkan. Bentuk-bentuk energi,
di pihak lain, sangatlah beragam. Sebagai contoh, ketika proton di dalam
matahari bersatu untuk membentuk inti atom helium, energi nuklir dilepaskan.
Pertama-tama ini mungkin nampak sebagai energi kinetik dari gerak inti atom,
yang kemudian memberi sumbangan pada energi panas yang dilepaskan matahari.
Sebagian energi ini dipancarkan dari matahari dalam bentuk foton, mengandung
partikel-partikel energi elektromagnetik. Partikel-partikel ini, pada gilirannya,
diubah oleh proses fotosintesis menjadi energi kimia potensial yang tersimpan
dalam tumbuhan, yang pada giliran selanjutnya, diserap oleh manusia dengan
memakan tanaman, atau hewan yang hidup dari memakan tanaman, untuk menyediakan
kehangatan dan energi bagi otot, aliran darah, otak, dan lain-lain.
Hukum-hukum fisika klasik secara umum tak dapat diterapkan pada
tingkat sub-atomik. Walau demikian, terdapatlah satu hukum yang tidak mengenal
pengecualian di alam – hukum kekekalan energi. Para fisikawan tahu bahwa baik
muatan positif maupun negatif tidaklah dapat diciptakan dari sebuah ketiadaan.
Fakta ini terekspresikan dalam hukum kekekalan muatan listrik. Dengan demikian,
dalam proses untuk menghasilkan partikel beta, lenyapnya neutron (yang tidak
bermuatan) menimbulkan sepasang partikel yang muatannya berlawanan – proton
yang bermuatan positif dan elektron yang bermuatan negatif. Bersama-sama, kedua
partikel baru itu memiliki muatan gabungan setara dengan nol.
Jika kita melakukan proses kebalikannya, ketika sebuah proton
memancarkan sebuah positron dan berubah menjadi neutron, muatan dari partikel
asli (proton) adalah positif dan partikel yang dihasilkan (neutron dan
positron), bersama-sama, juga bermuatan positif. Dalam seluruh perubahan yang
beraneka ragam ini, hukum kekekalan muatan dipatuhi secara ketat, seperti
halnya hukum-hukum kekekalan yang lain. Tidak secuilpun energi yang diciptakan
atau dihancurkan. Dan fenomena semacam itu juga tidak akan pernah terjadi.
Ketika sebuah elektron dan anti-partikelnya, positron, saling
menghancurkan, massa mereka “hilang”, yaitu, diubah menjadi dua partikel cahaya
(foton) yang terbang berhamburan ke arah yang berlawanan. Walau demikian,
keduanya memiliki energi total yang sama dengan kedua partikel yang telah
bersatu untuk menghasilkan mereka. Kesetaraan massa-energi, momentum linear dan
muatan listrik dipelihara dengan ketat. Gejala ini sama sekali tidak sama
dengan pelenyapan dalam makna penghancuran. Secara dialektik, elektron dan
positron dinegasi dan dipelihara pada saat bersamaan. Materi dan energi (yang hanya
merupakan dua cara untuk menyatakan hal yang sama) tidak akan pernah dapat
diciptakan maupun dihancurkan, hanya diubah.
Dari sudut pandang
materialisme dialektik, materi adalah realitas objektif yang diberikan kepada
kita dalam persepsi-indrawi. Ini mencakup bukan saja objek yang “solid” melainkan juga cahaya. Foton adalah sama
materialnya dengan elektron atau positron. Massa terus-menerus diubah menjadi
energi (termasuk cahaya – foton) dan energi menjadi massa. “Penghancuran” sebuah positron dan elektron
menghasilkan sepasang foton, tapi kita juga melihat proses yang kebalikannya:
ketika dua foton bertemu, sebuah elektron dan sebuah positron dapat dihasilkan,
asalkan foton itu mengandung energi yang cukup. Hal ini kadangkala disajikan
pada kita dalam konsep penciptaan materi “dari ketiadaan”. Tidak
ada hal semacam itu. Apa yang kita lihat di sini bukanlah penghancuran maupun
penciptaan apapun, tapi satu peralihan yang terus-menerus dari materi menjadi
energi dan sebaliknya. Ketika sebuah foton menghantam inti atom, ia berhenti
mengada sebagai sebuah foton. Ia hilang, tapi menyebabkan satu perubahan di
dalam atom – sebuah elektron meloncat dari satu orbit yang lebih rendah ke
orbit lain yang lebih tinggi tingkatan energinya. Di sini juga proses yang
kebalikannya terjadi. Ketika sebuah elektron melompat ke orbit yang berenergi
lebih rendah, sebuah foton muncul.
Proses perubahan yang terus-menerus ini, yang mencirikan dunia
di tingkat sub-atomik adalah sebuah pembenaran yang dahsyat terhadap fakta
bahwa dialektika bukanlah sekedar reka-reka subjektif, tapi sungguh-sungguh
terhubung dengan proses objektif yang terjadi secara alamiah. Proses ini telah
berjalan tanpa terputus sepanjang segala abad. Ia adalah pembuktian konkret
dari tidak dapat dihancurkannya materi – persis kebalikan dari apa yang tadinya
hendak dibuktikan oleh para idealis.
“Batu Penyusun Materi”?
Selama berabad-abad
para ilmuwan berusaha dengan sia-sia untuk menemukan “batu penyusun materi”–
partikel pamungkas yang terkecil. Seratus tahun yang lalu, mereka pikir mereka
telah menemukannya dalam bentuk atom (yang, dalam bahasa Yunani, berarti “sesuatu yang tak dapat dibagi lagi”). Penemuan
partikel-partikel sub-atomik memaksa fisika untuk merambah lebih dalam ke dalam
struktur materi. Di tahun 1928, para ilmuwan berpikir bahwa mereka telah
menemukan partikel-partikel yang terkecil – proton, elektron dan foton. Seluruh
dunia material dianggap tersusun dari ketiga partikel ini. Selanjutnya, ini
juga diruntuhkan oleh penemuan neutron, positron, deuteron, dan serombongan
partikel lain, yang semakin kecil, dengan keberadaan yang semakin sekejap –
neutrino, pi-meson, mu-meson, k-meson, dan banyak lagi yang lain. Umur dari
beberapa partikel ini sangat kecil – mungkin sepersemiliar detik – sehingga
mereka digambarkan sebagai “partikel virtual”–
sesuatu yang sama sekali tak terbayangkan sebelum datangnya jaman kuantum.
Tauon berumur hanya sepertriliun detik, sebelum luruh menjadi
muon, dan kemudian menjadi elektron. Pion yang netral lebih pendek lagi masa
hidupnya, luruh dalam waktu kurang dari satu per quadriliun (10 pangkat 15)
detik untuk membentuk sepasang partikel sinar gamma. Walau demikian,
partikel-partikel gamma ini hidup sampai usia lanjut, dibandingkan dengan yang
lain-lain yang hanya hidup selama seperseratus mikrodetik. Beberapa yang lain,
seperti partikel sigma yang netral, luruh setelah seper seratus triliun detik.
Di tahun 1960-an, bahkan ini masih dikalahkan oleh penemuan partikel-partikel
yang lebih pendek lagi masa hidupnya sehingga keberadaannya hanya dapat
disimpulkan dari keharusan mereka untuk meluruh agar terbentuk beberapa
partikel turunan yang telah diketahui. Masa paruh-hidup dari partikel-partikel
ini berada di kisaran seper beberapa triliun detik. Mereka dikenal sebagai
partikel resonan. Dan inipun belum lagi akhir ceritanya.
Lebih dari seratus limapuluh partikel lain ditemukan kemudian,
yang kemudian dikenal sebagai hadron. Situasinya demikian ruwet. Seorang
fisikawan Amerika, Dr. Murray Gell-Mann, dalam upayanya untuk menjelaskan struktur
partikel-partikel sub-atomik, telah mempostulatkan beberapa partikel yang lain
lagi, yang lebih mendasar, quark, yang lagi-lagi dicanangkan sebagai “batu
penyusun materi yang pamungkas”. Gell-Mann berteori bahwa terdapat enam jenis
quark dan bahwa keluarga quark adalah paralel dengan keenam anggota keluarga
partikel yang lebih ringan, yang disebut lepton. Semua materi kini dianggap
terdiri dari duabelas partikel penyusun. Namun, bahkan bentuk materi paling
dasar yang dikenal ilmu pengetahuan ini masih juga mengandung kualitas-kualitas
kontradiktif yang sama dengan apa yang kita amati di seluruh alam semesta,
bersesuaian dengan hukum dialektik tentang kesatuan dari hal-hal yang
bertentangan. Quark juga hadir dalam pasangan-pasangan, dengan muatan positif
dan negatif, sekalipun, dengan anehnya, dinyatakan dalam pecahan.
Sekalipun ada fakta bahwa pengalaman telah menunjukkan bahwa
tidak ada batasan bagi materi, para ilmuwan terus bersikeras melancarkan
pencarian sia-sia terhadap “batu penyusun materi”. Benar bahwa ekspresi itu
hanyalah penemuan sensasional dari para jurnalis dan para ilmuwan yang
terobsesi dengan kemungkinan promosi, dan bahwa pencarian partikel yang semakin
lama semakin kecil dan mendasar adalah kegiatan ilmiah yang sangat bonafide,
yang berguna untuk memperdalam pengetahuan kita tentang cara bekerjanya alam
semesta ini. Tapi, walau demikian, kita tentu mendapatkan kesan bahwa
sedikitnya beberapa dari mereka benar-benar percaya bahwa mungkin bagi kita
untuk mencapai satu bentuk realitas yang pamungkas, yang merupakan batasan di
mana di luar itu tidak ada lagi sesuatu pun yang dapat ditemukan, setidaknya di
tingkat sub-atomik.
Quark kini dianggap
sebagai yang pamungkas dan terakhir dari keduabelas “batu penyusun” sub-atomik yang katanya menyusun
segala materi di alam semesta. “Hal yang menarik adalah bahwa inilah potongan
materi yang terakhir yang akan pernah kita kenal, seperti yang diramalkan oleh
kosmologi dan Model Standard dari fisika partikel, Dr. David Schramm dilaporkan
berujar, 'Inilah potongan teka-teki yang terakhir itu.'“[4] Jadi, quark adalah “partikel
pamungkas”. Ia disebut fundamental dan tidak memiliki struktur lagi di
dalamnya. Tapi hal yang sama telah pula diramalkan di masa lalu untuk atom,
lalu proton, dan sebagainya dan seterusnya. Dengan cara yang sama, kita dapat
dengan yakin meramalkan penemuan bentuk-bentuk yang lebih “fundamental” lagi
dari materi di masa depan. Fakta bahwa keadaan pengetahuan dan teknologi kita
yang sekarang tidaklah mengizinkan kita untuk menentukan sifat-sifat quark
tidaklah kemudian mewajibkan kita untuk mengatakan bahwa ia tidak memiliki
struktur lagi di dalamnya. Sifat dan ciri quark masih harus menunggu telaah
lebih lanjut, dan tidak ada alasan untuk menganggap bahwa hal ini tidak akan
mungkin tercapai, bahwa mustahil bagi kita untuk merambah ke kedalaman struktur
materi yang tidak berujung. Inilah cara yang selalu ditempuh ilmu pengetahuan
dalam kemajuannya. Halangan-halangan yang tadinya dianggap mustahil dipecahkan
oleh satu generasi dijungkirkan oleh generasi berikutnya, dan demikian
seterusnya sepanjang jaman. Seluruh pengalaman lampau kita memberi segala
alasan untuk percaya bahwa proses dialektis kemajuan pengetahuan manusia ini
adalah sama tak berujungnya seperti alam semesta itu sendiri.
_______________
Catatan Kaki
[1] B. Hoffmann,
The Strange Story of the Quantum, hal. 147.
[2] Engels,
Dialectics of Nature, hal. 92.
[3] B. Hoffmann,
The Strange Story of the Quantum, hal. 194-5
[4] Financial
Times, 1/4/94, penekanan dari kami.
0 komentar:
Post a Comment