Epos
Dinosaurus - Jaman Mesozoic (850-65 juta tahun lalu)
Massa benua Pangaea, yang
tercipta melalui tumbukan benua-benua di jaman Palaeozoic, bertahan utuh selama
sekitar 100 juta tahun. Ini melahirkan satu himpunan kondisi tektonik, iklim
dan biologis yang baru. Lalu, pada jaman Mesozoic proses ini berbalik.
Benua-super ini mulai terpecah. Gletser-gletser besar menutupi bagian selatan
dari Afrika-Amerika-Australia dan Antartika. Selama jaman Triassic (250-205
juta tahun lalu) dinosaurus berevolusi di daratan dan pleisiosaurus dan
ichthyosaurus di lautan, sementara reptil bersayap pterosaurus merajai angkasa.
Mamalia berevolusi dari reptil-reptil yang berkaki cepat, tapi perkembangan
mereka sangat lambat. Ledakan pertumbuhan yang besar dari dinosaurus, yang
mendominasi bentuk-bentuk kehidupan vertebrata di darat, tidak memungkinkan
perkembangan yang pesat bagi mamalia. Mereka tetap dalam ukuran dan jumlah yang
kecil selama jutaan tahun, di bawah bayang-bayang rekan-rekan mereka yang
berukuran raksasa, hanya berani keluar mencari makan di waktu malam.
Jaman Jurassic (205-145 juta
tahun lalu) menyaksikan sebuah perubahan iklim yang besar, yang ditandai oleh
mundurnya atau melelehnya gletser, yang menyebabkan peningkatan suhu global
sampai akhir jaman itu. Tingkat permukaan laut naik setidaknya 270 meter selama
jaman Mesozoic, hampir dua kali lipat dari tingkat pemukaan laut sekarang.
Perlu waktu yang sangat lama
untuk memecah sebuah benua-super. Pecahnya Pangaea merupakan awal jaman
Jurassic (180 juta tahun lalu), dan benua terakhir baru terpisah pada jaman
Cenozoic (40 juta tahun lalu). Pemisahan pertama terjadi pada sumbu
timur-barat, di mana terciptanya Samudera Thetys memecah Pangaea menjadi
Laurasia di utara dan Gondwanaland di selatan. Pada gilirannya Gondwanaland
pecah menjadi tiga bagian di timur – India, Australia dan Antartika. Pada akhir
jaman Mesozoic terjadilah pembelahan dari utara ke selatan, yang menghasilkan
Samudera Atlantik yang memisahkan Amerika Utara dari Laurasia dan Amerika
Selatan dari Afrika. India bergerak ke utara dan bertumbukan dengan Asia,
sementara Afrika juga bergerak ke utara dan bertumbukan dengan sebagian Eropa
setelah kehancuran Samudera Tethys. Dari samudra yang perkasa ini, hanya
sebagian kecil saja yang tinggal, yang kita kenal sekarang sebagai Laut Tengah.
Di Samudera Pasifik, Atlantik dan Hindia, masa-masa perluasan permukaan dasar
laut yang berlangsung cepat membantu pergerakan pecahan-pecahan benua itu.
Selama Mesozoic, dinosaurus
adalah kelompok vertebrata yang dominan. Sekalipun benua terpecah-pecah, mereka
telah mengukuhkan posisi mereka di seluruh dunia. Tapi, pada akhir masa ini –
65 juta tahun lalu –terjadi sebuah periode kepunahan massal yang baru, di mana
dinosaurus lenyap dari muka bumi. Kebanyakan reptil darat, air dan terbang
(dinosaurus, ichthyosaurus dan pterosaurus) disapu bersih. Dari seluruh reptil,
hanya buaya, ular, kura-kura dan kadal yang selamat. Penyapuan spesies yang
spektakuler ini tidak hanya terjadi pada dinosaurus. Kenyataannya, sepertiga
dari semua spesies yang hidup masa itu punah, termasuk ammonite, bellemnite,
beberapa tumbuhan, bryozoa, moluska berkatup ganda, echinoida dan lain-lain.
Kesuksesan yang luar biasa
dari dinosaurus adalah hasil dari adaptasi sempurna mereka terhadap kondisi
yang ada. Populasi totalnya diperkirakan tidak kurang dari populasi mamalia
saat ini. Pada saat ini, di manapun di dunia, ada mamalia, kecil atau besar,
yang menempati tiap ruang ekologis. Kita boleh yakin bahwa 70 juta tahun lalu,
ruang itu ditempati oleh beragam jenis dinosaurus. Berlawanan dengan kesan umum
tentang dinosaurus yang dibayangkan sebagai makhluk-makhluk raksasa yang
lamban, sebetulnya mereka hadir dalam berbagai ukuran. Kebanyakan berukuran
kecil saja, banyak yang berjalan tegak dengan kaki belakangnya, dan dapat
berlari sangat cepat. Banyak ilmuwan sekarang percaya bahwa setidaknya beberapa
dinosaurus hidup dalam kelompok-kelompok, merawat anak-anaknya bahkan, mungkin
juga, berburu secara berkelompok. Batasan Mesozoic-Cenozoic (65 juta tahun
lalu) merupakan satu lagi titik balik dalam evolusi kehidupan. Sebuah periode
kepunahan massal menyiapkan jalan bagi lompatan evolusioner besar, membuka
jalan bagi bangkitnya mamalia. Tapi, sebelum kita membahas proses ini, sangat berguna
jika kita membahas terlebih dahulu mengapa dinosaurus punah.
Mengapa
Dinosaurus Punah?
Pertanyaan ini telah
diperdebatkan dengan hangat di tahun-tahun belakangan ini, dan, sekalipun
terdapat klaim-klaim yang meyakinkan, khususnya dari teori bencana-meteorit,
persoalan ini masih belum tuntas sepenuhnya. Sesungguhnya terdapat banyak teori
yang telah mencoba menjelaskan sebuah fenomena yang, baik karena tampilannya
yang spektakuler maupun karena implikasinya terhadap kemunculan spesies kita
sendiri, telah menarik perhatian umum dengan cara yang unik. Walau demikian,
kita harus mengingatkan diri kita sendiri bahwa ini bukanlah sebuah peristiwa
yang unik dalam rantai evolusi. Ia bukanlah satu-satunya kepunahan massal, juga
bukan yang terbesar, atau yang memiliki konsekuensi-konsekuensi evolusioner
yang paling luas.
Teori yang kini mendapat
dukungan paling luas dan yang pastinya telah mendapat publisitas yang paling
sensasional adalah teori bencana-meteorit, yang menyatakan bahwa dampak dari
meteorit raksasa yang jatuh di satu tempat di permukaan bumi telah
mengakibatkan sebuah efek yang mirip dengan “musim dingin nuklir” yang akan
menyusul perang nuklir. Jika benturan itu terjadi cukup besar, ia akan
melemparkan sejumlah besar debu dan pecahan batuan ke atmosfer. Awan padat yang
kemudian terbentuk akan menghalangi sinar matahari sehingga tidak dapat
mencapai permukaan bumi, yang mengakibatkan masa kegelapan dan dingin yang
berkepanjangan.
Ada bukti-bukti empirik yang
menunjukkan bahwa sejenis ledakan telah terjadi, yang mungkin saja disebabkan
oleh sebuah meteorit. Teori ini telah mengukuhkan diri belakangan ini dengan
penemuan sebuah lapisan tipis tanah liat di antara fosil, yang konsisten dengan
efek debu yang dihasilkan oleh benturan yang demikian besar. Ide itu, misalnya,
telah pula diterima oleh Stephen J. Gould. Namun, ada beberapa pertanyaan yang
masih harus tetap dijawab. Yang pertama, dinosaurus tidaklah menghilang begitu
saja dalam semalam, atau bahkan dalam beberapa tahun. Kenyataannya, kepunahan itu
berlangsung dalam tempo beberapa juta tahun –waktu yang sangat singkat bila
dilihat dari skala geologis, tapi cukup lama untuk membuat kita bertanya-tanya
dan meragukan ide tentang bencana meteorit.
Walaupun kita tidak dapat
menyangkal begitu saja hipotesis meteorit, ia memiliki satu kelemahan utama.
Seperti yang telah kami tunjukkan, terdapat banyak kepunahan massa lain
sepanjang jalan evolusi. Bagaimana menjelaskan ini? Apakah kita benar-benar
harus menyandarkan diri pada gejala-gejala eksternal seperti jatuhnya meteor?
Atau apakah kebangkitan dan kejatuhan spesies berhubungan dengan kecenderungan
yang inheren dalam proses evolusi itu sendiri? Bahkan hari ini kita dapat
mengamati fenomena naik-turunnya populasi hewan. Hanya baru-baru ini saja kita
mulai mendekati pemahaman akan hukum-hukum yang mengatur proses yang kompleks
ini. Kalau kita mencari penjelasan dari luar fenomena itu sendiri, ada risiko
kalau kita justru akan semakin jauh dari pemahaman yang sebenarnya. Lebih jauh
lagi, solusi yang tampaknya menarik karena ia membuang segala kesulitan dengan
sekali libat, dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan yang lebih besar daripada
kesulitan yang dia klaim akan selesaikan.
Beberapa usulan lain telah
diajukan pula. Periode kepunahan massa ini dicirikan oleh aktivitas vulkanik
yang luas. Ini, dan bukan benturan meteorit, yang dapat menyebabkan perubahan
iklim yang tidak dapat diatasi oleh dinosaurus. Telah juga diajukan bahwa
menghilangnya dinosaurus dapat dihubungkan dengan kompetisi yang terjadi antara
mereka dengan mamalia. Ada paralel di sini dengan menghilangnya kebanyakan
populasi marsupial yang tadinya menghuni Amerika Selatan karena tekanan dari
mamalia yang datang dari utara. Sungguh, sangat mungkin bahwa kepunahan
makhluk-makhluk raksasa ini sebenarnya merupakan hasil dari kombinasidari
situasi-situasi di atas – aktivitas vulkanik, penghancuran lingkungan yang ada
waktu itu, spesialisasi yang berlebihan, dan kompetisi untuk memperebutkan
sumber makanan yang makin berkurang dengan spesies lain yang lebih teradaptasi
untuk menangani lingkungan yang berubah. Kelihatannya mustahil kontroversi ini
akan terpecahkan dalam waktu dekat. Apa yang tidak dapat diperdebatkan
sebenarnya adalah bahwa, pada akhir jaman Mesozoic beberapa perubahan
fundamental telah mengakhiri dominasi dinosaurus. Kita tidak perlu mencari
faktor-faktor eksternal untuk menjelaskan fenomena ini:
“'Anda
tidak perlu mencari bintik-matahari, gejolak iklim atau penjelasan-penjelasan
aneh lainnya untuk menjelaskan lenyapnya dinosaurus,” ujar Lovejoy. “Mereka
baik-baik saja selama mereka masih menguasai dunia ini, selama tidak ada
strategi reproduktif yang lebih baik di sekitar mereka. Mereka telah bertahan
selama lebih dari seratus juta tahun; begitu juga seharusnya umat manusia. Tapi
sekali satu terobosan dalam strategi adaptasi diciptakan, sekali dinosaurus
ditantang oleh hewan yang dapat bereproduksi tiga atau empat kali lebih cepat
daripada yang dapat mereka lakukan, nasib mereka telah berakhir.'“[1]
Teroris
Kosmik
Masalahnya menjadi jelas
ketika kita mengajukan pertanyaan dengan cara ini: baik, mari kita terima bahwa
kepunahan dinosaurus disebabkan oleh sebuah kecelakaan dalam bentuk benturan
meteorit yang mendadak. Bagaimana kita menjelaskan kepunahan-kepunahan massal
yang lain? Apakah semua disebabkan oleh meteorit? Pertanyaan ini tidaklah
sembarangan seperti kelihatannya. Telah dilakukan upaya-upaya untuk menunjukkan
bahwa semua kepunahan skala besar adalah hasil dari badai meteorit periodik
dari sabuk asteroid. Inilah inti dari apa yang disebut “teori Nemesis” yang
diajukan oleh Richard Muller dari University of California.
Beberapa paleontologis
tertentu (Raup dan Sepkoski) telah mengklaim bahwa kepunahan massal terjadi
pada jarak waktu yang teratur, sekitar kira-kira 26 juta tahun. Namun,
orang-orang lain yang mendasarkan dirinya pada bukti-bukti yang sama tidaklah
menemukan keteraturan semacam itu. Ada ketidaksepakatan yang sama di kalangan
para ahli geologi, beberapa di antara mereka mengklaim adanya satu jarak waktu
yang teratur dalam pembentukan kawah-kawah besar, sementara yang lainnya tidak
setuju. Pendeknya, tidak ada bukti yang meyakinkan baik untuk keteraturan jarak
waktu antar kepunahan massal, maupun jatuhnya komet atau meteorit yang teratur
ke bumi.
Bidang-bidang semacam itu
mudah sekali menjebak orang ke dalam spekulasi yang ngawur dan tidak masuk
nalar. Terlebih lagi, “teori-teori” sensasional macam itulah yang cenderung
mendapatkan publisitas terbesar, tidak peduli kesahihannya secara ilmiah. Teori
“Nemesis” adalah kasus semacam itu. Jika kita menerima, seperti yang dilakukan
Muller, bahwa kepunahan massal terjadi secara teratur tiap 26 juta tahun, dan
jika kita lebih jauh lagi menerima, seperti yang diterimanya, bahwa kepunahan
massal disebabkan oleh badai meteorit, maka bumi seharusnya dikunjungi secara
teratur oleh para meteorit setiap 26 juta tahun, teratur seperti jadwal jam.
Kesulitan dalam pandangan ini
sangat jelas – bahkan bagi Muller, yang menulis:
“Sangat luar biasa bahwa
sebuah asteroid dapat menubruk bumi persis tiap 26 juta tahun sekali. Di dalam
keluasan angkasa, bahkan bumi adalah satu target yang sangat kecil. Satu
asteroid yang lewat dekat dengan matahari memiliki peluang yang sedikit lebih
baik dari satu per semiliar untuk menghantam planet kita. Benturan yang benar
terjadi seharusnya memiliki jarak waktu yang acak, bukan teratur rapi. Apa yang
dapat membuat mereka menubruk bumi dengan jadwal yang demikian teratur? Mungkin
sejenis teroris kosmik dengan sengaja telah mengarahkan mereka dengan semacam
meriam asteroid. Hasil yang menggelikan membutuhkan teori yang menggelikan.”
Dan
Muller melanjutkan dengan membuat teori yang menggelikan itu, untuk membenarkan
gagasan apriori semua
kepunahan massal sesungguhnya disebabkan oleh benturan meteorit, dan bahwa ini
terjadi secara teratur setiap 26 juta tahun. Ia menceritakan sebuah argumen
panas dengan Luis Alvarez, pencipta pertama teori bencana-meteorit, yang
skeptis terhadap ide-ide Muller. Kutipan berikut dari dialog ini memberikan
pada kita satu gambaran yang menarik tentang metodologi yang dipakai untuk
melahirkan hipotesis itu:
“'Bayangkan satu hari kita
menemukan cara untuk membuat sebuah asteroid menghantam bumi tiap 26 juta tahun
sekali. Maka bukankah Anda harus mengakui bahwa Anda keliru dan bahwa semua
data seharusnya digunakan?'
“'Apa model yang Anda
gunakan?' tuntutnya [Alvarez]. Saya pikir ia sedang menghindari pertanyaan
saya.
“'Itu tidak penting!
Kemungkinan dari model seperti itulah yang membuat logika Anda keliru, bukan
keberadaan dari model tertentu.'
“Ada sedikit getaran dalam
suara Alvarez. Ia juga kelihatannya sudah mulai marah. 'Lihat, Rich,' desisnya,
'saya juga telah lama berada dalam bisnis pengolahan data ini dan kebanyakan
orang menganggap saya seorang ahli. Anda tidak bisa begitu saja mengambil
pendekatan tanpa berpikir semacam ini dan mengabaikan apa yang Anda ketahui.'
“Ia menganggap dirinya ahli!
Para ilmuwan tidak boleh menganggap dirinya demikian. Jaga emosimu, Rich, kata
saya pada diri sendiri. Jangan perlihatkan padanya bahwa kamu juga sudah mulai
terganggu.
“'Beban pembuktian itu ada
pada Anda,' lanjut saya dengan suara yang ditenang-tenangkan. 'Saya tidak harus
mengajukan satu model. Kecuali kalau Anda dapat menunjukkan bahwa tidak ada
model semacam itu yang mungkin, maka logika Andalah yang keliru.'
“'Bagaimana mungkin asteroid menghantam
bumi secara periodik? Apa model yang Anda gunakan?' ia menuntut lagi. Frustrasi
saya hampir sampai pada titik puncaknya. Bagaimana mungkin Alvarez gagal
memahami apa yang saya katakan? Ia adalah pahlawan saya. Bagaimana mungkin dia
begitu bodoh?
“Persetan! Saya pikir. Jika
saya harus, saya akan memenangkan argumen ini memakai caranya. Saya akan
menciptakan satu model. Saat itu adrenalin saya mengalir deras. Setelah
berpikir sesaat, saya mengatakan: 'Andaikan ada satu bintang kembaran matahari
yang mengorbit kepadanya. Setiap 26 juta tahun ia mengorbit dekat ke bumi dan
melakukan sesuatu. Saya tidak yakin apa, tapi hal itu membuat asteroid
menghantam bumi. Mungkin ia membawa asteroid bersamanya.'“
Jelas
sekali metode yang digunakannya untuk mencapai sebuah hipotesa, yang sepenuhnya
sembarangan tanpa basis fakta secuilpun. Dengan pendekatan semacam itu, kita
benar-benar telah meninggalkan dunia ilmiah dan masuk ke dalam dunia fiksi
ilmiah, di mana “apapun bolehlah.” Sesungguhnya, Muller sendiri cukup jujur
untuk mengakui bahwa “Saya tidak bermaksud untuk membuat model saya dianggap
serius, sekalipun saya pikir bahwa argumen saya akan sudah cukup kuat jika
model itu dapat bertahan dari serangan selama lebih dari beberapa menit.”[2] Tapi kini kita hidup di jaman penuh
keluguan. Teori “Nemesis”, yang jelas-jelas bukan sebuah model ilmiah,
melainkan sebuah terkaan yang dibuat sembarangan, kini telah dianggap serius
oleh banyak astronom yang menyapu angkasa, sibuk mencari tanda-tanda adanya
“bintang-maut” yang tak kasat mata ini, teroris kosmik ini, yang setelah
menyapu bersih dinosaurus, satu hari akan kembali lagi ke tempat kejadian
perkara untuk menghabisi kita semua.
Masalahnya di sini adalah
masalah metode. Ketika Napoleon bertanya pada Laplace di mana tempat Tuhan
dalam skema alam semesta mekanik Newton, ia memberi jawaban yang terkenal ini:
“Sire je n'ai pas besoin de cette hypothèse.” (“Tuan, saya tidak memerlukan
hipotesis semacam itu.”) Materialisme dialektik berangkat untuk menemukan
hukum-hukum inheren dari pergerakan alam. Walaupun kecelakaan/kebetulan
memainkan peran dalam semua proses alam, dan secara prinsip tidaklah dapat
diabaikan kalau, contohnya, kepunahan dinosaurus salah satunya disebabkan oleh
sebuah asteroid yang menyasar, merupakan satu hal yang sangat menyesatkan dan
kontraproduktif kalau kita mencoba mencari penyebab kepunahan massal secara
umum dari gejala-gejala eksternal, yang sama sekali tidak berhubungan dengan
proses yang sedang kita teliti. Hukum-hukum yang mengatur evolusi spesies
haruslah dicari dan ditemukan dalam proses evolusi itu sendiri, yang mencakup baik
masa-masa perubahan gradual yang panjang dan lambat, maupun masa-masa lainnya
di mana perubahan dipercepat dengan luar biasa, yang melahirkan baik kepunahan
massal dari beberapa spesies maupun kemunculan dan penguatan dari
spesies-spesies baru.
Kekurangmampuan
untuk menangkap proses evolusi secara keseluruhan, untuk memahami
karakter-karakternya yang kontradiktif, kompleks, dan non-linear – yaitu,
kekurangmampuan untuk melakukan pendekatan dialektik – inilah yang membuat
orang mengadakan upaya-upaya sembarangan untuk memecahkan persoalan, dengan
bersandarkan pada faktor-faktor eksternal, seperti deus ex machina[3], atau kelinci yang ditarik dari topi tukang sulap. Sepanjang
jalan ini hanya terdapat jalan buntu yang paling buntu. Lebih jauh lagi,
kecenderungan yang teramat menakjubkan untuk menerima skenario yang paling liar
– hampir semuanya melibatkan kemungkinan datangnya bencana dari langit, yang
menandakan, setidaknya, akhir jaman – adalah suatu hal yang mengungkapkan
kepada kita kondisi psikologis umum dari masyarakat di dasawarsa terakhir abad
ke-20 ini.
Kelahiran
Manusia yang Revolusioner
Jaman yang dikenal sebagai
Cenozoic ini dimulai dengan kepunahan massal 65 juta tahun lalu dan telah
berlangsung terus sampai sekarang. Selama jaman ini, benua-benua terus
bergeser, berpisah dan bertumbukan. Ini menciptakan kondisi-kondisi lingkungan
yang baru. Dalam 20 juta tahun pertama suhu naik terus, dan sebuah zona
tropispun muncul, di mana kondisi-kondisi di Inggris, misalnya, menyerupai
kondisi hutan di Malaya. Perkembangan yang paling penting dalam evolusi dalam
jaman ini adalah kebangkitan yang luar biasa cepat dari mamalia, yang mengambil
alih lingkungan yang ditinggalkan oleh para reptil. 40 juta tahun lalu,
primata, gajah, babi, hewan pengerat, kuda, duyung, penyu, ikan paus dan
kelelawar, beserta kebanyakan ordo burung modern dan berbagai familia tumbuhan,
telah muncul.
Kebangkitan mamalia dapat
dilihat seperti arak-arakan kemenangan, di mana evolusi berjalan semakin jauh
ke atas, dalam garis yang tak terputus, yang berpuncak pada kelahiran umat
manusia, yakni mahkota evolusi. Tapi sebenarnya bukan seperti ini. Evolusi
tidak pernah berjalan dalam garis yang lurus, seperti yang telah kita lihat.
Masa-masa pertumbuhan yang intensif, juga dalam masa ini, diikuti oleh
pembalikan yang dramatik, kematian dan kepunahan. Ada dua periode kepunahan
akibat perubahan lingkungan yang tajam. Sampai 40-30 juta tahun lalu, dimulai
proses pendinginan. Suhu terus jatuh sampai 25 juta tahun berikutnya, baru
stabil pada tingkatannya yang sekarang sekitar 5 juta tahun lalu. Periode ini
menyaksikan periode kepunahan terkini yang melanda mamalia.
Primata, nenek moyang kera
dan manusia, tersebar di seluruh dunia. Masa-masa kepunahan dinosaurus memiliki
dampak pada banyak familia dari jenis ini. Kondisi lingkungan menyebabkan
perkembangan spesies baru yang lebih baik tingkat adaptasinya terhadap kondisi
yang telah berubah. Kondisi lingkungan yang baru itu terutama mempengaruhi
Afrika dan Eurasia, bukan Amerika. Pada waktu ini, Antartika mencapai Kutub
Selatan dan mulai ditutupi dengan es. Selama 10-20 juta tahun berikutnya,
terjadi lagi periode pertumbuhan mamalia yang eksplosif –yang terbesar yang
pernah ada– di mana banyak spesies kera mulai bermunculan. Namun, desain dasar
kera tidak berubah selama masa ini, sampai satu pergeseran iklim baru yang
tajam membawa transformasi yang tajam pula. Ada ketidaksepakatan yang cukup
tajam antar para paleontologis tentang masalah kapan dan bagaimana hominid
berpisah dari kera. Ada indikasi-indikasi dari tulang-tulang bahwa sejak 14
juta tahun lalu telah terdapat sebuah spesies yang menyerupai kera modern. Para
ilmuwan percaya bahwa tulang-tulang ini berasal dari sebuah spesies yang hidup
di Afrika dan Eurasia sejak 14 sampai 7 juta tahun lalu. Kelihatannya ia adalah
sebuah spesies yang sangat sukses dalam evolusinya, dan merupakan nenek moyang
bersama dari manusia, kera dan gorila. Lalu, 10-7 juta tahun lalu, terjadi lagi
sebuah perubahan lingkungan yang dramatik.
Antartika telah tertutupi
oleh gletser. Lalu lapisan es itu menyebar, bukan hanya ke selatan, tapi juga
ke utara, sampai ia menutupi Alaska, Amerika Utara, dan Eropa Utara. Karena
semakin banyak air yang terjebak ke dalam es, tingkat permukaan air laut
semakin turun. Telah diperkirakan bahwa kejatuhan tingkat permukaan air laut
lebih dari 150 meter pada saat itu. Sebagai hasilnya, muncul banyak
massa-daratan yang baru; jembatan darat terbentuk antara Eropa dan Afrika, Asia
dan Amerika, Inggris dan Eropa daratan, yang memungkinkan migrasi lebih jauh
dari berbagai spesies. Laut Tengah menguap sepenuhnya. Iklim di sekitar katulistiwa
menjadi amat kering, menghasilkan padang pasir yang amat luas, beriringan
dengan semakin mengecilnya hutan-hutan, dan kemunculan padang-padang rumput
yang maha luas. Pada waktu ini, Asia dipisahkan dari Afrika oleh gurun-gurun,
mengisolasi kera-kera Afrika dari kerabat mereka di Asia. Tidak terhindarkan
lagi, ini adalah periode kepunahan massal yang baru. Tapi ia juga merupakan
masa kelahiran bagi spesies-spesies baru. Pada titik tertentu, mungkin 7 juta
tahun lalu, perkembangan mamalia menghasilkan spesies hominid (primata yang
mirip manusia) yang pertama.
Kini telah diterima luas
bahwa umat manusia datang dari Afrika. Pada 5,3 juta tahun lalu, Laut Tengah
mendapatkan kembali bentuknya, dan sebuah spesies kera baru berkembang di
Afrika, yang, dalam masa sejuta tahun berkembang ke tiga jurusan berbeda, yang
akhirnya melahirkan simpanse, hominid dan gorila. Pemisahan tiga cabang ini
terjadi kira-kira 4-5 juta tahun yang lalu akibat tekanan lingkungan di Afrika
Timur. Penyebaran gletser di Afrika Selatan menghasilkan perubahan dramatik di
Afrika Timur – penggundulan hutan yang dahsyat, karena curah hujan yang menipis
dan iklim yang secara umum menjadi semakin kering. Ini mungkin adalah tenaga
penggerak yang membawa pada pemisahan ketiga spesies proto-kera itu. Sampai
saat itu, mereka masih tinggal di atas pepohonan. Kini mereka memiliki tiga
pilihan:
1) Sebagian dari mereka tetap
tinggal di hutan. Mereka ini pastilah yang paling bertalenta, paling kuat, dan
paling berhasil dalam mengumpulkan makanan dari sumber-sumber yang sangat
terbatas. Namun, menyempitnya luas habitat mereka pastilah telah membuat jumlah
mereka menurun dengan cepat.
2) Kelompok lain, yang
terpaksa pindah ke pinggiran hutan, dengan pepohonan yang lebih jarang dan
sumber makanan yang lebih sedikit, akhirnya terpaksa meningkatkan cakupan
pengumpulan makanan mereka dengan bergerak di atas tanah, sambil tetap tinggal
di dekat pepohonan untuk mendapatkan perlindungan. Kelompok ini diwakili oleh
simpanse modern.
3) Kelompok ketiga, yang mungkin
terdiri dari kelompok spesies yang paling lemah dan kurang terampil, karena
kompetisi intens untuk makanan yang langka dipaksa pindah keluar sepenuhnya
dari hutan. Mereka kemudian dipaksa tidak hanya untuk pindah bergerak di atas
tanah tapi juga untuk pergi ke tempat-tempat yang jauh untuk mendapatkan
makanan yang mereka perlukan untuk kelangsungan hidup mereka. Mereka terpaksa
mengembangkan cara hidup yang sama sekali baru, yang berbeda secara radikal
dari primata-primata lainnya.
Tekanan-tekanan lingkungan di
Asia yang disebabkan oleh perubahan iklim ini juga mendorong beberapa kelompok
kera untuk berpindah ke pinggir hutan. Merekakemudian berkembang menjadi babon
modern, yang bergerak di tanah untuk mencari makanan, tapi kembali ke pohon
untuk mendapatkan perlindungan. Primata menunjukkan berbagai jenis cara
bergerak. Kera tarsier (atau kera hantu) melompat dan memeluk pepohonan; kera
gibon berayun dari dahan ke dahan; orangutan bergerak dengan “keempat
tangannya”; gorila berjalan dengan bantuan tangannya; monyet adalah quadruped
sejati [bergerak dengan empat kaki]; hanya hominid yang menjadi bipedal murni
[bergerak dengan dua kaki].
“Spesialisasi-spesialisasiyang
lain juga muncul bersamaan dengan penggunaan tangan. Jika kita ingin melompat
dan meraih sesuatu, kita harus memiliki kemampuan untuk menaksir jarak secara
akurat. Jika tidak kita bisa-bisa tidak mendapatkan apa-apa; atau malah gagal
meraih dahan pohon sama sekali dan jatuh. Cara untuk menaksir jarak secara
akurat adalah melalui penglihatan binokular; memfokuskan kedua mata pada satu
objek untuk menghasilkan persepsi kedalaman. Ini menuntut agar kedua mata
terletak di bagian depan tengkorak dan menghadap ke depan, bukan di sisi
kepala, seperti mata seekor tupai. Nenek moyang primata mengembangkan daya
penglihatan semacam itu. Tengkorak mereka menjadi bundar untuk mengakomodasi
posisi mata yang baru, dan bersamaan dengan perubahan bentuk itu datanglah
pembesaran dalam kapasitas tengkorak dan kemungkinan untuk mengembangkan otak
yang lebih besar. Pada saat yang sama, rahang mengecil. Dengan tangan, seekor
hewan tidak perlu melakukan seluruh pengumpulan makanan dan perburuannya dengan
giginya. Ia boleh punya rahang yang lebih kecil dan jumlah gigi yang lebih
sedikit. Kera dan monyet modern – dan juga manusia – memiliki enam belas gigi
pada tiap rahang. Nenek moyang mereka memiliki sebanyak dua puluh dua pada
masing-masing rahang.”[4]
Psikolog Jerome Bruner dalam
tulisan-tulisannya mengenai perkembangan mental anak-anak, telah menekankan
bahwa keterampilan memiliki banyak persamaan dengan penciptaan bahasa di satu
pihak dan kemampuan memecahkan masalah di pihak lain. Keterampilan yang paling
sederhana melibatkan penggunaan satu atau kedua tangan dan panduan visual.
Tentang perkembangan tangan manusia, Bruner menulis demikian:
“Tangan
manusia adalah sebuah sistem yang tumbuh dengan lambat, dan butuh
bertahun-tahun sebelum manusia dapat menunjukkan kecerdasan manual yang telah
membedakan spesies kita dari yang lain – penggunaan dan penciptaan perkakas.
Sesungguhnya, secara historis, tangan dianggap bahkan oleh mereka yang
mempelajari evolusi primata sebagai hal yang tidak terlalu menarik perhatian.
Wood Jones ingin agar kita percaya bahwa hanya ada perbedaan morfologi yang
kecil saja antara tangan monyet dan tangan manusia, tapi perbedaan itu adalah
pada fungsinya, yang dikendalikan oleh sistem syaraf pusat. Namun, seperti yang
telah ditunjukkan oleh Clark dan Napier, arah evolusioner dari perubahan
morfologis pada tangan, dari spesies treeshrew (sejenis
tupai)[5]ke kera Dunia Baru ke kera Dunia Lama ke
Manusia, inilah yang seharusnya mengungkapkan bagaimana fungsi tangan berubah
dan, bersamanya, berubah pula sifat implementasi dari kecerdasan manusia.
“Perubahan
itu telah berlangsung dengan stabil ke arah de-spesialisasi yang bentuknya
sangat khusus. Tangan dibebaskan dari fungsinya sebagai alat pergerakan, dari
fungsi pengayun, dan dari berbagai fungsi-fungsi spesial semacam yang
membutuhkan cakar dan berbagai bentuk buku jari yang eksotik. Dengan menjadi
lebih terdespesialisasi dalam fungsi, tangan menjadi memiliki lebih banyak
variasi fungsi. Tanpa kehilangan kapasitasnya sebagai penyeimbang berat tubuh,
sebagai konvergensi dalam mengambil makanan, sebagai alat memegang dan
memanjat, atau ibu jari yang berlawanan posisinya dengan jari-jari lainnya (opposable thumb) –yang semuanya
adalah warisan nenek moyang keranya – tangan dalam evolusi primata yang
selanjutnya mencapai beberapa kemampuan fungsional baru sambil mengalami
beberapa perubahan morfologi yang diperlukan. Kapasitas gabungan dari kekuatan
dan kemampuan menggenggam secara presisi ditambahkan kepadanya.
“Fleksibilitas
dari telapak dan ibu jari meningkat melalui perubahan tulang-tulang hamate dan
trapezium dalam artikulasinya. Ibu jari memanjang dan sudut diamnya terhadap
tangan meningkat. Buku-buku terminal melebar dan menguat, terutama ibu jari.
Napier mungkin melebih-lebihkan ketika ia mengatakan, 'Bukti-bukti yang ada
sekarang menunjukkan bahwa kualitas (baik atau buruk) perkakas batu dari
manusia-manusia purba sebanding dengan tangan yang membuat perkakas tersebut.'
Pastinya, tangan yang tadinya dungu itu menjadi semakin pandai ketika
dipekerjakan dalam program-program cerdas yang disusun oleh kebudayaan kita.”[6]
Fosil-fosil
hominid pertama ditemukan di Afrika Timur, dan termasuk dalam spesies yang
dikenal sebagai Australopithecus Afarensis,
yang hidup sekitar 3,5-3,3 juta tahun lalu. Makhluk-makhluk mirip kera ini
mampu berjalan tegak, memiliki tangan dengan ibu jari yang berlawanan posisinya
dengan jari-jari lainnya, dan dengan demikian mampu memanipulasi
perkakas-perkakas. Kapasitas rongga otaknya lebih besar dari kera lainnya (450
cc). Namun, belum ditemukan perkakas-perkakas yang dapat dihubungkan dengan
hominid-hominid awal ini.Tapi perkakas-perkakas itu terbukti ada ketika kita
menjumpai spesies pertamayang serupa manusia, yang diberi nama dengan tepat
sekali sebagai Homo habilis(“manusia
pembuat perkakas”), yang berjalan tegak, memiliki tinggi 1,20 meter dan
memiliki kapasitas otak sebesar 800 cc.
Pada
titik mana terjadi perpecahan sejati antara manusia dan kera hominid?
Paleontologis telah berdebat lama tentang hal ini. Jawaban ini telah
dikemukakan oleh Engels dalam esai adikaryanya The Part Played by Labour in the Transition of Ape to Man. Tapi
sesungguhnya hal ini telah diantisipasi oleh Marx dan Engels jauh sebelumnya
dalam karya perdana mereka, The
German Ideology, yang ditulis di tahun 1845:
“Manusia
dapat dibedakan dari hewan melalui kesadarannya, melalui agama atau apapun yang
Anda sukai. Mereka sendiri mulai membedakan diri mereka dari hewan segera
setelah mereka mulai menghasilkan perkakas-perkakas pemenuhan kebutuhan hidup
mereka, satu langkah yang dikondisikan oleh organisasi fisik mereka. Dengan
menghasilkan perkakas-perkakas pemenuhan kebutuhan hidupnya, manusia secara
tidak langsung menghasilkan kehidupan material mereka.”[7]
Peran
dari Pembuatan Perkakas
Dalam sebuah upaya yang
sangatlah dangkal untuk membantah pandangan materialis tentang asal-usul
spesies manusia, sering kali dikemukakan bahwa manusia bukanlah satu-satunya
hewan yang dapat “menggunakan perkakas”. Argumen ini sepenuhnya kosong.
Walaupun banyak hewan (bukan hanya monyet dan simpanse, tapi juga beberapa
jenis burung dan serangga) dapat disebut menggunakan “perkakas” untuk beberapa
aktivitas tertentu, semua ini terbatas pada material-material alam yang dapat
mereka temukan – tongkat, batu, dsb. Lebih jauh lagi, penggunaan semacam itu
hanya merupakan aktivitas yang kebetulan saja, seperti ketika seekor monyet
melemparkan sebatang tongkat untuk merontokkan buah dari tangkainya, atau
tindakan-tindakan terbatas yang sekalipun boleh jadi kompleks tapi sepenuhnya
merupakan hasil dari naluri dan pengkondisian genetik. Tindakan-tindakannya
selalu sama. Sama sekali tidak terdapat perencanaan yang cerdas, pemahaman akan
apa yang akan terjadi atau kreativitas, kecuali pada tingkatan yang sangat
terbatas pada beberapa spesies mamalia yang paling maju, tapi bahkan kera-kera
yang paling maju sama sekali tidak memiliki aktivitas yang mirip dengan aktivitas
produktif dari manusia yang paling primitif sekalipun.
Poin
terutama di sini bukanlah bahwa manusia “menggunakan perkakas”. Yang terutama
adalah bahwa manusia adalah satu-satunya hewan yang membuat perkakas, dan bukan
sebagai aktivitas yang terisolasi atau kebetulan, melainkan sebagai kondisi
esensial bagi keberadaan mereka, yang merupakan dasar bagi segala sesuatu yang
lainnya. Maka, sekalipun secara genetik manusia dan simpanse hampir-hampir
identik, dan perilaku dari hewan-hewan ini dalam beberapa hal mirip sekali
dengan manusia, simpanse yang paling cerdaspun tidak sanggup membuat perkakas
batu yang paling kasar seperti yang dihasilkan oleh Homo erectus[8],satu makhluk yang berada di ambang evolusioner menuju umat
manusia.
Dalam
bukunya yang paling mutakhir, The
Origin of Humankind, Richard Leakey menyatakan hal ini:
“Simpanse
adalah makhluk yang terampil dalam menggunakan perkakas, dan menggunakan
tongkat untuk memanen rayap, dedaunan sebagai sepon, dan batu untuk memecahkan
biji-bijian. Tapi – sejauh ini, setidaknya – tidak ada simpanse di alam liar
yang terlihat memproduksi perkakas-perkakas batu. Manusia mulai memproduksi
perkakas-perkakas tajam 2,5 juta tahun lalu dengan mengadu dua buah batu, dan
dengan demikian memulai serangkaian aktivitas teknologis yang telah mewarnai
prasejarah manusia.”[9]
Bandingkan itu dengan apa
yang ditulis Engels di tahun 1876:
“Banyak
monyet menggunakan tangan mereka untuk membangun sarang mereka di pepohonan
atau bahkan, seperti simpanse, untuk membangun atap di antara cabang-cabang
pohon untuk perlindungan terhadap cuaca. Dengan tangan mereka dapat menggenggam
tongkat pemukul untuk mempertahankan diri dari musuh, atau membombardir
lawannya dengan buah atau batu-batuan. Di dalam penangkaran, mereka mengerjakan
dengan tangan mereka sejumlah pekerjaan sederhana yang ditiru dari manusia.
Tapi justru di sinilah kita melihat betapa besarnya jurang antara tangan yang
belum berkembang dari kera yang paling maju sekalipun, dan tangan manusia yang
telah disempurnakan oleh kerja selama ratusan ribu tahun. Jumlah dan pengaturan
umum dari tulang-tulang dan otot-otot di antara keduanya sama; tapi tangan dari
orang yang paling barbar sekalipun dapat melakukan ratusan pekerjaan yang tidak
akan pernah dapat ditiru oleh tangan monyet. Tidak ada tangan makhluk kera yang
pernah membuat pisau batu yang paling kasar sekalipun.”[10]
Nicholas Toth telah
menghabiskan banyak tahun dalam usahanya untuk merekonstruksi metode-metode
yang digunakan oleh manusia-manusia purba untuk menghasilkan perkakas, dan
telah sampai pada kesimpulan bahwa proses pembuatan perkakas batu yang paling
dasar pun membutuhkan bukan saja ketelitian dan keterampilan tangan, tapi juga
kemampuan merencanakan dan melihat apa yang akan terjadi ke depan.
“Untuk
dapat bekerja secara efisien, para pembuat perkakas batu harus memilih batu
dengan bentuk yang sesuai, menentukan sudut yang tepat untuk menghantam; dan
gerakan menghantam itu sendiri membutuhkan latihan yang banyak untuk dapat
menyalurkan jumlah tenaga yang tepat di tempat yang tepat. 'Kelihatannya jelas
bahwa proto-manusia pembuat-perkakas awal memiliki naluri yang baik akan
dasar-dasar pengerjaan batu,' Toth menulis dalam sebuah artikel di tahun 1985.
'Tidak ada keraguan bahwa para pembuat perkakas yang pertama memiliki kapasitas
mental jauh di atas kera-kera,' ia memberi tahu saya baru-baru ini. 'Pembuatan
perkakas membutuhkan sebuah koordinasi kemampuan motorik dan kognitif yang
cukup tinggi.'“[11]
Ada sebuah korelasi yang erat
antara tangan, otak, dan organ-organ tubuh lainnya. Bagian dari otak yang
berhubungan dengan tangan jauh lebih besar dari yang berhubungan dengan bagian
tubuh lainnya. Darwin telah memahami fakta bahwa perkembangan berbagai bagian
dari organisme terhubung dengan perkembangan dari bagian lain yang kelihatannya
tidak memiliki hubungan apapun dengannya. Ia menyebut fenomena ini hukum
korelasi pertumbuhan. Perkembangan keterampilan menggunakan tangan melalui
kerja menyediakan rangsangan untuk perkembangan otak yang cepat.
Perkembangan umat manusia
bukanlah sebuah kebetulan, tapi merupakan hasil dari keniscayaan. Posisi berdiri
tegak dari hominid-hominid pertama diperlukan untuk memungkinkan mereka
bergerak bebas di padang rumput dalam rangka mencari makanan. Kepala harus
didudukkan di puncak tubuh untuk dapat mendeteksi keberadaan hewan pemangsa,
seperti yang kita lihat pada satwa penghuni padang rumput lainnya, seperti
binatang meerkat. Sumber makanan yang terbatas menghasilkan satu keharusan
untuk mengumpulkan dan memindahkannya, dan ini mendorong perkembangan tangan.
Kera tidaklah memiliki tubuh
yang sesuai untuk berjalan dengan dua kaki dan hanya dapat melakukan hal itu
dengan kikuk. Anatomi dari hominid awal menunjukkan struktur tulang yang jelas
teradaptasi untuk berjalan tegak. Postur tegak ini memiliki kelemahan-kelemahan
yang besar. Mustahil bagi makhluk bipedal untuk dapat berlari secepat mereka
yang berjalan dengan empat kaki. Bipedalisme adalah satu postur yang tidak
alamiah, yang menjelaskan keberadaan penyakit punggung yang telah menghantui
manusia sejak masih tinggal di gua-gua sampai sekarang. Keuntungan besar dari
bipedalisme adalah bahwa posisi itu membebaskan tangan untuk dapat bekerja.
Inilah lompatan besar umat manusia. Kerja, bersama dengan alam, adalah sumber
segala kekayaan. Tapi, seperti yang ditunjukkan oleh Engels, tentu tidaklah
terbatas pada ini saja:
“Kerja adalah kondisi dasar
bagi seluruh keberadaan manusia, dan cakupannya adalah sedemikian rupa
sehingga, dalam makna tertentu, kita harus mengatakan: kerja menciptakan
manusia itu sendiri.”
Perkembangan tangan melalui
kerja terkait erat dengan perkembangan tubuh secara keseluruhan.
“Maka tangan bukan saja organ
untuk bekerja, ia juga merupakan hasil dari kerja itu sendiri. Hanya melalui
kerja, melalui adaptasi untuk pekerjaan-pekerjaan yang semakin baru, melalui
pewarisan perkembangan otot, ligamen dan, selama rentang waktu yang panjang,
juga tulang, dan melalui penggunaan perkembangan-perkembangan baru ini untuk
melakukan kerja-kerja baru yang semakin rumit, hanya melalui semua inilah
tangan manusia mencapai tingkat kesempurnaan yang tinggi, yang telah
memungkinkannya menghasilkan lukisan-lukisan seperti karya Raphael,
patung-patung seperti karya Thorwaldsen, dan musik seperti karya Paganini.
“Tapi
tangan tidaklah hadir sendirian. Ia hanyalah salah satu anggota dari
keseluruhan organisme yang kompleks itu. Dan apa yang menguntungkan bagi
tangan, menguntungkan pula bagi seluruh tubuh yang ia layani.”[12]
Hal yang sama berlaku pula
untuk bahasa. Sekalipun kera sanggup menghasilkan serangkaian bunyi-bunyian dan
gerak tubuh yang boleh dilihat sebagai sejenis “bahasa” embrionik, segala upaya
yang pernah dicoba untuk mengajari mereka berbicara telah menemui kegagalan.
Bahasa, seperti dijelaskan Engels, adalah hasil dari proses produksi kolektif,
dan hanya dapat lahir dalam sebuah spesies yang aktivitas hidupnya bergantung
secara eksklusif pada kerja sama dalam rangka membuat perkakas, satu proses
yang kompleks yang harus dipelajari secara sadar dan diteruskan dari generasi
yang satu ke generasi berikutnya. Tentang hal ini, Noam Chomsky menulis:
“Setiap orang yang ingin
mempelajari sifat manusia dan kapasitasnya haruslah dengan satu atau lain cara
memahami fakta bahwa semua manusia normal mendapatkan kemampuan berbahasa,
sementara kemampuan untuk memahami dasar-dasar bahasa yang paling kasarpun
berada jauh di luar kemampuan dari kera yang paling cerdas sekalipun.”
Belakangan ini, telah menjadi
jamak untuk mencoba menunjukkan bahwa bahasa bukanlah sesuatu yang khas
manusia. Walaupun tidak ada keraguan sedikit pun bahwa sistem komunikasi juga
ada di antara hewan-hewan, sangatlah tidak tepat jika kita menggambarkan hal
itu sebagai bahasa. Bahasa manusia muncul dari masyarakat manusia dan aktivitas
produksi manusia yang kooperatif, dan berbeda secara kualitatif dengan
sistem-sistem komunikasi lain di kalangan hewan, bahkan sistem yang paling
kompleks sekalipun.
“Bahasa manusia kelihatannya
adalah suatu fenomena yang unik, tanpa analogi yang signifikan dalam dunia
hewan. Jika benar demikian, merupakan hal yang tidak masuk nalar untuk
mengangkat persoalan bagaimana menjelaskan evolusi bahasa manusia dari
sistem-sistem yang lebih primitif yang muncul di antara spesies-spesised dengan
kapasitas kecerdasan yang lebih rendah tingkatannya.”
Dan lagi:
“Sejauh
kami ketahui, kemampuan bahasa manusia berhubungan dengan sejenis organisasi
mental yang spesifik, bukan sekedar tingkat kecerdasan yang lebih tinggi.
Kelihatannya tidak ada alasan sama sekali untuk memandang bahasa manusia
sebagai sekedar satu peristiwa yang lebih kompleks di dunia hewan. Hal ini
merupakan sebuah masalah bagi para ahli biologi, karena, jika hal ini benar,
ini adalah satu contoh dari 'kemunculan' (emergence)
sejati – munculnya satu fenomena yang berbeda secara kualitatif pada tahap
tertentu dari kompleksitas organisasi.”[13]
Perkembangan ukuran otak yang
cepat merupakan satu masalah tambahan, khususnya dalam hubungannya dengan
proses melahirkan bayi. Sementara seekor bayi kera memiliki ukuran otak sebesar
200 cc – sekitar setengah dari ukuran otak dewasanya – bayi manusia (385 cc)
hanya memiliki seperempat dari ukuran otak manusia dewasa (sekitar 1350 cc).
Bentuk tulang pinggul manusia, yang teradaptasi untuk berjalan tegak membatasi
ukuran bukaan pinggul. Maka, semua bayi manusia dilahirkan “secara prematur”,
karena otak manusia yang berukuran besar dan restriksi darianatomi bipedalisme.
Ketidakberdayaan seorang bayi
manusia nampak jelas jika dibandingkan dengan spesies mamalia yang lain. Telah
diajukan oleh Barry Bogin, seorang ahli biologi di University of Michigan,
bahwa tingkat pertumbuhan tubuh bayi manusia yang lambat, jika dibandingkan
dengan kera, berhubungan dengan waktu panjang yang dibutuhkan untuk menyerap
aturan-aturan dan teknik-teknik yang kompleks dari masyarakat manusia. Bahkan
perbedaan antara ukuran tubuh anak dan dewasa membantu menegakkan satu hubungan
guru-murid, di mana yang muda belajar dari yang tua, sementara di kalangan kera
pertumbuhan yang cepat segera menumbuhkan rivalitas fisik. Ketika proses
pembelajaran yang panjang ini selesai, tubuh sang anak dengan cepat mengejar
dengan satu lompatan mendadak dalam pertumbuhannya ketika masa remaja.
“Manusia
menjadi manusia melalui pembelajaran yang intensif, bukan hanya pembelajaran
kemampuan bertahan hidup tapi juga adat dan moral sosial, kekerabatan dan
hukum-hukum sosial – yakni, kebudayaan. Lingkungan sosial di mana bayi yang tak
berdaya dipelihara dan anak-anak yang lebih tua diberi pendidikan adalah sebuah
ciri yang lebih menjadi milik manusia ketimbang kera.”[14]
Organisasi
Sosial
Kehidupan di padang rumput
terbuka dengan berbagai jenis hewan pemangsa adalah kehidupan yang berbahaya.
Manusia bukanlah hewan yang perkasa; dan hominid-hominid awal jauh lebih kecil
daripada manusia modern. Mereka tidak memiliki cakar yang kuat atau gigi yang
tajam, mereka juga tidak dapat berlari lebih cepat dari singa maupun pemangsa
berkaki empat lainnya. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan
mengembangkan sebuah komunitas yang sangat terorganisir dan kooperatif, yang
dapat memproduksi secara kolektif sumber makanan yang langka itu. Tapi langkah
yang menentukan tidak diragukan lagi adalah pembuatan perkakas, dimulai dengan
kapak-kapak batu, yang digunakan untuk berbagai macam keperluan. Sekalipun
penampilan mereka amat sederhana, perkakas-perkakas ini sebetulnya sudah
mencapai tingkat yang sangat canggih dan serba-guna, yang pembuatannya
menunjukkan tingginya tingkatan organisasi, perencanaan, dan setidaknya
elemen-elemen pembagian kerja. Di sinilah kita mendapati permulaan sejati dari
masyarakat manusia. Mengutip Engels:
“Seperti
yang telah dikatakan, nenek moyang kera kita adalah makhluk sosial; tentunya
mustahil mencari garis keturunan manusia, hewan yang paling bersifat sosial,
dari nenek moyang yang tidak sosial. Penguasaan atas alam, yang dimulai dengan
perkembangan tangan, melalui kerja, meluaskan cakrawala manusia pada tiap
langkah maju yang diambilnya. Ia terus-menerus menemukan sifat-sifat baru dari
benda-benda alam, yang tadinya tidak dipahaminya. Di pihak lain, perkembangan
kerja pastilah membantu membawa anggota-anggota masyarakat semakin dekat satu
sama lain melalui semakin banyaknya kasus yang membutuhkan dukungan bersama,
aktivitas gabungan, dan keuntungan aktivitas gabungan ini bagi tiap individu.
Pendeknya, makhluk-makhluk yang sedang bergerak untuk menjadi manusia ini sampai
pada titik di mana mereka perlu saling bercakap-cakap. Kebutuhan ini membawa
pada penciptaan organ untuk bercakap-cakap; melalui modulasi, kerongkongan kera
yang agak terbelakang itu berubah perlahan-lahan untuk dapat membuat modulasi
yang semakin hari semakin maju, dan organ-organ mulut secara perlahan belajar
untuk mengucapkan huruf-huruf satu demi satu.”[15]
Pembuatan
perkakas, yang merupakan awal pembagian kerja, yang awalnya dibagi antara
laki-laki dan perempuan, perkembangan bahasa, dan sebuah masyarakat yang
berdasarkan kerja sama – inilah elemen-elemen yang menandai kemunculan umat
manusia. Ini bukanlah proses yang lambat dan gradual, melainkan lompatan
yangrevolusioner, salah satu titik balik yang paling menentukan dalam evolusi.
Mengutip kata-kata paleontologis Lewin Binford, “Spesies kita telah tiba– bukan
sebagai hasil dari proses progresif yang bertahap tapi secara eksplosif dalam
jangka waktu yang relatif singkat.”[16]
Hubungan antara kerja dan
faktor-faktor lain dijelaskan oleh Engels:
“Yang pertama adalah kerja,
lalu setelah itu, dan kemudian dengannya,kemampuan berbicara yang fasih –
inilah dua dorongan yang paling hakiki yang mempengaruhi otak kera untuk
perlahan-lahan berubah menjadi otak manusia. Sekalipun keduanya banyak
persamaan tetap saja otak manusia lebih besar dan lebih sempurna. Bersamaan
dengan perkembangan otak berjalan juga perkembangan dari instrumen-instrumennya
yang paling langsung –yakni organ-organ pengindera. Seperti halnya perkembangan
kemampuan berbicara pasti disertai dengan perkembangan organ-organ pendengaran,
demikian juga perkembangan otak secara keseluruhan disertai pula dengan
pengasahan semua indera. Seekor elang dapat melihat dalam jarak yang lebih jauh
daripada manusia, tapi mata manusia melihat lebih banyak benda daripada mata
elang. Anjing memiliki penciuman yang lebih tajam daripada manusia, tapi ia
tidak dapat membedakan seperseratus bagian dari satu bau tertentu yang dapat
dibedakan oleh manusia. Dan indera perasa, yang dimiliki oleh kera hanya dalam
bentuk awalnya yang paling kasar, telah dikembangkan bersamaan dengan perkembangan
tangan manusia itu sendiri, melalui kerja.”
Hominid-hominid awal memiliki
diet yang dominan vegetarian, sekalipun penggunaan perkakas yang paling
primitif seperti tongkat penggali memberi mereka akses ke sumber makanan yang
tidak tersedia untuk kera-kera lain. Diet ini disuplemen oleh sejumlah kecil
daging, yang didapat terutama dari memungut bangkai. Terobosan sesungguhnya
datang ketika pembuatan perkakas dan senjata memungkinkan manusia untuk beralih
ke perburuan sebagai sumber makanan utama. Konsumsi daging tak diragukan lagi
membawa manusia pada perkembangan otak yang semakin cepat. Engels menulis:
“Diet
daging mengandung zat-zat utama – dalam bentuk yang hampir jadi – yang
dibutuhkan organisme untuk metabolismenya. Ini memperpendek waktu yang dibutuhkan,
bukan hanya untuk pencernaan, tapi juga untuk proses-proses tubuh vegetatif
yang serupa dengan tumbuhan.Dengan demikian ini memberi waktu, material, dan
keinginan yang lebih besaruntuk manifestasi aktif kehidupan hewani dalam makna
yang setepat-tepatnya. Dan semakin jauh makhlukitu terpisah dari dunia
tumbuhan, semakin tinggi pula ia bangkit melebihi hewan-hewan. Seperti halnya
menjadi terbiasa dengan diet tumbuhan yang disertai daging mengubah kucing dan
anjing liar menjadi pembantu manusia, begitu juga adaptasi pada diet daging
yang disertaidiet tumbuhan memberikan kekuatan tubuh dan kemandirian kepada
makhluk yang kelak menjadi manusia itu. Namun, efek yang paling esensial dari
diet daging adalah pada otak, yang kini menerima pasokan material yang jauh
lebih kaya yang diperlukan untuk pasokan gizi dan perkembangannya, sehingga ia
dapat berkembang lebih cepat dan sempurna dari generasi ke generasi.”[17]
Poin
yang persis sama diajukan oleh Richard Leakey, yang menghubungkan hal itu
dengan perubahan fundamental dalam organisasi sosial. Di kebanyakan primata
lain, terdapat kompetisi yang buas antar para jantan untuk dapat mengawini
betinanya. Hal ini tercermin dalam perbedaan yang nampak nyata dalam ukuran
tubuh antara, katakanlah, jantan dan betina dari babon padang rumput. Perbedaan
semacam itu terlihat pula pada hominid-hominid awal, seperti Australopithecus afarensis. Ini
menunjukkan sebuah struktur sosial yang lebih mirip kera ketimbang manusia.
Dengan kata lain, adaptasi fisik seperti bipedalisme, sekalipun sangat vital
sebagai prakondisi untuk evolusi manusia, tidak berarti bahwa hominid-hominid
awal ini adalah manusia.
Di antara babon padang
rumput, para jantan (yang ukuran tubuhnya dua kali ukuran tubuh betinanya)
meninggalkan kelompok segera setelah mereka mencapai kedewasaan, dan bergabung
dengan kelompok lain, di mana mereka segera memasuki persaingan dengan pejantan
yang berkuasa untuk mendapatkan akses ke para betina. Maka, dalam istilah
Darwin, para jantan ini tidak memiliki alasan (genetik) untuk bekerja sama satu
dengan lainnya. Di antara simpanse, di pihak lain, untuk alasan-alasan yang
sampai saat ini belum dipahami, para jantan tetap tinggal dalam kelompok di
mana mereka dilahirkan, dan para betina yang bermigrasi. Simpanse jantan, yang
secara genetik berkerabat, memiliki alasan Darwinian untuk bekerja sama, yang
mereka lakukan, baik untuk mempertahankan kelompok itu dari serangan luar,
maupun untuk kadang kala berburu monyet untuk menambah pasokan gizi mereka.
Perbedaan dalam ukuran tubuh antara simpanse jantan dan betina hanyalah 15-20%,
yang mencerminkan dominasi sifat kerja sama dari masyarakat ini.
Walaupun
perbedaan ukuran antara anggota-anggota jantan dan betina dari Austalopithecus afarensis demikian
besarnya sehingga pada awalnya fosil-fosil mereka dikira berasal dari dua
spesies yang berbeda, situasinya amat berbeda dengan anggota-anggota spesies
manusia yang paling awal, di mana jantan hanya berbeda tidak lebih dari 20%
dari betinanya, seperti pada simpanse, kerabat genetik kita yang terdekat.
Tentang hal ini, Leakey berkomentar:
“Seperti yang telah diajukan
oleh antropolog Cambridge Robert Foley dan Phyllis Lee, perubahan dalam
perbedaan ukuran tubuh pada saat awal terbentuknya genus Homo ini jelas
mencerminkan satu perubahan dalam organisasi sosialnya. Sangat mungkin, para
jantan Homo yang pertama tetap tinggal dengan kelompok mereka, bersama
saudara-saudara kandung dan saudara-saudara angkat mereka. Sementara para
betina berpindah ke kelompok lain. Kekerabatan, seperti yang telah saya
tunjukkan, meningkatkan kerja sama antar para jantan.”
“Kita
tidak tahu dengan pasti apa yang memicu pergeseran dalam organisasi sosial ini:
kerja sama yang semakin baik di antara para jantan haruslah sangat
menguntungkan karena satu atau lain alasan. Beberapa antropolog telah
berargumen bahwa pertahanan terhadap kelompok Homo lain menjadi demikian
pentingnya. Alasan lain yang sama atau bahkan lebih mungkin, adalah perubahan
yang berpusat pada kepentingan-kepentingan ekonomis. Beberapa bukti menunjukkan
pada pergeseran diet bagi Homo – di mana daging menjadi sumber energi dan protein
yang penting. Perubahan dalam struktur gigi pada Homo awal menunjukkan bahwa
mereka memakan daging, seperti juga penyempurnaan teknologi perkakas batu.
Lebih jauh lagi, peningkatan dalam ukuran otak yang merupakan bagian dari
perkembangan spesies Homo mungkin bahkan menuntut agar spesies itu menambah
dietnya dengan sumber yang kaya energi.”[18]
Kita sudah lama mengetahui
bahwa otak adalah organ yang metabolismenya sangat mahal, yang di kalangan
manusia modern menyerap 20% dari energi yang dikonsumsi, sekalipun otak hanya
merupakan 2% dari berat tubuh secara keseluruhan. Antropolog Australia Robert
Martin telah menjelaskan bahwa peningkatan ukuran otak pada Homo awal hanya
dapat terjadi di atas basis peningkatan pasokan energi, yang hanya dapat datang
dari daging, dengan konsentrasi kalori, protein dan lemaknya. Awalnya,
inidatang dari memakan bangkai, dan beberapa aktivitas berburu (yang, seperti
kita ketahui, juga dilakukan bahkan di kalangan simpanse). Tapi kemudian, tidak
diragukan lagi bahwa perburuan memainkan peran yang semakin penting dalam
penyediaan diet yang semakin beragam dan kaya gizi, dengan
konsekuensi-konsekuensi evolusioner yang jauh jangkauannya.
Hipotesis
tentang Perkembangan Manusia
Di tahun-tahun terakhir,
telah terdapat kontroversi tajam tentang peran aktivitasberburu dalam
masyarakat manusia purba. Ada satu kecenderungan untuk meremehkan peran
perburuan dan lebih menekankan pada peran pengumpulan makanan (meramu) dan
pencarian bangkai. Walaupun persoalan ini belumlah diselesaikan secara pasti,
sulitlah untuk tidak menyepakati pandangan Leakey bahwa argumen yang menentang
model berburu-meramu telah dibawa terlalu jauh. Juga sangat menarik untuk
mencatat bagaimana kontroversi-kontroversi ini mencerminkan prasangka-prasangka
atau tekanan-tekanan sosial tertentu yang sama sekali tidak ada hubungannya
dengan isu yang sedang dibahas.
Di tahun-tahun awal abad
ke-20, sudut pandang idealis mendominasi. Umat manusia menjadi manusia karena
otaknya, dengan tingkat pemikirannya yang tinggi, yang mendorong semua
perkembangan yang lain. Belakangan, pandangan tentang “Manusia sang Pembuat
Perkakas” muncul kembali, sekalipun dalam bentuk yang agak idealis, di mana
perkakas-perkakas, tapi tidak termasuk senjata, dikatakan sebagai
daya-penggerak evolusi. Kejadian-kejadian yang mengerikan sepanjang Perang
Dunia II menghasilkan reaksi terhadapnya, dalam bentuk teori “Manusia sang Kera
Pembunuh”, yang diajukan “mungkin karena teori itu terlihat dapat menjelaskan
(atau bahkan membenarkan) kejadian-kejadian mengerikan pada saat perang,”
Leakey berkomentar dengan cerdas.
Di
tahun 1960-an, ada minat besar pada suku!Kung
San–yang disebut juga“Bushmen” atau orang-orang semak (penamaan
yang keliru) dari gurun Kalahari. Mereka adalah sekelompok orang yang tinggal
dalam keserasian dengan lingkungan alaminya, dan mengeksploitasi lingkungan itu
dengan cara yang amat kompleks. Ini sangat cocok dengan minat atas isu-isu
lingkungan yang sedang berkembang saat itu di masyarakat Barat. Di tahun 1966,
ide tentang “Manusia sang Pemburu” muncul kembali dengan kuat di sebuah
konferensi antropologi besar di Chicago. Namun, gagasan ini berbenturan dengan
para pendukunggerakan “Pembebasan Perempuan” di tahun 1970-an. Karena perburuan
biasanya dilihat sebagai aktivitasnya laki-laki, diasumsikan – tanpa alasan
yang jelas – bahwa penerimaan akan hal ini berarti merendahkan martabat
perempuan dalam masyarakat-masyarakat awal. Lobi kaum feminis yang kuat
mengajukan hipotesis “Perempuan sang Peramu”, di mana diajukan bahwa peramuan
makanan, terutama tumbuh-tumbuhan, yang dapat dikerjakan bersama-sama, adalah
basis evolusi masyarakat manusia yang kompleks ini.
Peran
sentral perempuan dalam masyarakat awal tidak dapat dibantah lagi, dan dengan
jelas telah dijelaskan oleh Engels dalam karya klasiknya The Origins of the Family, Private Property
and State. Namun, merupakan satu kesalahan serius jika kita
memaksakan pembacaan – atau lebih buruk lagi, prasangka – yang diambil dari
masyarakat masa kini ke dalam catatan-catatan historis. Perjuangan untuk
emansipasi perempuan tidak akan memperoleh manfaat sedikit pun dengan cara memanipulasi
realitas historis agar cocok dengan selera masa kini, tapi dengan melucutinya
dari hakikat sejatinya. Kita tidak dapat membuat masa depan umat manusia lebih
baik dengan melukis masa lalu dengan warna-warna yang cerah. Kita juga tidak
akan menganjurkan orang untuk menjadi vegetarian dengan menyangkal peran
fundamental yang dimainkan oleh konsumsi daging, perburuan, dan, ya, bahkan
kanibalisme, dalam proses perkembangan otak manusia. Engels menulis:
“Dengan
segala penghormatan terhadap para vegetarian, haruslah kita akui bahwa manusia
tidaklah menjadi seperti sekarang tanpa adanya diet daging, atau jika diet
daging ini, di antara beberapa suku yang kita kenal, telah membawa kepada
kanibalisme di satu atau saat yang lain (nenek moyang orang-orang Berlin,
bangsa Weletabian atau Wilzian, masih memakan orang tua mereka sampai sekitar
abad ke-10 Masehi), hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan kita saat
ini.”[19]
Dengan cara yang sama,
pembagian kerja pasti telah ada di antara laki-laki dan perempuan pada
masyarakat manusia yang paling awal. Kesalahannya adalah dengan mencampuradukkan
pembagian kerja dalam masyarakat terdahulu, di mana tidak ada kepemilikan
pribadi atau keluarga seperti yang kita kenal saat ini, dengan ketidaksetaraan
dan penindasan terhadap perempuan dalam masyarakat kelas modern. Dalam
mayoritas masyarakat berburu-meramu yang masih ada, yang diketahui oleh para
antropolog, terdapat pula unsur-unsur pembagian kerja di mana para laki-laki
berburu dan para perempuan mengumpulkan tumbuhan untuk makanan.
“Kemah adalah sebuah tempat
interaksi sosial yang intensif, dan sebuah tempat di mana makanan dibagi rata
di antara mereka”; komentar Leakey, “ketika daging tersedia, pembagian ini
sering kali melibatkan upacara yang rumit, yang diatur oleh aturan-aturan
sosial yang ketat.”
Ada
alasan yang baik untuk menganggap bahwa situasi yang serupa hadir juga pada
masyarakat manusia awal. Karikatur Darwinisme Sosialberusaha mengekstrapolasi
hukum-hukum rimba kapitalisme untuk berlaku bagi seluruh sejarah dan prasejarah
manusia. Namun semua bukti yang tersedia justru menunjukkan bahwa seluruh dasar
masyarakat awal manusia adalah kerja sama, aktivitas kolektif dan saling
berbagi. Glynn Isaac dari Harvard University membuat satu kemajuan yang penting
dalam pemikiran antropologis lewat artikel yang dia terbitkan di majalahScientific American pada
1978. Hipotesis berbagi makanan dari Isaac menekankan dampak sosial dari
pengumpulan dan pembagian makanan secara kolektif. Dalam pidato di tahun 1982
untuk memperingati seabad wafatnya Darwin, ia menyatakan: “Adopsi
pembagian-makanan akan mendorong perkembangan bahasa, resiprositas
(timbal-balik) sosial dan kecerdasan.” Dalam buku terakhirnya, The Making of Mankind, Richard
Leaky menulis bahwa “hipotesis tentang pembagian makanan adalah kandidat
terkuat untuk menjelaskan apa yang membuat manusia-manusia pertama mulai
melangkah di jalan yang kemudian mengantarkan mereka menjadi manusia modern.”
Dua juta tahun terakhir telah
dicirikan oleh siklus iklim yang unik. Masa-masa panjang pendinginan yang
intensif dan pergerakan gletser telah disela oleh masa-masa pendek naiknya suhu
dan mundurnya batas gletser. Jaman-jaman es memiliki rata-rata durasi sekitar
100.000 tahun, di mana masa-masa interglasial [di antara dua jaman es]
berlangsung rata-rata 10.000 tahun. Di bawah kondisi yang ekstrem ini, mamalia dipaksa
untuk mengembangkan bentuk-bentuk yang semakin maju, atau punah. Dari total 119
spesies mamalia yang hidup di Eropa dan Asia 2 juta tahun lalu, hanya sembilan
yang masih terus hidup. Mayoritas besar sisanya telah berkembang menjadi
spesies yang lebih maju, atau punah. Sekali lagi, kelahiran dan kematian tidak
terpisahkan dalam proses evolusi yang dialektik, kontradiktif, dan penuh
manis-getir.
Jaman
es terakhir disusul oleh masa interglasial yang baru, yang telah berlangsung
sampai saat ini, tapi masa inipun pada akhirnya akan berakhir. Homo erectus
akhirnya menyerahkan tahtanya pada hominid yang lebih maju – Homo sapiens –
sekitar 500.000 tahun lalu. Ras manusia (Homo sapiens sapiens)
merepresentasikan satu cabang evolusi dari spesies Homo sapiens, yang bercabang
sekitar seratus ribu tahun lalu. Cabang lainnya – Homo sapiens neanderthalensis
– punah atau terserap ke dalam spesies kita sekitar 40.000 tahun lalu.[20] Maka, umat manusiapun berkembang
melalui periode pendinginan yang intensif. Kondisi-kondisi ini mencerminkan
perjuangan yang keras untuk bertahan hidup. Walau demikian, terdapat masa-masa
lain di mana kondisi-kondisinya membaik, yang merangsang pertumbuhan yang cepat
dan gelombang-gelombang migrasi manusia. Fajar bagi umat manusia telah
menyingsing.
Engels
dan Asal-usul Manusia
Bagaimana
ide-ide Engels, The Part Played by Labour in
the Transition of Ape to Man, bila dibandingkan dengan teori-teori
evolusi yang paling mutakhir?
Salah
seorang paleontologis modern yang paling terkemuka adalah Stephen J. Gould.
Dalam bukunya Ever Since Darwin, ia
memberikan pujian ini pada esai karya Engels itu:
“Sungguh,
abad ke-19 menghasilkan sebuah ekspose yang gemilang dari sumber yang pastilah
mengejutkan kebanyakan pembaca – Friedrich Engels. (Sedikit perenungan
seharusnya mengurangi keterkejutan itu. Engels memiliki minat besar akan ilmu-ilmu
alam dan berusaha mendasarkan filsafat umumnya tentang materialisme dialektik
di atas satu landasan yang 'positif'. Ia tidak sempat menyelesaikan 'Dialectics
of Nature' tapi ia telah berhasil memasukkan komentar-komentar panjang tentang
sains dalam esai-esai semacam Anti-Dühring.) Di tahun 1876 Engels menulis
sebuah esai berjudul The
Part Played by Labour in the Transition of Ape to Man. Esai
itu diterbitkan setelah ia meninggal di tahun 1896 dan, sayangnya, tidak
memiliki dampak yang nyata pada ilmu pengetahuan Barat.
“Engels
membahas tiga ciri hakiki dari evolusi manusia: kemampuan berbicara, ukuran
otak yang besar, dan posisi berdiri tegak. Ia berpendapat bahwa langkah pertama
haruslah berupa turunnya nenek moyang kita dari pepohonan, dan evolusi yang
menyusul berupa berdiri tegak. 'Kera-kera ini ketika bergerak di daratan mulai
meninggalkan kebiasaan menggunakan tangan mereka dan mengadopsi postur tubuh
yang semakin lama semakin tegak. Inilah langkah yang menentukan dalam peralihan
dari kera menuju manusia.' Posisi berdiri tegak membebaskan tangan untuk
menggunakan perkakas (kerja, dalam istilah Engels); meningkatkan kecerdasan dan
baru kemudian datang kemampuan berbicara.”[21]
Sekalipun bukti-bukti sudah
bertumpuk, teori-teori idealis tentang evolusi manusia tetap melancarkan
perlawanan yang keras kepala terhadap materialisme, seperti yang kita lihat
dari kutipan berikut, yang diambil dari sebuah buku yang diterbitkan baru-baru
ini di tahun 1995:
“Kekuatan
yang paling mungkin telah mendorong evolusi kita adalah ... proses evolusi
kebudayaan. Sejalan dengan semakin kompleksnya evolusi kebudayaan kita,
demikian pula otak kita, yang kemudian mendorong tubuh kita ke arah kemampuan
respons yang lebih besar dan kebudayaan kita ke arah kompleksitas yang lebih
tinggi dalam sebuah lingkaran umpan-balik. Otak yang besar dan cerdas membawa kita
pada kebudayaan yang semakin lama semakin kompleks dan tubuh kita menyesuaikan
diri untuk mengambil keuntungan daripadanya, yang pada gilirannya mendorong
perkembangan otak yang semakin lama semakin besar dan cerdas pula.”[22]
Para idealis telah berulang
kali mencoba menyatakan bahwa manusia dibedakan dari hewan-hewan “yang lebih
rendah” oleh kecerdasannya yang superior. Bagi mereka, manusia pertama, karena
satu alasan yang tidak terjelaskan, “menjadi cerdas” terlebih dahulu, baru
mulai bicara, menggunakan perkakas, melukis dan seterusnya. Jika hal ini memang
benar, kita seharusnya mengharapkan hal itu tercermin dalam peningkatan besar
atas ukuran otak pada tahap yang sangat awal dalam evolusi kita. Namun, catatan
fosil menunjukkan bahwa bukan demikian halnya.
Dalam tiga dekade terakhir,
telah terdapat serangkaian kemajuan besar dalam ilmu paleontologi,
penemuan-penemuan fosil baru yang mencengangkan, dan cara-cara baru untuk
mengartikan penemuan-penemuan itu. Menurut sebuah teori yang paling baru,
kera-kera bipedal pertama ber-evolusi sekitar 7 juta tahun lalu. Berikutnya,
dalam sebuah proses yang dikenal oleh para ahli biologi sebagai “radiasi
adaptif”, spesies-spesies bipedal berkembang biak (yakni, spesies yang berjalan
dengan dua kaki). Setiap spesies bipedal masing-masing berevolusi dan
beradaptasi pada kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Sekitar 2-3 juta tahun
lalu, salah satu spesies bipedal ini mengembangkan otak yang jauh lebih besar
daripada spesies lainnya – Homo erectus. Inilah hominid pertama yang
menggunakan api; yang berburu sebagai sumber pasokan makanannya yang utama; yang
berlari dengan cara yang sama seperti manusia modern dan yang membuat perkakas
secara terencana. Maka, peningkatan ukuran otak terjadi berbarengan dengan
kemunculan pertama dari aktivitas pembuatan perkakas, sekitar 2,5 juta tahun
lalu. Dengan demikian, selama 5 juta tahun, tidak ada peningkatan yang tajam
dari ukuran otak, dan kemudian terjadi satu lompatan besar yang jelas berkaitan
dengan pembuatan perkakas.
Biologi molekuler menunjukkan
bahwa spesies hominid yang paling awal muncul sekitar 5 juta tahun lalu, dalam
bentuk kera bipedal dengan lengan yang panjang dan jari yang melengkung.
Proto-manusia ini, Australopithecus, memiliki otak yang kecil – hanya 400 cc.
Lompatan kualitatif terjadi pada Homo habilis, yang memiliki ukuran otak lebih
dari 600 cc –yakni satu peningkatan yang drastis, 50%. Kemajuan besar
berikutnya adalah Homo erectus, dengan ukuran otak antara 850 dan 1100 cc.
Sampai kemunculan Homo
sapiens sekitar 250.000 tahun lalu, ukuran otak belum mencapai tingkat seperti
yang sekarang – 1350 cc. Maka, hominid-hominid paling awal tidaklah memiliki
ukuran otak yang besar. Evolusi manusia tidaklah didorong oleh otak.
Sebaliknya, ukuran otak yang membesar adalah hasil dari evolusi manusia,
khususnya pembuatan perkakas. Lompatan kualitatif dalam ukuran otak terjadi
pada Homo habilis (“si tukang”) dan jelas-jelas terkait dengan pembuatan
perkakas batu. Sesungguhnya sebuah lompatan kualitatif baru terjadi pada
transisi dari Homo erectus menuju Homo sapiens. John McCrone menulis:
“Pikiran manusia muncul di
bumi ini dengan kemendadakan yang mengejutkan. Hanya dalam waktu 70.000 tahun –
tidak sampai sekejap mata dalam skala geologis – nenek moyang kita bergerak
dari kera cerdas menjadi Homo sapiens yang memiliki kesadaran diri.
“Di
sisi sebelah sana dari perbatasan evolusioner ini berdirilah Homo erectus,
sebuahmakhluk cerdas dengan otak hampir sebesar otak manusia modern, yang
memiliki kebudayaan perkakas sederhana dan penguasaan atas api – namun secara
mental masih sangat lemah. Di sisi yang sebelah sini berdirilah Homo sapiens
dengan ritual-ritual dan kesenian simboliknya – lukisan gua, manik-manik dan
gelang-gelang, lampu-lampu hias dan kuburan – yang menandai kedatangan sebuah
pikiran yang sadar-diri. Sesuatu yang mendadak dan dramatik pasti telah terjadi,
dan kejadian inilah yang pasti telah menjadi titik awal bagi kesadaran
manusia.”[23]
Dapatkah
Kera Membuat Perkakas?
Belakangan ini telah menjadi
mode untuk mengaburkan perbedaan antara manusia dengan anggota-anggota kerajaan
hewan yang lain sampai pada titik di mana perbedaan itu hampir-hampir lenyap
sama sekali. Dalam makna tertentu, cara ini lebih disukai daripada segala hal
tidak masuk nalar yang dikemukakan para idealis di masa lalu. Manusia adalah
hewan, dan berbagi sejumlah ciri dengan hewan lain, khususnya dengan kerabat
terdekat kita, kera. Perbedaan genetik antara manusia dan simpanse hanyalah
sekitar dua persen. Namun, di sini juga, kuantitas berubah menjadi kualitas.
Dua persen inilah yang merupakan lompatan kualitatif yang telah secara
menentukan memisahkan umat manusia dari segala macam spesies yang lain.
Ditemukannya
satu spesies simpanse yang langka, bonobo, yang bahkan lebih dekat lagi pada
manusia daripada jenis simpanse yang lain, telah membangkitkan banyak
perhatian. Dalam buku mereka Kanzi,
The Ape at the Brink of the Human Mind, Sue Savage-Rumbaugh dan
Roger Lewin menyajikan telaah terperinci mereka atas kapasitas mental dari
bonobo yang ditangkarkan, yang diberi nama Kanzi. Tidak ada keraguan lagi bahwa
tingkat kecerdasan yang ditunjukkan oleh Kanzi jauh lebih tinggi dari apa yang
sejauh ini terlihat dalam makhluk-makhluk non-manusia lain, dan dalam beberapa
aspek sangat mirip dengan kecerdasan anak manusia. Terutama, ia menunjukkan
satu potensi untuk, katakanlah, pembuatan perkakas. Ini adalah satu argumen
yang sangat kuat memihak pada teori evolusi.
Walau demikian, hal yang
penting dari eksperimen yang berupaya membuat bonobo itu membuat perkakas batu,
adalah bahwa ia tidak pernah berhasil melakukannya. Di alam liar, simpanse
menggunakan “perkakas-perkakas” seperti “tongkat pemancing” untuk membuat rayap
keluar dari sarangnya, dan bahkan menggunakan batu sebagai “landasan” untuk
memecahkan biji-bijian yang keras. Pekerjaan-pekerjaan itu menunjukkan satu
tingkat kecerdasan yang tinggi, dan tak diragukan lagi membuktikan bahwa
kerabat manusia yang terdekat itu memiliki beberapa prasyarat mental yang
dibutuhkan untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang lebih maju. Tapi seperti
yang pernah dikomentari oleh Hegel, ketika kita ingin melihat pohon ek, kita
tentu tidak puas jika hanya diperlihatkan bijinya saja. Potensi untuk membuat
perkakas tidaklah sama dengan benar-benar membuat perkakas itu, sama seperti
kemungkinan memenangkanundian £10 juta sama sekali berbeda dengan benar-benar
memenangkannya. Lebih jauh lagi, potensi ini, bila diteliti lebih dekat,
ternyata sangatlah relatif sifatnya.
Simpanse modern kadang kala
berburu monyet-monyet kecil. Tapi mereka tidak menggunakan senjata atau
perkakas untuk keperluan ini; mereka menggunakan gigi mereka. Manusia-manusia
pertama sanggup memotong potongan daging yang besar, untuk keperluan itu mereka
menggunakan perkakas batu yang tajam. Tidak diragukan lagi bahwa
hominid-hominid yang paling awal hanya menggunakan perkakas-perkakas yang sudah
tersedia di alam seperti tongkat untuk menggali akar di tanah. Inilah apa yang
kita lihat di kalangan simpanse modern. Jika manusia terus bersandar pada diet
tumbuhan, tidak akan pernah ada kebutuhan untuk membuat perkakas batu. Tapi
kemampuan untuk membuat perkakas batu memberi mereka akses ke pasokan makanan
yang sama sekali baru. Ini tetap benar jikalaupun kita menerima bahwa
manusia-manusia pertama bukanlah pemburu melainkan pemakan bangkai. Mereka
tetap membutuhkan perkakas batu untuk memotong kulit hewan besar yang
tebal-tebal itu.
Proto-manusia
dari kebudayaan Oldowan di Afrika Timur telah memiliki teknik-teknik yang cukup
maju untuk membuat perkakas-perkakas batu melalui proses yang dikenal
sebagai flaking [manusia
purba membuat perkakas batu dengan menghantamkan sebuah batu kepada batu
lainnya sehingga batu yang dihantam itu pecah pinggirannya. Proses ini
dilakukan berulang-ulang sampai batu yang dihantam itu memiliki sisi yang
tajam.] Mereka memilih jenis batu yang tepat, dan membuang yang lain; mereka
menggunakan sudut yang tepat untuk memukul, dan seterusnya. Semua ini
menunjukkan tingkat kecanggihan dan keterampilan yang tinggi, yang tidak pernah
terlihat dalam “karya” Kanzi, sekalipun ada campur-tangan aktif dari manusia
yang ditujukan untuk mendorong bonobo itu agar menghasilkan perkakas. Setelah
upaya berulang-ulang, para peneliti itu dipaksa untuk mengakui bahwa:
“Sejauh ini Kanzi telah
memperlihatkan tingkatan yang relatif rendah dalam keterampilan teknik pada
setiap [dari empat] kriteria dibandingkan dengan apa yang terlihat bahkan di
Jaman Batu Awal.”
Dan mereka menyimpulkan:
“Maka,
ada satu perbedaan yang jelas dalam keterampilan Kanzi dalam memecah batu
dengan yang ditunjukkan oleh para pembuat perkakas batu di Oldowan, yang
kelihatannya mengimplikasikan bahwa manusia-manusia pertama ini telah berhenti
menjadi kera.”[24]
Salah satu perbedaan yang
memisahkan bahkan hominid yang paling primitif sekalipun dari kera yang paling
majuadalah perubahan dalam struktur tubuh yang terkait dengan posisi berjalan
tegak. Struktur lengan dan pergelangan tangan bonobo, misalnya, berbeda dari
manusia. Jari yang panjang dan melengkung dan ibu jari yang pendek membuatnya
sulit menggenggam batu secara cukup efektif agar bisa memukul dengan kuat
memakai gerakan menyamping. Fakta ini telah ditunjukkan oleh ilmuwan lain:
Tangan
simpanse memiliki ibu jari yang telah berkembang baik, yang posisinya
berlawanan dengan posisi jari-jari lainnya, “tapi jari itu sangat gemuk dan
berhimpitan dengan telunjuk, dan tidak dapat kita mempertemukan ujung ibu
jarinya dengan ujung telunjuknya. Pada tangan hominid, ibu jari jauh lebih
besar dan terputar sehingga ia berhadapan dengan telunjuk. Ini adalah hal yang
menyertai bipedalisme dan menghasilkan peningkatan besar dalam keterampilan
menggunakan tangan. Semua hominid menunjukkan bahwa mereka memiliki jenis
tangan semacam ini – bahkan afarensis,
hominid tertua yang kini dikenal. Tangan mereka hampir tak dapat dibedakan dari
tangan manusia modern.”[25]
Kendati banyak upaya untuk
mengaburkan garis batas ini, perbedaan antara kera yang paling maju sekalipun
dengan hominid yang paling primitif telah ditetapkan tanpa keraguan lagi.
Ironisnya, eksperimen-eksperimen ini, yang ditujukan untuk membuktikan bahwa
gagasan tentang manusia sebagai makhluk pembuat perkakas adalah keliru, justru
telah membuktikan hal yang justru kebalikannya.
Manusia
dan Bahasa
Seperti upaya yang telah
dilakukan orang-orang untuk membuktikan bahwa pembuatan perkakas bukanlah fitur
fundamental dari manusia, demikian pula beberapa orang telah melancarkan upaya
seperti itu dalam hal bahasa. Bagian dari otak yang dikenal sebagai area Broca
dikaitkan dengan bahasa, dan awalnya dikira hanya terdapat pada manusia. Kini
telah diketahui bahwa area ini juga ada pada hewan-hewan lain. Fakta ini telah
digunakan untuk membuktikan bahwa penguasaan bahasa bukanlah unik milik
manusia. Tapi argumen ini sangat rapuh. Faktanya tetap bahwa tidak ada spesies
selain manusia yang tergantung pada bahasa untuk keberlangsungannya sebagai sebuah
spesies. Bahasa adalah sesuatu yang esensial bagi mode produksi sosial, yang
merupakan basis dari masyarakat manusia.
Untuk membuktikan bahwa hewan
lain juga dapat berkomunikasi sampai tahap tertentu, tidak perlu kita menelaah
perilaku bonobo. Banyak spesies yang tingkatnya lebih rendah memiliki sistem
komunikasi yang cukup canggih – bukan hanya mamalia, tapi juga burung dan
serangga. Semut dan lebah adalah hewan sosial dan memiliki bentuk komunikasi
yang berkembang dengan maju. Walau demikian, ini tidak dapat dianggap
mencerminkan kemampuan berpikir secara intelektual, atau bahkan untuk berpikir
sama sekali. Kemampuan ini diwariskan dan merupakan naluri. Kemampuan ini juga
sangat terbatas dalam cakupannya. Tindakan-tindakan yang itu-itu lagi diulangi
berkali-kali dan secara mekanik, dan sama sekali tidak mengurangi
efektivitasnya. Tapi ada beberapa orang yang menganggap hal ini sebagai bahasa,
seperti yang kita kenal sehari-hari.
Seekor beo dapat diajari
mengulangi satu kalimat penuh. Apakah ini berarti bahwa ia dapat berbicara?
Cukup jelas bahwa, walaupun ia dapat meniru berbagai bunyi-bunyian dengan cukup
baik, ia tidak memiliki pemahaman akan makna dari tiap bunyi tersebut. Justru
pemahaman akan makna itulah hakikat dari sebuah bahasa. Halnya agak berbeda
dengan mamalia yang tingkatannya lebih tinggi. Engels, yang juga merupakan
seorang pemburu yang baik, tidaklah terlalu yakin sampai mana anjing dan kuda
memahami bahasa manusia dan seberapa frustrasinya mereka karena tidak dapat
berbicara dalam bahasa manusia itu. Tentu, tingkat pemahaman yang ditunjukkan
oleh Kanzi, si bonobo dalam tangkaran itu, cukup tinggi. Sekalipun demikian,
ada satu alasan mengapa tidak ada hewan selain manusia yang memiliki bahasa.
Hanya manusia yang memiliki pita suara yang memungkinkan dikeluarkannya bunyi
konsonan. Tidak ada hewan lain yang dapat menghasilkan bunyi konsonan. Beberapa
dapat membuat bunyi klik dan desis. Sesungguhnya, konsonan hanya dapat
dibunyikan bersamaan dengan bunyi vokal, atau mereka akan tereduksi menjadi sekedar
bunyi klik dan desis. Kemampuan untuk membunyikan konsonan adalah hasil dari
postur berjalan dengan dua kaki, seperti yang ditunjukkan oleh studi terhadap
Kanzi:
“Hanya manusia yang memiliki
pita suara yang memungkinkannya untuk menghasilkan bunyi konsonan. Perbedaan
antara pita suara kita dengan pita suara kera, walaupun relatif kecil, cukup
signifikan dan dapat dikaitkan dengan penyempurnaan postur bipedal dan
kebutuhan yang menyusulnya, yaitu untuk membawa kepala dalam posisi berdiri
yang seimbang di atas pusat tulang belakang. Sebuah kepala yang besar dengan
rahang yang berat akan menyebabkan pembawanya bungkuk ke depan dan akan
menyulitkannya untuk berlari cepat. Untuk mendapatkan postur tegak yang
seimbang, sangat penting untuk menyusutkan struktur rahang dan dengan demikian
saluran vokal kera yang agak landai itu dibengkokkan menyiku. Bersamaan dengan
penyusutan ukuran rahang dan muka yang semakin datar, lidah, bukannya terletak
sepenuhnya di dalam mulut malah turun sedikit ke dalam kerongkongan untuk
membentuk bagian belakang oropharynx. Keleluasaan gerak lidah memungkinkan
modulasi rongga oropharynx dalam cara yang tidak dimungkinkan pada kera, yang
lidahnya terletak sepenuhnya di dalam mulut. Mirip dengan itu, pembengkokan
tajam pada jalur udara supralaryngeal berarti bahwa jarak antara bagian lidah
yang lembut dengan bagian belakang kerongkongan menjadi sangat pendek. Dengan
mengangkat bagian lembut lidah, kita dapat memblokir jalur udara ke hidung,
memungkinkan kita membentuk turbulensi yang diperlukan untuk menghasilkan
konsonan.”
Tanpa konsonan, kita tidak
dapat dengan mudah membedakan antara satu kata dengan kata yang lain. Kita
hanya akan dapat melolong dan mengeram. Keduanya dapat mengusung sejumlah
informasi, tapi tentunya sangat terbatas:
“Bahasa memiliki variasi yang
tak terhingga dan sampai saat ini hanya telinga manusia yang dapat dengan cepat
menemukan unit-unit yang bermakna dalam pola yang variasinya tak terhingga ini.
Konsonan memungkinkan kita mencapai tahapan yang semacam ini.”
Bayi manusia sanggup
membedakan konsonan dengan cara yang mirip dengan orang dewasa sejak umur yang
sangat muda, seperti yang diketahui oleh tiap orang yang pernah mendengar
“omongan bayi”. Omongan bayi ini adalah percobaan-percobaan terus-menerus untuk
mengkombinasikan konsonan dan vokal - “ba-ba, pa-pa, ta-ta, ma-ma,”dan
seterusnya. Bahkan pada tahap yang sangat awal ini, seorang bayi manusia
sanggup melakukan pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh hewan dewasa yang
manapun.
Apakah kemudian kita harus
menyimpulkan bahwa satu-satunya alasan mengapa hewan lain tidak memiliki bahasa
adalah sepenuhnya karena faktor fisiologis? Kesimpulan semacam itu adalah
kesalahan yang serius. Bentuk pita suara, dan kemampuan fisik untuk
mengkombinasikan vokal dan konsonan adalah prakondisi fisik untuk berkembangnya
bahasa manusia, tapi tidak lebih daripada itu. Hanya perkembangan tangan, yang
tidak terpisahkan dari kerja dan kebutuhan untuk mengembangkan sebuah
masyarakat yang tinggi tingkat kerja samanya, yang memungkinkan diperbesarnya
ukuran otak dan penciptaan bahasa. Kelihatannya area di dalam otak yang
berkaitan dengan penggunaan perkakas dan bahasa memiliki asal-muasal yang sama
pada taraf perkembangan awal sistem syaraf seorang anak kecil, dan baru
terpisah pada usia dua tahun, ketika area Broca membangun sirkuit yang berbeda
darianterior prefrontal cortex.Ini sendiri merupakan bukti jelas akan adanya
hubungan dekat antara pembuatan perkakas dan bahasa. Bahasa dan kemampuan
rekayasa berkembang secara bersamaan, dan proses evolusi ini terulang oleh
perkembangan bayi manusia pada saat ini.
Bahkan
hominid-hominid paling awal dari kebudayaan Oldowan memiliki kemampuan rekayasa
yang jauh lebih maju daripada kera. Mereka bukan sekedar “kera yang berjalan
tegak”. Pembuatan perkakas yang paling sederhana sekalipun jauh lebih kompleks
daripada yang dibayangkan. Ia membutuhkan perencanaan dan kemampuan memahami
apa yang akan datang. Homo habilis harus merencanakan beberapa langkah ke
depan. Ia harus tahu bahwa di masa datang ia akan membutuhkan sebuah perkakas,
sekalipun ia tidak membutuhkan perkakas tersebut ketika ia menemukan
material-material yang sesuai. Pemilihan yang teliti atas jenis batu, dan
penolakan terhadap jenis lainnya; pencarian sudut pukulan yang tepat; ini semua
menunjukkan tingkat kemampuan berpikir yang berbeda secara kualitatif dari
kera. Kemungkinan bahasa dalam bentuk awalnya yang kasar telah hadir pada tahap
ini. Tapi ada bukti lebih jauh yang menunjuk ke arah ini. Manusia sungguh unik,
di mana 90% manusia lebih mampu menggunakan tangan kanan. Initidak terlihat
pada primata lain. Seekor kera boleh jadi lebih dapat menggunakan tangan kanan
atau kiri, tapi untuk keseluruhan populasi kemungkinannya kira-kira adalah
50-50. Fenomena penggunaan-tangan (handedness)
ini terkait erat dengan kemampuan rekayasa dan bahasa:
“Penggunaan-tangan terkait
dengan lokalisasi fungsi belahan otak kiri dan kanan. Lokasi kemampuan rekayasa
di belahan otak kiri dari (kebanyakan) para pengguna tangan kanandiiringi oleh
lokasi kemampuan bahasa di tempat itu pula. Belahan otak kanan menjadi
terspesialisasi untuk kemampuan-kemampuan spasial.”
Fenomena ini tidak terdapat
pada Australophitecus, tapi telah ditemukan pada tengkorak Homo habilis yang
paling tua, pembuat perkakas yang pertama. Sangatlah tidak mungkin bahwa hal
ini adalah satu kebetulan. Pada saat kita sampai pada Homo erectus,
bukti-buktinya segunung:
“Tiga
bukti anatomis ini – otak, alat-alat vokal, dan kemampuan menggunakan perkakas–
menyediakan dukungan utama untuk perubahan-perubahan yang bertahap dan lama ke
terciptanya bahasa. Seiring dengan perubahan-perubahan dalam otak dan alat-alat
vokal ini, terjadi juga perubahan bertahap pada tangan, perubahan yang
membuatnya menjadi alat yang sangat cocok untuk penciptaan dan penggunaan
perkakas.”[26]
Kemunculan umat manusia
merupakan sebuah lompatan kualitatif dalam evolusi. Di sini, untuk pertama
kalinya, materi menjadi sadar akan dirinya sendiri. Proses berjalannya sejarah
kini menggantikan evolusi yang berjalan tanpa disadari. Mengutip Frederick Engels:
“Dengan manusia, kita
memasuki sejarah. Hewan juga memiliki sejarah, yaitu sejarah garis keturunannya
dan evolusi bertahap sampai tahapan mereka sekarang. Namun sejarah ini
dituliskan bagi mereka, dan sejauh menyangkut apakah mereka sendiri mengambil bagian
di dalamnya, sejarah terjadi tanpa sepengetahuan dan keinginan mereka. Di pihak
lain, semakin umat manusia memisahkan diri dari hewan, semakin mereka menulis
sejarahnya sendiri, secara sadar, semakin sedikit pengaruh efek-efek tak
terlihat dan kekuatan-kekuatan tak terkontrol atas sejarah ini, dan semakin
sesuai hasil historis dengan tujuan yang telah ditetapkan di muka.
“Namun, jika kita menerapkan
ukuran ini atas sejarah manusia, bahkan pada bangsa-bangsa yang paling maju
sekalipun pada saat ini, kita menemukan bahwa masih terus ada sebuah
ketidaksesuaian yang kolosal antara tujuan-tujuan yang diajukan dan hasil-hasil
yang dicapai, bahwa efek-efek yang tak terlihat masih dominan, dan bahwa
kekuatan-kekuatan yang tak terkontrol masih jauh lebih kuat daripada
kekuatan-kekuatan yang digerakkan sesuai dengan rencana. Dan ini tidak bisa
tidak selama aktivitas historis manusia yang paling hakiki, aktivitas yang
telah mengangkat mereka dari kerajaan hewan menuju kemanusiaan dan yang
membentuk landasan material bagi semua aktivitas mereka yang lain, yaitu proses
produksi kebutuhan hidup mereka – yakni yang pada masa sekarang ini adalah
produksi sosial – terutama masih tunduk pada pengaruh efek-efek yang tidak
diinginkan dari kekuatan-kekuatan yang tak terkontrol, dan yang mencapai
tujuannya hanya lewat pengecualian, tetapi jauh lebih sering mencapai tujuan
yang sebaliknya ...
“Hanya
pengorganisiran proses produksi sosial secara sadar, di mana produksi dan
distribusi dijalankan secara terencana, yang dapat mengangkat umat manusia di
atas dunia hewan dalam kaitannya dengan aspek sosialnya, dengan cara yang sama
seperti yang telah dilakukan oleh proses produksi secara umum terhadap umat
manusia dalam aspek biologis. Evolusi historis membuat pengorganisiran semacam
itu semakin hari makin tidak dapat diabaikan, tapi juga semakin hari semakin
dimungkinkan. Bila saat itu dicapai, akan dimulai sebuah epos sejarah yang
baru, di mana umat manusia itu sendiri, dan bersamanya seluruh cabang
aktivitasnya, dan khususnya ilmu-ilmu alam, akan mengalami satu kemajuan yang
akan menempatkan segala sesuatu yang mendahuluinya ke dalam bayang-bayang yang
paling gelap.”[27]
_______________
Catatan
Kaki
[1] Dikutip di D. C.
Johanson dan M. A. Edey, Lucy, The Beginning of Humankind, hal. 327.
[2] Dikutip di T. Ferris
262-3, 265 dan 266.
[3] Mukjizat atau campur
tangan ilahi untuk menyelesaikan problem yang tampaknya tak terselesaikan.
[4] D. C. Johanson & M.
A. Edey, op. cit., hal. 320.
[5] Treeshrew adalahmamalia
sejenis tupai yang merupakan kerabat terdekat primata.
[6] J. S. Bruner, Beyond
the information Given, hal. 246-7.
[7] MECW, Vol. 5, hal. 31.
[8] Homo erectus, yang
berarti “manusia yang berdiri tegak”, adalah salah satu kerabat Homo sapiens
(manusia). Catatan fosil tertua dari Homo erectus adalah 1,8 juta tahun yang
lalu, dan mereka dipercaya hidup sampai 143 ribu tahun yang lalu.
[9] Richard Leakey, The
Origin of Humankind, hal. 36.
[10] Engels, The Dialectics
of Nature, hal. 229-30.
[11] Leakey 38.
[12] Engels, The Dialectics
of Nature, hal. 228 dan 230-1.
[13] N. Chomsky, Language
dan Mind, hal. 66-7 dan 70.
[14] Leakey 45.
[15] Engels, The Dialectics
of Nature, hal. 231-2.
[16]Dikutip di Leakey, op. cit.,
hal. 67.
[17] Engels, The Dialectics
of Nature, hal. 233-4 dan 237.
[18] Leakey 54.
[19] Engels, The Dialectics
of Nature, hal. 237.
[20] Dalam ilmu evolusi
manusia, spesies Homo sapiens dibagi lagi ke dalam beberapa subspecies, yakni
Homo sapiens idaltu, Homo sapiens neanderthalensis, dan Homo sapiens sapiens
(manusia moderen).
[21] S. J. Gould, Ever Since
Darwin, hal. 210-1.
[22] Christopher Wills, The
Runaway Brain, The Evolution of Human Uniqueness, hal. xxii.
[23] New Scientist, 29th
January 1994, hal. 28.
[24] S. Savage-Rumbaugh dan
R. Lewin, Kanzi, The Ape at the Brink of the Human Mind, hal. 218.
[25] D. C. Johanson dan M.
A. Edey, Lucy, The Beginnings of Humankind, hal. 325.
[26] S. Savage-Rumbaugh dan
R. Lewin, op. cit., hal. 226-7, 228 dan 237-8.
[27] Engels, Dialectics of
Nature, hal. 48-9.
0 komentar:
Post a Comment