Bab 3. Materialisme Dialektik
Apa itu Dialektika?
“Παντα χωρει, ουδει μενει.”
"Segala hal mengalir dan
tak satupun yang tinggal diam.”
(Heraclitus)
Dialektika adalah sebuah metode untuk memikirkan dan mengartikan
dunia baik yang mewujud dalam alam maupun dalam masyarakat. Ia adalah sebuah
cara untuk melihat alam semesta, yang berangkat dari aksioma bahwa segala hal
berada dalam kondisi yang selalu berubah dan mengalir. Tapi bukan hanya itu.
Dialektika menjelaskan bahwa perubahan dan pergerakan melibatkan kontradiksi
dan hanya dapat terjadi melalui kontradiksi itu. Jadi, bukannya sebuah garis
progres yang mulus dan tak terputus-putus, melalui dialektika kita mendapati
satu garis yang di sana-sini disela dengan periode-periode yang mendadak dan
meledak-ledak, di mana akumulasi dari perubahan-perubahan yang kecil-kecil
(perubahan kuantitatif) menjalani satu percepatan yang tinggi, di mana
kuantitas diubah menjadi kualitas. Dialektika adalah logika dari kontradiksi.
Hukum-hukum dialektika telah diungkapkan secara rinci oleh Hegel walaupun, dalam tulisannya, hukum-hukum itu muncul dalam bentuk yang idealis dan mistis. Marx dan Engels-lah yang pertama kali memberi basis yang ilmiah, yang materialis, terhadap dialektika. “Hegel menulis sebelum Darwin dan sebelum Marx,” tulis Trotsky. “Berkat impuls maha dahsyat yang disuntikkan kepada pemikiran manusia oleh Revolusi Prancis, Hegel mengantisipasi pergerakan umum ilmu sains. Tapi karena itu hanya sekedar antisipasi, sekalipun Hegel adalah seorang jenius, dialektika tetap mendapat watak idealis di tangannya. Hegel bekerja di bawah bayang-bayang ideologi sebagai realitas puncaknya. Marx menunjukkan bahwa pergerakan dari bayang-bayang ideologi ini tidak mencerminkan apapun selain pergerakan dari benda-benda material.”[1]
Dalam tulisan Hegel
terdapat banyak contoh hukum dialektika yang disimpulkan dari sejarah dan alam.
Tapi idealisme Hegel secara tak-terelakkanmemberi dialektikanya watak yang
sangat abstrak dan acak. Untuk membuat dialektika mengabdi pada “Ide Absolut”, Hegel
terpaksa memaksakan sebuah skema kepada alam dan masyarakat, dengan cara yang
persis bertentangan dengan dialektika itu sendiri, padahal dialektika itu
menuntut kita untuk menurunkan hukum yang mengatur gejala tertentu melalui
telaah yang teliti dan objektif atas subjek-materi, seperti yang dilakukan Marx
di dalam Capital. Seperti yang dijelaskan oleh Marx sendiri:
“Metode dialektika
saya bukan hanya berbeda dengan dialektikanya Hegel, tapi persis kebalikannya.
Bagi Hegel, proses kehidupan dari otak manusia, yaitu proses berpikir, yang di
bawah panji “Ide” bahkan diubahnya menjadi satu subjek yang independen, adalah
inti hakikat dari dunia nyata, dan dunia nyata hanyalah sekedar bentuk “Ide”
yang eksternal dan fenomenal. Bagi saya, sebaliknya, ide bukanlah apa-apa
melainkan dunia nyata yang tercermin dalam pikiran manusia, dan diterjemahkan
dalam bentuk-bentuk pikiran.”[2]
Ketika kita pertama kali merenungkan dunia sekitar kita, kita
melihat serangkaian fenomena yang demikian banyak dan kompleks, satu jaring
laba-laba yang rumit dari berbagai perubahan, sebab dan akibat, aksi dan reaksi
yang berlangsung tanpa henti. Kekuatan penggerak dari penyelidikan ilmiah
adalah gairah untuk mendapatkan pemahaman yang rasional atas labirin yang
membingungkan ini, agar kita dapat menaklukkannya. Kita mencari hukum-hukum
yang dapat membedakan yang umum dari yang khusus, yang kebetulan dari yang
niscaya, dan memungkinkan kita memahami kekuatan-kekuatan yang mendorong
timbulnya fenomena-fenomena yang kita hadapi. Mengutip kata-kata fisikawan dan
filsuf Inggris, David Bohm:
“Di alam tidak ada
satupun hal yang tinggal tetap. Segala sesuatunya berada dalam peralihan,
pergerakan dan perubahan yang abadi. Walau demikian, kita menemukan bahwa tidak
ada sesuatupun yang muncul dari ketiadaan tanpa memiliki pendahulu yang hadir
sebelum dirinya. Sama halnya, tidak ada sesuatupun yang pernah menghilang tanpa
bekas, dalam artian bahwa ia menghilang tanpa kemudian melahirkan sesuatu.
Karakter umum dunia ini dapat dinyatakan dalam satu prinsip yang kiranya
meringkaskan satu himpunan besar berbagai pengalaman, dan yang belum pernah
dibuktikan keliru dalam pengamatan atau percobaan apapun, baik yang ilmiah
maupun tidak; yaitu, bahwa segala sesuatu datang dari sesuatu yang lain dan
menimbulkan sesuatu yang lain lagi.”[3]
Proposisi dasar dialektika adalah bahwa segala sesuatunya berada
dalam proses perubahan, pergerakan dan perkembangan yang terus-menerus. Bahkan
ketika tampaknya bagi kita tidak terlihat sesuatupun terjadi, dalam
kenyataannya, materi selalu berubah. Molekul, atom dan partikel-partikel
sub-atomik terus bertukar tempat, selalu dalam pergerakan. Dialektika, dengan
demikian, adalah sebuah interpretasi yang pada hakikatnya dinamik atas segala
fenomena dan proses yang terjadi dalam segala tingkat materi, baik yang organik
maupun yang anorganik.
“Bagi mata kita, mata
kasat kita, tidak sesuatupun yang berubah,” ujar fisikawan Amerika Richard P.
Feynman, “tapi jika kita dapat melihat dengan perbesaran semiliar kali, kita
akan dapat melihat bahwa segalanya selalu berubah: molekul-molekul lepas dari
permukaan, molekul-molekul kembali terikat ke permukaan.”[4]
Demikian mendasarnya
ide ini bagi dialektika sehingga Marx dan Engels berpendapat bahwa gerak adalah
ciri paling hakiki dari materi. Sebagaimana demikian sering terjadi, pandangan
tentang gerak ini ternyata telah juga diantisipasi oleh Aristoteles, yang
menulis: “Dengan demikian ... makna yang utama dan terutama dari 'alam' adalah
hakikat dari segala sesuatu yang memiliki di dalam dirinya ... prinsip
pergerakan.”[5] Ini bukanlah pandangan tentang gerak
yang mekanik, sebagaimana satu benda akan bergerak jika dikenai “kekuatan”
eksternal, tapi satu pandangan yang sama sekali berbeda, bahwa materi bergerak
di dalam dirinya (self-moving). Bagi mereka, materi
dan gerak (energi) adalah hal yang satu dan sama, dua cara yang berbeda untuk
mengekspresikan ide yang sama. Ide ini dengan gemilang dibenarkan oleh Einstein
melalui teorinya tentang kesetaraan massa dan energi. Beginilah Engels
menyatakannya:
“Gerak, dalam makna
yang paling luas, yang dimaknai sebagai mode eksistensi dan sifat inheren dari
materi, mencakup segala perubahan dan proses yang terjadi di alam semesta, dari
sekedar pertukaran tempat sampai proses berpikir. Penyelidikan atas sifat gerak
tentunya harus dimulai dari bentuk-bentuk gerak yang paling rendah dan
sederhana, dan untuk belajar memahami ini sebelum kita dapat mencapai
penjelasan apapun mengenai bentuk-bentuk pergerakan yang lebih tinggi dan
kompleks.”[6]
“Segala Sesuatunya Mengalir”
Segala sesuatu terus-menerus berada dalam pergerakan, dari
neutrino sampai galaksi berukuran super-cluster. Bumi ini sendiri terus bergerak,
berotasi mengelilingi matahari sekali setahun dan berotasi pada sumbunya
sendiri sekali sehari. Matahari, pada gilirannya, berotasi pada sumbunya
sendiri sekali dalam 26 hari dan, bersama dengan bintang-bintang lain dalam
galaksi kita, berputar mengelilingi pusat galaksi sekali dalam 230 juta tahun.
Sangatlah mungkin bahwa struktur yang lebih besar (cluster [himpunan] galaksi)
juga memiliki pergerakan rotasionalnya sendiri. Hal ini kelihatannya adalah
ciri dari materi, bahkan di tingkat atomik sekalipun, di mana atom-atom yang
menyusun molekul berputar dengan tingkat kecepatan yang berbeda-beda. Di dalam
atom, elektron berotasi di seputar inti atom dengan kecepatan yang dahsyat.
Elektron memiliki satu kualitas yang dikenal dengan nama spin
intrinsik. Yaitu seakan-akan ia berotasi mengelilingi sumbunya dengan satu
tingkat kecepatan yang tetap dan tidak dapat dihentikan atau diubah, kecuali
dengan menghancurkan elektron itu sendiri. Jika spin sebuah elektron
ditingkatkan, dengan drastis sifat elektron itu akan berubah, yang menghasilkan
satu perubahan kualitatif, menghasilkan satu partikel yang sama sekali berbeda.
Kuantitas yang dikenal sebagai momentum angular–yakni pengukuran gabungan dari
massa, ukuran dan kecepatan dari sistem yang berotasi - digunakan untuk
mengukur spin dari partikel-partikel elementer. Prinsip kuantifikasi spin dari
sebuah partikel adalah fundamental dalam tingkatan sub-atomik, tapi prinsip ini
digunakan juga dalam dunia makroskopik. Walau demikian, efek yang terukur dalam
dunia makroskopik ini terlalu kecil sehingga dapat diabaikan dalam kehidupan
sehari-hari. Dunia partikel sub-atomik selalu berada dalam keadaan bergerak dan
bergejolak, di mana tidak sesuatupun terus menjadi dirinya sendiri. Partikel
terus-menerus beralih rupa menjadi anti-partikelnya, sehingga bahkan mustahil
bagi kita untuk menyatakan identitas satu partikel tertentu dalam satu masa
waktu tertentu. Neutron berubah menjadi proton, dan proton menjadi neutron
dalam pertukaran identitas yang tanpa hentinya.
Engels mendefinisikan
dialektika sebagai “ilmu tentang hukum-hukum umum tentang gerak dan
perkembangan alam, masyarakat manusia dan pemikiran.” Dalam Anti-Dühring dan Dialektika Alam,
Engels memberikan satu ringkasan tentang hukum-hukum dialektika, yang dimulai
dengan tiga yang paling dasar:
1) Hukum peralihan dari kuantitas menjadi kualitas dan
sebaliknya;
2) Hukum tentang kutub berlawanan yang saling merasuki;
3) Hukum tentang negasi dari negasi.
Sekilas, pernyataan itu terlihat sangatlah ambisius. Apakah
benar-benar mungkin kita dapatmerumuskan hukum-hukum yang memiliki penerapan
seluas dan seumum itu? Apakah mungkin terdapat satu pola dasar yang sama bukan
hanya dalam masyarakat dan pemikiran, tapi juga di dalam alam itu sendiri?
Sekalipun terdapat banyak sekali keberatan tentangnya, semakin hari semakin
jelas bagi kita bahwa pola semacam itu memang sungguh-sungguh hadir dan selalu
memunculkan diri dalam tiap tingkatan, dengan berbagai macam cara. Dan semakin
banyak pula contoh-contoh, yang diambil dari bidang-bidang yang sangat jauh
berbeda, dari partikel sub-atomik sampai studi kependudukan, yang semakin
memberi bobot pada teori materialisme dialektik.
Poin yang hakiki dari pemikiran dialektik adalah bahwa pemikiran
itu tidak didasarkan pada ide tentang perubahan dan gerak, tapi justru melihat
gerak dan perubahan sebagai satu gejala yang didasarkan pada kontradiksi. Di
mana logika formal tradisional berusaha menyingkirkan kontradiksi, pemikiran
dialektika justru memeluknya erat-erat. Kontradiksiadalah satu ciri yang hakiki
dari seluruh keberadaan. Kontradiksi ada di jantung materi itu sendiri. Ia
adalah sumber dari segala gerak, perubahan, kehidupan dan perkembangan. Hukum
dialektika yang menyatakan ide ini adalah hukum tentang kesatuan dan saling
merasuknya kutub-kutub yang bertentangan. Hukum dialektika yang ketiga, negasi
dari negasi, menyatakan pandangan tentang perkembangan. Bukannya satu lingkaran
tertutup, di mana satu proses secara abadi mengulangi dirinya sendiri, hukum
ini menunjukkan bahwa pergerakan melalui kontradiksi-kontradiksi yang susul
menyusul akan menuntun kita menuju perkembangan, dari yang sederhana menjadi
yang kompleks, dari yang rendah ke yang tinggi. Segala macam proses tidaklah
mengulangi dirinya dengan cara yang persis sama, sekalipun nampaknya demikian.
Hukum-hukum ini, dalam garis yang sangat skematik, adalah tiga hukum paling
dasar dari dialektika. Dari ketiganya, muncullah seluruh rangkaian proposisi
tambahan, yang melibatkan hubungan antara yang sebagian dengan yang
keseluruhan, hubungan antara bentuk dan isi, hubungan antara yang terhingga dan
yang tak-terhingga, hubungan antara tarikan dan tolakan, dan seterusnya.
Hal-hal ini akan coba kita telaah. Mari kita mulai dengan kuantitas dan
kualitas.
Kuantitas dan Kualitas
Hukum peralihan dari kuantitas menjadi kualitas memiliki
penerapan yang amat luas, dari partikel materi yang terkecil di tingkat
sub-atomik sampai gejala paling besar yang pernah dikenal oleh manusia. Hukum
ini dapat terlihat dalam segala bentuk perwujudan, dan dalam berbagai
tingkatan. Walau demikian, hukum yang sangat penting ini masih belum memperoleh
pengakuan yang selayaknya diperolehnya. Hukum dialektika terus menarik
perhatian kita pada tiap kesempatan. Peralihan dari kuantitas menjadi kualitas
telah diketahui oleh kaum Yunani Megaran, yang menggunakannya untuk menunjukkan
berbagai paradoks, kadangkala dalam bentuk lelucon. Contohnya, “kepala botak”
dan “setumpuk gabah”– apakah hilangnya selembar rambut dapat membuat orang
dikatakan “botak”, atau sebutir gabah dapat disebut “setumpuk gabah”? Jawabnya
tidak. Jika ditambah satu lembar lagi, atau sebutir lagi? Jawabnya masih tetap
tidak. Pertanyaan ini kemudian diulangi sampai jawabannya adalah setumpuk gabah
dan sebuah kepala yang botak. Kita dipaksa berhadapan dengan kontradiksi bahwa
perubahan-perubahan kecil yang saling terisolasi satu sama lain, yang tidak
sanggup membuat satu perubahan kualitatif, pada satu titik justru menghasilkan
perubahan kualitatif: kuantitas berubah menjadi kualitas.
Ide bahwa, di bawah kondisi tertentu, bahkan hal-hal kecil dapat
menyebabkan perubahan besar telah dinyatakan dalam berbagai pepatah dan
ujar-ujar. Contohnya: “Jerami yang mematahkan punggung unta”, “banyak tangan
membuat kerja mudah”, “air menetes melubangi batu”, dan seterusnya. Dengan
berbagai cara, hukum peralihan dari kuantitas menjadi kualitas telah merasuki
kesadaran populer, seperti yang ditunjukkan oleh Trotsky:
“Seseorang pastilah menganut dialektika sampai tahap tertentu,
kebanyakan, tidak secara sadar. Seorang ibu rumah tangga tahu bahwa garam dalam
jumlah tertentu membuat rasa sup menjadi sedap, tapi jika ditambah lagi, justru
akan membuat rasa sup itu tidak karuan. Dengan demikian, seorang perempuan
petani yang buta huruf memasak sup dengan hukum Hegelian, peralihan dari
kuantitas menjadi kualitas. Contoh-contoh serupa dari kehidupan sehari-hari
dapat dikutip tanpa akhir. Bahkan hewan pun tiba pada kesimpulan-kesimpulan
praktis mereka tidak hanya berdasarkan silogisme Aristotelian tapi juga
berdasarkan dialektika Hegelian. Demikianlah seekor rubah sadar bahwa hewan
berkaki empat dan burung rasanya sedap dan bergizi. Ketika ia menampak seekor
kelinci atau ayam, sang rubah akan menyimpulkan, hewan ini termasuk dalam jenis
yang lezat dan bergizi dan – memburunya. Kita lihat di sini sebuah silogisme
yang lengkap sekalipun rubah itu, bolehlah kita simpulkan, tidak pernah membaca
karya Aristoteles. Walau demikian, ketika rubah yang sama menampak hewan yang
mirip tapi dengan ukuran yang jauh lebih besar, misalnya, seekor serigala, ia
akan menyimpulkan dengan cepat bahwa kuantitas telah berubah menjadi kualitas,
dan berbalik kabur. Jelaslah bahwa kaki-kaki sang rubah diperlengkapi dengan
kecenderungan Hegelian, sekalipun tidak dalam makna yang sadar.
“Semua ini menunjukkan,
secara sepintas, bahwa metode berpikir kita, baik yang logika formal maupun
yang dialektik, bukanlah satu konstruksi yang acak dari nalar kita tapi
merupakan ekspresi dari kesalingterhubungan antar unsur-unsur alam itu sendiri.
Dalam pengertian ini, seluruh alam semesta dirasuki oleh dialektika “tanpa
sadar”. Tapi alam tidaklah berhenti sampai di situ. Tidak sedikit perkembangan
yang dibutuhkan sebelum kesalingterhubungan internal dari alam diubah menjadi
bahasa kesadaran baik rubah maupun manusia, dan manusia kemudian dapat menarik
kesimpulan umum dari bentuk-bentuk kesadaran ini dan mengubahnya menjadi
kategori-kategori (dialektik) logis, dan oleh karenanya menciptakan kemungkinan
untuk menjelajah lebih jauh ke dalam dunia di sekelilingnya.”[7]
Sekalipun contoh-contoh yang diberikan agak bersifat remeh,
mereka mengungkapkan kebenaran yang mendasar tentang cara bekerjanya dunia ini.
Ambillah contoh tumpukan gabah itu. Beberapa penelitian terakhir yang berkaitan
dengan teori chaos telah mengerucut pada titik di mana serangkaian variasi
kecil selalu menghasilkan satu perubahan keadaan yang masif. (Dalam istilah
modern, hal ini disebut “the edge of chaos”.) Karya fisikawan kelahiran
Denmark, Per Bak, bersama rekan-rekannya tentang “self-organised criticallity”
(kritikalitas yang mengorganisir diri sendiri)menggunakan tumpukan pasir untuk
menggambarkan proses mendasar yang terjadi dalam berbagai tingkatan di alam dan
yang sama dengan hukum peralihan kuantitas menjadi kualitas.
Salah satu contohnya adalah tumpukan pasir – satu analogi yang
persis sama dengan tumpukan gandum dari kaum Megaran. Kita menjatuhkan butiran
pasir satu demi satu di atas sebuah permukaan datar. Percobaan ini telah
dilakukan berulang-ulang, baik dengan benda nyata maupun melalui simulasi
komputer. Untuk beberapa waktu, butir-butir pasir itu akan jatuh begitu saja
satu di atas yang lain sampai mereka membentuk sebuah piramida kecil. Pada
titik ini, penambahan butiran pasir akan menempel pada tumpukan itu, atau
justru akan menghancurkan keseimbangannya pada satu sisi, cukup besar untuk
membuat tumpukan pasir itu runtuh. Tergantung bagaimana butiran pasir itu
jatuh, kelongsoran tumpukan pasir itu dapat berskala kecil atau justru
menghancurkan sama sekali keseluruhan tumpukan. Ketika tumpukan itu mencapai
titik kritis, penambahan satu butir pun dapat menimbulkan dampak yang
mempengaruhi seluruh butiran pasir yang lain. Contoh yang tampaknya remeh ini
menyediakan sebuah model “edge of chaos” (tepi chaos) yang amat menawan, dengan
penerapan yang sangat luas, dari gempa bumi sampai evolusi; dari krisis bursa
saham sampai perang.
Tumpukan pasir bertambah besar, dengan butiran pasir yang
berlebih mengalir jatuh sepanjang sisinya. Ketika semua kelebihan butiran pasir
telah jatuh, tumpukan pasir yang terjadi disebut berada dalam keadaan
“self-organised” atau mengorganisir diri sendiri. Dengan kata lain, tidak
seorangpun dengan sadar menyusunnya sampai bentuk seperti itu. Mereka
“mengorganisir diri sendiri” sesuai dengan hukum-hukum internalnya sendiri,
sampai mereka mencapai satu keadaan kritis, di mana butiran-butiran pasir yang
ada di permukaan berada dalam keadaan nyaris tidak stabil. Dalam kondisi kritis
ini, penambahan butiran pasir yang sesedikit apapun akan menghasilkan kejadian
yang tak dapat diduga sebelumnya. Mungkin perubahan yang terjadi akan sangat
kecil, atau justru akan memicu satu reaksi berantai yang menghasilkan satu
kelongsoran yang menghancurkan keseluruhan tumpukan.
Menurut Per Bak, gejala ini dapat dinyatakan dalam persamaan matematika,
di mana frekuensi rata-rata dari kelongsoran dengan ukuran tertentu akan
berbanding terbalik dengan pangkat sekian dari ukurannya. Ia juga menunjukkan
bahwa perilaku “hukum pangkat” itu sangatlah umum di alam, seperti massa-kritis
plutonium, di mana reaksi berantai selalu berada di ambang ledakan nuklir. Pada
tingkatan di bawah massa kritis, reaksi berantai di dalam massa plutonium tidak
akan menimbulkan apa-apa; pada tingkatan di atas massa kritis, reaksi berantai
akan menimbulkan ledakan nuklir. Satu gejala yang mirip dapat dilihat dalam
gempa bumi, di mana batu-batu di dua sisi retakan kerak bumi selalu berada
dalam keadaan di mana mereka siap berbenturan satu sama lainnya. Retakan kerak
bumi mengalami serangkaian selip besar atau kecil, yang menjaga ketegangan pada
titik kritis selama beberapa waktu sampai ia akhirnya runtuh menjadi sebuah
gempa bumi.
Sekalipun para pendukung teori chaos kelihatannya tidak sadar
tentang hal ini, contoh-contoh di atas adalah contoh darihukum peralihan
kuantitas menjadi kualitas. Hegel menemukan satu garis node relasi-relasi
ukuran, di mana perubahan-perubahan kuantitatif kecil pada titik tertentu akan
menimbulkan satu lompatan kualitatif. Contoh yang sering diberikan adalah air,
yang mendidih pada suhu 100 derajat Celcius di bawah tekanan atmosfer normal.
Ketika suhunya semakin mendekati titik didih, peningkatan panas tidak otomatis
membuat molekul air terbang berhamburan. Sampai ia mencapai titik didih, air
mempertahankan volumenya. Ia tetap tinggal sebagai air, karena molekul-molekul
air masih saling tarik-menarik. Walau demikian, perubahan yang terus
berlangsung secara bertahap dalam suhu air menghasilkan efek peningkatan
kecepatan gerak molekul. Volume antar atom meningkat sedikit demi sedikit,
sampai titik di mana kekuatan saling tarik antar molekul tidak lagi cukup kuat
untuk mengikat molekul-molekul itu dalam satu kesatuan. Tepat pada suhu 100
derajat Celcius, peningkatan energi panas sekecil apapun akan menyebabkan
molekul-molekul air terbang berhamburan dalam bentuk uap.
Proses itu dapat
dilihat dalam kebalikannya. Ketika air didinginkan dari suhu 100 derajat
menjadi nol derajat, ia tidak mengental sedikit demi sedikit, dari bentuk
pasta, menjadi jeli lalu menjadi benda padat. Gerakan atom melambat perlahan-lahan
seiring dengan semakin turunnya tingkat energi panas sampai, pada suhu nol
derajat, satu titik kritis tercapai, di mana molekul-molekul akan saling
terkunci ke dalam satu pola tertentu, yang kita kenal sebagai es. Secara
teknis, perbedaannya adalah bahwa, di dalam benda padat, atom-atom tersusun
dalam sebuah matriks kristal. Mereka tidak memiliki posisi acak yang saling
berjauhan, sehingga posisi atom-atom pada satu sisi kristal akan ditentukan
oleh atom di sisi yang lain. Itulah mengapa kita dapat menggerakkan tangan kita
dengan bebas di dalam air, sedangkan es kaku dan sulit ditembus. Di sini kita
melihat satu perubahan kualitatif, satu perubahan keadaan, yang muncul dari
akumulasi perubahan kuantitas. Sebuah molekul air adalah sesuatu yang relatif sangat
bersahaja, satu atom oksigen yang terikat pada dua atom hidrogen yang diatur
melalui persamaan fisika atomik yang jamak. Walau demikian, ketika sejumlah
besar molekul-molekul ini digabungkan, mereka memperoleh satu sifat yang tidak
mereka miliki ketika berdiri sendiri – likuiditas, bentuk cair. Sifat seperti
ini tidak dapat dirumuskan dalam persamaan matematika. Dalam bahasa yang
kompleks, likuiditas adalah sebuah fenomena yang “timbul” (emergent phenomenon).
“Dinginkan
molekul-molekul air yang cair itu sedikit, contohnya, dan pada suhu nol derajat
mereka akan tiba-tiba berhenti saling bertumbukan secara acak. Mereka justru
akan menjalani sebuah 'fase transisi', mengunci diri mereka ke dalam matriks
kristal yang teratur, yang dikenal sebagai es. Atau jika Anda menempuh jalur
yang sebaliknya dan memanaskan air itu, maka molekul-molekul air itu akan
tiba-tiba terbang berhamburan dan menjalani transisi fase menjadi uap air.
Kedua fase transisi itu tidak memiliki makna apapun bagi satu molekul air yang
berdiri sendiri.”[8]
Istilah“transisi fase”kurang lebih bermakna lompatan kualitatif.
Proses yang serupa dapat dilihat dalam gejala yang demikian beragam seperti
cuaca, molekul DNA, dan pikiran itu sendiri. Kualitas dari likuiditas ini
sangat jamak dalam pengalaman sehari-hari kita. Juga di dalam fisika, dimana
sifat zat cair dipahami dengan sangat baik dan dapat diperkirakan dengan
ketepatan tinggi – sampai tingkat tertentu. Hukum pergerakan fluida (gas dan
cairan) jelas membedakan antara aliran laminar yang mulus, yang jelas dan dapat
diprediksi, dan aliran turbulen, yang, paling-paling, hanya dapat dinyatakan
denganpendekatan. Pergerakan air melalui sebuah dermaga di pinggir sungai dapat
diperkirakan secara akurat dari persamaan likuida normal, asalkan sungai itu
mengalir dengan kecepatan rendah. Bahkan jika kita meningkatkan kecepatan aliran
sungai, sampai tercipta pusaran dan gejolak ombak, kita masih akan tetap dapat
memprediksi perilakunya. Tapi jika kecepatan air ditingkatkan di atas satu
ambang tertentu, menjadi mustahil bagi kita untuk memprediksi di mana pusaran
akan timbul, atau bahkan, untuk memprediksi perilaku aliran itu sendiri. Aliran
itu telah menjadi chaos.
Tabel Periodik Mendeleyev
Adanya perubahan
kualitatif dalam materi telah dikenal jauh sebelum umat manusia mulai berpikir
tentang ilmu sains, tapi tidak benar-benar dipahami sebelum munculnya teori
atom. Dahulu, fisika menganggap perubahan keadaan dari padat ke cair ke gas
sebagai sesuatu yang terjadi begitu saja, tanpa tahu persisnya mengapa. Baru
sekarang fenomena-fenomena ini dapat dipahami dengan tepat.
Ilmu kimia membuat lompatan besar di abad ke-19. Sejumlah besar
unsur ditemukan. Tapi, seperti yang dialami oleh bidang fisika partikel hari
ini, pemahaman akan tata urutan unsur-unsur itu masih sangat kacau dan tidak
beraturan. Keteraturan ditegakkan oleh ilmuwan besar Rusia Dimitri Ivanovich
Mendeleyev yang, di tahun 1869, dalam kerjasama dengan ahli kimia Jerman Julius
Meyer, menciptakan tabel periodik unsur, yang dinamai demikian karena tabel itu
menunjukkan pengulangan terjadinya sifat-sifat kimia dari berbagai unsur.
Berat atom ditemukan tahun 1862 oleh Cannizarro. Tapi kejeniusan
Mendeleyev terletak pada fakta bahwa ia tidak melakukan pendekatan yang murni
kuantitatif terhadap berbagai unsur kimia itu, yaitu, ia tidak melihat
perbedaan antar atom semata dari sudut beratnya. Kalau ia melakukan itu, ia
tidak akan pernah dapat membuat terobosan seperti yang dibuatnya kemudian. Dari
sudut pandang yang murni kuantitatif, contohnya, unsur Telurium (berat atom =
127,61) harusnya ditempatkan setelah Yodium (berat atom = 126,91) dalam tabel
periodik. Tapi, Mendeleyev menempatkannya sebelum Yodium, di bawah Selenium,
yang lebih mirip sifatnya, dan menempatkan Yodium di bawah unsur yang sesuai
dengannya, Brom. Metode Mendeleyev dibenarkan di abad ke-20, ketika
penyelidikan dengan sinar-X membuktikan bahwa pengaturan yang dibuatnya tepat.
Telurium kemudian ditetapkan bernomor atom 52 dan Yodium 53.
Seluruh tabel periodik Mendeleyev didasarkan pada hukum
kuantitas dan kualitas, dengan menyimpulkan perbedaan kualitatif dari perbedaan
kuantitatif dalam berat atom. Hal ini diakui Engels pada waktu itu:
“Akhirnya, hukum
Hegelian bukan hanya sahih untuk zat-zat senyawa tapi juga untuk unsur-unsur
kimia itu sendiri. Kita kini tahu bahwa ' unsur-unsur kimia adalah fungsi
periodik dari berat atomnya', ... dan bahwa, dengan demikian, kualitasnya
ditentukan oleh kuantitas berat atomnya. Dan tulisan-tulisan tentang hal ini
telah dibuat dengan gemilang. Mendeleyev telah membuktikan bahwa berbagai
senjang ada dalam serangkaian unsur yang saling berkaitan, yang disusun menurut
berat atom, menunjukkan bahwa di sana-sini terdapat unsur-unsur yang masih
harus ditemukan. Ia menjelaskan di muka sifat-sifat kimiawi umum dari
unsur-unsur yang belum ditemukan ini, yang disebutnya eka-aluminium, karena unsur
itu mengikuti aluminium dalam barisan yang dimulai oleh unsur aluminium itu.
Iapun dapat meramalkan, melalui pendekatan, berat spesifik dan atomik dan juga
volume atomiknya. Beberapa tahun kemudian, Lecoq de Boisbaudran sungguh-sungguh
menemukan unsur-unsur ini, dan ramalan Mendeleyev tepat nyaris sepenuhnya,
dengan penyimpangan yang hanya sedikit sekali. Eka-aluminium kemudian diberi
nama Galium.... Melalui penerapan – tidak secara sadar –hukum-hukum peralihan
kuantitas ke kualitas dari Hegel, Mendeleyev membuat pencapaian yang tidak
kalah bobotnya dengan pencapaian Leverrier ketika ia menghitung orbit dari
planet Neptunus yang waktu itu belum ditemukan.”[9]
Ilmu kimia melibatkan
baik ciri kuantitatif maupun kualitatif, baik perubahan dalam derajatnya maupun
dalam keadaannya. Hal ini dapat dilihat dalam perubahan keadaan dari gas ke
cair ke padat, yang biasanya berkaitan dengan variasi suhu dan tekanan.
Dalam Anti-Dühring, Engels memberi serangkaian contoh
bagaimana, dalam ilmu kimia, penambahan kuantitatif yang sederhana atas
berbagai unsur ternyata menciptakan zat yang sama sekali berbeda. Sejak masa
Engels, sistem penamaan yang digunakan dalam ilmu kimia telah mengalami
perubahan. Walau demikian, perubahan kuantitas ke kualitas tetaplah ternyatakan
dengan akurat dalam contoh berikut ini:
“CH2O2-- asam format
titik didih 100 derajat titik lebur 1 derajat
C2H4O2 - asam asetat titik didih 118 derajat titik
lebur 17 derajat
C3H6O2 --- asam propionat titik didih 140 derajat
C4H8O2 - asam butirat titik didih 162 derajat
C5H10O2 - asam valerianat titik didih 175 derajat
Dan seterusnya C30H60O2 -- asam melissiat, yang lebur dalam suhu hanya
80 derajat dan tidak memiliki titik didih sama sekali, karena ia tidak dapat
menguap tanpa mengalami penguraian.”[10]
Studi tentang gas dan
uap merupakan satu cabang khusus dari ilmu kimia. Pelopor kimia dari Inggris,
Faraday, berpendapat bahwa mustahil untuk mencairkan enam macam gas, yang ia
sebut gas permanen - hidrogen, oksigen, nitrogen, karbon monoksida, nitrit
oksida dan metana. Tapi, di tahun 1877, ahli kimia Swiss, R. Pictet, berhasil
mencairkan oksigen pada suhu -140 derajat Celcius di bawah tekanan 500
atmosfer. Kemudian, nitrogen, oksigen dan karbon monoksida semua dapat
dicairkan dan, dalam temperatur yang lebih rendah lagi, dapat pula dipadatkan.
Di tahun 1900, hidrogen dapat dicairkan pada suhu -240 derajat. Akhirnya,
pencairan helium, yang merupakan tantangan terbesar, dapat dilakukan pada suhu
-255 derajat. Penemuan-penemuan ini memiliki penerapan praktis yang penting.
Hidrogen dan oksigen cair kini digunakan dalam jumlah besar dalam roket-roket.
Perubahan dari kuantitas ke kualitas ditunjukkan oleh fakta bahwa perubahan
suhu menghasilkan perubahan sifat. Hal ini adalah kunci bagi gejala
superkonduktivitas. Melalui super-cooling [pendinginan
ekstrem], ditemukan bahwa beberapa zat tertentu, mulai dari merkuri, tidak
memiliki hambatan terhadap arus listrik.
Studi tentang suhu yang ekstra rendah ini dikembangkan di
pertengahan abad ke-19 oleh William (kemudian dinobatkan sebagai Lord) Kelvin
dari Inggris, yang menetapkan konsep nol absolut (suhu terendah yang mungkin
tercapai), yang menurut perhitungannya adalah -273 derajat. Pada suhu ini,
menurutnya, energi molekul turun ke tingkat nol. Suhu ini kadangkala dirujuk
sebagai nol derajat Kelvin (K), dan digunakan sebagai basis skala untuk
mengukur suhu-suhu yang amat rendah. Walau demikian, bahkan pada titik nol mutlak,
gerak tidak hilang sama sekali. Masih terdapat sisa energi yang tidak akan
pernah dapat disingkirkan. Untuk keperluan praktis, dikatakan bahwa energi sama
dengan nol, tapi bukan seperti itu keadaan sebenarnya. Materi dan gerak,
seperti yang ditunjukkan Engels, tidak akan pernah terpisah – bahkan pada titik
“nol mutlak”.
Saat ini, suhu-suhu yang amat rendah dicapai secara rutin, dan
memainkan peran penting dalam pembuatan superkonduktor. Merkuri menjadi
superkonduktif tepat pada suhu 4,12 K; timbal pada suhu 7,22 K; timah pada 3,73
K; aluminium pada 1,20 K; uranium pada 0,8 K; titanium pada 0,53 K. Sekitar
1400 unsur dan senyawa menunjukkan kualitas ini. Hidrogen cair mendidih pada
suhu 20,4 K. Helium adalah satu-satunya zat yang tidak dapat dibekukan, bahkan
pada titik nol mutlak. Zat itu adalah satu-satunya zat yang mengandung gejala
yang dikenal sebagai superfluiditas. Di sini, juga, perubahan suhu menghasilkan
lompatan kualitatif. Pada suhu 2,2 K, sifat helium mengalami perubahan
fundamental, yang dikenal sebagai helium-2, untuk membedakannya dari helium
cair yang berada pada suhu di atas temperatur tersebut (helium-1). Dengan
menggunakan teknik-teknik baru, suhu serendah 0,000001 K telah dapat dicapai,
sekalipun kelihatannya suhu nol mutlak tidak akan pernah dapat dicapai.
Sejauh ini, kita telah berkonsentrasi pada perubahan-perubahan
kimia yang terjadi di laboratorium dan di dalam industri. Tapi tidak boleh pula
dilupakan bahwa perubahan-perubahan ini terjadi dalam skala yang jauh lebih
besar di alam ini. Komposisi kimia dari batubara dan intan adalah sama –yakni
karbon. Perbedaan yang terjadi adalah hasil dari tekanan raksasa yang, pada
satu titik, mengubah segumpal batubara menjadi bahan kalung para putri
bangsawan. Untuk mengubah grafit, yang jamak, menjadi intan yang jarang dan
mahal itu dibutuhkan tekanan sekurangnya 10.000 atmosfer dalam waktu yang luar
biasa lama. Proses ini terjadi secara alami di bawah permukaan bumi. Di tahun
1955, perusahaan monopoli besar GEC berhasil mengubah grafit menjadi intan
dengan suhu 2.500 C, dan tekanan sebesar 100.000 atmosfer. Hasil yang sama
dicapai tahun 1962, dengan suhu 5.000 C dan tekanan 200.000 atmosfer, yang
langsung mengubah grafit menjadi intan, tanpa memerlukan bantuan katalis. Ini
adalah intan sintetis, yang tidak digunakan untuk menghiasi leher para putri
bangsawan, tapi untuk keperluan yang jauh lebih produktif – sebagai alat
pemotong untuk keperluan industri.
Transisi Fase
Salah satu bidang penelitian yang paling penting berurusan
dengan apa yang dikenal sebagai transisi fase– titik kritis di mana materi
berubah dari padat ke cair atau dari cair ke uap; atau berubah dari
non-magnetis ke magnetis; atau dari konduktor ke superkonduktor. Semua proses
ini berbeda, tapi kini telah ditetapkan tanpa keraguan lagi bahwa mereka semua
mirip, demikian miripnya sehingga matematika yang diterapkan untuk salah satu
percobaan itu dapat pula diterapkan pada percobaan yang lain. Ini adalah contoh
yang sangat jelas dari lompatan kualitatif, seperti yang ditunjukkan oleh
kutipan dari James Gleick berikut ini:
“Sama seperti halnya
chaos itu sendiri, transisi fase melibatkan sejenis perilaku makroskopik yang
nampaknya sulit diramalkan hanya dengan melihat rincian mikroskopiknya. Ketika
satu benda padat dipanaskan, molekul-molekulnya bergetar dengan energi yang
bertambah. Mereka mendesak ke luar melawan ikatan di antara mereka dan memaksa
zat itu untuk memuai. Semakin banyakenergipanas, semakin besar pemuaian. Walau
demikian, pada suhu dan tekanan tertentu, perubahan menjadi mendadak dan
terpatah-patah. Seuntai tali yang sedang meregang menjadi putus. Bentuk-bentuk
kristalin melebur, dan molekul-molekul melepaskan diri satu sama lain. Mereka
mematuhi hukum fluida yang sama sekali tidak ada kesamaannya dengan hukum-hukum
benda padat. Energi atomik rata-rata hampir tidak berubah, tapi zat itu – yang
kini menjadi cair, atau menjadi magnetis, atau menjadi superkonduktor – telah
memasuki dunia yang sama sekali baru.”[11]
Dinamika Newton sangat cukup untuk menjelaskan fenomena-fenomena
yang terjadi pada skala besar, tapi gagal ketika kita memasuki dimensi atomik.
Sesungguhnya, mekanika klasik masih tetap valid untuk kebanyakan operasi yang
tidak melibatkan kecepatan yang luar biasa tinggi atau proses yang terjadi di
tingkatan sub-atomik. Mekanika kuantum akan kita bahas pada bagian yang lain.
Tapi, mekanika baru ini menunjukkan satu lompatan kualitatif dalam ilmu
pengetahuan. Hubungannya dengan mekanika klasik sangat mirip dengan hubungan
antara matematika tinggi dan rendah dan antara dialektika dan logika formal.
Mekanika baru ini dapat menjelaskan fakta yang tidak dapat dijelaskan oleh
mekanika klasik, seperti transformasi radioaktif, pengubahan materi menjadi
energi. Ia membangkitkan satu cabang baru ilmu pengetahuan – kimia teoritik,
yang sanggup menyelesaikan problem-problem yang semula tak terbayang
penyelesaiannya. Teori magnetisme logam mengalami perubahan mendasar,
memungkinkan berbagai penemuan tentang aliran listrik melalui logam.
Serangkaian besar kesulitan teoritis telah disingkirkan, seketika setelah sudut
pandang yang baru ini diterima. Tapi, untuk waktu yang lama, mekanika kuantum
yang baru ini terbentur oleh penolakan yang keras kepada karena apa yang
dihasilkannya berlawanan sama sekali dengan apa yang dihasilkan oleh cara
berpikir tradisional dan hukum-hukum logika formal.
Fisika modern menyediakan segudang contoh tentang hukum-hukum
dialektika, mulai dari persoalan kuantitas dan kualitas. Ambillah, misalnya,
hubungan antara berbagai jenis gelombang elektromagnetik dan frekuensi mereka,
yaitu, kecepatan bergetarnya. Karya Maxwell, yang sangat menarik perhatian
Engels, menunjukkan bahwa gelombang elektromagnetik dan cahaya adalah dua hal
yang sama. Mekanika kuantum kemudian menunjukkan bahwa situasinya jauh lebih
kompleks dan kontradiktif, tapi, untuk frekuensi yang rendah, teori gelombang itu
masih dapat diterapkan.
Sifat-sifat berbagai jenis gelombang ditentukan oleh jumlah
getaran per detiknya. Perbedaannya terletak pada frekuensi gelombang, kecepatan
getarannya, jumlah getaran per detiknya. Artinya, perubahan kuantitatif
membangkitkan berbagai jenis sinyal gelombang yang berbeda. Jika kita
terjemahkan ini dalam bahasa warna, merah menunjukkan gelombang cahaya dengan
frekuensi rendah. Satu peningkatan dalam kecepatan getaran mengubah warna itu
menjadi oranye-kuning, lalu menjadi ungu, lalu menjadi ultraviolet yang tak
kasat mata dan sinar-X dan terakhir menjadi sinar-gamma. Jika kita membalikkan
proses itu, di kutub yang paling rendah kita mendapati infra-merah dan sinar
cahaya lalu gelombang radio. Dengan demikian, gejala yang sama mengambil wujud
yang berbeda-beda, tergantung dari tinggi-rendahnya frekuensi. Kuantitas
berubah menjadi kualitas.
Spektrum Elektromagnetik
Frekuensi
(dalam getaran per detik)
|
Nama
|
Perilaku rata-rata
|
102
|
Gangguan listrik
|
Medan
|
5 x 105 - 106
|
Gelombang radio
|
|
108
|
FM - TV
|
Gelombang
|
1010
|
Radar
|
|
5 x 1014 - 1015
|
Cahaya
|
|
1018
|
Sinar-X
|
|
1021
|
Sinar-gamma, nuklir
|
Partikel
|
1024
|
Sinar-gamma, “artifisial”
|
|
1027
|
Sinar-gamma, dalam sinar kosmis
|
Sumber: R. P. Feynman. Lectures on Physics, bab 2, hal. 7, Tabel
2-1
Organik dan Anorganik
Hukum kuantitas dan kualitas juga menjelaskan salah satu aspek
yang paling kontroversial dalam fisika modern, apa yang dikenal sebagai
“prinsip ketidakpastian”, yang akan kita telaah dengan lebih rinci di bagian
berikutnya. Walaupun mustahil bagi kita untuk mengetahui persis posisi dan
kecepatan sebuah partikel sub-atomik, tetaplah mungkin bagi kita untuk
memprediksi dengan akurasi tinggi perilaku dari sejumlah besar
partikel-partikel itu. Satu contoh: atom radioaktif meluruh pada satu tingkat
yang dapat ditetapkan secara statistik sehingga ia digunakan oleh para ilmuwan
sebagai “jam” alami untuk menghitung usia bumi, matahari dan bintang-bintang.
Fakta bahwa hukum-hukum yang mengatur perilaku partikel sub-atomik berbeda
dengan hukum-hukum yang mengatur fungsinya pada tingkatan “normal” persis
menunjukkan satu contoh peralihan dari kuantitas menjadi kualitas. Titik persis
di mana hukum gejala skala-kecil berhenti berfungsi ditetapkan oleh kuantum
aksi yang diterangkan oleh Max Planck di tahun 1900.
Pada titik tertentu, rantai peristiwa menyebabkan satu lompatan
kualitatif di mana materi yang anorganik membangkitkan satu materi yang
organik. Perbedaan antara materi organik dan anorganik hanyalah relatif. Ilmu
pengetahuan modern sedang menyelidiki bagaimana yang organik itu dapat lahir
dari yang anorganik. Hidup itu sendiri terdiri dari atom-atom yang terorganisir
dalam cara yang khusus. Kita semua adalah kumpulan atom, tapi bukan “sekedar”
kumpulan atom. Dalam satu penataan yang luar biasa kompleks atas gen-gen kita,
kita memiliki kemungkinan yang tak terbatas. Tugas untuk memungkinkan setiap
individu untuk mengembangkan tiap kemungkinan ini ke tingkat yang tertinggi
adalah tugas yangada di pundak sosialisme.
Para ahli biologi
molekuler kini tahu urutan lengkap dari DNA sebuah organisme, tapi tidak dapat
mendeduksi dari susunan itu bagaimana organisme menyusun dirinya selama
pertumbuhannya. Seperti pengetahuan tentang struktur H2O tidaklah memberikan satu pengetahuan tentang
timbulnya likuiditas. Satu analisis tentang susunan kimiawi dan sel dari tubuh
tidaklah otomatis menyusun satu rumus tentang hidup. Hal yang sama berlaku pula
untuk nalar itu sendiri. Para ahli syaraf telah memiliki setumpuk data tentang
apa yang dilakukan oleh otak. Otak manusia terdiri dari sepuluh miliar neuron,
dan setiap neuron memiliki rata-rata seribu hubungan dengan neuron tetangganya.
Komputer tercepat dapat melakukan sekitar satu miliar operasi dalam satu detik.
Otak seekor lalat yang menclok di tembok melakukan sekitar 100 miliar operasi
dalam kurun waktu yang sama. Perbandingan ini memberi gambaran perbedaan yang
sangat besar antara otak manusia dengan komputer yang paling maju sekalipun.
Kompleksitas yang
luar biasa dari otak manusia adalah salah satu alasan mengapa kaum idealis
telah mencoba mengepung fenomena nalar dengan aura mistis. Pengetahuan tentang
rincian setiap neuron, akson dan sinapsis tidaklah cukup untuk menjelaskan
fenomena nalar dan emosi. Walau demikian, tidak ada sesuatu pun yang mistis
tentang hal ini. Dalam bahasa kompleksitas teori, baik nalar maupun hidup
adalah “fenomena yang muncul”(emergent phenomena).
Dalam bahasa dialektik, lompatan dari kuantitas menjadi kualitas berarti bahwa
yang keseluruhan memiliki kualitas-kualitas yang tidak dapat dideduksi dari
yang sebagian, atau yang keseluruhan tidak dapat direduksi atas
bagian-bagiannya semata. Satu neuron yang sendirian tidak memiliki kesadaran.
Tapi, jumlah total, keseluruhan neuron dan hubungan-hubungan antar mereka
memiliki kesadaran. Jaringan syaraf adalah satu sistem yang dinamis dan
non-linear. Aktivitas kompleks dan interaksi antar neuron-lah yang menghasilkan
fenomena yang kita sebut kesadaran.
Hal yang serupa dapat dilihat dalam sejumlah besar sistem
multi-komponen dalam berbagai bidang. Studi tentang koloni semut di Universitas
Bath telah menunjukkan bagaimana perilaku yang tidak terlihat pada semut yang
sendirian muncul dalam sebuah koloni. Seekor semut, yang dibiarkan sendirian,
akan mengembara secara acak, mencari makan dan beristirahat dengan interval
yang tidak teratur. Walau demikian, ketika pengamatan dipindahkan pada
keseluruhan koloni semut, jelaslah bahwa mereka menjadi aktif dalam interval
yang sangat teratur. Diperkirakan bahwa hal ini memaksimalkan keefektifan kerja
mereka: jika mereka semua bekerja bersama-sama, kecil kemungkinannya seekor
semut mengulangi tugas yang telah dikerjakan oleh semut yang lain. Tingkat
koordinasi di tingkatan koloni semut demikian tinggi sehingga beberapa orang
berpendapat bahwa koloni semut adalah seekor hewan, bukan sebuah koloni.
Pendapat ini juga merupakan penyajian mistis dari sebuah fenomena yang hadir
dalam berbagai tingkatan di alam dan pada hewan dan masyarakat manusia, dan yang
hanya dapat dipahami lewat hubungan dialektik antara yang sebagian dan yang
keseluruhan.
Kita dapat melihat
hukum peralihan dari kuantitas menjadi kualitas bekerja ketika kita berpikir
tentang evolusi dari sebuah spesies. Dalam istilah biologis satu “ras” atau
“keturunan” hewan tertentu didefinisikan melalui kemampuan mereka untuk
melakukan pembuahan di antara mereka sendiri. Tapi sejalan dengan semakin
jauhnya modifikasi evolusi, kemampuan inipun menghilang. Pada titik ini sebuah
spesies baru telah terbentuk. Ahli paleontologi Stephen Jay Gould dan Niles
Eldredge telah menunjukkan bahwa proses ini kadangkala lambat dan bertele-tele
dan kadangkala berlangsung dengan kecepatan tinggi. Ini menunjukkan bahwa
akumulasi bertahap dari perubahan-perubahan kecil memprovokasi perubahan
kualitatif pada titik tertentu. “Keseimbangan yang terputus-putus” (punctuated equilibria) adalah istilah yang digunakan
oleh para ahli biologi untuk menggambarkan periode panjang stabilitas, yang
disela oleh perubahan yang berlangsung mendadak. Ketika ide ini diajukan oleh
Gould dan Eldredge dari American Museum to Natural
History di tahun 1972, ide itu memprovokasi satu perdebatan
yang keras di antara para ahli biologi, yang sampai saat itu masih menganggap
bahwa Darwinisme adalah sinonim dari gradualisme.
Untuk waktu yang lama, orang berpikir bahwa evolusi tidak
melibatkan perubahan drastis semacam itu. Evolusi digambarkan sebagai perubahan
yang perlahan dan gradual. Walau demikian, bukti-bukti dari fosil, sekalipun
belum lengkap, memberi gambaran yang sangat berbeda, dengan periode panjang
evolusi gradual yang disela oleh pergolakan besar, diiringi dengan kepunahan
massa dari sejumlah spesies dan kemunculan spesies-spesies yang lain. Walau
mungkin dinosaurus benar punah sebagai konsekuensi dari benturan meteorit
dengan bumi, sangatlah mungkin bahwa kebanyakan kepunahan besar lain disebabkan
oleh proses pergolakan semacam ini. Sekalipun gejala eksternal, termasuk
benturan dengan meteorit atau komet, dapat memainkan peran sebagai “kecelakaan”
dalam proses evolusi, kita tetap harus mencari satu penjelasan tentang evolusi
sebagai hasil dari hukum-hukum internalnya. Teori “keseimbangan terputus”, yang
kini didukung oleh kebanyakan ahli paleontologi, merupakan satu lompatan besar
dari interpretasi lama Darwinisme yang gradualis, dan menyajikan gambaran
evolusi yang benar-benar dialektik, di mana periode statis yang panjang
diselingi oleh lompatan-lompatan mendadak dan perubahan katastropik dalam
segala bentuknya.
Contoh yang dapat diberikan tak terhingga jumlahnya, mencakup
bidang yang luar biasa luas. Apa mungkin kita bisa terus meragukan kebenaran
hukum yang sangat penting ini? Apakah dibenarkan jika kita terus mengabaikannya
dan menepisnya sebagai sekedar satu penemuan subjektif yang diterapkan secara
acak pada gejala-gejala yang tak berhubungan satu dengan lainnya? Kita melihat
bahwa di dalam fisika, studi tentang transisi fase telah membawa kita pada
kesimpulan bahwa perubahan-perubahan yang nampaknya tidak saling berhubungan –
mendidihnya cairan dan berubahnya logam menjadi magnet – semua mematuhi
hukum-hukum yang sama. Hanya persoalan waktu sebelum hubungan-hubungan serupa
ditetapkan, yang akan menyingkirkan semua keraguan bahwa hukum peralihan
kuantitas menjadi kualitas adalah sungguh salah satu hukum alam yang paling
mendasar.
Yang Keseluruhan dan Yang
Sebagian
Menurut logika formal, yang keseluruhan pastilah sama dengan
hasil penjumlahan bagian-bagiannya. Tapi jika kita meneliti lebih dekat, hal
ini tidaklah selalu benar. Dalam kasus organisme, jelas bukan begitu halnya.
Seekor kelinci yang dibedah di laboratorium bukan lagi seekor kelinci. Fakta
ini telah dipahami oleh para penganjur teori chaos dan kompleksitas. Walaupun
fisika klasik, dengan sistemnya yang linear, menerima bahwa yang keseluruhan
adalah persis sama dengan jumlah bagian-bagiannya, logika kompleksitas yang
non-linear memegang teguh pandangan yang berlawanan, yang bersesuaian
sepenuhnya dengan dialektika:
“Yang keseluruhan
hampir selalu berjumlah jauh lebih besar dari jumlah bagian-bagiannya,” ujar
Waldrop. “dan pernyataan matematis dari sifat ini - jika sistem itu dapat
dinyatakan secara matematis – adalah persamaan yang non-linear: persamaan yang
grafiknya melengkung.”[12]
Kita telah mengutip
contoh-contoh perubahan kualitatif dalam ilmu kimia yang digunakan oleh Engels
dalam Anti-Dühring. Walau contoh-contoh ini tetaplah sahih,
kita tidak boleh menganggap contoh-contoh itu hanya sampai di situ saja.
Engels, tentu saja, terbatasi oleh pengetahuan ilmiah di jamannya. Kini kita
boleh melangkah lebih jauh lagi. Teori kimia atomik klasik mengatakan bahwa
penggabungan atom-atom menjadi kesatuan yang lebih besar hanya akan
menghasilkan agregat dari atom-atom itu, yakni, dalam hubungan yang murni
kuantitatif. Penggabungan dari atom-atom menjadi molekul dilihat sebagai
penggandengan yang sederhana. Rumus kimia seperti H2O,
H2SO4, dan lain-lain
mengandaikan bahwa tiap atom pada dasarnya tidak berubah ketika mereka memasuki
penggabungan baru dengan atom lain.
Hal ini persis
mencerminkan cara berpikir logika formal, yang menyatakan bahwa yang
keseluruhan hanyalah hasil penjumlahan bagian-bagiannya. Dengan demikian,
karena berat molekuler sama dengan jumlah dari atom-atom penyusunnya,
dianggaplah bahwa atom-atom itu sendiri tidak mengalami perubahan, setelah
mereka memasuki satu hubungan baru yang murni kuantitatif. Walau demikian,
banyak sifat dari senyawa ini tidaklah dapat ditentukan dengan cara itu.
Sesungguhnya, kebanyakan sifat senyawa sangat berbeda dari sifat unsur-unsur
penyusunnya. Apa yang disebut “prinsip juxta posisi” (principle of juxtaposition) tidaklah dapat menerangkan
perubahan ini. Cara berpikir ini hanya melihat satu sisi saja, tidak memadai,
dengan kata lain, keliru.
Teori atom modern telah menunjukkan kekeliruan ide ini. Walaupun
masih menerima bahwa struktur yang kompleks harus dijelaskan sebagai agregat
dari faktor-faktor yang lebih elementer, teori atom modern telah menunjukkan
bahwa hubungan antar unsur bukanlah sesuatu yang tak berarti dan kuantitatif,
melainkan dinamis dan dialektis. Partikel-partikel elementer yang menyusun atom
terus berinteraksi, saling bertukar dari satu atom ke atom yang lain. Mereka
bukanlah konstanta yang tetap tapi setiap saat sekaligus merupakan diri mereka
sendiri dan sesuatu yang lain sama sekali. Hubungan dinamik inilah yang
menimbulkan sifat-sifat, ciri, dan identitas tertentu pada molekul senyawa yang
dihasilkan, yang berbeda sama sekali dengan sifat, ciri dan identitas atom-atom
penyusunnya.
Dalam kombinasi baru ini, atom-atom adalah sekaligus diri mereka
sendiri dan bukan diri mereka sendiri. Mereka berkombinasi dalam cara yang
dinamik untuk menghasilkan satu entitas yang sama sekali berbeda, satu hubungan
yang berbeda, yang, pada gilirannya, menentukan perilaku dari bagian-bagian
penyusunnya. Dengan demikian, kita tidak hanya berurusan dengan “juxta posisi”
yang mati dan sebuah agregat yang mekanik, tapi dengan sebuah proses. Untuk
memahami sifat dari entitas sangatlah tidak cukup jika kita mereduksinya
menjadi atom-atom penyusunnya. Sangatlah perlu untuk memahami
kesalingterhubungan dinamiknya, yaitu, sampai pada analisis yang dialektik,
bukan formal.
David Bohm adalah salah satu dari sedikit orang yang menyediakan
satu alternatif teoritik terhadap apa yang dikenal sebagai “interpretasi
Copenhagen” yang subjektivis terhadap mekanika kuantum. Analisis Bohm, yang
jelas dipengaruhi oleh metode dialektika, menganjurkan pemikiran ulang terhadap
mekanika kuantum dan satu cara baru untuk melihat hubungan antara yang sebagian
dan yang keseluruhan. Ia menunjukkan bahwa interpretasi umum terhadap teori
kuantum tidaklah cukup untuk memaparkan betapa luasnya revolusi yang telah
dipicu oleh fisika modern.
“Sesungguhnya,” ujar
Bohm, “ketika interpretasi ini diperluas pada teori medan, bukan hanya
kesalingterhubungan antar bagian, tapi justru keberadaan mereka sendiri akan dilihat
mengalir keluar dari hukum itu sendiri. Dengan demikian tidak sesuatu pun
tersisa bagi teori klasik, di mana yang keseluruhan diturunkan dari
bagian-bagian yang telah lebih dulu ada, yang tersusun dengan cara yang telah
ditetapkan di muka. Sebaliknya, apa yang kita lihat di sini mengingatkan kita
akan hubungan antara yang keseluruhan dengan yang sebagian di antara organisme,
di mana tiap organ tubuh bertumbuh dan menghidupi dirinya sendiri dengan cara
yang sangat tergantung pada susunan secara keseluruhan.”[13]
Satu molekul gula dapat dipecah menjadi unsur-unsur atom
penyusunnya tapi kemudian ia tidak lagi menjadi gula. Satu molekul tidak dapat
direduksi menjadi unsur penyusunnya tanpa kehilangan identitasnya. Persis
inilah masalah ketika kita mencoba menangani gejala yang kompleks dari sudut
pandang yang murni kuantitatif. Penyederhanaan berlebihan yang diakibatkannya
akan membimbing kita pada gambaran yang cacat dan sepihak karena aspek
kualitatif-nya ditinggalkan. Hanya melalui kualitas kita dimungkinkan
membedakan satu hal dari hal lainnya. Kualitas menjadi dasar dari segala pengetahuan
kita tentang dunia karena ia menyatakan realitas fundamental dari segala hal,
memperlihatkan batasan kritis yang hadir dalam segala tingkatan realitas
material. Titik persis di mana perubahan kecil yang berlangsung bertahap
menimbulkan perubahan keadaan adalah salah satu masalah paling mendasar dari
sains. Inilah satu pertanyaan yang menempati posisi sentral dalam Materialisme
Dialektik.
Organisme Kompleks
Hidup itu sendiri lahir dari satu lompatan kualitatif dari
materi anorganik menjadi materi organik. Penjelasan tentang proses munculnya
kehidupan adalah salah satu masalah yang paling penting dan menggairahkan bagi
sains saat ini. Kemajuan ilmu kimia, yang menelaah secara rinci struktur
molekul kompleks, meramalkan perilaku mereka dengan akurasi yang tinggi dan
mengidentifikasi peran dari tiap molekul dalam satu sistem yang hidup, telah
merintis jalan bagi munculnya ilmu-ilmu baru, biokimia dan biofisika. Biokimia
menyelidiki reaksi-reaksi kimia yang terjadi dalam organisme hidup, dan
biofisika menyelidiki gejala-gejala fisika yang terdapat dalam proses
kehidupan. Keduanya, pada gilirannya, telah digabungkan menjadi biologi
molekular, yang telah melahirkan sejumlah kemajuan yang paling menakjubkan
dalam tahun-tahun terakhir.
Dengan cara ini, tembok pemisah yang dulu dibangun antara materi
anorganik dengan organik telah diruntuhkan sama sekali. Para ahli kimia pertama
menarik satu tembok pemisah yang kaku antara keduanya. Secara bertahap,
dipahami bahwa hukum-hukum kimiawi yang sama berlaku pada molekul-molekul
anorganik dan organik sekaligus. Semua senyawa yang mengandung karbon (dengan
beberapa pengecualian pada senyawa-senyawa sederhana seperti karbon dioksida)
dikelompokkan sebagai senyawa organik. Sisanya adalah anorganik. Hanya atom
karbon yang sanggup membentuk rantai-rantai panjang, yang memungkinkan lahirnya
kemungkinan variasi molekul kompleks yang tak terbatas.
Di abad ke-19, para ahli kimia menelaah sifat-sifat dari zat-zat
“albuminus” (dari bahasa Latin yang berarti putih telur). Dari sini, ditemukan
bahwa kehidupan bergantung pada protein, molekul besar yang tersusun dari asam
amino. Pada awal abad ke-20, ketika Planck sedang membuat terobosannya dalam
bidang fisika, Emil Fischer mencoba menggabungkan berbagai asam amino dalam
rantai yang sedemikian rupa sehingga grup karboksilat dari satu asam amino akan
selalu terikat dengan kelompok asam amino yang ada di sampingnya. Fischer
menyebut rantai ini sebagai peptida, dari bahasa Yunani “mencerna”, karena ia
berpikir bahwa protein-protein akan terurai menjadi rantai-rantai semacam itu
dalam proses pencernaan makanan. Teori ini akhirnya dibuktikan kebenarannya
oleh Max Bergmann di tahun 1932.
Rantai-rantai ini
masih terlampau sederhana untuk menghasilkan rantai polipeptida kompleks yang
diperlukan untuk menciptakan protein. Di samping itu, tugas untuk mengurai
struktur molekul protein itu sendiri adalah tugas yang amat sulit. Sifat dari
tiap protein tergantung dari hubungan khususnya terhadap tiap-tiap asam amino
dalam rantai molekular. Di sini, lagi-lagi, kuantitas menentukan kualitas. Hal
ini menyajikan satu masalah yang dulu nampaknya tidak akan pernah dapat
dipecahkan oleh para ahli biokimia, karena jumlah susunan yang mungkin dari
kesembilan belas asam amino yang dapat muncul dalam satu rantai berjumlah
sekitar 120 juta miliar. Satu protein berukuran serum albumin, yang tersusun
dari lebih 500 asam amino, dengan demikian, memiliki jumlah kemungkinan susunan
sekitar 10600, yaitu bilangan 1 diikuti 600 bilangan nol di
belakangnya. Susunan lengkap dari salah satu molekul protein kunci – insulin –
ditemukan pertama kali oleh seorang ahli biokimia Inggris Frederick Sanger di
tahun 1953. Dengan menggunakan metode yang sama, ilmuwan lain berhasil
menguraikan struktur dari serangkaian besar molekul protein. Kemudian, mereka
berhasil mensintesis protein di laboratorium. Kini dimungkinkan untuk
mensintesis banyak jenis protein, termasuk yang sangat kompleks seperti hormon
pertumbuhan manusia, yang melibatkan satu rantai yang terdiri dari 188 asam
amino.
Hidup adalah satu sistem interaksi yang kompleks, yang
melibatkan reaksi-reaksi kimia dalam jumlah yang teramat besar, yang
berlangsung terus-menerus dalam kecepatan tinggi. Tiap reaksi dalam jantung,
darah, sistem syaraf, tulang dan otak berinteraksi dengan bagian-bagian lain
dari tubuh. Kerja-kerja yang dilakukan oleh tubuh makhluk hidup yang paling
sederhana jauh lebih rumit dari apa yang dilakukan oleh komputer yang paling
canggih sekalipun. Semua ini memungkinkan makhluk itu melakukan gerakan yang
cepat, reaksi kilat terhadap perubahan sekecil apapun dalam lingkungan
hidupnya, penyesuaian terus-menerus terhadap perubahan kondisi, baik internal
maupun eksternal. Di sini, secara empatik, yang keseluruhan jauh melebihi
jumlah dari bagian-bagiannya. Tiap bagian tubuh, tiap reaksi otot dan syaraf,
saling tergantung satu sama lain. Di sini kita melihat satu-satunya
kesalingterhubungan yang dinamis dan kompleks, dengan kata lain: dialektik,
yang memungkinkan penciptaan dan pemeliharaan satu fenomena yang kita kenal
sebagai kehidupan.
Proses metabolisme berarti bahwa, setiap saat, organisme yang
hidup selalu berubah, mengambil oksigen, air dan makanan (karbohidrat, protein,
lemak, mineral dan lain-lain bahan baku), menegasi bahan-bahan ini dengan
mengubah mereka menjadi materi-materi yang diperlukan untuk memelihara yang
mengembangkan kehidupan dan membuang sisa yang tak berguna dari proses
tersebut. Hubungan dialektik antara yang keseluruhan dan yang sebagian
mewujudkan dirinya pada berbagai tingkat kompleksitas di alam, tercermin dalam
berbagai cabang ilmu pengetahuan:
1.
a) Interaksi atomik
dan hukum-hukum kimia menentukan hukum-hukum biokimia, tapi kehidupan itu
sendiri berbeda dengan hukum-hukum itu secara kualitatif.
2.
b) Hukum-hukum
biokimia “menjelaskan” segala proses interaksi manusia dengan lingkungannya.
Meski demikian, aktivitas dan pikiran manusia berbeda secara kualitatif dari
proses-proses biologis yang menyusunnya.
3.
c) Tiap pribadi
manusia, pada gilirannya, adalah satu hasil dari perkembangan lingkungan
fisiknya. Meski demikian, interaksi kompleks dari keseluruhan pribadi atau
individu yang menyusun satu masyarakat juga berbeda secara kualitatif dengan
masing-masing pribadi. Pada setiap kasus, yang keseluruhan jauh melebihi jumlah
dari bagian-bagian penyusunnya, dan mematuhi hukum-hukum yang sama sekali
berbeda.
Pada analisis terakhir, seluruh keberadaan dan aktivitas manusia
didasarkan pada hukum-hukum pergerakan atom. Kita semua adalah bagian dari alam
semesta yang material, yang merupakan satu kesatuan yang kontinu, yang
berfungsi seturut hukum-hukum internalnya. Sekalipun demikian, ketika kita
berjalan dari(a) menuju (c), kita membuat satu rangkaian lompatan kualitatif,
dan harus bekerja seturut hukum-hukum yang berbeda untuk tiap “tingkatan”-nya;
c) didasarkan pada b) dan b) didasarkan pada a), tapi tidak seorangpun yang
waras akan mencoba menjelaskan pergerakan yang kompleks dalam masyarakat
manusia melalui hukum-hukum atomik. Untuk alasan yang sama, sia-sialah kita
mencoba mereduksi persoalan kriminalitas menjadi sekedar persoalan genetika
atau asal-usul keturunan.
Satu angkatan bersenjata bukan sekedar jumlah total dari serdadu
di dalamnya. Tiap aksi yang menggabungkan persenjataan secara masif, yang
terorganisir secara militer, mengubah tiap sedadu baik secara fisik maupun
moral. Selama kesatuan angkatan bersenjata terpelihara, ia akan tetap menjadi
kekuatan yang mengerikan. Ini bukan semata persoalan jumlah. Napoleon sangat
menyadari pentingnya moral dan semangat juang dalam perang. Sebagai bagian dari
kekuatan bersenjata yang besar dan berdisiplin, seorang serdadu sanggup
menjalankan tindakan-tindakan heroik di medan laga, dan mengorbankan dirinya
dalam situasi yang sangat ekstrem, yang tidak akan pernah dapat dilakukannya
dalam kondisi normal sebagai seorang pribadi manusia. Tapi ia akan tetap
menjadi seorang pribadi yang sama seperti sebelumnya. Ketika kesatuan dalam
angkatan perang itu runtuh, seluruh angkatan perang itu akan luruh menjadi
“atom-atom” individual, dan angkatan perang itu berubah menjadi gerombolan yang
terdemoralisasi.
Engels sangat
tertarik pada taktik-taktik militer, karena itu putri-putri Marx menjulukinya
“sang Jenderal”. Ia mengikuti terus jalannya Perang Sipil Amerika dan Perang
Krimea, ia menulis banyak artikel tentang perang-perang itu. Dalam Anti-Dühring, ia menunjukkan bagaimana hukum kuantitas
dan kualitas terkait dengan taktik militer, contohnya, dalam kemampuan tempur
relatif dari serdadu-serdadu Napoleon yang berdisiplin tinggi dan kavaleri
Mesir yang disebut Mameluke:
“Sebagai kesimpulan, kita akan memanggil satu lagi saksi untuk
peralihan kuantitas menjadi kualitas, yaitu Napoleon. Ia menggambarkan
pertempuran antara kavaleri Prancis, yang terdiri dari penunggang-penunggang
yang tidak mahir tapi berdisiplin, dan pasukan Mameluke, yang merupakan pasukan
berkuda terbaik dalam pertempuran pada masanya tapi sangat tidak berdisiplin,
sebagai berikut:
“'Dua Mameluke
pastilah bukan merupakan tandingan bagi tiga serdadu kavaleri Prancis; 100
Mameluke setara dengan 100 kavaleri Prancis; 300 kavaleri Prancis biasanya
dapat memukul mundur 300 Mameluke, dan 1.000 kavaleri Prancis pasti dapat
menghancurkan 1.500 Mameluke.' Seperti apa yang dikatakan oleh Marx, satu
jumlah minimum tertentu, sekalipun bervariasi, dari nilai-tukar diperlukan
untuk memungkinkan pengubahannya menjadi kapital. Demikian pula dengan
Napoleon. Satu detasemen kavaleri harus memiliki jumlah minimum tertentu agar
dapat mengerahkan kekuatan kedisiplinan, yang terwujud dalam perintah-perintah
yang ketat dan penggunaan yang terencana, untuk menjadikan dirinya dan bahkan
mengangkat dirinya menjadi superior di hadapan pasukan kavaleri yang tidak
teratur, sekalipun musuhnya memiliki kuda-kuda yang lebih bermutu, jauh lebih
terampil berkuda dan bertempur, dan setidaknya sama beraninya.”[14]
Proses Molekular dari Revolusi
Reaksi kimia melibatkan sebuah proses di mana ada sebuahhambatan
yang harus dilampaui, yakni yang dikenal sebagai keadaan transisi. Pada titik
ini, sebelum reaktan-reaktan (unsur-unsur yang terlibat dalam reaksi) menjadi
produk, mereka semua berada dalam keadaan “bukan ini dan bukan itu”. Beberapa
dari ikatan-ikatan atom telah tercerai dan beberapa ikatan yang lain sedang
terbentuk. Energi yang dibutuhkan untuk melewati titik kritis ini dikenal
sebagai energi Gibbs. Sebelum satu molekul dapat bereaksi, ia membutuhkan satu
kuantitas energi yang, pada titik tertentu, akan membawanya masuk dalam keadaan
transisi. Pada suhu normal, hanya sejumlah kecil molekul reaktan yang memiliki
energi yang cukup untuk bereaksi. Pada suhu yang lebih tinggi, akan ada lebih
banyak molekul yang akan memiliki energi tersebut. Inilah mengapa pemanasan
digunakan untuk mempercepat reaksi kimia. Proses itu juga dapat dipercepat
dengan menggunakan katalis, yang kini luas digunakan dalam industri. Tanpa
katalis, banyak proses, sekalipun masih akan terjadi, tapi akan terjadi dalam
jangka waktu yang demikian panjang sehingga akan menjadi tidak ekonomis.
Katalis tidak dapat mengubah komposisi dari zat-zat yang terlibat atau mengubah
energi Gibbs dari reaktan, tapi akan menyediakan jalur reaksi yang lebih mudah.
Ada analogi tertentu antara gejala ini dengan peran individu
dalam sejarah. Satu kesalahpahaman yang lazim tentang Marxisme adalah bahwa ia
dikatakan tidak memberi tempat bagi peran individu dalam menentukan nasibnya
sendiri. Menurut karikatur ini, pandangan materialis tentang sejarah mereduksi
segala sesuatu pada “kekuatan-kekuatan produktif”. Umat manusia dilihat hanya
sebagai agen-agen buta dari kekuatan ekonomik atau boneka-boneka mati yang
dipermainkan dalam panggung keniscayaan sejarah. Pandangan yang mekanistik dari
proses sejarah ini (determinisme ekonomi) tidak memiliki kesamaan apapun dengan
filsafat dialektika Marxisme.
Materialisme historis berangkat dari proposisi mendasar bahwa
manusia menulis sejarahnya sendiri. Berlawanan dengan pandangan idealis bahwa
umat manusia adalah agen yang mutlak bebas, Marxisme menjelaskan bahwa mereka
dibatasi oleh kondisi material nyata dari masyarakat di mana mereka dilahirkan.
Kondisi ini dibentuk secara mendasar oleh tingkat perkembangan kekuatan
produktif, yang merupakan landasan bagi seluruh budaya manusia, politik dan
agama. Meski demikian, hal-hal ini tidaklah dibentuk secara langsung oleh
perkembangan ekonomi, tapi dapat dan memang memiliki kehidupannya sendiri.
Hubungan yang sangat kompleks antara faktor-faktor ini memiliki sifat yang
dialektik, bukan mekanik. Individu tidak dapat memilih kondisi di mana mereka
dilahirkan. Kondisi-kondisi itu “ditentukan bagi mereka”. Mustahil juga bagi individu,
seperti yang dikhayalkan oleh kaum idealis, untuk memaksakan kehendak mereka
pada masyarakat, semata karena kebesaran intelektual atau kekuatan karakter
mereka. Teori bahwa sejarah ditulis oleh “orang-orang besar” adalah dongeng
ninabobo yang hanya dapat memikat balita. Ia memiliki nilai ilmiah setara
dengan “teori konspirasi”, yang menyatakan bahwa revolusi disebabkan oleh
pengaruh jahat “para agitator”.
Tiap buruh paham bahwa pemogokan tidaklah disebabkan oleh para
agitator melainkan oleh buruknya tingkat upah dan kondisi kerja. Berlawanan
dengan kesan yang kerap disampaikan olehsejumlah koran yang sensasional,
pemogokan bukanlah sebuah peristiwa yang sering terjadi. Selama bertahun-tahun,
satu pabrik atau perusahaan dapat terlihat tenang. Para pekerja tidak melakukan
reaksi apa-apa, bahkan ketika upah dan kondisi kerja mereka diserang. Ini
terutama benar ketika adakondisi pengangguran massal atau ketika tidak ada
kepemimpinan dari serikat-serikat buruh. Apati dari mayoritas rakyat ini sering
membuat para aktivis demoralisasi. Mereka menarik kesimpulan yang keliru bahwa
kaum buruh “terbelakang”, dan tidak akan melakukan apa-apa. Tapi, kenyataannya,
di bawah permukaan yang nampak tenang itu, perubahan-perubahansedang terjadi.
Ribuan insiden kecil, komentar-komentar yang menyakitkan, ketidakadilan,
kecelakaan, secara bertahap meninggalkan bekas pada kesadaran kaum buruh.
Proses ini dengan tepat digambarkan Trotsky sebagai “proses molekular dari
revolusi”. Ini serupa denganenergi Gibbs dalam sebuah reaksi kimia.
Dalam kehidupan nyata, seperti halnya dalam kimia, proses
molekular membutuhkan waktu. Tidak akan ada seorang pun ahli kimia yang akan
mengeluh karena reaksi yang diharapkannya membutuhkan waktu yang panjang,
khususnya jika kondisi-kondisi yang dapat mempercepat jalannya reaksi (suhu
tinggi, dan lain-lain) tidak hadir. Tapi, pada akhirnya, keadaan transisi
pastilah tercapai. Pada titik ini, kehadiran suatu katalis adalah bantuan yang
amat berarti untuk membawa proses ini ke hasil yang diharapkan, dengan cara
yang paling cepat dan ekonomis. Dengan cara yang sama, pada titik tertentu,
ketidakpuasan yang bertumpuk di pabrik akan mendidih. Seluruh situasi dapat
berubah dalam jangka 24 jam. Jika para aktivis tidak siap, jika mereka
membiarkan diri mereka tertipu oleh permukaan yang tampak tenang itu, mereka
akan terkejut dan tidak siap mengantisipasi ledakan yang akan terjadi.
Dalam dialektika, cepat atau lambat, semua hal berubah menjadi
lawannya. Seperti kata Alkitab, “yang pertama akan menjadi yang terakhir, dan
yang terakhir akan menjadi yang pertama”. Kita telah melihat hal ini berulang
kali, terutama dalam sejarah revolusi-revolusi besar. Lapisan-lapisan rakyat
yang sebelumnya terbelakang dan diam tak bergerak dapat mengejar
ketertinggalannya dengan teramat cepat. Kesadaran tumbuh dalam
lompatan-lompatan mendadak. Hal ini dapat terlihat dalam pemogokan-pemogokan.
Dan dalam tiap pemogokan kita dapat melihat unsur-unsur revolusi dalam bentuk
yang belum berkembang, dalam bentuk embrionya. Dalam situasi semacam itu,
kehadiran minoritas yang sadar dan berani akan memainkan satu peran yang mirip
dengan peran katalis dalam reaksi kimia. Dalam keadaan-keadaan tertentu, bahkan
seorang individu dapat memainkan peran yang mutlak menentukan.
Di bulan November 1917, nasib Revolusi Rusia berada di tangan
dua orang – Lenin dan Trotsky. Tanpa mereka, tak diragukan lagi bahwa revolusi
akan mengalami kekalahan. Para pemimpin yang lain, Kamenev, Zinoviev dan
Stalin, menyerah pada tekanan kelas-kelas lain. Masalahnya di sini bukanlah
“kekuatan historis” yang abstrak, melainkan yang konkret, tentang tingkat
kesiapan, kemampuan memandang ke depan, keberanian pribadi dan kemampuan
memimpin. Bagaimanapun, kita sedang bicara tentang perjuangan yang dilakukan
oleh makhluk hidup, dan bukannya persamaan matematika.
Apakah hal ini berarti bahwa interpretasi kaum idealis terhadap
sejarah benar adanya? Apakah benar segalanya diputuskan oleh beberapa orang
besar? Mari kita lihat sendiri apa yang dinyatakan oleh fakta. Selama seperempat
abad sebelum 1917, Lenin dan Trotsky telah menghabiskan sebagian besar waktu
mereka kurang lebih terisolasi dari massa, seringkali bekerja dalam
lingkaran-lingkaran kecil. Mengapa mereka tidak sanggup menghasilkan dampak
yang demikian menentukan, misalnya, di tahun 1916? Atau di tahun 1890? Karena
kondisi objektif tidak ada pada saat itu. Begitu juga, seorang aktivis serikat
buruh yang terus-menerus menyerukan pemogokan ketika tidak ada gairah untuk
mengadakan aksi, akan segera menjadi bahan tertawaan. Begitu juta, ketika
revolusi Rusia terisolasi dalam kondisi keterbelakangan dan keseimbangan kelas
berubah, tidak seorang pun, tidak juga Lenin dan Trotsky, mampu mencegah
munculnya kontra-revolusi birokratik yang dipimpin oleh orang yang dalam segala
hal berada di bawah keduanya, Stalin. Di sini, kita melihat adanya hubungan
dialektik antara faktor objektif dan subjektif dalam sejarah manusia.
Kesatuan dan Saling Rasuk
antara Hal-hal yang Berlawanan
Ke manapun kita menengok di alam ini, kita akan melihat koeksistensiyang
dinamik antara kecenderungan-kecenderungan yang saling berlawanan. Ketegangan
yang kreatif inilahyang melahirkan kehidupan dan pergerakan. Hal ini telah
dipahami oleh Heraclitus dua setengah milenia lalu. Ini bahkan hadir sebagai
embrio dalam agama-agama Oriental, seperti dalam ide yin dan yang di Tiongkok,
dan di dalam ajaran Budha. Dialektika muncul di sini dalam bentuk mistik, yang
bagaimanapun menunjukkan intuisi manusia tentang bagaimana alam bekerja. Agama
Hindu mengandung benih ide dialektik, ketika ia mengedepankan tiga tahap
penciptaan (Brahma), pemeliharaan atau keteraturan (Wisnu) dan penghancuran
atau kekacauan (Siwa). Dalam bukunya yang menarik tentang matematika chaos, Ian
Stewart menunjukkan bahwa perbedaan antara dewa Siwa, “Yang Tak Terjinakkan”,
dan Wisnu bukanlah pertentangan antara yang jahat dan yang baik, melainkan
bahwa prinsip keserasian dan kekacauan bersama-sama menyusun dasar dari seluruh
keberadaan. Dia menulis:
“Dengan cara yang
sama para ahli matematika sedang mulai memandang keteraturan dan chaos sebagai
dua perwujudan yang berbeda dari satu determinisme yang mendasar. Dan tidak
satupun dari keduanya yang dapat hadir tanpa yang lain. Satu sistem dapat hidup
dalam berbagai keadaan, beberapa lebih teratur, beberapa lebih kacau. Kita
tidak mendapati dua kutub yang saling bertentangan, tapi satu spektrum yang
kontinu. Sebagaimana nada-nada yang harmonis dan disharmonis bergabung dalam
satu keindahan musikal, demikian pula keteraturan dan chaos bergabung dalam
satu keindahan matematis.”[15]
Dalam filsafat
Heraclitus, semua ini muncul dalam bentuk terkaan yang didasari oleh ilham yang
didapatnya. Kini hipotesis itu telah dibenarkan oleh sejumlah besar contoh.
Kesatuan dari hal-hal yang bertentangan terletak pula di inti atom, dan seluruh
alam semesta ini tersusun atas molekul, atom, dan partikel-partikel sub-atomik.
Hal ini dijelaskan dengan baik sekali oleh R. P. Feynman: “Segala hal, bahkan
diri kita sendiri, tersusun dari butiran-butiran halus, bagian-bagian plus dan
minus yang berinteraksi dengan sangat kuat, semua saling menyeimbangkan dengan
rapi.”[16]
Pertanyaannya adalah: bagaimana mungkin yang plus dan yang minus
“saling menyeimbangkan dengan rapi”? Ini adalah ide yang sangat kontradiktif!
Dalam matematika dasar, yang plus dan yang minus tidaklah “saling
menyeimbangkan”. Keduanya saling menghancurkan. Fisika modern telah menyingkap
kekuatan-kekuatan besar yang bekerja di jantung atom-atom. Mengapa
kekuatan-kekuatan elektron dan proton yang saling bertentangan tidak saling
menghancurkan? Mengapa atom tidak pecah berhamburan begitu saja? Penjelasan
terkini merujuk pada “strong force” yang menjalin atom menjadi satu kesatuan.
Tapi fakta bahwa kesatuan dari hal-hal yang bertentangan merupakan dasar segala
realitas tetap tak terbantahkan.
Di dalam inti atom, terdapat dua kekuatan yang saling
bertentangan, daya tarik dan daya tolak. Di satu pihak, terdapat tolakan
listrik yang, jika tidak dihalangi, akan dapat dengan ganas merobek-robek
struktur atom. Di pihak lain, terdapat daya tarik yang dahsyat yang mengikat
partikel-partikel inti atom dalam satu kesatuan. Walau demikian, daya tarik ini
memiliki keterbatasan, di luar batas itu daya tarik ini tidak lagi bekerja.
Daya tarik, tidak seperti daya tolak, memiliki jangkauan yang sangat pendek.
Dalam inti atom yang sangat kecil, daya tarik ini dapat menjaga keliaran daya
tolak. Tapi dalam inti atom yang besar, kekuatan daya tolak tidak dapat dengan
mudah dikendalikan.
Di luar batas titik kritis tertentu, ikatan itu pecah dan
terjadilah lompatan kualitatif. Seperti tetes air yang besar, yang akan selalu
berada di ambang perpecahan dengan badan air secara keseluruhan. Ketika satu
neutron tambahan ditambahkan pada inti atom, kecenderungan untuk pecah
bertambah dengan cepat. Inti atom pecah, membentuk dua inti atom yang lebih
kecil, yang terbang berhamburan dengan liar sambil membebaskan sejumlah raksasa
energi. Inilah yang terjadi dalam fisi nuklir. Walau demikian, proses-proses
yang serupa dengan ini dapat dilihat dalam berbagai tingkatan alam. Air yang
jatuh pada permukaan yang licin akan pecah menjadi pola tetes air yang
kompleks. Ini karena dua kekuatan yang bertentangan bekerja bersamaan:
gravitasi, yang mencoba menyebarkan air menjadi lembaran tipis di atas
permukaan meja, dan tegangan permukaan, daya tarik antara satu molekul air
dengan molekul air lainnya, yang mencoba menarik molekul-molekul air menjadi
gumpalan-gumpalan yang kompak.
Alam nampaknya bekerja dalam pasangan-pasangan. Kita memiliki
“strong force” dan “weak force” di tingkat sub-atomik; daya tarik dan daya
tolak; kutub utara dan selatan dalam magnetisme; positif dan negatif dalam
listrik; materi dan anti-materi; laki-laki dan perempuan dalam biologi; ganjil
dan genap dalam matematika; bahkan konsep “right-handedness” dan
“left-handedness” dalam hubungannya dengan spin dari partikel-partikel
sub-atomik. Terdapatlah satu simetri tertentu, di mana
kecenderungan-kecenderungan yang saling bertentangan, seperti kata Feynman
“saling menyeimbangkan”, atau, seperti ungkapan Heraclitus yang lebih puitis,
“saling bersepakat dengan menjadi saling berbeda seperti regangan yang saling
bertentangan dari busur dan tali dalam sebuah alat musik”. Terdapatlah dua
macam materi, yang dapat disebut positif dan negatif. Yang sama saling tolak
dan yang bertentangan saling tarik.
Positif dan Negatif
Positif tidak memiliki makna tanpa negatif. Keduanya tak dapat
dipisahkan satu dari yang lain. Dahulu Hegel menjelaskan bahwa “keberadaan yang
murni” (yang bebas dari segala kontradiksi) sama maknanya dengan “ketiadaan
yang murni”, yakni satu abstraksi kekosongan. Mirip dengan itu, jika segala hal
adalah putih, maka tidak akan ada bedanya bagi kita jika segala hal adalah
hitam. Segala hal di dunia nyata mengandung positif dan negatif, ada dan tiada,
karena segala hal selalu berada dalam keadaan bergerak dan berubah yang
kontinu. Begitu juga matematika menunjukkan bahwa nol itu sendiri tidaklah sama
dengan ketiadaan. Engels menulis:
“Nol,karena ia adalah
negasi dari setiap kuantitas yang definit, maka ia tidaklah kosong dari segala
hakikat. Sebaliknya, nol memiliki hakikat yang definit. Sebagai garis pembatas
antara semua bilangan yang positif dan segala yang negatif, sebagai
satu-satunya bilangan yang netral, yang bukanlah positif dan juga bukanlah
negatif,ia bukan hanya satu bilangan yang sangat definit, tapi juga karenanya
menjadi lebih penting daripada segala bilangan lain yang terikat padanya. Pada
kenyataannya, nol lebih kaya dalam hakikat ketimbang segala bilangan yang
lain.Tempatkan ia di sebelah kanan dari bilangan manapun, maka dalam sistem
bilangan kita ia akan memberi nilai yang sepuluh kali lipat kepada bilangan
tersebut. Kita memang dapat menempatkan simbol lain sebagai ganti bilangan nol
itu, tapi hanya dalam kondisi bahwa simbol itu sendirinya melambangkan nol = 0.
Jadi, merupakan sifat dari nol itu sendiri yang menempatkannya dalam penerapan
ini dan bahwa hanya dirinya sendiri yang dapat diterapkan dengan cara seperti
ini. Nol menghancurkan segala bilangan lain yang dikalikan kepadanya; ia dapat
bergabung dengan bilangan lain sebagai pembagi atau terbagi, dalam kasus yang
pertama ia akan memberi nilai besar tak berhingga, dalam kasus yang kedua ia
akan memberi nilai kecil tak berhingga; ia adalah satu-satunya bilangan yang
berhubungan dengan ketakberhinggaan terhadap segala bilangan yang lain. 0/0
dapat menyatakan segala bilangan lain antara-_ sampai +_, dan dalam tiap kasus
akan mewakili satu besaran yang nyata.”[17]
Besaran negatif dari
aljabar hanya memiliki makna dalam hubungannya dengan besaran positif, tanpa
yang terakhir, yang pertama tak akan memiliki realitas apapun. Dalam kalkulus
diferensial, hubungan dialektik antara ada dan tiada sangatlah jelas. Hal ini
dengan panjang lebar diuraikan oleh Hegel dalam Science
of Logic. Ia tersenyum geli dengan kebingungan para ahli matematika
tradisional oleh penggunaan satu metode yang menggunakan bilangan yang kecil
tak berhingga, dan “tidak dapat menerima usulan bahwa jumlah tertentu tidak
sama dengan nol tapi demikian kecilnya sehingga dapat diabaikan”, dan, walau
demikian, selalu memberi hasil yang sangat eksak.[18]
Terlebih lagi, segala
sesuatu selalu berada dalam keadaan yang terhubung dengan hal lainnya. Bahkan
lewat jarak yang sangat jauh, kita terpengaruh oleh cahaya, radiasi dan
gravitasi. Walau mereka tidak terdeteksi oleh indera kita, ada proses interaksi,
yang menghasilkan serangkaian perubahan. Cahaya ultraviolet sanggup
“menguapkan” elektron dari permukaan logam dengan cara yang serupa seperti
cahaya matahari menguapkan air dari permukaan laut. Banesh Hoffmann menyatakan:
“Masih tetap merupakan pemikiran yang aneh dan menggetarkan, bahwa Anda dan
saya secara teratur saling bertukar partikel satu sama lain, dan dengan bumi
dan dengan segala makhluk di dalamnya, dan dengan matahari dan bulan dan
bintang-bintang, bahkan sampai galaksi yang terjauh sekalipun.”[19]
Persamaan Dirac untuk energi yang terkandung dalam satu elektron
mengandung dua jawaban – satu positif dan satu negatif. Mirip dengan akar
kuadrat dari satu bilangan, yang selalu dapat berupa bilangan positif atau
negatif. Walau demikian, di sini jawaban yang bernilai negatif akan
mengindikasikan satu hal yang kontradiktif –energi negatif. Ini adalah konsep
yang sangat absurd jika dilihat dari sudut pandang logika formal. Karena energi
adalah kesetaraan dari massa, energi negatif berarti massa negatif. Dirac
sendiri terganggu dengan apa yang diindikasikan oleh teorinya sendiri. Ia
terpaksa meramalkan keberadaan partikel yang akan serupa dengan elektron, tapi
dengan muatan positif, satu materi yang belum pernah terdengar sebelumnya.
Pada tanggal 2 Agustus 1932, Robert Millikan dan Carl D.
Anderson dari California Institute of Technology menemukan satu partikel yang
massanya jelas sama dengan elektron, tapi dengan arah gerak yang berlawanan.
Ini bukan elektron, atau proton atau neutron. Ini adalah jenis materi yang baru
– anti-materi – yang telah diramalkan oleh persamaan Dirac. Kemudian ditemukan
bahwa elektron dan positron, kala mereka bertumbukan, akan saling
menghancurkan, menghasilkan dua foton (partikel cahaya). Dengan cara yang sama,
sebuah foton yang menembus materi dapat terpecah menjadi elektron dan positron.
Gejala kesalingberlawanan hadir dalam fisika, di mana, misalnya,
tiap partikel memiliki anti-partikelnya (elektron dan positron, proton dan
anti-proton, dsb.). Mereka bukan hanya saling berbeda, tapi saling berlawanan
dalam maknanya yang paling harfiah. Mereka sama persis dalam segala aspeknya,
kecuali satu: mereka memiliki kutub listrik yang berlawanan – positif dan
negatif. Bukan merupakan masalah mana yang dikatakan positif dan mana yang
negatif. Hal yang terpenting adalah hubungan di antara keduanya.
Tiap partikel mengandung kualitas yang dikenal sebagai spin,
yang dinyatakan dalam plus atau minus, tergantung dari arahnya. Kelihatannya
aneh, tapi fenomena left-handedness dan right-handedness (berputar searah atau
berlawanan arah jarum jam) yang diketahui memainkan peran penting dalam
biologi, juga memiliki kesetaraan dalam tingkat sub-atomik. Partikel dan
gelombang berdiri dalam posisi saling berlawanan satu sama lain. Fisikawan
Denmark Niels Bohr merujuknya, dengan agak membingungkan, sebagai “konsep yang saling
berkomplementer”, yang dimaksudnya adalah bahwa keduanya saling tidak
berhubungan satu sama lain.
Penelitian terbaru di bidang fisika partikel telah memberi
kejelasan tentang tingkatan materi terdalam yang telah ditemukan sejauh ini –
quark. Partikel-partikel ini juga memiliki “kualitas” yang saling bertentangan
yang tidak dapat diperbandingkan dengan bentuk-bentuk yang jamak dikenal,
sehingga para fisikawan terpaksa menciptakan pengistilahan baru untuk
menggambarkannya. Maka kita mendapati up-quark, down-quark, charm-quark,
strange-quark, dst. Sekalipun kualitas dari quark masih terus dicoba
ditelusuri, satu hal sudah jelas: bahwa sifat saling berlawanan hadir pula
dalam tingkatan materi paling dasar yang kini diketahui oleh ilmu sains.
Gejala universal akan kesatuan hal-hal yang berlawanan ini, pada
kenyataannya, merupakan daya penggerak dari semua pergerakan dan perkembangan
di alam. Ia adalah alasan mengapa tidak perlu kita membuat satu konsep impuls
eksternal untuk menjelaskan pergerakan dan perubahan – yang merupakan kelemahan
utama dari semua teori mekanistik. Pergerakan, yang di dalam dirinya melibatkan
pula kontradiksi, hanya dimungkinkan bila merupakan akibat dari
kecenderungan-kecenderungan yang saling bertentangan dan ketegangan internal
yang terletak di jantung semua bentuk materi.
Kecenderungan-kecenderungan yang saling bertentangan dapat hadir
dalam sebuah keadaan ekuilibrium yang tidak stabil untuk jangka waktu yang
sangat panjang, sampai sebentuk perubahan, bahkan perubahan kuantitatif yang
sangat kecil sekalipun, menghancurkan ekuilibrium itu dan melahirkan satu
keadaan kritis yang dapat menghasilkan satu perubahan kualitatif. Di tahun
1936, Bohr memperbandingkan struktur inti atom dengan setetes cairan,
contohnya, setetes air hujan yang tergantung pada pucuk daun. Di sini gaya
gravitasi bertempur dengan tegangan permukaan yang berusaha mempertahankan
bentuk tetes air itu. Penambahan beberapa molekul saja pada cairan itu akan
membuatnya tidak stabil. Tetes air yang semakin membesaritu mulai bergetar,
tegangan permukaan tidak lagi sanggup menahan massa air pada daun dan seluruh
tetes itu akan jatuh ke bumi.
Fisi Nuklir
Contoh yang nampaknya sederhana itu, yang dapat diamati ratusan
kali dalam pengalaman hidup sehari-hari, dapat kita temui juga di dalam proses
fisi nuklir. Inti atom itu sendiri tidaklah dalam kondisi diam, namun terus
berada dalam keadaan yang berubah. Dalam seper seribu miliar detik, telah
terjadi miliaran tumbukan acak antar partikel. Partikel-partikel secara
terus-menerus memasuki dan keluar dari inti atom. Walau demikian, inti atom itu
sendiri diikat erat oleh apa yang sering digambarkan sebagai strong force. Ia
akan terus berada dalam ekuilibrium yang tidak stabil, yakni “di ambang chaos”
seperti yang dijelaskan olehteori chaos.
Seperti setetes cairan akan bergetar ketika molekul-molekul
bergerak di dalamnya, partikel-partikel terus pula bergerak, mengubah diri
mereka sendiri, saling bertukar energi. Seperti tetes hujan yang diperbesar,
ikatan antar partikel dalam inti atom yang besar juga menjadi semakin tidak
stabil, dan menjadi lebih mungkin pecah. Pelepasan partikel alfa dari permukaan
inti atom membuatnya semakin kecil dan stabil. Tapi, telah ditemukan bahwa,
dengan membombardir inti atom besar dengan neutron, inti atom dapat dibelah,
yang lalu menghasilkanenergi yang sangat besar yang tadinya terkunci rapat di
dalam atom. Inilah proses pembelahan atau fisi nuklir. Proses ini dapat terjadi
bahkan tanpa campur tangan partikel dari luar. Proses fisi spontan (peluruhan
radio aktif) terjadi sepanjang waktu di alam. Dalam waktu satu detik, satu pon
uranium mengalami empat kali fisi spontan, dan partikel-partikel alfa
dipancarkan dari sekitar delapan juta inti atom. Semakin berat inti atom,
semakin besar kemungkinanterjadinya proses fisi nuklir.
Kesatuan dari hal-hal
yang bertentangan merupakan akar dari kehidupan itu sendiri. Ketika spermatozoa
pertama kali ditemukan, orang berpikir bahwa mereka adalah “homunculae”,
miniatur sempurna dari manusia, yang – seperti Flopsy dalam novelUncle Tom's Cabin - “yang tumbuh begitu saja”.
Kenyataannya, prosesnya jauh lebih kompleks dan dialektik. Reproduksi seksual
tergantung pada kombinasi sperma dan sel telur, dalam satu proses di mana
keduanya dihancurkan dan dipelihara sekaligus, membawa semua informasi genetik
yang dibutuhkan untuk menciptakan sebuah janin. Setelah melalui serangkaian
perubahan, yang sangat mirip dengan jalur evolusi yang ditempuh makhluk hidup
dari pembelahan sel tunggal, akhirnya menghasilkan seorang pribadi yang sama
sekali baru. Terlebih lagi, hasil dari penyatuan ini mengandung gen dari kedua
induknya, tapi dengan susunan yang berbeda dari keduanya sekaligus. Maka, apa
yang kita lihat di sini bukanlah sekedar reproduksi tapi sebuah perkembangan
yang sejati. Keragaman yang semakin meningkat yang dimungkinkan oleh proses ini
adalah salah satu keuntungan evolusioner besar yang dimiliki oleh proses
reproduksi seksual.
Hukum-hukum logika formal telah mendapat kekalahan yang
memalukan dalam bidang fisika modern, di mana mereka telah menunjukkan dirinya
sama sekali tidak sanggup menangani berbagai proses kontradiktif yang terjadi
di tingkat sub-atomik. Partikel-partikel, yang luruh demikian cepat sehingga
sangat sulit dikatakan apakah mereka memang benar ada atau tidak, menimbulkan
satu masalah yang tak terselesaikan bagi sistem berpikir yang menyangkal semua
kontradiksi baik dalam alam maupun dalam pikiran. Ini segera membawa kita pada
kontradiksi-kontradiksi baru yang tak terselesaikan. Pikiran mendapati dirinya
bertentangan dengan fakta-fakta yang telah ditemukan dan telah berulang kali
dibenarkan oleh percobaan dan pengamatan. Kesatuan dari proton dan elektron
adalah neutron. Tapi jika sebuah positron bergabung dengan sebuah neutron,
hasilnya adalah pemusnahan elektron dan neutron itu akan berubah menjadi
proton. Melalui proses tanpa akhir ini, alam semesta menciptakan, dan mencipta
ulang, dirinya berulang kali. Ia tidak memerlukan satu tenaga dari luar, satu
“impuls pertama”, seperti yang dikemukakan oleh fisika klasik. Tidak perlu
apapun, kecuali pergerakan yang tak terbatas, tak terhenti, dari materi menurut
hukum-hukum objektif yang terkandung di dalam dirinya sendiri.
Kontradiksi dapat ditemukan dalam tiap tingkatan alam, dan
terkutuklah logika yang menyangkal keberadaannya. Sebuah elektron dapat berada
di dua atau lebih tempat sekaligus, tapi ia juga dapat bergerak ke berbagai
arah dalam waktu bersamaan. Kita hanya dapat setuju dengan Hegel: mereka ada
dan sekaligus tidak ada. Semua hal berubah menjadi lawannya. Elektron yang
bermuatan negatif berubah menjadi positron yang bermuatan positif. Sebuah
elektron yang bergabung dengan proton tidaklah hancur, seperti yang semestinya
diharapkan, tapi menghasilkan satu partikel baru, neutron, yang bermuatan
netral.
Kutub-kutub yang Berlawanan?
Polarisasi atau pengkutuban adalah satu karakter alam yang
selalu hadir di manapun dan kapanpun. Bukan hanya ia hadir sebagai Kutub Utara
dan Kutub Selatan di bumi. Polarisasi juga ditemukan di matahari dan bulan dan
planet-planet lain. Ia juga hadir di tingkat sub-atomik, di mana inti-inti atom
berperilaku persis seakan mereka memiliki, bukan hanya satu, melainkan dua
pasang kutub magnetis. Engels menulis:
“Dialektika telah
membuktikan dari hasil pengalaman kita akan alam sejauh ini bahwa semua kutub
yang bertentangan secara umum ditentukan oleh aksi yang dilakukan oleh kedua
kutub yang saling berseberangan satu terhadap yang lain, bahwa pemisahan dan
pertentangan kedua kutub ini hanya hadir dalam kesalingterhubungan dan kesatuan
mereka, dan, sebaliknya, bahwa kesatuan mereka hanya hadir dalam pemisahan
merekadan kesalingterhubungan mereka hanya hadir dalam kesalingberlawanan
mereka. Jika hal ini telah dipahami, tidak akan lagi ada persoalan tentang
penghapusan final atas tarikan dan tolakan, atau pemisahan final antara
bentuk-bentuk pergerakan pada materi di satu kutub dan bentuk-bentuk pergerakan
pada materi di kutub yang lain, dan karena itu, tidak akan ada lagi persoalan
tentang kesalingrasukan atau tentang pemisahan mutlak antara kedua kutub
tersebut. Ini sama saja dengan menuntut bahwa kutub-kutub utara dan selatan
magnet saling meniadakan diri mereka sendiri, atau bahwa dengan membelah
sebatang magnet kita akan memperoleh satu batang dengan hanya kutub utara tanpa
kutub selatan, dan satu batang dengan kutub selatan tanpa kutub utara.”[20]
Ada beberapa hal yang dianggap orang sebagai hal yang mutlak
beroposisi dan tak akan pernah bergeser dari situ. Contohnya, ketika kita ingin
menggambarkan sesuatu yang sangat tidak cocok satu sama lain, kita akan
menggunakan istilah “kutub yang berlawanan”– kutub utara dan selatan dianggap
sebagai gejala yang mutlak dan akan selamanya saling berlawanan. Selama lebih
dari seribu tahun, para pelaut mempercayakan nasib mereka pada kompas, yang
membimbing mereka melewati lautan tak dikenal, yang selalu menunjuk pada satu
hal misterius yang disebut kutub utara. Walau demikian, penelitian yang lebih
dekat memperlihatkan bahwa kutub utara bukanlah satu hal yang tetap atau
stabil. Bumi ini diselimuti oleh medan magnet yang kuat (satu sumbu geosentris
dengan dua kutub), seakan satu magnet raksasa diletakkan di pusat bumi, sejajar
dengan sumbu bumi. Inikarena komposisi inti bumi yang mengandung logam, yang
kebanyakan tersusun dari unsur besi. Dalam 4,6 miliar tahun sejak tata surya
tercipta, batuan di bumi telah dibentuk dan disusun ulang berulang kali. Dan
bukan hanya batuan, tapi juga segala hal yang lain. Pengukuran dan penyelidikan
yang rinci kini telah membuang segala keraguan bahwa lokasi kutub magnetik bumi
selalu bergeser. Pada masa sekarang, kutub-kutub ini bergeser dengan kecepatan
yang sangat rendah, yakni 0,3 derajat tiap sejuta tahun. Gejala ini adalah
cerminan dari perubahan kompleks yang terjadi di bumi, atmosfer dan medan
magnetik matahari.
Pergeserannya terlalu kecil sehingga selama berabad-abad hal ini
tidaklah terdeteksi. Bagaimanapun, bahkan proses yang sangat tidak terasa ini
telah dan akan terus melahirkan lompatan yang mendadak dan spektakuler, di mana
kutub utara dan kutub selatan bertukar tempat. Perubahan dalam lokasi kutub
diiringi oleh fluktuasi dalam kekuatan medan magnetik itu sendiri. Proses yang
bertahap ini, yang dicirikan oleh melemahnya medan magnet, berpuncak pada
lompatan yang mendadak. Kutub-kutub bertukar tempat, benar-benar saling
bertukar menjadi lawannya. Setelah ini, medan magnet kembali ke keadaannya
semula dan kembali menguat.
Perubahan revolusioner ini telah terjadi berulang kali selama
sejarah bumi. Diperkirakan bahwa telah terjadi lebih dari 200 kali pertukaran
kutub selama 65 juta tahun; setidaknya empat kali pertukaran telah terjadi
selama empat juta tahun terakhir. Sekitar 700.000 tahun lalu, kutub utara
magnetik terletak di satu tempat di sekitar Antartika, lokasi kutub selatan
hari ini. Pada saat ini, kita berada dalam proses melemahnya medan magnet bumi,
yang niscaya akan berpuncak pada pembalikan kutub kelak di kemudian hari.
Telaah tentang sejarah kemagnetan bumi adalah bidang khusus dari cabang ilmu
baru – yakni paleomagnetisme – yang mencoba merekonstruksi peta dari semua
pembalikan kutub sepanjang sejarah planet kita.Penemuan-penemuan dari
paleomagnetisme, pada gilirannya, telah menghasilkan bukti-bukti kuat tentang
ketepatan teori pergeseran lempeng benua. Ketika batuan (terutama batuan
vulkanik) menghasilkan mineral yang kaya akan besi, ia akan bereaksi pada medan
magnet yang ada pada saat itu, dengan cara yang sama seperti sebatang besi
bereaksi dengan magnet, atom-atomnya menyusun diri searah dengan sumbu medan.
Perilakunya akan sama dengan perilaku kompas. Dengan memperbandingkan arah
susunan mineral dalam batuan yang usianya sama dari berbagai benua, dimungkinkan
untuk melacak pergerakan benua-benua, termasuk benua yang sudah tidak ada lagi
saat ini, atau hanya tinggal sisa-sisanya saja.
Dalam pembalikan kutub kita melihat satu contoh yang paling
jelas dari hukum dialektika tentang kesatuan dan kesalingrasukan dari hal-hal
yang bertentangan. Utara dan selatan – kutub-kutub saling bertentangan dalam
makna yang paling harfiah– bukan saja terikat tanpa dapat dipisahkan tapi juga
saling menentukan keberadaan satu sama lain melalui proses yang kompleks dan
dinamis, yang berpuncak pada lompatan mendadak di mana fenomena yang dianggap
tetap dan tidak akan berubah justru saling bertukar menjadi lawannya. Dan
proses dialektik ini bukan cuma angan-angan Hegel dan Engels, tapi secara kuat
telah ditunjukkan oleh penemuan-penemuan terbaru dalam bidang paleomagnetisme.
Benar seperti yang telah dikatakan, “jika manusia-manusia ini diam, batu-batu
akan berbicara!”
Gaya Tarik dan Gaya Tolak
Gaya tarik dan gaya tolak adalah satu perluasan dari hukum
kesatuan dan salingrasuk antar hal-hal yang bertentangan. Hukum itu melandasi
segala proses di alam, dari gejala yang paling kecil sampai yang paling besar.
Pada inti atom terdapat gaya tarik dan gaya tolak. Atom hidrogen, contohnya,
tersusun dari sebuah proton dan sebuah elektron yang terikat oleh daya tarik
listrik. Muatan yang dibawa oleh sebuah partikel boleh jadi positif atau
negatif. Muatan yang serupa saling menolak, sementara yang berlawanan saling
menarik. Dengan demikian, di dalam inti atom, proton saling menolak dengan
sesamanya, tapi inti atom itu diikat dengan gaya nuklir yang luar biasa kuat.
Dalam inti-inti atom yang sangat berat, gaya tolak listrik akan mencapai titik
di mana gaya nuklir ini dapat diatasi dan inti atom itu pecah berhamburan.
Engels menunjukkan peran universal dari gaya tarik dan gaya
tolak:
“Semua gerak tersusun dari interaksi antara gaya tarik dan gaya
tolak. Gerak, dengan demikian, hanya dimungkinkan ketika setiap gaya tarik
diimbangi oleh gaya tolak tertentu di tempat yang lain. Kalau tidak demikian,
salah satunya akan unggul dari yang lain dan gerak itu sendiri akan terhenti.
Maka semua gaya tarik dan gaya tolak di alam semesta haruslah saling
menyeimbangkan satu sama lain. Dengan demikian hukum yang mengatur bahwa gerak
tidak mungkin dihancurkan ataupun diciptakan dinyatakan dalam bentuk bahwa tiap
gerak tarik dalam alam semesta harus memiliki penyeimbang gerak tolak yang
setara dan sebaliknya; atau, seperti yang dinyatakan oleh filsafat kuno – jauh
sebelum perumusan ilmu alam menyatakan hukum kekekalan gaya atau energi: jumlah
dari semua gaya tarik di alam semesta adalah sama dengan jumlah semua gaya
tolak di dalamnya.”
Pada masa Engels, ide
yang dominan tentang gerak diturunkan dari mekanika klasik, di mana gerak
dihubungkan dengan satu gaya dari luar yang mengatasi kekuatan inersia. Engels
agak sinis dengan istilah “gaya”, yang dianggapnya sepihak dan tidak cukup
untuk menggambarkan proses nyata yang terjadi di alam. “Semua proses alami,”
tulisnya, “selalu memiliki dua sisi, semua berdasarkan relasi antara setidaknya
dua bagian yang bekerja, aksi dan reaksi. Pandangan tentang gaya, yang memiliki
akar dari aksi organisme manusia pada dunia eksternalnya dan, lebih jauh lagi,
dari mekanika bumi, menyatakan bahwa hanya satu bagian yang aktif dan bekerja,
sementara bagian lainnya pasif dan hanya menerima saja.”[21]
Engels telah maju
jauh melampaui jamannya ketika ia mengeluarkan kritik yang tajam atas pandangan
tersebut, yang telah pula diserang oleh Hegel. Dalam History of Philosophy, Hegel menyatakan bahwa “Lebih baik
(untuk menyatakan) bahwa sebuah magnet memiliki jiwa (seperti yang dinyatakan
Thales) daripada menyatakan bahwa dia memiliki gaya tarik; gaya adalah sejenis
sifat yang, terpisah dari materi, dikemukakan sebagai sejenis predikat –
sementara jiwa, di pihak lain, adalah pergerakan itu sendiri, yang identik
dengan sifat materi itu sendiri.” Pernyataan Hegel ini, yang dikutip dengan
penuh persetujuan oleh Engels, mengandung satu ide yang mendasar – bahwa gerak
dan energi adalah hal yang terkandung dalam materi itu sendiri. Materi bergerak
karena kekuatan sendiri dan mengorganisir dirinya sendiri.
Bahkan dalam pendapat
Engels istilah“energi”tidak sepenuhnya memadai, sekalipun dia lebih memilih
istilah tersebut daripada istilah “gaya”. Keberatan dari Engels adalah bahwa
“Istilah itu masih mengesankan bahwa 'energi' adalah sesuatu yang berada di
luar materi, sesuatu yang ditanamkan ke dalamnya. Tapi, dalam segala keadaan,
istilah itu masih lebih baik daripada istilah 'gaya'.”[22] Relasi yang sesungguhnya antara
materi dan energi telah ditunjukkan oleh teori Einstein tentang kesetaraan
massa dan energi, yang menunjukkan bahwa materi dan energi adalah dua hal yang
sama dan satu. Hal ini persis merupakan sudut pandang materialisme dialektik,
seperti yang dinyatakan oleh Engels, bahkan telah diantisipasi oleh Hegel,
seperti yang ditunjukkan oleh kutipan di atas.
Tiap bidang ilmu sains memiliki kosakatanya sendiri,
istilah-istilah yang seringkali tidak sama maknanya dengan penggunaannya
sehari-hari. Hal ini tentu akan menimbulkan berbagai kesulitan dan
kesalahpahaman. Kata “negasi” umumnya dimaknai sebagai sekedar penghancuran,
pemusnahan. Penting untuk dipahami bahwa dalam dialektika, negasi memiliki
hakikat yang sama sekali berbeda. Ia bermakna menghancurkan dan memelihara pada
saat yang bersamaan. Kita dapat menegasi sebutir benih dengan menginjaknya
hancur. Benih itu “dinegasi” tapi bukan dalam makna yang dialektik! Jika benih
itu dibiarkan, di bawah kondisi-kondisi yang mendukung, benih itu akan tumbuh.
Dengan demikian, ia telah menegasi dirinya sendiri sebagai sebutir benih dan
tumbuh menjadi sebatang tanaman yang, pada tahap lanjutnya, akan mati pula,
menghasilkan benih-benih baru.
Nampaknya, hal ini menghasilkan satu jalan berputar yang kembali
ke titik asalnya. Walau demikian, tiap tukang kebun profesional tahu bahwa tiap
butir benih yang nampaknya identik sebetulnya bervariasi, dari generasi ke
generasi, yang akhirnya dapat menghasilkan bahkan spesies yang sama sekali
baru. Para tukang kebun juga tahu bahwa beberapa jenis tertentu dapat
direkayasa dengan menggunakan pembiakan selektif. Rekayasa seleksi inilah yang
memberi Darwin satu petunjuk penting tentang proses seleksi alam yang terjadi
secara spontan di alam, dan merupakan kunci untuk memahami perkembangan semua
tumbuhan dan hewan. Apa yang kita lihat di sini bukanlah sekedar perubahan, tapi
perkembangan yang sesungguhnya, yang secara umum berjalan dari bentuk-bentuk
yang sederhana ke bentuk-bentuk yang lebih kompleks, termasuk molekul-molekul
kehidupan yang kompleks itu sendiri, yang, pada titik tertentu, berkembang dari
materi anorganik.
Perhatikanlah contoh negasi berikut ini, yang datang dari
mekanika kuantum. Apa yang terjadi ketika sebuah elektron bersatu dengan sebuah
foton? Elektron itu akan mengalami satu “lompatan kuantum” dan foton itu
lenyap. Hasilnya bukanlah sejenis senyawa atau kesatuan mekanik. Elektronnya
masihlah elektron yang sama, tapi dengan tingkat energi yang lebih tinggi. Hal
yang sama terjadi ketika sebuah elektron bersatu dengan sebuah proton. Elektron
itu lenyap dan protonnya tetap proton yang sama, tetapi tingkat energi dan
muatannya berbeda. Ia kini bermuatan netral dan menjadi neutron. Secara
dialektik, elektron itu telah dihancurkan dan dipelihara pada saat yang
bersamaan. Ia lenyap tapi tidak dimusnahkan. Ia masuk ke dalam partikel yang
baru dan menyatakan dirinya sebagai perubahan energi dan muatan.
Orang-orang Yunani kuno sangat akrab dengan diskusi yang
dialektik. Dalam sebuah debat yang dijalankan dengan benar, satu ide
dikemukakan (tesis) dan kemudian disambut dengan ide yang berlawanan
(antitesis) yang menegasinya. Akhirnya, melalui proses diskusi yang menyeluruh,
yang menjelajahi isu yang dibahas dari segala sudut pandang dan menjabarkan
seluruh kontradiksi yang tersembunyi, kita akan sampai pada kesimpulan
(sintesis). Kita boleh sampai atau tidak sampai pada kesimpulan tapi, dengan
diskusi, kita telah memperdalam pengetahuan dan pemahaman kita dan menempatkan
keseluruhan diskusi dalam bidang pandang yang sama sekali berbeda.
Sangatlah jelas bahwa tidak satu pun kritikus yang menyerang
Marxisme pernah berepot-repot membaca sendiri karya-karya Marx dan Engels.
Sering kali dianggap, contohnya, bahwa dialektika terdiri dari
“tesis-antitesis-sintesis”, yang dianggap telah disalin Marx dari Hegel (yang
pada gilirannya dianggap menyalinnya dari Tritunggal Mahakudus) dan
menerapkannya ke dalam masyarakat. Karikatur yang kekanak-kanakan ini masih
terus diulang-ulang oleh orang-orang yang semestinya dianggap intelektual
sampai hari ini. Pada kenyataannya, bukan hanya dialektika Marx bertentangan
dengan dialektika Hegel yang idealis, tapi dialektika Hegel itu sendiri sangat
berbeda dengan filsafat Yunani klasik.
Plekhanov[23] dengan tepat menyindir upaya untuk
mereduksi struktur dialektika Hegelian ke“Tritunggal kayu”
tesis-antitesis-sintesis. Dialektika Hegel yang maju itu mengandung hubungan
yang kurang lebih sama terhadap dialektika Yunani, seperti hubungan ilmu kimia
modern terhadap penyelidikan primitif yang dilakukan oleh para ahli alkimia
tempo dulu. Benar bahwa para ahli alkimia itu menyiapkan landasan bagi
berkembangnya ilmu kimia secara umum, tapi pernyataan bahwa “keduanya pada
dasarnya sama” adalah pernyataannya yang sungguh konyol. Hegel kembali pada
Heraclitus, tapi pada tingkatan kualitatif yang lebih tinggi, yang telah
diperkaya oleh 2.500 tahun perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Perkembangan dialektika itu sendiri adalah proses yang dialektik.Pada masa
kini, kata “alkimia” digunakan sebagai sinonim dari ilmu sihir tipu-tipu. Kata
“alkimia”melahirkan di pikiran orang-orang gambaran tentangmantra dan ilmu
perdukunan. Unsur-unsur ini memang hadir dalam sejarah alkimia, tapi aktivitas
mereka tidaklah terbatas pada hal-hal ini saja. Dalam sejarah ilmu sains,
alkimia memainkan peran yang sangat penting. Alkimia adalah kata bahasa Arab,
yang digunakan untuk segala jenis ilmu tentang materi. Banyak di antara mereka
memang penipu, tapi tidak sedikit pula yang merupakan ilmuwan-ilmuwan yang
baik! Dan kata kimia adalah kosakata Barat untuk hal yang sama. Banyak kosakata
dalam ilmu kimia berasal dari bahasa Arab -- acid (asam), alkali (basa),
alkohol, dst.
Para ahli alkimia berangkat dari proposisi bahwa mungkin bagi
kita untuk mengubah satu unsur menjadi unsur yang lain. Mereka mencoba selama
berabad-abad untuk menemukan “Batu filsuf”, yang mereka percaya akan
memungkinkan mereka untuk mengubah logam dasar (timah) menjadi emas. Kalaupun mereka
berhasil, tentunya mereka tetap tidak akan mendapat manfaat apapun dari situ,
karena nilai emas akan langsung merosot senilai dengan timah! Tapi itu cerita
lain. Kalau melihat tingkatan perkembangan teknik pada masa itu, para ahli
alkimia nampaknya mencoba melakukan sesuatu yang mustahil. Pada akhirnya mereka
dipaksa sampai pada kesimpulan bahwa pengubahan [transmutasi] unsur adalah hal
yang mustahil. Walau demikian, upaya yang dilakukan para ahli alkimia bukanlah
hal yang sia-sia. Dalam pengejaran mereka terhadap hipotesis yang tidak ilmiah
itu, yakni batu filsuf, mereka sebenarnya telah melakukan kerja-kerja
kepeloporan, mengembangkan seni eksperimen, menciptakan berbagai peralatan yang
masih terus digunakan dalam laboratorium-laboratorium masa kini dan merinci dan
menganalisa berbagai jenis reaksi kimia. Dengan cara ini, alkimia telah
menyiapkan jalan bagi perkembangan ilmu kimia yang sejati.
Ilmu kimia modern mampu melangkah maju hanya setelah menyangkal
hipotesis dasar para ahli alkimia –yakni pengubahan unsur-unsur. Sejak akhir
abad ke-18, ilmu kimia berkembang di atas landasan yang ilmiah. Dengan
menyingkirkan tujuan-tujuan masa lalu yang penuh khayal itu, ia dapat melompat
jauh ke depan. Kemudian, di tahun 1919, ilmuwan Inggris Rutherford melakukan
satu percobaan dengan menghujani inti atom nitrogen dengan partikel alfa. Hal
ini mengakibatkan pecahnya inti atom, pertama kalinya hal seperti ini dibuat
oleh manusia. Dengan cara itu, ia berhasil mengubah satu unsur (nitrogen)
menjadi unsur lainnya (oksigen). Pencarian para ahli alkimia yang telah
dilakukan oleh mereka selama ribuan tahun itu kini telah mencapai tujuannya,
tapi dengan cara yang sama sekali tidak akan pernah mereka sanggup bayangkan!
Mari kita lihat proses ini lebih dekat lagi. Kita mulai dengan
tesis: a) transmutasi unsur; ini kemudian dinegasi oleh antitesisnya b)
kemustahilan untuk mengubah satu unsur menjadi unsur lain; yang kemudian
digulingkan pula oleh negasi yang kedua c) transmutasi unsur-unsur. Di sini
kita harus memperhatikan tiga hal. Pertama, tiap negasi menandai satu kemajuan
yang pasti, yakni sebuah lompatan kualitatif ke depan. Kedua, tiap kemajuan
akan menegasi tahapan yang sebelumnya, bereaksi melawannya, sambil
mempertahankan segala hal yang berguna dan diperlukan dari tahapan yang
dinegasinya. Terakhir, tahapan puncaknya – negasi dari negasi – sama sekali
tidak menandai kembalinya kita pada ide awal (dalam hal ini, alkimia), tapi
pemunculan kembali bentuk-bentuk awal itu dalam tingkat yang lebih tinggi
secara kualitas. Kini mungkin bagi kita untuk mengubah timah menjadi emas, tapi
prosesnya terlalu mahal sehingga orang tidak mau repot-repot melakukan itu!
Dialektika menggambarkan proses-proses mendasar yang bekerja di
alam semesta, di tengah masyarakat dan dalam sejarah perkembangan pemikiran,
bukan dalam lingkaran yang tertutup, di mana proses-proses sekedar mengulangi
diri mereka dalam siklus mekanik yang tanpa henti, tapi sebagai sejenis spiral
perkembangan yang terbuka di mana tidak sesuatu pun yang berulang persis dengan
cara yang sama. Proses ini dapat terlihat dalam sejarah filsafat dan sains.
Seluruh sejarah pemikiran mengandung proses perkembangan melalui kontradiksi
yang tak terputus.
Sebuah teori dikemukakan untuk menjelaskan fenomena tertentu.
Teori ini secara bertahap diterima orang, baik karena semakin banyaknya bukti
yang membenarkannya, atau karena ketiadaan teori lain yang lebih memuaskan.
Pada titik tertentu, penyimpangan dari data akan ditemukan, yang mulanya pasti
diabaikan sebagai sekedar pengecualian yang tidak penting. Lalu satu teori baru
akan muncul untuk mengkontradiksi teori lama dan tampaknya menjelaskan
fakta-fakta dengan lebih baik. Pada akhirnya, setelah pergulatan yang panjang,
teori baru itu akan menggulingkan teori lama yang telah menjadi ortodoks itu.
Tapi, pertanyaan-pertanyaan baru akan terus muncul, yang pada gilirannya harus
pula diselesaikan. Sering kali, nampaknya kita kembali pada ide-ide yang
sebelumnya telah dibuktikan keliru. Tapi, hal ini tidaklah berarti kita kembali
ke titik nol. Yang kita lihat di sini adalah proses yang dialektik, yang
melibatkan pemahaman yang semakin dalam atas bekerjanya alam, masyarakat dan
diri kita sendiri. Inilah dialektika sejarah filsafat dan sains.
Joseph Dietzgen, seorang kawan Marx dan Engels, pernah berkata
bahwa seorang tua yang merenungkan kembali seluruh hidupnya boleh jadi akan
melihatnya sebagai serangkaian kesalahan yang, jika ia dapat memutar balik
waktu, pastilah akan coba diperbaikinya. Tapi, kemudian ia akan terbentur pada
kontradiksi dialektis bahwa hanya melalui kesalahan-kesalahan itulah ia dapat
sampai pada kebijaksanaan yang dimilikinya sekarang, yang membuat ia sanggup
melihat dan mengakui perbuatan-perbuatan itu sebagai suatu kesalahan. Seperti
yang telah diamati secara mendalam oleh Hegel, telaah-diri yang dilakukan
seorang muda tidak akan pernah memiliki bobot yang sama dengan yang dikemukakan
oleh seorang yang pengalaman hidupnya telah menghasilkan isi dan makna yang
tinggi. Keduanya dapat mengemukakan hal yang sama, tapi isi di dalamnya tidak
sama. Apa yang di masa muda merupakan pemikiran yang abstrak, yang tidak ada
atau sedikit isinya, kini adalah hasil dari sebuah refleksi yang matang.
Kejeniusan Hegel telah membawanya memahami sejarah berbagai
aliran filsafat sebagai proses dialektik yang telah dialami oleh masing-masing
pemikiran itu sendiri. Ia membandingkannya dengan kehidupan sebatang tanaman,
yang melalui berbagai tahap, yaitu saling mengisi satu sama lain, tapi yang,
dalam keseluruhannya, menyusun kehidupan tanaman itu sendiri:
“Semakin seorang yang
berpikiran sederhana menganggap bahwa pertentangan antara benar dan salah
adalah sesuatu yang statis, semakin ia terbiasa untuk mengharapkan kesepakatan
atau ketidaksepakatan dengan sistem filsafat tertentu, dan hanya melihat nalar
sebagai pembenaran atas salah satu sistem filsafat tertentu. Ia tidak dapat
melihat keberagaman sistem-sistem filsafat sebagai evolusi progresif atas
kebenaran, ia hanya melihat kontradiksi di dalam keberagaman tersebut. Kuncup
akan menghilang ketika kelopak mekar, dan kita akan mengatakan bahwa kuncup itu
ditolak oleh kelopak; dengan cara yang sama ketika buah muncul, kuncup dapat
dilihat sebagai bentuk semu dari keberadaan tanaman tersebut, karena buah akan
terlihat dalam watak sejatinya yang menggantikan kuncup. Tahapan-tahapan ini
bukan saja berbeda satu sama lain, mereka saling menggantikan karena yang satu
tidaklah dapat hidup bersama yang lain. Tapi, aktivitas tanpa henti dari watak
inheren mereka, pada saat bersamaan, mengikat mereka semua menjadi satu
kesatuan organik, di mana mereka bukan hanya saling mengkontradiksi satu sama
lain, tapi di mana yang satu adalah sama perlunya dengan yang lain; dan hanya
keperluan yang setara sepanjang waktu inilah yang menjadikan dirinya sebagai
satu kehidupan yang utuh.”[24]
Dialektika dalam Capital
Dalam ketiga jilid Capital, Marx menyediakan satu contoh
gemilang bagaimana metode dialektik dapat digunakan untuk menganalisa proses
yang paling mendasar dalam masyarakat. Dengan melakukan itu, ia
merevolusionerkan ilmu ekonomi-politik, satu fakta yang bahkan tidak berani
dibantah oleh para ekonom yang paling bertentangan pandangannya sekalipun
dengan Marx. Betapa fundamentalnya metode dialektika bagi karya Marx sehingga
Lenin memerlukan untuk mengatakan bahwa mustahillah memahami Capital, terutama
bab-bab awalnya, tanpa terlebih dahulu membaca Logic-nya Hegel! Ini tentu
sesuatu yang berlebihan. Tapi, apa yang dimaksud Lenin adalah fakta bahwa
Capital-nya Marx itu sendiri adalah satu telaah objek yang monumental tentang
bagaimana dialektika harusnya diterapkan.
“Jika Marx tidak
meninggalkan satu “Logika” (dengan huruf besar), setidaknya ia mewariskan satu
logika dari Capital, dan ini haruslah didayagunakan sepenuhnya dalam
permasalahan ini. Dalam Capital, Marx menerapkan satu logika ilmiah tunggal,
dialektika dan teori keilmuan materialisme [sebetulnya tidak membutuhkan tiga
kata: ketiganya adalah hal yang satu dan sama] yang telah mengambil segala hal
yang bermanfaat dari Hegel dan mengembangkannya lebih jauh.”[25]
Metode apa yang
digunakan Marx dalam Capital? Ia tidak memaksakan satu hukum dialektika
terhadap ekonomi tapi menurunkannya dari telaah yang panjang dan berat atas
segala aspek dari proses ekonomi. Ia tidak mengajukan satu skema secara acak,
baru kemudian berusaha mencocok-cocokkan fakta agar cocok dengan skema itu,
melainkan berangkat dari upaya untuk mengungkapkan hukum-hukum gerak produksi
kapitalis melalui penelitian yang teliti atas gejala-gejala itu sendiri.
Dalam Preface to the Critique of Political Economy, Marx
menjelaskan metode yang digunakannya:
“Saya telah meniadakan pengantar umum yang sebenarnya telah saya
tulis karena dari refleksi lebih jauh, semua antisipasi terhadap hasil yang
mungkin dicapai bukanlah hal yang seharusnya terjadi, dan para pembaca yang
secara umum ingin mengikuti jejak saya harus bertekad untuk mengikuti saya
dalam menelusuri jalan dari yang khusus (partikular) ke yang umum.”
Capital merupakan satu terobosan, bukan hanya dalam bidang
ekonomi, tapi bagi ilmu sosial secara umum. Ia memiliki relevansi langsung
dengan berbagai jenis diskusi yang sedang terjadi di kalangan para ilmuwan pada
masa kini. Ketika Marx masih hidup, diskusi-diskusi ini telah dimulai. Pada
masa itu, para ilmuwan masih terobsesi dengan memisah-misahkan segala sesuatu
dan memeriksanya rincian-rinciannya. Metode ini sekarang dikenal sebagai
“reduksionisme”. Marx dan Engels, yang sangat mengkritik metode ini, menyebutnya
sebagai “metode metafisik”. Para penganut mekanisme mendominasi dunia fisika
selama 150 tahun. Baru sekarang reaksi melawan reduksionisme mulai mendapatkan
dukungan. Satu generasi baru ilmuwan telah menyiapkan diri mereka untuk
menghadapi warisan masa lalu ini, dan untuk merumuskan prinsip-prinsip baru,
sebagai pengganti pendekatan-pendekatan yang sudah kuno.
Kita harus berterima kasih pada Marx yang telah memukul mundur
kecenderungan reduksionis dalam bidang ekonomi di pertengahan abad silam. Setelah
Capital, pendekatan semacam itu tidak lagi terpikirkan. Metode a la “Robinson
Crusoe” untuk menjelaskan ekonomi-politik (“bayangkan dua orang yang terdampar
di pulau terpencil...”) kadang kala masih muncul dalam buku teks sekolah yang
bermutu rendah dan upaya-upaya vulgar dalam memopulerkan ekonomi-politik, tapi
semua itu tidak lagi dapat dianggap serius. Krisis ekonomi dan revolusi tidak
akan pernah terjadi di sebuah pulau yang hanya dihuni dua orang! Marx
menganalisa perekonomian kapitalis, bukan sebagai jumlah-total dari tindakan
pertukaran orang per orang, tapi sebagai sebuah sistem yang kompleks, yang
didominasi oleh hukum-hukum internalnya, yang sama kuatnya dengan hukum-hukum
alam. Dengan cara yang sama, para fisikawan kini mendiskusikan ide tentang
kompleksitas, dalam makna sebuah sistem di mana yang keseluruhan bukan sekedar
kumpulan dari bagian-bagiannya. Tentu saja, sangatlah berguna untuk mengetahui,
jika mungkin, hukum-hukum yang mengatur tiap-tiap bagian, tapi sistem yang
kompleks akan diatur oleh hukum-hukum lain, yang bukan sekedar pengulangan dari
hukum-hukum yang mengatur tiap-tiap bagiannya. Inilah metode Capital-nya Marx -
metode materialisme dialektik.
Marx memulai karyanya dengan satu telaah tentang unit dasar dari
perekonomian kapitalis – komoditi. Dari sini ia melanjutkan dengan menjelaskan
bagaimana semua kontradiksi dalam masyarakat kapitalis muncul. Reduksionisme
memperlakukan segala hal sebagai keseluruhan dan sebagian, yang khusus dan yang
umum sebagai sesuatu yang tidak kompatibel satu sama lain dan saling tidak
berhubungan, padahal mereka tidak dapat saling dipisahkan. Mereka saling
merasuki dan saling menentukan satu sama lain. Dalam jilid pertama Capital,
Marx menjelaskan watak ganda dari komoditi, sebagai nilai-guna dan nilai-tukar.
Kebanyakan orang melihat komoditi hanya sebagai nilai-guna, objek yang konkret
dan berguna untuk memuaskan kebutuhan manusia. Nilai-guna selalu dihasilkan di
sepanjang jaman, dalam tiap tipe masyarakat.
Walau demikian, masyarakat kapitalis melakukan hal yang aneh
pada nilai-guna. Ia mengubah nilai itu menjadi nilai-tukar – barang-barang yang
diproduksi bukan untuk langsung dikonsumsi, melainkan untuk dijual. Tiap
komoditi, dengan demikian, memiliki dua wajah – wajah nilai-guna yang akrab dan
familier, dan wajah nilai tukar yang misterius dan tersembunyi di balik kedok.
Wajah yang pertama terhubung langsung dengan ciri-ciri fisik dari komoditi
tertentu (kita mengenakan pakaian, meminum kopi, mengemudi kendaraan, dan
lain-lain). Tapi nilai-tukar tidaklah terlihat, tidak dapat dipakai atau tidak
dapat dimakan. Nilai ini tidak memiliki keberadaan material apapun. Walau
demikian, ia adalah hakikat esensial dari komoditi di bawah kapitalisme.
Ekspresi puncak dari nilai-tukar adalah uang, yang merupakan alat tukar
universal. Semua komoditi menyatakan nilainya melalui ini. Potongan-potongan
kertas hijau itu tidak memiliki hubungan apapun dengan pakaian, kopi atau
mobil. Kita juga tak dapat memakannya, mengenakannya atau mengemudikannya. Tapi
ada satu kekuatan yang mereka kandung, yang sungguh diakui secara universal,
sehingga orang rela membunuh untuk mendapatkannya.
Watak ganda dari komoditi mengekspresikan kontradiksi sentral
dari masyarakat kapitalis –yakni konflik antara kerja-upahan dan kapital. Kaum
buruh berpikir bahwa mereka menjual tenaganya pada para majikan, tapi, pada
kenyataannya, mereka hanya menjual kemampuan kerja-nya, yang akan digunakan
oleh para majikan sesuai kehendaknya. Nilai-lebih yang kemudian dihasilkan
adalah hasil kerja kelas pekerja yang tidak dibayarkan kepada mereka, yakni
sumber akumulasi kapital. Kerja yang tidak dibayar inilah yang membiayai
anggota-anggota masyarakat yang tidak bekerja, melalui rente, bunga, keuntungan
dan pajak. Perjuangan kelas sesungguhnya adalah perjuangan untuk perebutan
nilai-lebih ini.
Marx tidak menciptakan istilah nilai-lebih, yang telah dikenal
oleh para ekonom sebelumnya seperti Adam Smith dan David Ricardo. Tapi, dengan
mengungkap kontradiksi sentral yang terkandung di dalamnya, ia telah
merevolusionerkan ekonomi-politik. Penemuan ini dapat diperbandingkan dengan
proses yang mirip dalam sejarah ilmu kimia. Sebelum akhir abad ke-18, orang
menganggap bahwa hakikat dari semua pembakaran terkandung dalam pemisahan satu
zat hipotesis yang disebut phlogiston dari zat yang terbakar. Teori ini
digunakan untuk menjelaskan kebanyakan gejala kimiawi yang dikenal masa itu.
Lalu, di tahun 1774, ilmuwan Inggris Joseph Priestly menemukan sesuatu yang
disebutnya “udara yang telah dikeluarkan phlogiston-nya”, karena kemudian
ditemukan bahwa phlogiston akan hilang dari udara jika satu zat dibakar di
dalamnya.
Priestly telah, pada kenyataannya, menemukan oksigen. Tapi ia
dan ilmuwan lain tidak sanggup menyadari implikasi revolusioner yang terkandung
dalam penemuan ini. Kemudian, seorang ahli kimia Prancis Lavoisier menemukan
bahwa jenis udara baru itu sesungguhnya adalah sebuah unsur kimia, yang tidak
lenyap dalam sebuah proses pembakaran, tapi bergabung dengan zat yang dibakar.
Sekalipun orang lain yang menemukan oksigen, mereka tidak tahu apa yang mereka
temukan. Inilah penemuan besar Lavoisier. Marx memainkan peranan yang serupa
dalam bidang ekonomi-politik.
Para pendahulu Marx telah menemukan keberadaan nilai-lebih, tapi
watak sejatinya terus terbungkus dalam kabut. Dengan menelaah secara teliti dan
kritis semua teori yang ada, dimulai dari teorinya Ricardo, Marx dapat
menemukan watak sejati yang kontradiktif dari nilai-lebih. Ia menyelidiki
seluruh relasi-relasi dalam masyarakat kapitalis, dimulai dari bentuk produksi
dan pertukaran komoditi yang paling sederhana, dan mengikuti proses itu melalui
berbagai jenis perubahannya, dengan menggunakan metode dialektika.
Marx menunjukkan relasi antara komoditi dan uang, dan menjadi
orang pertama yang melakukan analisis yang luas tentang uang. Ia menunjukkan
bagaimana uang diubah menjadi kapital, menunjukkan bagaimana perubahan ini
dihasilkan melalui pembelian dan penjualan kemampuan kerja. Perbedaan
fundamental antara kerja dan kemampuan kerja adalah kunci yang telah menyingkap
misteri nilai-lebih, satu masalah yang tidak berhasil diselesaikan oleh
Ricardo. Dengan menegaskan perbedaan antara kapital konstan dan variabel, Marx
sanggup menelusuri seluruh proses pembentukan kapital secara rinci, dan
menjelaskannya, satu hal yang tidak sanggup dilakukan satu pun pendahulunya.
Metode Marx seluruhnya dialektik, dan mengikuti dengan cukup
dekat garis-garis utama yang digariskan oleh Logic-nya Hegel. Hal ini
dinyatakan secara eksplisit dalam Catatan Susulan terhadap Edisi Kedua dalam
Bahasa Jerman, di mana Marx memberi penghargaan yang tinggi kepada Hegel:
“Walaupun sang penulis menggambarkan apa yang dianggapnya adalah
murni pemikiran saya, dalam cara yang tegas dan (sejauh menyangkut penerapan
saya akan hal ini) murah hati ini, apa lagi yang sedang ia gambarkan selain
metode dialektika?
“Tentu saja metode penyajiannya harus berbeda dalam bentuknya
dari sekedar inkuisisi. Kalau bentuk itu yang dipakai, maka penyajiannya harus
menyajikan material secara detil dengan menganalisa berbagai bentuk
perkembangan, dengan menelusuri hubungan-hubungan internalnya. Hanya jika
tugas-tugas ini telah dilakukan, pergerakan nyata yang terjadi dapat
digambarkan dengan baik. Jika tugas ini dilakukan dengan berhasil, jika
kehidupan materi-subjek tercermin dengan ideal seperti halnya bayangan cermin,
maka mungkin akan terlihat bahwa apa yang kami lakukan hanyalah sekedar
konstruksi a priori....
“Sisi yang mistik dari dialektika Hegelian telah saya kritisi
hampir tiga puluh tahun lalu, pada waktu ia masih menjadi mode. Tapi ketika
saya baru mulai mengerjakan jilid pertama Das Kapital, para epigon (penjiplak)
yang sombong, rewel dan medioker itu, yang sekarang berbicara seperti seorang
Jerman yang berbudaya, sedang bersenang-senang memperlakukan Hegel dengan cara yang
sama seperti yang dilakukan Moses Mendelssohn dalam memperlakukan Spinoza pada
masa Lessing, yaitu sebagai “barang kuno yang tak lagi berguna”. Maka itu,
dengan ini saya menyatakan diri secara terbuka sebagai murid dari pemikir besar
itu, dan bahkan di sana-sini, dalam bab tentang nilai, masih terus menggunakan
metode pernyataan yang diciptakannya. Mistifikasi yang diderita dialektika di
tangan Hegel, sama sekali tidak membuatnya gagal menjadi orang yang pertama
berhasil menyajikannya dalam bentuk fungsi umum yang komprehensif dan sadar.
Pada Hegel, dialektika berdiri terjungkir di atas kepalanya. Ia harus
dibalikkan ke kakinya lagi jika Anda ingin menemukan mutiara yang ada di balik
cangkang mistik itu.
“Dalam bentuknya yang
mistis, dialektika menjadi mode di Jerman, karena ia nampak memberi bentuk baru
dan memuliakan kondisi-kondisi yang ada dari segala hal. Dalam bentuknya yang
rasional ia adalah sebuah skandal dan kutukan bagi keborjuisan dan para
profesor doktrinernya, karena di dalamnya terkandung satu pemahaman dan
pengakuan afirmatif terhadap berbagai hal yang ada, dan sekaligus pada saat
bersamaan, keniscayaan akan penghancurannya; karena ia memandang segala bentuk
sosial yang berkembang dalam sejarah sebagai pergerakan yang fluid, dan dengan
demikian mempertimbangkan pula wataknya yang sementara, tidak kurang dari
keberadaannya yang fana; karena ia tidak membiarkan sesuatu pun mengatasinya,
dan dalam hakikatnya berwatak kritis dan revolusioner.”[26]
___________________
Catatan Kaki
[1] Trotsky, In
Defence of Marxism, hal. 66.
[2] Marx, Capital,
Vol. 1, hal. 19.
[3] David Bohm,
Causality dan Chance in Modern Physics, hal. 1.
[4] R. P. Feynman,
Lectures on Physics, chapter 1, hal. 8.
[5] Aristotle, Metaphysics,
hal. 9.
[6] Engels,
Dialectics of Nature, hal. 92.
[7] Trotsky, In
Defence of Marxism hal. 106-7.
[8] M. Waldrop,
Complexity, hal. 82.
[9] Engels,
Dialectics of Nature, hal. 90-1.
[10] Engels,
Anti-Dühring, hal. 162.
[11] J. Gleick,
Chaos, Making a New Science, hal. 127.
[12]M. Waldrop,
Complexity, hal. 65.
[13] Bohm, Causality
dan Chance in Modern Physics, hal. x.
[14] Engels,
Anti-Dühring, hal. 163.
[15] I. Stewart,
Does God Play Dice? hal. 22
[16] Feynman,
Lectures on Physics, bab 2, hal. 5.
[17] Engels,
Dialectics of Nature, hal. 345-6.
[18] Hegel, Science
of Logic, Vol. 1, hal. 258.
[19] B. Hoffmann,
The Strange Story of the Quantum, hal. 159.
[20] Engels,
Dialectics of Nature, hal. 96.
[21] Engels,
Dialectics of Nature, hal. 95-96 dan hal. 110
[22] Engels,
Dialectics of Nature, hal. 107 dan 108
[23] Georgi
Plekhanov(1856-1918) adalah Bapak Marxisme Rusia. Dia adalah salah satu pendiri
organisasi Marxis pertama di Rusia: Kelompok Emansipasi Buruh. Dianggap oleh
Lenin sebagai gurunya, dia pada akhirnya berseberangan dengan Lenin mengenai
masalah Revolusi Rusia 1917, dan menentang Revolusi Oktober.
[24] Hegel,
Phenomenology of Mind, hal. 68.
[25] Lenin,
Collected Works (LCW), Vol. 38, hal. 319.
[26] Marx, Capital,
Vol. 1, hal. 19-20.
0 komentar:
Post a Comment