BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah
sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi
terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang
berada dalam kelompok tersebut. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah
suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah
sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain).
Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup
bersama dalam satu komunitas yang teratur.
1.2
Definisi Masyarakat
Dalam Bahasa Inggris disebut Society, asal katanya Socius
yang berarti “kawan”. Kata "Masyarakat" berasal dari bahasa Arab, yaitu Syiek, artinya “bergaul”.
Adanya saling bergaul ini tentu karena ada bentuk – bentuk akhiran hidup,
yang bukan disebabkan oleh manusia sebagai pribadi melainkan oleh unsur-unsur
kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang merupakan kesatuan. Masyarakat
(sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang
membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian
besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok
tersebut. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan
antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen
(saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk
mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Masyarakat (society)
merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan komunitas manusia yang tinggal
bersama-sama. Boleh juga dikatakan
masyarakat itu merupakan jaringan perhubungan antara berbagai
individu. Dari segi pelaksanaan, masyarakat adalah sesuatu yang dibuat atau
tidak dibuat oleh kumpulan orang itu. Masyarakat merupakan subjek utama dalam
pengkajian sains sosial.
Istilah society datang daripada bahasa Latin societas
yang berarti hubungan baik dengan orang lain. Sedangkan istilah societas
sendiri diambil dari socius yang berarti teman, maka makna masyarakat
itu adalah berkaitan erat dengan apa yang dikatakan sosial. Ini bermakna
tersirat dalam kata masyarakat bahwa ahli-ahlinya mempunyai kepentingan dan
matlamat yang sama. Maka, masyarakat selalu digunakan untuk menggambarkan
rakyat sebuah negara.
1.3
Masyarakat
Perkotaan
1.3.1
Pengertian Kota
Seperti halnya desa, kota juga mempunyai pengertian yang
bermacam-macam seperti pendapat beberapa ahli. Menurut Wirth, kota adalah suatu
wilayah yang cukup besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang
heterogen kedudukan sosialnya. Sedangkan Max Weber berpendapat, bahwa kota
menurutnya, apabila penghuni setempatnya dapat memenuhi sebagian besar
kebutuhan ekonominya di pasar lokal. Dan seorang Dwight Sanderson mendefinisikan
kota sebagai tempat yang berpenduduk sepuluh ribu orang atau lebih.
Dari beberapa pendapat secara umum dapat dikatakan
mempunyai ciri-ciri mendasar yang sama. Pengertian kota dapat dikenakan pada
daerah atau lingkungan komunitas tertentu dengan tingkatan dalam struktur
pemerintahan.
1.3.2
Pengertian Masyarakat Perkotaan
Masyarakat perkotaan atau urban community adalah masyarakat kota yang tidak tentu jumlah
penuduknya. Tekanan pengertian "kota" terletak pada sifat serta cirri
kehidupan yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Antara warga masyarakat
pedesaan dan perkotaan, mereka mempunyai perbedaan dalam hal perhatian,
khususnya terhadap keperluan hidup.
Di desa, biasanya yang diutamakan adalah perhatian khusus
terhadap keperluan utama kehidupan seperi hubungan-hubungan yang memperhatikan
fungsi pakaian, rumah, dan sebagainya. Hal ini berbeda dengan orang kota yang
sudah memandang penggunaan kebutuhan hidup sehubungan dengan pandangan
masyarakat sekitarnya. Dalam cara menghidangkan makanan misalnya, masyarakat
kota tidak mau ribet dengan berbagai cara memasak, sehingga kebanyakan mereka
membeli makanan kaleng yang hanya butuh dihangatkan beberapa menit saja atau
bahkan membeli makanan cepat saji. Makanan serta cara penghidangannya
harus mampu menunjukkan kedudukan sosial penghidangnya. Makanan itu harus
kelihatan mewah, begitu juga dengan tempat menghidangkannya yang harus terlihat
mewah dan terhormat. Hal ini berbeda dengan orang desa, dimana mereka memasak
makanan sendiri tanpa memedulikan apakah tamunya suka atau tidak. Bagi
masyarakat desa, makanan menurut mereka adalah suatu kebutuhan biologis.
Sedangkan orang kota menganggap makan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan
sosial.
1.3.3
Ciri-ciri Masyarakat Kota
Menurut Talcott Parsons tipe masyarakat perkotaan di antaranya
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1.
Netral Afektif
Masyarakat kota memperlihatkan sifat yang lebih mementingkat
rasionalitas dan sifat rasional ini erat hubungannya dengan konsep Gesellschaft
atau Association. Mereka tidak mau mencampuradukkan hal-hal yang bersifat
emosional atau yang menyangkut perasaan pada umumnya dengan hal-hal yang
bersifat rasional, itulah sebabnya tipe masyarakat itu disebut netral dalam
perasaannya.
2.
Orientasi Diri
Manusia dengan kekuatannya sendiri harus dapat mempertahankan
dirinya sendiri, pada umumnya masyarakat di kota itu bukan orang yang mempunyai
hubungan kekeluargaan dengan kita. Oleh karena itu, setiap orang di kota
terbiasa hidup tanpa menggantungkan diri pada orang lain, mereka cenderung
untuk individualistik.
3.
Universalisme
Berhubungan dengan semua hal yang berlaku umum, oleh karena
itu pemikiran rasional merupakan dasar yang sangat penting untuk universalisme.
4.
Prestasi
Mutu atau prestasi seseorang akan dapat menyebabkan orang
itu diterima berdasarkan kepandaian atau keahlian yang dimilikinya.
5.
Heterogenitas
Masyarakat kota lebih memperlihatkan sifat heterogen,
artinya terdiri dari lebih banyak komponen dalam susunan penduduknya.
Sementara itu, ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat
perkotaan yang biasa kita jumpai , yaitu :
1.
Kehidupan keagamaannya berkurang, kadangkala tidak terlalu dipikirkan
karena memang kehidupan yang cenderung ke arah duniawi saja.
2.
Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain (individualisme).
3.
Pembagian kerja diantara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai
batas-batas yang nyata.
4.
Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak
diperoleh warga kota.
5.
Jalan kehidupan yang cepat dikota-kota, mengakibatkan pentingnya faktor
waktu bagi warga kota, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting,
intuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu.
6.
Perubahan-perubahan tampak nyata di kota-kota, sebab kota-kota
biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Fenomena
Sosial Masyarakat di Perkotaan
2.1.1 Jumlah
anak jalanan, gelandangan dan pengemis (gepeng) yang makin banyak.
Penyandang
masalah sosial seperti gelandangan dan pengemis (gepeng) dan pedagang asongan
merupakan fenomena sosial yang tidak dapat dihindarkan keberadaannya dari
kehidupan masyarakat, terutama yang berada di daerah perkotaan. Selama ini,
kebijakan yang sering diterapkan dalam menangani anak jalanan adalah dengan
mendirikan rumah singgah. Rumah singgah adalah konsep pembinaan anak jalanan
dengan cara melokalisir keberadaan mereka sehingga tidak hidup secara liar dan
meresahkan masyarakat sekitar. Namun keberadaan rumah singgah sering tidak
menyelesaikan persoalan. Banyak anak jalanan yang bosan dengan program rumah
singgah yang diterapkan oleh pemerintah daerah. Mereka lebih merasa bebas dan nyaman dengan tetap hidup
dengan cara mereka sendiri.
Keterbatasan sumber daya aparatur pemerintah dan
banyaknya masyarakat yang masih bersimpati dengan cara memberikan sumbangan di
persimpangan jalan dan di tempat-tempat umum lainnya juga jadi kendala, serta
adanya kenyataannya bahwa penghasilan gelandangan, pengemis dan pedagang
asongan dengan meminta sedekah dan berjualan di jalanan lebih banyak daripada memiliki
usaha sendiri yang permanen. Gelandangan, pengemis dan pedagang
asongan mendapatkan uang tanpa ada usaha kerja keras namun melanggar norma yang
berlaku di masyarakat serta mengganggu ketertiban dan ketentraman masyarakat.
Persoalan
ini menjadi dilema bagi pemerintah karena di satu sisi pemerintah melakukan
pembinaan agar gepeng dan pedagang asongan tidak meminta-minta dan berjualan di
jalanan, namun di sisi lain masyarakat memberikan sedekah di jalanan dan
membeli sesuatu dari pedagang asongan tersebut, dan bahkan kegiatan gelandangan
dan pengemis dilaksanakan melalui eksploitasi oknum-oknum tertentu untuk
mencari keuntungan.
2.1.2
Perilaku
Menyimpang Masyarakat Migran Pemukiman Kumuh di Perkotaan
Pengaruh pertambahan penduduk di lingkungan perkotaan
terhadap kehidupan masyarakat, dapat bersifat positif bersifat negatif. Yang
paling banyak disoroti oleh para perencana kota adalah pengaruh negatif
pertambahan penduduk, antara lain terbentuknya pemukiman kumuh, yang sering
disebut sebagai slum area. Daerah ini sering dipandang potensial
menimbulkan banyak masalah perkotaan, karena dapat merupakan sumber timbulnya
berbagai perilaku menyimpang, seperti kejahatan, dan sumber penyakit sosial
lainnya. Disamping itu, Mc Gee (1971) memandang bahwa perpindahan
penduduk ke kota sering mengakibatkan urban berlebih yang pada akhirnya
menimbulkan banyak masalah yang berhubungan dengan pengangguran, ketidakpuasan
di bidang sosial dan ekonomi.
Peristiwa ini cenderung
menimbulkan kesulitan tersendiri, terutama bagi penduduk yang datang dari
pedesaan. Hal
ini terjadi antara lain karena adanya perbedaan struktur sosial antara desa dan
kota. Adanya perbedaan nilai budaya dan nilai kemasyarakatan yang dialami
penduduk pendatang, mengakibatkan hilangnya norma yang dapat dijadikan standar
dalam mencapai tujuan perpindahannya ke kota. Keadaan ini biasanya ditandai
dengan ditinggalkannya kebiasaan yang lama dan mulai menginjak pada kebiasaan
yang baru.
Penduduk kota yang semakin membengkak ini sudah barang
tentu akan menyebabkan timbulnya berbagai kerawanan sosial di perkotaan. Para migran dari desa ketika pertama kali datang ke kota
akan mengalami kesulitan-kesulitan, baik dalam memperoleh prasarana hidup di
kota, maupun bebab psikologis yang dihadapi terhadap lingkungan perkotaan.
Terjadinya benturan dari kebiasaan lama ke kebiasaan baru yang pada akhirnya
menimbulkan krisis identitas yang merupakan manifestasi dari ketiadaan norma
(anomie), yakni kesenjangan antara ditinggalkannya norma tradisional yang
mereka hayati sewaktu tinggal di desa dengan diterimanya norma baru di kota.
Keadaan ini akan memudahkan para migran melakukan perbuatan yang melanggar
norma (perilaku menyimpang) ataupun terjerumus ke dalam tindakan-tindakan
kejahatan (Nasikun, 1980).
Pada umumnya kaum
migran semakin terjebak ke dalam keadaan kehidupan perekonomian yang semakin
memburuk. Ketidak berhasilan dalam perjuangan usaha untuk memperbaiki
perekonomian dan kesejahteraan hidup ini semakin mendorong terbentuknya sikap
anomie sebagai akibat dari keputusasaan dan kehilangan pegangan hidup bagi kaum
migran. Anomie terjadi karena tujuan yang sudah ditentukan semula dengan
persiapan modal, keterampilan dan berbagai cara yang dianggap dapat diandalkan,
ternyata tidak dapat diwujudkan. Kecuali itu karena motivasi untuk mencapai
sukses terlalu tinggi yang tidak seimbang dengan kemampuan persaingan dan kerja
keras.
Kaum migran biasanya tidak sanggup dan bahkan gagal dalam
usaha mencapai kemajuan, kesejahteraan dan kepuasaan yang diharapkan di
tengah-tengah kehidupan perkotaan yang komplek penuh dengan persaingan dengan
modal kejujuran dan kebenaran. Akibatnya adalah menimbulkan dorongan baru bagi
kaum migran untuk mengubah, mencari dan mengadopsi cara-cara baru yang dianggap
dapat mencapai keberhasilan, kendatipun harus melanggar norma-norma sosial atau
tujuan-tujuan budaya dan cara-cara ilegal lainnya.
Ada beberapa jenis penyimpangan perilaku yang sering
terjadi di lokasi permukiman, diantaranya adalah membuang sampah disembarang
tempat, corat-coret tembok, tamu menginap tidak melapor, enggan membuat KTP,
mabuk-mabukan dan skandal dengan sesama jenis, begadang sambil menyanyi keras
hingga larut malam dan menggoda para wanita pejalan kaki.
2.1.3
Fenomena
Perilaku Meminta-Minta Dengan Tragedi Pembagian Zakat.
Di zaman
yang serba sulit ini banyak orang yang mengalami situasi yang tidak mereka
inginkan. Dimana faktor keterbatasan ekonomi menjadi alasan utama untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak semestinya mereka lakukan. Pencurian, penyalahgunaan
narkoba menjadi mata pencaharian yang paling instant yang mereka pilih.
Mengapa? Karena mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk dan modal yang besar.
Di
jalan-jalan kita sering melihat banyak orang yang terkena depresi, mungkin itu
disebabkan oleh tekanan ekonomi yang membelit mereka. Yang paling membuat kita
trenyuh adalah soal pembagian zakat yang akhir-akhir ini membawa korban. Coba
bayangkan mereka berebut uang sebesar Rp 10.000, sembako, dan entah barang apa
saja yang dibagikan saudagar-saudagar kaya di luar sana dengan mempertaruhkan
nyawa mereka. Setiap melihat berita di televisi masalah pembagian zakat ini,
tayangan berita itu pasti mencantumkan berapa korban yang jatuh, terinjak,
pingsan, bahkan meninggal dalam acara tersebut. Ini mungkin dikarenakan oleh
faktor kurangnya lapangan pekerjaan ataupun kurangnya pendidikan mereka
sehingga mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan, dimana kebutuhan mereka
banyak sehingga jiwa mereka tidak bisa menerima itu semua dan mengakibatkan
mereka depresi. Hal ini menjadi PR bagi pemerintah, bagaimana menerapkan kebijakan
publik untuk membuat rakyat negeri ini menjadi lebih baik mentalnya.
2.1.4
Iklan
Konsumtif Pada Saat Lebaran
Semua kalangan masyarakat dimanapun merasa perlu menyambut dan
merayakan yang namanya Lebaran ini dengan caranya masing-masing. Maka telah
menjadikan Lebaran sebagai sebuah momentum meningkatnya konsumsi masyarakat
terhadap kebutuhan-kebutuhan pokok (primer) dan terutama adalah pada kebutuhan
non primer (sekunder dan tersier). Anggapan dan penilaian bahwa yang namanya
Idul Fitri adalah serba baru telah menggiring masyarakat menjadi bersifat
konsumtif disaat Lebaran datang.
Tawaran diskon dan potongan harga serta yang dinamakan cuci gudang
benar-benar menyihir masyarakat untuk melakukan peningkatan konsumsi yang luar
biasa sewaktu menyambut yang namanya Lebaran ini. Baju-baju didiskon di
mall-mall. Sepatu dan sendal ditawarkan potongan harga. Pernak-pernik perhiasan
diberikan harga khusus. Bahkan yang namanya handphone keluaran baru juga
dibandrol dengan harga murah. Objek-objek wisata menawarkan perlakuan dan harga
tiket masuk khusus sewaktu hari Lebaran tiba.
Akan tetapi bagaimana dengan sembako (kebutuhan bahan pangan). Apakah
untuk komoditas ini juga ada perlakukan yang menggiurkan masyarakat? Jawabnya
adalah tidak. Bahkan harga cenderung naik berlipat-lipat. Kebutuhan yang dicap
sebagai kebutuhan primer diwaktu Lebaran menjelang justru dibandrol dengan
harga yang melangit. Demikian pula dengan jasa transportasi. Semua butuh dan
semua pasti mau beli dengan harga berapapun sebab ini kebutuhan pokok manusia.
Lalu sebenarnya berapa perputaran uang yang ada di masyarakat serta
tingkat konsumsi sewaktu Lebaran tiba itu? Ada salah satu penelitian menarik
yang dilakukan di kawasan Solo Raya oleh sebuah media massa di tahun 2008 lalu
bahwa ternyata perputaran uang menjelang Lebaran (H-5) mencapai 10 kalinya dari
perputaran uang biasanya. Artinya ini ada 10 kali peningkatan konsumsi
masyarakat dari tingkat konsumsi masyarakat Solo Raya selain Lebaran. Entah
bagaimana metodologi riset ini, karena saya hanya kaumbiasa maka saya hanya
bisa melihat hasilnya yang cukup fantastis itu. Dan hanya bisa membuat analogi,
jika per orang di hari biasa hanya mengkonsumsi sate kambing 1 piring maka di
hari Lebaran dia akan mengkonsumsi 10 piring. Begitukah?
2.1.5 Kenakalan
Remaja
Kenakalan remaja sangat dipengaruhi oleh
keluarga walaupun faktor lingkungan juga sangat berpengaruh. Faktor keluarga sangatlah penting karena merupakan
lingkungan pertama, lingkungan primer. Apabila lingkungan keluarga tidak
harmonis yaitu mengalami hal-hal seperti keluarga broken home yang disebabkan
perceraian, kebudayaan bisu, dan perang dingin serta kesalahan pendidikan akan
berpengaruh kepada anak yang dapat menimbulkan kenakalan remaja. Bagaimanapun
kenakalan remaja harus dilakukan pengendalian karena apabila berkelanjutan akan
menyebabkan kerusakan pada kehidupannya pada masa yang akan datang. Selain dari
pihak keluarga pengendalian kenakalan remaja juga harus dilakukan dari
lingkungan remaja tersebut.
2.1.6
Menurunnya
Nasionalisme Bangsa di Era Reformasi
Kebangkitan Nasional mempunyai arti yang sangat penting dan strategis.
Penting dan strategis karena secara internal kita sedang dalam perjalanan
reformasi, yang dinamikanya di samping telah membuka berbagai pintu harapan,
tetapi juga sekaligus pintu kerawanan. Sementara secara eksternal hantaman
gelombang globalisasi yang mendunia mudah menghanyutkan apa pun dan siapa pun
yang tidak kokoh berakar dalam jati dirinya.
Nilai-nilai intrinsik dan nilai-nilai fundamental bangsa yang selama
ini menjadi landasan bangunan kebangsaan dan kenegaraan kita seakan tiada
bermakna lagi karena terlalu silau dengan nilai-nilai baru yang belum tentu
sesuai dengan karakter dan kultur bangsa Indonesia.
Perbedaan-perbedaan yang muncul tidak saja sebatas perbedaan pandangan,
tetapi juga mengarah pada perbedaan ideologi dan bahkan juga benturan fisik.
Perubahan yang mewarnai era global menunjukkan bahwa bentuk ancaman
terhadap dunia mengalami transformasi dari perang berskala besar menjadi
konflik berintensitas rendah. Konflik berintensitas rendah berkembang dalam
bentuk terorisme, vandalisme, penjarahan, konflik kesukuan, konflik agama, dan
pertikaian sosial.
Dalam bentuknya yang baru, penjajahan tidak selalu berupa penguasaan
teritorial dengan kekerasan bersenjata, tetapi menciptakan ketergantungan
dengan memainkan potensi konflik yang ada melalui perang informasi dan perang
ekonomi.
Nasionalisme Indonesia dibangun dengan prinsip mengutamakan kebersamaan dan hak kolektif.
Karena hanya dengan kebersamaan dan kolektivitas, potensi konflik akibat
keanekaragaman suku, agama, ras, dan adat istiadat dapat dicegah dan
dieliminasi. Tanpa itu, sulit rasanya terwujud Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dalam keadaannya
yang demikian, keanekaragaman merupakan sebuah ”potensi” berharga yang telah
terbingkai oleh founding fathers kita dalam sesanti ”Bhinneka Tunggal Ika” yang
ruh sesungguhnya tidak lain dari persatuan dan kesatuan.
Persoalan mendasar yang harus menjadi pemahaman bersama bahwa setiap
masa membawa tantangannya sendiri. Penjajahan dalam bentuknya yang halus hadir bersama
gelombang pasang globalisasi, yaitu bergulirnya suatu proses transformasi
berbagai dimensi kehidupan sosial yang mengarah kepada satu pusat budaya
kosmopolitan dengan mendesakkan uniformitas secara universal.
Secara perlahan, tetapi pasti, proses universalisasi ini mengikis
batas-batas identitas individu dan negara secara hampir bersamaan melalui
liberalisasi ekonomi dan demokratisasi di tingkat global maupun nasional.
Dampak nyata yang kita rasakan adalah adanya kecenderungan menguatnya sikap
konsumerisme dan individualisme, serta mereduksi semangat kolektivitas yang
memunculkan gejala penolakan terhadap konsep persatuan dan kesatuan sebagai
sebuah dogma.
Jika tantangan yang harus kita hadapi memang demikian, tidak ada jalan
lain untuk menghadapinya kecuali dengan revitalisasi dan reaktualisasi
kebangsaan dan nasionalisme kita.
Kekuatan nasionalisme harus kita perkokoh lagi dengan melepaskan sikap
individualistis, egoistis, hedonistis, dan konsumeristis yang mengoyak
kebersamaan, toleransi, semangat gotong royong, dan musyawarah mufakat yang
selama ini menjadi kekayaan bangsa Indonesia. Tentu kita tidak ingin kehilangan
keindonesiaan kita
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Masalah sosial di perkotaan adalah pertambahan
penduduk yang tidak terkendali, tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat
kota dengan lingkungan di sekitar itu rendah sekali sehingga berdampak sangat
besar. Di sini hukum rimba pun berlaku dimana yang kuat yang berkuasa dan yang
lemah pasti akan tertindas. Tidak ada lagi yang namanya tepo seliro. Terjadilah kesenjangan sosial yang menyebabkan ketidakseimbangan
dalam kehidupan perkotaan. Dimana orang hanya akan memperdulikan dirinya
sendiri dan tidak memperdulikan orang lain lagi.
3.2
Saran-saran
Menurut
saya, untuk fenomena sosial yang ada di masyarakat sekarang terletak pada
pemerintah kota sendiri. Bagaimana mau menangani kota tersebut. Apakah kota
tersebut mau di jadikan kota komersial atau kota budaya atau kota industri. Sehingga
karakteristik kota tersebut ada. Kota dianggap dapat memenuhi kebutuhan semua
orang karena berbeda dengan desa.
0 komentar:
Post a Comment