Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Saturday, May 12, 2018

Pemikiran ORMAS ICMI




BAB I
Penulis:  Risnayanti Dewi Amirudin
a.      Pendahuluan
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia disingkat ICMI adalah sebuah organisasi cendekiawan muslim di Indonesia. ICMI dibentuk pada tanggal 7 Desember 1990 di sebuah pertemuan kaum cendekiawan muslim di Kota Malang tanggal 6-8 Desember 1990. Di pertemuan itu juga dipilih Baharuddin Jusuf Habibie sebagai ketua ICMI yang pertama.
Kelahiran ICMI bukanlah sebuah kebetulah sejarah belaka, tapi erat kaitannya dengan perkembangan global dan regional di luar dan di dalam negeri. Menjelang akhir dekade 1980-an dan awal dekade 1990-an, dunia ditandai dengan berakhirnya perang dingin dan konflik ideologi.
Seiring dengan itu semangat kebangkitan Islam di belahan dunia timur ditandai dengan tampilnya Islam sebagai ideologi peradaban dunia dan kekuatan altenatif bagi perkembangan perabadan dunia. Bagi Barat, kebangkitan Islam ini menjadi masalah yang serius karena itu berarti hegemoni (pengaruh kepemimpinan) mereka terancam. Apa yang diproyeksikan sebagai konflik antar peradaban lahir dari perasaan Barat yang subyektif terhadap Islam sebagai kekuatan peradaban dunia yang sedang bangkit kembali sehingga mengancam dominasi peradaban Barat. Kebangkitan umat Islam ditunjang dengan adanya ledakan kaum terdidik (intelectual booming) yang di kalangan kelas menengah kaum santri Indonesia. Program dan kebijakan Orde Baru secara langsung maupun tidak langsung telah melahirkan generasi baru kaum santri yang terpelajar, modern, berwawasan kosmopolitan (mempunyai wawasan yang luas), berbudaya kelas menengah, serta mendapat tempat pada institusi-institusi modern.

BAB II
a.        Sejarah berdirinya ICMI
Kelahiran ICMI berawal dari diskusi kecil di bulan Februari 1990 di masjid kampus Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang. Sekelompok mahasiswa merasa prihatin dengan kondisi umat Islam, terutama karena “berserakannya” keadaan cendekiawan muslim, sehingga menimbulkan polarisasi (proses) kepemimpinan di kalangan umat Islam. Masing-masing kelompok sibuk dengan kelompoknya sendiri, serta berjuang secara parsial (berhubungan) sesuai dengan aliran dan profesi masing-masing.
Dari forum itu kemudian muncul gagasan untuk mengadakan simposium dengan tema, “Sumbangan Cendekiawan Muslim Menuju Era Tinggal Landas” yang direncanakan akan dilaksanakan pada tanggal 29 September - 1 Oktober 1990. Mahasiswa Unibraw yang terdiri dari Erik Salman, Ali Mudakir, M. Zaenuri, Awang Surya dan M. Iqbal berkeliling menemui para pembicara, di antaranya Immaduddin Abdurrahim dan M. Dawam Rahardjo. Dari hasil pertemuan tersebut pemikiran mereka terus berkembang sampai muncul ide untuk membentuk wadah cendekiawan muslim yang berlingkup nasional. Kemudian para mahasiswa tersebut dengan diantar Imaduddin Abdurrahim, M. Dawam Rahardjo dan Syafi’i Anwar menghadap Menristek Prof. B.J. Habibie dan meminta beliau untuk memimpin wadah cendekiawan muslim dalam lingkup nasional. Waktu itu B.J. Habibie menjawab, sebagai pribadi beliau bersedia tapi sebagai menteri harus meminta izin dari Presiden Soeharto. Beliau juga meminta agar pencalonannya dinyatakan secara resmi melalui surat dan diperkuat dengan dukungan secara tertulis dari kalangan cendekiawan muslim. Sebanyak 49 orang cendekiawan muslim menyetujui pencalonan B.J. Habibie untuk memimpin wadah cendekiawan muslim tersebut.
Pada tanggal 27 September 1990, dalam sebuah pertemuan di rumahnya, B.J. Habibie memberitahukan bahwa usulan sebagai pimpinan wadah cendekiawan muslim itu disetujui Presiden Soeharto. Beliau juga mengusulkan agar wadah cendekiawan muslim itu diberi nama, Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia, disingkat ICMI.
Tanggal 28 September 1990, sejumlah cendekiawan muslim bertemu lagi dalam rangka persiapan simposium yang akan diselenggarakan bulan Desember. Pada tanggal 25-26 November 1990, sekitar 22 orang cendekiawan yang akan membentuk wadah baru berkumpul di Tawangmangu, Solo dalam rangka merumuskan beberapa usulan untuk GBHN 1993 dan pembangunan Jangka Panjang Tahap kedua 1993-2018 serta rancangan Program Kerja dan Struktur Organisasi ICMI.
Pelaksanaan simposium sempat terganggu oleh gugatan tentang rencana B.J. Habibie sebagai calon Ketua Umum ICMI karena beliau sebagai birokrat. Kepemimpinannya dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap kebebasan para cendekiawan muslim. Tanggal 30 November - 1 Desember, panitia secara khusus mengadakan rapat untuk menjawab isu negatif soal pemilihan Habibie. Dari pertemuan tersebut menghasilkan beberapa komitmen, pertama, berdirinya ICMI merupakan ungkapan syukur umat Islam yang mampu melahirkan sarjana dan cendekiawan. Kedua, untuk memimpin ICMI diperlukan tokoh cendekiawan muslim yang reputasi nasional dan internasional serta dapat diterima oleh umat Islam, masyarakat Indonesia maupun pemerintah. Ketiga, hanya Unibraw salah satu wahana keilmuan yang cukup pantas melahirkan organisasi itu, apalagi pemerkasanya adalah mahasiswa univeritas tersebut. Halangan juga sempat datang dari aparat keamanan setempat. Dalam rapat gabungan antara penyelenggara, pemda dan aparat keamanan di Surabaya, empat hari menjelang acara, aparat keamanan mempersoalkan pembentukan organisasi tersebut. Tapi Abdul Aziz Hosein yang menghadiri acara tersebut sebagai panitia penyelenggara mengatakan bagaimanapun ICMI akan terbentuk karena presiden sudah menyetujui dan AD/ART-nya sudah disusun.
Tanggal 7 Desember 1990 merupakan lembaran baru dalam sejarah umat Islam Indonesia di era Orde Baru, secara resmi Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dibentuk di Malang. Saat itu juga secara aklamasi disetujui kepemimpinan tunggal dan terpilih Bahharuddin Jusup Habibie sebagai Ketua Umum ICMI yang pertama.
Dalam sambutannya beliau mengatakan bahwa dengan berdirinya ICMI tidak berarti kita hanya memperhatikan umat Islam, tetapi mempunyai komitmen memperbaiki nasib seluruh bangsa Indonesia, karena itu juga merupakan tugas utama.
b.        Arti Cendekiawan
Cendekiawan dalam arti intelektual mengandung syarat-syarat tertentu. Soedjatmoko contohnya, adalah seseorang yang tidak pernah lulus perguruan tinggi, namun ia diakui sebagai cendekiawan besar karena ia melahirkan tulisan ilmiah mengenai ide-ide sosial dan kemanusiaan.
Cendekiawan tidak perlu seorang sarjana, bahkan sarjana sendiri belum tentu merupakan seorang cendekiawan. Kriteria cendekiawan yang umumnya disepakati salah satunya adalah, cendekiawan memiliki sikap dan visi intelektual yang mengatasi batas-batas disiplin, yang memiliki komitmen kuat pada kemanusiaan, harkat, nilai-nilai, aspirasi dan hati nurani yang memiliki sikap kritis dan mandiri.
Dalam ART ICMI Bab I Pasal I, Cendekiawan muslim didefinisikan sebagai orang Islam yang peduli terhadap lingkungannya, terus menerus meningkatkan kualitas iman dan taqwa, kemampuan berpikir, menggali, memahami dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kehidupan keagamaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan untuk diamalkan bagi terwujudnya masyarakat madani.
Pengertian-pengertian dasar yang dimaksud dalam rumusan ini meliputi pengertian dasar tentang cendekiawan, kecendekiawanan, cendekiawan muslim, dan Ikatan Cendekiawan Muslim se-lndonesia (ICMI). Yang dimaksud dengan cendekiawan ialah orang yang karena pendidikannya, baik formal maupun informal, mempunyai wawasan, sikap dan perilaku cendekia. Wawasan, sikap, dan perilaku cendekia ini tercermin dalam kemampuannya untuk menatap, menafsirkan, dan merespon lingkungan hidupnya dan perkembangan masyarakatnya dengan sikap kritis, kreatif, obyektif, dan analitis, atas dasar tanggung jawab moral dan kemanusiaan.
Dengan demikian, kecendekiawanan bukanlah status, tetapi lebih merupakan panggilan nurani untuk melakukan peranan dan missi dalam masyarakat. Kecendekiawanan bukanlah terletak pada apakah seseorang memiliki ilmu atau tidak, atau pada gradasi pendidikan, tetapi terutama pada komitmen seseorang untuk melibatkan diri dalam masalah-masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan.
Dengan demikian, ciri dasar kecendekiawanan adalah kepedulian kemanusiaan dan kemasyarakatan, serta terus menerus berusaha memberikan respon yang tepat dan bertanggung jawab.
Sebagai orang yang tidak tergolongkan dalam suatu kelas sosial dan biasa berfikir bebas dan kritis, kaum cendekiawan diharapkan bisa mengartikulasikan diri sesuai dengan misi kecendekiawanannya.
Demikian pula alam pikiran terbuka yang melekat pada sub-kultur kaum cendekiawan, memberikan keleluasaan kepada mereka untuk melakukan kritik sosial; antara lain dengan membandingkan praktek dengan teori, atau antara "apa yang ada" (das Sein) dengan "apa yang ideal" (das Sollen). Kritisisme itu dapat mencakup segi moral, etik, sosial, politik, budaya, estetis, dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan cendekiawan muslim adalah seorang atau sekelompok orang Islam yang terus menerus meningkatkan kemampuan berfikir, menggali, memahami, dan mengamalkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kehidupan keagamaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan untuk diabdikan bagi kesejahteraan umat manusia (Bab I Pasal 1 (1) Anggaran Rumah Tangga ICMI).
Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) adalah organisasi kemasyarakatan yang bersifat keagamaan dan kebudayaan yang menghimpun para cendekiawan Muslim se-Indonesia atas dasar kesarnaan cita-cita dan profesi kecendekiawanan. Sebagai organisasi kebudayaan, ICMI bersifat keilmuan dan kecendekiaan. Keilmuan menunjuk pada cara atau proses dalam mencapai tujuan.
Sedangkan kecendekiawanan menunjuk pada komitmen dan misinya sebagai cendekiawan terhadap persoalan-persoalan bangsa dan kemanusiaan, dalam rangka berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dan UUD 1945.
Sebagai organisasi cendekiawan, ICMI bercorak terbuka, bebas, dan mandiri.Terbuka artinya menyerap berbagai aspirarasi masyarakat, dan tanggap terhadap perkembangan dunia. Terbuka juga berarti aktif melakukan komunikasi internal di antara cendekiawan muslim sendiri; maupun komunikasi eksternal dengan dunia lain. Bebas dan mandiri berarti percaya kepada diri sendiri dalam mengambil keputusan, dan untuk selanjutnya melakukan kegiatan kreatif dan inovatif.
Dengan demikian keterbukaan, kebebasan, dan kemandirian merupakan ciri menonjol kecendekiawanan. Dengan ciri tersebut, ICMI diharapkan mampu menjalankan peranannya secara mantap, pertama-tama dengan meningkatkan mutu kecendekiawanannya sendiri, kemudian mengambil peranan aktif dalam kegiatan dan proses kemasyarakatan.
Konsep kecendekiawanan ICMI, seperti direfleksikan dalam Anggaran Dasarnya, seperti halnya dengan kemusliman adalah suatu proses dalam kebersamaan. Kebersamaan itu hendaknya bermuara pada sikap saling asih, asah, asuh. Pembentukan organisasi ICMI merupakan manifestasi dari asih, yang diwujudkan dalam kebersamaan. Dalam organisasi itu, setiap anggota akan mengembangkan dirinya (asah), dan sekaligus juga memperoleh forum untuk mengembangkan seluruh potensi anggota (asuh).
Pengembangan kecendekiawanan merupakan manifestasi dari doktrin iqra dalam Al- Qur'an, sekaligus sebagai realisasi iman, karena belajar itu sendiri adalah refleksi dari keimanan dan kemusliman seseorang, seperti diungkapkan oleh sebuah hadist, "menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah".
Esensi kecendekiawanan bukanlah semata-mata terletak pada ilmu yang dimiliki seseorang, melainkan dan terutama pada komitmennya pada masalah-masalah kemasyarakatan. Kaum cendekiawan sebagai khalifah Allah yang diberi kelebihan ilmu dan hikmah, mengemban beban kewajiban yang lebih besar untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat, yakni menegakkan kebajikan dan meniadakan kebatilan (Q.S: 2, 147, dan 188).
Kalau mereka mengingkarinya, maka akan tergolong kelompok yang tidak peka sosial, dan seperti dinyatakan surat Al Maun, termasuk ke dalam golongan "yang mendustakan agama". Karenanya, kecendekiawanan harus dilihat dari komitmen dan realisasinya dalam masyarakat.
Rumusan misi cendekiawan muslim secara ringkas dinyatakan oleh ayat Qur'an yang menyatakan: "Ajaklah manusia ke jalan Tuhanmu dengan ilmu pengetakuan Zikmah) dan penjelasan yang baik, dan dengan dialog yang baik pula" (Q.S.16 : 125). Apabila ayat tersebut diinterpretasikan sebagai misi, maka pola kegiatan cendekiawan Muslim akan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) memiliki komitmen atau pengemban misi untuk membawa manusia ke jalan dan cara hidup Islami (di jalan Allah), (2) mempergunakan ilmu pengetahuan dalam menjalankan misinya, dan (3) memilih metode dan pendekatan yang sehat, yakni lewat penjelasan (pendidikan dan pengajaran), serta diskusi atau diskursus yang bisa dipertanggungjawabkan .
Sebagai cendekiawan muslirn dan cendekiawan Indonesia, ICMI menyadari bahwa kecendekiawanan adalah amanah. Untuk mengemban amanah itu, ICMI hendak mewujudkannya dalam perjuangan membangun umat, masyarakat, bangsa dan negara sebagai bagian dari pengabdian kepada Allah. Sesuai dengan ciri kecendekiawanannya, ICMI akan menjalankan berbagai kegiatan yang bersifat keilmuan yang amaliah dan amal yang ilmiah.
ICMI hanyalah sebuah wadah pengabdian kepada Allah SWT. guna melaksanakan perintah-perintah-Nya dalam al-Qur'an. Salah satu perintah-Nya yang penting adalah untuk "bersatu dan tidak bercerai berai" (Q.S. 3: 103). Dalarn konteks masyarakat Indonesia, perintah itu diwujudkan dalam upaya "menggalang persatuan dan kesatuan bangsa". Dalam suasana persatuan dan kesatuan itu, cendekiawan Muslim berharap dapat berperan secara lebih teratur dan sistematis dalam ikut serta memecahkan masalah-masalah yang strategis, baik yang berskala lokal dan nasional, maupun regional dan global.

c.       Tokoh Icmi
Muktamar
Tanggal
Ketua terpilih
Periode
Muktamar I
6-8 Desember 1990 di Kota Malang
1990-1995
Muktamar II
7-9 Desember 1995 di Jakarta
1995-2000
Muktamar III
9-12 November 2000 di Jakarta
2000-2005
Muktamar IV
4-7 Desember 2005 di Makassar
Ir. M. Hatta Rajasa (Presidium)
Dr. Ir. Muslimin Nasution, APU. (Presidium)
Prof. Dr. Azyumardi Azra (Presidium)
2005-2006
2006-2007
2007-2008
2008-2009
2009-2010
Muktamar V
4-7 Desember 2010 di Bogor
Dr. Ing. H. Ilham Akbar Habibie, MBA. (Presidium)
2010-2011
2011-2012
2012-2013
2013-2014
2014-2015

d.      Tujuan Dibentuknya Icmi
Semenjak kelahirannya di penghujung tahun 1990 di kota Malang, ICMI telah mendapat sangat banyak sorotan dari kalangan masyarakat, baik dari kalangan aktivis organisasi sosial kemasyarakatan atau dari kalangan politisi. Pro dan kontra bermunculan yang berkaitan dengan kehadirannya. Ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju. Bahkan, ada yang mengungkapkan dengan kata-kata sinis, yang tentu saja tidak dilakukan secara terbuka, bahwa ICMI merupakan "Ikatan Calon Menteri Indonesia", atau "Ikatan Cendekiawan Mualaf Indonesia", atau organisasi yang primordialistik dan sektarian seperti yang diungkapkan oleh Abdurrahman Wahid.
Reaksi-reaksi yang bermunculan terhadap ICMI tentu saja sangat berkaitan erat dengan perilaku sejumlah orang di kalangan ICMI sendiri ketika organisasi ini baru saja muncul dan memasuki kancah perpolitikan nasional. Dan salah satu yang sangat menonjol dari itu semua adalah tingkat keberadaan ketua umum ICMI yang sangat high profile. Menristek Habibie sebagai ketua umum ICMI merupakan public figure yang sangat dikenal pada hampir semua aktivitas sosial dan politik serta ekonomi di Indonesia. Di samping sebagai Menristek, Habibie juga menjadi direktur utama IPTN dan sejumlah industri strategis, seperti PT PAL dan PINDAD. Bahkan, keseluruhan jabatan yang dimilikinya adalah hampir 30 posisi penting.
Akan tetapi, yang tidak kalah penting adalah "kedekatannya dengan presiden". Oleh karena itu, kemudian muncul kesan atau persepsi bahwa Habibie merupakan figur yang sangat didengar oleh presiden dan masuk akal kalau Habibie juga diangap sebagai political brooker, bagi banyak orang, terutama bagi orang-orang ICMI. Memang, ketika masa-masa pembentukan Kabinet Pembangunan VI, sangat banyak rumor politik yang beredar. Misalnya, bagaimana sejumlah tokoh ICMI sudah menggantang asap, berharap untuk menjadi menteri kabinet, bahkan tidak jarang di antara mereka yang baru saja memasuki rimba raya politik Jakarta.
Pro dan kontra ICMI pun terjadi diberbagai daerah dari berbagai kalangan, seperti di daerah sekitar Jawa tengah dan Jawa timur, organisasi Islam Lokal melihat pembentukan ICMI sebagai suatu usaha untuk membentuk Masyumi dengan gaya baru. Sebaliknya banyak perwira-perwira senior beranggapan bahwa hal ini merupakan ancaman besar dari golongan ekstrim kanan. Golongan Kristen dan para pemimpin/pemuka minoritas secara diam-diam melihatnya sebagai semakin kuatnya pertumbuhan penganut politik Islam. Sementara sebagian besar tokoh-tokoh Islam menyambut baik terbentuknya ICMI.
Abdurrachman Wahid, ketua Nahdatul Ulama/NU justru melihatnya sebagai suatu kemunduran terhadap sekularisme dan primodalisme dalam kehidupan politik nasional. Ia berpandangan, bahwa kehidupan demokrasi di Indonesia sebaiknya tidak didasarkan kepada partai politik yang berdasarkan agama. Namun demikian sebagian besar pimpinan dan anggota NU tidak sependapat dengan Abdurrachman Wahid, bahkan mereka ini menjadi aktivis ICMI.
·         Falsafah Dasar ICMI
1.      Carilah titik temu pendapat para Ormas Islam dan para anggotanya.
2.      Kembangkan titik-titik temu tersebut menjadi garis temu.
3.      Kembangkan garis-garis temu tersebut menjadi permukaan – permukaan temu.
4.      Rekatkan sepanjang masa sampai ke akhirat permukaan-permukan temu tersebut dengan ajaran kitab suci Al-Qur’an.
·         Prinsip Dasar ICMI. Adapun Prinsip Dasar ICMI yaitu 5 K :
1. Meningkatkan Kwalitas Berpikir
2. Meningkatkan Kwalitas Bekerja
3. Meningkatkan Kwalitas Berkarya
4. Mneingkatkan Kwalitas Iman dan Taqwa seimbang dengan penguasaan Kwalitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
5. Meningkatkan Kwalitas Hidup.

e.       Perkembangan Icmi
Ketika ICMI dilahirkan di Malang, banyak kalangan ketika itu menilai konstalasi peta politik berubah, meskipun ICMI bukan sebuah partai politik, tapi individu-individu didalamnya banyak dikenal ketokohannya seperti Imanuddin Abdurrahim, M. Amin Rais, Nurcholis Madjid, Dawam Raharjo dan tokoh lainnya. Awal pembentukan ICMI membuat rezim pada masa itu khawatir akan pengaruhnya, namun posisi Habibie ketika itu menjadi jaminan bahwa ICMI tidak akan bermain api dengan penguasa ketika itu, yaitu Presiden Soeharto.
Tak bisa dipungkiri bahwa ICMI akan mampu melahirkan tokoh-tokoh pemimpin nasional yang cerdas, kritis dan memang akhirnya banyak tokoh-tokoh ICMI yang duduk dipemerintahan. Disatu sisi ICMI membuat umat Islam bangga ketika itu, dan setelah itu tidak sedikit mereka menjadi orang-orang yang mewarnai dan mengambil keputusan di pemerintahan. Suasana ini membuat banyak para tokoh mulai berani menyuarakan susuatu yang tidak adil. Kasus "terpanas" adalah Free Fort, sekitar tahun 1997 Amien Rais yang ketika itu sebagai Dewan Pakar ICMI bersuara lantang bahwa pembagian hasil tambang emas Free Fort lebih menguntungkan pihak luar. Kasus Free Fort ini membuat Soeharto ketika itu menjadi berang, lalu meminta kepada Habibie agar Amien Rais "disingkirkan" dari ICMI. Permintaan ini membuat Habibie dilematis karena ia dekat dengan Amien Rais, sementara Soeharto ketika itu penguasa yang sangat kuat. Akhirnya Amien Rais sendiri mengundurkan diri dari Dewan pakar ICMI setelah melihat posisi Habibie seperti itu.
Ketika era reformasi yang digulirkan mahasiswa tahun 1998 membuat banyak tokoh turun untuk mendirikan dan bergabung dengan partai politik, dengan tujuan dapat memperoleh kekuasaan. Reformasi bergulir dengan cepat, Soeharto turun, Dwifungsi ABRI di cabut, UUD 1945 diamandemen. Perubahan ini berjalan demikian cepat, sementara itu ICMI seperti kenderaan kosong. Hiruk pikuk reformasi, disikapi dengan berbagai kepentingan-kepentingan jangka pendek bagaimana bisa menjadi presiden, menteri, gubernur, bupati, atau anggota dewan.
Meskipun demikian ruh kecendikiawanan para tokoh dan mahasiswa Islam masih hidup. Meskipun geliatnya secara politis tidak bergema dengan lincah di kanca nasional, hal ini kuat terlihat setelah Habibie tidak lagi memimpin ICMI. Terasa ada sesuatu semangat yang hilang ketika itu, mungkin "icon" imtaq dan iptek melekat pada vigur Habibie. Akhirnya, realitas perjalanan ICMI dan geraknya pada muktamar ke IV di Makasar belum melahirkan hasil-hasil yang dipandang dan dirasakan langsung oleh umat. Orang-orang "tua" di ICMI pasca muktamar tidak terlihat geliatnya, terlebih-lebih diberbagai wilayah dan daerah.

f.       Kegiatan Icmi
Guna mewujudkan tujuannya dan dalam rangka menegakkan kebajikan, mencegah kemungkaran, ICMI menyelenggarakan kegiatan-kegiatan berikut:
1.    Meningkatkan mutu komitmen dan pengamalan keimanan-ketaqwaan, kecendekiawanan, dan kepakaran para anggota melalui peningkatan pembelajaran dan koordinasi sistem jaringan informasi dan komunikasi di dalam maupun di luar negeri.
2.    Mengembangkan pemikiran, menyelenggarakan penelitian dan pengkajian yang inovatif, strategis, dan antisipatif dalam rangka mempengaruhi kebijakan publik serta berupaya merumuskan dan memecahkan berbagai masalah strategis lokal, regional, nasional dan global.
3.    Berperan aktif mengembangkan sistem pendidikan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam rangka mencerdaskan kehidupan masyarakat dan bangsa, khususnya umat Islam Indonesia.
4.    Menyelenggarakan berbagai kegiatan pemberdayaan dan advokasi kebijakan di bidang sosial, ekonomi, hukum, danbudaya dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan martabat rakyat kecil dan kaum yang lemah guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5.    Mempublikasikan dan mengkomunikasikan hasil-hasil pemikiran, penelitian, kajian, dan inovasi bekerjasama dengan berbagai kalangan, baik perorangan, lembaga, perhimpunan, pemerintah maupun swasta.

g.      Struktur Organisasi Icmi
Struktur Organisasi ICMI terdiri atas Organisasi Satuan (Orsat) dengan lingkup kecamatan, Organisasi Daerah (Orda) untuk lingkup Kabupaten/Kota, Organisasi Wilayah (Orwil) untuk tingkat Propinsi, dan Organisasi Pusat yang berskala nasional. Apabila disuatu daerah tertentu terdapat kasus khusus, maka untuk mempermudah pengaturan administrasi dan koordinasi dapat dibentuk Organisasi Wilayah.
Jika diperlukan Badan Otonom, Batom ini dapat dibuat dan dipertanggungjawabkan kepada ketua koordinasi Batom sesuai dengan jenjang organisasinya. Batom adalah Badan Otonom milik ICMI yang melakukan kegiatan Usaha yang secara otonom untuk memajukan ICMI dan anggotanya yang didasari kepada transparansi dan akuntabilitas serta mempertanggungjawabkannya kepada pengurus ICMI sesuai dengan jenjang organisasi.
ICMI adalah organisasi cendekiawan muslim yang menghimpun berbagai unsur cendekiawan dari berbagai kalangan masyarakat. Untuk memelihara dan melestarikan persatuan dan kesatuan banga, ICMI melakukan kerjasama dengan pemerintah, organisasi cendekiawan lain, ormas-ormas, dan berbagai unsur kalangan masyarakat.

h.      Syarat Menjadi Anggota Icmi
1.    Warga Negara Indonesia yang beragama Islam.
2.    Berusia minimal 17 (tujuh belas) tahun.
3.    Menyetujui Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga dan Keputusan Organisasi lainnya.
4.    Mendapat rekomendasi serta menyatakan secara tertulis kesediaan menjadi anggota.
5.    Membayar uang pendaftaran sebesar Rp 25.000 (dua puluh lima ribu rupiah) dan uang penerbitan kartu anggota sebesar Rp 25.000 (dua puluh lima ribu rupiah).
6.    Membayar iuran anggota minimal 1 (satu) tahun sebesar Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah)/bulan yang dibayarkan pada saat penyerahan formulir anggota.
Proses penerimaan anggota biasa sejak persyaratan administrasi keanggotaannya lengkap sampai dengan diterbitkannya Kartu Tanda Anggota paling lambat selama 1 bulan. (icmi.or.id).*
BAB III
a.      Analisis
Pemikiran yang berada pada ormas ICMI ini lebih mengutamakan kepada politik islam dimana ormas ini menghimpun berbagai unsur cendikiawan muslim dari berbagai kalangan masyarakat dengan tujuan untuk memelihara dan melestarikan persatuan dan kesatuan bangsa. Ormas ini tidak hanya bekerjasama dengan pemerintahan saja akan tetapi ormas inipun bekerja sama dengan ormas-ormas lainya dan berbagai unsur kalangan masyarakat. Pemikiran-pemikirannyapun sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran al-qur’an dan sunnatullah. ICMI pun diformat sebagai politik Islam yang santun dan tidak mengancam, ditambah kepemimpinanya lebih mengutamakan kepemimpinan yang bersifat presidium yaitu kepemimpinan yang dipimpin atas dasar hasil muktamar.
ICMI berkembang pesat ketika B.J Habibie menjadi ketua dari ormas ini, selain peran intelektualnya beliau juga orang yang sangat dekat dengan sosok presiden yang saat itu Bapak Soeharto sedang menjabat. Sepak terjang ICMI di masa orde baru cukup kuat. Pemikiran-pemikiran yang maju dan kontroversial akan diikuti oleh pihak lain. Salah satu pencapaiannya adalah terbentuknya bank muamalat, sebuah bank yang berbasis syari’ah.
Semua ormas pasti terdapat pro dan kontranya termasuk ormas ICMI ini. Contohnya Abdurrahman Wahid menolak terhadap ormas ini dan mengatakan bahwa ormas ini menyebarkan sekterianisme. Setelah saya observasi ada salah satu teman saya yang berpendapat bahwa “ICMI memang bagus menghimpun para cendekiawan muslim di Indonesia. Indonesia kan negara yg didominasi oleh umat muslim. Bahkan saya pernah baca bahwa 1/3 muslim di dunia itu ada di Indonesia. Jadi intinya jika umat muslim itu sendiri disatukan. Khususnya para cendekiawan yg notabene  menjadi pionir kemajuan islam. Bukan tdk mungkin Indonesia menjadi kekuatan islam terbesar dunia, sehingga pada akhirnya islam dapat berjaya kembali (as-sohwah) seperti pada abad kejayaannya di masa lalu. Tp yg saya tdk suka dari ICMI adalah islamisasi perpolitikan Indonesia nya. Disamping harus menyatukan umat muslim Indonesia dgn tujuan yg saya paparkan tadi. Mestinya perlu disadari juga bahwa Indonesia bukanlah negara Islam. Islam bisa disebut agama pendatang bagi Indonesia. Karna jika dilihat dari sejarah, dahulu kala para penduduk Indonesia menganut agama Hindu, Budha. Menganut aliran animisme, dan aliran-aliran lainnya. Jadi, kesimpulannya sangat sedikit kemungkinan untuk menjadikan Indonesia negara Islam. Bahkan bisa dikatakan mustahil. Nah, mantan presiden kita Abdurrahman Wahid sangat faham tentang hal ini. Menjadikan Indonesia negara islam itu hari ini sangat tdk mungkin. Tapi, memasukan unsur-unsur syariah kedalam aspek-aspek negara itu mungkin. Intinya tdk perlu menjadikan indonesia negara islam. Yg terpenting faham-faham keislaman itu terealisasi dalam keseharian umat islam di indonesia. Karena pada hakikatnya yg disebut negara islam adalah negara yg di dalamnya terealisasi berbagai aspek-aspek keislaman”.
Namun bagi masyarakat yang pro ormas ini banyak memberikan keuntungan diantaranya bank muamalat tadi serta melahirkan para nasionalis yang pemikirannya banyak digunakan oleh bangsa indonesia.

BAB IV
a.    Kesimpulan
Kelahiran ICMI ini diawali oleh sekelompok mahasiswa yang memikirkan tentang bagaimana para cendekiawan muslim bangkit kembali dan memiliki peran dalam perpolitikan  di indonesia, perkembangannya pun sangat pesat ketika kepemimpinan ICMI ditangan pak B.J Habibie.
Tujuannyapun tidak jauh dari untuk mempersatukan dan melestarikan bangsa yang semakin maju namun semakin rusak karena terpengaruh oleh westernisasi bangsa barat. Dengan adanya ormas ini para cendekiawan muslim mempunyai wadah dalam membangun perpolitikan di indonesia.
kepemimpinanyapun lebih mengutamakan kepemimpinan yang bersifat presidium yaitu kepemimpinan yang dipimpin atas dasar hasil muktamar.
Ormas ini tidak hanya bekerjasama dengan pemerintahan saja akan tetapi ormas inipun bekerja sama dengan ormas-ormas lainya dan berbagai unsur kalangan masyarakat supaya komunikasi komunal dan lateral bisa dijalankan. Tumbuh saling pengertian terutama tentang kebangsaan bagi organisasi islam. Khasnya yaitu menggabungkan aspek-aspek keislaman, kebangsaan dan intelektualitas yang mungkin tidak atau kurang ditekankan dalam ormas lalin.



Share:

0 komentar:

Post a Comment