BAB I
Penulis: Risnayanti Dewi Amirudin
a.
Pendahuluan
Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia disingkat ICMI adalah sebuah organisasi
cendekiawan muslim di Indonesia. ICMI dibentuk pada tanggal 7 Desember 1990 di
sebuah pertemuan kaum cendekiawan muslim di Kota Malang tanggal 6-8 Desember
1990. Di pertemuan itu juga dipilih Baharuddin Jusuf Habibie sebagai ketua ICMI
yang pertama.
Kelahiran ICMI
bukanlah sebuah kebetulah sejarah belaka, tapi erat kaitannya dengan
perkembangan global dan regional di luar dan di dalam negeri. Menjelang akhir
dekade 1980-an dan awal dekade 1990-an, dunia ditandai dengan berakhirnya
perang dingin dan konflik ideologi.
Seiring dengan
itu semangat kebangkitan Islam di belahan dunia timur ditandai dengan tampilnya
Islam sebagai ideologi peradaban dunia dan kekuatan altenatif bagi perkembangan
perabadan dunia. Bagi Barat, kebangkitan Islam ini menjadi masalah yang serius
karena itu berarti hegemoni (pengaruh kepemimpinan) mereka terancam. Apa yang
diproyeksikan sebagai konflik antar peradaban lahir dari perasaan Barat yang
subyektif terhadap Islam sebagai kekuatan peradaban dunia yang sedang bangkit
kembali sehingga mengancam dominasi peradaban Barat. Kebangkitan umat Islam ditunjang
dengan adanya ledakan kaum terdidik (intelectual booming) yang di kalangan
kelas menengah kaum santri Indonesia. Program dan kebijakan Orde Baru secara
langsung maupun tidak langsung telah melahirkan generasi baru kaum santri yang
terpelajar, modern, berwawasan kosmopolitan (mempunyai wawasan yang luas),
berbudaya kelas menengah, serta mendapat tempat pada institusi-institusi
modern.
BAB II
a.
Sejarah
berdirinya ICMI
Kelahiran ICMI berawal dari diskusi
kecil di bulan Februari 1990 di masjid kampus Universitas Brawijaya (Unibraw)
Malang. Sekelompok mahasiswa merasa prihatin dengan kondisi umat Islam,
terutama karena “berserakannya” keadaan cendekiawan muslim, sehingga
menimbulkan polarisasi (proses) kepemimpinan di kalangan umat Islam.
Masing-masing kelompok sibuk dengan kelompoknya sendiri, serta berjuang secara
parsial (berhubungan) sesuai dengan aliran dan profesi masing-masing.
Dari forum itu kemudian muncul
gagasan untuk mengadakan simposium dengan tema, “Sumbangan Cendekiawan Muslim
Menuju Era Tinggal Landas” yang direncanakan akan dilaksanakan pada tanggal 29
September - 1 Oktober 1990. Mahasiswa Unibraw yang terdiri dari Erik Salman,
Ali Mudakir, M. Zaenuri, Awang Surya dan M. Iqbal berkeliling menemui para
pembicara, di antaranya Immaduddin Abdurrahim dan M. Dawam Rahardjo. Dari hasil
pertemuan tersebut pemikiran mereka terus berkembang sampai muncul ide untuk
membentuk wadah cendekiawan muslim yang berlingkup nasional. Kemudian para
mahasiswa tersebut dengan diantar Imaduddin Abdurrahim, M. Dawam Rahardjo dan
Syafi’i Anwar menghadap Menristek Prof. B.J. Habibie dan meminta beliau untuk
memimpin wadah cendekiawan muslim dalam lingkup nasional. Waktu itu B.J.
Habibie menjawab, sebagai pribadi beliau bersedia tapi sebagai menteri harus
meminta izin dari Presiden Soeharto. Beliau juga meminta agar pencalonannya
dinyatakan secara resmi melalui surat dan diperkuat dengan dukungan secara
tertulis dari kalangan cendekiawan muslim. Sebanyak 49 orang cendekiawan muslim
menyetujui pencalonan B.J. Habibie untuk memimpin wadah cendekiawan muslim
tersebut.
Pada tanggal 27 September 1990, dalam sebuah pertemuan di rumahnya, B.J. Habibie memberitahukan bahwa usulan sebagai pimpinan wadah cendekiawan muslim itu disetujui Presiden Soeharto. Beliau juga mengusulkan agar wadah cendekiawan muslim itu diberi nama, Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia, disingkat ICMI.
Pada tanggal 27 September 1990, dalam sebuah pertemuan di rumahnya, B.J. Habibie memberitahukan bahwa usulan sebagai pimpinan wadah cendekiawan muslim itu disetujui Presiden Soeharto. Beliau juga mengusulkan agar wadah cendekiawan muslim itu diberi nama, Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia, disingkat ICMI.
Tanggal 28 September 1990, sejumlah
cendekiawan muslim bertemu lagi dalam rangka persiapan simposium yang akan
diselenggarakan bulan Desember. Pada tanggal 25-26 November 1990, sekitar 22
orang cendekiawan yang akan membentuk wadah baru berkumpul di Tawangmangu, Solo
dalam rangka merumuskan beberapa usulan untuk GBHN 1993 dan pembangunan Jangka
Panjang Tahap kedua 1993-2018 serta rancangan Program Kerja dan Struktur
Organisasi ICMI.
Pelaksanaan simposium sempat
terganggu oleh gugatan tentang rencana B.J. Habibie sebagai calon Ketua Umum
ICMI karena beliau sebagai birokrat. Kepemimpinannya dikhawatirkan akan
berdampak negatif terhadap kebebasan para cendekiawan muslim. Tanggal 30
November - 1 Desember, panitia secara khusus mengadakan rapat untuk menjawab
isu negatif soal pemilihan Habibie. Dari pertemuan tersebut menghasilkan
beberapa komitmen, pertama, berdirinya ICMI merupakan ungkapan syukur umat
Islam yang mampu melahirkan sarjana dan cendekiawan. Kedua, untuk memimpin ICMI
diperlukan tokoh cendekiawan muslim yang reputasi nasional dan internasional
serta dapat diterima oleh umat Islam, masyarakat Indonesia maupun pemerintah.
Ketiga, hanya Unibraw salah satu wahana keilmuan yang cukup pantas melahirkan
organisasi itu, apalagi pemerkasanya adalah mahasiswa univeritas tersebut.
Halangan juga sempat datang dari aparat keamanan setempat. Dalam rapat gabungan
antara penyelenggara, pemda dan aparat keamanan di Surabaya, empat hari
menjelang acara, aparat keamanan mempersoalkan pembentukan organisasi tersebut.
Tapi Abdul Aziz Hosein yang menghadiri acara tersebut sebagai panitia
penyelenggara mengatakan bagaimanapun ICMI akan terbentuk karena presiden sudah
menyetujui dan AD/ART-nya sudah disusun.
Tanggal 7 Desember 1990 merupakan
lembaran baru dalam sejarah umat Islam Indonesia di era Orde Baru, secara resmi
Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dibentuk di Malang. Saat itu juga
secara aklamasi disetujui kepemimpinan tunggal dan terpilih Bahharuddin Jusup
Habibie sebagai Ketua Umum ICMI yang pertama.
Dalam sambutannya beliau mengatakan
bahwa dengan berdirinya ICMI tidak berarti kita hanya memperhatikan umat Islam,
tetapi mempunyai komitmen memperbaiki nasib seluruh bangsa Indonesia, karena
itu juga merupakan tugas utama.
b.
Arti Cendekiawan
Cendekiawan
dalam arti intelektual mengandung syarat-syarat tertentu. Soedjatmoko
contohnya, adalah seseorang yang tidak pernah lulus perguruan tinggi, namun ia
diakui sebagai cendekiawan besar karena ia melahirkan tulisan ilmiah mengenai ide-ide
sosial dan kemanusiaan.
Cendekiawan
tidak perlu seorang sarjana, bahkan sarjana sendiri belum tentu merupakan
seorang cendekiawan. Kriteria cendekiawan yang umumnya disepakati salah satunya
adalah, cendekiawan memiliki sikap dan visi intelektual yang mengatasi
batas-batas disiplin, yang memiliki komitmen kuat pada kemanusiaan, harkat,
nilai-nilai, aspirasi dan hati nurani yang memiliki sikap kritis dan mandiri.
Dalam ART ICMI
Bab I Pasal I, Cendekiawan muslim didefinisikan sebagai orang Islam yang peduli
terhadap lingkungannya, terus menerus meningkatkan kualitas iman dan taqwa,
kemampuan berpikir, menggali, memahami dan menerapkan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta kehidupan keagamaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan untuk
diamalkan bagi terwujudnya masyarakat madani.
Pengertian-pengertian dasar yang dimaksud dalam rumusan ini
meliputi pengertian dasar tentang cendekiawan, kecendekiawanan, cendekiawan
muslim, dan Ikatan Cendekiawan Muslim se-lndonesia (ICMI). Yang dimaksud dengan
cendekiawan ialah orang yang karena pendidikannya, baik formal maupun informal,
mempunyai wawasan, sikap dan perilaku cendekia. Wawasan, sikap, dan perilaku
cendekia ini tercermin dalam kemampuannya untuk menatap, menafsirkan, dan
merespon lingkungan hidupnya dan perkembangan masyarakatnya dengan sikap
kritis, kreatif, obyektif, dan analitis, atas dasar tanggung jawab moral dan
kemanusiaan.
Dengan demikian, kecendekiawanan bukanlah status, tetapi lebih
merupakan panggilan nurani untuk melakukan peranan dan missi dalam masyarakat.
Kecendekiawanan bukanlah terletak pada apakah seseorang memiliki ilmu atau
tidak, atau pada gradasi pendidikan, tetapi terutama pada komitmen seseorang
untuk melibatkan diri dalam masalah-masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan.
Dengan demikian, ciri dasar kecendekiawanan adalah kepedulian
kemanusiaan dan kemasyarakatan, serta terus menerus berusaha memberikan respon
yang tepat dan bertanggung jawab.
Sebagai orang yang tidak tergolongkan dalam suatu kelas sosial dan
biasa berfikir bebas dan kritis, kaum cendekiawan diharapkan bisa
mengartikulasikan diri sesuai dengan misi kecendekiawanannya.
Demikian pula alam pikiran terbuka yang melekat pada sub-kultur
kaum cendekiawan, memberikan keleluasaan kepada mereka untuk melakukan kritik
sosial; antara lain dengan membandingkan praktek dengan teori, atau antara
"apa yang ada" (das Sein) dengan "apa yang ideal" (das
Sollen). Kritisisme itu dapat mencakup segi moral, etik, sosial, politik,
budaya, estetis, dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan cendekiawan muslim adalah seorang atau
sekelompok orang Islam yang terus menerus meningkatkan kemampuan berfikir,
menggali, memahami, dan mengamalkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
kehidupan keagamaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan untuk diabdikan bagi
kesejahteraan umat manusia (Bab I Pasal 1 (1) Anggaran Rumah Tangga ICMI).
Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) adalah organisasi
kemasyarakatan yang bersifat keagamaan dan kebudayaan yang menghimpun para
cendekiawan Muslim se-Indonesia atas dasar kesarnaan cita-cita dan profesi
kecendekiawanan. Sebagai organisasi kebudayaan, ICMI bersifat keilmuan dan
kecendekiaan. Keilmuan menunjuk pada cara atau proses dalam mencapai tujuan.
Sedangkan kecendekiawanan menunjuk pada komitmen dan misinya
sebagai cendekiawan terhadap persoalan-persoalan bangsa dan kemanusiaan, dalam
rangka berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pembangunan nasional sebagai
pengamalan Pancasila dan UUD 1945.
Sebagai organisasi cendekiawan, ICMI bercorak terbuka, bebas, dan
mandiri.Terbuka artinya menyerap berbagai aspirarasi masyarakat, dan tanggap
terhadap perkembangan dunia. Terbuka juga berarti aktif melakukan komunikasi
internal di antara cendekiawan muslim sendiri; maupun komunikasi eksternal
dengan dunia lain. Bebas dan mandiri berarti percaya kepada diri sendiri dalam
mengambil keputusan, dan untuk selanjutnya melakukan kegiatan kreatif dan
inovatif.
Dengan demikian keterbukaan, kebebasan, dan kemandirian merupakan
ciri menonjol kecendekiawanan. Dengan ciri tersebut, ICMI diharapkan mampu menjalankan
peranannya secara mantap, pertama-tama dengan meningkatkan mutu
kecendekiawanannya sendiri, kemudian mengambil peranan aktif dalam kegiatan dan
proses kemasyarakatan.
Konsep kecendekiawanan ICMI, seperti direfleksikan dalam Anggaran
Dasarnya, seperti halnya dengan kemusliman adalah suatu proses dalam
kebersamaan. Kebersamaan itu hendaknya bermuara pada sikap saling asih, asah,
asuh. Pembentukan organisasi ICMI merupakan manifestasi dari asih, yang
diwujudkan dalam kebersamaan. Dalam organisasi itu, setiap anggota akan
mengembangkan dirinya (asah), dan sekaligus juga memperoleh forum untuk
mengembangkan seluruh potensi anggota (asuh).
Pengembangan kecendekiawanan merupakan manifestasi dari doktrin
iqra dalam Al- Qur'an, sekaligus sebagai realisasi iman, karena belajar itu
sendiri adalah refleksi dari keimanan dan kemusliman seseorang, seperti
diungkapkan oleh sebuah hadist, "menuntut ilmu adalah kewajiban bagi
setiap muslim dan muslimah".
Esensi kecendekiawanan bukanlah semata-mata terletak pada ilmu yang
dimiliki seseorang, melainkan dan terutama pada komitmennya pada
masalah-masalah kemasyarakatan. Kaum cendekiawan sebagai khalifah Allah yang
diberi kelebihan ilmu dan hikmah, mengemban beban kewajiban yang lebih besar
untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat, yakni menegakkan kebajikan dan
meniadakan kebatilan (Q.S: 2, 147, dan 188).
Kalau mereka mengingkarinya, maka akan tergolong kelompok yang
tidak peka sosial, dan seperti dinyatakan surat Al Maun, termasuk ke dalam
golongan "yang mendustakan agama". Karenanya, kecendekiawanan harus
dilihat dari komitmen dan realisasinya dalam masyarakat.
Rumusan misi cendekiawan muslim secara ringkas dinyatakan oleh ayat
Qur'an yang menyatakan: "Ajaklah manusia ke jalan Tuhanmu dengan ilmu
pengetakuan Zikmah) dan penjelasan yang baik, dan dengan dialog yang baik
pula" (Q.S.16 : 125). Apabila ayat tersebut diinterpretasikan sebagai
misi, maka pola kegiatan cendekiawan Muslim akan memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: (1) memiliki komitmen atau pengemban misi untuk membawa manusia ke
jalan dan cara hidup Islami (di jalan Allah), (2) mempergunakan ilmu
pengetahuan dalam menjalankan misinya, dan (3) memilih metode dan pendekatan
yang sehat, yakni lewat penjelasan (pendidikan dan pengajaran), serta diskusi
atau diskursus yang bisa dipertanggungjawabkan .
Sebagai cendekiawan muslirn dan cendekiawan Indonesia, ICMI
menyadari bahwa kecendekiawanan adalah amanah. Untuk mengemban amanah itu, ICMI
hendak mewujudkannya dalam perjuangan membangun umat, masyarakat, bangsa dan
negara sebagai bagian dari pengabdian kepada Allah. Sesuai dengan ciri
kecendekiawanannya, ICMI akan menjalankan berbagai kegiatan yang bersifat
keilmuan yang amaliah dan amal yang ilmiah.
ICMI hanyalah sebuah wadah pengabdian kepada Allah SWT. guna
melaksanakan perintah-perintah-Nya dalam al-Qur'an. Salah satu perintah-Nya
yang penting adalah untuk "bersatu dan tidak bercerai berai" (Q.S. 3:
103). Dalarn konteks masyarakat Indonesia, perintah itu diwujudkan dalam upaya
"menggalang persatuan dan kesatuan bangsa". Dalam suasana persatuan
dan kesatuan itu, cendekiawan Muslim berharap dapat berperan secara lebih
teratur dan sistematis dalam ikut serta memecahkan masalah-masalah yang
strategis, baik yang berskala lokal dan nasional, maupun regional dan global.
c.
Tokoh Icmi
Muktamar
|
Tanggal
|
Ketua terpilih
|
Periode
|
Muktamar I
|
1990-1995
|
||
Muktamar II
|
1995-2000
|
||
Muktamar III
|
2000-2005
|
||
Muktamar IV
|
Dr. Marwah Daud Ibrahim (Presidium)
Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir (Presidium)
|
2005-2006
2006-2007
2007-2008
2008-2009
2009-2010
|
|
Muktamar V
|
Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir (Presidium)
Dr. Hj. Marwah Daud Ibrahim, Ph.D. (Presidium)
Drs. Priyo Budi Santoso (Presidium)
Dr. Sugiharto, SE. MBA. (Presidium)
|
2010-2011
2011-2012
2012-2013
2013-2014
2014-2015
|
d.
Tujuan
Dibentuknya Icmi
Semenjak
kelahirannya di penghujung tahun 1990 di kota Malang, ICMI telah mendapat
sangat banyak sorotan dari kalangan masyarakat, baik dari kalangan aktivis
organisasi sosial kemasyarakatan atau dari kalangan politisi. Pro dan kontra
bermunculan yang berkaitan dengan kehadirannya. Ada yang setuju dan ada pula
yang tidak setuju. Bahkan, ada yang mengungkapkan dengan kata-kata sinis, yang
tentu saja tidak dilakukan secara terbuka, bahwa ICMI merupakan "Ikatan
Calon Menteri Indonesia", atau "Ikatan Cendekiawan Mualaf
Indonesia", atau organisasi yang primordialistik dan sektarian seperti
yang diungkapkan oleh Abdurrahman Wahid.
Reaksi-reaksi
yang bermunculan terhadap ICMI tentu saja sangat berkaitan erat dengan perilaku
sejumlah orang di kalangan ICMI sendiri ketika organisasi ini baru saja muncul
dan memasuki kancah perpolitikan nasional. Dan salah satu yang sangat menonjol
dari itu semua adalah tingkat keberadaan ketua umum ICMI yang sangat high
profile. Menristek Habibie sebagai ketua umum ICMI merupakan public figure yang
sangat dikenal pada hampir semua aktivitas sosial dan politik serta ekonomi di
Indonesia. Di samping sebagai Menristek, Habibie juga menjadi direktur utama
IPTN dan sejumlah industri strategis, seperti PT PAL dan PINDAD. Bahkan,
keseluruhan jabatan yang dimilikinya adalah hampir 30 posisi penting.
Akan tetapi,
yang tidak kalah penting adalah "kedekatannya dengan presiden". Oleh
karena itu, kemudian muncul kesan atau persepsi bahwa Habibie merupakan figur
yang sangat didengar oleh presiden dan masuk akal kalau Habibie juga diangap
sebagai political brooker, bagi banyak orang, terutama bagi orang-orang ICMI.
Memang, ketika masa-masa pembentukan Kabinet Pembangunan VI, sangat banyak
rumor politik yang beredar. Misalnya, bagaimana sejumlah tokoh ICMI sudah
menggantang asap, berharap untuk menjadi menteri kabinet, bahkan tidak jarang
di antara mereka yang baru saja memasuki rimba raya politik Jakarta.
Pro dan kontra
ICMI pun terjadi diberbagai daerah dari berbagai kalangan, seperti di daerah
sekitar Jawa tengah dan Jawa timur, organisasi Islam Lokal melihat pembentukan
ICMI sebagai suatu usaha untuk membentuk Masyumi dengan gaya baru. Sebaliknya
banyak perwira-perwira senior beranggapan bahwa hal ini merupakan ancaman besar
dari golongan ekstrim kanan. Golongan Kristen dan para pemimpin/pemuka
minoritas secara diam-diam melihatnya sebagai semakin kuatnya pertumbuhan
penganut politik Islam. Sementara sebagian besar tokoh-tokoh Islam menyambut
baik terbentuknya ICMI.
Abdurrachman Wahid, ketua Nahdatul Ulama/NU justru melihatnya sebagai suatu kemunduran terhadap sekularisme dan primodalisme dalam kehidupan politik nasional. Ia berpandangan, bahwa kehidupan demokrasi di Indonesia sebaiknya tidak didasarkan kepada partai politik yang berdasarkan agama. Namun demikian sebagian besar pimpinan dan anggota NU tidak sependapat dengan Abdurrachman Wahid, bahkan mereka ini menjadi aktivis ICMI.
Abdurrachman Wahid, ketua Nahdatul Ulama/NU justru melihatnya sebagai suatu kemunduran terhadap sekularisme dan primodalisme dalam kehidupan politik nasional. Ia berpandangan, bahwa kehidupan demokrasi di Indonesia sebaiknya tidak didasarkan kepada partai politik yang berdasarkan agama. Namun demikian sebagian besar pimpinan dan anggota NU tidak sependapat dengan Abdurrachman Wahid, bahkan mereka ini menjadi aktivis ICMI.
·
Falsafah Dasar ICMI
1. Carilah titik
temu pendapat para Ormas Islam dan para anggotanya.
2. Kembangkan
titik-titik temu tersebut menjadi garis temu.
3. Kembangkan
garis-garis temu tersebut menjadi permukaan – permukaan temu.
4. Rekatkan
sepanjang masa sampai ke akhirat permukaan-permukan temu tersebut dengan ajaran
kitab suci Al-Qur’an.
·
Prinsip Dasar ICMI. Adapun Prinsip Dasar ICMI
yaitu 5 K :
1. Meningkatkan Kwalitas Berpikir
2. Meningkatkan Kwalitas Bekerja
3. Meningkatkan Kwalitas Berkarya
4. Mneingkatkan Kwalitas Iman dan Taqwa seimbang dengan penguasaan Kwalitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
5. Meningkatkan Kwalitas Hidup.
1. Meningkatkan Kwalitas Berpikir
2. Meningkatkan Kwalitas Bekerja
3. Meningkatkan Kwalitas Berkarya
4. Mneingkatkan Kwalitas Iman dan Taqwa seimbang dengan penguasaan Kwalitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
5. Meningkatkan Kwalitas Hidup.
e.
Perkembangan
Icmi
Ketika ICMI
dilahirkan di Malang, banyak kalangan ketika itu menilai konstalasi peta
politik berubah, meskipun ICMI bukan sebuah partai politik, tapi
individu-individu didalamnya banyak dikenal ketokohannya seperti Imanuddin
Abdurrahim, M. Amin Rais, Nurcholis Madjid, Dawam Raharjo dan tokoh lainnya.
Awal pembentukan ICMI membuat rezim pada masa itu khawatir akan pengaruhnya, namun
posisi Habibie ketika itu menjadi jaminan bahwa ICMI tidak akan bermain api
dengan penguasa ketika itu, yaitu Presiden Soeharto.
Tak bisa
dipungkiri bahwa ICMI akan mampu melahirkan tokoh-tokoh pemimpin nasional yang
cerdas, kritis dan memang akhirnya banyak tokoh-tokoh ICMI yang duduk
dipemerintahan. Disatu sisi ICMI membuat umat Islam bangga ketika itu, dan
setelah itu tidak sedikit mereka menjadi orang-orang yang mewarnai dan
mengambil keputusan di pemerintahan. Suasana ini membuat banyak para tokoh mulai
berani menyuarakan susuatu yang tidak adil. Kasus "terpanas" adalah
Free Fort, sekitar tahun 1997 Amien Rais yang ketika itu sebagai Dewan Pakar
ICMI bersuara lantang bahwa pembagian hasil tambang emas Free Fort lebih
menguntungkan pihak luar. Kasus Free Fort ini membuat Soeharto ketika itu
menjadi berang, lalu meminta kepada Habibie agar Amien Rais
"disingkirkan" dari ICMI. Permintaan ini membuat Habibie dilematis
karena ia dekat dengan Amien Rais, sementara Soeharto ketika itu penguasa yang
sangat kuat. Akhirnya Amien Rais sendiri mengundurkan diri dari Dewan pakar
ICMI setelah melihat posisi Habibie seperti itu.
Ketika era reformasi yang digulirkan mahasiswa tahun 1998 membuat banyak tokoh turun untuk mendirikan dan bergabung dengan partai politik, dengan tujuan dapat memperoleh kekuasaan. Reformasi bergulir dengan cepat, Soeharto turun, Dwifungsi ABRI di cabut, UUD 1945 diamandemen. Perubahan ini berjalan demikian cepat, sementara itu ICMI seperti kenderaan kosong. Hiruk pikuk reformasi, disikapi dengan berbagai kepentingan-kepentingan jangka pendek bagaimana bisa menjadi presiden, menteri, gubernur, bupati, atau anggota dewan.
Ketika era reformasi yang digulirkan mahasiswa tahun 1998 membuat banyak tokoh turun untuk mendirikan dan bergabung dengan partai politik, dengan tujuan dapat memperoleh kekuasaan. Reformasi bergulir dengan cepat, Soeharto turun, Dwifungsi ABRI di cabut, UUD 1945 diamandemen. Perubahan ini berjalan demikian cepat, sementara itu ICMI seperti kenderaan kosong. Hiruk pikuk reformasi, disikapi dengan berbagai kepentingan-kepentingan jangka pendek bagaimana bisa menjadi presiden, menteri, gubernur, bupati, atau anggota dewan.
Meskipun
demikian ruh kecendikiawanan para tokoh dan mahasiswa Islam masih hidup.
Meskipun geliatnya secara politis tidak bergema dengan lincah di kanca
nasional, hal ini kuat terlihat setelah Habibie tidak lagi memimpin ICMI.
Terasa ada sesuatu semangat yang hilang ketika itu, mungkin "icon"
imtaq dan iptek melekat pada vigur Habibie. Akhirnya, realitas perjalanan ICMI
dan geraknya pada muktamar ke IV di Makasar belum melahirkan hasil-hasil yang
dipandang dan dirasakan langsung oleh umat. Orang-orang "tua" di ICMI
pasca muktamar tidak terlihat geliatnya, terlebih-lebih diberbagai wilayah dan
daerah.
f.
Kegiatan Icmi
Guna
mewujudkan tujuannya dan dalam rangka menegakkan kebajikan, mencegah
kemungkaran, ICMI menyelenggarakan kegiatan-kegiatan berikut:
1.
Meningkatkan mutu komitmen dan pengamalan
keimanan-ketaqwaan, kecendekiawanan, dan kepakaran para anggota melalui
peningkatan pembelajaran dan koordinasi sistem jaringan informasi dan
komunikasi di dalam maupun di luar negeri.
2.
Mengembangkan pemikiran, menyelenggarakan
penelitian dan pengkajian yang inovatif, strategis, dan antisipatif dalam
rangka mempengaruhi kebijakan publik serta berupaya merumuskan dan memecahkan
berbagai masalah strategis lokal, regional, nasional dan global.
3.
Berperan aktif mengembangkan sistem pendidikan
dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan masyarakat dan bangsa, khususnya umat Islam Indonesia.
4.
Menyelenggarakan berbagai kegiatan pemberdayaan
dan advokasi kebijakan di bidang sosial, ekonomi, hukum, danbudaya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup dan martabat rakyat kecil dan kaum yang lemah guna
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5.
Mempublikasikan dan mengkomunikasikan
hasil-hasil pemikiran, penelitian, kajian, dan inovasi bekerjasama dengan
berbagai kalangan, baik perorangan, lembaga, perhimpunan, pemerintah maupun
swasta.
g.
Struktur Organisasi Icmi
Struktur Organisasi ICMI terdiri atas
Organisasi Satuan (Orsat) dengan lingkup kecamatan, Organisasi Daerah (Orda)
untuk lingkup Kabupaten/Kota, Organisasi Wilayah (Orwil) untuk tingkat
Propinsi, dan Organisasi Pusat yang berskala nasional. Apabila disuatu daerah
tertentu terdapat kasus khusus, maka untuk mempermudah pengaturan administrasi
dan koordinasi dapat dibentuk Organisasi Wilayah.
Jika diperlukan Badan Otonom, Batom ini dapat
dibuat dan dipertanggungjawabkan kepada ketua koordinasi Batom sesuai dengan
jenjang organisasinya. Batom adalah Badan Otonom milik ICMI yang melakukan
kegiatan Usaha yang secara otonom untuk memajukan ICMI dan anggotanya yang
didasari kepada transparansi dan akuntabilitas serta mempertanggungjawabkannya
kepada pengurus ICMI sesuai dengan jenjang organisasi.
ICMI adalah organisasi cendekiawan muslim yang
menghimpun berbagai unsur cendekiawan dari berbagai kalangan masyarakat. Untuk
memelihara dan melestarikan persatuan dan kesatuan banga, ICMI melakukan
kerjasama dengan pemerintah, organisasi cendekiawan lain, ormas-ormas, dan
berbagai unsur kalangan masyarakat.
h.
Syarat Menjadi Anggota Icmi
1.
Warga Negara
Indonesia yang beragama Islam.
2.
Berusia minimal
17 (tujuh belas) tahun.
3.
Menyetujui
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga dan Keputusan Organisasi lainnya.
4.
Mendapat
rekomendasi serta menyatakan secara tertulis kesediaan menjadi anggota.
5.
Membayar uang
pendaftaran sebesar Rp 25.000 (dua puluh lima ribu rupiah) dan uang penerbitan
kartu anggota sebesar Rp 25.000 (dua puluh lima ribu rupiah).
6.
Membayar iuran
anggota minimal 1 (satu) tahun sebesar Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah)/bulan
yang dibayarkan pada saat penyerahan formulir anggota.
Proses penerimaan anggota biasa
sejak persyaratan administrasi keanggotaannya lengkap sampai dengan
diterbitkannya Kartu Tanda Anggota paling lambat selama 1 bulan. (icmi.or.id).*
BAB III
a.
Analisis
Pemikiran yang
berada pada ormas ICMI ini lebih mengutamakan kepada politik islam dimana ormas
ini menghimpun berbagai unsur cendikiawan muslim dari berbagai kalangan
masyarakat dengan tujuan untuk memelihara dan melestarikan persatuan dan
kesatuan bangsa. Ormas ini tidak hanya bekerjasama dengan pemerintahan saja
akan tetapi ormas inipun bekerja sama dengan ormas-ormas lainya dan berbagai
unsur kalangan masyarakat. Pemikiran-pemikirannyapun sama sekali tidak
bertentangan dengan ajaran al-qur’an dan sunnatullah. ICMI pun diformat
sebagai politik Islam yang santun dan tidak mengancam, ditambah kepemimpinanya
lebih mengutamakan kepemimpinan yang bersifat presidium yaitu kepemimpinan yang
dipimpin atas dasar hasil muktamar.
ICMI berkembang
pesat ketika B.J Habibie menjadi ketua dari ormas ini, selain peran
intelektualnya beliau juga orang yang sangat dekat dengan sosok presiden yang
saat itu Bapak Soeharto sedang menjabat. Sepak terjang ICMI di masa orde baru
cukup kuat. Pemikiran-pemikiran yang maju dan kontroversial akan diikuti oleh
pihak lain. Salah satu pencapaiannya adalah terbentuknya bank muamalat, sebuah
bank yang berbasis syari’ah.
Semua ormas
pasti terdapat pro dan kontranya termasuk ormas ICMI ini. Contohnya Abdurrahman
Wahid menolak terhadap ormas ini dan mengatakan bahwa ormas ini menyebarkan
sekterianisme. Setelah saya observasi ada salah satu teman saya yang
berpendapat bahwa “ICMI memang bagus menghimpun para cendekiawan muslim di
Indonesia. Indonesia kan negara yg didominasi oleh umat muslim. Bahkan saya
pernah baca bahwa 1/3 muslim di dunia itu ada di Indonesia. Jadi intinya jika
umat muslim itu sendiri disatukan. Khususnya para cendekiawan yg notabene menjadi pionir kemajuan islam. Bukan tdk
mungkin Indonesia menjadi kekuatan islam terbesar dunia, sehingga pada akhirnya
islam dapat berjaya kembali (as-sohwah) seperti pada abad kejayaannya di masa
lalu. Tp yg saya tdk suka dari ICMI adalah islamisasi perpolitikan Indonesia
nya. Disamping harus menyatukan umat muslim Indonesia dgn tujuan yg saya
paparkan tadi. Mestinya perlu disadari juga bahwa Indonesia bukanlah negara
Islam. Islam bisa disebut agama pendatang bagi Indonesia. Karna jika dilihat
dari sejarah, dahulu kala para penduduk Indonesia menganut agama Hindu, Budha.
Menganut aliran animisme, dan aliran-aliran lainnya. Jadi, kesimpulannya sangat
sedikit kemungkinan untuk menjadikan Indonesia negara Islam. Bahkan bisa
dikatakan mustahil. Nah, mantan presiden kita Abdurrahman Wahid sangat faham
tentang hal ini. Menjadikan Indonesia negara islam itu hari ini sangat tdk
mungkin. Tapi, memasukan unsur-unsur syariah kedalam aspek-aspek negara itu
mungkin. Intinya tdk perlu menjadikan indonesia negara islam. Yg terpenting
faham-faham keislaman itu terealisasi dalam keseharian umat islam di indonesia.
Karena pada hakikatnya yg disebut negara islam adalah negara yg di dalamnya
terealisasi berbagai aspek-aspek keislaman”.
Namun bagi
masyarakat yang pro ormas ini banyak memberikan keuntungan diantaranya bank
muamalat tadi serta melahirkan para nasionalis yang pemikirannya banyak
digunakan oleh bangsa indonesia.
BAB IV
a.
Kesimpulan
Kelahiran
ICMI ini diawali oleh sekelompok mahasiswa yang memikirkan tentang bagaimana
para cendekiawan muslim bangkit kembali dan memiliki peran dalam perpolitikan di indonesia, perkembangannya pun sangat pesat
ketika kepemimpinan ICMI ditangan pak B.J Habibie.
Tujuannyapun
tidak jauh dari untuk mempersatukan dan melestarikan bangsa yang semakin maju
namun semakin rusak karena terpengaruh oleh westernisasi bangsa barat. Dengan
adanya ormas ini para cendekiawan muslim mempunyai wadah dalam membangun perpolitikan
di indonesia.
kepemimpinanyapun
lebih mengutamakan kepemimpinan yang bersifat presidium yaitu kepemimpinan yang
dipimpin atas dasar hasil muktamar.
Ormas
ini tidak hanya bekerjasama dengan pemerintahan saja akan tetapi ormas inipun
bekerja sama dengan ormas-ormas lainya dan berbagai unsur kalangan masyarakat
supaya komunikasi komunal dan lateral bisa dijalankan. Tumbuh saling pengertian
terutama tentang kebangsaan bagi organisasi islam. Khasnya yaitu menggabungkan
aspek-aspek keislaman, kebangsaan dan intelektualitas yang mungkin tidak atau
kurang ditekankan dalam ormas lalin.
0 komentar:
Post a Comment