Teka-teki Tentang Otak
“Alam organik tumbuh dari alam tak hidup; alam yang hidup
menghasilkan sebuah bentuk yang sanggup berpikir. Pertama-tama, kita memiliki
materi, yang tidak dapat berpikir; dari mana tumbuh materi yang dapat berpikir,
manusia. Jika memang ini yang terjadi – dan kita tahu bahwa demikianlah halnya,
dari ilmu alam – jelaslah bahwa materi adalah ibu dari pikiran; bukan pikiran
yang menjadi ibu dari materi. Anak-anak tidak pernah lebih tua dari orang tua
mereka. 'Pikiran' datang belakangan, dan maka dari itu kita harus menganggapnya
sebagai keturunan, dan bukan orang tua ... materi ada sebelum munculnya manusia
yang berpikir; bumi ada jauh sebelum munculnya 'pikiran' apapun di
permukaannya. Dengan kata lain, materi ada secara objektif, tidak tergantung
dari 'pikiran'. Tapi fenomena-fenomena batiniah, yang disebut 'pikiran' itu,
tidak pernah dan tidak akan hadir tanpa materi. Pikiran tidak ada tanpa otak;
nafsu adalah mustahil tanpa ada organisme yang memiliki nafsu itu .... Dengan
kata lain; fenomena batiniah, fenomena kesadaran, adalah sekedar ciri dari
materi yang terorganisir dalam cara tertentu, satu 'fungsi' dari materi semacam
itu.” (Nikolai Bukharin)[1]
“Interpretasi atas
mekanisme otak merupakan salah satu misteri biologis yang terakhir, tempat
pengungsian terakhir bagi mistisisme gelap dan filsafat religius yang penuh
spekulasi.” (Steven Rose)
Selama berabad-abad,
seperti yang telah kita lihat, isu sentral dari filsafat adalah pertanyaan
tentang hubungan antara pikiran dan keberadaan. Kini, setelah menunggu begitu
lama, langkah-langkah besar yang telah dibuat oleh sains mulai menyingkap sifat
sejati dari pikiran dan bagaimana ia bekerja. Kemajuan-kemajuan ini menyediakan
konfirmasi yang tegas terhadap cara pandang materialis, terutama berkaitan
dengan kontroversimengenai otak dan neurobiologi. Tempat persembunyian terakhir
bagi mistisisme kini tengah digempur habis-habisan, yang tidak mencegah para
idealis untuk melancarkan serangan balasan dari belakang, seperti yang
ditunjukkan kutipan di bawah ini:
“Ketika menjadi mustahil untuk menyelidiki unsur-unsur
non-material dari penciptaan ini, banyak orang kemudian mengabaikannya. Mereka
berpikir bahwa hanya materilah yang riil. Dan dengan demikian pemikiran kita
yang terdalam sekalipun harus direduksi menjadi bukan apa-apa selain hasil dari
sel-sel otak yang bekerja menurut hukum-hukum kimia. ... Kita boleh menelaah
respons-respons elektrik otak yang mengiringi pikiran, tapi kita tidak dapat
mereduksi Plato menjadi sekedar denyutan syaraf, atau Aristoteles menjadi
sekedar gelombang alfa. ... Penggambaran tentang pergerakan fisik tidak akan
pernah menyingkapkan makna pergerakan itu sendiri. Biologi hanya dapat
menyelidiki dunia neuron dan sinapsis yang saling terhubung itu.”[2]
Apa yang kita sebut
“pikiran” adalah sekedar cara mengada dari otak. Tentu ini adalah sebuah
fenomena yang teramat rumit, hasil dari berjuta tahun evolusi. Kesulitan dalam
menganalisa proses-proses kompleks yang terjadi dalam otak dan sistem syaraf,
dan kesalingterhubungan yang sama kompleksnya antara proses mental dan
lingkungannya, berarti bahwa pemahaman yang tepat atas sifat pikiran telah
tertunda selama berabad-abad. Penundaan ini telah memungkinkan para idealis dan
teolog untuk berspekulasi tentang sifat mistis dari apa yang mereka sebut
“jiwa”, yang dipandang sebagai sebuah zat non-material yang bersemayam
sementara di dalam tubuh manusia. Kemajuan neurobiologi modern berarti bahwa
kaum idealis akhirnya mulai benar-benar terusir dari tempat pengungsian
terakhir mereka. Sejalan dengan semakin terbukanya rahasia-rahasia di balik
otak dan sistem syaraf, semakin mudahlah untuk menjelaskan pikiran, tanpa harus
menyandarkan diri pada agen-agen supernatural, sebagai jumlah total dari
aktivitas otak.
Mengutip ahli
neurobiologi Steven Rose, pikiran dan kesadaran adalah:
“... konsekuensi yang niscaya dari evolusi struktur-struktur
otak tertentu yang berkembang dalam serangkaian perubahan evolusioner dalam
jalan yang ditempuh oleh kemunculan umat manusia ... kesadaran adalah satu
konsekuensi dari evolusi dari satu tingkatan kompleksitas dan derajat interaksi
tertentu di antara sel-sel syaraf (neuron) di vorteks serebral, sementara
bentuk yang diambil tiap-tiap otak dimodifikasi secara mendasar oleh
perkembangannya dalam hubungannya dengan lingkungannya.”[3]
Pikiran – Sebuah Mesin?
Konsepsi-konsepsi
tentang otak manusia telah berubah pesat selama lebih dari 300 tahun terakhir,
sejak kelahiran sains modern dan bangkitnya masyarakat kapitalis. Dalam
sejarah, cara memandang otak telah diwarnai oleh prasangka-prasangka religius
dan filsafat yang berkembang di masanya. Bagi Gereja, pikiran adalah “rumah
Tuhan”. Materialisme mekanistik di abad ke-18 menganggapnya sebagai sebuah
mesin mekanik seperti sebuah jam. Baru-baru ini, ia digambarkan sebagai penjumlahan
yang mustahil atas kejadian-kejadian probabilistik. Di abad pertengahan, ketika
ideologi Katolik mendominasi segala hal, jiwa dikatakan terserap ke dalam
segala bagian tubuh; otak, tubuh, pikiran dan materi tidaklah dapat dibedakan.
Dengan munculnya Copernicus, Galileo, dan akhirnya Newton dan Descartes, dengan
pandangan materialisme mekanik mereka, terjadilah pergeseran sudut pandang.
Bagi Descartes, dunia
ini adalah semacam mesin, dan organisme-organisme hidup hanyalah sejenis mesin
jam atau mesin hidraulik. Gambaran mesin Cartesian inilah yang telah
mendominasi sains dan berfungsi sebagai perumpamaan yang mengabsahkan satu
pandangan tertentu atas dunia, yang mengambil mesin sebagai model untuk
organisme hidup dan bukan sebaliknya. Tubuh adalah satu keseluruhan yang tak
terpisahkan, yang segera kehilangan ciri-ciri hakikinya begitu ia dilepaskan
dari keseluruhan itu. Mesin, sebaliknya, dapat dibongkar agar dapat dipahami
dan kemudian dipasang kembali. Tiap bagian melakukan fungsi yang dapat dianalisa
secara terpisah, dan keseluruhannya bekerja dalam cara yang reguler, yang dapat
diuraikan melalui kerja bagian-bagiannya yang saling mempengaruhi.
Pada tiap tahap,
penggambaran tentang otak telah dengan setia mencerminkan keterbatasan sains
pada masa tersebut. Pandangan dunia yang mekanistik dari abad ke-18
mencerminkan fakta bahwa sains yang paling modern waktu itu adalah mekanika.
Bukankah Newton yang agung telah menjelaskan seluruh alam semesta ini melalui
hukum-hukum mekanika? Lalu mengapa tubuh dan pikiran manusia harus bekerja
dengan cara yang lain? Descartes menerima baik pandangan ini ketika ia
menggambarkan tubuh manusia sebagai sejenis mesin. Tapi karena Descartes adalah
seorang Katolik yang taat, ia tidak dapat membuat dirinya menerima bahwa jiwa
yang kekal itu dapat menjadi bagian dari mesin ini. Ia harus menjadi sesuatu
yang sama sekali terpisah, yang terletak pada satu area khusus di dalam otak,
apa yang disebutnya sebagai kelenjar pineal. Di dalam bagian otak yang
lokasinya tidak jelas ini, Jiwa bersemayam sementara dalam tubuh manusia, dan
memberi hidup pada mesin itu. Steven Rose menulis:
“Dengan demikian berkembanglah satu pemisahan yang niscaya, tapi
fatal, bagi pemikiran ilmiah Barat, yakni dogma yang dikenal dalam kasus
Descartes dan para penerusnya sebagai dogma ‘dualisme’; sebuah dogma yang,
seperti yang nanti kita lihat, adalah konsekuensi yang niscaya dari segala
macam materialisme reduksionis yang pada akhirnya tidak ingin menerima bahwa
manusia 'tidak lain' adalah pergerakan dari molekul-molekulnya. Dualisme adalah
sebuah solusi untuk paradoks dari mekanisme, yang memungkinkan agama dan sains
reduksionis menunda selama dua abad perperangan besar di antara mereka untuk
supremasi ideologis. Dogma ‘dualisme’ ini adalah sebuah solusi yang sesuai
dengan tatanan kapitalis, karena pada hari-hari kerja ia memungkinkan seorang
untuk memperlakukan orang lain sebagai sekedar mesin fisik, yang
terobjektifikasi, dan mengeksploitasi tanpa kontradiksi, sementara di hari
Minggu kontrol ideologis dapat diperkuat dengan pernyataan bahwa kekekalan dan
kehendak bebas dari jiwa yang bersemayam di dalam tubuh tidak akan terpengaruh
oleh trauma-trauma yang dialaminya di dunia pada hari-hari kerja.”[4]
Di abad ke-18 dan 19,
pandangan tentang pikiran sebagai “hantu yang menghuni mesin” berubah. Dengan
ditemukannya listrik, otak dan sistem syaraf kemudian dilihat sebagai satu
jaring-jaring elektrik. Pada peralihan abad ini, analogi rumah telepon muncul
pula, di mana otak mengolah pesan-pesan dari berbagai organ yang berbeda.
Dengan datangnya era produksi massal, datang pula model organisasi bisnis,
seperti yang dinyatakan dalam kutipan berikut yang berasal dari sebuah
ensiklopedia anak-anak:
“Bayangkan otakmu
sebagai cabang eksekutif dari sebuah perusahaan besar. Ia dibagi-bagi, seperti
yang kamu lihat di sini, ke dalam banyak departemen. Yang duduk di meja besar
di kantor pusat itu adalah Manajer Umum (GM) – kesadaran dirimu – dengan kabel
telepon yang tersambung ke berbagai departemen. Di sekitarmu ada para asisten
utamamu –Mandor Pesan Masuk, seperti Penglihatan, Pengecapan, Penciuman, Pendengaran,
dan Perasaan (dua yang terakhir terletak di belakang kantor pusat). Di dekatmu
terdapat juga Mandor Pesan Keluar yang mengendalikan Bicara dan pergerakan
Tangan, Kaki dan lain-lain bagian tubuhmu. Tentu saja, hanya pesan-pesan yang
paling penting yang akan sampai ke kantor pusat. Tugas-tugas rutin seperti
menjalankan jantung, paru-paru dan perut atau mengawasi detil-detil kecil dari
kerja-kerja otot dijalankan oleh Manajer Aksi Otomatis di dalam Medulla
Oblongata dan Manajer Aksi Refleks di Cerebellum. Semua departemen lainnya
membentuk apa yang disebut para ilmuwan sebagai Cerebrum”
Dengan munculnya komputer yang dapat menjalankan perhitungan
dalam jumlah yang luar biasa, niscaya otak disamakan dengan komputer. Cara
komputer untuk menyimpan informasi dikenal sebagai memori. Komputer-komputer
yang semakin hari semakin kuat terus dibangun. Seberapa dekat sebenarnya
komputer dengan otak manusia? Pada akhirnya, fiksi ilmiah telah membawa
film Terminator kepada kita, di mana komputer
dikatakan telah melampaui kecerdasan manusia dan berniat untuk mengambil alih
kendali atas dunia. Namun, seperti yang dijelaskan Steven Rose dalam bukunya
yang paling mutakhir:
“Otak tidak bekerja berdasarkan informasi seperti komputer, tapi
berdasarkan makna. Dan pemaknaan adalah sebuah proses yang dibentuk secara
historis dan melalui perkembangan yang panjang, yang diekspresikan oleh
individu dalam interaksinya dengan lingkungan alam dan sosialnya. Sungguh,
salah satu masalah dalam menelaah ingatan adalah kenyataan bahwa memori adalah
sebuah fenomena yang dialektik. Karena tiap kali kita mengingat, kita melakukan
kerja terhadap memori kita dan mengubahnya; ingatan itu tidak sekedar dipanggil
dari tempat penyimpanannya, dan setelah digunakan lalu dikembalikan ke
tempatnya dalam keadaan utuh. Ingatan kita diciptakan kembali setiap kali kita
mengingat.”[5]
Apa itu Otak?
Otak manusia adalah
titik tertinggi yang sampai saat ini telah dicapai oleh evolusi materi. Secara
fisik, beratnya sekitar 1,5 kilogram, yang lebih berat dari kebanyakan organ
manusia yang lain. Permukaannya berkerut seperti kacang walnut dan memiliki
warna dan konsistensi seperti bubur dingin. Namun, ia sangat kompleks secara
biologis. Ia mengandung sejumlah besar sel (neuron), mungkin berjumlah 100
miliar totalnya. Tapi bahkan ini masih akan terasa sangat kecil ketika kita
menemukan bahwa tiap neuron masih tertanam lagi dalam sekumpulan sel yang lebih
kecil yang disebut glia, yang berfungsi menyokong neuron.
Otak sebagian besar
terdiri dari cerebrum, yang terbagi dalam dua bagian yang sama besar.
Permukaannya dikenal sebagai korteks. Ukuran korteks membedakan manusia dari
organisme lainnya. Cerebrum dibagi lagi menjadi area-area atau lobe, yang
secara kasar berhubungan dengan fungsi-fungsi tubuh tertentu dan dalam
pengolahan informasi indrawi. Di belakang cerebrum terletaklah cerebellum, yang
mengawasi semua pergerakan otot kecil di seluruh tubuh. Di bawah bagian ini
adalah sebuah batang tebal yang disebut batang otak, yang merupakan kelanjutan
dari syaraf tulang belakang. Batang otak ini membawa serat syaraf dari otak
melalui tulang belakang dan sampai ke sistem syaraf di seluruh tubuh,
memungkinkan semua bagian tubuh berkomunikasi dengan otak.
Ukuran otak yang
besar, yang menentukan pemisahan manusia dari hewan-hewan lainnya, terutama
karena perbesaran dari lapisan sel-sel syaraf luar yang tipis, yang dikenal
sebagai neo-korteks. Namun, perluasan bagian ini tidak terjadi secara seragam.
Frontal lobe, yang dikaitkan dengan perencanaan dan kemampuan menganalisa ke
depan, jauh lebih berkembang daripada bagian yang lain. Hal yang sama terjadi
pula pada cerebellum, di bagian belakang tengkorak, yang dihubungkan dengan
kemampuan refleks, serangkaian tindakan sehari-hari yang kita lakukan tanpa
berpikir, seperti mengendarai sepeda, memindahkan gigi ketika mengemudi atau
mengancingkan baju tidur.
Otak itu sendiri
mengandung sebuah sistem sirkulasi yang sanggup membagikan zat gizi ke
bagian-bagian yang jauh dari pembuluh darah. Ia menerima jatah darah yang
besar, yang membawa glukosa dan oksigen yang vital bagi otak. Sekalipun otak
manusia dewasa hanya merupakan 2% dari seluruh berat tubuhnya, konsumsi
oksigennya adalah 20% dari total – dan pada bayi jumlah ini adalah 50%. Dua
puluh persen dari konsumsi glukosa tubuh terjadi di otak. Seperlima bagian
penuh dari darah dipompakan oleh jantung ke otak. Syaraf menghantarkan
informasi secara elektrik. Sinyal-sinyal mengalir melalui sel syaraf sebagai
gelombang-gelombang listrik; sebuah pulsa yang mengalir dari sel tubuh ke ujung
urat syaraf. Jadi bahasa otak terdiri dari denyut-denyut listrik, bukan hanya
jumlahnya tapi juga frekuensinya. “Informasi yang mendasari prediksi-prediksi,”
tulis Rose, “tergantung pada kedatangan data dari permukaan tubuh dalam bentuk
cahaya dan bunyi yang terdiri dari berbagai panjang gelombang dan intensitas,
fluktuasi dalam suhu, tekanan pada titik tertentu dari kulit, konsentrasi dari
berbagai zat kimia yang dideteksi oleh hidung atau lidah. Di dalam tubuh, data
ini diubah menjadi serangkaian sinyal listrik yang mengalir melalui syaraf
tertentu ke wilayah otak sentral di mana sinyal itu berinteraksi satu sama lain
untuk menghasilkan respons-respons tertentu.”
Neuron terdiri dari
segala jenis properti (dendrit, sel tubuh, akson, sinapsis), yang menghantarkan
pesan berantai ini (pesan sampai pada sinapsis melalui akson). Dengan kata
lain, neuron adalah satu unit dari sistem otak. Ribuan neuron motorik terlibat
dalam tiap gerak otot yang terkoordinir. Tindakan-tindakan yang lebih kompleks
akan melibatkan jutaan – sekalipun satu juta neuron barulah merupakan 0,01%
dari jumlah yang tersedia dalam korteks manusia. Tapi otak tidak dapat dipahami
sebagai sekedar jumlah total dari berbagai bagian yang terpisah-pisah. Walaupun
telaah secara rinci atas bagian-bagian yang menyusun otak harus kita lakukan,
kita tidak boleh melangkah lebih jauh dari sana.
“Terdapat banyak tingkatan di mana kita dapat menggambarkan
perilaku otak,” tegas Rose. “Kita dapat menggambarkan struktur kuantum dari
atom-atomnya, atau ciri-ciri molekular dari zat-zat kimia yang menyusunnya;
tampilan mikrografik-elektron dari tiap-tiap sel yang ada di dalamnya; perilaku
dari neuron-neuronnya sebagai sebuah sistem yang berinteraksi; sejarah
perkembangan atau evolusi dari neuron ini sebagai pola yang berubah dengan
waktu; respons perilaku dari tiap-tiap manusia yang otaknya sedang diteliti;
lingkungan sosial atau keluarga manusia itu, dan seterusnya.”[6]
Untuk memahami otak,
kita harus memahami kesalingterhubungan yang kompleks dan dialektik antara
bagian-bagiannya. Kita harus menyatukan semua jenis ilmu pengetahuan: ethologi,
psikologi, fisiologi, farmakologi, biokimia, biologi molekuler, bahkan juga
sibernetika dan matematika.
Evolusi Otak
Dalam mitologi kuno,
dewi Minerva [Athena] diciptakan dalam keadaan berpakaian tempur lengkap
langsung dari kepala Yupiter [Zeus]. Otak tidaklah seberuntung itu. Jauh dari
penciptaan langsung semacam itu, ia harus berevolusisampai ke keadaannya
sekarang sebagai sebuah sistem yang kompleks selama jutaan tahun. Ia muncul
pada tahapan evolusi yang sangat primitif. Organisme-organisme bersel tunggal
menunjukkan pola-pola perilaku tertentu (misal, pergerakan menuju cahaya atau
zat gizi). Dengan munculnya kehidupan multiseluler, sebuah divisi yang tajam
terjadi antara hewan dan tumbuhan. Walaupun memiliki alat-alat sinyal internal
yang memungkinkan dirinya “berkomunikasi”, evolusi tumbuhan bergerak
membelakangi evolusi syaraf dan otak. Pergerakan binatang membutuhkan
komunikasi yang cepat antar sel-sel yang ada di berbagai bagian tubuh yang
berbeda.
Organisme yang paling
sederhana dapat mencukupi kebutuhannya sendiri; ia memiliki segala yang
dibutuhkannya dalam satu sel saja. Komunikasi antar bagian dalam sel terjadi
dengan sangat bersahaja. Di pihak lain, organisme multiseluler berbeda secara
kualitatif dan memungkinkan terjadinya perkembangan spesialisasi antar sel.
Sel-sel tertentu dapat mengurusi terutama persoalan pencernaan, yang lain
menyediakan lapisan pelindung, dan yang lain menyediakan sirkulasi, dan
seterusnya. Sistem sinyal kimiawi (hormon) ditemuidi organisme multiseluler
yang paling primitif. Bahkan pada tingkat yang demikian primitif, sel-sel yang
telah terspesialisasi telah dapat ditemukan. Itu adalah satu langkah menuju
sistem syaraf. Organisme yang lebih kompleks, seperti cacing pita telah
mengembangkan sebuah sistem syaraf, di mana neuron telah dikumpulkan menjadi
ganglion. Telah ditemukan bahwa ganglion adalah rantai evolusioner antara
syaraf dan otak. Kumpulan sel syaraf ini juga ditemui pada serangga, krustasea
dan moluska.
Perkembangan kepala
dan lokasi mata dan mulut cacing pita memberi sebuah keuntungan dalam menerima
informasi tentang arah pergerakan hewan tersebut. Sejalan dengan perkembangan
ini, sekelompok ganglia dikumpulkan dalam kepalanya. Ini mencerminkan evolusi
dari otak – sekalipun masih dalam bentuk yang sangat primitif. Cacing pita juga
menunjukkan kemampuan belajar– satu properti kunci dari otak yang telah
berkembang baik. Ini merupakan sebuah lompatan revolusioner.
Lebih dari satu dasawarsa lalu, para ilmuwan syaraf Amerika
menemukan bahwa mekanisme seluler dasar untuk pembentukan ingatan pada manusia
juga terdapat pada siput. Profesor Eric Kandel dari Columbia University
menelaah proses belajar dan mengingat dari siput laut Aplysia
californica, dan menemukan bahwa mereka menunjukkan beberapa fitur
dasar yang juga ditemui pada manusia. Perbedaannya adalah bahwa, sementara otak
manusia memiliki 100 miliar sel syaraf, Aplysia hanya memiliki beberapa ribu
saja, dan sel itu besar-besar. Fakta bahwa kita memiliki mekanisme-mekanisme
yang sama dengan seekor siput laut adalah jawaban yang cukup bagi upaya-upaya
keras kepala dari kaum idealis untuk menggambarkan manusia sebagai
sebuahciptaan yang unik, yang berbeda dan terpisah sama sekali dari hewan-hewan
lain. Karena hampir setiap fungsi otak tergantung pada ingatan, dengan satu
atau lain cara. Tidak ada campur-tangan ilahi yang diperlukan untuk menjelaskan
fenomena ini. Proses-proses alam cenderung sangat konservatif. Setelah ia
mencapai sebuah adaptasi yang terbukti berguna untuk melakukan fungsi-fungsi
tertentu, proses ini akan terus direplikasi sepanjang evolusinya, diperbesar
dan diperbaiki sampai tingkatan di mana ia akan memberikan satu keuntungan
evolusioner tertentu.
Evolusi telah
memasukkan banyak inovasi ke dalam otak hewan-hewan, terutama pada primata
tingkat tinggi dan manusia yang memiliki otak berukuran sangat besar. Walaupun
Aplysia dapat “mengingat” sesuatu sampai beberapa minggu, ingatannya hanya
melibatkan aktivitas mental yang dikenal sebagai kebiasaan pada manusia.
Ingatan semacam ini terlibat dalam, katakanlah, ketika kita mengingat bagaimana
caranya berenang. Riset terhadap orang-orang yang mengalami kerusakan otak
menunjukkan bahwa bagian otak yang digunakan untuk mengingat fakta dan
kebiasaan adalah terpisah. Seseorang dapat kehilangan ingatannya akan
fakta-fakta, tapi masih tetap bisa mengendarai sepeda. Ingatan yang mengisi
pikiran manusia, tentu saja, jauh lebih kompleks daripada proses sistem syaraf
seekor siput.
Perbesaran otak yang
terus menerus membutuhkan perubahan drastis dalam evolusi hewan tersebut.
Sistem syaraf anthropoda atau moluska tidak dapat berkembang lebih jauh karena
keterbatasan dari desain dasarnya. Sel-sel syaraf tersusun dalam cincin di
sekitar perut, dan jika diperbesar akan dengan cepat menekan isi perut –
batasan ini dengan jelas terlihat pada laba-laba, di mana perut demikian
tertekannya oleh cincin syaraf sehingga ia hanya dapat mencerna makanan yang
berupa cairan. Serangga tidak dapat tumbuh lebih besar dari ukuran tertentu
karena struktur tubuh mereka akan remuk oleh berat tubuh mereka sendiri. Ukuran
otak mereka telah mencapai batasan fisiknya. Serangga raksasa dalam film tidak
akan pernah dapat melompat keluar dari dunia fiksi ilmiah.
Perkembangan lebih
lanjut dari otak menuntut pemisahan syaraf dari perut. Kemunculan ikan
bertulang belakang menyediakan model bagi perkembangan tulang belakang dan
otak. Rongga otak dapat menampung otak yang besar dan syaraf dapat menjulur
melalui tulang belakang. Dari rongga mata berkembanglah mata yang sanggup
membuat citra dari cahaya, yang menyajikan sebuah pola optik bagi sistem
syaraf. Dengan kemunculan amfibi dan reptil di darat kita menyaksikan
perkembangan pesat dari otak bagian depan, yang terjadi dengan mengorbankan
perkembangan optic lobe.
Dua puluh tahun lalu
Harry Jerison dari University of California mengembangkan gagasan tentang
korelasi antara ukuran otak dengan ukuran tubuh, dan melacak perkembangan
evolusionernya. Ia menemukan bahwa reptil berotak kecil 300 juta tahun lalu dan
tetap demikian sampai saat ini. Grafik yang dibuatnya untuk menggambarkan
perbandingan ukuran otak dengan ukuran tubuh reptil menghasilkan sebuah garis
lurus, di dalamnya termasuk dinosaurus. Namun, evolusi dari mamalia pertama 200
juta tahun lalu menandai lompatan dalam ukuran relatif otak. Hewan-hewan malam
yang kecil ini memiliki perbandingan ukuran otak yang empat sampai lima kali
lebih besar daripada rata-rata reptil. Ini terutama disebabkan oleh
perkembangan korteks serebral, yang hanya terjadi pada mamalia. Ukuran korteks
serebral relatif tetap untuk sekitar 100 juta tahun. Lalu, sekitar 65 juta
tahun lalu, ukuran itu berkembang dengan cepat. Menurut Roger Lewin, selama 30
juta tahun perkembangan otak “telah meningkat empat sampai lima kali, dengan
peningkatan terbesar berlangsung bersamaan dengan evolusi ungulata (mamalia
berkuku belah), karnivora dan primata.” (New Scientist, 5 Desember 1992).
Sejalan dengan
evolusi monyet, kera dan manusia, ukuran otak bertambah semakin besar. Bila
memperhitungkan ukuran tubuh, otak monyet adalah dua sampai tiga kali lebih
besar dari rata-rata mamalia modern, sementara otak manusia adalah sekitar enam
kali dari itu. Perkembangan otak bukanlah sebuah perkembangan yang bertahap dan
gradual tapi penuh kejutan dan lompatan. “Sekalipun gambaran garis besar ini
tidak dapat memasukkan rincian-rincian kecilnya, pesan yang disampaikan cukup
jelas,” kata Roger Lewin, “sejarah otak melibatkan masa-masa stagnasi yang
panjang, yang dipatahkan oleh ledakan-ledakan perubahan.”
Dalam waktu kurang
dari tiga juta tahun – satu lompatan evolusioner – otak berlipat tiga dalam
ukuran relatifnya, menghasilkan sebuah korteks yang sekarang merupakan 70-80%
dari seluruh volume otak. Spesies hominid bipedal yang pertama berkembang
antara 10 dan 7 juta tahun lalu. Namun, ukuran otak mereka relatif kecil, jika
dibandingkan dengan kera. Lalu, sekitar 2,6 juta tahun lalu, sebuah ekspansi
yang cepat terjadi dengan kemunculan genus Homo. “Satu lompatan dalam evolusi
nenek moyang manusia modern terjadi,” ujar geolog Mark Maslin dari Kiel
University. “Bukti-bukti yang ada,” paparnya, “menunjukkan bahwa ekspansi otak
dimulai sekitar 2,5 juta tahun lalu, sebuah periode yang bertepatan dengan
kemunculan pertama dari perkakas-perkakas batu.” Dengan kerja, seperti yang
dijelaskan oleh Engels, datanglah perbesaran otak dan perkembangan kemampuan
bicara. Komunikasi hewani yang primitif digantikan dengan bahasa –sebuah
kemajuan kualitatif. Ini tentunya tergantung pada perkembangan pita suara. Otak
manusia sanggup membuat abstraksi dan generalisasi yang melebihi simpanse,
spesies yang berkerabat sangat erat dengan mereka.
Dengan peningkatan
ukuran otak datang pula peningkatan kompleksitas dan penataan ulang
sirkuit-sirkuit syaraf.Yang terutama berkembang adalah bagian depan korteks,
zona prefrontal, yang kira-kira berukuran enam kali lebih besar daripada milik
kera. Karena ukuran ini, zona ini dapat menonjolkan banyak urat syaraf ke dalam
otak bagian tengah, menggeser koneksi-koneksi yang berasal dari bagian-bagian
otak yang lain. “Ini mungkin hal yang penting bagi evolusi bahasa,” ujar
Terrence Deacon dari Harvard University, yang mencatat bahwa zona prefrontal
adalah rumah bagi pusat-pusat bahasa manusia. Bagi manusia, realitas kesadaran
ini diwujudkan dalam kesadaran diri dan pikiran.
“Dengan kemunculan kesadaran,” papar Steven Rose, “sebuah
lompatan evolusioner kualitatif telah terjadi, yang membuat perbedaan kritis
antara manusia dan spesies lainnya, sehingga manusia telah menjadi sangat
bervariasi dan lebih tunduk pada interaksi kompleks daripada yang dimungkinkan
pada organisme lainnya. Kemunculan kesadaran telah mengubah secara kualitatif
mode eksistensi manusia; bersamanya, muncul pula sebuah tatanan kompleksitas
yang baru, sebuahtatanan organisasi hierarkis yang lebih tinggi. Tapi karena
kita telah mendefinisikan kesadaran bukan sebagai satu bentuk yang statis tapi
sebagai satu proses yang melibatkan interaksi antara individu dan
lingkungannya, kita dapat melihat bagaimana, sejalan dengan diubahnya hubungan
antara manusia selama evolusi masyarakat, demikian pula kesadaran manusia telah
diubah. Kapasitas kranial atau jumlah sel kita mungkin tidak terlalu berbeda
dari Homo sapiens awal, tapi lingkungan kita – bentuk masyarakat kita –
sangatlah berbeda dan demikian pula kesadaran kita – yang juga berarti demikian
pula keadaan otak kita.”[7]
Pentingnya Kemampuan Berbicara
Dampak kemampuan berbicara – khususnya perkembangan “inner
speech” (berbicara dalam hati)[8]– pada perkembangan otak kita memiliki
makna yang sangat menentukan. Ini bukanlah ide yang baru, tapi telah diketahui
oleh orang-orang Yunani kuno dan para filsuf di abad ke-17, khususnya Thomas
Hobbes. Dalam The Descent of Man, Charles Darwin menjelaskan:
“Satu rangkaian pikiran yang panjang dan kompleks tidak akan dapat dilakukan
tanpa bantuan kata-kata, apakah itu diucapkan atau tidak, seperti halnya satu
perhitungan yang panjang tidak akan dapat dilakukan tanpa penggunaan
angka-angka aljabar.” Di tahun 1930-an psikolog Soviet Lev Vygotsky berupaya
menegakkan seluruh ilmu psikologi di atas dasar ini.
Dengan menggunakan contoh-contoh dari perilaku anak-anak, ia
menjelaskan mengapa anak-anak menghabiskan banyak waktu berbicara pada diri
mereka sendiri. Mereka sebetulnya sedang berlatih kebiasaan membuat rencana,
yang kelak akan mereka internalisasi sebagai inner speech. Vygotsky
menunjukkan bahwa pembicaraan internal adalah basis dari kemampuan manusia
untuk mengumpulkan dan memanggil memori. Pikiran manusia didominasi oleh sebuah
dunia pikiran internal, yang dirangsang oleh indera kita, yang sanggup melakukan
generalisasi dan menarik perspektif. Hewan juga memiliki memori, tapi
kelihatannya mereka terkunci pada saat itu saja, yang mencerminkan
lingkungannya yang paling segera. Perkembangan inner speech pada
manusia memungkinkannya mengingat dan mengembangkan ide-ide. Dengan kata
lain, inner speech memainkan peran kunci dalam evolusi
pikiran manusia.
Sekalipun Vigotsky
wafat terlalu cepat sehingga karyanya terhenti di tengah jalan, ide-idenya
telah diambil dan dikembangkan orang, dengan masukan-masukan penting dari
antropologi, sosiologi, linguistik dan psikologi pendidikan. Di masa lalu,
memori dipelajari sebagai satu sistem biologis yang unitaris, yang mengandung
memori jangka pendek dan panjang. Ia dapat diperiksa secara neuro-fisiologis,
biokimia dan anatomi. Tapi kini sebuah pendekatan yang lebih dialektik, yang
melibatkan ilmu-ilmu lainnya, telah mulai dilancarkan.
“Dalam pendekatan reduksionis ini,” papar Rose, “tugas ilmu
pengetahuan terhadap organisme adalah meruntuhkan perilaku individual menjadi
konfigurasi-konfigurasi molekular tertentu; sementara telaah tentang populasi
organisme dilakukan dengan mencari rangkaian DNA yang menyimpan kode untuk
sifat-sifat altruisme[9] yang timbal-balikatau
egois.Paradigma pendekatan semacam ini pada dekade terakhir telah membawa pada
upaya-upaya untuk memurnikan RNA, protein, atau molekul peptida yang dihasilkan
oleh proses belajar dan mencari 'kode' mana yang digunakan untuk jenis ingatan
tertentu; atau penyelidikan dari para ahli biologi molekular untuk mencari
organisme dengan sistem syaraf yang 'sederhana' yang dapat dipetakan melalui pembedahan
mikroskop elektron berangkai dan di mana diagram-diagram sirkuit yang berbeda,
yang berkaitan dengan mutasi perilaku tertentu, dapat diidentifikasi.”[10]
Rose menyimpulkan
bahwa “reduksionisme macam ini menjerumuskan orangke dalam paradoks yang jauh
lebih kejam daripada paradoks para pemodel sistem. Paradoks-paradoks ini telah
jelas terlihat, tentu saja, sejak jaman Descartes, yang reduksinya atas
organisme sebagai sekedar hewan mesin bersumber tenaga dari sistem hidraulik
harus didamaikan dengan, pada kasus manusia, jiwa yang berkehendak bebas, yang
katanya terletak di dalam kelenjar pineal. Sekarang, seperti halnya tempo hari,
reduksi mekanistik memaksa dirinya sendiri jatuh ke dalam idealisme murni.”
Dalam evolusi otak,
beberapa bagian telah dibuang sama sekali. Sejalan dengan berkembangnya
struktur-struktur baru, struktur lama mengecil, dalam ukurannya dan dalam
perannya. Dengan perkembangan otak datang pula peningkatan kemampuan belajar.
Transformasi dari kera menjadi manusia mulanya dianggap dimulai dengan
perkembangan otak. Ukuran dari otak kera (menurut volume) berkisar antara
400-600 cc; otak manusia 1.200 sampai 1.500 cc. Saat itu dipercayai bahwa
“rantai perantara yang hilang”akan berupa makhluk yang pada hakikatnya mirip
kera, tapi dengan ukuran otak yang lebih besar. Lagi-lagi dianggap bahwa
perbesaran otak mendahului postur berjalan tegak.
Teori otak-terlebih-dahulu ini telah ditantang dengan keras oleh
Engels sebagai sekedar perpanjangan tangan dari pandangan idealis yang keliru
tentang sejarah. Postur berdiri tegak ketika berjalan adalah langkah yang
menentukan dalam peralihan dari kera menuju manusia. Sifat bipedal inilah yang
membebaskan tangan, yang kemudian membawa pada perbesaran otak. “Yang pertama
adalah kerja,” kata Engels, “lalu setelah itu, dan kemudian dengannya,
kemampuan berbicara yang fasih – inilah dua dorongan yang paling hakiki yang
mempengaruhi otak kera untuk perlahan-lahan berubah menjadi otak manusia.”[11]Penemuan-penemuan fosil telah
mengkonfirmasikan pandangan Engels. “Ini telah terkonfirmasi secara penuh,
tanpa ada keraguan ilmiah sedikit pun.Makhluk-makhluk Afrika yang kini tengah
digali memiliki otak yang tidak lebih besar daripada otak kera. Mereka telah
berjalan dan berlari seperti manusia. Kaki mereka berbeda sedikit saja dari
kaki manusia modern, dan tangan mereka sudah separuh jalan menuju bentuk tangan
manusia modern.”[12]
Sekalipun terdapat semakin banyak bukti yang mendukung pandangan
Engels tentang asal-usul manusia, ide“otak yang lebih dulu berkembang” masih
terus hidup sampai saat ini. Dalam sebuah buku berjudul The
Runaway Brain, The Evolution of Human Uniqueness, sang
penulis, Christopher Wills menyatakan: “Kita tahu bahwa pada saat yang
bersamaan otak nenek moyang kita bertambah besar, postur mereka juga menjadi
semakin tegak, kemampuan motorik halus berkembang, dan suara-suara vokal
berubah menjadi kemampuan bicara.”[13]
Manusia semakin lama semakin sadar akan lingkungannya dan akan
dirinya sendiri. Tidak seperti hewan lain, manusia dapat menggeneralisasi
pengalamannya. Sementara hewan didominasi oleh lingkungannya, manusia mengubah
lingkungan itu untuk disesuaikan dengan kebutuhannya. Sains telah
mengkonfirmasipernyataan Engels bahwa “Kesadaran dan pemikiran kita, betapapun
mereka terasa suprasensual, adalah hasil dari sebuah organ tubuh yang material,
yakni otak. Ini, tentu saja, adalah materialisme murni.”[14] Sejalan dengan perkembangan otak, berkembang
pula kemampuan untuk menggeneralisir dan belajar. Informasi yang penting
disimpan di otak, mungkin dalam berbagai tempat yang berbeda. Informasi ini
tidak terhapus ketika molekul-molekul otak diperbaharui. Selama empat belas
hari, 90% dari protein otak telah meluruh dan diperbaharui dengan molekul baru
yang identik. Dan juga tidak ada satu pun alasan untuk percaya bahwa otak telah
berhenti berevolusi. Kapasitasnya masih tidak terbatas. Perkembangan sebuah
masyarakat tanpa kelas akan memungkinkan sebuah lompatan ke depan dalam
pemahaman manusia atasnya. Misalnya, perkembangan rekayasa genetik saat ini
baru berada pada tahap balita saja. Sains membuka kesempatan-kesempatan dan
tantangan-tantangan raksasa. Otak dan kecerdasan manusia akan berevolusi untuk
mengatasi tantangan-tantangan di masa datang ini. Tapi, untuk setiap masalah
yang terpecahkan, akan banyak lagi masalah baru yang timbul, dalam sebuah
perkembangan yang berjalan dalam spiral yang tak ada habisnya.
Bahasa dan Pemikiran Anak-anak
Kelihatannya ada satu
analogi antara perkembangan pemikiran manusia secara umum dan perkembangan
bahasa dan pemikiran dari individu manusia ketika melalui masa kanak-kanak dan
remaja ke masa dewasa.
Hal ini telah ditunjukkan oleh Engels dalam The
Part Played by Labour in the Transition of Ape to Man:
“Karena, seperti halnya sejarah perkembangan janin manusia di
dalam rahim seorang ibu hanyalah satu pengulangan yang dipersingkat atas
sejarah, yang telah berlangsung jutaan tahun, dari evolusi tubuh nenek moyang
kita, yang dimulai dari cacing, demikian pula perkembangan mental dari anak
manusia hanyalah satu pengulangan yang dipersingkat dari perkembangan
kecerdasan nenek moyang kita, setidaknya nenek moyang kita yang paling dekat.”[15]
Telaah atas
perkembangan janin sampai dewasa dikenal dengan nama ontogeni, sementara telaah
atas hubungan evolusioner antar spesies disebut filogeni. Keduanya terhubung
dengan cara yang aneh, tapi bukan sebagai citra cermin yang kasar. Misalnya,
selama perkembangan di dalam rahim, janin manusia menyerupai seekor ikan,
seekor amfibi, seekor mamalia, dan kelihatannya berkembang melewati tahap-tahap
evolusi hewan. Semua manusia memiliki kemiripan dalam beberapa aspek, khususnya
zat dan struktur di dalam otaknya.Secara kimia, anatomi, dan fisiologis hampir
sama sekali tidak ada perbedaan antara satu otak dengan yang lainnya. Pada saat
pembuahan, sel telur yang terbuahi berkembang menjadi dua buah bola yang kosong
tengahnya. Dalam waktu 18 hari, kita sudah dapat melihat perkembangan embrio
yang dapat kita kenali. Bagian yang menebal, yaitu di mana kedua bola itu bersentuhan,
berubah menjadi ceruk syaraf.Bagian depan membesar, yang kemudian akan
berkembang menjadi otak. Diferensiasi lain terjadi yang kelak akan menjadi
mata, hidung dan telinga. Sirkulasi darah dan sistem syaraf adalah
fungsi-fungsi hidup pertama yang dimiliki embrio, dengan jantung yang mulai
berdetak dalam minggu ketiga kehamilan.
Ceruk syaraf berubah
menjadi saluran, dan kemudian tabung. Pada saatnya ia akan berubah menjadi
syaraf tulang belakang. Pada bagian kepala, ada pembengkakan di dalam tabung itu
untuk membentuk otak bagian depan, otak bagian tengah dan otak bagian belakang.
Segalanya disusun untuk menyiapkan perkembangan yang pesat bagi sistem syaraf
pusat. Terjadi lompatan kualitatif dalam tingkat kecepatan pembelahan sel
semakin ia dekat dengan struktur seluler finalnya. Pada saat janin itu
berukuran 13 mm, otak telah berkembang menjadi sistem dengan lima ruang. Batang
yang membentuk syaraf optik dan mata mulai muncul. Pada akhir bulan ketiga,
korteks serebral dan serebellum dapat dikenali, demikian juga dengan talamus
dan hipotalamus. Pada bulan kelima korteks yang keriput itu mulai mendapat
bentuknya. Semua bagian otak yang esensial telah terbentuk pada bulan
kesembilan, walaupun perkembangan lebih lanjut masih akan terjadi setelah
kelahiran. Walau demikian, berat otak masih sekitar 350 gram, bandingkan dengan
berat otak dewasa yang 1.300 sampai 1.500 gram. Beratnya akan mencapai 50%
berat otak dewasa setelah enam bulan, 60% setelah satu tahun, dan 90% pada
tahun keenam. Pada usia 10 tahun, beratnya sudah mencapai 95% dari berat otak
dewasa. Perkembangan berat otak ini tercermin dalam perkembangan ukuran kepala.
Ukuran kepala seorang bayi termasuk besar dibandingkan badannya, terutama jika
dibandingkan dengan orang dewasa. Otak seorang bayi yang baru lahir jauh lebih
dekat dengan keadaan dewasanya ketimbang organ-organ lain di tubuhnya. Pada
saat kelahiran, berat otak adalah 10% dari berat tubuh, bandingkan dengan orang
dewasa yang hanya 2%-nya.
Struktur-struktur
fisik otak (biokimia, arsitektur sel dan sirkuit elektriknya) dimodifikasi
olehefek respons otak terhadap lingkungannya. Ide-ide dan memori-memori
dikodekan ke dalam otak dalam bentuk perubahan kompleks pada sistem syaraf.
Maka, semua proses dalam otak saling berinteraksi, untuk melahirkan fenomena
yang unik,yakni kesadaran – materi yang sadar akan dirinya sendiri. Bagi ahli
fisiologi Kanada, Donald Hebb, kuncinya terletak pada pertemuan sinapsis antara
dua sel syaraf, yang masih menjadi ide dasar sampai sekarang. Pola-pola sirkuit
tertentu dan pola-pola picu antar sinapsis tertentu mungkin mengkodekan
ingatan, tapi tidaklah harus ia terlokalisasi pada satu jaringan saja di otak.
Memori boleh jadi dikodekan di kedua belahan otak berulang-ulang kali. Seluruh
cakupan dari lingkungan seseorang, khususnya dalam tahun-tahun pertama
pertumbuhannya, secara terus-menerus meninggalkan kesan dan citra yang unik
pada perilaku dan proses-proses otak. “Perubahan lingkungan yang paling halus,
terutama dalam masa kanak-kanak,” ujar Rose, “dapat menghasilkan perubahan yang
bertahan lama dalam susunan kimia dan fungsi otak.”
Tanpa interaksi
dialektik antara otak dan lingkungan ini, maka perkembangan seorang individu
pasti akan ditentukan oleh kode-kode genetik belaka. Perilaku individu pastilah
dapat diperkirakan sejak awalnya. Namun, lingkungan memainkan peran yang
menentukan dalam perkembangan. Perubahan situasi dapat menyebabkan perubahan
yang menakjubkan pada individu tersebut.
Mata, Tangan dan Otak
Perkembangan bahasa
dan pemikiran seorang anak pertama kali dianalisa secara serius oleh seorang
epistemologis Swiss, Jean Piaget. Beberapa aspek dari teorinya telah
dipertanyakan, khususnya kekakuan dalam interpretasinya mengenai bagaimana
seorang anak bergerak dalam tahapan-tahapan perkembangannya. Walau demikian,
ini adalah karya perintis, dalam sebuah bidang yang telah hampir-hampir
diabaikan sama sekali, dan banyak teorinya yang sampai hari ini tetap sahih.
Piaget adalah orang pertama yang menggagaskan proses dialektik dari
perkembangan dari kelahiran, melalui masa kanak-kanak menuju kedewasaan,
sebagaimana Hegel adalah orang pertama yang menyediakan satu penjelasan yang
sistematik terhadap pemikiran dialektik secara umum. Kekurangan-kekurangan dari
kedua sistem ini tidak boleh mengaburkan konten positif dari karya mereka.
Sekalipun tahapan-tahapan yang digariskan Piaget jelas agak terlalu skematik,
dan metode risetnya dapat dipertanyakan, teori ini tetaplah memiliki nilai
sebagai sebuah ringkasan atas perkembangan awal seorang manusia.
Teori Piaget adalah satu reaksi terhadap pandangan para behaviourist[16], yang salah satu wakilnya yang
terkemuka, Skinner, sangat berpengaruh pada tahun 1960-an di Amerika Serikat.
Pendekatan kaum behaviourist sepenuhnya mekanistik, didasarkan
pada pola linear dari perkembangan kumulatif. Menurut pandangan ini, anak-anak
akan belajar dengan paling efektif jika ditempatkan di bawah sebuah program
linear yang materinya disusun oleh guru-guru yang ahli dan para perancang
kurikulum. Teori pendidikan Skinner sangat cocok dengan mentalitas
kapitalistik. Anak-anak hanya akan belajar, menurut teori ini, jika mereka
diberi hadiah ketika melakukannya, seperti seorang buruh akan mendapatkan
bayaran tambahan jika ia bekerja lembur.
Kaum behaviourist mengambil
posisi mekanistik terhadap perkembangan bahasa. Noam Chomsky menunjukkan bahwa
Skinner dapat menggambarkan bagaimana seorang bayi mempelajari beberapa kata
yang pertama baginya (terutama kata benda), tapi ia tidak dapat menjelaskan
bagaimana bayi itu dapat menyatukan penggunaan kata-kata itu. Bahasa bukan
hanya serangkaian kata-kata. Persisnya, bahasa adalah kombinasi dari kata-kata
dalam satu relasi dinamis tertentu yang membuatnya menjadi alat yang demikian
kaya, efektif, fleksibel dan kompleks. Di sini, yang sangat menentukan,
keseluruhan akan selalu jauh lebih besar dari jumlah bagian-bagiannya.
Kesanggupan seorang anak berumur dua tahun untuk mempelajari tata bahasa adalah
sebuah pencapaian yang luar biasa. Seorang dewasa yang mencoba belajar bahasa
asing akan menyetujui pernyataan ini.
Dibandingkan dengan
dogma yang kasar dan mekanistik ini, teori Piaget merupakan satu langkah besar.
Piaget menjelaskan bahwa proses pembelajaran datang secara alami pada
anak-anak. Tugas dari seorang guru adalah untuk mengungkap keluar semua
kecenderungan yang telah ada dalam diri mereka. Lebih jauh lagi, Piaget dengan
tepat menunjukkan bahwa proses pembelajaran bukanlah berlangsung dalam garis
lurus, tapi terputus-putus oleh terobosan-terobosan kualitatif. Sekalipun
tahapan-tahapan awal Piaget masih terbuka untuk dipertanyakan lebih lanjut,
tidak ada keraguan bahwa pendekatannya yang dialektik, secara umum, adalah
sahih. Apa yang berharga dalam karya Piaget adalah bahwa perkembangan seorang
anak disajikan dalam proses yang penuh kontradiksi di mana tiap tahap
didasarkan pada tahap yang sebelumnya, yang sekaligus mengatasi dan memelihara
tahapan yang sebelumnya itu. Basis yang dikondisikan secara genetik menyediakan
material yang siap pakai, yang sejak awal telah masuk ke dalam interaksi
dialektik dengan lingkungannya. Seorang bayi yang baru lahir tidaklah memiliki
kesadaran, tapi didorong oleh naluri-naluri biologis yang tertanam dalam-dalam,
yang mendesak untuk segera dipenuhi. Naluri hewaniah yang kuat ini tidaklah
lenyap tapi tinggal dalam lapisan bawah sadar, yang mendasari seluruh kegiatan
sadar kita.
Mengutip Hegel, apa yang kita lihat di sini adalah transisi dari
mengada-dalam-dirinya [being-in-itself] menjadi mengada-untuk-dirinya
[being-for-itself] – dari potensial menjadi aktual, dari keberadaan yang
terisolasi, tidak berdaya dan tidak memiliki kesadaran, yang dipermainkan oleh
kekuatan-kekuatan alam, menuju ke manusia yang memiliki kesadaran. Pergerakan
menuju kesadaran diri ini, seperti yang dijelaskan dengan tepat oleh Piaget,
adalah sebuah perjuangan, yang berjalan melintasi berbagai tahap. Seorang bayi
yang baru lahir tidaklah dapat membedakan dirinya dengan jelas dari
lingkungannya. Hanya secara perlahan ia menjadi sadar akan perbedaan antara
dirinya dengan dunia di luarnya. “Masa dari kelahiran sampai penguasaan
bahasa,” tulis Piaget, “ditandai oleh sebuah perkembangan mental yang luar
biasa.” Di bagian lain, ia menggambarkan 18 bulan pertama dari kehidupan
seseorang bayi sebagai “sebuah revolusi kecil yang setara dengan revolusi
Copernicus.”[17] Kunci bagi proses ini adalah
datangnya kesadaran secara perlahan atas hubungan antara subjek (diri) dengan
objek (realitas), sebuah hal yang harus dipahami.
Vygotsky dan Piaget
Kritikus yang pertama dan terbaik atas Piaget adalah Vygotsky[18], ahli pendidikan Uni Soviet itu, yang
pada periode 1924-34 menggagaskan sebuah alternatif yang konsisten terhadap
ide-ide Piaget. Tragisnya, ide-ide Vygotsky baru diterbitkan di Uni Soviet
setelah kematian Stalin, dan baru dikenal di Barat di tahun 1950-an dan 60-an,
ketika ide-idenya mempengaruhi banyak orang, seperti Jerome Bruner. Sekarang,
ide-idenya telah diterima luas di kalangan ahli pendidikan.
Vygotsky melangkah
jauh mendahului rekan-rekan sejawatnya ketika ia menerangkan peranan penting dari
bahasa tubuh dalam perkembangan bahasa. Ide ini telah dihidupkan kembali
baru-baru ini oleh para psikolinguis yang mengungkap asal-usul bahasa. Bruner
dan lain-lain telah menunjukkan dampak luar biasa dari bahasa tubuh terhadap
perkembangan bahasa seorang anak.Sementara Piaget lebih menekankan pada aspek
biologis dari perkembangan seorang anak, Vygotsky lebih berkonsentrasi pada
kebudayaan, seperti yang dilakukan pula oleh orang-orang semacam Bruner. Peran
penting dalam kebudayaan dimainkan oleh peralatan, apakah dalam bentuk tongkat
dan batu pada hominid awal, atau pensil, penghapus dan buku yang dimiliki
anak-anak hari ini.
Penelitian mutakhir
telah menunjukkan bahwa bayi lebih memiliki banyak kemampuan pada usia-usia
awal ketimbang anggapan Piaget. Idenya tentang bayi yang masih sangat muda
kelihatannya telah terbantahkan, namun banyak ide-ide lainnya yang tetap sahih.
Karena Piaget memiliki latar belakang ilmu biologi tidaklah mengherankan kalau
ia lebih menekankan pada aspek biologis dari perkembangan anak. Vygotsky
mendekati permasalahan itu dari sudut yang berbeda, tapi tentu saja masih
terdapat persamaan-persamaan di antara mereka. Contohnya, dalam telaahnya atas
tahun-tahun pertama masa kanak-kanak, ia membahas “pikiran non-linguistik”
seperti yang dijelaskan Piaget dalam uraiannya tentang “aktivitas sensomotorik”
seperti penggunaan satu alat untuk menjangkau mainan yang ada di seberang.
Bersamaan dengan ini, kita mendapati juga ceracau bayi (“omongan bayi”). Ketika
dua unsur ini disatukan, terjadilah perkembangan bahasa yang eksplosif. Untuk
tiap pengalaman baru, si kecil ingin mengetahui namanya. Walaupun Vygotsky
mengambil rute yang berbeda, jalurnya telah dirintis oleh Piaget.
“Proses menjadi dewasa bukanlah sebuah progres yang linear dari
ketidakmampuan menuju kemampuan bertahan hidup, seorang bayi yang baru lahir
haruslah mampu menjadi bayi yang baru lahir, bukan sekedar menjadi versi mini
dari keadaan dewasanya kelak. Perkembangan juga bukan sebuah proses kuantitatif
belaka tapi merupakan sebuahproses di mana perubahan dalam kualitas – antara
menyusui dan pengunyahan makanan padat, misalnya, atau antara perilaku
sensomotorik dan kognitif.”[19]
Hanya secara
bertahap, melalui waktu yang panjang dan proses adaptasi dan pembelajaran yang
sulit, seorang anak akan berubah dari sekedar sebuntal sensasi dan nafsu makan
yang buta, dari sekedar satu objek yang tidak berdaya, menjadi satu agen yang
sadar dan bebas dan sanggup mengarahkan hidupnya sendiri. Perjuangan yang berat
untuk melepaskan ketidaksadaran menuju kesadaran, dari ketergantungan penuh
atas lingkungan menuju dominasi atas lingkungan, inilah yang merupakan satu
paralel yang mengagumkan antara perkembangan seorang anak dengan perkembangan
spesies manusia secara keseluruhan. Tentu saja, akan sangat keliru kalau kita
mengimplikasikan bahwa kesejajaran ini persis sama. Tiap analogi hanya berlaku
untuk batasan tertentu. Tapi tetap saja sulit menolak kesimpulan bahwa,
setidaknya dalam beberapa aspek, kesejajaran itu memang ada. Dari rendah ke
tinggi, dari sederhana ke kompleks, dari ketidaksadaran ke kesadaran
–fitur-fitur ini berulang secara terus-menerus dalam evolusi kehidupan.
Hewan lebih
bergantung pada inderanya ketimbang manusia, dan memiliki pendengaran,
penglihatan dan penciuman yang lebih tajam. Dapat diamati bahwa ketajaman
penglihatan mencapai puncaknya menjelang akhir masa kanak-kanak, dan menurun
sesudahnya. Di pihak lain, fungsi-fungsi kecerdasan terus berkembang selama
hidup, bahkan jauh setelah usia lanjut. Melacak jalan yang ditempuh manusia
dari ketidaksadaran ke kesadaran penuh adalah salah satu tugas yang penting dan
menarik dari ilmu pengetahuan.
Ketika baru
dilahirkan, seorang bayi hanya mengenal gerakan refleks. Tapi ini bukan berarti
dia pasif. Sejak kelahirannya, hubungan bayi dengan lingkungannya adalah aktif
dan praktis. Ia tidak hanya berpikir dengan kepalanya tapi juga dengan seluruh
tubuhnya. Perkembangan otak dan kesadarannya terkait langsung dengan
aktivitas-aktivitas praktisnya. Salah satu refleks pertamanya adalah menghisap
puting susu ibunya. Bahkan di sini ada sebuah proses belajar dari pengalaman.
Piaget menunjukkan bahwa bayi menyusu dengan lebih baik setelah dua minggu.
Kemudian datang proses diskriminasi, di mana anak mulai mengenali berbagai hal.
Setelah itu ia mulai membuat generalisasinya yang pertama, bukan hanya dalam
pikiran tapi juga dalam tindakan. Ia tidak hanya menghisap puting susu, tapi
juga udara, lalu jempolnya. Orang-orang Spanyol memiliki ujar-ujar, “Saya tidak
lagi menghisap jempol saya,” yang berarti “Saya tidak bodoh.” Sesungguhnya,
kemampuan untuk memasukkan jempol ke dalam mulut merupakan hal yang cukup sulit
bagi seorang bayi, yang baru muncul setelah dua bulan, dan menandai sebuah
lompatan besar, yakni satu tingkatan koordinasi baru antara tangan dan otak.
Pada masa-masa
pertama setelah kelahiran, bayi memiliki kesulitan untuk memusatkan
perhatiannya pada objek tertentu. Secara perlahan ia mulai dapat memusatkan
perhatiannya, dan mengantisipasi di mana objek-objek itu berada sehingga ia
dapat menggerakkan kepalanya untuk melihat mereka. Perkembangan ini, yang
dianalisa oleh Bruner, terjadi pada dua atau tiga bulan pertama, melibatkan
tidak hanya bidang visual saja tetapi juga aktivitas – orientasi mata, kepala
dan tubuh ke arah objek yang sedang diperhatikannya. Pada saat bersamaan, mulut
menjadi rantai antara pandangan dan gerakan manual. Secara perlahan, ia memulai
sebuah proses meraih-menggenggam-mengambil yang dipandu secara visual, yang
selalu berakhir dengan memasukkan tangan ke dalam mulut.
Bagi anak yang baru
lahir, dunia adalah, pertama dan terutama,sesuatu yang harus dihisap. Kemudian,
ia menjadi sesuatu yang harus dilihat dan didengarkan, dan, bila tingkat
koordinasi tertentu telah dimilikinya, ia menjadi sesuatu yang harus
direkayasa. Ini belumlah mencapai apa yang kita sebut kesadaran, tapi ini
adalah titik awal kesadaran. Sebuah proses perkembangan yang sangat panjang
diperlukan agar unsur-unsur sederhana ini dapat terintegrasi ke dalam kebiasaan
dan persepsi yang terorganisir. Setelah itu, kita mendapati penghisapan jempol
yang sistematik, kesanggupan kepala untuk menoleh ke arah sumber suara,
mengikuti sebuah objek yang bergerak dengan mata (menandai satu tingkat
generalisasi dan antisipasi). Setelah lima minggu atau lebih, bayi mulai
tersenyum dan mengenali orang, sekalipun ini belum berarti bahwa bayi itu punya
pemahaman tentang orang, atau bahkan tentang objek. Ini adalah tahap
persepsi-inderawi yang paling mendasar.
Dalam hubungannya
dengan dunia objektif, bayi memiliki dua kemungkinan: ia dapatmelibatkan segala
benda (dan juga orang) ke dalam aktivitasnya, dan dengan demikian mengasimilasi
dunia material, atau menyesuaikan keinginan-keinginan dan dorongan-dorongan
subjektifnya terhadap dunia eksternal, yakni berakomodasi dengan kenyataan.
Dari tahap yang paling awal, bayi selalu berusaha untuk “mengasimilasi” dunia
ke dalam dirinya, dengan memasukkannya ke dalam mulutnya. Kemudian, ia belajar
untuk menyesuaikan diri dengan realitas eksternal, secara bertahap mulai
membedakan dan melihat perbedaan dari berbagai objek, dan mengingat mereka. Ia
menguasai, melalui pengalaman, kemampuan untuk menjalankan beberapa pekerjaan,
seperti menggapai dan menggenggam. Kecerdasan logis pertama-tama lahir dari
pekerjaan-pekerjaan konkret, dari praktek, dan hanya jauh hari setelah itu
kecerdasan dapat diturunkan dari deduksi.
Piaget
mengidentifikasi enam “tahap” yang berbeda dalam perkembangan anak. Tahap
pertama adalah tahap refleks, atau fungsi-fungsi hereditas; termasuk
tendensi-tendensi naluriah yang primer, seperti naluri untuk makan. Kebutuhan
untuk mendapatkan makanan adalah salah satu dorongan naluriah yang sangat kuat,
yang mengendalikan refleks dari sang bayi yang baru lahir. Ini adalah fitur
yang sama-sama dimiliki baik oleh manusia maupun semua hewan lainnya. Bayi yang
baru lahir, walau tidak memiliki kemampuan berpikir yang lebih tinggi, tetap
saja seorang materialis alami, yang menyatakan keteguhan kepercayaannya akan
keberadaan dunia material di sekitarnya dengan cara yang persis sama dengan
semua hewan lainnya – dengan memakannya. Memerlukan penyempurnaan intelektual yang
sangat besar sebelum para filsuf yang pandai sanggup meyakinkan orang bahwa
kita tidak dapat benar-benar mengetahui apakah dunia material itu ada atau
tidak. Persoalan filsafat yang tampaknya rumit dan dalam ini, sesungguhnya,
telah dipecahkan oleh seorang bayi dengan satu-satunya cara yang mungkin –
melalui praktek.
Sejak usia dua tahun,
sang anak memasuki masa pemikiran simbolik dan representasi pra-konseptual.
Anak mulai menggunakan citra-citra berbentuk gambar sebagai simbol untuk
menggantikan benda-benda nyata. Bersamaan dengan ini adalah perkembangan
bahasa. Tahapan berikutnya adalah representasi kondisional, mengenali titik
rujukan lain di dalam dunia, dan sekaligus berkembangnya bahasa yang koheren.
Tahapan ini disusul dengan pemikiran operasional dari usia tujuh sampai dua
belas tahun. Sang anak mulai mengenali hubungan antar objek dan bagaimana
menangani konsepsi-konsepsi yang lebih abstrak.
Praktek, dan interaksi antar kecenderungan-kecenderungan
naluriah yang terkondisikan secara genetik, inilah yang menyediakan kunci
terhadap perkembangan mental dari seorang anak. Tahapan kedua Piaget adalah
kebiasaan motorik primer, yang disertai dengan “persepsi terorganisir” (organized
perceptions) yang pertama dan “perasaan-perasaan yang terbedakan” (differentiated
feelings) yang primer. Tahapan ketiga adalah “kecerdasan sensor-motorik”
atau praktek (yang mendahului kemampuan berbicara). Lalu datanglah fase
“kecerdasan naluriah” yang melibatkan reaksi-reaksi spontan antar individu,
khususnya kepatuhan pada orang tua. Fase kelima,“pekerjaan intelektual
yangkonkret” yang termasuk perkembangan logika dan perasaan moral dan sosial
(7-12 tahun); dan akhirnya, fase keenam, fase pekerjaan intelektual abstrak –
pembentukan kepribadian dan integrasi emosional dan intelektual ke dalam
masyarakat dewasa (masa remaja).
Kemajuan manusia
terkait erat dengan perkembangan pikiran secara umum, dan ilmu teknologi
khususnya. Kapasitas untuk berpikir secara rasional dan abstrak tidaklah datang
dengan mudah. Bahkan kini, pikiran kebanyakan orang terus melawan
pemikiran-pemikiran yang meninggalkan dunia realitas konkret yang akrab dengan
mereka. Kemampuan berpikir rasional dan abstrak baru muncul setelah tahap yang
cukup jauh dalam perkembangan mental seorang anak. Kita melihat ini dalam
lukisan-lukisan yang dibuat anak kecil, yang menggambarkan apa yang benar-benar
dia lihat, bukan apa yang seharusnya dia lihat, menurut hukum-hukum perspektif,
dan seterusnya. Logika, etika, moralitas, semua baru muncul sangat belakangan
dalam perkembangan kecerdasan anak. Dalam masa-masa awal, tiap aksi, tiap
pergerakan, tiap pemikiran, adalah produk dari kebutuhan. Konsepsi tentang
“kehendak bebas” sama sekali tidak berguna dalam aktivitas mental seorang anak.
Kelaparan dan kelelahan mendorongnya untuk makan atau tidur, bahkan pada bayi
yang paling muda sekalipun.
Penguasaan terhadap
kemampuan berpikir abstrak, bahkan dalam tingkatannya yang paling primitif,
membuat sang subjek menjadi tuan bagi kejadian-kejadian yang paling jauh
sekalipun, baik dalam waktu maupun dalam ruang. Ini benarbagi seorang bayi,
seperti halnyabagi manusia-manusia purba. Nenek moyang kita yang paling purba
tidak dapat secara jelas membedakan diri mereka dari hewan-hewan lain atau
benda-benda tak hidup. Bahkan, mereka belumlah keluar sepenuhnya dari kerajaan
hewan, dan masih sangat tergantung pada belas kasihan kekuatan-kekuatan alam.
Elemen-elemen kesadaran diri kelihatannya telah ada pada simpanse, kerabat kita
yang terdekat, sekalipun tidak pada monyet. Tapi hanya pada manusia potensi
untuk pemikiran abstrak mencapai perwujudannya yang sepenuhnya. Hal ini jelas
terkait erat dengan bahasa, salah satu ciri pembeda yang paling mendasar bagi
manusia.
Neokorteks, yang
merupakan 80% dari volume otak manusia, adalah bagian yang bertanggung jawab
terhadap hubungan antar kelompok, dan terkait dengan proses berpikir secara
umum. Terdapat hubungan yang erat antara kehidupan sosial, pemikiran dan
bahasa. Sifat berpusat-pada-diri-sendiri dari bayi yang baru saja lahir secara
bertahap digantikan oleh kesadaran bahwa di sekitarnya terdapat sebuah dunia
eksternal, orang-orang dan masyarakat, dengan hukum-hukum, tuntutan-tuntutan
dan batas-batasnya sendiri. Agak lama setelah itu, antara 3-6 bulan menurut
Piaget, fase menggenggam dimulai, pertama-tama melibatkan tekanan, kemudian
rekayasa. Ini adalah langkah yang menentukan, yang mendorong terjadinya
pelipatgandaan kemampuan bayi dan berbagai kebiasaan baru. Setelah ini, proses
perkembangan menjadi lebih cepat. Sifat dialektik dari proses ini ditunjukkan
oleh Piaget:
“Titik
keberangkatannya selalu terletak pada siklus refleks. Tapi ini adalah sebuah
siklus aktivitas yang tidak mengulang dirinya sendiri, melainkan memasukkan
elemen-elemen baru dan membangun satu totalitas yang semakin lama semakin
besar, berkat diferensiasi progresif yang terjadi.”
Dengan demikian
perkembangan seorang anak bukanlah terjadi dalam satu garis lurus tapi
diputus-putus oleh lompatan-lompatan besar, dan tiap tahap pasti melibatkan
satu kemajuan kualitatif.
Tahapan ketiga dari Piaget adalah “kecerdasan praktis” atau
“tahapan sensor-motorik”. Ciri-ciri dari “tahapan-tahapan” itu dapat
diperdebatkan tapi gagasan umumnya masih tetap sahih. Kecerdasan terkait erat
dengan rekayasa terhadap objek. Perkembangan otak terhubung langsung dengan
tangan. Seperti yang dikatakan Piaget: “Ini adalah persoalan kecerdasan yang
sepenuhnya praktis, yang diterapkan pada rekayasa terhadap objek, dan yang,
sebagai ganti kata-kata dan konsep, hanya menggunakan persepsi dan pergerakan
yang terorganisir dalam skema-skema aksi.”[20]Dari sini kita lihat bahwa landasan dari
seluruh pengetahuan manusia adalah pengalaman, aktivitas, dan praktek. Tangan,
khususnya, memainkan peran yang menentukan.
Kemunculan Bahasa
Sebelum kemampuan
bicara berkembang, bayi menggunakan segala macam tanda, kontak mata, tangisan
dan bahasa-bahasa tubuh lainnya, untuk mengungkapkan keinginannya. Dengan cara
yang sama, jelas bahwa sebelum hominid purba dapat berbicara, mereka pasti
telah menggunakan cara-cara lain untuk memberi tanda pada satu sama lain.
Bentuk-bentuk dasar dari komunikasi macam ini hadir pula di tengah hewan-hewan
lain, khususnya primata tingkat tinggi, tapi hanya pada manusia kemampuan
berbicara hadir sebagaimana adanya. Perjuangan panjang yang harus dilalui oleh
seorang bayi untuk menguasai kemampuan berbicara, dengan pola-pola dan logika
dasar yang kompleks, adalah sama dengan proses penguasaan kesadaran. Jalan yang
serupa pasti telah ditempuh oleh manusia-manusia pertama.
Kerongkongan bayi
manusia, seperti kera dan mamalia lainnya, dikonstruksi sedemikian rupa
sehingga saluran vokal terletak jauh ke bawah. Dengan demikian, ia sanggup
mengeluarkan lolongan tangis seperti hewan, tapi bukan kemampuan bicara secara
fasih. Keuntungan dari ini adalah sang bayi dapat menangis dan menelan makanan
pada saat yang bersamaan, tanpa tersedak. Belakangan, saluran vokal berpindah
ke atas, mencerminkan sebuah proses yang sesungguhnya terjadi selama evolusi.
Tidak dapat dibayangkan bahwa kemampuan bicara manusia muncul begitu saja,
tanpa segala bentuk peralihannya. Ini berlangsung selama berjuta tahun, di mana
pasti terdapat masa-masa perkembangan yang pesat, seperti yang kita lihat pada
perkembangan bayi manusia.
Dapatkah pikiran
hadir tanpa bahasa? Itu tergantung apa yang dimaksud dengan “pikiran”.
Elemen-elemen pikiran terdapat juga pada hewan, khususnya mamalia tingkat
tinggi, yang juga memiliki alat-alat komunikasi tertentu. Di antara simpanse,
tingkat komunikasinya cukup canggih. Tapi tidak satu pun dari mereka dapat
berbahasa atau berpikir dengan tingkatan yang dicapai manusia. Yang lebih
tinggi berkembang dari yang lebih rendah, dan tidak dapat hadir tanpa tingkat
yang sebelumnya. Kemampuan berbicara manusia berawal dari bunyi-bunyian yang
maknanya tidak karuan, seperti yang dibuat seorang bayi, tapi akan sangat
keliru kalau kita menyamakan dua hal itu. Dengan cara yang sama, merupakan satu
kekeliruan jika kita hendak menunjukkan bahwa bahasa telah hadir sebelum
manusia ada.
Hal yang sama berlaku
pula pada pikiran. Penggunaan sebuah tongkat untuk meraih sebuah objek yang di
berada luar jangkauan adalah satu tindakan yang berdasarkan kecerdasan. Tapi
hal ini baru muncul dalam perkembangan seorang anak ketika ia menginjak umur
kira-kira 18 bulan. Ini melibatkan penggunaan sebuah alat (tongkat) dalam gerak
yang terkoordinasi, dalam rangka mewujudkan sebuah tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Aktivitas semacam ini juga dapat dilihat di antara kera-kera,
bahkan juga monyet. Penggunaan objek yang dapat ditemukan di sekitar – tongkat,
batu, dsb. – untuk keperluan pengumpulan makanan telah didokumentasikan dengan
baik. Pada usia 12 bulan, seorang anak telah belajar untuk bereksperimen dengan
melemparkan sebuah objek ke berbagai jurusan untuk “melihat apa yang terjadi”.
Ini adalah aktivitas
yang diulang-ulang untuk tujuan yang jelas, yang dirancang untuk mendapatkan
hasil. Ia menunjukkan adanyasatu kesadaran akan sebab dan akibat (jika saya
melakukan ini, maka hal itu akan terjadi). Tidak satu pun dari pengetahuan
semacam ini dapat diwariskan. Pengetahuan itu didapat melalui pengalaman.
Seorang anak akan membutuhkan 12-18 bulan untuk memahami konsepsi sebab-akibat.
Sungguh ini adalah pengetahuan yang sangat dahsyat! Manusia-manusia purba
tentunya membutuhkan waktu jutaan tahun untuk mempelajari hal yang sama, yang
merupakan landasan riil bagi semua pemikiran rasional dan tindakan yang
bermakna. Sungguh konyol bahwa pada masa kini ketika pemahaman kita tentang
alam sudah mencapai ketinggian yang begitu memukau, ada beberapa ilmuwan dan
ahli filsafat yang ingin menyeret pemikiran manusia ke tahapan yang primitif
dan kekanak-kanakan, dengan menyangkal adanya hubungan sebab-akibat atau kausalitas.
Dalam dua tahun
pertama kehidupan, sebuah revolusi intelektual terjadi, di mana paham tentang
ruang, kausalitas dan waktu terbentuk. Bukan, seperti yang dibayangkan Kant,
begitu saja jatuh dari langit, tapi sebagai hasil langsung dari praktek dan pengalaman
dunia fisik. Seluruh pengetahuan manusia, semua kategori pemikiran, termasuk
yang paling abstrak, diturunkan dari sini. Paham materialis jelas terbukti
dalam perkembangan seorang anak. Pada awalnya seorang bayi tidaklah membedakan
antara realitas dan dirinya sendiri. Tapi pada saat tertentu, menyingsinglah
kesadaran bahwa apa yang dilihatnya itu adalah sesuatu yang ada di luar dirinya
sendiri, sesuatu yang akan terus ada bahkan ketika ia tidak lagi terlihat. Ini
adalah satu terobosan besar, “revolusi Copernicus” yang terjadi pada bidang
intelektualitas. Para filsuf yang menyatakan bahwa dunia material tidak ada,
atau bahwa hal ini tidak dapat dibuktikan, dalam makna kata yang paling
eksplisit, sedang mengekspresikan sebuah ide yang kekanak-kanakan.
Bayi yang menangis
ketika ibunya meninggalkan ruangan menyatakan bahwa ia memahami bahwa ibunya
tidak menghilang hanya karena ibunya tidak lagi dapat dilihatnya. Ia menangis
karena keyakinan bahwa tindakan menangisnya ini akan membawa ibunya kembali.
Sampai akhir tahun pertama, sang bayi percaya bahwa apa yang tidak terlihat
pastilah juga tidak memiliki keberadaan. Pada akhir tahun kedua, ia telah
memahami sebab dan akibat. Sebagaimana tidak ada Tembok Cina yang memisahkan
pemikiran dari tindakan, demikian pula tidak ada garis pemisah yang mutlak
antara kehidupan intelektual seorang anak dan perkembangan emosionalnya.
Pemikiran dan perasaan, pada kenyataannya, tidak dapat dipisahkan. Mereka
merupakan dua aspek komplementer dari perilaku manusia. Setiap orang tahu bahwa
tidak ada satu pun usaha besar yang akan tercapai tanpa adanya elemen hasrat.
Emosi adalah pengungkit yang paling kuat bagi tindakan dan pemikiran
manusia,dan memainkan peran yang fundamental dalam perkembangan manusia. Tapi
pada tiap tahap, perkembangan intelektual seorang anak terikat erat dengan
aktivitasnya. Sejalan dengan munculnya perilaku cerdas, keadaan emosional
pikiran juga diasosiasikan dengan tindakan – kegembiraan dan kesedihan terkait
dengan keberhasilan atau kegagalan dari tindakan-tindakan yang dilandasi niat
tertentu.
Kemunculan bahasa
merepresentasikan modifikasi yang dalam pada perilaku dan pengalaman dari
seorang, baik dari sudut pandang intelektual maupun emosional. Ia adalah sebuah
lompatan kualitatif. Penguasaan akan bahasa menghasilkan, seperti kata Piaget,
“kemampuan untuk merekonstruksi tindakan-tindakannya yang telah silam dalam
bentuk narasi dan untuk mengantisipasi tindakannya di masa datang melalui
representasi verbal.” Dengan bahasa, masa lalu dan masa datang menjadi riil
bagi kita. Kita dapat meninggalkan segala keterbatasan masa kini, merencanakan,
meramalkan dan berpartisipasi aktif menurut sebuah rencana yang disusun dengan
sadar.
Bahasa adalah produk
dari kehidupan sosial. Aktivitas sosial manusia tidak dapat dibayangkan tanpa
bahasa. Bahasa pastilah telah ada, dalam satu bentuk atau lainnya, di tengah
masyarakat manusia yang paling pertama, bahkan dari masa yang paling awal
sekalipun. Pikiran itu sendiri adalah sejenis “bahasa internal”. Dengan bahasa
datanglah kemungkinan hubungan sosial manusia yang sesungguhnya, penciptaan
kebudayaan dan tradisi yang dapat dipelajari dan diwariskan secara oral, dan
kemudian dalam tulisan, bukannya sekedar peniruan. Ia juga memungkinkan
hubungan manusia yang sejati, di mana perasaan antipati, simpati, cinta dan
penghormatan dapat dinyatakan dalam cara yang lebih koheren dan maju. Dalam
bentuk embrio, elemen-elemen ini telah hadir dari enam bulan pertama kehidupan
manusia, dalam bentuk peniruan. Kata-kata pertama diucapkan, biasanya kata
benda yang terisolasi satu dengan lainnya. Lalu si anak belajar untuk
menyatukan dua kata. Kata-kata benda secara bertahap dihubungkan dengan kata
kerja dan kata sifat. Akhirnya, penguasaan tata bahasa dan tata kalimat, yang
membutuhkan pola pemikiran logis yang kompleks. Ini adalah lompatan kualitatif
bagi tiap individu, sebagaimana halnya pula bagi seluruh spesies.
Anak-anak yang
berusia sangat muda dapat dikatakan memiliki bahasa “khas” miliknya sendiri,
yang bukan bahasa dalam pengertian sebenarnya, tapi hanya suara-suara yang
merupakan eksperimen dan upaya untuk meniru pembicaraan orang dewasa. Kemampuan
bicara yang fasih muncul dari suara-suara ini, tapi keduanya tidak boleh
dicampuradukkan. Bahasa, justru karena sifatnya, bukan sesuatu yang privat,
tetapi sosial. Ia tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial dan aktivitas
kolektif, terutama kerja sama dalam produksi, yang terletak di basis segala
kehidupan sosial sejak awal. Bahasa menunjukkan sebuah lompatan besar ke muka.
Sekali proses ini dimulai, ia akan mempercepat secara luar biasa perkembangan
kesadaran. Ini juga dapat dilihat pada perkembangan seorang anak.
Bahasa adalah
permulaan dari sosialisasi aktivitas manusia. Sebelumnya, makhluk-makhluk
pra-manusia pastilah telah berkomunikasi melalui cara-cara lain: lolongan,
bahasa tubuh atau mimik lainnya. Sungguh, manusia modern terus pula melakukan
itu, khususnya pada saat-saat stres dan emosi tinggi. Tapi keterbatasan dari
“jenis bahasa” ini sangatlah jelas. Ia tidak akan pernah sanggup menyampaikan
lebih dari situasi yang bersifat segera. Tingkat kompleksitas, pemikiran
abstrak dan perencanaan yang dibutuhkan oleh masyarakat manusia berdasarkan
produksi kooperatif yang paling sederhana sekalipun tidak dapat dinyatakan
melalui “bahasa” semacam itu. Hanya melalui bahasa kita dapat meloloskan diri
dari masa kini, mengingat masa lalu, dan meramalkan masa depan. Hanya melalui
bahasa kita dapat membangun bentuk komunikasi yang benar-benar manusiawi satu
dengan lainnya, untuk berbagi “kehidupan internal”. Inilah mengapa kita
berbicara mengenai “hewan yang bodoh” sebagai sesuatu yang berbeda dari
manusia, satu-satunya hewan yang memiliki kemampuan berbicara.
Sosialisasi Pemikiran
Melalui bahasa,
seorang anak dibaptis ke dalam kekayaan kebudayaan manusia. Sementara pada
hewan-hewan lain, faktor warisan genetik adalah faktor yang dominan, dalam
masyarakat manusia, faktor kebudayaan adalah faktor yang menentukan. Bayi
manusia harus melalui sebuah masa “magang” yang sangat panjang di mana ia
ditundukkan sepenuhnya pada orang dewasa, khususnya orang tua mereka, yang,
terutama melalui bahasa, membaptis mereka ke dalam misteri kehidupan,
masyarakat dan dunia. Si anak menemukan bahwa dirinya dihadapkan pada
model-model siap pakai yang harus disalin dan ditirunya. Kemudian model-model
ini dikembangkan untuk mengikutkan orang dewasa dan anak-anak lainnya, terutama
melalui permainan. Proses sosialisasi ini tidaklah mudah atau otomatis, tapi
inilah basis bagi seluruh perkembangan budaya dan kecerdasan. Semua orang tua
pasti memperhatikan, disertai seulas senyum simpul, bagaimana anak-anak kecil
akan menarik dirinya ke dalam dunia ciptaannya sendiri, dan dengan bahagia
“bercakap-cakap” dengan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri.
Perkembangan anak itu terangkai erat dengan proses untuk keluar dari keadaan
egosentrisme yang primitif ini, dan dengan proses membentuk hubungan dengan
orang lain, denganrealitas di luar dirinya secara umum.
Dalam skema asli dari
Piaget, masa dari dua sampai tujuh tahun menandai satu transisi dari fase
kecerdasan praktis (“sensor-motorik”), sampai terbentuknya pemikiran seperti
yang kita kenal. Proses ini dicirikan oleh berbagai macam bentuk peralihan
antara keduanya. Ia menunjukkan dirinya dalam, contohnya, permainan anak-anak.
Dari usia tujuh tahun sampai dua belas tahun, permainan muncul dengan
aturan-aturannya, yang berarti ada tujuan bersama. Ini berbeda dengan,
katakanlah, permainan boneka yang sangat bersifat individual. Logika dari masa
kanak-kanak primer dapat digambarkan sebagai intuisi, yang masih tetap ada di
kalangan orang dewasa – apa yang disebut Hegel sebagai pemikiran “segera”. Pada
tahap yang lebih lanjut, yang dikenal baik oleh para orang tua, anak-anak mulai
bertanya mengapa? Rasa ingin tahu yang naif ini adalah awal dari pemikiran
rasional – si anak tidak lagi bersedia menerima segala sesuatu seperti adanya,
tapi mencari satu landasan rasional bagi mereka. Ia memahami fakta bahwa segala
hal memiliki sebab, dan berusaha memahami apa yang menjadi sebab itu. Ia tidak lagi
puas mengetahui fakta bahwa “B terjadi setelah “A”. Ia ingin tahu mengapa hal
itu terjadi. Di sini juga anak-anak antara 3 sampai 7 tahun menunjukkan dirinya
jauh lebih bijaksana daripada para filsuf modern.
Intuisi, yang
biasanya dilekatkan dengan aura yang magis dan puitis, adalah, pada
kenyataannya, bentuk pemikiran yang tingkatnya paling rendah, yang merupakan
ciri dari anak-anak kecil dan orang-orang yang tingkat budayanya rendah.
Intuisi terdiri dari berbagai citra segera yang disediakan oleh indera, yang
mendorong kita untuk bereaksi secara“spontan”, yaitu, tanpa dipikirkan terlebih
dahulu, terhadap situasi-situasi tertentu. Tidak ada logika maupun pemikiran
yang serius dan konsisten. Intuisi semacam ini kadangkala dapat berhasil dengan
gemilang. Dalam kasus-kasus semacam itu,“kilatan ilham” yang nampaknya spontan
memberi sebuah ilusi bahwa ada ilham yang datang “dari dalam”, yang
terinspirasi secara ilahi. Sesungguhnya, intuisi datang, bukan darikedalaman
jiwa yang tidak jelas, melainkan dari internalisasi [penyerapan] pengalaman,
yang didapatkan, bukan dengan cara yang ilmiah, melainkan dalam bentuk citra
dan semacamnya.
Seseorang dengan
pengalaman hidup yang cukup banyak sering kali dapat sampai pada satupenilaian
yang akurat atas situasi yang kompleks berdasarkan informasi yang sangat
sedikit. Begitu juga halnya seorang pemburu dapat menunjukkan semacam “indra
keenam” tentang hewan yang sedang dilacaknya. Dalam kasuspemikir-pemikir besar
seperti Einstein misalnya, kilatan inspirasi dianggap sebagai tanda-tanda
kejeniusan. Dalam semua kasus ini, ide yang nampaknya spontan sebetulnya adalah
inti sari dari pengalaman dan perenungan yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Akan tetapi, intuisi buta lebih sering membawa kita pada bentuk-bentuk pengetahuan
yang tidak memuaskan, dangkal dan cacat. Dalam kasus anak-anak, “intuisi”
menandai satu fase pemikiran yang primitif dan belum matang, sebelum mereka
sanggup berargumen, menentukan dan menilai. Demikian tidak memadainya cara
berpikir itu sehingga orang dewasa sering menganggapnya sebagai sesuatu yang
lucu, karena mereka sendiri telah lama meninggalkan fase ini. Untuk semua kasus
ini, tidak perlu dikatakan lagi bahwa tidak ada satu pun kemistisan yang
terlibat di dalamnya.
Dalam tahap-tahap
pertama kehidupan, seorang anak tidak membedakan antara dirinya dengan
lingkungan fisiknya. Hanya secara perlahan, seperti yang telah kita lihat,
seorang anak akan mulai membedakan antara subjek (“saya”) dengan objek (dunia
fisik). Ia mulai memahami hubungan riil antara lingkungannya dan dirinya
sendiri dalam praktek, melalui rekayasa atas berbagai objek dan
pekerjaan-pekerjaan fisik lainnya. Kesatuan primitif itu diruntuhkan, dan
sebuah keragaman penglihatan, suara dan berbagai objek yang membingungkan mulai
muncul. Lama setelah itu barulah si anak mulai menangkap hubungan antar
benda-benda. Berbagai eksperimen telah menunjukkan bahwa si anak secara
konsisten selalu jauh lebih maju dalam tindakan ketimbang dalam kata-kata.
Tidak ada itu“tindakan
yang murni intelektual”. Ini terutama jelas terlihat dalam anakkecil. Sangat
jamak bagi kita untuk membandingkan hati dengan kepala. Ini adalah perbandingan
yang keliru. Emosi memainkan sebuah peran dalam penyelesaian terhadap
masalah-masalah intelektual. Para ilmuwan bergairah dalam menyelesaikan
persamaan-persamaan yang sulit. Berbagai aliran pemikiran berbenturan dengan
panas seputar masalah-masalah filsafat, seni dan sebagainya. Di pihak lain,
tidak ada pula tindakan yang murni afeksi atau kasih sayang. Cinta, contohnya,
mensyaratkan satu tingkatan pemahaman yang tinggi di antara dua orang. Baik
kecerdasan maupun emosi memainkan satu peran tertentu. Yang satu mensyaratkan
yang lain, dan mereka saling merasuk dan saling menentukan satu sama lain, pada
tingkatan-tingkatan tertentu.
Sejalan dengan
kemajuan dan perkembangan tingkat sosialisasi, si anak menjadi semakin sadar
akan kebutuhan yang oleh Piaget disebut sebagai “sentimen inter-personal”–yakni
hubungan emosional antar orang. Di sini kita melihat bahwa ikatan sosial itu
sendiri melibatkan unsur-unsur ketertarikan dan penolakan yang saling
bertentangan. Si anak pertama kali belajar tentang hal ini dalam hubungannya
dengan keluarga dan orang tuanya, lalu membentuk ikatan erat dengan kelompok
sosial yang lebih besar. Perasaan simpati dan antipati berkembang, yang
berhubungan dengan sosialisasi aksi, dan kemunculan sentimen moral – baik dan
buruk, benar dan salah, yang jauh lebih bermakna daripada “saya suka” atau
“saya tidak suka”. Mereka bukanlah merupakan kriteria yang subjektif, melainkan
objektif, yang diturunkan dari masyarakatnya.
Ikatan-ikatan yang
kuat ini memainkan sebuah peran yang penting dalam evolusi masyarakat manusia,
yang, sejak awalnya didasarkan atas produksi sosial yang kooperatif dan
kesalingtergantungan. Tanpa hal ini, kemanusiaan itu sendiri tidak akan pernah
muncul dari dunia hewan. Moralitas dan tradisi dipelajari melalui bahasa, dan
diteruskan dari generasi ke generasi. Dibandingkan dengan hal ini, faktor
keturunan biologis nampaknya hanya memainkan peranan sekunder, sekalipun ia
tetap menjadi bahan baku yang menyusun kemanusiaan itu sendiri.
Dengan mulai pergi ke
sekolah, dari sekitar usia 7 tahun si anak mulai mengembangkan rasa sosialisasi
dan kerja sama yang kuat. Ini ditunjukkan dalam permainan-permainan yang
memakai aturan – bahkan permainan kelereng pun membutuhkan sebuah pengetahuan
dan penerimaan akan aturan-aturan yang cukup rumit. Seperti aturan-aturan etika
dan hukum-hukum dalam masyarakat, aturan-aturan permainan ini harus disepakati
oleh semua pihak, supaya dapat diterapkan. Pengetahuan akan aturan dan
penerapannya berjalan seiring dengan pemahaman hal-hal lain yang sama rumitnya,
seperti tata bahasa dan tata kalimat dalam sebuah bahasa.
Piaget membuat satu
pengamatan yang penting bahwa “semua perilaku manusia adalah sosial dan
individual sekaligus”. Di sini kita mendapati satu contoh yang paling penting
tentang kesatuan hal-hal yang bertentangan. Sangatlah keliru kalau kita
mempertentangkan pemikiran dengan keberadaan, atau individu dengan masyarakat.
Mereka tidak terpisahkan. Dalam hubungan antara subjek dan objek, antara
individu dan lingkungan (masyarakat), faktor perantaranya adalah aktivitas
praktis manusia (kerja). Komunikasi pemikiran adalah bahasa (permenungan yang
dieksternalkan). Di pihak lain, pemikiran itu sendiri adalah hubungan sosial
yang diinternalisasi. Pada usia 7 tahun, si anak mulai memahami logika, yang
merupakan sebuah sistem hubungan, yang memungkinkan koordinasi antar berbagai
sudut pandang.
Dalam sebuah kutipan
yang gemilang, Piaget membandingkan tahapan ini dengan tahapan filsafat Yunani
kuno, ketika para materialis Ionian memisahkan diri dari mitologi, dalam upaya
untuk sampai pada pemahaman rasional atas dunia:
“Sangat mengejutkan
ketika kita mengamati bahwa, di antara salah satu (bentuk penjelasan akan
kesatuan) yang pertama kali muncul, terdapat beberapa penjelasan yang
menunjukkan kemiripan yang tajam dengan apa yang diungkapkan oleh orang-orang
Yunani persis pada epos yang disebut 'kemunduran penjelasan mitologis', satu
penamaan yang sangat tepat.”
Di sini kita melihat,
secara mencolok, bagaimana bentuk-bentuk pemikiran dari tiap anak dalam
perkembangan awalnya, menunjukkan satu kesejajaran dengan perkembangan
pemikiran manusia secara umum. Dalam tahap-tahap awal, ada kesejajaran dengan
animisme primitif, di mana si anak berpikir bahwa matahari bersinar karena
matahari dilahirkan. Kemudian si anak berpikir bahwa awan datang dari asap,
atau udara; batu dibuat dari tanah, dsb. Ini mengingatkan kita pada usaha-usaha
awal untuk menjelaskan alam dengan representasi air, angin, dan sebagainya.
Makna penting dari sini adalah bahwa semua itu adalah upaya naif untuk
menjelaskan alam semestadengan cara yang materialistik dan ilmiah, bukan dengan
cara yang religius atau magis. Anak usia tujuh tahun mulai menangkap paham
waktu, ruang, kecepatan, dan lain-lain. Walau demikian, pemahaman ini butuh
waktu. Berlawanan dengan teori Kant bahwa paham akan waktu dan ruang adalah
inheren sejak lahir, seorang anak tidak dapat menangkap ide-ide abstrak semacam
itu sampai ide-ide didemonstrasikan melalui eksperimen. Maka, idealisme telah
terbukti keliru oleh proses perkembangan pemikiran manusia itu sendiri.
_____________
Catatan Kaki
[1] Nikolai Bukharin, Historical Materialism, A System of
Sociology.
[2] Blackmore & Page, Evolution: the Great Debate, hal.
185-6
[3] Steven Rose, The Conscious Brain, hal. 31.
[4] S. Rose, Molecules dan Minds, hal. 23.
[5] S. Rose, The Making of Memory, hal. 91.
[6] S. Rose, The Conscious Brain, hal. 28.
[7] Rose, The Conscious Brain, hal. 179
[8] Kita selalu berpikir dengan cara membayangkan bahwa kita
sedang “bicara pada diri sendiri”. Inilah mengapa orang yang bicara pada diri
sendiri disebut “thinking out loud” - berpikir lantang - dalam bahasa Inggris.
(Catatan Penerjemah)
[9] Altruisme adalah prinsip atau tindakan yang dilakukan
untuk kesejahteraan atau keuntungan pihak lain.
[10] Rose, Molecules
dan Mind, hal. 96-7.
[11] Engels,
Dialectics of Nature, hal. 284.
[12] Washburn &
Moore, Ape to Man: A Study of Human Evolution.
[13] C. Wills, op.
cit., hal. 8, our emphasis.
[14] MESW, Vol. 3,
hal. 337.
[15] Engels, The
Dialectics of Nature, hal. 241.
[16] Behaviourism
adalah salah satu mazhab psikologi, yang menyatakan bahwa psikologi hanya dapat
dipelajari dengan meneliti perilaku-perilaku manusia yang dapat diamati, dan
bukan dengan hal-hal yang tidak dapat diamati di dalam pikiran manusia. Mazhab
ini berpendapat bahwa prilaku manusia dapat dipelajari secara ilmiah tanpa perlu
mempertimbangkan psikologi internal manusia, seperti kepercayaan dan pikiran
mereka.
[17] Piaget, The
Mental Development of the Child, hal. 19.
[18] Lev Semyonovich
Vygotsky (1896-1934) adalah psikolog terkemuka dari Uni Soviet, yang menelaah
masalah perkembangan psikologi manusia. Dia meninggal muda pada umur 37 tahun
akibat TBC.
[19] Rose, Kamin dan
Lewontin, Not In Our Genes, hal. 96.
[20] Piaget 22
0 komentar:
Post a Comment