BAB I
PENDAHULUAN
Penulis: Moh Alwi Aziz
Penulis: Moh Alwi Aziz
A. Latar Belakang
Perlindungan
konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat.
Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan perlindungan hukum antar
konsumen dengan produsen. Tidak adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan
konsumen berada pada posisi yang lemah. Terlebih jika produk yang dihasilkan
oleh produsen merupakan jenis produk yang terbatas, produsen dapat
menyalahgunakan posisinya yang monopolistis tersebut. Hal ini tentu saja akan
merugikan konsumen.
Kerugian-kerugian
yang dialami oleh konsumen tersebut dapat timbul sebagai akibat dari adanya
hubungan hukum perjanjian antara produsen dengan konsumen, maupun akibat dari
adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh produsen.
Perjanjian-perjanjian yang dilakukan antara para pihak tidak selamanya dapat
berjalan mulus dalam arti masing-masing pihak puas, karena terkadang para pihak
penerima tidak menerima barang atau jasa sesuai dengan harapannya. Apabila
pembeli, dalam hal ini konsumen tidak menerima barang atau jasa sesuai dengan
yang diperjanjikan, maka produsen dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi,
sehingga konsumen mengalami kerugian.
Wanprestasi
salah satu pihak dalam perjanjian merupakan kelalaian untuk memenuhi syarat
yang tercantum dalam perjanjian. Hal ini biasanya lebih banyak dialami oleh
pihak yang lemah/memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pihak lainnya.
Karena persyaratan tersebut berat sebelah/lebih memberatkan kepada pihak yang
lemah. Hal ini disebabkan karena persyaratanpersyaratan tersebut telah
dituangkan kedalam suatu perjanjian baku. Perjanjianyang demikian sudah lazim
dipergunakan dan memegang peranan penting dalam hukum bisnis yang pada umumnya
dilandasi oleh nilai-nilai yang berorientasi pada efesiensi.[1]
Disamping
wanprestasi, kerugian dapat pula terjadi diluar hubungan perjanjian, yaitu jika
terjadi perbuatan melanggar hukum, yang dapat berupa adanya cacat pada barang
atau jasa yang mengakibatkan kerugian konsumen, baik itu karena rusak atau
musnahnya barang itu sendiri, maupun kerusakan atau musnahnya barang akibat
cacat pada barang itu. Selain disebabkan karena wanprestasi atau perbuatan
melanggar hukum, kerugian yang dialami konsumen selama ini juga banyak
disebabkan karena konsumen kurang kritis terhadap barang-barang yang ditawarkan,
sehingga kerugian yang dialami konsumen tidak hanya kerugian finansial, akan
tetapi juga dapat merugikan kesehatan atau keselamatan hidup konsumen sendiri.
Kemungkinan kerugian konsumen tersebut akan semakin bertambah lagi jika
barang-barang/jasa yang beredar dalam masyarakat tidak menggunakan merek secara
teratur, terutam jika terjadi pemalsuan-pemalsuan merek tertentu yang
memungkinkan suatu merek dipergunakan pada beberapa barang sejenis, namun
dengan kualitas berbeda, sehingga diantara barang-barang tersebut ada yang
mungkin akan merugikan konsumen yang kurang kritis.
Perlindungan
atas kepentingan konsumen tersebut diperlukan karena pada umumnya konsumen
selalu berada pada pihak yang dirugikan. Perlindungan hukum terhadap konsumen
itu sendiri dilaksanakan berdasarkan asas-asas perlindungan konsumen
sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, yang dirumuskan sebagai berikut “Perlindungan
konsumen berasaskan manfaat, kepastian, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan
keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”. Asas-asas tersebut ditempatkan
sebagai dasar baik dalam merumuskan peraturan perundang-undangan maupun dalam
berbagai kegiatan yang berhubungan dengan perlindungan terhadap konsumen.
Menurut
Setiawan: “Perlindungan konsumen mempunyai 2 (dua)
aspek yang bermuara pada praktik perdagangan yang tidak jujur (unfair trade
practices) dan masalah keterikatan
pada syarat-syarat umum dalam suatu perjanjian”.[2]
pada syarat-syarat umum dalam suatu perjanjian”.[2]
Pengawasan
terhadap pelaksanaan kewajiban pelaku usaha tersebut harus ditingkatkan, dengan
demikian hak-hak konsumen akan mudah terpenuhi, karena kewajiban pelaku usaha
merupakan hak bagi konsumen. Namun pada kenyataannya, hak-hak konsumen sering
diabaikan oleh pelaku usaha, dengan kata lain, pelaku usaha belum melakukan
kewajibannya kepada konsumen dengan baik. Selalu ada kemungkinan terjadinya
perilaku menyimpang dari produsenpelaku usaha atas barang-barang produknya yang
diedarkan kepada konsumen.Oleh karena itu, konsumen harus mendapat penggantian
atas kerugian karena mengkonsumsi produk yang diedarkan. Berdasarkan hal di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan
mengangkatnya menjadi suatu karya ilmiah dalam bentuk makalah dengan judul: “Perlindungan
Konsumen Terhadap Wanprestasi Pelaku Usaha
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1.
Bagimanakah aturan hukum tentang penyelesaian sengketa konsumen?
2.
Bagaimanakah tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen?
C. Tujuan Pulisan
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan,
di antaranya adalah:
a.
Untuk mengetahui tentang aturan hukum penyelesaian sengketa
konsumen.
b.
Untuk mengetahui tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen.
D. Kegunaan Penulisan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai berikut:
a.
Bagi Fakultas Hukum Untuk menambah/memperkaya koleksi karya-karya
ilmiah yang dapat dijadikan sebagai literatur atau acuan bagi yang ingin
memperkaya wawasan mengenai masalah yang dibahas skripsi ini.
b.
Bagi pemerintah dan instansi terkait Diharapkan dapat memberi
kontribusi pemikiran untuk lebih mengoptimalkan perlindungan konsumen mengenai
wanprestasi pelaku usaha.
c.
Bagi peneliti Dapat menambah pengetahuan, wawasan keilmuan serta
memberikan pengalaman khususnya mengenai;
a)
aturan hukum penyelesaian sengketa konsumen;
b)
bagaimana tanggung jawab pelaku usaha wanprestasi.
d.
Bagi kemajuan ilmu pengetahuan Memberi kontribusipemikiran yang
signifikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang hukum
perdata.
E.
Tinjauan teoritis
1.
Pengertian dan Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Awal
terbentuknya Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
disepakati oleh DPR pada (tanggal 30 Maret 1999) dan disahkan Presiden RI pada
tanggal 20 April 1999 (LN No. 42 Tahun 1999). Berbagai usaha dengan memakan
waktu, tenaga dan pikiran yang banyak telah dijalankan berbagai pihak yang
berkaitan dengan pembentukan hukum dan perlindungan konsumen. Baik dari
kalangan pemerintah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat. YLKI, bersama-sama
dengan perguruan-perguruan tinggi untuk mewujudkan undang-undang Perlindungan
Konsumen ini. Penyusunan naskah-naskah penelitian, pengkajian naskah akademik
Rancangan Undang-Undang (Perlindungan Konsumen). Kegiatan-kegiatan tersebut
dimulai antara lain:
a) Pembahasan masalah Perlindungan Konsumen (dari sudut ekonomi
olehBakir Hasan dan dari sudut hukum oleh Az. Nasution) dalam Seminar Kelima
Pusat Study Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Indonesia (tanggal 15-16 Desember
1975) sampai dengan penyelesaian akhir UndangUndang ini pada tanggal 20 April
1999.
b) Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI,
Penelitian tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia (tahun 1979-1980).
c) BPHN – Departemen Kehakiman, Naskah Akademik Peraturan
Perundangundangan tentang Perlindungan Konsumen (tahun 1980-1981).
d) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Perlindungan Konsumen
Indonesia, suatu sumbangan pemikiran tentang rancangan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen (tahun 1981).
e) Departemen Perdagangan RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, RUU tentang Perlidungan Konsumen (tahun 1997).
f) DPR RI, RUU Usul Inisiatif DPR tentang Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (tahun 1998).
Salah satu pokok kesimpulan seminar Kelima
Universitas Indonesia tersebut berbunyi “Agaknya dalam kerangka ini mutlak
perlu suatu UndangUndang Perlindungan Konsumen, dan seharusnya Undang-Undang
ini memberikann perlindungan pada masyarakat konsumen.” Akhirnya, didukung oleh
perkembangan politik dan ekonomi di Indonesia (1997-1999), semua kegiatan
tersebut berujung disetujuinya UU Tentang Perlindungan Konsumen yang terdiri
dari 15 Bab dan 65 pasal dan mulai berlaku efektif sejak 20 April 2000.
Ternyata dibutuhkan waktu 25 tahun sejak gagasan awal hingga Undang-Undang ini
disahkan (1975-2000).
Perlindungan konsumen adalah istilah yang
dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen
dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan
konsumen itu sendiri. Istilah konsumen ini berasal dari alih bahasa dari kata consumer
(Inggris- Amerika), atau consumen/konsument (Belanda). Pengertian consumer
dan consument ini hanya bergantung dimana posisi ia berada. Secara
hafiah arti kata consumer itu adalah (lawan dari produsen), setiap orang yang menggunakan barang dan jasa.
Tujuan penggunaan barang dan jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen
kelompok mana pengguna tersebut, begitu pula Kamus Besar Bahasa Indonesia
memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.
Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai
terakhir dari produk yang diserahkan pada mereka, yaitu setiap orang yang
mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau
diperjualbelikan lagi dan menurut pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang perlindungan konsumen menyebutkan bahwa: ”Konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Hukum perlindungan konsumen ini
mendapatkan landasan hukumnya dari Undang-Undang Dasar 1945, pembukaan, Alinea
ke-4 yang berbunyi: ”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia.” Umumnya, sampai
sekarang ini orang bertumpu pada kata ”segenap bangsa” sehingga ia diambil
sebagai asas tentang persatuan seluruh bangsa Indonesia (asas persatuan
bangsa). Akan tetapi disamping itu, dari kata ”melindungi” terkandung pula asas
perlindungan (hukum) pada segenap bangsa tanpa ada kecualinya, ini artinya baik
laki-laki maupun perempuan, orang kaya atau orang miskin, orang kota atau orang
desa, orang asli atau keturunan, dan pengusaha atu konsumen.
Dalam berbagai literatur ditemukan
sekurang-kurangnya dua istilah mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen,
yaitu hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen. Oleh Az. Nasution
menjelaskan bahwa kedua istilah itu berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan
konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Menurut beliau hukum konsumen
adalah: ”Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain
berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup.”[3]
Dan Sedangkan hukum perlindungan konsumen
adalah : ”Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan
melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang
dan atau jasa konsumen.”
Pada dasarnya, baik hukum konsumen maupun
hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum
konsumen, dengan demikian, hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen
dapat diartikan sebagai seluruh peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan
kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk
memenuhi kebutuhannya. Az.
Nasution menambahkan bahwa Hukum perlindungan konsumen inilah yang menjembatani
permasalahan yang timbul tersebut. Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian
dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat
mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi konsumen.[4]
Menurut Mochtar Kusumaatmaja hukum
perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asasdan kaidah-kaidah hukum yang
mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para
penyedia barang dan/atau jasa konsumen.
Perlindungan konsumen secara umum juga
diatur dalam firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah/2: 168
Terjemahnya:
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.[5]
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.[5]
Dalam surah
Al-Baqarah ayat 2 menjelaskan bahwa makanan yang halal dan baik menjadi syarat
utma bagi kesucian amal yang akan diterima oleh Allah. Penjelasan mengenai
segala sesuatu yang halal dan haram telah dijabarkan dalam Al-Qur'an maupun
Hadis. Orang yang beriman diperintahkan agar segala amalnya bersih, jiwa dan
hatinya digerakkan oleh kekuatan darah yang bersih, sumber makanannya pun harus
halal. Selain itu tidak mengenakan pakaian dan perhiasan apapun yang
bersumberkan dari sesuatu yang haram. Pesan moral yag terkandung dalam ayat
tersebut diatas mengandung nilai yang memberikan perintah atau seruan kepada
setiap manusia untuk memperoleh makanan dari cara yang halal. Berbicara tentang
perlindungan konsumen berarti mempersoalkan jaminan atau kepastian tentang
terpenuhinya hak-hak konsumen. Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang
luas meliputi perlindungan konsumen dalam memperoleh barang dan jasa, yang
berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke
akibatakibat dari pemakaian barang jasa tersebut.
Kedudukan
seorang konsumen tidak seimbang dengan pelaku usaha, hal ini dapat dilihat dari
faktor ekonomi pelaku usaha yang lebih tinggi dibandingkan konsumen. Keadaan
seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan di negara-negara maju
dan berkembang lainnya. Hal ini telah menjadi permasalahan yang terus
dipelajari agar ditemukan jalan yang terbaik dalam menyelesaikannya.
2.
Tinjauan umum tentang Undang-undang nomor 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen
Hukum
perlindungan kosumen memberikan penjelasan yang lebih terhadap konsumen
mengenai hal-hal yang harus diperhatikan oleh konsumen dalam melakukan hubungan
hukum dengan pelaku usaha. Hubungan hukum yang tercipta antara konsumen dan
pelaku usaha merupakan hubungan hukum yang memberikan keuntungan bagi kedua
belah pihak. Secara umum konsumen haruslah dapat mengetahui tentang definisi
seorang konsumen, pelaku usaha, dan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen dan
pelaku usaha tersebut. Berdasarkan undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen memberikan kepastian hukum untuk melindungi hak- hak
konsumen.
Undang-undang
tersebut juga memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang
yang selalu merugikan hak konsumen. Dengan adanya undang-undang perlindungan
konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi
berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya
telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha. Perlindungan konsumen yang
dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum yang meliputi
segala upaya berdasarkan atas hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh
atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta
mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh pelaku usaha
penyedia kebutuhan konsumen.
Setelah
mengetahui definisi hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen, maka dapat
diketahui definisi hukum konsumen lebih luas bila dibandingkan dengan hukum
perlindungan konsumen. Hukum perlindungan konsumen merupakan salah satu bagian
dari hukum konsumen yang melindungi hak- hak konsumen. Dengan banyaknya
peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum konsumen maka dalam
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari harus sejalan dengan hukum
perlindungan konsumen yang telah ada. Oleh karena itu di dalam Pasal 64
Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan
bahwa: ”Segala ketentuan peraturan perundang- undangan yang bertujuan
melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang- undang ini
diundangkan, dinyatakan tetap berlaku.”
Pasal ini
menjelaskan hubungan hukum yang harmonis antara hukum konsumen dengan hukum
perlindungan konsumen. Peraturan perundangundangan yang mengatur perlindungan
konsumen tetap berlaku selama tidak bertentangan dan belum diatur dalam UUPK.
1.
Asas
dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen
UUPK memberikan perlindungan kepada konsumen
bersama-sama dengan pelaku usaha berdasarkan atas asas-asas yang relevan dengan
pembangunan nasional. Asas-asas ini telah diatur di dalam Pasal 2 UUPK. Adapun
asas-asas tersebut dapat disebutkan sebagai berikut: [6]
1)
Asas Manfaat Asas ini
mengamanatkan penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2)
Asas Keadilan Asas ini dimaksudkan untuk
mewujudkan partisipasi masyarakat secara maksimal dan memberikan kesempatan
kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil.
3)
Asas Keseimbangan Asas ini
memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah dalam arti materil maupun spiritual.
4)
Asas Keamanan dan Keselamatan
Konsumen Asas ini ditujukan agar konsumen terjamin dalam hal keamanan,
keselamatan dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi. 5) Asas Kepastian Hukum Asas ini dimaksudkan agar konsumen dan
pelaku usaha mematuhi hukum yang ada, dapat memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen dan negara menjamin kepastian hukum atas
hal tersebut.
2.
Hak
Dan Kewajiban Konsumen
John F. Kennedy mengemukakan pendapatnya
tentang hak-hak yang dimiliki seorang konsumen, yaitu:[7]
1)
Hak untuk memoperoleh
keamanan;
2)
Hak untuk memilih;
3)
Hak untuk mendapatkan
informasi;
4)
Hak untuk didengar.
Adapun hak-hak konsumen yang disebutkan
dalam Undang undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
1)
Hak atas kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2)
Hak untuk memilih barang
dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan
nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3)
Hak atas informasi yang benar,
jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4)
Hak untuk didengar pendapat
dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5)
Hak untuk mendapatkan
advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen
secara patut;
6)
Hak untuk mendapat pembinaan
dan pendidikan konsumen;
7)
Hak untuk diperlakukan atau
dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8)
Hak untuk mendapatkan
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9)
Hak-hak yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya Kemudian disebutkan juga
kewajiban-kewajiban dari konsumen itu sendiri
A. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Secara tegas UUPK telah mengatur hak dan
kewajiban pelaku usaha. Di dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 diatur juga
hak-hak yang dimiliki seorang pelaku usaha, yaitu:
1)
hak untuk menerima pembayaran
yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan;
2)
hak untuk mendapat
perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3)
hak untuk melakukan pembelaan
diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4)
hak untuk rehabilitasi nama
baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan
oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5)
hak-hak yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pelaku usaha
merupakan subjek hukum perlindungan yang vital dalam menerapkan hukum
perlindungan konsumen dengan baik dan sempurna. Pelaku usaha dalam memproduksi
suatu barang ataupun jasa mempunyai suatu aturan yang telah diatur dalam UUPK.
UUPK telah
disebutkan di dalam definisinya tentang pelaku usaha. Pelaku usaha yang
dimaksud dalam UUPK adalah pelaku usaha pabrikan, distributor dan jaringannya,
serta juga termasuk para importir dan juga pelaku usaha periklanan. Pelaku
usaha pabrikan dan pelaku usaha distributor secara prinsip merupakan berbeda,
tetapi undang-undang tidak membedakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua
pelaku usaha tersebut, dan juga berbagai larangan yang dikenakan kepada kedua
pelaku usaha tersebut.
Terdapat perbedaan sedikit yang patut diperhitungkan, yaitu sifat saat
terbitnya pertanggungjawaban terhadap kegiatan usaha yang dilakukan
masingmasing pelaku usaha terhadap konsumen yang mempergunakan barang dan/atau
jasa yang dihasilkan atau yang diberikan. [8]
Pertanggungjawaban yang diberikan pelaku usaha terhadap konsumen atas kesalahan
pelaku usaha melanggar ketentuan undang-undang merupakan tanggung jawab yang
berupa ganti rugi.
Hukum pembuktian menerangkan tentang hapusnya ataupun lahirnya suatu
pertanggungjawaban dari suatu pelaku usaha dan beralihnya pertanggungjawaban
tersebut kepada pelaku usaha lainnya harus dibuktikan, agar tidak merugikan
konsumen maupun pelaku usaha lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tercipta suatu
asas kepatutan dan keadilan, serta kepastian hukum untuk semua pihak.
Perbuatan
yang dilarang untuk pelaku usaha telah diatur dalam UUPK. Perbuatan yang
dilarang tersebut diatur dalam Bab IV yang terdiri dari 10 Pasal, diawali dari
Pasal 8 sampai dengan Pasal 17. Di dalam Bab IV dapat dilihat bahwa pada
dasarnya larangan-larangan yang berlaku bagi pelaku usaha pabrikan juga
diberlakukan bagi para pelaku usaha distributor, dan tidak semua larangan yang
dikenakan bagi pelaku usaha distributor (dan jaringannya) dikenakan juga bagi
pelaku usaha pabrikan.
Pada dasarnya
undang-undang tidak memberikan perlakuan yang berbeda kepada masing-masing
pelaku usaha yang menyelenggarakan kegiatan usaha tersebut, selama pelaku usaha
tersebut menjalankan kegiatan usahanya tersebut secara benar dan memberikan
informasi yang cukup, relevan, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta tidak
menyesatkan konsumen yang akan mempergunakan atau memkai atau memanfaatkan
barang dan jasa yang diberikan tersebut.
Ketentuan
Pasal 8 UUPK merupakan satu-satunya ketentuan umum yang berlaku secara umum
mengenai larangan kegiatan usaha para pelaku usaha pabrikan ataupun distributor
di Indonesia. Secara garis besar larangan yang tertuang dalam Pasal 8 UUPK dapat
dibagi ke dalam dua larangan pokok, yaitu:[9]
1.
Larangan mengenai produk itu
sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan
atau dipakai atau dimanfaatkan konsumen Kelayakan produk suatu barang dan/atau
jasa pada dasarnya berhubungan erat dengan karakteristik dan sifat dari barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan. Kelayakan produk harus dipenuhi atau
dimiliki oleh suatu barang dan/atau jasa tertentu sebelum barang dan/atau jasa
tersebut diperdagangkan kepada masyarakat luas. Kelayakan produk tersebut
memenuhi suatu standar yang harus diketahui oleh masyarakat, standar tersebut
banyak yang sudah diketahui oleh masyarkat tetapi ada juga yang masih
membutuhkan penjelasan yang lebih untuk hla tersebut. Oleh karena itu
dibutuhkan informasi yang lebih yang didapat tidak hanya dari pelaku usaha
tetapi juga melalui sumber lain yang terpercaya.
2.
Larangan mengenai ketersediaan
informasi yang tidak benar, dan tidak akurat, yang menyesatkan konsumen.Setiap
konsumen mempunyai hak memilih dan menentukan barang dan/atau jasa yang akan
dikonsumsi, oleh karena itu setiap konsumen membutuhkn informasi yang benar
mengenai barang dan/atau jasa tersebut. Dalam pembuatan informasi tentang suatu
barang dan/atau jasa perusahaan periklanan dan pelaku usaha harus jujur yaitu
memberikan informasi mengenai kelebihan dan kekurangan yang ada pada barang
dan/jasa yang diperdagangkan. Undang-undang mengakui tentang adanya penjualan
yang dilakukan secara lelang, penawaran dengan hadiah, atau penjualan barang
dan/atau jasa yang tidak dalam keadaan yang tidak sempurna, dengan keadaan yang
seperti ini maka dapat dikatakan bahwa kedudukan konsumen berada pada posisi
yang kurang diuntungkan dibandingkan dengan posisi pelaku usaha sebab
keterbatasan konsumen dalam menentukan barang dan/atau jasa yang layak menjadi
terbatas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Agnes M. Toar mendefinisikan tanggung jawab produk ialah
tanggung jawab produsen untuk produk yang telah dibawahnya kedalam peredaran,
yang menimbulkan/menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk
tersebut[10].
Menurut Roszkowski mengatakan bahwa tanggung jawab produk dan
perlindungan konsumen merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, tetapi
hanya dapat dibedakan dimana tanggung jawab produk merupakan sebagian dari
cakupan perlindungan konsumen.[11]
Dari definisi diatas tampak bahwa tanggung jawab produsen-pelaku
usaha atas timbulnya kerugian pada pihak konsumen sebagai akibat dari
produknya. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang dimana pasal 7 huruf d yaitu menjamin mutu barang
dan/ atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan
standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
Produsen tidak hanya diartikan sebagai pelaku usaha pembuat/pabrik
yang menghasilkan produk saja, tetapi juga mereka yang terkait dengan
penyampaian/peredaran produk hingga sampai ke tangan konsumen. Dengan perkataan
lain, dalam konteks perlindungan konsumen , produsen diartikan secara luas.
BAB III
PEMBAHASAN
1.
2. Penyelesaian
Sengketa Melalui BPSK
Tata cara
penyelesaian sengketa BPSK diatur dalam UUPK joKepmenperindag
No.350/MPP/12/2001 tentang pelaksanaan Tugas dan Wewenang.Proses
penyelesaiannya pun diatur sangat sederhana dan sejauh mungkin dihindari
suasana formal. Mengajukan gugatan ke BPSK, dapat dilakukan sendiri atau
kuasanya atau ahli warsinya, secara tertulis kesekretarian BPSK, sekretariat
akan memberikan tanda terima, bila permohonan diajukan secara lisan maka
secretariat akan mencatat permohonan tersebut dalam sebuah formulis yang
disediakan secara khusus dan dibubuhi tanggal dan nomot registrasi.
Catatan
yang penting, permohonan harus lengkap, karena jika tidak ketua BPSK akan
menolak permohonan tersebut. Pemanggilan pelaku usaha, dibuat surat panggilan
yang memuat hari, tanggal, jam dan tempat persidangan serta kewajibannya untuk
memberikan jawaban terhadap penyelesaian sengketa konsumen untuk diajukan pada
persidangan pertama. Jika pada hari pertama pelaku usaha tidak hadir tidak
memenuhi panggilan, pelaku usaha dapat dipanggil sekali lagi, jika tetap tidak
hadir maka BPSK dapat meminta bantuan penyiidik untuk menghadirkan pelaku usaha
tersebut.J
ika pelaku
usaha hadir, maka konsumen memilih cara penyelesaian sengketeanya yang harus
disetujui oleh pelaku usaha, yakni yang bisa dipilih adalah konsiliasi, mediasi
dan arbitrasi. Jika yang dipilih para pihak adalah konsiliasi atau mediasi,
maka ketua BPSK segera menunjuk majelis sesuai ketentuan untuk ditetapkan
sebagai konsiliator atau mediator. Jika yang dilipilih adalah arbitrasi,maka
prosedurnya adalah para pihak memilih atbiter ketiga dari anggota BPSK yang
berasal dariunsur pemerintah sebagai ketua majelis6.
Persidangan dilaksanakan
selambat-lambatnya hari kerja ke-7terhitung sejak diterimanya permohonan.Tahap
persidangan ini meliputi tiga hal, yakni persidangan secara konsiliasi, mediasi
atau arbitrasitergantung dari cara yang dipilih oleh yang bersengketa.
Persidangan dengan cara konsiliasi. konsiliasi adalah proses penyelesaian
sengketa diantara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan
tidak memihak, pihak ini disebut konsiliator. Konsiliator hanya melakukan
tindakan seperti mengatur waktu dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan
subjek pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak ke pihak lain jika pesan
tersebut tidak mungkin disampaikan langsung oleh para pihak. Penyelesaian
sengketa model ini mengacu pada konsensus antara pihak, dimana pihak netral
dapat berperan secara aktif maupun tidakaktif.
Konsiliator
dapat mengusulkan pendapatnya, namun tidak berwenang memutus perkaranya.
Penyelesaian sengketa konsumen melalui konsiliator ini dilakukan sendiri oleh
pihak yang bersengketa dengan didampingi majelis BPSK yang bertindak pasif
sebagai konsiliator. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian
sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun jumlah kerugian.
Hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan
anta konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa selanjutnya dibuat dalam bentuk
perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa dan
diserahkan kepada majelis untuk dituangkan dalam keputusan majelis BPSK yang
menguatkan perjanjian tersebut. Selain dengan cara konsiliasi, persidangan
dengan cara mediasi merupakan proses negosiasi penyelesaian sengketa atau
pemecahan masalah dimana pihak-pihak
ketiga yang tidak memihak bekerjasama dengan para pihak yang bersengketa
membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan, pihak ini disebut
mediator. Mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa,
melainkan hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalanpersoalan yang
diserahkan kepadanya.
Kesepakatan
dapat terjadi dengan mediasi, jika para pihak yang bersengketa berhasilmencapai
saling pengertian dan bersama-sama merumuskan penyelesaian sengketa dengan
arahan konkret dari mediator. Mediator menyerahkan sepenuhnya proses
penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun besarnya
ganti kerugian atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak terulangnya kembali
kerugian konsumen. Hasil musyawarah merupakan kesepakatan antara konsumen
dengan pelaku usaha. Selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian, ditandatangani
oleh para pihak dan diserahkan kepada majelis BPSK untuk dikukuhkan dalam
keputusan majelis BPSK untuk menguatkan perjanjian tersebut. Putusan tersebut
mengikat kedua belah pihak dana mediasi tidak memuat sanksi administratif.
Persidangan dengan cara
arbitrase menurut UU No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan, yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase ini adalah
bentuk alternatif paling formal untuk menyelesaikan sengketa sebelum
bertlitigasi. Pada proses ini pihak yang bersengketa mengemukakan masalah
mereka kepada pihak ketiga yang netral dan memberinya wewenang untuk memberi
keputusan. Putusan BPSK dengan cara konsiliasi atau mediasi, putusan ini pada
dasarnya hanyamengkukuhkan isi perjanjian perdamaian yang telah disetujui dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Putusan BPSK dengan
cara arbitrasi, seperti halnya putusan perkara perdata, memautduduknya perkara
dan pertimbangan hukumunya. Putusan majelis BPSK sedapat mungkin didasarkan
atas musyawarah untuk mencapai mufakat, namun jika telah diusahakan
sungguh-sungguh ternyata hasilnya tidak berhasil mencapai mufakat, maka putusan
diambil dengan suara terbanyak.
Keputusan mediasi dan konsiliasi tidak memuat sanksia
dministratif sedangkan arbitrase dibuat dengan putusan majelis dan ditanda
tangani oleh ketua dan anggota majelis, keputusan majelis dalam arbitrase dapat
memuat sanksi administratif. Putusan BPSK dapat memuat; perdamaian, gugatan
ditolak atau gugatan dikabulkan. Problematika hukum muncul, dengan mengacu pada
ketentuan pasal 54 ayat 3 UUPK maupun pasal 42 ayat 1 keputusan menteri
perindustrian dan perdagangan nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tersebut, putusan BPSK,
adalah final dan mengikat dan tidak dimungkinkan lagi untuk mengajukan banding atau
keberatan.
3.
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Negeri
Menurut
Pasal 48 Undang-undang Nomor 1999 tentang perlindungankonsumen, penyelesaian
sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan
umum. Ini berarti hukum acara yang dipakai dalam tata cara persidangan dan
pemeriksaan perkara adalah berdasarkan Herzine Inland Regeling (HIR) atau
Rechtsreglemen Buitengewesten (RBg), yang mana keduanya pada dasar tidak
mempunyai perbedaan yang mendasar (prinsipil).[12]
Pengajuan
gugatan dalam hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, di kenal asas
Hakim bersifat menunggu atau pasif. Artinya bahwa inisiatif berperkara datang
dari pihak-pihak yang berkepentingan. Dimana hal tersebut diatur dalam Pasal
1865 KUH Perdata, yaitu setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai
sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak
orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak
atau peristiwa tersebut. Kemudian dapat di lihat bahwa dalam rumusan pasal 1865
KUH Perdata tersebut mengandung beberapa makna, yang mana makna tersebut
terdiri dari: [13]
a.
Seseorang dapat mengajukan
suatu peristiwa, dalam hal ini wanprestasiatau perbuatan melawan hukum, untuk
menunjukkan haknya;
b.
Peristiwa
yang diajukan itu harus dibuktikan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa di dalam persidangan
perdata parapihak yang merasakan atau mendapatkan kerugian yang ditimbulkan
dari akibat adanya hubungan hukum, berhak mengajukan penuntutan di depan
persidangan dengan memberikan bukti-bukti yang berhubugan dengan persoalan yang
terjadi. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang terdapat di dalam Udang
perlindungan konsumen. Di mana tepatnya di dalam pasal 46 UUPK No 8 Tahun 1999,
menyebutkan bahwa : Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a.
Seseorang
konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b.
Sekelompok
konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c.
Lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk
badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas
bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran
dasarnya;
d.
Pemerintah
dan atau instansi terkait apabila barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang
tidak sedikit.
Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
Ketentuan lebih lanjut menegenai kerugian materi yang besar dan/atau korban
yang tidak sedikit sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan
peraturan pemerintah.
Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan di atas, yang dapat
mengajukan gugatan dalam ketentuan Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah
setiap konsumen yang dirugikan, ahli warisnya, baik berupa perseorangan maupun
kelompok, lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat dan pemerintah.
Dengan pertimbangan Majelis BPSK pelaku usaha dalam hal ini
sebagai Tergugat ingin mengajukan banding karena pelaku usaha merasa BPSK Kota
Makassar tidak berwenang mengadili perkara ini yang dimana hubungan hukum
antara Penggugat dan Tergugat berawal dari perjanjian hutang piutang secara
Fiducia dan penyelesaiaannya harus melalui jalur badan peradilan umum.
A. Tanggung jawab pelaku usaha terhadap
konsumen
1.
Melanjutkan/membatalkan
Perjanjian
Tanggung
jawab menurut kamus bahasa indonesia adalah, keadaan wajib menaggung segala
sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab menurut kamus umum bahasa indonesia
adalah berkewajiban menanggung,memikul, menanggung segala sesuatunya, dan
menanggung akibatnya. [14]Tanggung
jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang
disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat
sebagai perwujudan kesadarankan kewajiban. [15]Tanggung
jawab itu bersifat kodrati, artinya sudah menjadi bagian hidup manusia, bahwa
setiap manusia di bebani dengan tanggung jawab, apabila dikaji tanggung jawab
itu adalah kewajiban yang harus di pikul sebagai akibat dari perbuatan pihak
yang berbuat. Tanggung jawab adalah ciri manusia yang beradab, manusia merasa
bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik atau buruk perbuatannya itu,
dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengadilan atau pengorbanan.[16]
Teori hukum
Hans kelsen Suatu konsep yang terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep
tanggungjawab hukum (liability). Seseorang yang bertanggungjawab secara hukum
atas perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus
perbuatannya bertentangan/ berlawanan hukum. Sanksi dikenakan karena
perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut bertanggungjawab. [17]Tanggung
jawab pada perjanjian dapat berupa membatalkan/melanjutkan perjanjian dan ganti
kerugian.
Pengertian
pembatalan di sini bukanlah pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif
dalam perjanjian, tetapi karena debitur telah melakukan wanprestasi. Jadi,
pembatalan yang dimaksudkan adalah pembatalan sebagai salah satu kemungkinan
yang dapat dituntut kreditur terhadap debitur yang telah melakukan wanprestasi.
[18]Selain
dapat mengajukan tuntutan pembatalan, kreditur dapat pula mengajukan tuntutan
yang lain yaitu pembatalan perjanjian dan ganti kerugian, ganti kerugian saja,
pemenuhan perikatan atau pemenuhan perikatan dan ganti kerugian. Namun, perlu
juga dikemukakan di sini bahwa sementara ahli ada yang menyebut dengan istilah
pemutusan perjanjian untuk maksud yang sama dengan pembatalan perjanjian. [19]
Syarat batal
dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal-balik,
manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian
perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada
hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai
tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian. Jika syarat batal
tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan,
atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga
memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana, namun itu tidak boleh lebih dari satu
bulan.
Perumusan
Pasal 1266 BW di atas ini ternyata mengandung berbagai macam kontradiktif dan
menimbulkan kesan sedemikian rupa, seakan-akan perjanjian batal dengan
sendirinya kniena hukum begitu debitur melakukan wanprestasi, padahal
pembatalan perjanjian tersebut harus dimintakan hakim. Selain itu, juga
menimbulkan kesan seakan akan debitur juga berhak menuntut pembatalan
perjanjian, padahal menurut Pasal 1266 BW itu yang berhak menuntut pembatalan
perjanjian hanyalah kreditur.
2. Ganti Kerugian
Dalam
penerapan ketentuan yang berada dalam lingkungan hukum privat tersebut,
terdapat perbedaan esensial antara tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada
wanprestasi dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan
melanggar hukum. [20]Apabila
tuntutan ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi, maka terlebih dahulu
tergugat dengan penggugat (produsen dengan konsumen) terikat suatu perjanjian.
Dengan demikian, pihak ketiga (bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang
dirugikan tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan alasan wanprestasi. Ganti
kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak
dipenuhinya kewajiban utama atau kewajiban sampingan (kewajiban atas prestasi
atau kewajiban jaminan/garansi) dalam perjanjian. Bentuk-bentuk wanprestasi
dapat berupa:[21]
a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;
b. Debitur terlambat dalam memenuhi prestasi;
c. Debitur berprestasi tidak sebagaimana mestinya
Terjadinya wanprestasi pihak
debitur dalam suatu perjanjian, membawa akibat yang tidak mengenakkan bagi
debitur karena debitur harus[22]
a. Mengganti kerugian;
b. Benda yang menjadi objek perikatan sejak terjadinya wanprestasi
menjadi tanggung gugat debitur;
c. Jika perikatan itu timbul dari perikatan timbal balik, kreditur
dapat minta
pembatalan (pemutusan) perjanjian.
pembatalan (pemutusan) perjanjian.
Sedangkan untuk menghindari terjadinya
kerugian bagi kreditur karena terjadinya wanprestasi, maka kreditur dapat
menuntut salah satu dari lima kemungkinan:
a. Pembatalan (pemutusan) perjanjian;
b. Pemenuhan perjanjian;
c. Pembayaran ganti kerugian;
d. Pembatalan perjanjian disertai ganti kerugian;
e. Pemenuhan perjanjain disertai ganti kerugian.
Dalam
tanggung gugat berdasarkan adanya wanprestasi kewajiban untuk membayar ganti
kerugian tidak lain daripada akibat penerapan ketentuan dalam perjanjian, yang
merupakan ketentuan hukum yang oleh kedua pihak secara suka rela tunduk
berdasarkan perjanjiannya. Dengan demikian, bukan undang-undang yang menuntut
apakah harus dibayar ganti kerugian atau berapa besar ganti kerugian yang harus
dibayar melainkan kedua belah pihak yang menentukan syarat-syaratnya serta
besarnya ganti kerugian yang harus dibayar. Disamping ketentuan yang terdapat
dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak, ketentuan ganti kerugian yang
bersumber dari hukum pelengkap juga harus mendapat perhatian, seperti ketentuan
tentang wanprestasi dan cacat tersembunyi serta ketentuan lainnya.
Ketentuan-ketentuan ini melengkapi ketentuan yang telah disepakati oleh kedua
belah pihak, dan ketentuan ini hanya dapat dikesampingkan
jika para pihak menjanjikan lain. [23]
jika para pihak menjanjikan lain. [23]
Dengan
mengkaji pasal demi pasal dalam UUPK, tampak bahwa beberapa ketentuan yang
tertera dalam UU tersebut sesuai dengan nilai-nilai etika bisnis, walaupun
dengan redaksi yang berbeda akan tetapi substansi dan tujuannya adalah sama
yaitu untuk melindungi konsumen. Hal ini dapat terlihat dari aturan-aturan
mengenai keharusan beritikad baik dalam melakukan usaha (pasal 7 huruf a ),
jujur (pasal 7 huruf b), jujur dalam takaran atau timbangan (pasal 8 ayat (1),
huruf a, b, c, d, e), menjual barang yang baik mutunya (pasal 8 ayat (2, 3,
4)), larangan menyembunyikan barang yang cacat (pasal 8) dan lain sebagainya. Itikad baik dalam bisnis merupakan hakekat
dari bisnis itu sendiri. Itikad baik akan menimbulkan hubungan baik dalam
usaha. [24]
Dengan itikad
baik pelaku usaha tidak akan melakukan usaha yang merugikan pihak lain. Dalam
Islam itikad baik diwujudkan dalam dua bentuk yaitu itikad baik menuntut
seseorang berbuat baik kepada orang lain, dan menuntut agar tidak berbuat
jahat/ merugikan orang lain. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an : an nisa
29.
Terjemahnya:
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu Ayat ini menerangkan
hukum transaksi secara umum, lebih khusus kepada transaksi perdagangan, bisnis
jual beli. Sebelumnya telah diterangkan transaksi muamalah yang berhubungan
dengan harta, seperti harta anak yatim, mahar, dan sebagainya.
Dalam ayat
ini Allah mengharamkan orang beriman untuk memakan, memanfaatkan, menggunakan,
(dan segala bentuk transaksi lainnya) harta orang lain dengan jalan yang batil,
yaitu yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Kita boleh melakukan transaksi
terhadap harta orang lain dengan jalan perdagangan dengan asas saling ridha,
saling ikhlas. Dan dalam ayat ini Allah juga melarang untuk bunuh diri, baik
membunuh diri sendiri maupun saling membunuh.
Konsumen
menjadi obyek aktifitas bisnis untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya.
Perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan Undang-Undang yang dapat
melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat
diterapkan secara efektif. Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini
mengacu pada filosofi pembangunan nasional, bahwa pembangunan nasional termasuk
pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam
rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah
kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi
negara Undang-undang Dasar 1945.
BAB IV
KESIMPULAN
1.
Aturan hukum tentang penyelesaian sengketa konsumen sudah
memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen melalui BPSK dan Pengadilan
Negeri. BPSK dijadikan pertimbangan oleh hakim pengadilan Negeri. Namun putusan
BPSK tersebut tidak dijadikan dasar pertimbangan hakim.
2.
Tanggung jawab terhadap konsumen jika wanprestasi dapat dilakukan
dengan melanjutkan/membatalkan perjanjian dan mengganti kerugian yang
ditimbulkan akibat wanprestasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir
Muhammad. Hukum Perdata Indonesia. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. 2014.
Ahmadi
Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia,
Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2013
Az
Nasution, Konsumen dan Hukum, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,2004
Badan
Perlindungan Konsumen Nasional, Perlindungan Konsumen Indonesia , Cet.2,
Jakarta, 2005.
Bagus
Arif Andrian Manusia dan Tanggungjawab, Jakarta : Sinar Grafika 2011
Celina
Tri Siwi Kristianti, Hukum Perlindungan Konsumen . Jakarta : Sinar
Grafika, 2011
Departemen
Pendidikan Nasional Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai
Pustaka 2010
Gunawan
Wijaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Hans
kelsen diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien Teori Hans Kelsen Mengenai Pertanggungjawaban,
Bandung : Penerbit Nusa Media 2013
Janus
Sidabalok, Hukum perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung, PT. Citra
Aditya Bakti. 2004.
Johnny
Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang.
Bayumedia Publishing, 2006.
Kamus
Hukum. Bandung. Citra Umbara. 2008.
Kementrian
agama RI. Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid. Jawa Barat. Sygma creative media corp.
2014..
Munir
Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti 2011
Neni
Sri Imaniyati ,Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam dalam Perkembangan,
Bandung : Mandar Maju, 2002.
R.Subekti,
Hukum Perjanjian, cet. 19, Jakarta: PT. Intermasa, 2002.
Rachmadi
Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, Jakarta : Djambatan, 2000.
Yusuf
Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK Teori dan Praktek Penegakan
Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003.
Sumber
Internet
www.https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1116051059-3-BAB%20II.pdf
pada tanggal 13 mei 2018, pukul 00.00 WIB
Informasi
Media, Sejarah Perlindungan Konsumen diakses dari: http://wenjack
perlindungankonsumen.blogspot.co.id/ pada tanggal 09 mei 2018, pukul 23.00 WIB
Informasi
Media, Pengertian Perlindungan Konsumen diakses dari:
http://blajarhukumperdata.blogspot.co.id/2014/07/perlindungan-konsumen.html,
pada tanggal 14
Informasi
Media, Pengertian Perlindungan Konsumen http//id.m.wikipedia.org/2012/6/pengertian-perlindungan-konsumen.html3,
pada tanggal 09 mei 2018, pukul 18.18 WIB
[1] Peter Mahmud Marzuki,
Pembaruan
Hukum Ekonomi Indonesia, Universitas AirlanggaSurabaya, tanpa tahun, h. 8.
[2] Informasi Media,
Pengertian Perlindungan Konsumen diakses dari:
http://belajarhukumperdata.blogspot.co.id/2014/07/perlindungan-konsumen.html,
pada tanggal 09 mei 2018, pukul 22.00 WIB
[3] Informasi Media,
Sejarah Perlindungan Konsumen diakses
dari:http://wenjackperlindungankonsumen.blogspot.co.id/ pada tanggal 14 januari
2016, pukul 23.00 WITA
[4] Az. Nasution, Hukum
Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Cet. 2, (Jakarta: Diadit Media, 2002),
h. 22
[5] Kementrian agama RI,
Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid (Jawa Barat, Sygma creativemedia corp, 2014), h.
25
[6] Badan Perlindungan
Konsumen Nasional, Perlindungan Konsumen Indonesia , Cet.2,
(Jakarta:2005), h. 5.
[7] Az. Nasution, Iklan dan
Konsumen (Tinjauan dari sudut hukum dan perlindungankonsumen) dalam manajemen
dan usahawan Indonesia), Nomor 3, thn. XXII, LPM FE-UI, Jakarta 1994, h. 23.
[8] Informasi Media,
Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hukum, Pelaku Usaha dan Konsumen
https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1016051123-3-bab%202.pdf, pada tanggal 15 januari
2016, pukul 01.00 WITA
[9] Janus Sidabalok, Hukum
perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti 2004), h. 75
Aditya Bakti 2004), h. 75
[10] Agnes M. Toar, Tanggung
Jawab Produk, Sejarah dan Perkembangannya di Beberapa Negara (Bandung:
BPHN-Binacipta, 2014), h.105..
[13] Redaksi Aksara, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Yogyakarta : Redaksi Aksara
sukses, 2013, h 470
sukses, 2013, h 470
[14] Departemen Pendidikan
Nasional Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka2010, h 165
[17] Hans kelsen
diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien Teori Hans Kelsen Mengenai Pertanggungjawaban, Bandung : Penerbit
Nusa Media 2013 h 141
[18] Munir Fuady, Hukum Kontrak
Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti 2011
[19] Munir Fuady, Hukum Kontrak
Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti 2011
Aditya Bakti 2011
[20] Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2013, h 72
[22] Purwahid Patrik, Dasar-dasar
hukum perikatan (Perikatan yang lahir dari perjanjian dan dari
Undang-undang), Bandung : Mandar Maju, 1994, h 11
0 komentar:
Post a Comment