Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Monday, May 14, 2018

MAKALAH- PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP WANPRESTASI PELAKU USAHA


BAB I
PENDAHULUAN
Penulis: Moh Alwi Aziz

A.    Latar Belakang
Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan perlindungan hukum antar konsumen dengan produsen. Tidak adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen berada pada posisi yang lemah. Terlebih jika produk yang dihasilkan oleh produsen merupakan jenis produk yang terbatas, produsen dapat menyalahgunakan posisinya yang monopolistis tersebut. Hal ini tentu saja akan merugikan konsumen.
Kerugian-kerugian yang dialami oleh konsumen tersebut dapat timbul sebagai akibat dari adanya hubungan hukum perjanjian antara produsen dengan konsumen, maupun akibat dari adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh produsen. Perjanjian-perjanjian yang dilakukan antara para pihak tidak selamanya dapat berjalan mulus dalam arti masing-masing pihak puas, karena terkadang para pihak penerima tidak menerima barang atau jasa sesuai dengan harapannya. Apabila pembeli, dalam hal ini konsumen tidak menerima barang atau jasa sesuai dengan yang diperjanjikan, maka produsen dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi, sehingga konsumen mengalami kerugian.
Wanprestasi salah satu pihak dalam perjanjian merupakan kelalaian untuk memenuhi syarat yang tercantum dalam perjanjian. Hal ini biasanya lebih banyak dialami oleh pihak yang lemah/memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pihak lainnya. Karena persyaratan tersebut berat sebelah/lebih memberatkan kepada pihak yang lemah. Hal ini disebabkan karena persyaratanpersyaratan tersebut telah dituangkan kedalam suatu perjanjian baku. Perjanjianyang demikian sudah lazim dipergunakan dan memegang peranan penting dalam hukum bisnis yang pada umumnya dilandasi oleh nilai-nilai yang berorientasi pada efesiensi.[1]
Disamping wanprestasi, kerugian dapat pula terjadi diluar hubungan perjanjian, yaitu jika terjadi perbuatan melanggar hukum, yang dapat berupa adanya cacat pada barang atau jasa yang mengakibatkan kerugian konsumen, baik itu karena rusak atau musnahnya barang itu sendiri, maupun kerusakan atau musnahnya barang akibat cacat pada barang itu. Selain disebabkan karena wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum, kerugian yang dialami konsumen selama ini juga banyak disebabkan karena konsumen kurang kritis terhadap barang-barang yang ditawarkan, sehingga kerugian yang dialami konsumen tidak hanya kerugian finansial, akan tetapi juga dapat merugikan kesehatan atau keselamatan hidup konsumen sendiri. Kemungkinan kerugian konsumen tersebut akan semakin bertambah lagi jika barang-barang/jasa yang beredar dalam masyarakat tidak menggunakan merek secara teratur, terutam jika terjadi pemalsuan-pemalsuan merek tertentu yang memungkinkan suatu merek dipergunakan pada beberapa barang sejenis, namun dengan kualitas berbeda, sehingga diantara barang-barang tersebut ada yang mungkin akan merugikan konsumen yang kurang kritis.
Perlindungan atas kepentingan konsumen tersebut diperlukan karena pada umumnya konsumen selalu berada pada pihak yang dirugikan. Perlindungan hukum terhadap konsumen itu sendiri dilaksanakan berdasarkan asas-asas perlindungan konsumen sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang dirumuskan sebagai berikut “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, kepastian, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”. Asas-asas tersebut ditempatkan sebagai dasar baik dalam merumuskan peraturan perundang-undangan maupun dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan perlindungan terhadap konsumen.
Menurut Setiawan: “Perlindungan konsumen mempunyai 2 (dua) aspek yang bermuara pada praktik perdagangan yang tidak jujur (unfair trade practices) dan masalah keterikatan
pada syarat-syarat umum dalam suatu perjanjian”.
[2]
Pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban pelaku usaha tersebut harus ditingkatkan, dengan demikian hak-hak konsumen akan mudah terpenuhi, karena kewajiban pelaku usaha merupakan hak bagi konsumen. Namun pada kenyataannya, hak-hak konsumen sering diabaikan oleh pelaku usaha, dengan kata lain, pelaku usaha belum melakukan kewajibannya kepada konsumen dengan baik. Selalu ada kemungkinan terjadinya perilaku menyimpang dari produsenpelaku usaha atas barang-barang produknya yang diedarkan kepada konsumen.Oleh karena itu, konsumen harus mendapat penggantian atas kerugian karena mengkonsumsi produk yang diedarkan. Berdasarkan hal di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan mengangkatnya menjadi suatu karya ilmiah dalam bentuk makalah dengan judul: “Perlindungan Konsumen Terhadap Wanprestasi Pelaku Usaha

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.     Bagimanakah aturan hukum tentang penyelesaian sengketa konsumen?
2.     Bagaimanakah tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen?
C.   Tujuan Pulisan
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, di antaranya adalah:
a.     Untuk mengetahui tentang aturan hukum penyelesaian sengketa konsumen.
b.     Untuk mengetahui tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen.
D.   Kegunaan Penulisan Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai berikut:
a.     Bagi Fakultas Hukum Untuk menambah/memperkaya koleksi karya-karya ilmiah yang dapat dijadikan sebagai literatur atau acuan bagi yang ingin memperkaya wawasan mengenai masalah yang dibahas skripsi ini.
b.     Bagi pemerintah dan instansi terkait Diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran untuk lebih mengoptimalkan perlindungan konsumen mengenai wanprestasi pelaku usaha.
c.      Bagi peneliti Dapat menambah pengetahuan, wawasan keilmuan serta memberikan pengalaman khususnya mengenai;
a)     aturan hukum penyelesaian sengketa konsumen;
b)    bagaimana tanggung jawab pelaku usaha wanprestasi.
d.     Bagi kemajuan ilmu pengetahuan Memberi kontribusipemikiran yang signifikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang hukum perdata.
E.     Tinjauan teoritis
1.      Pengertian dan Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Awal terbentuknya Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang disepakati oleh DPR pada (tanggal 30 Maret 1999) dan disahkan Presiden RI pada tanggal 20 April 1999 (LN No. 42 Tahun 1999). Berbagai usaha dengan memakan waktu, tenaga dan pikiran yang banyak telah dijalankan berbagai pihak yang berkaitan dengan pembentukan hukum dan perlindungan konsumen. Baik dari kalangan pemerintah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat. YLKI, bersama-sama dengan perguruan-perguruan tinggi untuk mewujudkan undang-undang Perlindungan Konsumen ini. Penyusunan naskah-naskah penelitian, pengkajian naskah akademik Rancangan Undang-Undang (Perlindungan Konsumen). Kegiatan-kegiatan tersebut dimulai antara lain:
a)      Pembahasan masalah Perlindungan Konsumen (dari sudut ekonomi olehBakir Hasan dan dari sudut hukum oleh Az. Nasution) dalam Seminar Kelima Pusat Study Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Indonesia (tanggal 15-16 Desember 1975) sampai dengan penyelesaian akhir UndangUndang ini pada tanggal 20 April 1999.
b)      Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, Penelitian tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia (tahun 1979-1980).
c)      BPHN – Departemen Kehakiman, Naskah Akademik Peraturan Perundangundangan tentang Perlindungan Konsumen (tahun 1980-1981).
d)     Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Perlindungan Konsumen Indonesia, suatu sumbangan pemikiran tentang rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (tahun 1981).
e)      Departemen Perdagangan RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, RUU tentang Perlidungan Konsumen (tahun 1997).
f)       DPR RI, RUU Usul Inisiatif DPR tentang Undang-Undang Perlindungan Konsumen (tahun 1998).
Salah satu pokok kesimpulan seminar Kelima Universitas Indonesia tersebut berbunyi “Agaknya dalam kerangka ini mutlak perlu suatu UndangUndang Perlindungan Konsumen, dan seharusnya Undang-Undang ini memberikann perlindungan pada masyarakat konsumen.” Akhirnya, didukung oleh perkembangan politik dan ekonomi di Indonesia (1997-1999), semua kegiatan tersebut berujung disetujuinya UU Tentang Perlindungan Konsumen yang terdiri dari 15 Bab dan 65 pasal dan mulai berlaku efektif sejak 20 April 2000. Ternyata dibutuhkan waktu 25 tahun sejak gagasan awal hingga Undang-Undang ini disahkan (1975-2000).
Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri. Istilah konsumen ini berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris- Amerika), atau consumen/konsument (Belanda). Pengertian consumer dan consument ini hanya bergantung dimana posisi ia berada. Secara hafiah arti kata consumer itu adalah (lawan dari produsen), setiap  orang yang menggunakan barang dan jasa. Tujuan penggunaan barang dan jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut, begitu pula Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.
Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan pada mereka, yaitu setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi dan menurut pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menyebutkan bahwa: ”Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Hukum perlindungan konsumen ini mendapatkan landasan hukumnya dari Undang-Undang Dasar 1945, pembukaan, Alinea ke-4 yang berbunyi: ”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia.” Umumnya, sampai sekarang ini orang bertumpu pada kata ”segenap bangsa” sehingga ia diambil sebagai asas tentang persatuan seluruh bangsa Indonesia (asas persatuan bangsa). Akan tetapi disamping itu, dari kata ”melindungi” terkandung pula asas perlindungan (hukum) pada segenap bangsa tanpa ada kecualinya, ini artinya baik laki-laki maupun perempuan, orang kaya atau orang miskin, orang kota atau orang desa, orang asli atau keturunan, dan pengusaha atu konsumen.
Dalam berbagai literatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen. Oleh Az. Nasution menjelaskan bahwa kedua istilah itu berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Menurut beliau hukum konsumen adalah: ”Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup.”[3]
Dan Sedangkan hukum perlindungan konsumen adalah : ”Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan atau jasa konsumen.”
Pada dasarnya, baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum konsumen, dengan demikian, hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai seluruh peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya. Az. Nasution menambahkan bahwa Hukum perlindungan konsumen inilah yang menjembatani permasalahan yang timbul tersebut. Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi konsumen.[4]
Menurut Mochtar Kusumaatmaja hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asasdan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen.
Perlindungan konsumen secara umum juga diatur dalam firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah/2: 168
Terjemahnya:
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.[5]
Dalam surah Al-Baqarah ayat 2 menjelaskan bahwa makanan yang halal dan baik menjadi syarat utma bagi kesucian amal yang akan diterima oleh Allah. Penjelasan mengenai segala sesuatu yang halal dan haram telah dijabarkan dalam Al-Qur'an maupun Hadis. Orang yang beriman diperintahkan agar segala amalnya bersih, jiwa dan hatinya digerakkan oleh kekuatan darah yang bersih, sumber makanannya pun harus halal. Selain itu tidak mengenakan pakaian dan perhiasan apapun yang bersumberkan dari sesuatu yang haram. Pesan moral yag terkandung dalam ayat tersebut diatas mengandung nilai yang memberikan perintah atau seruan kepada setiap manusia untuk memperoleh makanan dari cara yang halal. Berbicara tentang perlindungan konsumen berarti mempersoalkan jaminan atau kepastian tentang terpenuhinya hak-hak konsumen. Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan konsumen dalam memperoleh barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibatakibat dari pemakaian barang jasa tersebut.
Kedudukan seorang konsumen tidak seimbang dengan pelaku usaha, hal ini dapat dilihat dari faktor ekonomi pelaku usaha yang lebih tinggi dibandingkan konsumen. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan di negara-negara maju dan berkembang lainnya. Hal ini telah menjadi permasalahan yang terus dipelajari agar ditemukan jalan yang terbaik dalam menyelesaikannya.
2.      Tinjauan umum tentang Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan kosumen memberikan penjelasan yang lebih terhadap konsumen mengenai hal-hal yang harus diperhatikan oleh konsumen dalam melakukan hubungan hukum dengan pelaku usaha. Hubungan hukum yang tercipta antara konsumen dan pelaku usaha merupakan hubungan hukum yang memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Secara umum konsumen haruslah dapat mengetahui tentang definisi seorang konsumen, pelaku usaha, dan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen dan pelaku usaha tersebut. Berdasarkan undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan kepastian hukum untuk melindungi hak- hak konsumen.
Undang-undang tersebut juga memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu merugikan hak konsumen. Dengan adanya undang-undang perlindungan konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha. Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum yang meliputi segala upaya berdasarkan atas hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.
Setelah mengetahui definisi hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen, maka dapat diketahui definisi hukum konsumen lebih luas bila dibandingkan dengan hukum perlindungan konsumen. Hukum perlindungan konsumen merupakan salah satu bagian dari hukum konsumen yang melindungi hak- hak konsumen. Dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum konsumen maka dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari harus sejalan dengan hukum perlindungan konsumen yang telah ada. Oleh karena itu di dalam Pasal 64 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa: ”Segala ketentuan peraturan perundang- undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang- undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku.”
Pasal ini menjelaskan hubungan hukum yang harmonis antara hukum konsumen dengan hukum perlindungan konsumen. Peraturan perundangundangan yang mengatur perlindungan konsumen tetap berlaku selama tidak bertentangan dan belum diatur dalam UUPK.
1.      Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen
UUPK memberikan perlindungan kepada konsumen bersama-sama dengan pelaku usaha berdasarkan atas asas-asas yang relevan dengan pembangunan nasional. Asas-asas ini telah diatur di dalam Pasal 2 UUPK. Adapun asas-asas tersebut dapat disebutkan sebagai berikut: [6]
1)      Asas Manfaat Asas ini mengamanatkan penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2)       Asas Keadilan Asas ini dimaksudkan untuk mewujudkan partisipasi masyarakat secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3)      Asas Keseimbangan Asas ini memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil maupun spiritual.
4)      Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen Asas ini ditujukan agar konsumen terjamin dalam hal keamanan, keselamatan dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi. 5) Asas Kepastian Hukum Asas ini dimaksudkan agar konsumen dan pelaku usaha mematuhi hukum yang ada, dapat memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen dan negara menjamin kepastian hukum atas hal tersebut.
2.      Hak Dan Kewajiban Konsumen
John F. Kennedy mengemukakan pendapatnya tentang hak-hak yang dimiliki seorang konsumen, yaitu:[7]
1)      Hak untuk memoperoleh keamanan;
2)      Hak untuk memilih;
3)      Hak untuk mendapatkan informasi;
4)      Hak untuk didengar.
Adapun hak-hak konsumen yang disebutkan dalam Undang undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
1)      Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2)      Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3)      Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4)      Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5)      Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6)      Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7)      Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8)      Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9)      Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya Kemudian disebutkan juga kewajiban-kewajiban dari konsumen itu sendiri
A.    Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Secara tegas UUPK telah mengatur hak dan kewajiban pelaku usaha. Di dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 diatur juga hak-hak yang dimiliki seorang pelaku usaha, yaitu:
1)      hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2)      hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3)      hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4)      hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5)      hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pelaku usaha merupakan subjek hukum perlindungan yang vital dalam menerapkan hukum perlindungan konsumen dengan baik dan sempurna. Pelaku usaha dalam memproduksi suatu barang ataupun jasa mempunyai suatu aturan yang telah diatur dalam UUPK.
UUPK telah disebutkan di dalam definisinya tentang pelaku usaha. Pelaku usaha yang dimaksud dalam UUPK adalah pelaku usaha pabrikan, distributor dan jaringannya, serta juga termasuk para importir dan juga pelaku usaha periklanan. Pelaku usaha pabrikan dan pelaku usaha distributor secara prinsip merupakan berbeda, tetapi undang-undang tidak membedakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua pelaku usaha tersebut, dan juga berbagai larangan yang dikenakan kepada kedua pelaku usaha tersebut. Terdapat perbedaan sedikit yang patut diperhitungkan, yaitu sifat saat terbitnya pertanggungjawaban terhadap kegiatan usaha yang dilakukan masingmasing pelaku usaha terhadap konsumen yang mempergunakan barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau yang diberikan. [8] Pertanggungjawaban yang diberikan pelaku usaha terhadap konsumen atas kesalahan pelaku usaha melanggar ketentuan undang-undang merupakan tanggung jawab yang berupa ganti rugi.
Hukum pembuktian menerangkan tentang hapusnya ataupun lahirnya suatu pertanggungjawaban dari suatu pelaku usaha dan beralihnya pertanggungjawaban tersebut kepada pelaku usaha lainnya harus dibuktikan, agar tidak merugikan konsumen maupun pelaku usaha lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tercipta suatu asas kepatutan dan keadilan, serta kepastian hukum untuk semua pihak.
Perbuatan yang dilarang untuk pelaku usaha telah diatur dalam UUPK. Perbuatan yang dilarang tersebut diatur dalam Bab IV yang terdiri dari 10 Pasal, diawali dari Pasal 8 sampai dengan Pasal 17. Di dalam Bab IV dapat dilihat bahwa pada dasarnya larangan-larangan yang berlaku bagi pelaku usaha pabrikan juga diberlakukan bagi para pelaku usaha distributor, dan tidak semua larangan yang dikenakan bagi pelaku usaha distributor (dan jaringannya) dikenakan juga bagi pelaku usaha pabrikan.
Pada dasarnya undang-undang tidak memberikan perlakuan yang berbeda kepada masing-masing pelaku usaha yang menyelenggarakan kegiatan usaha tersebut, selama pelaku usaha tersebut menjalankan kegiatan usahanya tersebut secara benar dan memberikan informasi yang cukup, relevan, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta tidak menyesatkan konsumen yang akan mempergunakan atau memkai atau memanfaatkan barang dan jasa yang diberikan tersebut.
Ketentuan Pasal 8 UUPK merupakan satu-satunya ketentuan umum yang berlaku secara umum mengenai larangan kegiatan usaha para pelaku usaha pabrikan ataupun distributor di Indonesia. Secara garis besar larangan yang tertuang dalam Pasal 8 UUPK dapat dibagi ke dalam dua larangan pokok, yaitu:[9]
1.      Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan konsumen Kelayakan produk suatu barang dan/atau jasa pada dasarnya berhubungan erat dengan karakteristik dan sifat dari barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Kelayakan produk harus dipenuhi atau dimiliki oleh suatu barang dan/atau jasa tertentu sebelum barang dan/atau jasa tersebut diperdagangkan kepada masyarakat luas. Kelayakan produk tersebut memenuhi suatu standar yang harus diketahui oleh masyarakat, standar tersebut banyak yang sudah diketahui oleh masyarkat tetapi ada juga yang masih membutuhkan penjelasan yang lebih untuk hla tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan informasi yang lebih yang didapat tidak hanya dari pelaku usaha tetapi juga melalui sumber lain yang terpercaya.
2.      Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak akurat, yang menyesatkan konsumen.Setiap konsumen mempunyai hak memilih dan menentukan barang dan/atau jasa yang akan dikonsumsi, oleh karena itu setiap konsumen membutuhkn informasi yang benar mengenai barang dan/atau jasa tersebut. Dalam pembuatan informasi tentang suatu barang dan/atau jasa perusahaan periklanan dan pelaku usaha harus jujur yaitu memberikan informasi mengenai kelebihan dan kekurangan yang ada pada barang dan/jasa yang diperdagangkan. Undang-undang mengakui tentang adanya penjualan yang dilakukan secara lelang, penawaran dengan hadiah, atau penjualan barang dan/atau jasa yang tidak dalam keadaan yang tidak sempurna, dengan keadaan yang seperti ini maka dapat dikatakan bahwa kedudukan konsumen berada pada posisi yang kurang diuntungkan dibandingkan dengan posisi pelaku usaha sebab keterbatasan konsumen dalam menentukan barang dan/atau jasa yang layak menjadi terbatas.


















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Agnes M. Toar mendefinisikan tanggung jawab produk ialah tanggung jawab produsen untuk produk yang telah dibawahnya kedalam peredaran, yang menimbulkan/menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut[10].
Menurut Roszkowski mengatakan bahwa tanggung jawab produk dan perlindungan konsumen merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, tetapi hanya dapat dibedakan dimana tanggung jawab produk merupakan sebagian dari cakupan perlindungan konsumen.[11]
Dari definisi diatas tampak bahwa tanggung jawab produsen-pelaku usaha atas timbulnya kerugian pada pihak konsumen sebagai akibat dari produknya. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dimana pasal 7 huruf d yaitu menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
Produsen tidak hanya diartikan sebagai pelaku usaha pembuat/pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga mereka yang terkait dengan penyampaian/peredaran produk hingga sampai ke tangan konsumen. Dengan perkataan lain, dalam konteks perlindungan konsumen , produsen diartikan secara luas.















BAB III
PEMBAHASAN
1.      
2.     Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK
Tata cara penyelesaian sengketa BPSK diatur dalam UUPK joKepmenperindag No.350/MPP/12/2001 tentang pelaksanaan Tugas dan Wewenang.Proses penyelesaiannya pun diatur sangat sederhana dan sejauh mungkin dihindari suasana formal. Mengajukan gugatan ke BPSK, dapat dilakukan sendiri atau kuasanya atau ahli warsinya, secara tertulis kesekretarian BPSK, sekretariat akan memberikan tanda terima, bila permohonan diajukan secara lisan maka secretariat akan mencatat permohonan tersebut dalam sebuah formulis yang disediakan secara khusus dan dibubuhi tanggal dan nomot registrasi.
Catatan yang penting, permohonan harus lengkap, karena jika tidak ketua BPSK akan menolak permohonan tersebut. Pemanggilan pelaku usaha, dibuat surat panggilan yang memuat hari, tanggal, jam dan tempat persidangan serta kewajibannya untuk memberikan jawaban terhadap penyelesaian sengketa konsumen untuk diajukan pada persidangan pertama. Jika pada hari pertama pelaku usaha tidak hadir tidak memenuhi panggilan, pelaku usaha dapat dipanggil sekali lagi, jika tetap tidak hadir maka BPSK dapat meminta bantuan penyiidik untuk menghadirkan pelaku usaha tersebut.J
ika pelaku usaha hadir, maka konsumen memilih cara penyelesaian sengketeanya yang harus disetujui oleh pelaku usaha, yakni yang bisa dipilih adalah konsiliasi, mediasi dan arbitrasi. Jika yang dipilih para pihak adalah konsiliasi atau mediasi, maka ketua BPSK segera menunjuk majelis sesuai ketentuan untuk ditetapkan sebagai konsiliator atau mediator. Jika yang dilipilih adalah arbitrasi,maka prosedurnya adalah para pihak memilih atbiter ketiga dari anggota BPSK yang berasal dariunsur pemerintah sebagai ketua majelis6.
Persidangan dilaksanakan selambat-lambatnya hari kerja ke-7terhitung sejak diterimanya permohonan.Tahap persidangan ini meliputi tiga hal, yakni persidangan secara konsiliasi, mediasi atau arbitrasitergantung dari cara yang dipilih oleh yang bersengketa. Persidangan dengan cara konsiliasi. konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa diantara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak, pihak ini disebut konsiliator. Konsiliator hanya melakukan tindakan seperti mengatur waktu dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subjek pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak ke pihak lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan langsung oleh para pihak. Penyelesaian sengketa model ini mengacu pada konsensus antara pihak, dimana pihak netral dapat berperan secara aktif maupun tidakaktif.
Konsiliator dapat mengusulkan pendapatnya, namun tidak berwenang memutus perkaranya. Penyelesaian sengketa konsumen melalui konsiliator ini dilakukan sendiri oleh pihak yang bersengketa dengan didampingi majelis BPSK yang bertindak pasif sebagai konsiliator. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun jumlah kerugian.
 Hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan anta konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa dan diserahkan kepada majelis untuk dituangkan dalam keputusan majelis BPSK yang menguatkan perjanjian tersebut. Selain dengan cara konsiliasi, persidangan dengan cara mediasi merupakan proses negosiasi penyelesaian sengketa atau pemecahan masalah dimana  pihak-pihak ketiga yang tidak memihak bekerjasama dengan para pihak yang bersengketa membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan, pihak ini disebut mediator. Mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa, melainkan hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalanpersoalan yang diserahkan kepadanya.
Kesepakatan dapat terjadi dengan mediasi, jika para pihak yang bersengketa berhasilmencapai saling pengertian dan bersama-sama merumuskan penyelesaian sengketa dengan arahan konkret dari mediator. Mediator menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun besarnya ganti kerugian atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak terulangnya kembali kerugian konsumen. Hasil musyawarah merupakan kesepakatan antara konsumen dengan pelaku usaha. Selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian, ditandatangani oleh para pihak dan diserahkan kepada majelis BPSK untuk dikukuhkan dalam keputusan majelis BPSK untuk menguatkan perjanjian tersebut. Putusan tersebut mengikat kedua belah pihak dana mediasi tidak memuat sanksi administratif.
Persidangan dengan cara arbitrase menurut UU No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan, yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase ini adalah bentuk alternatif paling formal untuk menyelesaikan sengketa sebelum bertlitigasi. Pada proses ini pihak yang bersengketa mengemukakan masalah mereka kepada pihak ketiga yang netral dan memberinya wewenang untuk memberi keputusan. Putusan BPSK dengan cara konsiliasi atau mediasi, putusan ini pada dasarnya hanyamengkukuhkan isi perjanjian perdamaian yang telah disetujui dan ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Putusan BPSK dengan cara arbitrasi, seperti halnya putusan perkara perdata, memautduduknya perkara dan pertimbangan hukumunya. Putusan majelis BPSK sedapat mungkin didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat, namun jika telah diusahakan sungguh-sungguh ternyata hasilnya tidak berhasil mencapai mufakat, maka putusan diambil dengan suara terbanyak.
Keputusan mediasi dan konsiliasi tidak memuat sanksia dministratif sedangkan arbitrase dibuat dengan putusan majelis dan ditanda tangani oleh ketua dan anggota majelis, keputusan majelis dalam arbitrase dapat memuat sanksi administratif. Putusan BPSK dapat memuat; perdamaian, gugatan ditolak atau gugatan dikabulkan. Problematika hukum muncul, dengan mengacu pada ketentuan pasal 54 ayat 3 UUPK maupun pasal 42 ayat 1 keputusan menteri perindustrian dan perdagangan nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tersebut, putusan BPSK, adalah final dan mengikat dan tidak dimungkinkan lagi untuk mengajukan banding atau keberatan.
3.      Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan Negeri
Menurut Pasal 48 Undang-undang Nomor 1999 tentang perlindungankonsumen, penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum. Ini berarti hukum acara yang dipakai dalam tata cara persidangan dan pemeriksaan perkara adalah berdasarkan Herzine Inland Regeling (HIR) atau Rechtsreglemen Buitengewesten (RBg), yang mana keduanya pada dasar tidak mempunyai perbedaan yang mendasar (prinsipil).[12]
Pengajuan gugatan dalam hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, di kenal asas Hakim bersifat menunggu atau pasif. Artinya bahwa inisiatif berperkara datang dari pihak-pihak yang berkepentingan. Dimana hal tersebut diatur dalam Pasal 1865 KUH Perdata, yaitu setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Kemudian dapat di lihat bahwa dalam rumusan pasal 1865 KUH Perdata tersebut mengandung beberapa makna, yang mana makna tersebut terdiri dari: [13]
a.       Seseorang dapat mengajukan suatu peristiwa, dalam hal ini wanprestasiatau perbuatan melawan hukum, untuk menunjukkan haknya;
b.      Peristiwa yang diajukan itu harus dibuktikan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa di dalam persidangan perdata parapihak yang merasakan atau mendapatkan kerugian yang ditimbulkan dari akibat adanya hubungan hukum, berhak mengajukan penuntutan di depan persidangan dengan memberikan bukti-bukti yang berhubugan dengan persoalan yang terjadi. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang terdapat di dalam Udang perlindungan konsumen. Di mana tepatnya di dalam pasal 46 UUPK No 8 Tahun 1999, menyebutkan bahwa : Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a.       Seseorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b.      Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c.       Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d.      Pemerintah dan atau instansi terkait apabila barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum. Ketentuan lebih lanjut menegenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan peraturan pemerintah.
Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan di atas, yang dapat mengajukan gugatan dalam ketentuan Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah setiap konsumen yang dirugikan, ahli warisnya, baik berupa perseorangan maupun kelompok, lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat dan pemerintah. 
Dengan pertimbangan Majelis BPSK pelaku usaha dalam hal ini sebagai Tergugat ingin mengajukan banding karena pelaku usaha merasa BPSK Kota Makassar tidak berwenang mengadili perkara ini yang dimana hubungan hukum antara Penggugat dan Tergugat berawal dari perjanjian hutang piutang secara Fiducia dan penyelesaiaannya harus melalui jalur badan peradilan umum.
A.    Tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen
1.      Melanjutkan/membatalkan Perjanjian
Tanggung jawab menurut kamus bahasa indonesia adalah, keadaan wajib menaggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab menurut kamus umum bahasa indonesia adalah berkewajiban menanggung,memikul, menanggung segala sesuatunya, dan menanggung akibatnya. [14]Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadarankan kewajiban. [15]Tanggung jawab itu bersifat kodrati, artinya sudah menjadi bagian hidup manusia, bahwa setiap manusia di bebani dengan tanggung jawab, apabila dikaji tanggung jawab itu adalah kewajiban yang harus di pikul sebagai akibat dari perbuatan pihak yang berbuat. Tanggung jawab adalah ciri manusia yang beradab, manusia merasa bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik atau buruk perbuatannya itu, dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengadilan atau pengorbanan.[16]
Teori hukum Hans kelsen Suatu konsep yang terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggungjawab hukum (liability). Seseorang yang bertanggungjawab secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatannya bertentangan/ berlawanan hukum. Sanksi dikenakan karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut bertanggungjawab. [17]Tanggung jawab pada perjanjian dapat berupa membatalkan/melanjutkan perjanjian dan ganti kerugian.
Pengertian pembatalan di sini bukanlah pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif dalam perjanjian, tetapi karena debitur telah melakukan wanprestasi. Jadi, pembatalan yang dimaksudkan adalah pembatalan sebagai salah satu kemungkinan yang dapat dituntut kreditur terhadap debitur yang telah melakukan wanprestasi. [18]Selain dapat mengajukan tuntutan pembatalan, kreditur dapat pula mengajukan tuntutan yang lain yaitu pembatalan perjanjian dan ganti kerugian, ganti kerugian saja, pemenuhan perikatan atau pemenuhan perikatan dan ganti kerugian. Namun, perlu juga dikemukakan di sini bahwa sementara ahli ada yang menyebut dengan istilah pemutusan perjanjian untuk maksud yang sama dengan pembatalan perjanjian. [19]
Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal-balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana, namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.
Perumusan Pasal 1266 BW di atas ini ternyata mengandung berbagai macam kontradiktif dan menimbulkan kesan sedemikian rupa, seakan-akan perjanjian batal dengan sendirinya kniena hukum begitu debitur melakukan wanprestasi, padahal pembatalan perjanjian tersebut harus dimintakan hakim. Selain itu, juga menimbulkan kesan seakan akan debitur juga berhak menuntut pembatalan perjanjian, padahal menurut Pasal 1266 BW itu yang berhak menuntut pembatalan perjanjian hanyalah kreditur.
2.      Ganti Kerugian
Dalam penerapan ketentuan yang berada dalam lingkungan hukum privat tersebut, terdapat perbedaan esensial antara tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada wanprestasi dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum. [20]Apabila tuntutan ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi, maka terlebih dahulu tergugat dengan penggugat (produsen dengan konsumen) terikat suatu perjanjian. Dengan demikian, pihak ketiga (bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan alasan wanprestasi. Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak dipenuhinya kewajiban utama atau kewajiban sampingan (kewajiban atas prestasi atau kewajiban jaminan/garansi) dalam perjanjian. Bentuk-bentuk wanprestasi dapat berupa:[21]
a.       Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;
b.      Debitur terlambat dalam memenuhi prestasi;
c.       Debitur berprestasi tidak sebagaimana mestinya
Terjadinya wanprestasi pihak debitur dalam suatu perjanjian, membawa akibat yang tidak mengenakkan bagi debitur karena debitur harus[22]
a.       Mengganti kerugian;
b.      Benda yang menjadi objek perikatan sejak terjadinya wanprestasi menjadi tanggung gugat debitur;
c.       Jika perikatan itu timbul dari perikatan timbal balik, kreditur dapat minta
pembatalan (pemutusan) perjanjian.
Sedangkan untuk menghindari terjadinya kerugian bagi kreditur karena terjadinya wanprestasi, maka kreditur dapat menuntut salah satu dari lima kemungkinan:
a.       Pembatalan (pemutusan) perjanjian;
b.      Pemenuhan perjanjian;
c.       Pembayaran ganti kerugian;
d.      Pembatalan perjanjian disertai ganti kerugian;
e.       Pemenuhan perjanjain disertai ganti kerugian.
Dalam tanggung gugat berdasarkan adanya wanprestasi kewajiban untuk membayar ganti kerugian tidak lain daripada akibat penerapan ketentuan dalam perjanjian, yang merupakan ketentuan hukum yang oleh kedua pihak secara suka rela tunduk berdasarkan perjanjiannya. Dengan demikian, bukan undang-undang yang menuntut apakah harus dibayar ganti kerugian atau berapa besar ganti kerugian yang harus dibayar melainkan kedua belah pihak yang menentukan syarat-syaratnya serta besarnya ganti kerugian yang harus dibayar. Disamping ketentuan yang terdapat dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak, ketentuan ganti kerugian yang bersumber dari hukum pelengkap juga harus mendapat perhatian, seperti ketentuan tentang wanprestasi dan cacat tersembunyi serta ketentuan lainnya. Ketentuan-ketentuan ini melengkapi ketentuan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, dan ketentuan ini hanya dapat dikesampingkan
jika para pihak menjanjikan lain. [23]
Dengan mengkaji pasal demi pasal dalam UUPK, tampak bahwa beberapa ketentuan yang tertera dalam UU tersebut sesuai dengan nilai-nilai etika bisnis, walaupun dengan redaksi yang berbeda akan tetapi substansi dan tujuannya adalah sama yaitu untuk melindungi konsumen. Hal ini dapat terlihat dari aturan-aturan mengenai keharusan beritikad baik dalam melakukan usaha (pasal 7 huruf a ), jujur (pasal 7 huruf b), jujur dalam takaran atau timbangan (pasal 8 ayat (1), huruf a, b, c, d, e), menjual barang yang baik mutunya (pasal 8 ayat (2, 3, 4)), larangan menyembunyikan barang yang cacat (pasal 8) dan lain sebagainya.  Itikad baik dalam bisnis merupakan hakekat dari bisnis itu sendiri. Itikad baik akan menimbulkan hubungan baik dalam usaha. [24]
Dengan itikad baik pelaku usaha tidak akan melakukan usaha yang merugikan pihak lain. Dalam Islam itikad baik diwujudkan dalam dua bentuk yaitu itikad baik menuntut seseorang berbuat baik kepada orang lain, dan menuntut agar tidak berbuat jahat/ merugikan orang lain. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an : an nisa 29.
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu Ayat ini menerangkan hukum transaksi secara umum, lebih khusus kepada transaksi perdagangan, bisnis jual beli. Sebelumnya telah diterangkan transaksi muamalah yang berhubungan dengan harta, seperti harta anak yatim, mahar, dan sebagainya.
Dalam ayat ini Allah mengharamkan orang beriman untuk memakan, memanfaatkan, menggunakan, (dan segala bentuk transaksi lainnya) harta orang lain dengan jalan yang batil, yaitu yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Kita boleh melakukan transaksi terhadap harta orang lain dengan jalan perdagangan dengan asas saling ridha, saling ikhlas. Dan dalam ayat ini Allah juga melarang untuk bunuh diri, baik membunuh diri sendiri maupun saling membunuh.
Konsumen menjadi obyek aktifitas bisnis untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan Undang-Undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif. Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini mengacu pada filosofi pembangunan nasional, bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-undang Dasar 1945.





























BAB IV
KESIMPULAN
1.      Aturan hukum tentang penyelesaian sengketa konsumen sudah memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen melalui BPSK dan Pengadilan Negeri. BPSK dijadikan pertimbangan oleh hakim pengadilan Negeri. Namun putusan BPSK tersebut tidak dijadikan dasar pertimbangan hakim.
2.      Tanggung jawab terhadap konsumen jika wanprestasi dapat dilakukan dengan melanjutkan/membatalkan perjanjian dan mengganti kerugian yang ditimbulkan akibat wanprestasi tersebut.























DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad. Hukum Perdata Indonesia. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. 2014.
Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2013
Az Nasution, Konsumen dan Hukum, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,2004
Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Perlindungan Konsumen Indonesia , Cet.2, Jakarta, 2005.
Bagus Arif Andrian Manusia dan Tanggungjawab, Jakarta : Sinar Grafika 2011
Celina Tri Siwi Kristianti, Hukum Perlindungan Konsumen . Jakarta : Sinar Grafika, 2011
Departemen Pendidikan Nasional Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka 2010
Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Hans kelsen diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien Teori Hans Kelsen Mengenai Pertanggungjawaban, Bandung : Penerbit Nusa Media 2013
Janus Sidabalok, Hukum perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. 2004.
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang. Bayumedia Publishing, 2006.
Kamus Hukum. Bandung. Citra Umbara. 2008.
Kementrian agama RI. Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid. Jawa Barat. Sygma creative media corp. 2014..
Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti 2011
Neni Sri Imaniyati ,Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam dalam Perkembangan, Bandung : Mandar Maju, 2002.
R.Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 19, Jakarta: PT. Intermasa, 2002.
Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, Jakarta : Djambatan, 2000.
Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK Teori dan Praktek Penegakan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003.
Sumber Internet
www.https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1116051059-3-BAB%20II.pdf pada tanggal 13 mei 2018, pukul 00.00 WIB
Informasi Media, Sejarah Perlindungan Konsumen diakses dari: http://wenjack perlindungankonsumen.blogspot.co.id/ pada tanggal 09 mei 2018, pukul 23.00 WIB  
Informasi Media, Pengertian Perlindungan Konsumen diakses dari: http://blajarhukumperdata.blogspot.co.id/2014/07/perlindungan-konsumen.html, pada tanggal 14
Informasi Media, Pengertian Perlindungan Konsumen http//id.m.wikipedia.org/2012/6/pengertian-perlindungan-konsumen.html3, pada tanggal 09 mei 2018, pukul 18.18 WIB







[1] Peter Mahmud Marzuki, Pembaruan Hukum Ekonomi Indonesia, Universitas AirlanggaSurabaya, tanpa tahun, h. 8.
[2] Informasi Media, Pengertian Perlindungan Konsumen diakses dari: http://belajarhukumperdata.blogspot.co.id/2014/07/perlindungan-konsumen.html, pada tanggal 09 mei 2018, pukul 22.00 WIB
[3] Informasi Media, Sejarah Perlindungan Konsumen diakses dari:http://wenjackperlindungankonsumen.blogspot.co.id/ pada tanggal 14 januari 2016, pukul 23.00 WITA
[4] Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Cet. 2, (Jakarta: Diadit Media, 2002), h. 22
[5] Kementrian agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid (Jawa Barat, Sygma creativemedia corp, 2014), h. 25
[6] Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Perlindungan Konsumen Indonesia , Cet.2, (Jakarta:2005), h. 5.
[7] Az. Nasution, Iklan dan Konsumen (Tinjauan dari sudut hukum dan perlindungankonsumen) dalam manajemen dan usahawan Indonesia), Nomor 3, thn. XXII, LPM FE-UI, Jakarta 1994, h. 23.
[8] Informasi Media, Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hukum, Pelaku Usaha dan Konsumen https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1016051123-3-bab%202.pdf, pada tanggal 15 januari 2016, pukul 01.00 WITA
[9] Janus Sidabalok, Hukum perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti 2004), h. 75
[10] Agnes M. Toar, Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembangannya di Beberapa Negara (Bandung: BPHN-Binacipta, 2014), h.105..
[11] Mark E. Rowszkowski, Hukum Prinsip Bisnis (Medan: Bina Media, 2000), h.436.
[12] Sudikno Martolusuma, Hukum Acara Perdata Indonesia. (Liberty yogyakarta, , 1988) h 35
[13] Redaksi Aksara, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Yogyakarta : Redaksi Aksara
sukses, 2013, h 470
[14] Departemen Pendidikan Nasional Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka2010, h 165
[15] Bagus Arif Andrian Manusia dan Tanggungjawab, Jakarta : Sinar Grafika 2011
[16] Ibid.,
[17] Hans kelsen diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien Teori Hans Kelsen Mengenai Pertanggungjawaban, Bandung : Penerbit Nusa Media 2013 h 141
[18] Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti 2011
[19] Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti 2011
[20] Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2013, h 72
[21] ibid
[22] Purwahid Patrik, Dasar-dasar hukum perikatan (Perikatan yang lahir dari perjanjian dan dari Undang-undang), Bandung : Mandar Maju, 1994, h 11
[23] ibid
[24] Purwahid Patrik, op.cit., h 12

Share:

0 komentar:

Post a Comment