BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Di dalam kehidupan suatu keluarga atau rumah tangga di
samping masalah hak dan kewajiban sebagai suami isteri, maka masalah harta
benda dan lain sebagainya adalah merupakan pokok pangkal yang menjadi sebab timbulnya
berbagai perselisihan atau ketegangan dalam ruang lingkup suatu perkawinan,
sehingga mungkin akan menghilangkan kerukunan antara suami dengan isteri dalam
kehidupan suatu keluarga.
Sehubungan dengan itu, maka timbullah asumsi
masyarakat, yaitu kebutuhan akan suatu peraturan yang mengatur mengenai harta
benda dalam suatu perkawinan. Untuk menjaga kerukunan hidup suami istri dan
mangimbangi hak talak atas inisiatif suami maka diperlulan taklik talak.. Oleh
karena itu dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai taklik talak
yang terdiri dari perjanjian pemisahan harta bawaan dan pelanggaran perjanjian
perkawinan.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
yang dimaksud dengan taklik talak ?
2. Apa
dasar hukum adanya taklik talak ?
3. Bagaimana
syarat taklik talak yang berlaku di indonesia?
C.
TUJUAN
Makalah ini dibuat untuk menambah wawasan keilmuan
tentang taklik talak, karena mau tidak mau kita semua akan dihadapkan oleh
persoalan rumah tangga, entah yang bermasalah itu kita ataupun saudara dan
teman sehingga kita dapat membantu mereka dalam mencari solusi agar lebih
maslahat dan tetap dalam syariat yang diridhai ALLAH.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN TAKLIK TALAK
Taklik
talak berasal dari dua kata yaitu taklik dan talak, dari segi bahasa taklik
berasal dari kata ( علق ) yang
mempunyai arti “menggantungkan”. Sedangkan kata talak berasal dari kata bahasa
arab yaitu ( طلق ) yang artinya melepaskan
atau meninggalkan.[1]
sedangkan menurut istilah taklik talaq itu adalah bentuk perjanjian dalam
perkawinan yang di dalamnya disebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh
suami.[2]
Menurut Sayuti Thalib taklik talak
adalah suatu talak yang digantungkan jatuhnya pada suatu hal yang telah diperjanjikan itu dan jika hal
atau syarat yang telah diperjanjikan itu dilanggar oleh suami, maka terbukalah
kesempatan mengambil inisiatif untuk talaq oleh istri, kalau ia menghendaki
demikian itu.[3]
Dalam kompilasi Hukum Islam pasal 1
poin e menyebutkan bahwa taklik-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon
mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji
talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di
masa yang akan datang.
B. DASAR
HUKUM TAKLIK TALAK
1. Berdasarkan
Al-quran
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ
بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا
بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ ۚ
وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Dan
jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya,
maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya,
dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut
tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan
memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat
ini menjadi dasar untuk merumuskan tata cara dan syarat bagi taklik talak
sebagai perjanjian perkawinan. Taklik talak mempunyai arti suatu talak yang
digantungkan jatuhnya pada terjadinya suatu hal yang memang mungkin terjadi
yang telah disebutkan terlebih dahulu dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan
terlebih dahulu.[4]
Begitu
juga diriwayatkatkan dari Imam Bukhari dalam hal perjanjian. Kata Nabi Muhammad
SAW:
كل شرط ليس في كتاب الله فهوا باطل وان كان مئة شروط[5]
Artinya: “Segala
syarat yang tidak terdapat didalam kitabullah adalah batal, sekalipun seratus kali
syarat”(Muttafaq „alaih)
Dari hadist di
atas dapat diambil kesimpulan bahwa setiap perjanjian yang dilakukan oleh suami
istri selama tidak bertentangan dengan hukum Islam maka harus ditepati.
2. Berdasarkan
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pasal 45, yang terdiri
dari:
Kedua calon mempelai
dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:
a) Taklik
talak
b) Perjanjian
lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam
Pasal
46, yang berisi:
a) Isi
taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum islam
b) Apabila
keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak
dengan sendirinya talak jatuh, istri harus mengajukannya ke Pengadilan Agama.
c) Perjanjian
taklik talak bukan perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan
tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut.
C.
TALAK DITINJAU DARI SEGI PENGUCAPANNYA
1.
Talaq
Munjiz ialah talaq yang
telah jatuh disaat suami selesai mengucapkan sighat talaq, seperti perkataan
suami kepada isterinya “aku jatuhkan talaqku satu kali kepadamu“. Talaq
tersebut jatuh di saat suami selesai mengucapkan sighat talaq.
2.
Talaq Mudhaf
ialah talak yang di kaitkan dengan waktu tertentu. Misalnya seorang suami
mengatakan kepada istrinya ; ‘tanggal 1 bulan depan kamu saya talak’. Mayoritas
ulama berpendapat bahwa talak yang di ucapkan dalam kondisi semacam ini
terlaksana jika waktu jatuh temponya sudah dating. Sehingga sang istri tertalak
sejak datangnya waktu yang disebutkan oleh suami sebagi kalimat talak.
3.
Talaq
Mu’allaq ialah talaq yang
jatuh apabila telah ada syarat yang disebutkan suami dalam sighat akad yang
telah diucapkannya dahulu atau syarat yang ditetapkan kemudian setelah akad
nikah. Syarat tersebut terbagi menjadi dua yaitu :
a.
Yang
berhubungan dengan tindakan atau peristiwa. Seperti suami berkata kepada
isterinya “apabila engkau masih menemui laki-laki A, maka disaat engkau bertemu
itu jatuhlah talaqku satu kali di atasmu”. Sighat talaq yang seperti ini adalah
sah, dan talaq suami jatuh kepada isterinya apabila syarat yang dimaksud telah
ada, yaitu si isteri telah menemui laki-laki
b.
Yang
berhubungan dengan datangnya masa yang akan datang. Seperti suami berkata
kepada isterinya: “Talaqku jatuh atasmu pada bulan Muharram yang akan datang.
Dari pada itu ada beberapa syarat yang harus ada untuk menentukan
jatuhnya talaq muallaq:
1.
Maksud
suami mengucapkan perkataan tersebut ialah dengan niat untuk menyatakan
kehendaknya menjatuhkan talaq kepada isterinya. Apabila maksud suami mengucapkan
perkataan tersebut bukan untuk menjatuhkan talaq kepada isterinya, tetapi hanya
sebagai sumpah atau untuk menguatkan ucapannya saja, maka sighat itu tidak sah
dan talaq tidak jatuh. Dan sumpah itu dapat dilanggar dengan membayar kafarat
sumpah.
2.
Peristiwa
tindakan atau masa yang disyaratkan itu mungkin terjadi atau mungkin ada atau
mungkin akan datang. Apabila peristiwa tindakan atau masa itu tidak mungkin
terjadiatau tidak mungkin ada tahu mustahil akan datang, maka sighat tersebut
adalah talaq yang batal, seperti suami mengatakan kepada isterinya: ”Apabila
kuda telah bertanduk maka jatuhlah talaqku satu kali kepadamu”
D. SYARAT-SYARAT
TAKLIK TALAK
Jumhur
ulama fiqh mengemukakan tiga syarat bagi berlakunya taklik talak:
a. Syarat
tersebut adalah sesuatu yang belum ada, belum terjadi dan mungkin terjadi. Misalnya:
ucapan suami pada istrinya “ jika kamu keluar negeri tanpa seizin saya, maka
talakmu jatuh”, artinya keluar negeri sesuatu yang belum terjadi tetapi mungkin
terjadi. Maka taklik al-Muallaq jatuh sendirinya.
b. Ketika
lafal taklik talak diucapkan suami, wanita tersebut masih berstatus istri.
c. Ketika
syarat yang dikemukakan dalam lafal taklik talak terpenuhi, wanita tersebut
masih berstatus istri.[6]
Syarat
yang kedua dan ketiga, seorang istri yang ditaklikkan talaknya harus dalam
keadaan dapat dijatuhi talak.
Adapun
keadaan itu adalah:
a) Berada
dalam ikatan suami-istri secara sah
b) Bila
dalam keadaan talak raj‟I atau iddah talak ba‟in sughra, sebab dalam
keadan-keadaan seperti ini secara hukum ikatan suami istri masih berlaku sampai
habisnya mas iddah.
c) Jika
perempuan berada dalam pisah badan karena dianggap sebagai talak, seperti pisah
badan karena suami tidak mau Islam, jika istrinya masuk Islam, atau karena
ila‟. Keadaan seperti ini diaap talak oleh golongan Hanafi.[7]
Sedangkan syarat dalam rumusan taklik talak,
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 tahun 1990 berbunyi
sebagai berikut: Sewaktu-waktu saya:
(1) Meninggalkan
istri saya dua tahun berturut-turut;
(2) Atau
saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya;
(3) Atau
saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu;
(4) Atau
saya membiarkan (tidak memedulikan) istri saya enam bulan lamanya; Kemudian
istri saya tidak ridlo dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau
petugas yang memberinya hak untuk mengurus pengaduan itu dan pengaduannya
dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan atau petugas tersebut, dan istri saya
membayar uang sebesar Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti)
kepada saya, maka jatuhlah talak satu saya kepadanya.
Dikutip
dari Akta Nikah yang diterbitkan oleh Kementrian Agama RI.
Suami[8]
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Bahwa yang di
maksud taklik talak adalah suatu talak yang digantungkan pada suatu yang
mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian, setelah akad
nikah.
Dan yang menjadi dasar
hukum adanya taklik talak adalah Al-quran Surah An-Nisa ayat 128 :
وَإِنِ
امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ
الشُّحَّ ۚ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرًا
Dan jika seorang
wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak
mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya
kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu
(dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[1]
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia,
Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsiran al-Qur‟an,Jakarta, tahun 1972,
hlm.227
[2] Syarifudin,
Amir. 2014. Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia. Kencana. Jakarta. Hlm.225
[3] Sayuti
Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: Yayasan Penerbit VI, 1974,
hlm.119
[5]
Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Bukhari, Beirut:
Darul Kutub al-ilmiyah, juz. 5, tth, hlm. 44
[6] Abdul
Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996,
hlm. 1781
[8]
Dikutip dari Akta Nikah yang diterbitkan oleh Kementrian Agama RI
0 komentar:
Post a Comment