Bagian Ketiga: Kehidupan, Pikiran, dan
Materi
Sumber:google.com
Bab 10. Dialektika Geologi
Ada sebuah pepatah Inggris yang mengatakan, “sekokoh tanah yang
kita pijak.” Sekalipun ide ini begitu menenteramkan hati kita, ia jauh sekali
dari kenyataan. Bumi di bawah kaki kita tidaklah sekokoh yang kita pikirkan.
Bebatuan, pegunungan, benua-benua itu sendiri, terus-menerus berada dalam
keadaan bergerak dan berubah. Karakter geologi ini baru setengah abad
belakangan saja dipahami orang. Geologi adalah ilmu tentang pengamatan dan
penjelasan dari semua fenomena yang terjadi di permukaan dan di kedalaman
planet ini. Tidak seperti ilmu alam lainnya seperti fisika dan kimia, geologi
mendasarkan dirinya, bukan pada eksperimen melainkan pada pengamatan. Sebagai
akibatnya, perkembangannya ditentukan sekali oleh bagaimana hasil-hasil
pengamatan tersebut dianalisa. Ini, pada gilirannya, ditentukan oleh
kecenderungan filsafat dan agama pada jamannya. Fakta ini menjelaskan
kelambatan dalam perkembangan ilmu geologi dibandingkan ilmu-ilmu alam lainnya.
Baru pada tahun 1830 Charles Lyell, salah satu bapak geologi modern,
menunjukkan bahwa bumi berusia jauh lebih tua daripada apa yang dikatakan oleh
Kitab Kejadian. Pengukuran lanjut berdasarkan peluruhan radioaktif membenarkan
hal ini dan menetapkan bahwa bumi dan bulan berusia sekitar 4,6 miliar tahun.
Sejak awal manusia
telah sadar akan fenomena-fenomena seperti gempa bumi dan ledakan gunung yang
mengungkapkan kekuatan mahadahsyat yang tersumbat di bawah permukaan bumi. Tapi
sampai abad ini fenomena-fenomena itu selalu dianggap sebagai akibat para dewa.
Poseidon-Neptunus adalah “sang pengguncang bumi” sementara Vulcan-Hephistes
adalah dewa pandai besi yang pincang, yang tinggal di perut bumi, dan
menyebabkan gunung meletus setiap kali ia mengayunkan godamnya. Para geolog di
abad ke-18 dan 19 terdiri dari para aristokrat dan biarawan, yang percaya,
bersama Uskup Ussher, bahwa bumi diciptakan oleh Tuhan pada tanggal 23 Oktober
4004 SM. Untuk menjelaskan ketidakberaturan pada permukaan bumi, seperti lembah
dan pegunungan tinggi, mereka mengembangkan sebuah teori –catastrophism – yang mencoba membuat fakta-fakta
yang teramati cocok dengan kisah-kisah bencana dalam kitab suci, seperti kisah
tentang Air Bah. Tiap musibah menyapu bersih seluruh spesies, yang merupakan
penjelasan yang nyaman untuk fosil-fosil yang mereka temukan terkubur jauh di
dalam bebatuan di tambang-tambang batubara.
Bukan sebuah
kebetulan bahwa teori katastropik mendapat pijakan paling kuat di Prancis, di
mana Revolusi Besar 1789-94 memiliki pengaruh yang paling kuat atas psikologi
semua kelas, yang gemanya masih terus merambat sampai ke generasi sekarang.
Bagi mereka yang berniat melupakannya, revolusi 1830, 1848 dan 1870 merupakan peringatan
yang sangat jelas atas pengamatan Marx yang tajam bahwa Prancis adalah negeri
di mana perjuangan kelas selalu dilakukan sampai garis finis. Bagi Georges
Cuvier, seorang naturalis dan geolog Prancis abad ke-19 yang terkenal itu,
perkembangan bumi ditandai dengan “sederetan masa-masa pendek yang mengandung
perubahan yang intensif, dan tiap masa menandai satu titik balik dalam sejarah.
Di antara masa-masa itu, terdapat masa-masa stabilitas yang panjang dan
membosankan. Seperti Revolusi Prancis, setelah masa penuh gejolak, segala
sesuatunya berubah. Seperti itu pula, waktu geografis dibagi-bagi menjadi
bab-bab yang terpisah, masing-masing dengan tema dasarnya sendiri.”[1]
Jika Prancis adalah negeri klasik bagi revolusi dan
kontra-revolusi, Inggris adalah negeri klasik bagi reformisme dan gradualisme.
Revolusi borjuis Inggris, seperti yang terjadi di Prancis, juga terjadi dengan
sangat berdarah-darah, di mana sang Raja kehilangan kepalanya, demikian juga
banyak orang lain. Sejak itu “kelas-kelas terhormat” di Inggris telah berusaha
keras untuk melupakan hal ini. Mereka jauh lebih suka mengingat“Revolusi
Gemilang” 1688, sebuah kudeta yang sama sekali tidak gemilang di mana seorang
avonturir Belanda bertindak sebagai makelar politik dalam perebutan kekuasaan
antara orang-orang kaya baru dari Kota dengan para aristokrat. Kejadian ini
telah menyediakan basis teoritik bagi tradisi Anglo-Saxon tentang gradualisme
dan “kompromi”.
Kejijikan terhadap perubahan revolusioner dalam segala bentuknya
diterjemahkan ke dalam sebuah keinginan yang obsesif untuk menghapus segala
jejak lompatan mendadak yang terjadi di alam maupun masyarakat. Lyell
mengajukan sebuah pandangan yang berseberangan dengan katastropisme.
Menurutnya, garis batas antara berbagai lapisan geologis tidak menunjukkan
adanya perubahan mendadak tapi sekedar mencatat pergeseran pola transisi antara
dua lingkungan habitat yang berdekatan. Tidak perlu kita mencari satu pola global.
Masa-masa geologis hanyalah satu metode klasifikasi yang enak dilihat, agak
mirip dengan pembagian sejarah Inggris menurut siapa yang sedang berkuasa.
Engels memuji sumbangan Lyell untuk kemajuan geologi:
“Lyell adalah orang yang pertama membawa nalar ke dalam geologi
dengan menggantikan revolusi-revolusi mendadak yang ditentukan oleh kehendak
dari sang Pencipta dengan transformasi perlahan-lahan yang dialami bumi.”
Walau demikian, ia juga mengakui kelemahan Lyell;
“Kecacatan dari
pandangan Lyell – setidaknya dalam bentuk awalnya – terletak pada pandangan
bahwa kekuatan-kekuatan yang bekerja pada bumi adalah konstan, baik secara
kuantitas maupun kualitas. Pendinginan pada bumi tidak diakuinya; bumi tidak
berkembang menuju arah tertentu tapi hanya berubah dalam cara yang kebetulan
dan tidak beraturan.”[2]
Peter Westbrock menulis:
“Pandangan-pandangan
ini mencerminkan filsafat sejarah geologis yang dominan– di satu pihak
katastropisme, paham tentang stabilitas yang diganggu oleh masa-masa perubahan
cepat yang singkat, dan di pihak lain, gradualisme, ide tentang fluktuasi yang
kontinu. Pada masa Coquand, katastropisme pada umumnya diterima di Prancis,
tapi simpati untuk filsafat ini dengan cepat pudar, karena alasan-alasan
praktis. Teori geologis harus dibangun dari nol. Para pendiri ilmu geologi
dipaksa untuk menerapkan prinsip-prinsip masa kini sebagai kunci untuk memahami
masa lalu seketat mungkin. Katastropisme tidak terlalu berguna persis karena ia
mengklaim bahwa kondisi geologis dari satu masa berbeda secara mendasar dengan
kondisi di masa yang menyusulnya. Dengan teori geologis yang jauh lebih maju,
yang sekarang ini ada di tangan kita, kita dapat mengambil sikap yang lebih
fleksibel. Menariknya, katastropisme kini sedang mendapatkan kembali
momentumnya.”[3]
Argumen antara gradualisme dan katastropisme sebenarnya hanya di
permukaan saja. Hegel telah membahas persoalan ini dengan menciptakan garis
pengukuran nodal, di mana akumulasi perubahan kuantitatif yang perlahan-lahan
melahirkan lompatan kualitatif secara berkala. Gradualisme terinterupsi, sampai
satu kesetimbangan baru dapat ditegakkan, tapi pada tingkatan yang lebih tinggi
daripada sebelumnya. Proses perubahan geologis ini bersesuaian persis dengan
model Hegel dan kini telah terbukti secara meyakinkan.
Teori Wegener
Pada awal abad ke-20,
Alfred Wegener, seorang ilmuwan Jerman, terhenyak oleh kemiripan antara garis
pantai Amerika Selatan dengan Pantai Barat Afrika. Di tahun 1915 ia menerbitkan
teorinya tentang pergeseran benua, yang berdasarkan asumsi bahwa, di satu waktu
di masa lalu, semua benua adalah bagian dari satu massa daratan mahabesar
(Pangaea), yang kemudian pecah menjadi daratan yang terpisah-pisah, saling
bergerak menjauh, akhirnya membentuk benua-benua yang sekarang. Teori Wegener
tentu saja gagal memberi penjelasan ilmiah tentang mekanisme pergeseran benua
ini. Walau demikian, tetap saja teori inimerupakan sebuah revolusi yang besar
dalam geologi. Namun, teori itu ditolak mentah-mentah oleh komunitas geolog
yang konservatif. Geolog Chester Longwell malah berkomentar bahwa kecocokan
garis pantai benua-benua adalah “tipuan setan” untuk menyesatkan kita. Selama
60 tahun berikutnya perkembangan geologi sangat terhambat oleh dominasi teori
“isostasi”, sebuah teori steady state yang
hanya menerima pergerakan vertikal dari benua-benua. Bahkan atas dasar
hipotesis yang sangat keliru inipun langkah-langkah besar telah ditapakkan,
yang menyiapkan lahan untuk negasi atas teori yang semakin tidak sesuai dengan
fakta yang teramati.
Seperti yang sering terjadi dalam sejarah ilmu pengetahuan,
kemajuan teknologi yang terikat dengan kebutuhan produksi menyediakan
rangsangan untuk perkembangan ide-ide. Pencarian minyak oleh perusahaan minyak
besar semacam Exxon telah membawa kita pada banyak penemuan baru untuk
penyelidikan geologi dasar laut, dan perkembangan metode-metode baru untuk
memetakan profil bumi dengan gempa buatan, pengeboran dasar laut dan
metode-metode baru untuk mengukur umur fosil. Di pertengahan 1960-an, Peter
Vail, seorang ilmuwan di laboratorium utama Exxon, memulai telaah tentang
ketidakberaturan dalam pola-pola linear di dasar laut. Vail bersimpati dengan
pandangan Prancis lama tentang evolusi yang terinterupsi, dan percaya bahwa
patahan-patahan dalam proses ini merupakan titik balik geologis yang utama.
Pengamatannya mengungkapkan pola perubahan lapisan sedimen yang kelihatannya
sama di seluruh dunia. Ini adalah bukti yang kuat bagi interpretasi dialektik
atas proses geologis.
Hipotesis Vail disambut dengan skeptis oleh rekan-rekannya. Jan
van Hinte, ilmuwan Exxon lainnya, mengenang: “Kami para paleontologis tidak
percaya satu pun kata yang diucapkannya. Kami semua dibesarkan dalam tradisi
Anglo-Saxon tentang perubahan gradual, dan teorinya berbau katastropisme.”
Lebih jauh, pengamatan Jan van Hinte sendiri atas fosil dan catatan seismik di
Laut Tengah, mengungkapkan hal yang persis sama dengan Vail, dan umur bebatuan
bersesuaian dengan prediksi Vail. Gambaran yang kini muncul adalah sepenuhnya
dialektik:
“Adalah satu fitur
yang umum di alam: setetes air yang membuat air seember tumpah. Sebuah sistem
yang secara internal stabil terus digerogoti oleh kekuatan dari luar sampai ia
runtuh. Satu rangsangan kecil yang mendorong satu perubahan yang dramatik, dan
sebuah situasi yang sama sekali barupun tercipta. Ketika permukaan laut naik,
sedimen tertumpuk secara perlahan pada lempeng benua. Ketika permukaan laut
turun, tumpukan itu menjadi tidak stabil. Ia masih bertahan selama beberapa
waktu, dan - Bum! Sebagian darinya meluncur ke dalam laut. Lama-kelamaan,
permukaan laut mulai naik kembali sedikit demi sedikit, dan tumpukan sedimen
itu mulai terjadi lagi.”[4]
Kuantitas berubah menjadi kualitas ketika di akhir 1960-an,
ketika sedang dilakukan pengeboran laut-dalam ditemukan bahwa dasar laut Atlantik
sedang bergerak saling menjauhi. “Mid-Ocean Ridge” (yakni, deret pegunungan
dasar laut yang terletak di Atlantik) memberikan indikasi bahwa benua Amerika
sedang bergerak menjauh dari massa-daratan Eurasia [benua Eropa dan Asia]. Ini
adalah titik awal bagi perkembangan sebuah teori baru, teori lempeng tektonik,
yang telah merevolusionerkan seluruh ilmu geologi.
Di sini kita dapati
lagi contoh tentang bekerjanya hukum dialektika negasi dari negasi, yang
diterapkan dalam sejarah ilmu pengetahuan. Teori asli Wegener tentang
pergeseran benua dinegasi oleh teori steady state isostasi.
Yang belakangan ini, pada gilirannya, dinegasi lagi oleh teori lempeng
tektonik, yang menandai pengukuhan kembali teori lama tapi pada tingkat
kualitas yang lebih tinggi. Teori Wegener adalah teori yang gemilang dan pada
dasarnya tepat, tapi ia gagal menjelaskan mekanisme pergeseran benua itu. Kini,
berdasarkan penemuan-penemuan dan pencapaian ilmiah dari separuh abad terakhir,
kita bukan hanya tahu bahwa pergeseran benua adalah sebuah fakta, tapi kita
juga dapat menjelaskan persisnya bagaimana hal itu dapat terjadi. Teori yang
baru ini berada pada tingkat yang jauh lebih tinggi daripada pendahulunya,
dengan pemahaman yang lebih dalam tentang mekanisme kompleks yang ditempuh planet
ini dalam evolusinya.
Teori ini sejajar dengan penemuan Darwin di bidang biologi.
Evolusi berlaku bukan hanya pada materi yang hidup tapi juga pada materi yang
tidak hidup. Sesungguhnya, keduanya saling merasuki dan saling mengondisikan.
Proses alami yang kompleks saling terhubung satu sama lain. Materi organik –
kehidupan – niscaya muncul dari materi anorganik pada titik tertentu. Tapi
kehadiran materi organik pada gilirannya menghasilkan efek-efek yang mendasar
pada lingkungan fisiknya. Contohnya, kehadiran tumbuhan yang menghasilkan
oksigen memiliki sebuah efek yang menentukan terhadap atmosfer dan, dengan
demikian, pada kondisi iklim. Perkembangan planet dan kehidupan di bumi kaya
dengan contoh-contoh dialektika alam: perkembangan melalui kontradiksi dan
lompatan-lompatan, masa-masa perubahan “molekular” yang lambat dan panjang yang
disela oleh perubahan yang penuh gejolak, dari tumbukan benua sampai kepunahan
spesies. Lebih jauh lagi, penyelidikan yang lebih dekat mengungkapkan bahwa
lompatan-lompatan dan gejolak yang mendadak dan nampaknya tak terjelaskan itu
biasanya memiliki akar dari masa-masa perubahan yang lambat dan gradual yang
mendahuluinya.
Apa itu Lempeng Tektonik?
Sumber:google.com
Permukaan bumi yang semula cair dan mendidih akhirnya mendingin
sampai cukup untuk membentuk sebuah kerak, yang membungkus gas dan batuan cair
di bawahnya. Permukaan planet ini terus-menerus direncah oleh ledakan gunung,
melontarkan gumpalan-gumpalan lava. Secara perlahan, satu kerak yang lebih
tebal pun terbentuk, yang seluruhnya terbuat dari batuan vulkanik. Pada waktu
itu, terbentuklah benua kecil yang pertama dari lautan batuan cair (magma) dan
kerak dasar lautpun mulai terbentuk juga. Gas-gas dan uap dari ledakan vulkanik
mulai menipiskan atmosfer, menyebabkan terjadinya badai petir yang dahsyat.
Karena suhu tinggi, masa-masa ini adalah masa bencana-bencana besar,
ledakan-ledakan, dengan kerak benua yang terbentuk kemudian dihancurkan
kembali, lalu terbentuk kembali dalam keadaan setengah cair, pembentukan
kristal dan tumbukan-tumbukan, pada skala yang jauh lebih besar daripada yang
pernah terlihat oleh umat manusia. Benua-benua mikro pertama bergerak jauh
lebih cepat dan bertumbukan jauh lebih sering daripada saat ini. Terjadi proses
regenerasi dan daur ulang yang sangat cepat dari kerak-kerak benua ini.
Pembentukan kerak benua adalah salah satu kejadian paling fundamental dari
sejarah planet ini. Tidak seperti dasar laut, kerak benua tidak dihancurkan
melalui pelongsoran mantel bumi, melainkan semakin bertambah volume totalnya
dari waktu ke waktu. Pembentukan benua-benua, dengan demikian, adalah sebuah
kejadian yang tidak dapat dibalik prosesnya.
Bumi terbentuk dari sejumlah lapisan material. Lapisan utama
adalah inti bumi (terbagi atas inti dalam dan inti luar), mantel bumi yang
tebal, dan kerak bumi yang tipis di atasnya. Tiap lapisan memiliki komposisi
kimia dan ciri-ciri fisiknya sendiri. Sejalan dengan mendinginnya bumi sekitar
4 miliar tahun lalu, material yang lebih berat tenggelam ke pusat bumi,
sementara unsur yang lebih ringan tinggal di dekat permukaan. Inti dalam bumi
adalah sebuah massa padat, yang dipadatkan oleh tekanan mahadahsyat. Kerak bumi
membentuk lapisan tipis di atas mantel yang setengah cair, seperti kulit luar
yang membungkus sebuah apel. Dari kerak bumi yang dingin, 50 km ke bawah,
suhunya adalah sekitar 800 C. Semakin dalam, pada kedalaman sekitar 2.000 km,
suhu meningkat menjadi di atas 2.200 C. Pada suhu ini bebatuan berperilaku
lebih seperti cairan.
Kerak bumi ini
menyokong lautan dan massa-daratan dan, bersamanya, segala bentuk kehidupan.
Sekitar 7/10 dari kerak bumi diliputi air, yang merupakan fitur dasarplanet
ini. Permukaan kerak bumi sangat tidak rata, mengandung pegunungan yang sangat
tinggi di atas massa-daratannya, dan jurang-jurang di dasar lautnya. Satu
contoh adalah Mid-Atlantic Ridge, yang membentuk batas antara keempat lempeng
bumi. Kerak bumi terbentuk dari sepuluh lempeng besar. Namun, sepanjang tepi
lempeng ini terdapat sesar (fault), di mana
aktivitas vulkanik dan gempa bumi terkonsentrasi. Benua-benua dipatok di atas
lempeng-lempeng ini dan bergerak sejalan dengan pergerakan lempeng bumi.
Di tepian lempeng-lempeng ini, gunung berapi bawah laut
menyemburkan batuan cair dari perut bumi, menciptakan lapisan dasar laut yang
baru. Lapisan dasar laut ini menyebar dari pegunungan dasar laut seperti sebuah
sabuk konveyer atau ban berjalan, bergerak sambil mengusung lempeng benua di
atasnya. Gunung berapi adalah sumber transformasi dari energi maha besar yang
ada di bumi menjadi energi panas. Terdapat kira-kira 430 gunung berapi aktif
saat ini. Paradoksnya, ledakan vulkanik melepaskan energi yang menyebabkan
batuan yang ada di kerak bumi mencair. Kerak bumi (litosfer) terus-menerus
diubah dan diperbaharui. Lapisan kerak yang baru terus-menerus dibentuk oleh
intrusi dan ekstrusi magma di pegunungan-pegunungan dasar laut melalui
pencairan sebagian mantel bumi (asthenosfer). Penciptaan kerak baru pada
sesar-sesar dasar laut ini mendorong lapisan yang lama untuk terpecah dan,
bersamanya, demikian pula lempeng-lempeng benua. Litosfer yang baru ini
menyebar dari pegunungan dasar laut sejalan dengan dituangkannya material baru
ke atasnya, dan akhirnya justru ekspansi dari lapisan dasar laut ini yang
mendorong tenggelamnya litosfer semakin jauh ke arah inti bumi.
Proses ini menjelaskan pergerakan benua-benua. Pergolakan yang
terus-menerus terjadi di bawah bumi pada gilirannya menghasilkan panas yang
luar biasa, yang bertumpuk dan menghasilkan aktivitas vulkanik yang baru.
Wilayah-wilayah ini ditandai oleh lengkung pulau dan pegunungan dan
gunung-gunung berapi, gempa bumi dan jurang-jurang dasar laut. Ini menjaga
keseimbangan antara yang baru dan yang lama, sebuah kesatuan dialektik dari
hal-hal yang saling bertentangan. Sejalan dengan saling bertumbukannya
lempeng-lempeng, mereka menghasilkan gempa bumi.
Aktivitas yang
berlangsung terus-menerus di bawah permukaan bumi ini mengatur banyak gejala
yang mempengaruhi perkembangan planet ini. Massa-daratan, lautan dan atmosfer
bukan hanya terpengaruh oleh sinar matahari, tapi juga oleh gravitasi dan medan
magnet yang melingkupi bumi. “Perubahan yang terus-menerus,” kata Engels,
“yakni pemusnahan identitas abstrak dengan dirinya sendiri, juga didapati dalam
apa yang disebut benda-benda anorganik. Geologi adalah sejarah mereka. Di
permukaan, perubahan mekanik (kekeringan, pembekuan), perubahan kimia (cuaca)
dan, secara internal, perubahan mekanik (tekanan), panas (vulkanik), kimia
(air, asam, senyawa-senyawa pengikat), dalam gejolak-gejolak besar, gempa bumi,
dsb. ... Tiap benda terus-menerus dihadapkan pada pengaruh mekanik, fisik, dan
kimia, yang terus mengubahnya dan memperbaharui identitasnya.”[5]
Di bawah Samudera Atlantik terdapat sebuah rantai pegunungan
berapi dasar laut di mana magma baru terus diciptakan setiap saat. Sebagai
hasilnya, kerak dasar laut terus diperbesar dan kini mendorong pemisahan benua
Amerika Selatan dan Afrika, dan juga Amerika Utara dan Eropa. Namun, jika
beberapa wilayah membesar, yang lain pasti mengecil. Sejalan dengan didorongnya
benua Amerika oleh kekuatan-kekuatan mahadahsyat untuk semakin menjauh dari
lempeng Samudera Atlantik, lempeng samudra itu juga sedang dipaksa untuk
tenggelam di bawah benua Amerika, di mana ia mencair, bergerak dalam aliran
magma, dan akhirnya akan muncul kembali – jutaan tahun kemudian – dalam bentuk
pegunungan dasar laut yang baru.
Proses ini tidaklah lurus dan linear, melainkan terjadi melalui
kontradiksi dan lompatan-lompatan yang dimensinya sangat dahsyat. Ada masa-masa
di mana kekuatan-kekuatan di bawah lapisan kerak bumi menemui perlawanan yang
demikian besar sehingga mereka terpaksa berbalik, dan mencari arah baru. Maka,
untuk masa yang sangat lama, samudra seperti Pasifik dapat diperbesar. Namun,
ketika keseimbangan kekuatan berubah, seluruh proses ini akan jatuh ke arah
kebalikannya. Sebuah samudra mahaluas dapat tergerus di antara dua benua.
Proses semacam ini telah terjadi berkali-kali dalam 4,6 miliar tahun sejarah
planet ini. Sekitar 200 juta tahun lalu, ada sebuah samudra– Iethys – antara
Eurasia dan Afrika. Kini puing-puing dari samudra itu menjadi bagian dari Laut
Tengah. Sisanya telah ditelan bumi dan telah lenyap di bawah Pegunungan
Karpatia dan Himalaya, dihancurkan oleh tumbukan antara India dan Arabia dengan
Asia.
Di pihak lain, ketika sebuah pegunungan bawah laut tertutup
(yakni, ditelan oleh lempeng benua) maka litosfer yang baru akan muncul di
tempat yang lain. Biasanya, litosfer pecah pada titiknya yang terlemah.
Kekuatan yang kedahsyatannya tak terbayangkan terakumulasi selama jutaan tahun,
sampai akhirnya perubahan kuantitatif menghasilkan satu bencana besar. Cangkang
luar bumi diremukkan dan litosfer yang baru menyeruak ke atas, membuka jalan
bagi kelahiran samudra yang baru. Pada masa ini, kita dapat melihat proses ini
terjadi di lembah vulkanik Afar, di Afrika Timur, di mana benua itu sedang
terbelah dan samudra yang baru akan muncul di sana sekitar 50 juta tahun lagi.
Sesungguhnya, Laut Merah adalah satu tahap perkembangan awal dari satu samudra
yang kelak akan memisahkan Saudi Arabia dari Afrika.
Pemahaman bahwa bumi tidaklah statis melainkan dinamis memberi
satu dorongan baru bagi geologi, menempatkannya pada dasar yang benar-benar
ilmiah. Kesuksesan dari teori lempeng tektonik adalah bahwa ia secara dialektik
menggabungkan semua fenomena alam, menggulingkan pandangan ortodoksi ilmiah
yang konservatif yang berdasarkan pada logika formal. Ide dasarnya adalah bahwa
segala sesuatu di bumi berada dalam pergerakan yang terus-menerus, dan ini
terjadi melalui kontradiksi yang eksplosif. Samudera dan benua, pegunungan dan
jurang-lembang, sungai, danau dan garis pantai selalu berada dalam proses
perubahan, di mana masa-masa “tenang” dan “stabil” disela dengan
revolusi-revolusibesar. Atmosfer, kondisi iklim, magnetisme, bahkan lokasi
kutub magnet planet ini terus berada dalam fluktuasi. Perkembangan dari
tiap-tiap proses itu dipengaruhi dan ditentukan, sampai tahap tertentu, oleh
kesalingterhubungannya dengan proses-proses lainnya. Mustahil untuk menelaah
satu proses geologis secara terisolasi dari proses-proses lainnya. Semuanya
tergabung untuk menghasilkan satu jumlah-total fenomena yang unik yang menyusun
dunia kita. Para geolog modern dipaksa untuk berpikir dalam cara yang dialektik
sekalipun mereka belum pernah membaca sebarispun tulisan Marx dan Engels, hanya
karena persoalan yang mereka hadapi tidak dapat diinterpretasikan dengan baik
jika memakai cara lainnya.
Gempa Bumi dan Asal-Muasal
Pegunungan
Sumber:google.com
Ketika ia masih muda, Charles Darwin menemukan fosil dari seekor
hewan laut jauh di daratan. Jika benar bahwa hewan-hewan laut pernah hidup di
tempat itu, maka teori-teori yang ada saat itu tentang sejarah bumi pastilah
keliru. Darwin dengan bergairah menunjukkan penemuannya pada seorang geolog
yang ternama, yang menjawab: “Oh, mari berharap bahwa itu tidak benar.” Geolog
itu lebih memilih untuk percaya bahwa seseorang telah menaruh fosil itu di
situ, setelah ia mengambilnya dari tepi pantai! Dari sudut pandang akal-sehat,
kelihatannya mustahil bahwa benua-benua bergerak. Mata kita mengatakan bahwa
ini tidak benar. Kecepatan rata-rata dari pergerakan ini adalah sekitar 1-2 cm
per tahun. Dengan demikian, untuk keperluan sehari-hari pergerakan ini dapat
diabaikan. Namun, setelah jutaan tahun, perubahan-perubahan yang kecil ini
menghasilkan perubahan yang paling dramatik.
Di puncak Himalaya (sekitar 8.000 m di atas permukaan laut) ada
batu-batuan yang mengandung fosil-fosil dari organisme laut. Ini berarti batuan
itu mulanya berasal dari sebuah samudra prasejarah, yakni samudra Iethys, yang
didorong naik selama 200 juta tahun untuk menghasilkan pegunungan tertinggi di
dunia. Bahkan proses ini tidaklah terjadi secara seragam, melainkan melibatkan
kontradiksi-kontradiksi, dengan gejolak pasang yang dahsyat, kemajuan dan
kemunduran, melalui ribuan gempa bumi, perusakan yang dahsyat, patahan-patahan
dalam kontinuitas, deformasi dan lipatan-lipatan. Sangat jelas bahwa pergerakan
lempeng disebabkan oleh kekuatan raksasa di dalam bumi. Seluruh wajah planet
ini, penampakan dan identitasnya, ditentukan oleh kekuatan ini. Umat manusia
hanya dapat menyaksikan sepotong kecil saja dari kekuatan ini melalui gempa
bumi dan letusan vulkanik. Salah satu ciri dasar dari permukaan bumi adalah
pegunungan. Bagaimana pegunungan ini dapat terbentuk?
Ambillah setumpuk kertas dan tekanlah ke tembok. Tumpukan itu
akan melengkung dan rusak di bawah tekanan, dan akan “bergerak” ke atas,
menghasilkan satu bentuk lengkung. Kini bayangkan proses yang sama ketika
sebuah samudra ditekan di antara dua benua. Samudera itu ditekan untuk meluncur
masuk ke bawah salah satu benua, tapi batuan di titik itu akan terdeformasi dan
melipat, menghasilkan sebuah gunung. Setelah samudra itu lenyap seluruhnya,
kedua benua itu akan bertumbukan, dan kerak bumi di tempat tumbukan itu akan
dipertebal secara vertikal sejalan dengan tertekannya massa-benua. Perlawanan
terhadap desakan ini menghasilkan lipatan tekstur yang besar dan merobek
jurang-jurang, dan dorongan ke atas ini melahirkan rantai pegunungan. Tumbukan
antara lempeng Eurasia dan Afrika (setidaknya sebagian di antaranya),
menghasilkan rantai-rantai pegunungan yang panjang, di mulai dari pegunungan
Pyrenees di Barat, melewati pegunungan Alpen (tumbukan antara Italia dan
Eropa), pegunungan Balkan, Hellenik, Tauridik, Kaukasus (tumbukan antara Arabia
dan Asia) dan akhirnya pegunungan Himalaya (tumbukan antara India dan Asia).
Dengan cara yang sama, pegunungan Apeninnes dan Rocky di Amerika terbentuk di
atas wilayah di mana lempeng samudra Pasifik tenggelam di bawah lempeng benua
Amerika.
Tidaklah mengherankan kalau wilayah-wilayah ini memiliki
aktivitas gempa yang intensif. Zona-zona gempa aktifdi dunia ini terletak di
perbatasan antara berbagai lempeng tektonik. Khususnya, zona-zona di mana
gunung-gunung sedang terbentuk merupakan wilayah di mana kekuatan-kekuatan
raksasa telah lama terakumulasi. Ketika benua-benua bertumbukan, kita melihat
akumulasi kekuatan yang beraksi pada bebatuan yang berbeda, di tempat yang
berbeda-beda dan cara yang berbeda-beda pula. Batuan yang terdiri dari material
yang paling keras dapat bertahan. Tapi, pada titik kritis, kuantitas berubah
menjadi kualitas, dan bahkan batuan yang terkeras sekalipun akan pecah atau
melunak. Lompatan kualitatif ini terekspresikan dalam gempa bumi, yang
walaupunluar biasa, sesungguhnya hanyalah mewakili pergerakan kecil
daripergerakan kerak bumi. Pembentukan rantai pegunungan memerlukan ribuan
gempa bumi, yang menyebabkan pelipatan-pelipatan, deformasi dan pergerakan
batuan ke atas.
Di sini kita melihat proses evolusi yang dialektik melalui
lompatan-lompatan dan kontradiksi-kontradiksi. Batuan yang dipadatkan merupakan
penghalang awal, yang memberikan perlawanan terhadap tekanan kekuatan-kekuatan
di bawah bumi. Namun, ketika perlawanan ini dipatahkan, mereka justru berbalik
menjadi lawannya, menjadi saluran bagi pelepasan kekuatan-kekuatan ini.
Kekuatan-kekuatan yang bekerja di bawah permukaan bumi ini bertanggung jawab
untuk penciptaan rantai pegunungan dan lembah-lembah dasar laut. Tapi di
permukaan terdapat kekuatan-kekuatan lain yang bekerja ke arah yang berlawanan.
Pegunungan tidaklah terus-menerus bertambah tinggi, karena mereka
tunduk pada kekuatan-kekuatan yang berlawanan. Di permukaan ada cuaca, erosi
dan perpindahan materi dari pegunungan dan benua-benua kembali ke dasar
samudra. Batuan padat dikikis oleh kekuatan angin, hujan, salju dan es, yang
melemahkan cangkang terluar dari batuan itu. Setelah satu masa tertentu,
terjadilah satu lompatan kualitatif yang lebih jauh. Bebatuan secara perlahan
kehilangan konsistensinya, butiran-butiran halus mulai terkikis dari
permukaannya. Efek dari angin dan air, terutama sungai-sungai, memindahkan
jutaan butiran ini dari ketinggian ke lembah-lembah, danau, tetapi terutama
samudra, di mana partikel-partikel batuan ini dikumpulkan lagi di dasar laut.
Di sana mereka terkubur kembali, sejalan dengan semakin tertumpuknya material
di atasnya, dan satu operasipun muncul, operasi yang berlawanan – bebatuan itu
mulai terbentuk kembali. Sebagai hasilnya, batuan baru terbentuk, yang akan
mengikuti pergerakan lempeng dasar laut sampai akhirnya mereka akan sekali lagi
terkubur di bawah benua-benua; di mana mereka akan dicairkan, kemungkinan
muncul kembali di puncak gunung yang terletak di suatu tempat lain di permukaan
bumi.
Proses-Proses di Bawah Bumi
Kenyataan bahwa material di bawah permukaan bumi yang padat itu
bersifat cair ditunjukkan oleh lava yang mengalir dari gunung-gunung berapi.
Batuan dipendam dalam-dalam di bawah kerak bumi, di bawah pegunungan besar dan
di dalam zona-zona penenggelaman lempeng. Di bawah kondisi semacam itu mereka
mengalami berbagai jenis perubahan. Sejalan dengan semakin dalamnya mereka
tenggelam ke dalam kerak bumi, aktivitas internal bumi akan membuatnya
mengalami peningkatan suhu. Pada saat bersamaan, beban dari batuan dan
pegunungan yang ada di punggungnya menyebabkan pertambahan tekanan yang maha
besar. Materi terorganisir dalam kombinasi khusus, dari berbagai unsur yang
dalam bentuk padat membentuk kristal yang disebut mineral. Berbagai mineral
berkumpul untuk membentuk batuan. Tiap batuan memiliki kombinasi mineralnya
sendiri, dan tiap mineral memiliki kombinasi unsur dalam bentuk kristal
tertentu. Perubahan suhu dan tekanan menyebabkan perubahan susunan kimia dari
kebanyakan mineral melalui pertukaran satu unsur dengan unsur lain. Sementara
beberapa mineral, dalam batasan tertentu, dapat mempertahankan kestabilannya,
pada satu titik kritis, materi akan terorganisir ulang dalam bentuk kristal
yang berbeda. Ini menyebabkan perubahan kualitatif dalam mineral, yang bereaksi,
menghasilkan kombinasi baru yang mencerminkan kondisi yang baru. Ini adalah
lompatan kualitatif, seperti perubahan air menjadi es pada suhu 0 C. Hasilnya
adalah bahwa seluruh batuan akan diubah menjadi batuan yang baru. Maka, di
bawah tekanan kondisi-kondisi lingkungannya, kita saksikan satu lompatan
mendadak, yang melibatkan sebuahmetamorfosis tidak hanya mineral tapi juga
batuan itu sendiri. Tidak ada satu pun mineral yang dapat mempertahankan
stabilitasnya di semua kondisi alam.
Di zona-zona yang mengalami penenggelaman lempeng samudra ke
bawah benua, batuan dapat terkubur sangat jauh ke dalam kerak bumi. Di bawah
kondisi yang demikian ekstrem, batuan itu sendiri mulai meleleh. Namun, proses
ini tidak terjadi sekaligus. Kita melihat fenomena pelelehan sebagian, karena
berbagai mineral meleleh pada suhu yang berbeda-beda. Material yang meleleh
memiliki kecenderungan untuk bergerak ke atas, karena densitasnya lebih kecil
dibanding batuan padat yang mengelilinginya. Tapi pergerakan ini juga bukannya
tanpa masalah, justru karena adanya resistensi dari batuan yang mengelilinginya
itu. Batuan cair, atau magma, akan perlahan-lahan bergerak ke atas sampai,
ketika berhadapan dengan rintangan padat, ia dipaksa berhenti untuk beberapa
saat. Selain itu, lapisan terluar dari magma itu akan mulai mendingin dan
terkonsolidasi menjadi lapisan padat yang juga akan menjadi rintangan tambahan
bagi jalur magma itu. Tapi, pada akhirnya, kekuatan tekanan dari bawah akan
bertambah sedikit demi sedikit sampai mencapai satu titik di mana rintangan itu
dapat dipatahkan, dan magma akhirnya akan menerobos keluar dalam ledakan yang
dahsyat, melepaskan kekuatan-kekuatan yang selama itu terpendam.
Maka jelaslah bahwa proses ini tidak terjadi secara kebetulan,
seperti yang mungkin dirasakan oleh para korban sebuah gempa bumi, tapi
bersesuaian dengan hukum-hukum fundamental, yang kini baru mulai kita pahami.
Proses ini terjadi di zona-zona tertentu, yang terletak di perbatasan antar
lempeng, khususnya di pegunungan-pegunungan dasar laut dan di bawah zona
penenggelaman lempeng. Inilah mengapa terdapat gunung-gunung berapi aktif di
Eropa Selatan (Santorini di Yunani, Etna di Italia), di Jepang, di mana
terdapat zona penenggelaman lempeng (yang menimbulkan gempa bumi Kobe), di
mid-Atlantik dan Samudera Pasifik (pulau-pulau vulkanik dan gunung berapi bawah
laut di pegunungan dasar laut) dan di Afrika Timur (Kilimanjaro) di mana ada
pergeseran benua dan proses penciptaan samudra yang baru.
Para penambang sangat akrab dengan kenyataan semakin dalam
mereka menggali semakin tinggi suhu kerak bumi. Sumber utama dari panas yang
luar biasa ini, yang bertanggung jawab untuk segala proses yang terjadi di
perut bumi adalah energi panas yang dilepaskan oleh peluruhan unsur-unsur
radioaktif. Unsur-unsur mengandung isotop (atom dari unsur yang sama tapi
dengan berat yang berbeda), yang sebagian di antaranya adalah radioaktif –
yaitu, mereka tidak stabil dan meluruh sejalan dengan waktu – yang menghasilkan
panas dan isotop-isotop yang lebih stabil. Proses peluruhan ini sangatlah
lambat. Karena isotop-isotop itu telah meluruh sejak terbentuknya bumi, mereka
pasti berjumlah lebih banyak dulunya. Dengan demikian, produksi panas dan
aliran panas seharusnya jauh lebih tinggi di masa lalu, mungkin dua atau tiga
kali lebih tinggi selama periode Archaean ketimbang sekarang.
Perbatasan Archaean-Proterozoik juga memiliki signifikansi
besar, yang merepresentasikan sebuah lompatan kualitatif. Kita saksikan pada
periode ini tidak hanya kemunculan makhluk hidup yang pertama tapi juga
perubahan krusial pada massa-daratan – dari banyak lempeng benua yang
kecil-kecil di masa Archaean, dengan tumbukan-tumbukan antar lempeng yang kerap
terjadi, menuju pembentukan lempeng-lempeng yang lebih tebal, lebih besar dan
lebih stabil semasa Proterozoik. Massa benua yang besar ini adalah hasil
agregasi dari banyak lempeng proto-benua yang kecil-kecil. Ini adalah masa
pembangunan banyak pegunungan, di mana dua episode besar dapat dilihat dengan
jelas: 1,8 miliar dan 1 miliar tahun yang lalu. Sisa-sisa dari kedua peristiwa
yang maha dahsyat ini, di mana batuan dimetamorfosis berkali-kali, dirusak dan
dibentuk kembali, dapat dilihat saat ini di Kanada Selatan dan Norwegia Timur
Laut.
Teori uniformitarianisme yang gradualis itu, yang awalnya diajukan
oleh Hutton di tahun 1778, tidak dapat diterapkan sama sekali pada sejarah awal
bumi ini. Semua bukti yang ada menunjukkan bahwa lempeng tektonik modern mulai
terbentuk di awal Proterozoik, sementara varian-varian awal dari proses lempeng
tektonik kemungkinan besar ditemui pada masa Archaean. Lebih dari 80% dari
lempeng benua yang ada sekarang diciptakan sebelum akhir masa Proterozoik.
Lempeng tektonik adalah faktor penentu dalam seluruh proses ini. Pembangunan
pegunungan, gempa bumi, gunung berapi dan metamorfosa batuan adalah
proses-proses yang saling berhubungan, yang satu tergantung dari yang lain,
semua saling menentukan, mempengaruhi, menyebabkan atau disebabkan oleh yang
lain, dan dalam keseluruhannya merupakan proses evolusi bumi.
__________________
Catatan Kaki
[1] P. Westbroek,
Life as a Geological Force, hal. 71.
[2] Engels, The
Dialectics of Nature, hal. 39, note.
[3] Westbroek 71-2.
[4] Westbroek 84.
[5] Engels,
Dialectics of Nature, 1946 edition, hal. 163 dan hal. 162.
0 komentar:
Post a Comment