Bab 7. Teori Relativitas
Apa itu Waktu?
Sedikitsaja ide yang telah merasuki kesadaran manusia sedalam ide tentang waktu. Idetentang waktu dan ruang telah menyibukkan pemikiran manusia selama ribuantahun. Hal-hal ini sekilas nampak sederhana dan mudah dipahami, karena mereka
sangat dekat dengan pengalaman sehari-hari. Segala hal hadir dalam ruang dan
waktu, sehingga mereka nampak sebagai hal-hal yang akrab dengan kita. Walau
demikian, apa yang akrab dengan kita tidaklah serta-merta dapat dipahami.
Dengan penelitian yang lebih dekat, ruang dan waktu bukanlah hal yang mudah
dipahami. Di abad ke-5, Santo Agustinus mengatakan: “Lalu, apa itu waktu ? Jika
tidak ada yang bertanya, saya tahu apa waktu itu. Jika saya ingin
menjelaskannya pada seseorang yang bertanya kepada saya, saya tidak tahu.” Kamus
juga tidak banyak bermanfaat. Waktu didefinisikan sebagai “satu periode”, dan
satu periode didefinisikan sebagai “waktu”. Kita tidak tambah pintar sama
sekali! Pada kenyataannya, hakikat dari waktu dan ruang adalah sebuah masalah
filsafat yang cukup kompleks.
Irama mendasari segalanya: detak jantung
manusia, irama dalam berbicara, pergerakan dari bintang-bintang dan
planet-planet, pasang naik dan pasang surut, pergantian musim. Hal-hal ini
terukir sangat dalam pada kesadaran manusia, bukan sebagai pencitraan yang
acak, tapi sebagai fenomena riil yang menyatakan satu kebenaran mendasar
tentang alam semesta. Di sini intuisi manusia tidaklah keliru. Waktu adalah
cara untuk menyatakan perubahan dalam keadaan dan pergerakan yang merupakan
ciri tak terpisahkan dari materi dalam segala bentuknya. Dalam tata bahasa,
kita memiliki sistem kala penunjuk waktu (tense): future tense (kala akan datang),present tense(kala kini), dan past tense (kala lampau). Penaklukan kolosal yang
dilakukan nalar manusia ini memungkinkannya untuk membebaskan dirinya sendiri
dari perbudakan waktu, untuk mengatasi situasi konkret dan menjadi “hadir”, bukan hanya di sini dan sekarang, tapi juga
di masa lalu dan di masa datang, setidaknya di dalam pikiran.
Waktu
dan gerak adalah dua konsep yang tidak terpisahkan. Keduanya hakiki bagi semua
kehidupan dan semua pengetahuan di dunia, termasuk tiap perwujudan pemikiran
dan imajinasi. Pengukuran, batu penjuru dari semua ilmu pengetahuan, akan
mustahil tanpa ruang dan waktu. Musik dan tari didasarkan atas waktu. Seni
sendiri mencoba menyampaikan satu rasa tentang waktu dan gerak, yang hadir
bukan hanya diwakilkan oleh energi fisik tapi juga oleh disainnya. Warna,
bentuk dan garis dari sebuah lukisan membimbing mata melintasi permukaan dalam
irama dan tempo tertentu. Inilah yang menumbuhkan rasa, ide dan emosi tertentu
pada kita setelah kita menikmati karya seni tersebut. Keabadian adalah kata
yang sering digunakan untuk menggambarkan berbagai karya seni, tapi justru sebenarnya
menyatakan persis kebalikan dari apa yang dimaksudkan. Kita tidak akan dapat
merasakan ketiadaan waktu, karena waktu hadir dalam segala sesuatunya.
Ada
satu perbedaan antara ruang dan waktu. Ruang dapat juga menyatakan perubahan,
sebagaimana perubahan dalam posisi. Materi hadir dan bergerak melalui ruang.
Tapi jumlah cara yang dapat dilalui oleh perubahan ini besar tak berhingga:
maju, mundur, naik atau turun, dengan derajat apapun. Pergerakan dalam ruang
dapat diputar balik. Pergerakan dalam waktu tidak dapat diputar balik. Keduanya
adalah dua cara yang berbeda (dan bahkan bertentangan) dalam menyatakan satu
ciri yang hakiki dari materi – perubahan. Inilah satu-satunya Kemutlakan yang
ada.
Ruang adalah “kembaran” (otherness) materi, kalau kita pakai istilah Hegel,
sementara ruang adalah proses di mana materi (dan energi, yang keduanya adalah
hal yang sama) terus-menerus berubah menjadi hal yang lain daripada dirinya
sendiri. Waktu –“api yang menelan kita semua”– biasanya dilihat sebagai suatu
hal yang destruktif. Tapi sebenarnya waktu juga merupakan pernyataan dari
proses permanen penciptaan diri sendiri (self-creation),
di mana materi terus-menerus berubah menjadi bentuk-bentuk lain yang jenisnya
tak berhingga. Proses ini dapat dilihat dengan cukup jelas dalam materi-materi
yang anorganik, terutama di tingkat sub-atomik.
Pandangan
tentang perubahan, seperti yang dinyatakan dalam berlalunya waktu, dengan
begitu dalam merasuki kesadaran manusia. Inilah basis dari semua unsur tragis
dalam kesusastraan, perasaan sedih karena berlalunya kehidupan, yang mencapai
bentuknya yang paling indah dalam soneta-soneta Shakespeare, seperti yang satu
ini, yang dengan gemilang menggambarkan satu rasa akan pergerakan waktu yang
penuh keresahan:
“Like
as the waves make toward the pebbled shore,
So do
our minute hasten to their end;
Each
changing place with that which goes before,
In
sequent toil all forward to contend.”
[“Laksana
ombak yang melaju ke pantai berpasir,
Demikianlah
menit demi menit berpacu menuju kehancuran;
Semuanya
bertukar tempat dengan para pendahulu,
Berturutan
mereka menyeret diri ke dalam pertempuran”]
Kemustahilan
kita untuk membalik waktu tidak hanya berlaku untuk makhluk-makhluk hidup.
Bukan hanya manusia, tapi bintang-bintang dan galaksi juga dilahirkan dan
mengalami kematian. Perubahan berlaku untuk segala hal, tapi bukan hanya dalam
makna yang negatif. Berdampingan dengan kematian, hadirlah kehidupan, dan
keteraturan lahir secara spontan dari kekacauan. Tanpa kematian, kehidupan itu
sendiri tidaklah dimungkinkan. Tiap orang bukan hanya sadar akan dirinya
sendiri, tapi juga akan negasi dari diri mereka, dari batasan terhadap diri
mereka sendiri. Kita datang dari alam dan akan kembali ke alam.
Makhluk-makhluk fana memahami bahwa
sebagai makhluk fana mereka akan menemui kematian di ujung jalan yang mereka
tempuh. Sebagaimana kitab Ayub mengingatkan kita: “Manusia yang lahir dari
perempuan, singkat umurnya dan penuh kegelisahan. Seperti bunga ia berkembang,
lalu layu, seperti bayang-bayang ia hilang lenyap dan tidak dapat bertahan.”[1] Hewan tidaklah gentar akan kematian
seperti halnya kita karena mereka tidak memahaminya seperti kita. Umat manusia
telah berupaya meloloskan diri dari takdir mereka dengan mendirikan
perkumpulan-perkumpulan istimewa yang menjanjikan satu kehidupan khayal setelah
kematian. Ide tentang hidup abadi hadir dalam hampir tiap agama melalui bentuk
yang satu atau yang lain. Inilah kekuatan penggerak di balik satu kehausan
egoistis untuk keabadian khayal dalam Surga non-eksisten, yang diangankan akan
menjadi penghiburan bagi “Lembah Kedukaan” yang ada di bumi yang penuh dosa
ini. Maka, selama berabad-abad, manusia telah diajari untuk menyerah pasrah
pada penderitaan dan kerasnya kehidupan di dunia karena mengharapkan satu hidup
yang penuh kebahagiaan – setelah mereka mati.
Bahwa
setiap individu harus meninggalkan dunia ini, itu diketahui oleh semua orang.
Di masa datang, usia hidup manusia akan diperpanjang jauh melampaui harapan
hidup “alamiah”-nya; walau demikian, kematian itu pasti akan datang. Tapi, apa
yang terjadi pada individu tidak harus terjadi pada spesies. Kita terus hidup
melalui anak-anak kita, melalui ingatan kawan-kawan kita dan melalui sumbangan
yang kita buat untuk perbaikan nasib umat manusia. Inilah satu-satunya
keabadian yang harus kita kejar. Bergenerasi umat manusia akan datang dan
pergi, tapi akan selalu digantikan oleh generasi yang baru, yang akan
mengembangkan dan memperkaya cakupan aktivitas dan pengetahuan umat manusia.
Pencarian sejati akan keabadian diwujudkan dalam proses perkembangan dan
penyempurnaan umat manusia yang tanpa henti, karena umat manusia akan terus
memperbaharui diri dalam tingkatan yang semakin lama semakin tinggi. Tujuan
tertinggi yang dapat kita tetapkan bagi diri kita sendiri, dengan demikian,
bukanlah satu firdaus khayal nun jauh di atas sana, tapi untuk berjuang meraih kondisi
sosial riil yang akan memungkinkan pembangunan surga di bawah sini, di dunia
ini.
Sejak
pengalaman kita yang paling awal, kita telah mencapai pemahaman tentang
pentingnya waktu. Sehingga sangatlah mengejutkan bahwa masih ada orang yang
beranggapan bahwa waktu adalah suatu ilusi, satu ciptaan pikiran belaka.
Gagasan ini telah bertahan bahkan sampai saat ini. Pada kenyataannya, gagasan
bahwa waktu dan perubahan adalah sekedar ilusi bukanlah sesuatu yang baru. Ia
hadir dalam agama-agama kuno seperti agama Budha, dan juga dalam filsafat
idealis seperti Pitagoras, Plato, dan Plotinus. Aspirasi dari ajaran Budha
adalah untuk mencapai nirwana, satu keadaan di mana waktu berhenti berputar.
Heraclitus, bapak dialektika, memahami dengan tepat hakikat waktu dan perubahan,
ketika ia menulis bahwa “segalanya adalah dirinya sendiri sekaligus bukan
dirinya sendiri, karena segalanya selalu berada dalam fluktuasi” dan “kita
melangkah dan juga sekaligus tidak melangkah dalam arus yang sama, kita adalah
diri kita sendiri dan sekaligus bukan.”
Ide
tentang perubahan sebagai siklus datang dari masyarakat pertanian yang sangat
bergantung pada perubahan cuaca. Cara hidup statis yang berakar dalam cara
produksi masyarakat-masyarakat terdahulu menemukan perwujudannya dalam filsafat-filsafat
yang statis. Gereja Katolik tidak sanggup mencerna kosmologi ala Copernicus dan
Galileo karena itu adalah sebuah tantangan terhadap pandangan mereka terhadap
dunia dan masyarakat. Hanya dalam masyarakat kapitalislah perkembangan industri
berlangsung sedemikian rupa sehingga sanggup menggerus irama masyarakat
pedesaan yang kuno dan lambat itu. Bukan hanya perbedaan dalam iklim kini
diabaikan dalam produksi, tapi bahkan perbedaan siang dan malam, karena
mesin-mesin bekerja 24 jam sehari, tujuh hari seminggu, 52 minggu per tahun, di
bawah sorotan sinar buatan manusia. Kapitalisme telah merevolusionerkan
alat-alat produksi, dan bersamaan dengannya cara berpikir manusia. Walau
demikian, kemajuan dalam cara berpikir itu terbukti jauh lebih lambat dari kemajuan
industri. Konservatisme pemikiran ditunjukkan dalam upaya yang terus muncul
untuk terus mempertahankan ide-ide lama, kepastian-kepastian kuno yang
seharusnya sudah dikubur sejak lama dan, akhirnya, pada harapan yang telah
bertahan melewati berbagai jaman akan satu kehidupan setelah kematian.
Ide bahwa alam semesta ini harus memiliki
awal dan akhir telah dibangkitkan kembali beberapa dekadebelakangan ini oleh
teori Big Bang. Teori ini
niscaya melibatkan satu makhluk supernatural yang menciptakan dunia dari
ketiadaan menurut satu rencana yang tak dapat kita pahami, dan memeliharanya
selama Ia menganggapnya perlu. Kosmologi religius kuno dari Musa, Yesaya,
Tertullian dan Timaeus-nya Plato, dengan menakjubkan bangkit kembali dalam
tulisan-tulisan dari beberapa kosmologis dan fisikawan teoritik modern. Tidak
ada sesuatu pun yang baru dalam hal ini. Tiap sistem sosial yang memasuki tahap
kemunduran yang sudah tak dapat dihentikan lagi selalu menggambarkan kemunduran
dirinya sendiri sebagai akhir jaman, atau bahkan sebagai akhir dari alam
semesta. Walau demikian, alam semesta ini masih terus berputar, tanpa
memedulikan takdir yang menimpa formasi sosial yang fana di dunia ini. Umat manusia
terus hidup, berjuang dan, sekalipun terjadi kemunduran-kemunduran, terus
berkembang dan maju. Sehingga satu masa akan menyiapkan masa yang lebih maju
dan lebih tinggi dari yang sebelumnya. Dan, secara prinsip, tidak ada batasan
untuk hal ini.
Waktu dan Filsafat
Orang-orang
Yunani kuno sebenarnya memiliki pemahaman yang jauh lebih dalam mengenai makna
waktu, ruang dan gerak dibandingkan dengan orang-orang modern. Bukan hanya
dalam filsafat Heraclitus, ahli dialektika yang paling besar dari Jaman Kuno,
tapi para filsufEleatic (Permenides, Zeno) pun telah sampai pada satu pemahaman
yang sangat ilmiah tentang gejala ini. Para atomis Yunani telah memajukan satu
gambaran akan sebuah alam semesta yang tidak memerlukan seorang Pencipta, tanpa
awal dan tanpa akhir. Ruang dan materi biasanya dilihat sebagai dua hal yang
bertentangan, seperti yang dinyatakan dalam ide “kosong” dan “penuh”. Dalam
prakteknya, yang satu tidak dapat hadir tanpa kehadiran yang lain. Mereka
saling mensyaratkan, saling menentukan, saling membatasi dan saling
mendefinisikan. Kesatuan ruang dan materi adalah kesatuan dari hal-hal
bertentangan yang paling mendasar. Hal ini telah dipahami oleh para atomis
Yunani yang menggambarkan alam semesta sebagai tersusun dari hanya dua hal -
“atom” dan “kehampaan”. Pada hakikatnya, pandangan tentang alam semesta ini
adalah tepat.
Relativisme
telah sering kali didapati dalam sejarah filsafat. Para sofis memandang bahwa
“manusia adalah tongkat pengukur bagi segala sesuatu”. Mereka adalah para
relativis yang terbaik yang pernah ada. Dengan menyangkal adanya kebenaran yang
absolut, mereka cenderung pada satu subjektivisme yang ekstrem. Pada masa kini
para sofis memiliki reputasi yang buruk, tapi pada kenyataannya mereka mewakili
satu langkah maju pada jamannya untuk sejarah filsafat. Walau di dalamnya
terdapat banyak penipu, mereka juga memiliki sejumlah ahli dialektik yang
berbakat seperti Protagoras.Dialektika dari sofisme didasarkan pada ide yang
tepat bahwa kebenaran memiliki banyak segi. Satu hal dapat dibuktikan memiliki
banyak properti. Kita harus bisa melihat satu fenomena tertentu dari segala
seginya. Bagi para pemikir yang tidak dialektik, dunia ini adalah tempat yang
sangat sederhana. Tiap “hal” menikmati satu kesendirian dalam waktu dan ruang. Ia
ada di hadapan saya “kini” dan “di sini”. Walau demikian, penelitian yang lebih
dekat akan menunjukkan bahwa kata-kata yang demikian sederhana dan akrab ini
ternyata adalah hasil dari satu abstraksi yang sepihak.
Aristoteles,
seperti di banyak bidang lainnya, juga berbicara banyak mengenai ruang, waktu
dan gerak. Ia menulis bahwa hanya ada dua hal yang tidak mungkin dimusnahkan:
waktu dan perubahan, yang dengan tepat dianggapnya sebagai sama dan sebangun:
“Walau demikian mustahillah kita
menciptakan atau memusnahkan gerak; ia pasti telah hadir sepanjang segala masa.
Demikian pula dengan waktu, yang tidak dapat dimulai dan tidak dapat
dihentikan; karena tidak mungkin ada “sebelum” dan “sesudah” di mana waktu
tidak hadir. Gerak, dengan demikian, juga kontinu dalam makna yang serupa
dengan waktu, karena waktu adalah sama dengan gerak, atau merupakan salah satu
dari hakikat gerak itu sendiri; sehingga gerak harus terus berlanjut seperti
mengalirnya waktu, dan jika demikian ia harus bersifat lokal dan sirkular.” Di
bagian lain ia menulis bahwa “Gerak tidak dapat lahir dan tidak dapat mati:
demikian pula waktu tidak dapat lahir, atau mati.”[2]Betapa jauh lebih bijaksananya para filsuf
dari Jaman Kuno dibandingkan mereka yang kini menulis tentang “awal waktu”,
bahkan tanpa sambil tersenyum!
Filsuf
idealis Jerman, Emmanuel Kant, adalah orang yang, setelah Aristoteles,
menyelidiki masalah hakikat waktu dan ruang dengan paling penuh, sekalipun
solusi-solusinya akhirnya tidak memuaskan. Setiap hal tersusun dari berbagai
hakikat. Jika kita ambil semua hakikat-hakikat konkret ini, kita akan menemui
dua abstraksi yang tersisa: waktu dan ruang. Ide tentang waktu dan ruang
sebagai entitas metafisik yang benar ada diberi basis filsafat oleh Kant, yang
mengklaim bahwa ruang dan waktu adalah “fenomena riil”, tapi yang tidak dapat
dipahami “dalam dirinya sendiri”.
Waktu dan ruang adalah properti dari
materi, dan tidak dapat dipahami terpisah dari materi. Dalam bukunya The Critique of Pure Reason, Kant mengklaim bahwa
ruang dan waktu bukanlah konsep-konsep objektif yang ditarik dari pengamatan
terhadap dunia nyata, tapi sesuatu yang dilahirkan oleh pemikiran manusia.
Faktanya, semua konsepsi geometri diturunkan dari pengamatan atas objek-objek
material. Salah satu pencapaian teori relativitas umum Einstein adalah
pengembangan geometri sebagai ilmu yang empirik, aksioma yang dipahami melalui
pengukuran yang aktual, dan yang berbeda dari aksioma geometri Euclides yang
klasik, yang dianggap (secara keliru) sebagai murni hasil dari pemikiran,
dideduksi semata dari logika.
Kant berusaha membenarkan klaimnya dalam
bagian terkenal dari The Critique of Pure Reason yang
disebut Antinomies, yang
menangani gejala-gejala kontradiktif di dunia nyata, termasuk ruang dan waktu.
Keempat antinomi (kosmologis) pertama Kant menangani masalah ini. Kant berjasa
dalam mengungkapkan keberadaan kontradiksi-kontradiksi semacam ini, tapi
penjelasannya sangatlah tidak lengkap. Tugas untuk menyelesaikan kontradiksi
itu jatuh pada Hegel, ahli dialektika besar itu, dalam bukunya The Science of Logic.
Sepanjang
abad ke-18, sains didominasi oleh teori mekanika klasik, dan satu orang
menerakan stempelnya pada seluruh epos. Penyair Alexander Pope menyimpulkan
sikap pemujaan dari para rekan sejaman Newton dalam bait-baitnya:
“Nature
and Nature's law lay hid in night:
God
said 'Let Newton be!' and all was light.”
[“Alam
dan seluruh hukumnya tersembunyi di kegelapan:
Tuhan
bersabda 'Jadilah Newton' dan lalu terang itu jadi.”
Newton
memandang waktu sebagai sesuatu yang mengalir dalam garis lurus ke manapun.
Bahkan jika di situ tidak terdapat materi, akan tetap ada satu kerangka tetap
dari ruang dan waktu yang terus mengalir “melalui”-nya. Kerangka ruang Newton
yang mutlak itu dianggap dipenuhi oleh satu zat hipotetikal yang disebut
“ether” yang merupakan medium di mana cahaya mengalir. Newton berpendapat bahwa
waktu adalah seperti satu “penampung” raksasa di mana segala sesuatu ada dan
berubah. Dalam ide ini, waktu dipandang sebagai sesuatu yang memiliki
keberadaan terpisah dari alam semesta. Waktu akan tetap ada sekalipun alam
semesta ini telah musnah. Ini adalah ciri dari metode mekanik (dan idealis) di
mana waktu, ruang, materi dan gerak dipandang sebagai hal yang mutlak terpisah.
Pada kenyataannya, mustahil untuk memisahkan mereka.
Fisika Newton dikondisikan oleh mekanika
yang di abad ke-18 merupakan ilmu sains yang paling maju. Pandangan ini juga
dianut oleh kelas penguasa yang baru karena ia menyajikan pandangan atas alam
semesta yang pada hakikatnya statis, abadi dan tidak berubah, di mana semua
kontradiksi diabaikan – tanpa lompatan mendadak, tanpa revolusi, dan yang ada
adalah keharmonisan yang sempurna, di mana segala sesuatu cepat atau lambat
kembali menuju titik keseimbangan, seperti halnya parlemen Inggris mencapai
satu keseimbangan yang memuaskan dengan monarki di bawah William dari Orange[3]. Abad ke-20 telah meruntuhkan tanpa ampun
pandangan atas dunia yang seperti ini. Satu demi satu, mekanisme kuno yang kaku
dan statis itu telah digeser dan digantikan. Sains modern dicirikan oleh satu
perubahan tanpa henti, dengan kecepatan yang luar biasa,
kontradiksi-kontradiksi dan paradoks-paradoks di segala tingkatannya.
Newton
membedakan antara waktu mutlak dan “waktu yang relatif, kasat mata dan jamak”,
seperti yang nampak pada jam yang ada di dunia. Ia mengajukan satu pandangan
tentang “waktu mutlak”, satu skala waktu ideal yang akan menyederhanakan
hukum-hukum mekanika. Abstraksi-abstraksi tentang waktu dan ruang ini terbukti
merupakan ide yang dahsyat yang telah memajukan pemahaman kita akan alam
semesta secara luar biasa. Untuk waktu yang lama ide-ide ini dianggap sebagai
hal yang mutlak. Namun, setelah pengamatan yang lebih teliti, “kebenaran
mutlak” dari mekanika klasik Newton terbukti relatif. Mekanika Newton hanya
benar di dalam batas-batas tertentu.
Newton dan Hegel
Teori-teori
mekanistik yang mendominasi sains selama dua abad setelah Newton pertama kali
mendapatkan tantangan serius dari bidang biologi oleh penemuan revolusioner
Charles Darwin. Teori evolusi Darwin menunjukkan bahwa kehidupan dapat muncul
dan berkembang tanpa campur tangan ilahi, berdasarkan hukum-hukum alam. Pada
akhir abad ke-19, ide tentang “panah waktu” dikemukakan oleh Ludwig Boltzmann
dalam Hukum Kedua Termodinamika. Gagasan ini tidak lagi menyajikan waktu
sebagai satu siklus yang tak terputus, melainkan bahwa waktu adalah laksana
panah yang meluncur ke satu arah tunggal. Teori-teori ini mengasumsikan bahwa
waktu adalah riil dan bahwa alam semesta sendiri adalah satu proses perubahan
yang kontinu, seperti yang telah dinyatakan oleh Heraclitus tua beribu tahun
yang lalu.
Hampir
setengah abad sebelum karya Darwin yang menandai datangnya epos baru itu, Hegel
telah mengantisipasi bukan hanya karya itu, tapi banyak penemuan lain dari
sains modern. Dengan berani ia menantang asumsi-asumsi dari mekanika Newton
yang masa itu masih berjaya. Ia mengajukan sebuah cara pandang dunia yang
dinamik, yang berdasarkan proses dan perubahan melalui kontradiksi. Antisipasi
yang gemilang dari Heraclitus diubah oleh Hegel menjadi satu sistem berpikir
dialektik yang lengkap dan menyeluruh. Tidak ada keraguan bahwa, kalau
sajapemikiran Hegel diperlakukan lebih serius, proses ilmu pengetahuan akan
berjalan lebih cepat dari apa yang telah ditempuhnya sekarang.
Kebesaran Einstein terletak pada
kemampuannya untuk melangkah keluar dari abstraksi-abstraksi ini dan
mengungkapkan watak relatifnya. Aspek relatif dari waktu bukanlah sesuatu yang
baru. Hal itu telah ditelaah secara menyeluruh oleh Hegel. Dalam karya awalnya The Phenomenology of Mind, ia menjelaskan hakikat
kerelatifan dari kata-kata “di sini” dan “sekarang”. Ide-ide ini, yang
kelihatannya cukup sederhana ternyata sangatlah kompleks dan kontradiktif.
“Terhadap pertanyaan, Apa itu Sekarang? kami menjawab, misalnya, Sekarang
adalah waktu malam. Untuk menguji kebenaran dari kepastian makna ini, kita hanya
memerlukan satu percobaan sederhana saja: tuliskan kebenaran itu. Satu
kebenaran tidak dapat kehilangan apapun hanya karena dituliskan, dan sama
tetapnya jika kita memelihara dan menjaganya. Jika kita melihat lagi kebenaran
yang telah kita tuliskan, lihatlah sekarang, pada waktu siang, kita akan
melihat bahwa kebenaran itu telah basi dan ketinggalan jaman.”[4]
Sangat mudah untuk mengabaikan Hegel (atau
juga Engels) karena tulisan mereka tentang sains terbatasi oleh tingkat ilmu
sains pada masa mereka. Apa yang mengagumkan sebenarnya adalah betapa majunya
sebenarnya pandangan Hegel atas sains. Dalam buku mereka Order out of Chaos, Prigogine dan Stengers menunjukkan
bahwa Hegel menolak metode mekanistik dari fisika Newtonian, pada waktu di mana
ide-ide Newton disakralkan secara universal:
“Filsafat alam Hegelian secara sistematik
mencakup segala hal yang ditolak oleh pandangan Newton. Secara khusus, ia
bersandar pada perbedaan kualitatif antara perilaku sederhana yang digambarkan
oleh mekanika dan perilaku dari makhluk-makhluk yang lebih kompleks seperti
makhluk hidup. Ia menolak kemungkinan mereduksi tingkatan-tingkatan itu,
menolak ide bahwa perbedaan hanya pada penampakannya dan bahwa alam pada
dasarnya homogen dan sederhana. Ia membenarkan keberadaan satu hierarki, tiap
tingkatan mengandaikan adanya satu tingkatan di bawahnya.”[5]
Hegel mengkritik dengan tajam apa yang
dianggap sebagai kebenaran-kebenaran mutlak oleh mekanika Newton. Ia adalah
orang pertama yang menempatkan pendekatan mekanistik dari abad ke-18 pada
kritik yang menyeluruh, sekalipun keterbatasan ilmu pengetahuan pada masanya
tidak memungkinkannya mengajukan satu alternatif yang rapi. Bagi Hegel, segala yang finite termediasi, yakni relatif terhadap sesuatu
yang lain. Lebih jauh lagi, hubungan ini bukanlah satu hubungan juxta posisi
yang formal, tapi sebuah proses yang hidup: segala sesuatu adalah terbatas,
terkondisikan dan ditentukan oleh hal yang lain. Dengan demikian, sebab dan
akibat hanya berlaku dalam hubungannya dengan relasi-relasi yang terisolasi
(seperti yang kita temukan dalam mekanika klasik), tapi tidak demikian jika
kita memandang segala hal sebagai proses, di mana segala sesuatu adalah hasil
dari kesalingterhubungan dan interaksi yang universal.
Waktu adalah bentuk keberadaan materi.
Matematika dan logika formal tidak dapat menangani waktu dengan baik, melainkan
memperlakukannya sebagai sekedar sebuah hubungan kuantitatif.Kita tidak
meragukan pentingnya relasi-relasi kuantitatif untuk bisa memahami realitas,
karena tiap-tiap hal yang finitedapat
didekati dari sudut pandang kuantitatif. Tanpa satu pemahaman akan
hubungan-hubungan kuantitatif, ilmu pengetahuan mustahil lahir. Tapi, di dalam
dan dari dirinya sendiri, hubungan-hubungan kuantitatif ini tidaklah cukup
untuk menyatakan kompleksitas kehidupan dan pergerakan, proses perubahan tanpa
henti di mana perkembangan yang bertahap dan halus tiba-tiba menimbulkan
perubahan yang penuh kekacauan.
Hubungan yang murni kuantitatif, mengutip
istilah Hegel, menghadirkan proses alam “hanya dalam bentuk yang kaku dan
lumpuh”.[6]Alam semesta ini adalah satu keseluruhan
yang tanpa batas, dan menggerakkan dirinya sendiri, yang menghidupi dirinya
sendiri dan mengandung kehidupan di dalam rahimnya. Gerak adalah sebuah
fenomena yang kontradiktif, yang mengandung baik yang positif maupun yang
negatif. Ini adalah satu dari proposisi paling mendasar dari dialektika, yang
lebih dekat pada hakikat alam yang sesungguhnya daripada aksioma-aksioma
matematika.
Hanya
geometri klasik yang memungkinkan satu pandangan akan ruang yang seluruhnya
kosong. Lagi-lagi ini adalah abstraksi matematika, yang memainkan satu peran
penting, tapi hanya dapat menggambarkan realitas secara pendekatan saja.
Geometri pada hakikatnya membandingkan berbagai besaran spasial. Berlawanan
dengan apa yang dipercayai Kant, abstraksi matematika bukanlah sesuatu yang
“apriori” dan lahir dari dirinya sendiri, tapi diturunkan dari pengamatan akan
dunia material. Hegel menunjukkan bahwa orang-orang Yunani telah memahami
keterbatasan dari penggambaran alam yang murni kuantitatif, dan berkomentar:
“Berapa jauh mereka [para filsuf Yunani]
telah maju dalam pemikiran dibandingkan orang-orang pada masa kita, ketika
beberapa dari kita menempatkan angka-angka dan determinasi angka-angka (seperti
pangkat) sebagai ganti determinasi pikiran, di sisi hal-hal yang besar tak
terhingga dan yang kecil tak terhingga, seperti angka satu yang dibagi tak
berhingga, dan lain-lain determinasi macam itu, yang sering kali merupakan satu
formalisme matematika yang salah kaprah, memilih kembali pada watak
kekanak-kanakan yang impoten ini daripada menerima sesuatu yang berharga dan
bahkan sesuatu yang menyeluruh dan mendasar seperti itu.”[7]
Kalimat-kalimat
ini lebih tepat di masa kini daripada di masa ketika mereka dituliskan. Sangat
mencengangkan ketika beberapa kosmologis dan ahli matematikamembuat klaim yang
sangat absurd mengenai hakikat alam semesta tanpa upaya sedikit pun untuk
membuktikannya melalui fakta-fakta yang dapat diamati, lalu menyandarkan diri
pada keindahan dan kesederhanaan persamaan matematika yang mereka ciptakan
sebagai pemegang keputusan tertinggi. Pemujaan terhadap matematika lebih besar
di masa kini ketimbang di masa apapun setelah masa Pitagoras, yang berpendapat
bahwa “segala hal adalah Angka”. Dan, seperti halnya Pitagoras, terdapat pula
satu nuansa mistis di dalamnya. Matematika menyingkirkan segala determinasi
kualitatif kecuali angka. Ia mengabaikan hakikat isi, dan menerapkan
hukum-hukum internalnya pada segala hal. Tidak satu pun dari
abstraksi-abstraksi ini memiliki keberadaan yang nyata. Hanya dunia material
yang nyata ada. Fakta ini sudah terlalu sering terabaikan, dengan hasil yang
benar-benar merusak.
Relativitas
Sekalipun sangat bersifat abstrak,
teori-teori Einstein pada akhirnya diturunkan dari percobaan-percobaan, dan
telah mendapat penerapan praktis yang membuktikan ketepatannya berkali-kali.
Einstein berangkat dari eksperimen Michelson-Morley[8] yang terkenal itu, “percobaan
negatif yang terbesar sepanjang sejarah ilmu pengetahuan” (Bernal), yang mengungkapkan
kontradiksi internal yang terkandung dalam fisika abad ke-19. Percobaan ini
mencoba menggeneralisasi teori elektromagnetis cahaya dengan menunjukkan bahwa
kecepatan cahaya yang terukur seharusnya tergantung dari kecepatan dari
pengamat yang bergerak melalui “ether” yang diam. Pada akhirnya, tidak ada satu
perbedaanpun ditemukan dalam kecepatan cahaya, bagaimanapun pengukuran
dilakukan, bagaimana dan ke mana pun sang pengamat bergerak.
J.J.
Thomson kemudian menunjukkan bahwa kecepatan elektron dalam medan listrik
tegangan tinggi lebih rendah daripada yang telah diramalkan oleh fisika
Newtonian klasik. Kontradiksi-kontradiksi dalam fisika abad ke-19 ini
dipecahkan oleh teori relativitas khusus. Teori fisika yang lama tidak mampu
menjelaskan fenomena-fenomena radioaktif. Einstein menjelaskan hal ini sebagai
pelepasan sebagian kecil dari satu kumpulan energi raksasa yang terjebak dalam
suatu materi yang “diam”.
Di
tahun 1905, Einstein mengembangkan teori relativitas khususnya di waktu luang
yang dimilikinya, sambil bekerja sebagai juru tulis pada sebuah kantor paten
Swiss. Berangkat dari penemuan-penemuan dari mekanika kuantum, yang waktu itu
masih baru, ia menunjukkan bahwa cahaya melintasi ruang dalam bentuk kuantum
(sebagai berkas-berkas energi). Hal ini jelas bertentangan dengan teori yang
sebelumnya diterima orang bahwa cahaya adalah gelombang. Pada hakikatnya,
Einstein menghidupkan kembali teori yang lama, tapi dengan cara yang sama
sekali berbeda. Di sini cahaya diperlihatkan sebagai satu jenis partikel baru,
dengan watak yang kontradiktif, yang sekaligus menunjukkan properti-properti
partikel dan gelombang. Teori yang mengejutkan ini memungkinkan orang
mempertahankan penemuan-penemuan besar abad ke-19 di bidang optika, termasuk
spektroskop dan persamaan Maxwell. Tapi teori ini memasung mati ide bahwa
cahaya membutuhkan satu kendaraan khusus untuk berjalan melintasi ruang, apa
yang disebut sebagai “ether”.
Teori
relativitas khusus berangkat dari asumsi bahwa kecepatan cahaya dalam ruang
hampa akan selalu terukur pada nilai yang sama, tidak tergantung dari kecepatan
sumber cahaya relatif terhadap kecepatan pengamat. Dari sini disimpulkan bahwa
kecepatan cahaya adalah batas kecepatan bagi segala sesuatu di alam semesta
ini. Selain itu, relativitas khusus menyatakan bahwa massa dan energi pada
kenyataannya adalah setara. Hal ini adalah pembenaran yang mengejutkan atas
postulat filsafati yang mendasar dari materialisme dialektik – tak
terpisahkannya materi dan energi, ide bahwa gerak (“energi”) adalah mode eksistensi
dari materi.
Penemuan
Einstein akan hukum kesetaraan massa dan energi dinyatakan dalam persamaannya
yang terkenal E = mc², yang menyatakan energi raksasa yang terkunci di dalam
atom. Inilah sumber dari segala pemusatan energi di alam semesta. Simbol e
mewakili energi (dalam satuan erg), m untuk massa (dalam gram) dan c adalah
kecepatan cahaya (dalam cm/detik). Nilai dari c² adalah 900 miliarmiliar. Ini
sama dengan menyatakan bahwa satu gram energi yang terkunci dalam materi akan
menghasilkan jumlah energi yang sangat besar, 900 miliarmiliar erg. Untuk
memberi contoh konkret akan hal ini, energi yang terkandung dalam satu gram
materi adalah setara dengan energi yang dihasilkan dengan membakar bensin
seberat 2.000 ton.
Energi
dan massa bukan hanya “dapat saling dipertukarkan”, seperti dolar dipertukarkan
dengan Mark Jerman. Keduanya adalah satu dan sama, yang digambarkan Einstein
sebagai “massa-energi”. Ide ini melangkah jauh lebih dalam dan lebih tepat
ketimbang konsep mekanika lama di mana, misalnya, gesekan diubah menjadi panas.
Di sini, materi hanyalah satu bentuk tertentu dari energi yang “dibekukan”,
sementara berbagai bentuk energi yang lain, termasuk cahaya, memiliki massa
tertentu yang diasosiasikan padanya. Untuk alasan ini, akan sangat keliru jika
kita mengatakan bahwa materi “lenyap” ketika ia berubah menjadi energi.
Hukum
Einstein menggantikan hukum lama tentang kekekalan massa, yang diajukan oleh
Lavoisier, yang menyatakan bahwa materi, yang dipahami sebagai massa, tidak
akan dapat diciptakan atau dihancurkan. Pada kenyataannya, tiap reaksi kimia
yang melepaskan energi mengubah sejumlah kecil massa menjadi energi. Hal ini
tidak dapat diukur dengan jenis reaksi kimia yang dikenal di abad ke-19,
seperti pembakaran batu bara. Tapi reaksi nuklir melepaskan energi yang cukup
besar sehingga jumlah massa yang hilang dapat terukur. Segala materi, bahkan
yang berada dalam keadaan “diam”, mengandung sejumlah energi yang mengagumkan.
Walau demikian, karena hal ini tidak dapat diamati, hal ini tidak dapat
dipahami sampai Einstein memaparkan itu semua.
Einstein
sama sekali tidak menggulingkan materialisme. Teori Einstein justru mendirikan
kembali materialisme dengan basis yang lebih kokoh. Sebagai ganti teori
mekanistik lama tentang “kekekalan massa”, kita kini memiliki hukum-hukum yang
jauh lebih ilmiah dan umum tentang kekekalan massa-energi, yang mengekspresikan
hukum pertama termodinamika dalam bentuk yang universal dan tak tergoyahkan.
Massa sama sekali tidak “hilang”, melainkan diubah menjadi energi. Jumlah total
massa-energi akan tetap sama. Tidak satu pun partikel materi yang dapat
diciptakan atau dihancurkan. Ide kedua adalah sifat membatasi yang dikandung
oleh kecepatan cahaya: pernyataan bahwa tidak satu pun partikel yang dapat
melaju dengan kecepatan di atas kecepatan cahaya, karena sejalan dengan semakin
dekatnya ia pada kecepatan kritis ini, massanya akan semakin dekat pada titik
tak berhingga, sehingga ia akan semakin lama semakin sulit untuk melaju lebih
cepat lagi. Ide ini nampaknya abstrak dan sulit dipahami. Ia bertentangan
dengan semua asumsi “akal sehat”. Hubungan antara “akal sehat” dan sains telah
diringkas oleh ilmuwan Soviet Profesor L. D. Landau dalam baris-baris berikut:
“Apa yang disebut akal sehat tidak lain
adalah satu generalisasi sederhana dari pandangan-pandangan dan
kebiasaan-kebiasaan yang telah tumbuh dalam kehidupan kita sehari-hari. Ia
hanya memiliki tingkat pemahaman yang terbatas, yang mencerminkan satu tingkat
eksperimen tertentu.” Dan ia menambahkan: “Sains tidak gentar untuk berbenturan
dengan apa yang disebut akal sehat. Ia hanya gentar akan ketidakcocokan antara
ide-ide yang ada dengan fakta-fakta eksperimen baru dan jika ketidakcocokan itu
terjadi sains akan tanpa ampun menghancurkan ide yang tadinya ia bangun dan meningkatkan
pengetahuan kita ke tingkat yang lebih tinggi.”[9]
Bagaimana
mungkin satu objek yang bergerak meningkatkan massanya? Pandangan semacam ini
jelas bertentangan dengan pengalaman kita sehari-hari. Sebuah topi yang diputar
tidak terlihat menambah massanya ketika ia berputar. Nyatanya, massanya
bertambah, tapi pertambahan itu demikian kecilnya sehingga dapat diabaikan
secara praktis. Efek relativitas khusus tidak dapat diamati pada tingkat
fenomena sehari-hari. Walau demikian, di bawah kondisi-kondisi yang ekstrem,
misalnya, pada kecepatan yang demikian tinggi mendekati kecepatan cahaya, efek
relativitas mulai memainkan perannya.
Einstein
memprediksikan bahwa massa dari benda bergerak akan bertambah pada tingkat
kecepatan yang sangat tinggi. Hukum ini dapat diabaikan ketika kita berurusan
dengan kecepatan normal. Walau demikian, partikel-partikel sub-atomik bergerak
dengan kecepatan hampir 16.000 km/detikatau lebih, dan pada kecepatan semacam
itu efek-efek relativitas muncul. Penemuan –penemuan mekanika kuantum
menunjukkan ketepatan dari teori relativitas khusus ini, bukan hanya secara
kualitatif tapi juga secara kuantitatif. Sebuah elektron mendapat tambahan
massa sebesar 3 1/6 kali massa-diamnya ketika ia bergerak pada kecepatan
sebesar 9/10 kecepatan cahaya; tepat seperti yang diramalkan oleh teori
Einstein. Sejak itu, relativitas khusus telah diuji berulang kali, dan sejauh
ini ia selalu memberi hasil seperti yang diprediksi. Elektron yang muncul dari
satu akselerator partikel yang kuat meluncur dengan massa 40.000 kali lebih
berat dari massa-diamnya, massa tambahan itu merupakan satu bentuk lain dari
energi gerak.
Pada
kecepatan yang jauh lebih tinggi, penambahan dalam massa dapat diamati. Dan
fisika modern berurusan dengan kecepatan tinggi ini, seperti kecepatan
partikel-partikel sub-atomik, yang mendekati kecepatan cahaya. Di sini,
hukum-hukum mekanika klasik, yang cukup untuk menjelaskan gejala-gejala
sehari-hari, tidak dapat diterapkan. Bagi akal sehat, massa sebuah objek tidak
akan berubah. Dengan demikian, satu topi yang berputar akan memiliki berat yang
sama dengan topi yang diam. Dengan cara ini diturunkan satu hukum yang
menyatakan bahwa massa adalah konstan, tidak tergantung dari kecepatannya.
Kemudian,
hukum ini ternyata keliru. Ditemukan bahwa massa bertambah sejalan dengan
bertambahnya kecepatan. Walau demikian, karena pertambahan itu baru nampak
jelas ketika mendekati kecepatan cahaya, kita dapat menganggapnya sebagai
konstan. Hukum yang tepat akan berbunyi: “Jika sebuah objek bergerak dengan
kecepatan kurang dari 100 mil per detik [± 160 km/detik], massa dapat dikatakan
konsisten, dengan kemungkinan penyimpangan seper sejuta bagian.” Untuk
keperluan sehari-hari, kita dapat menganggap bahwa massa adalah konstan, tidak
tergantung pada kecepatannya. Tapi, untuk kecepatan yang tinggi, hal ini adalah
keliru. Dan semakin tinggi kecepatannya, semakin keliru perhitungan kita.
Seperti pemikiran yang didasarkan pada logika formal, hukum itu dapat diterima
untuk keperluan-keperluan praktis. Feynman menunjukkan:
“ ... Secara filsafati, kita sepenuhnya
keliru bila memegang hukum-hukum pendekatan itu. Seluruh pandangan kita atas
dunia harus diubah sekalipun massa hanya berubah sedikit saja. Ini adalah hal
yang sangat aneh mengenai filsafat, atau ide, yang melatarbelakangi hukum-hukum
itu. Bahkan perubahan yang sangat kecil kadang kala memaksa kita mengubah ide
kita secara mendasar.”[10]
Prediksi-prediksi
relativitas khusus telah terbukti sesuai dengan fakta-fakta. Melalui eksperimen
para ilmuwan menemukan bahwa sinar gamma dapat menghasilkan partikel-partikel
atomik, mengubah energi cahaya menjadi materi. Mereka juga menemukan bahwa
energi minimum yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu partikel tergantung dari
energi-diamnya, seperti yang diramalkan oleh Einstein. Nyatanya, bukan hanya
satu, melainkan dua partikel yang dihasilkan: satu partikel dan lawannya,
“anti-partikel”. Dalam eksperimen sinar gamma, kita mendapatkan satu elektron
dan satu anti-elektron (positron). Kebalikannya berlaku pula: ketika sebuah
positron bertumbukan dengan elektron, mereka saling menghancurkan dan
menghasilkan sinar gamma. Dengan demikian, energi diubah menjadi materi, dan
materi menjadi energi. Penemuan Einstein menyediakan basis bagi pemahaman yang
jauh lebih mendasar akan tata kerja alam semesta ini. Ia menyediakan sebuah
penjelasan tentang sumber energi matahari, yang telah menjadi misteri sepanjang
segala abad. Lumbung energi raksasa itu ternyata adalah – materi itu sendiri.
Energi yang mengerikan, yang terkunci dalam materi telah ditunjukkan kepada
dunia di bulan Agustus 1945 dalam keganasan ledakan bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki. Semua ini terkandung dalam rumus yang kelihatannya demikian
bersahaja; E = mc².
Teori Relativitas Umum
Teori
relativitas khusus cukup memadai ketika menangani sebuah objek yang bergerak
pada kecepatan dan arah yang tetap relatif terhadap pengamat. Walau demikian,
dalam prakteknya, gerak tidak pernah tetap. Selalu terdapat gaya yang
menyebabkan berbagai variasi dalam kecepatan dan arah dari benda bergerak.
Karena partikel-partikel sub-atomik bergerak pada kecepatan yang teramat tinggi
dengan jarak yang teramat pendek, mereka tidak memiliki waktu banyak untuk berakselerasi,
dan teori relativitas khusus dapat diterapkan. Walau demikian, dalam pergerakan
planet dan bintang-bintang, relativitas khusus terbukti tidak mencukupi. Di
sini kita berurusan dengan percepatan yang dahsyat, yang disebabkan oleh medan
gravitasi yang besar. Sekali lagi kita menjumpai kasus kuantitas dan kualitas.
Pada tingkat sub-atomik, gravitasi sangat kecil dibanding gaya-gaya yang lain,
dan dapat diabaikan. Pada dunia yang kita jumpai sehari-hari, sebaliknya, semua
gaya lain dapat kita abaikan – kecuali gravitasi.
Einstein
berusaha menerapkan relativitas pada gerak secara umum, bukan hanya pada gerak
yang tetap. Dengan demikian kita sampai pada teori relativitas umum, yang
mengurusi masalah gravitasi. Ia adalah satu tonggak penentu yang menandai
perpisahan dengan fisika klasik Newton, dengan alam semestanya yang mekanik dan
absolut, tapi juga dengan geometri klasik Euclides yang sama absolutnya dengan
fisika Newton. Einstein menunjukkan bahwa geometri Euclides hanya dapat
diterapkan pada “ruang kosong”, satu abstraksi yang ditarik secara idealis.
Pada kenyataannya, ruang tidaklah “kosong”. Ruang tidak dapat dipisahkan dari
materi. Einstein menegaskan bahwa ruang itu sendiri dikondisikan oleh kehadiran
benda-benda material. Dalam teori umumnya, ide ini digambarkan melalui
pernyataan yang nampaknya kontradiktif bahwa, di dekat benda-benda berat,
“ruang dilengkungkan”.
Alam
semesta yang nyata, yakni yang material, tidaklah seperti dunia yang
digambarkan oleh geometri Euclides, dengan lingkaran-lingkarannya yang
sempurna, garis lurus yang sempurna, dan seterusnya. Dunia nyata penuh dengan
ketidakteraturan. Ia tidaklah lurus tapi justru “melengkung” [“warped”]. Di
pihak lain, ruang bukanlah sesuatu yang hadir terpisah dari materi. Lengkung
ruang adalah salah satu cara saja untuk menyatakan lengkungan materi yang
“mengisi” ruang.Contohnya, telah dibuktikan bahwa berkas cahaya berjalan
melengkung di bawah pengaruh medan gravitasi dari benda-benda langit.
Teori relativitas umum ini pada hakikatnya
memiliki sifat-sifat geometris, tapi geometrinya sama sekali berbeda dengan
geometrinya Euclides. Dalam geometri Euclides, misalnya, dua garis paralel
tidak akan pernah bertemu, dan sudut-sudut segitiga selalu berjumlah 180
derajat. Ruang-waktu [space-time]-nya Einstein
(yang sebenarnya pertama kali dikembangkan oleh ahli matematika keturunan
Rusia-Jerman, Hermann Minkowski, salah satu dari guru Einstein, di tahun 1907)
merupakan satu sintesis dari ruang tiga dimensi (tinggi, lebar dan panjang)
dengan waktu. Geometri empat-dimensi ini berurusan dengan bidang-bidang
lengkung (“ruang-waktu yang lengkung”). Di sini sudut dari sebuah segitiga
boleh jadi tidak berjumlah 180 derajat, dan garis-garis sejajar boleh jadi
saling menyilang atau bersinggungan.
Dalam
geometrinya Euclides, seperti yang ditunjukkan Engels, kita menemui serangkaian
abstraksi yang sama sekali tidak bersesuaian dengan dunia nyata: satu titik
yang tidak memiliki dimensi, yang menjadi sebuah garis lurus, yang, pada
gilirannya, menjadi satu bidang datar sempurna, dan sebagainya, dan seterusnya.
Di antara abstraksi-abstraksi ini kita mendapati abstraksi yang paling kosong
dibandingkan yang lain, yaitu tentang “ruang kosong”. Ruang, apapun yang
dipercayai Kant tentang hal itu, tidak dapat hadir tanpa sesuatu yang akan
mengisinya, dan bahwa sesuatu itu persis adalah materi (dan energi, yang
merupakan hal yang sama dengan materi). Geometri ruang ditentukan oleh materi
yang dikandungnya. Inilah makna sejati dari “ruang yang melengkung” (curved
space). Ia hanyalah satu cara untuk menyatakan properti-properti materi yang
sesungguhnya. Masalah ini justru dibuat menjadi membingungkan oleh
metafora-metafora yang keliru, yang digunakan untuk memopulerkan Einstein:
“Bayangkan ruang sebagai selembar karet,” atau “Bayangkan ruang sebagai
selembar kaca,” dan seterusnya. Pada kenyataannya, gagasan yang terutama adalah
kesatuan yang tak terpisahkan antara waktu, ruang, materi dan gerak. Seketika
kita melupakan kesatuan ini, kita akan tergelincir ke dalam mistifikasi idealistis.
Jika
kita memandang ruang sebagai Dirinya-Sendiri, ruang kosong, seperti menurut
Euclides, jelas bahwa ia tidak akan dapat dilengkungkan. Ia “tidak ada”. Walau
demikian, seperti yang dinyatakan Hegel, tidak sesuatu pun di alam semesta ini
yang tidak mengandung ada dan tiada sekaligus. Ruang dan materi bukanlah dua
hal yang berlawanan secara berseberangan. Mereka bukanlah fenomena yang
terpisah. Ruang mengandung materi, dan materi mengandung ruang. Keduanya sama
sekali tidak terpisahkan. Kesatuan dialektik antara materi dan ruang adalah
persis seperti adanya alam semesta ini. Dengan cara yang sangat mendasar, teori
relativitas umum menyampaikan gagasan tentang kesatuan dialektik materi dan
ruang ini. Dengan cara yang sama, angka nol dalam matematika bukanlah
“ketiadaan”, tapi menyatakan satu kuantitas yang riil, dan memainkan peran yang
menentukan.
Einstein
menyajikan gravitasi sebagai salah satu properti ruang, bukan sebagai sebuah
“gaya” yang bekerja atas satu benda. Menurut pandangan ini, ruang itu sendiri
melengkung sebagai akibat dari kehadiran materi. Ini adalah cara yang unik
untuk menyatakan kesatuan ruang dan waktu, dan yang membuka peluang besar untuk
kesalahpahaman yang serius. Ruang itu sendiri, tentu saja, tidak dapat
melengkung jika dipahami sebagai “ruang kosong”. Poin utamanya adalah bahwa
mustahil ada ruang tanpa materi. Keduanya tidak terpisahkan. Apa yang kita
bicarakan di sini adalah satu hubungan definitif antara ruang terhadap materi.
Para atomis Yunani dahulu kala menunjukkan bahwa atom hadir dalam “kekosongan”.
Yang satu tidak dapat ada tanpa keberadaan yang lain. Materi tanpa ruang adalah
sama dengan ruang tanpa materi. Satu kekosongan yang sama sekali kosong adalah
ketiadaan, itu saja. Tapi demikian pula halnya dengan materi yang tidak
memiliki pembatas. Ruang dan materi, dengan demikian, adalah dua hal
bertentangan yang saling mensyaratkan keberadaan yang lain, saling menentukan,
saling membatasi, dan tak dapat hadir tanpa kehadiran yang lain.
Teori
relativitas umum berfungsi menjelaskan setidaknya satu gejala yang tidak dapat
dijelaskan oleh teori klasik Newton. Semakin planet Merkurius mendekati titik
terdekatnya dengan matahari, orbit putarannya menunjukkan satu ketidakteraturan
yang aneh, yang dahulu dikatakan disebabkan oleh gangguan yang disebabkan oleh
gravitasi planet lain. Walau demikian, bahkan ketika gangguan ini
diperhitungkan, hal itu tetap tidak dapat menjelaskan keadaan ini. Penyimpangan
orbit Merkurius di dekat matahari (pada titik “perihelion”-nya) sangatlah
kecil, tapi cukup untuk mengganggu perhitungan para astronom. Teori relativitas
Einstein meramalkan bahwa perihelion dari segala benda langit yang berputar
harus memiliki sebuah gerak di luar yang dicakup oleh hukum-hukum Newton. Hal
ini terbukti tepat bagi Merkurius, dan setelah itu juga untuk Venus.
Ia
juga memprediksikan bahwa medan gravitasi akan melengkungkan berkas cahaya.
Maka, klaimnya, seberkas cahaya yang melintas dekat permukaan matahari akan
dilengkungkan dengan sudut 1,75 arc-detik. Di tahun 1919, sebuah pengamatan
terhadap gerhana matahari membuktikan bahwa hal ini benar terjadi. Teori
Einstein yang gemilang itu telah dibuktikan benar dalam praktek. Ia sanggup
menjelaskan pergeseran dalam posisi bintang-bintang yang dekat dengan matahari
melalui pelengkungan terhadap berkas sinar mereka, dan juga gerak tidak teratur
dari planet Merkurius, yang tidak dapat dihitung dengan menggunakan teori-teori
Newton.
Newton
menjabarkan hukum-hukum yang mengatur pergerakan benda-benda, menurut teori ini
kekuatan tarikan gravitasi tergantung pada massanya. Ia juga menegaskan bahwa
segala gaya yang dikenakan pada satu benda akan menghasilkan percepatan yang
berbanding terbalik dengan massa benda tersebut. Resistensi terhadap percepatan
ini disebut inersia. Semua massa diukur atau melalui efek gravitasinya atau
efek inersianya. Pengamatan langsung telah menunjukkan bahwa massa inersia dan
massa gravitasional adalah identik, dengan penyimpangan sebesar satu per satu
triliun. Einstein memulai teorinya tentang relativitas umum dengan menganggap
bahwa massa inersia dan massa gravitasional adalah persis setara, karena
keduanya pada hakikatnya adalah hal yang sama.
Bintang-bintang
yang nampaknya tidak bergerak itu sesungguhnya bergerak dengan kecepatan maha
dahsyat. Persamaan kosmis Einstein di tahun 1917 mengimplikasikan bahwa alam
semesta itu sendiri tidaklah tetap, tidak bergeming sepanjang segala abad, tapi
dapat mengembang. Galaksi-galaksi bergerak menjauh dari kita dengan kecepatan
sekitar 700 mil per detik [± 1120 km per detik]. Bintang-bintang dan
galaksi-galaksi terus berubah, lahir dan mati. Seluruh alam semesta adalah
arena raksasa di mana drama kelahiran dan kematian bintang-bintang dan
galaksi-galaksi dimainkan di seluruh sudutnya sepanjang segala waktu. Ini
adalah kejadian yang benar-benar revolusioner! Galaksi-galaksi yang meledak,
supernova, benturan-benturan dahsyat antar bintang, lubang hitam dengan
densitas miliaran kali dari matahari kita yang dengan rakus menelan bulat-bulat
bintang-bintang lain. Imajinasi para penyair tidak akan pernah cukup untuk
menggambarkan segala kedahsyatan ini.
Hubungan Antar Benda-benda
Banyak
konsep murni bersifat kualitatif dalam hakikatnya. Misalnya, jika kita diminta
mengatakan apakah sebuah jalan berada di sisi kiri atau kanan dari sebuah
rumah, mustahil untuk memberi jawaban. Jawabannya akan tergantung pada arah
mana yang ditempuh oleh orang yang bergerak relatif terhadap rumah tersebut. Di
sisi lain, kita dapat bicara tentang tepi kanan dari sebuah sungai, karena
aliran sungai menentukan arah dari sungai tersebut. Mirip dengan itu, kita
dapat mengatakan bahwa mobil berjalan di sebelah kiri (setidaknya di Inggris!)
karena pergerakan dari sebuah mobil memilih salah satu dari dua kemungkinan
arah sepanjang jalan itu. Dalam semua contoh ini, walau demikian, konsep
tentang “kiri” dan “kanan” terbukti relatif, karena mereka hanya mendapatkan
maknanya sesuai dengan arah yang menjadi patokan untuk menentukan makna mereka.
Begitu
juta ketika kita bertanya “Apakah saat ini siang atau malam?” jawabannya akan
tergantung di mana kita sedang berada. Di London saat ini siang, tapi di
Australia saat ini sedang malam hari. Siang dan malam adalah konsep yang
relatif, ditentukan oleh kedudukan kita pada bola dunia. Satu objek akan nampak
lebih besar atau lebih kecil tergantung pada jaraknya dari kedudukan pengamat.
“Atas” dan “bawah” juga memiliki makna yang relatif, yang berubah ketika
ditemukan bahwa bumi ini bulat, bukan datar. Bahkan sampai hari ini, sangat
sulit bagi “akal sehat” untuk menerima bahwa penduduk Australia dapat berjalan
“dengan kepala di bawah”– jika dilihat dari Inggris! Tapi tetap tidak ada
kontradiksi di sini jika kita paham bahwa konsep tentang tegak lurus tidaklah
mutlak melainkan relatif. Untuk keperluan praktis, kita dapat menganggap
permukaan bumi sebagai “datar” dan, dengan demikian, semua yang tegak lurus
dapat dianggap sejajar, ketika kita melihat misalnya, dua rumah di satu kota.
Tapi ketika kita harus memperhitungkan jarak yang jauh lebih besar, yang
melibatkan seluruh permukaan bumi, kita akan menemukan bahwa upaya untuk
menggunakan konsepsi tegak lurus yang mutlak akan membawa kita pada hal-hal
yang absurd dan kontradiktif.
Jika
kita meluaskan konsep ini, posisi dari sebuah benda langit pastilah relatif
terhadap posisi benda-benda langit yang lain. Mustahil bagi kita untuk
menetapkan kedudukan satu objek tanpa rujukan terhadap objek lainnya. Konsep
“pergantian tempat” dari satu benda langit tidak bermakna lebih dari bahwa ia
bertukar posisi relatif terhadap benda langit lain. Sejumlah hukum alam yang
penting memiliki sifat yang relatif, misalnya prinsip relativitas gerak dan
hukum inersia. Hukum yang disebut terakhir itu menyatakan bahwa sebuah benda
yang tidak dikenai satu gaya dari luar dirinya tidak hanya dapat hadir dalam
keadaan diam, melainkan juga dalam sebuah gerak yang seragam, membentuk garis
lurus. Hukum dasar fisika ini ditemukan oleh Galileo.
Dalam
praktek, kita tahu bahwa benda-benda yang tidak dikenai satu gaya dari luar
dirinya cenderung akan berada dalam keadaan diam, setidaknya dalam kehidupan
sehari-hari. Di dunia nyata, kondisi-kondisi untuk berlakunya hukum inersia,
yakni tidak adanya gaya eksternal yang bekerja pada sebuah benda, tidak akan
pernah ada. Gaya-gaya seperti gesekan bekerja pada satu benda untuk membuatnya
berhenti. Walau demikian, dengan terus memperbaiki kondisi eksperimen,
dimungkinkanlah untuk semakin dekat pada kondisi ideal yang dibayangkan oleh
hukum inersia, dan dengan demikian menunjukkan bahwa ia berlaku bahkan untuk
gerak yang diamati dalam kehidupan sehari-hari. Aspek relatif (kuantitatif)
dari waktu dinyatakan dengan jelas oleh teori Einstein, yang membawanya ke
tingkat yang jauh lebih mendasar daripada yang dapat dilakukan oleh teori
klasik Newton.
Gravitasi
bukanlah “gaya”, tapi sebuah hubungan antara benda-benda nyata. Bagi seseorang
yang sedang jatuh dari sebuah gedung tinggi, akan nampak bahwa tanah sedang
“melaju ke arahnya”. Dari sudut pandang relativitas, pengamatan ini tidaklah
keliru. Hanya jika kita menganut konsepsi tentang “gaya” yang mekanistik dan
sepihaklah kita akan melihat proses ini sebagai proses bekerjanya gravitasi
bumi dalam menarik tubuh orang itu ke bawah, bukannya melihat bahwa ini adalah
satu proses di mana dua benda berinteraksi satu terhadap yang lain. Untuk
kondisi-kondisi “normal” teori gravitasi Newton sesuai dengan teori gravitasi
Einstein. Tapi dalam kondisi ekstrem, keduanya sama sekali tidak bersesuaian.
Kenyataannya, teori Newton bertentangan dengan teori relativitas umum dengan
cara yang serupa dengan pertentangan antara logika formal dengan dialektika.
Dan, sampai hari ini, bukti-bukti menunjukkan bahwa baik relativitas maupun
dialektika adalah tepat.
Seperti
yang dijelaskan oleh Hegel, tiap pengukuran sebenarnya adalah pernyataan
tentang rasio. Walau demikian, karena tiap pengukuran sebenarnya adalah
perbandingan, harus ada satu standar yang tidak dapat diperbandingkan dengan
apapun kecuali dirinya sendiri. Secara umum, kita hanya dapat memahami segala
sesuatu dengan membandingkan mereka dengan hal lain. Hal ini menyatakan
konsepsi dialektik tentang kesalingterhubungan universal. Esensi dari metode
dialektika adalah analisa atas segala hal dalam pergerakan, perkembangan dan
hubungan mereka. Ia adalah satu antitesis terhadap cara berpikir mekanistik
(metode “metafisik” dalam makna yang dipergunakan oleh Marx dan Engels) yang
memandang segala sesuatu sebagai statis dan mutlak. Inilah kecacatan dari
pandangan klasik Newton atas alam semesta, yang, sekalipun telah mencapai
banyak hal, tidak pernah dapat lolos dari kesepihakan yang merupakan ciri dari
cara pandang dunia yang mekanistik.
Properti-properti dari satu benda bukanlah
hasil dari hubungannya terhadap benda lain, tapi hanya dapat mewujudkan dirinya
dalam hubungannya dengan benda lain. Hegel merujuk pada hubungan-hubungan ini
secara umum sebagai “kategori-refleks”. Konsep relativitas adalah satu konsep
yang penting, dan telah dikembangkan sepenuhnya oleh Hegel dalam jilid pertama
dari adi karyanya, The Science of Logic.
Kita
melihatnya, misalnya, pada kelembagaan sosial seperti kerajaan. Trotsky
menjelaskan:
“Orang-orang
yang pikirannya naif berpikir bahwa kuasa kerajaan bersemayam di tubuh raja itu
sendiri, dalam jubah dan mahkotanya, dalam daging dan tulangnya. Pada
kenyataannya, kuasa kerajaan adalah satu kesalingterhubungan antar seluruh
penduduk kerajaan. Sang Raja hanya dapat menjadi raja karena
kepentingan-kepentingan dan prasangka-prasangka dari jutaan orang tercermin
melalui dirinya. Ketika tsunami perkembangan menyapu kesalingterhubungan ini,
maka sang Raja akan nampak sebagai orang yang basah kuyup, yang bibirnya
bengkak kedinginan. Dia yang dahulu disebut Alphonso XIII dapat berbincang
dengan kita tentang itu dari pengalaman pribadinya.
“Para pemimpin yang memimpin karena
kehendak rakyat berbeda dengan mereka yang memimpin atas nama Tuhan dalam makna
bahwa yang disebut pertama itu diwajibkan membuka jalan bagi dirinya sendiri
atau, setidaknya, membantu terjadinya berbagai kejadian sampai ia ditemukan. Meski
demikian, kepemimpinan selalu merupakan hubungan antar orang, yakni individu
yang memenuhi kebutuhan kolektif. Kontroversi tentang kepribadian Hitler
menjadi semakin tajam bila rahasia kesuksesannya semakin dicari dari dalam diri
dia sendiri. Sementara itu, sulit bagi kita untuk menemukan figur politik lain
yang menjadi perwujudan dari pemusatan yang demikian dahsyat dari berbagai
kekuatan historis yang tidak teridentifikasi. Tidak setiap borjuis kecil yang
putus asa dapat menjadi Hitler, tapi satu partikel dari Hitler bersemayam dalam
tiap borjuis kecil yang putus asa.”[11]
Dalam Capital, Marx menunjukkan bagaimana
kerja manusia yang konkret menjadi medium untuk mengekspresikan kerja manusia
yang abstrak. Kerja konkret itu adalah bentuk yang diambil oleh lawannya, kerja
manusia yang abstrak, untuk mewujudkan diri. Nilai bukanlah satu benda material
yang dapat diturunkan dari sifat-sifat fisik sebuah komoditi. Pada
kenyataannya, ia adalah abstraksi di dalam pikiran. Tapi itu bukan alasan untuk
menyebutnya satu ciptaan yang acak. Pada kenyataannya, ia adalah ekspresi dari
sebuah proses objektif, dan ditentukan oleh jumlah kerja sosial yang diperlukan
(socially necessary labour) dalam proses produksi.
Begitu juga waktu adalah satu abstraksi yang, sekalipun tidak dapat dilihat,
didengar atau disentuh, dan hanya dapat dinyatakan dalam bentuk-bentuk
pengukuran relatif, bagaimanapun juga merujuk pada sebuah proses fisik yang
objektif.
Ruang
dan waktu adalah abstraksi-abstraksi yang memungkinkan kita untuk mengukur dan
memahami dunia material. Segala pengukuran dilakukan relatif terhadap ruang dan
waktu. Gravitasi, sifat-sifat kimia, bunyi, cahaya, semua ditelaah dari kedua
sudut pandang ini. Dengan demikian, kecepatan cahaya adalah300.000 km per
detik, sementara suara ditentukan oleh jumlah getaran per detik. Bunyi dari
sebuah alat musik petik, misalnya, ditentukan oleh waktu di mana sejumlah
getaran terjadi dan unsur-unsur spasial (panjang dan tebal) dari benda bergetar
itu. Keserasian yang terasa bagi estetika dalam pikiran juga adalah manifestasi
lain dari rasio, pengukuran, dan, dengan demikian, waktu.
Waktu
tidak dapat dinyatakan kecuali dalam cara yang relatif. Begitu juta, nilai
besaran dari sebuah komoditi hanya dapat dinyatakan relatif terhadap komoditi
yang lain. Walau demikian, nilai adalah intrinsik bagi komoditi, dan waktu
adalah sifat objektif dari materi secara umum. Ide bahwa waktu itu sendiri
adalah subjektif, yakni hanya merupakan ilusi dari pikiran manusia, hanya
mengingatkan kita pada prasangka bahwa uang hanyalah sebuah simbol, yang tidak
memiliki signifikansi yang penting. Upaya untuk “men-demonetisasi” emas
[menghilangkan nilainya sebagai alat tukar], yang muncul dari premis yang
keliru ini, selalu membawa inflasi setiap kali dicoba dilakukan. Di Kekaisaran
Romawi, nilai uang ditetapkan oleh dekrit kekaisaran, dan ada larangan untuk
memperlakukan uang sebagai sebuah komoditi. Hasilnya adalah kejatuhan yang
terus terjadi atas nilai mata uang mereka. Satu gejala yang serupa telah
terjadi di tengah kapitalisme modern, terutama sejak Perang Dunia II. Dalam
perekonomian, dalam kosmologi, tercampuraduknya pengukuran dengan sifat hakiki
dari benda itu sendiri selalu membawa pada kerancuan-kerancuan di dalam
praktek.
Pengukuran Atas Waktu
Walaupun
upaya untuk mendefinisikan apa itu waktu merupakan satu kesulitan, pengukuran
atasnya tidaklah demikian. Para ilmuwan sendiri tidaklah menjelaskan apa itu
waktu, tapi membatasi diri mereka dengan pengukuran atas waktu. Dari
pencampuradukan kedua konsep inilah muncul kebingungan tanpa akhir. Maka, kata
Feynman:
“Mungkin sebaiknya kita menghadapi kenyataan
bahwa waktu adalah salah satu hal yang tidak dapat kita definisikan (dalam
makna kamus), dan kita dapat mengatakan bahwa ia adalah apa yang selama ini
kita ketahui ia seperti apa: ia adalah berapa lama kita harus menunggu! Yang
penting bukanlah bagaimana kita mendefinisikan waktu, tapi bagaimana kita
mengukurnya.”[12]
Pengukuran
atas waktu pasti melibatkan satu kerangka rujukan, dan tiap fenomena yang
berubah sejalan dengan waktu – misalnya, rotasi bumi, atau ayunan pendulum.
Rotasi harian bumi pada sumbunya menyediakan satu skala waktu. Peluruhan
unsur-unsur radioaktif dapat digunakan untuk mengukur waktu dalam jangka yang
sangat panjang. Pengukuran atas waktu melibatkan satu unsur subjektif.
Orang-orang Mesir membagi siang dan malam menjadi dua belas bagian. Orang-orang
Sumeria memiliki sistem angka berbasis 60, dan dengan demikian membagi jam
menjadi 60 menit dan menit menjadi 60 detik. Satu meter didefinisikan sebagai
seper sepuluh juta jarak dari kutub bumi ke khatulistiwa (sekalipun definisi
ini tidaklah sepenuhnya akurat). Sentimeter adalah seper seratus meter, dan
seterusnya. Pada awal abad ini, penyelidikan atas dunia sub-atomik membawa
orang pada penemuan dua unit pengukuran yang alami: kecepatan cahaya, c, dan
tetapan [konstanta] Planck, h. Kedua unit itubukanlah massa, panjang, atau
waktu secara langsung, melainkan kesatuan dari ketiganya.
Ada
satu perjanjian internasional bahwa satu meter didefinisikan sebagai jarak
antara dua guratan pada sebuah batangan yang disimpan dalam satu laboratorium
di Prancis. Baru-baru ini, telah disadari bahwa definisi ini tidak cukup akurat
sehingga berguna, atau tidak cukup permanen dan universal seperti yang
dikehendaki oleh orang-orang. Kini sedang dipertimbangkan untuk menggunakan
satu definisi baru, yakni satu panjang gelombang tertentu (yang berdasarkan
persetujuan) dari garis spektraltertentu. Di pihak lain, pengukuran atas waktu
bervariasi tergantung pada skala dan rentang-usia dari objek yang sedang
diteliti.
Jelaslah
bahwa konsep tentang waktu akan berbeda tergantung pada kerangka rujukannya.
Satu tahun di bumi tidaklah sama dengan satu tahun di Yupiter. Demikian pula
ide tentang waktu dan ruang bagi seorang manusia dan bagi seekor nyamuk yang
rentang-usianya hanya beberapa hari akan berbeda, atau bagi sebuah partikel
sub-atomik yang rentang-usianya hanya seper semiliar detik (tentu dengan
menganggap bahwa partikel itu dapat berpikir).Apa yang kita rujuk di sini
adalah bagaimana waktu dipandang dalam berbagai konteks yang berbeda. Jika kita
menerima satu kerangka rujukan tertentu, cara kita memandang waktu akan
berbeda. Bahkan dalam praktek hal ini dapat dilihat, sampai derajat tertentu.
Misalnya, cara normal untuk mengukur waktu tidak dapat diterapkan pada
pengukuran terhadap rentang-usia partikel-partikel sub-atomik, dan standar yang
berbeda harus pula digunakan untuk mengukur “waktu geologis”.
Dari
sudut pandang ini, waktu dapat dikatakan relatif. Pengukuran pasti melibatkan
keterhubungan. Pikiran manusia mengandung banyak konsep yang pada hakikatnya
relatif, misalnya besaran relatif, seperti “besar” atau “kecil”. Manusia kecil
dibandingkan dengan gajah, tapi besar jika dibandingkan dengan semut. Konsep
kecil dan besar, dalam diri mereka sendiri, tidaklah memiliki makna. Seper
sejuta detik, dalam makna sehari-hari, kelihatannya adalah waktu yang teramat
singkat, tapi bagi partikel-partikel sub-atomik itu adalah waktu yang teramat
panjang. Di titik ekstrem yang lain, sejuta tahun adalah waktu yang teramat
singkat di tingkat kosmologi.
Semua
ide tentang ruang, waktu dan gerak tergantung pada pengamatan kita akan
hubungan-hubungan dan perubahan-perubahan di dunia material. Walau demikian,
pengukuran atas waktu sungguh berbeda ketika kita meneliti berbagai jenis
materi. Pengukuran ruang dan waktu niscaya akan relatif terhadap sejenis
kerangka rujukan tertentu – bumi, matahari atau titik statis lainnya – yang
dapat dijadikan rujukan bagi peristiwa-peristiwa lain di alam semesta. Kini
jelaslah bahwa materi mengalami segala jenis perubahan yang berbeda-beda:
perubahan dalam posisi, yang pada gilirannya melibatkan perubahan dalam kecepatan,
perubahan keadaan, yang melibatkan perubahan dalam tingkat-tingkatenergi,
kelahiran, pembusukan dan kematian, pengorganisasian dan disorganisasi atau
pengacakan, dan banyak lagi perubahan yang lain, yang semua dapat dinyatakan
dan diukur dalam bentuk waktu.
Bagi
Einstein, waktu dan ruang tidak dianggap sebagai fenomena yang saling
terisolasi, dan sesungguhnya mustahil untuk menganggap mereka sebagai “benda di
dalam diri mereka sendiri”. Einstein mengajukan satu pandangan bahwa waktu
tergantung pada pergerakan dari sebuah sistem dan bahwa selang waktu berubah
dengan cara sedemikian rupa sehingga kecepatan cahaya pada sistem tersebut
tidaklah tergantung pada pergerakannya. Skala spasial juga dapat berubah
sewaktu-waktu. Teori klasik Newton tetap sahih untuk keperluan sehari-hari, dan
bahkan merupakan pendekatan yang baik untuk cara kerja umum alam semesta.
Mekanika Newton tetap berlaku pada banyak cabang ilmu pengetahuan, bukan hanya
astronomi, tapi juga dalam ilmu praktis seperti permesinan. Pada kecepatan
rendah, efek relativitas khusus dapat diabaikan. Misalnya, kesalahan pengukuran
atas sebuah pesawat yang terbang dengan kecepatan 400 km/jamadalah sekitar
sepuluh per miliar dari satu persen. Walau demikian, di luar batas tertentu,
hukum ini gagal dan runtuh. Pada tingkat kecepatan yang kita temui pada mesin
akselerator partikel, misalnya, kita perlu memperhitungkan prediksiEinstein
bahwa massa tidaklah konstan tapi berubah sebanding dengan kecepatannya.
Dari sudut pandang pemahaman sehari-hari
yang normal tentang pengukuran waktu, rentang-usia yang teramat singkat dari
partikel-partikel sub-atomik tidak akan dapat dengan tepat dinyatakan. Sebuah
pi-meson, misalnya, memiliki rentang-usia hanya sekitar 10-16 detik, sebelum ia meluruh. Begitu juga
getaran inti atom, atau rentang usia dari satu partikel resonansi, yang hanya 10-24 detik, kira-kira sama
dengan waktu yang dibutuhkan cahaya untuk melintasi sebuah inti atom hidrogen.
Kita membutuhkan satu skala pengukuran yang lain. Waktu yang sangat singkat,
katakanlah 10-12 detik,
diukur dengan menggunakan sebuah osiloskop sorot elektron. Waktu yang bahkan
lebih singkat lagi dapat diukur dengan bantuan teknik laser. Pada titik terjauh
dari skala itu, waktu yang sangat panjang dapat diukur dengan bantuan “jam”
radioaktif.
Sesungguhnya,
tiap atom di alam semesta ini adalah sebuah jam, karena ia menyerap cahaya
(yaitu, berkas elektromagnetik) dan memancarkannya persis pada frekuensi
tertentu. Sejak 1967, standar waktu internasional yang diakui secara
resmiadalah berdasarkan jam atomik (caesium). Satu detik didefinisikan sebagai
9.192.631.770 kali getaran radiasi gelombang mikro dari atom caesium-133 selama
satu penataan ulang atomik tertentu. Bahkan jam yang teramat akurat ini
tidaklah sepenuhnya sempurna. Beberapa pembacaan yang berbeda diambil dari jam
atomik yang terdapat di 80 negara, dan satu kesepakatan dibuat,
“mempertimbangkan” waktu sesuai dengan jam yang paling stabil. Dengan cara ini,
kita dapat mengukur waktu yang akurat sampai pada seper sejuta detik dalam satu
hari, atau bahkan kurang dari itu.
Untuk
keperluan sehari-hari, pengukuran waktu “normal” yang didasarkan pada putaran
bumi dan pergerakan matahari dan bintang-bintang, sudah mencukupi. Tapi bagi serangkaian
operasi di bidang teknologi modern yang maju, seperti alat-alat bantu navigasi
pada kapal laut dan pesawat terbang, pengukuran semacam itu tidaklah mencukupi,
karena akan membawa kesalahan yang serius. Pada tingkat seperti inilah efek
relativitas mulai terasa. Eksperimen telah menunjukkan bahwa jam atomik
berjalan lebih lambat di permukaan tanah ketimbang di ketinggian, di mana efek
gravitasional lebih lemah. Jam atomik, yang diterbangkan dengan ketinggian
10.000 meter bertambah panjang tiga per miliar detik dalam satu jam. Ini sesuai
dengan prediksi Einstein dengan tingkat kesalahan kurang dari satu persen.
Masalah yang Belum
Terselesaikan
Teori
relativitas khusus adalah salah satu pencapaian terbesar dalam ilmu
pengetahuan. Ia telah merevolusionerkan cara kita memandang alam semesta, dan
dapat dibandingkan dengan penemuan bahwa bumi berbentuk bulat. Langkah raksasa
ini telah dimungkinkan oleh fakta bahwa relativitas menyediakan sebuah metode
pengukuran yang jauh lebih akurat daripada hukum-hukum Newtonian, yang telah
disingkirkannya secara parsial. Walau demikian, masalah filsafati tentang waktu
belumlah dapat disingkirkan dengan teori relativitas Einstein. Malah masalah
itu bertambah akut, jauh melebihi yang sudah-sudah. Bahwa terdapat sesuatu yang
subjektif dan bahkan acak dalam pengukuran waktu, itu adalah hal yang jelas,
seperti yang telah kami kemukakan. Tapi hal ini tidaklah membawa kita pada
kesimpulan bahwa waktu adalah satu hal yang sepenuhnya subjektif. Seluruh hidup
Einstein telah diabdikannya untuk mencari hukum-hukum objektif alam semesta.
Masalahnya adalah apakah hukum-hukum alam, termasuk waktu, adalah sama bagi
tiap orang, terlepas dari tempat mereka berada dan kecepatan gerak mereka.
Tentang masalah ini, Einstein bimbang. Pada satu waktu, ia nampak
menyetujuinya, di waktu yang lain menolaknya.
Proses objektif alam semesta tidaklah
ditentukan oleh apakah mereka diamati atau tidak. Mereka ada di dalam dan bagi
diri mereka sendiri. Alam semesta, dan demikian pula waktu, telah ada sebelum
manusia ada untuk mengamatinya, dan akan terus ada jauh setelah tidak ada lagi
manusia yang berpikir tentang hal itu. Alam semesta material adalah abadi,
tidak berhingga dan terus berubah. Walau demikian, supaya nalar manusia dapat
memahami alam semesta yang tak berhingga ini, perlulah untuk menerjemahkannya
dalam istilah-istilah yang berhingga atau finite,
menelaah dan mengkuantifikasinya, sehingga hal itu dapat menjadi realitas bagi
kita. Cara kita mengamati alam semesta tidak dapat mengubahnya (kecuali kalau
itu melibatkan satu proses fisik yang turut campur dalam apa yang sedang
diamati). Tapi cara alam semesta ini menampakkan dirinya bagi kita tentu dapat
berubah. Dari sudut pandang kita, bumi kelihatannya diam. Tapi bagi seorang
astronot yang terbang melintasi planet kita, bumi akan tampak melaju dengan
kecepatan tinggi. Einstein, yang nampaknya memiliki rasa humor yang sangat
garing, kabarnya pernah bertanya pada seorang petugas karcis, yang terkejut
setengah mati mendengar pertanyaan ini: “Jam berapa Oxford berhenti pada kereta
ini?”
Einstein bertekad menulis ulang
hukum-hukum fisika dengan cara tertentu sehingga prediksi yang diturunkan
darinya akan selalu tepat, tidak tergantung dari pergerakan berbagai benda,
atau “sudut pandang” yang diturunkan daripadanya. Dari sudut pandang
relativitas, gerak teratur pada sebuah garis lurus tidak dapat dibedakan dari
keadaan diamnya. Ketika dua benda saling melintas pada kecepatan tetap, kita
dapat mengatakan bahwa A melintasi B, sama mungkinnya dengan mengatakan B-lah
yang sedang melintasi A. Maka kita sampai pada satu yang nampak sebagai
kontradiksi, bahwa bumi sekaligus diam dan bergerak pada saat yang bersamaan.
Dalam contoh astronot tadi, “harus benar keduanya, pernyataan bahwa bumi
memiliki energi gerak yang besar, dan pernyataan bahwa ia tidak memiliki baik
energi maupun gerak; sudut pandang astronot itu sama sahihnya dengan sudut
pandang orang terpelajar yang ada di bumi.”[13]
Sekalipun
nampaknya lurus-lurus saja, pengukuran atas waktu tetap saja menimbulkan
persoalan, karena tingkat perubahan waktu harus dibandingkan pada sesuatu yang
lain. Jika ada semacam waktu absolut, ia pun harus mengalir, maka ia harus pula
diukur menurut waktu yang lain, dan demikian seterusnya tanpa akhir. Sangat
penting untuk disadari bahwa persoalan ini hanya hadir dalam hubungannya dengan
pengukuran waktu. Persoalan filsafati tentang hakikat waktu itu sendiri
tidaklah turut serta di dalamnya. Untuk keperluan praktis perhitungan dan
pengukuran, sangat pentinglah bagi kita untuk menetapkan satu kerangka rujukan
tertentu. Kita harus mengetahui posisi dari seorang pengamat relatif terhadap
gejala yang diamati. Teori relativitas menunjukkan bahwa pernyataan semacam “di
satu tempat” dan “di satu waktu” tidak memiliki makna sama sekali.
Teori relativitas melibatkan kontradiksi.
Ia menyatakan secara tidak langsung bahwa kesimultanan [simultaneity]
adalah relatif pada satu sumbu rujukan tertentu. Jika satu sumbu rujukan
bergerak relatif terhadap yang lain, maka kejadian-kejadian yang berlangsung
bersamaan relatif terhadap yang satu tidaklah berlangsung bersamaan relatif terhadap
yang lain, dan sebaliknya. Fakta ini, yang tidak akan tertangkap oleh akal
sehat, telah didemonstrasikan secara fisik. Sayangnya, ia masih saja dapat
jatuh dalam interpretasi idealis atas waktu, misalnya, penilaian bahwa
dimungkinkan adanya berbagai macam“masa kini”. Lebih jauh lagi, masa datang
dapat digambarkan sebagai benda-benda dan proses-proses yang “lahir” dalam
wujud empat-dimensi setelah sebelumnya menempuh keberadaan dalam
“potongan-potongan waktu”.
Kecuali
masalah ini diselesaikan, segala macam kesalahan dapat terjadi: contohnya, ide
bahwa masa depan sebenarnya telah ada, dan tiba-tiba mewujud dalam “masa kini”,
layaknya sepotong batu yang tadinya tenggelam dalam air tiba-tiba muncul ketika
air surut. Nyatanya, baik masa lalu maupun masa datang tergabung dalam masa
kini. Masa datang adalah keberadaan-yang-masih-potensial. Masa lalu adalah
apa-yang-telah-terjadi. “Masa kini” adalah kesatuan dari keduanya. Ia adalah
keberadaan aktual kalau dibandingkan dengan keberadaan potensial. Persis karena
alasan inilah kita biasanya merasakan penyesalan akan masa lalu dan ketakutan
akan masa depan, bukan sebaliknya. Perasaan penyesalan datang dari kesadaran,
yang dibenarkan oleh seluruh pengalaman manusia, bahwa masa lalu telah hilang
selamanya; sementara masa depan penuh dengan ketidakpastian, yang mengandung
sejumlah besar keadaan potensial.
Benjamin
Franklin pernah mengatakan bahwa hanya dua hal yang pasti dalam kehidupan ini –
kematian dan pajak, dan orang-orang Jerman memiliki pepatah: “Man muss nur sterben”
- “Orang hanya harus mati”, yang berarti bahwa segala hal yang lain berupa
pilihan. Tentu saja, hal ini tidaklah sepenuhnya benar. Masih banyak lagi
hal-hal yang niscaya, bukan hanya kematian, atau bahkan pajak. Dari tak
berhingga banyaknya keadaan potensial, dalam prakteknya kita tahu bahwa hanya
sedikit saja yang benar-benar mungkin. Dari jumlah ini, lebih sedikit lagi yang
boleh terjadi pada saat tertentu. Dan dari yang terakhir ini, pada akhirnya,
hanya satu yang akan benar-benar terjadi. Menemukan bagaimana persisnya proses
ini berlangsung adalah tugas dari berbagai ilmu pengetahuan. Tapi tugas ini
akan terbukti mustahil jika kita tidak menerima bahwa kejadian-kejadian dan
proses-proses berlangsung dalam waktu, dan bahwa waktu adalah fenomena objektif
yang mengekspresikan fakta yang paling mendasar dari segala bentuk materi dan
energi– perubahan.
Dunia material berada dalam keadaan yang
terus berubah, maka ia “adalah dirinya sendiri dan sekaligus bukan dirinya
sendiri”. Inilah proposisi fundamental dari dialektika. Para filsuf semacam
Alfred North Whitehead dan intuisionis Prancis Henry Begson percaya bahwa
aliran waktu adalah satu fakta metafisik yang hanya dapat ditangkap oleh
intuisi yang non-ilmiah. “Filsuf proses” semacam ini, sekalipun memiliki nada
yang mistik, setidaknya dengan tepat menyatakan bahwa masa depan adalah hal
yang terbuka dan tidak dapat ditentukan, sementara masa lalu tidak dapat
diubah, tetap dan pasti. Ini adalah“penggumpalan waktu” (congealed
time). Di pihak lain kita melihat “filsuf-filsuf banyak segi” yang
menganggap bahwa peristiwa-peristiwa di masa mendatang boleh terjadi tapi tidak
dapat dihubungkan dengan cara yang teratur dengan kejadian-kejadian di masa
lalu. Jika kita mengikuti pandangan filsafati yang tidak tepat seperti ini,
kita akan sampai pada mistisisme yang telanjang, seperti pandangan tentang
“multiverse”– sejumlah tak berhingga dari alam semesta“paralel” (jika istilah
ini tepat, karena mereka seharusnya tidak hadir dalam ruang “seperti yang kita
kenal”) yang hadir dalam waktu yang bersamaan (jika istilah ini tepat, karena
mereka seharusnya tidak hadir dalam waktu “seperti yang kita kenal”).
Demikianlah kebingungan yang muncul dari interpretasi idealis atas relativitas.
Interpretasi Idealistis
“There
was a young lady named Bright
Whose
speed was faster than light;
She
set out one day
In a
relative way
And
returned home the previous night.”
(A.Buller,
Punch, 19th December 1923)
Seperti
halnya dengan mekanika kuantum, relativitas juga telah direbut oleh mereka-mereka
yang ingin memasukkan mistisisme ke dalam sains. “Relativitas” diubah maknanya
menjadi bahwa kita tidak dapat benar-benar memahami dunia. Seperti yang
dijelaskan oleh J. D. Bernal:
“Akan tetapi, juga sama benarnya bahwa
karya Einstein memiliki efek, di luar batasan bidang spesialis yang sempit di
mana ia dapat diterapkan, sebagai salah satu mistifikasi umum. Karya itu dengan
rakus ditelan oleh para intelektual yang mengalami keputusasaan pasca Perang
Dunia I untuk membantu mereka menolak realitas. Mereka hanya butuh untuk
menggunakan kata ‘relativitas’ dan mengatakan 'Segala sesuatu adalah relatif,'
atau 'Tergantung apa yang Anda maksud.'“[14]
Ini adalah pemelintiran penuh terhadap
ide-ide Einstein. Nyatanya, kata “relativitas” itu sendiri adalah sebuah
istilah yang salah kaprah. Einstein sendiri lebih menyukai nama teori
invariansi [invariance theory]
yang memberi kita gambaran yang lebih tepat akan apa yang dimaksudkannya –yang
berkebalikan dari ide vulgar tentang teori relativitas. Tidak benar bahwa bagi
Einstein “segala sesuatunya adalah relatif”. Pertama, energi-diam (yaitu,
kesatuan dari materi dan energi) adalah salah satu hal mutlak dalam teori
relativitas. Kecepatan cahaya yang menjadi pembatas segala kecepatan di alam
semesta ini adalah contoh yang lain. Einstein sangat jauh dari interpretasi
yang subjektif dan acak atas realitas, di mana satu pendapat dianggap sama
benarnya dengan pendapat lain, dan “semuanya tergantung bagaimana Anda melihat
hal itu,” Einstein justru “menemukan apa yang 'mutlak' dan dapat diandalkan
sekalipun nampak ada kebingungan, ilusi dan kontradiksi yang dihasilkan oleh
pergerakan atau aksi gravitasi yang relatif.”[15]
Alam
semesta ini hadir dalam keadaan yang terus berubah. Dalam makna itu, tidak ada
sesuatu pun yang “mutlak” atau abadi. Satu-satunya hal yang mutlak adalah gerak
dan perubahan, mode eksistensi materi yang paling mendasar – sesuatu yang
ditunjukkan Einstein secara meyakinkan di tahun 1905. Waktu dan ruang, sebagai
mode eksistensi dari materi adalah fenomena objektif. Mereka bukanlah sekedar
abstraksi atau pandangan acak yang diciptakan oleh manusia (atau dewa) untuk
kenyamanan mereka sendiri, tapi merupakan sifat materi yang mendasar, yang
menyatakan keuniversalan materi itu sendiri.
Ruang
memiliki tiga dimensi tapi waktu hanya memiliki satu. Sambil meminta maaf pada
para produser film-film yang bercerita mengenai “perjalanan waktu”, kita hanya
mungkin melintasi waktu dalam satu arah, yaitu dari masa lalu ke masa datang.
Tidak ada kemungkinan adanya seorang petualang waktu yang kembali bumi sebelum
dilahirkan, atau kemungkinan seseorang menikahi ibunya sendiri, semua itu hanya
fantasi idiot yang diciptakan oleh orang-orang Hollywood. Waktu tidak mungkin
diputar balik, dalam kata lain semua proses materi berkembang hanya dalam satu
arah – dari masa lalu menuju masa depan. Waktu hanyalah satu cara untuk
menyatakan pergerakan riil dan berubahnya materi. Materi, gerak, waktu dan ruang
tidak dapat dipisahkan.
Kekurangan
dari teori Newton adalah karena ia menganggap ruang dan waktu sebagai dua hal
yang sama sekali terpisah, yang satu berjalan sejajar dengan yang lain, tidak
tergantung dari materi dan gerak. Sampai abad ke-20 para ilmuwan menyamakan
ruang dengan sebuah kehampaan (satu “ketiadaan”), yang dilihat sebagai sesuatu
yang mutlak, yaitu, selalu sama di manapun, satu “benda” yang tidak pernah
berubah. Abstraksi-abstraksi kosong ini telah dibuktikan keliru oleh fisika
modern, yang telah menunjukkan hubungan mendasar antara waktu, ruang, materi
dan gerak. Teori relativitas Einstein telah menyatakan dengan tegas bahwa waktu
dan ruang tidak hadir dalam dan dari diri mereka sendiri, terpisah dari materi,
tapi merupakan bagian dari satu kesalingterhubungan universal antar fenomena.
Hal ini dinyatakan oleh konsep ruang-waktu yang utuh dan tak terbagi, di mana
waktu dan ruang dilihat sebagai aspek-aspek relatif. Satu ide yang
kontroversial di sini adalah prediksi bahwa sebuah jam yang bergerak akan
menunjukkan waktu yang lebih lambat daripada jam yang diam. Walau demikian,
sangatlah penting untuk dipahami bahwa efek ini baru nampak pada kecepatan yang
teramat tinggi, yang mendekati kecepatan cahaya.
Jika teori relativitas umum Einstein tepat,
maka akan ada kemungkinan teoritik di masa depan di mana kita dapat menempuh
perjalanan yang tak terkira jauhnya di luar angkasa. Secara teoritik, manusia
dapat terus bertahan hidup ribuan tahun ke masa mendatang. Seluruh masalahnya
terletak pada apakah perubahan yang terjadi pada tingkat jam atomik terjadi
juga pada rentang usia itu sendiri. Di bawah dampak gravitasi yang kuat, jam
atomik bergerak lebih lambat daripada ketika di ruang kosong. Pertanyaannya
adalah apakah kesalingterhubungan yang kompleks antar molekul yang menyusun
kehidupan akan berperilaku yang sama. Isaac Asimov, yang paham satu dua hal
mengenai fiksi ilmiah, menulis: “Jika pergerakan benar-benar melambatkan waktu,
kita boleh jadi dapat melakukan perjalanan ke bintang-bintang yang jauh di masa
hidup kita. Tapi tentu saja kita harus mengucapkan selamat tinggal pada
generasi kita dan, jika kita kembali, kita akan kembali ke dunia di masa yang
akan datang.”[16]
Argumen
untuk hal ini adalah tingkat kecepatan proses kehidupan ditentukan oleh tingkat
kecepatan aksi di tingkat atomik. Dengan demikian, di bawah gravitasi yang
kuat, jantung akan berdetak lebih lambat, otak berdenyut lebih lambat pula.
Nyatanya, seluruh energi meredup di bawah tekanan gravitasi. Jika seluruh
proses berjalan lebih lambat, mereka juga berjalan lebih lama dalam waktu. Jika
sebuah pesawat angkasa sanggup berjalan dengan kecepatan mendekati kecepatan
cahaya, alam semesta akan terlihat melaju melintasinya, walaupun bagi mereka
yang ada di dalam pesawat waktu kelihatannya akan tetap berjalan “normal”,
yaitu pada tingkat yang jauh lebih lambat. Kesan yang didapat adalah bahwa
waktu yang ada di luar pesawat dipercepat. Apakah hal ini tepat? Apakah ia
nyatanya akan hidup di masa datang, relatif terhadap penduduk bumi, atau tidak?
Einstein kelihatannya memberikan jawaban ya terhadap pertanyaan ini.
Segala
jenis pandangan mistis muncul dari spekulasi semacam ini – contohnya tentang
melompat ke dalam lubang hitam dan keluar di alam semesta yang lain. Jika
lubang hitam benar-benar ada, dan hal itu belumlah dibuktikan secara definitif,
apa yang akan kita temui di pusatnya pastilah hanya sisa-sisa dari sebuah
bintang raksasa yang telah mati, bukan alam semesta yang lain. Siapapun yang
masuk ke dalamnya akan dirobek-robek dan diubah menjadi energi murni. Jika itu
yang dinamakan pergi ke alam semesta lain, maka kami mengundang mereka yang
mengajukan ide itu untuk menjadi yang pertama mencobanya! Nyatanya, ini adalah
murni spekulasi, betapapun menyenangkannya. Seluruh ide tentang “perjalanan
waktu” niscayaakan mendarat pada segudang kontradiksi, bukan kontradiksi yang
dialektik tapi yang absurd. Einstein pasti akan terkejut melihat interpretasi
mistik atas teorinya, yang melibatkan pandangan tentang perjalanan ulang-alik
melewati waktu, mengubah masa depan, dan segala omong kosong semacam itu. Tapi
ia sendiri harus bertanggungjawab atas situasi ini karena unsur idealis dalam
cara pandangnya, terutama pada persoalan tentang waktu.
Mari
kita anggap bahwa sebuah jam atomik pada ketinggian yang tinggi berjalan lebih
cepat daripada ketika ia diletakkan di atas tanah, karena efek gravitasi. Mari
kita anggap juga bahwa, ketika jam ini dikembalikan ke bumi, ia ditemukan,
katakanlah, lebih tua 50 per miliar dari satu detik dari jam serupa yang tidak
pernah meninggalkan tanah. Apakah itu berarti bahwa orang yang turut bersama
jam itu di ketinggian juga akan lebih tua? Proses ketuaan tergantung pada
tingkat metabolisme. Ini dipengaruhi sebagian oleh gravitasi, tapi juga oleh
berbagai faktor lainnya. Ia adalah sebuah proses biologis yang kompleks, dan
tidak mudah untuk melihat bagaimana ia akan dipengaruhi secara mendasar baik
oleh kecepatan atau gravitasi, kecuali bahwa kecepatan dan gravitasi yang
ekstrem akan menghasilkan kerusakan material pada makhluk hidup.
Jika
memang dimungkinkan untuk melambatkan tingkat metabolisme, sehingga, misalnya,
detak jantung akan melambat sampai satu detak tiap dua puluh menit, proses
menua pasti akan berjalan lebih lambat pula. Nyatanya, memang dimungkinkan
untuk melambatkan metabolisme, contohnya, melalui pembekuan. Namun, apakah hal
ini akan pula menjadi efek dari perjalanan dengan kecepatan amat tinggi, tanpa
membunuh organisme itu sendiri, persoalan itu masih dapat diperdebatkan.
Menurut teori yang sudah dikenal, sang petualang-angkasa relativistik itu, jika
ia berhasil kembali ke bumi, akan kembali setelah, katakanlah, 10.000 tahun,
danakan dapat menikahi salah satu cicitnya. Tapi ia tidak akan pernah dapat
kembali ke waktu-”nya” sendiri.
Percobaan
yang dilakukan dengan partikel sub-atomik (muon) menunjukkan bahwa
partikel-partikel yang melaju dengan kecepatan 99,94 persen dari kecepatan
cahaya memperpanjang rentang usia mereka sebanyak hampir tiga puluh kali lipat,
tepat seperti yang diprediksi oleh Einstein. Walau demikian, apakah kesimpulan
ini dapat diterapkan pada materi dalam skala yang lebih besar, khususnya pada
materi hidup.Ini masih harus ditinjau lebih lanjut. Banyak kesalahan serius
yang telah dibuat dengan mencoba menerapkan hasil-hasil yang dicapai di satu
bidang ke bidang yang lain, yang berbeda sama sekali. Di masa depan, perjalanan
angkasa dengan kecepatan sangat tinggi – bahkan mungkin mencapai sepersepuluh
kecepatan cahaya – mungkin dapat terwujud. Pada kecepatan semacam itu, satu
perjalanan yang menempuh lima tahun cahaya akan membutuhkan waktu tempuh lima
puluh tahun (walau menurut Einstein, perjalanan itu akan lebih cepat tiga bulan
dari perhitungan biasa). Apakah kelak akan benar-benar dimungkinkan untuk
melakukan perjalanan dengan kecepatan cahaya, yang akan memungkinkan umat
manusia mencapai bintang-bintang? Pada saat ini, prospek untuk itu masih terasa
jauh sekali. Tapi, seratus tahun yang lalu – hanya sekejap mata saja dalam
rentang sejarah – gagasan berkunjung ke bulan masih merupakan satu impian yang
dituangkan secara indah dalam sebuah novel oleh Jules Verne.
Mach dan Positivisme
“The object, however, is the real truth,
is the essential reality; it is quite indifferent to wheter it is known or not;
it remainsand stand even though it is not known, while the knowledgedoes not
exist if the object is not there.” (Hegel)[17]
“Namun
objek adalah kebenaran yang sesungguhnya, adalah realitas yang hakiki; ia tidak
peduli apa dia diketahui atau tidak; ia tetap ada dan tetap berdiri bahkan bila
dia tidak diketahui, sementara pengetahuan tidak eksis bila objek itu tidak
ada.” (Hegel)
Keberadaan
masa silam, masa kini dan masa depan telah terukir di dalam kesadaran manusia.
Kita hidup sekarang, tapi kita dapat mengingat kejadian-kejadian lampau, dan,
sampai tahap tertentu, meramalkan kejadian-kejadian yang akan datang. Ada yang
disebut “sebelum” dan “setelah”. Tapi beberapa filsuf dan ilmuwan membantah hal
ini. Mereka menganggap waktu sebagai sebuah produk dari pikiran, sebuah ilusi.
Dalam pandangan mereka, jika tidak ada manusia yang mengamatinya, tidak akan
ada waktu, tidak ada masa silam, masa kini maupun masa depan. Inilah sudut
pandang idealisme subjektif, sebuah cara pandang yang sepenuhnya irasional dan
anti-ilmiah yang walau demikian telah mencoba selama seratus tahun terakhir
untuk mendasarkan dirinya pada penemuan-penemuan fisika. Ini dilakukannya guna
memperoleh wibawa bagi pandangan atas dunia yang sepenuhnya mistik ini.
Sangatlah ironis bahwa mazhab filsafat yang telah memiliki dampak terbesar bagi
ilmu pengetahuan di abad ke-20, yaitu positivisme-logika, adalah salah satu cabang
dari idealisme subjektif.
Positivisme
adalah pandangan sempit yang menganggap bahwa sains harus membatasi dirinya
pada “fakta-fakta yang dapat diamati”. Para pendiri mazhabini sangat enggan
untuk mengatakan satu teori benar atau salah, melainkan lebih memilih untuk
menyebutnya kurang lebih “berguna”. Sangatlah menarik untuk dicatat bahwa Ernst
Mach, bapak spiritual sejati dari neo-positivisme, menolak teori atom dari
bidang fisika dan kimia. Ini adalah hasil alamiah dari empirisme sempit dari
cara pandang kaum positivis. Karena atom tidak dapat dilihat, bagaimana mungkin
ia ada? Atom mereka anggap paling-paling sebagai satu fiksi yang menghibur,
atau sebagai satu hipotesis ad hoc yang tidak dapat diterima. Salah satu rekan
berpikir Mach, Wilhelm Ostwald telah benar-benar mencoba untuk menurunkan
hukum-hukum dasar kimia tanpa bantuan hipotesis tentang atom!
Boltzmann dengan tajam mengkritik Mach dan
kaum positivis, seperti halnya yang dilakukan Max Planck, bapak fisika kuantum.
Lenin mengkritik habis-habisan pandangan-pandangan Mach dan Richard Avenarius,
dalam bukunya Materialism and
Empirio-criticism (1908). Walau demikian, pandangan-pandangan
Mach memiliki dampak yang besar dan, di antaranya, turut pula mengesankan
Albert Einstein muda. Berangkat dari pandangan bahwa semua ide harus diturunkan
dari “apa yang ada”, yaitu dari informasi yang disediakan semata oleh indera
kita, mereka meneruskannya dengan penyangkalan terhadap dunia alam, yang tidak
tergantung dari indera-perasa manusia. Mach dan Avenarius merujuk pada objek
fisik sebagai “himpunan kompleks dari sensasi”. Maka, misalnya, meja ini
tidaklah lebih dari sekumpulan kesan-perasaan seperti kekerasannya, warnanya,
massanya dan seterusnya. Tanpa hal-hal ini, menurut mereka, tidak akan ada yang
tersisa. Dengan demikian, ide tentang materi (dalam makna filsafati, yaitu,
dunia objektif yang ada bagi kita melalui indera-perasa kita) dinyatakan
sebagai tidak bermakna sama sekali.
Seperti
yang telah kami tunjukkan, ide-ide ini membawa kita langsung pada solipsisme –
ide bahwa hanya “saya” yang ada. Jika saya menutup mata saya, dunia ini
berhenti ada. Mach menyerang ide Newton bahwa ruang dan waktu adalah mutlak dan
merupakan entitas yang riil, tapi ia melakukannya dari sudut pandang idealisme
subjektif. Yang mengherankan, aliran filsafat modern yang paling berpengaruh
(dan yang memiliki pengaruh paling kuat di kalangan ilmuwan) diturunkan dari
idealisme subjektif Mach dan Avenarius.
Obsesi
terhadap “sang pengamat” yang merupakan benang yang menjalin seluruh fisika
teoritik di abad ke-20 diturunkan dari filsafat idealisme subjektif Ernst
Mach.Dengan mengambil titik berangkatnya dari argumen empiris bahwa “semua
pengetahuan kita diturunkan dari perasaan langsung dari indra-perasa kita”,
Mach berargumen bahwa objek tidak dapat hadir secara terpisah dari kesadaran
kita. Jika kita membawa ini ke kesimpulan logisnya, ini akan berarti bahwa
dunia ini tidak mungkin ada sebelum ada orang untuk mengamatinya. Dunia ini
tidak mungkin ada sebelum saya ada, karena saya hanya dapat mengetahui apa yang
dirasakan oleh indera saya, dan dengan demikian saya tidak akan pernah yakin
bahwa kesadaran lain juga benar-benar ada.
Einstein
sendiri pada awalnya terkesan oleh argumen-argumen ini, yang meninggalkan
bekasnya pada tulisan-tulisan awalnya tentang relativitas. Hal ini, tak
diragukan lagi, telah membawa pengaruh yang sangat buruk terhadap sains modern.
Sementara Einstein berhasil menyadari kesalahannya dan mencoba membetulkannya,
mereka-mereka yang membuntut pada sang gurutidak mampu memisahkan beras dari
kulit gabahnya. Seperti yang sering terjadi, para murid yang terlalu
bersemangat malah menjadi dogmatis. Mereka lebih Paus daripada Paus itu
sendiri! Dalam otobiografinya, Karl Popper menunjukkan dengan jelas bahwa di
akhir hayatnya Einstein menyesali idealisme subjektif yang pernah dianutnya,
atau “operasionalisme”, yang menuntut keberadaan seorang pengamat untuk
menentukan apakah satu proses terjadi di alam atau tidak:
“Fakta yang sangat menarik adalah bahwa
Einstein sendiri selama bertahun-tahun adalah seorang positivis dan
operasionalis yang dogmatis. Ia kemudian menyangkal interpretasi ini: ia
mengatakan pada saya di tahun 1950 bahwa ia tidak pernah menyesali satu
kesalahanpun dalam hidupnya seperti ia menyesali kesalahan ini. Kesalahan itu
mengambil bentuk yang benar-benar serius dalam buku populernya, Relativity: The Special and General Theory. Di
sana ia mengatakan, 'Saya akan meminta para pembaca untuk tidak maju lebih jauh
sampai ia benar-benar yakin akan hal ini.' Hal itu adalah, singkatnya, bahwa
'kesimultanan' (simultaneity) harus
didefinisikan – dan didefinisikan dengan cara yang operasional – karena jika
tidak demikian 'Saya membiarkan diri saya diperdaya ... ketika saya
membayangkan bahwa saya sanggup melekatkan satu makna pada pernyataan tentang
kesimultanan.' Atau, dengan kata lain, satu istilah harus didefinisikan secara
operasional atau ia akan menjadi tidak bermakna. (Singkatnya, inilah
positivisme yang kemudian dikembangkan oleh Lingkaran Wina[18]di bawah pengaruh buku Tractatus-nya Wittgenstein, dan dalam bentuk yang
sangat dogmatis).”
Ini
menunjukkan bahwa Einstein pada akhirnya menolak interpretasi subjektif atas
teori relativitasnya. Semua omong kosong tentang “sang pengamat”sebagai faktor
penentu bukanlah merupakan bagian hakiki dari teori tersebut, melainkan
cerminan dari kesalahan filsafati, seperti yang kemudian diakui oleh Einstein
sendiri.Sayangnya, ini tidak menghalangi para pengikut Einstein untuk mengambil
alih kesalahan itu, dan mengembangkannya sampai titik di mana ia nampak sebagai
salah satu batu penjuru utama dari teori relativitas. Di sinilah kita menemukan
asal-muasal dari idealisme subjektif Heisenberg:
“Tapi, banyak fisikawan hebat,” lanjut
Popper, “yang sangat terkesan oleh operasionalisme Einstein, yang mereka anggap
(seperti Einstein sendiri juga menganggap demikian untuk waktu yang lama)
sebagai satu bagian tak terpisahkan dari teori relativitas. Inilah
bagaimanaoperasionalisme menjadi ilham bagi paper Heisenberg di tahun 1925, dan
gagasannya yang telah diterima luas bahwa konsep tentang jalur sebuah elektron,
atau tentang posisi-cum-momentum klasiknya, adalah tidak bermakna sama sekali.”[19]
Fakta
bahwa waktu adalah sebuah fenomena objektif, yang mencerminkan proses riil di
alam pertama kali ditunjukkan oleh hukum-hukum termodinamika, yang ditemukan di
abad ke-19 dan yang masih terus memainkan peran sentral dalam fisika modern.
Hukum-hukum ini, khususnya yang dikembangkan oleh Boltzmann, menegaskan bahwa
waktu bukan hanya hadir secara objektif, namun juga mengalir hanya ke satu
arah, dari masa silam ke masa depan. Waktu tidak dapat diputar balik, waktu
juga tidak tergantung dari “pengamat” apapun.
Boltzmann dan Waktu
Masalah
mendasar yang harus dijawab adalah: Apakah waktu sebuah fitur objektif dari
alam semesta fisik? Atau ia adalah sesuatu yang murni subjektif, sebuah ilusi
dari pikiran, atau satu cara yang enak untuk menjelaskan berbagai hal yang
tidak memiliki hubungan riil dengan waktu itu sendiri? Posisi yang disebut
terakhir ini telah diambil, pada satu atau lain tingkat, oleh berbagai aliran
pemikiran, yang semuanya berkaitan erat dengan filsafat idealisme subjektif.
Seperti yang telah kita lihat, Mach memperkenalkan subjektivisme ini ke dalam
sains. Menjelang akhir abad ke-19, masalah ini telah dijawab dengan tegas oleh
pelopor ilmu tentang termodinamika, Ludwig Boltzmann.
Einstein,
di bawah pengaruh Ernst Mach, memperlakukan waktu sebagai satu hal yang
subjektif, yang tergantung pada sang pengamat, setidaknya pada awalnya sebelum
ia menyadari konsekuensi buruk yang ditimbulkan dari pendekatan semacam ini. Di
tahun 1905, karyanya tentang teori relativitas khusus memperkenalkan konsep
tentang “waktu lokal” yang berhubungan dengan tiap pengamat yang berbeda.
Konsep tentang waktu di sini mengandung satu ide yang diambil dari fisika
klasik, yaitu bahwa waktu dapat diputar balik. Ini benar-benar pandangan yang
luar biasa, dan yang akan segera hancur bila dihadapkan dengan pengalaman
manusia. Para sutradara film biasanya menyandarkan diri pada satu tipuan
fotografis, di mana kamera diputar terbalik, yang mengakibatkan segala hal yang
aneh terjadi: susu mengalir dari gelas kembali ke botol, bus dan mobil berjalan
mundur, telur kembali ke cangkangnya, dan seterusnya. Reaksi kita terhadap
semua ini adalah tertawa, yang memang adalah tujuannya. Kita tertawa karena
kita tahu bahwa apa yang kita lihat itu bukan saja mustahil, tapi aneh sekali.
Kita tahu bahwa proses yang sedang kita lihat itu tidak dapat diputar balik.
Boltzmann
memahami hal ini, dan konsep tentang waktu yang tidak dapat diputar balik ada
di jantung teorinya yang terkenal tentang panah waktu. Hukum-hukum
termodinamika merupakan satu terobosan besar dalam sains, tapi terobosan yang
kontroversial. Hukum-hukum ini tidak dapat didamaikan dengan hukum-hukum fisika
yang telah ada menjelang akhir abad ke-19. Hukum kedua termodinamika tidak
dapat diturunkan dari hukum-hukum mekanika atau kuantum, dan pada kenyataannya,
adalah perpecahan dari teori-teori fisika yang sebelumnya. Ia menyatakan bahwa
entropi [tingkat kekacauan dalam sebuah sistem] bertambah dalam satu arah ke
masa depan, bukan masa lalu. Ia menunjukkan satu perubahan keadaan seiring
dengan waktu, yang tidak mungkin diputar balik. Konsep tentang pelepasan panas
(disipasi) berbenturan dengan ide yang waktu itu diterima luas bahwa tugas
fisika adalah untuk mereduksi kompleksitas alam ini menjadi beberapa hukum
gerak yang sederhana.
Ide
tentang entropi, yang biasanya dipahami sebagai suatu kecenderungan segala hal
untuk menuju tingkat disorganisasi dan degenerasi yang lebih besar sejalan
dengan berlalunya waktu, menyatakan apa telah dipercaya orang sepanjang segala
masa: bahwa waktu hadir secara objektif dan bahwa ia adalah sebuah proses yang
searah. Kedua hukum termodinamika menunjukkan fenomena entropi dalam
proses-proses yang tidak dapat diputar balik. Definisinya didasarkan pada
properti lain yang dikenal sebagai ketersediaan energi. Entropi dari sebuah
sistem yang terisolasi dapat bertambah atau tetap, tapi tak dapat berkurang.
Salah satu konsekuensi dari kondisi ini adalah kemustahilan “mesin gerak
abadi”.
Einstein
menganggap ide tentang waktu yang tak dapat diputar balik sebagai satu ilusi
yang tidak memiliki tempat di dalam fisika. Mengutip Max Planck, hukum kedua
termodinamika menyatakan ide bahwa di alam terdapat satu kuantitas yang berubah
di dalam semua proses alam. Hal ini tidak tergantung pada sang pengamat, tapi
merupakan sebuah proses yang objektif. Tapi pandangan Planck hanyalah pandangan
minoritas pada masa itu. Mayoritas ilmuwan, termasuk Einstein, menganggapnya
sebagai faktor yang subjektif. Posisi Einstein tentang masalah ini menunjukkan
kelemahan sentral dari sudut pandangnya yang membuat proses objektif menjadi
tergantung pada ada atau tidak adanya seorang“pengamat”. Tak diragukan lagi
bahwa inilah titik terlemah dari seluruh cara pandangnya, dan, persis karena
alasan itu, justru menjadi bagian yang paling populer di antara penerusnya, yang
kelihatannya tidak sadar akan fakta bahwa Einstein sendiri mengubah cara
pandang itu menjelang akhir hayatnya.
Dalam fisika dan matematika, waktu
dinyatakan sebagai hal yang dapat diputar balik. Satu “Varian bolak-balik”
menyatakan bahwa hukum-hukum fisika yang sama berlaku baik dalam situasi yang
satu maupun dalam situasi yang lain. Kejadian yang kedua tidak dapat dibedakan
dari yang pertama dan aliran waktu tidak memiliki arah tertentu dalam
interaksi-interaksinya yang mendasar. Contohnya, sebuah film tentang dua bola
biliar yang bertumbukan dapat diputar ke depan atau ke belakang, tanpa memberi
gambaran apapun mengenai urutan kejadian yang sebenarnya. Hal yang sama juga
dianggap berlaku pada interaksi pada tingkat sub-atomik, tapi bukti yang
menunjukkan kebalikannya telah ditemukan di tahun 1964 dalam interaksi weak force pada inti atom. Untuk waktu yang lama,
dipercaya bahwa hukum-hukum alam yang mendasar bersifat “simetris dalam
muatan”. Contohnya, satu antiproton dan positron memiliki perilaku yang sama
persis dengan proton dan elektron. Eksperimen-eksperimen telah menunjukkan kini
bahwa hukum-hukum alam dapat disebut simetris jika tiga hal dasar dapat
digabungkan – waktu, muatan dan paritas – time, charge, parity. Hal ini dikenal
sebagai “cermin CPT”.
Dalam
dinamika, arah dari satu trajektori tertentu tidaklah penting. Contohnya, satu
bola yang memantul pada tanah akan kembali pada posisi awalnya. Tiap sistem,
dengan demikian, dapat “berputar kembali dalam waktu”, jika semua titik di
dalamnya dijalani secara terbalik. Semua keadaan yang telah ditempuhnya akan
begitu saja ditempuhnya kembali dalam arah yang berlawanan. Dalam dinamika
klasik, perubahan seperti pembalikan waktu (t ->-t) dan pembalikan kecepatan
(v ->-v) diperlakukan sama secara matematika. Perhitungan semacam ini
berlaku bagi sistem sederhana yang tertutup, di mana tidak ada interaksi.
Sesungguhnya, tiap sistem tunduk pada berbagai macam interaksi. Salah satu
problem yang paling penting dalam fisika adalah sistem “tiga-benda”, contohnya pergerakan
bulan yang dipengaruhi oleh bumi dan matahari. Dalam dinamika klasik, satu
sistem berubah menurut satu trajektori yang tertentu dan tetap, yang titik
awalnya tidak pernah dilupakan. Kondisi-kondisi awal menentukan trajektorinya
sepanjang segala waktu. Semua trajektori dalam fisika klasik adalah sederhana
dan deterministik. Tapi ada trajektori-trajektori lainyang tidak demikian mudah
ditetapkan, contohnya, sebuah pendulum kaku, di mana satu gangguan sekecil
apapun akan cukup untuk membuatnya berotasi atau berosilasi.
Makna
penting dari karya Boltzmann adalah bahwa ia menangani fisika proses bukan
fisika benda. Pencapaian terbesarnya adalah dengan menunjukkan bahwa
properti-properti atom (massa, muatan, struktur) menentukan properti materi
yang kasat mata (viskositas, konduktivitas panas, difusi, dan lain-lain).
Ide-idenya dengan ganas diserang orang selama masa hidupnya, tapi telah
dibenarkan oleh penemuan-penemuan fisika atomik beberapa saat sebelum abad
ke-19 berakhir, dan penemuan bahwa pergerakan acak dari partikel-partikel
mikroskopik yang terkandung dalam fluida (“gerak Brown”) hanya dapat dijelaskan
dengan mekanika statistik yang ditemukan oleh Boltzmann.
Kurva
lonceng Gauss menggambarkan gerak acak molekul-molekul gas. Satu pertambahan
suhu akan membawa pertambahan dalam kecepatan rata-rata dari molekul dan energi
yang diasosiasikan dengan geraknya. Sementara Clausius dan Maxwell mendekati
masalah ini dari sudut pandang trajektori yang ditempuh oleh tiap-tiap molekul,
Boltzmann mendekatinya dari populasi molekul itu. Persamaan kinetiknya
memainkan peranan penting dalam fisika gas dan merupakan satu kemajuan besar
dalam fisika proses. Boltzmann adalah seorang pelopor besar, yang diperlakukan
seperti orang gila oleh para pemuka fisika di jamannya. Ia akhirnya terdorong
melakukan bunuh diri di tahun 1906, setelah sebelumnya dipaksa untuk mundur
dari upayanya untuk menegaskan sifat tidak dapat dibaliknya waktu sebagai fitur
objektif alam.
Sementara
dalam teori mekanika klasik, kejadian dalam film yang digambarkan di atas
sangat dimungkinkan, dalam praktek, hal ini mustahil. Dalam teori dinamika,
contohnya, kita mendapati satu dunia ideal di mana segala halseperti gesekan
dan benturan tidak ada sama sekali. Dalam dunia ideal ini, segala invariansi
yang terlibat dalam satu gerak tertentu sudah ditetapkan sejak awal. Tidak
sesuatu pun yang dapat mengubah arah perlintasannya. Hal ini berarti, kita akan
sampai pada sebuah pandangan alam semesta yang statis, di mana segala hal
direduksi menjadi persamaan-persamaan yang mulus dan linear.
Kendatipencapaian-pencapaian revolusioner dari teori relativitas, Einstein, di
dalam hatinya, tetap menganut gagasan tentang alam semesta yang statis dan
harmonis – seperti halnya Newton.
Persamaan-persamaan
gerak Newton, atau juga mekanika kuantum, tidak memiliki irreversibilitas di
dalam dirinya. Kita dapat memutar sebuah film ke depan atau ke belakang. Tapi
ini tidak berlaku di alam secara umum. Hukum kedua termodinamika memprediksikan
bahwa ada kecenderungan ke arah keadaan ketidakberaturan yang tak dapat
dibalik. Hukum inimenyatakan bahwa tingkat keacakan akan selalu bertambah
sejalan dengan waktu. Belum lama ini, orang masih berpendapat bahwa hukum-hukum
alam bersifat simetris-waktu. Tapi waktu bersifat asimetris dan berjalan
searah, dari masa silam ke masa depan. Kita melihat fosil, jejak kaki, foto dan
rekaman dari masa silam, tapi tidak pernah dari masa depan. Mudah bagi kita
untuk mengaduk telur untuk membuat telur dadar atau memasukkan susu dan gula ke
dalam secangkir kopi, tapi tidak mudah bagi kita untuk membalik proses itu. Air
panas di dalam bak mandi memindahkan panasnya ke udara sekitarnya, tapi tidak
sebaliknya.
Hukum
kedua termodinamika adalah “panah waktu”. Kaum subjektivis menyangkal hal itu,
mereka mengatakan bahwa proses-proses yang tak dapat dibalik seperti afinitas
kimia, penghantaran panas, viskositas, dsb., akan tergantung pada “sang
pengamat”. Pada kenyataannya, semua ini adalah proses objektif yang terjadi di
alam, dan hal ini jelas bagi setiap orang dalam hubungannya dengan kehidupan
dan kematian. Sebuah pendulum (setidaknya dalam keadaan ideal) dapat berayun
kembali ke posisinya semula. Tapi semua orang tahu bahwa kehidupan seseorang
bergerak hanya ke satu arah, dari ayunan bayi ke liang kubur. Itu adalah proses
yang tak dapat dibalik. Ilya Prigogine, salah seorang teoretikus terkemuka
dalam teori chaos, telah memberikan banyak perhatian pada masalah waktu. Ketika
pertama kali belajar fisika sebagai seorang mahasiswa di Brussel, Prigogine
mengingat bahwa ia “terkejut akan fakta bahwa sains hanya sedikit saja
menangani persoalan waktu, terutama karena latar belakang pendidikan
awalnyaadalah sejarah dan arkeologi.”Mengenai konflik antara mekanika klasik
(dinamika) dengan termodinamika, Prigogine dan Stenger menulis:
“Sampai
tahap tertentu, adakemiripan antara konflik ini dengan apa yang melahirkan
Materialisme Dialektik. Kami telah menjelaskan ... satu alam yang dapat disebut
sebagai 'historis' – yaitu yang mampu melahirkan perkembangan dan inovasi.
Gagasan mengenai sejarah alam sebagai satu bagian integral dari materialisme
telah ditegaskan oleh Marx dan, secara lebih rinci, oleh Engels.
Perkembangan-perkembangan kontemporer dalam fisika, penemuan peran konstruktif
yang dimainkan oleh ireversibilitas, telah menimbulkan sebuah pertanyaan dalam
ilmu-ilmu alam, sebuah pertanyaan yang telah lama diangkat oleh para
materialis. Bagi mereka, pemahaman terhadap alam bermakna bahwa ia mampu
menghasilkan manusia dan masyarakat-masyarakatnya.
“Lebih jauh lagi, pada masa Engels menulis Dialectics of Nature-nya, ilmu-ilmu fisika
kelihatannya telah mulai menolak pandangan mekanistik dan mulai mendekat pada
ide tentang perkembangan historis alam. Engels menyebut tiga penemuan mendasar:
energi dan hukum-hukum yang mengatur transformasi kualitatifnya, sel sebagai
penyusun dasar kehidupan, dan penemuan Darwin atas evolusi spesies. Engels
sampai pada kesimpulan bahwa pandangan atas dunia yang statis sudah mati.”
Terhadap
interpretasi yang subjektif atas waktu, sang penulis menyimpulkan:
“Waktu mengalir searah, dari masa silam ke
masa depan. Kita tidak dapat merekayasa waktu, kita tidak dapat menempuh
perjalanan ke masa silam.”[20]
Relativitas dan Lubang Hitam
Dalam
pandangan Einstein, tidak seperti Newton, gravitasi mempengaruhi waktu karena
ia mempengaruhi cahaya. Jika kita dapat membayangkan sebuah partikel cahaya
yang mengapung di tepi sebuah lubang hitam, ia akan mengapung di sana tanpa
batas, tidak maju tapi juga tidak mundur, tidak mendapat tambahan energi atau
kehilangan energi. Dalam keadaan seperti itu, kita dapat mengatakan “waktu
berhenti”. Inilah argumen dari kaum relativis penganjur lubang hitam dan segala
properti yang dikandungnya. Kesimpulan utama dari semua ini adalah bahwa bila
segala gerak berhenti, maka tidak akan ada perubahan keadaan maupun kedudukan,
dan dengan demikian tidak akan ada waktu. Situasi seperti ini katanya terjadi
tepat di tepi sebuah lubang hitam. Namun ini adalah interpretasi yang sangatlah
spekulatif dan mistis terhadap sebuah fenomena, yang keberadaannya sendiri belumlah
terbukti.
Semua
materi hadir dalam keadaan bergerak dan berubah terus-menerus.Yang ingin
dikatakan di atas adalah bahwa jika materi dan gerak dilenyapkan, waktu juga
akan lenyap; pernyataan yang sebenarnya adalah tautologi sempurna. Ini seperti
mengatakan - jika tidak ada materi, maka tidak akan ada materi; atau jika tidak
ada waktu maka tidak akan ada waktu. Kedua pernyataan itu bermakna sama.
Anehnya, kita telah mencari dengan sia-sia dalam teori relativitas satu
definisi tentang apa itu waktu dan ruang. Einstein sendiri kelihatannya
kesulitan menerangkan hal ini. Walau demikian, ia telah hampir sampai ke sana
ketika ia menjelaskan perbedaan antara geometrinya dengan geometri klasik
Euclid. Ia mengatakan bahwa kita dapat membayangkan sebuah alam semesta di mana
ruang tidak melengkung sama sekali, tapi ruang itu tidak akan berisi materi.
Pernyataan ini jelas mengarah ke arah yang benar. Setelah semua keributan
mengenai lubang hitam, Anda mungkin masih akan terkejut bahwa persoalan ini
sama sekali tidak pernah disebutkan oleh Einstein. Ia bersandar pada pendekatan
yang ketat, yang terutama didasarkan pada matematika yang rumit, dan membuat
prediksi yang dapat dibuktikan melalui pengamatan dan percobaan. Fisika lubang
hitam, yang tidak memiliki satu pun data empirik yang jelas, memiliki sifat
yang sangat spekulatif.
Sekalipun sukses, teori relativitas umum
masih bisa terbukti keliru. Tidak seperti relativitas khusus, eksperimen yang
telah dilakukan berdasarkan teori ini masih sedikit sekali. Tidak ada bukti
yang meyakinkan tentang teori ini, sekalipun sampai saat ini belum ada konflik
antara teori dengan fakta-fakta yang teramati. Bahkan bukan tidak mungkin kalau
pernyataan dari teori relativitas khusus, yakni bahwa tidak adayang bisa
melebihi kecepatan cahaya, dapat terbukti keliru di masa depan.[21]
Teori-teori
relativitas yang lain telah diajukan, contohnya, oleh Robert Dicke. Teori Dicke
meramalkan penyimpangan orbit bulan beberapa kaki ke arah matahari. Dengan
menggunakan teknologi laser yang maju, observatorium McDonald di Texas tidak
dapat menemukan penyimpangan ini. Walau demikian, tidak ada alasan untuk
menganggap bahwa persoalannya telah selesai sampai di sini. Sejauh ini, teori
Einstein telah dibuktikan oleh berbagai eksperimen. Tapi penyelidikan
terus-menerus terhadap kondisi-kondisi ekstrem cepat atau lambat akan menemukan
fenomena-fenomena yang tidak dapat dijelaskan oleh persamaan-persamaan
Einstein, dan ini akan membuka jalan untuk penemuan-penemuan besar yang baru.
Teori relativitas tidak mungkin merupakan akhir cerita, sama seperti teori
mekanika Newton, teori elektromagnet Maxwell dan teori-teori lain sebelumnya.
Selama
dua ratus tahun teori-teori Newton telah dianggap mutlak sahih. Kebenarannya
tidak boleh disangkal. Setelah wafatnya Newton, Laplace dan beberapa orang lain
membawa teorinya ke tingkat ekstrem sehingga justru menjadi absurd. Perpecahan
radikal dengan Kemutlakan mekanika lama adalah satu prasyarat untuk kemajuan
fisika di abad ke-20. Para fisikawan modern menepuk dada bahwa mereka telah
mengubur monster Kemutlakan untuk selama-lamanya. Tiba-tiba pikiran dibebaskan
untuk menjelajah ke dunia yang sampai saat itu belum terpikirkan. Masa-masa itu
adalah masa-masa yang memabukkan! Sayangnya, kebahagiaan semacam itu tidak
mungkin bertahan selamanya. Mengutip Robert Burne:
“But
pleasures are like poppies spread:
You seize
the flow'r, its bloom is shed.”
[“Namun
kebahagiaan itu laksana bunga rumput:
Kau
petik bunganya, dan kelopaknyapun runtuh.”]
Fisika
modern dapat menyelesaikan berbagai masalah, tapi dengan menghasilkan
kontradiksi-kontradiksi baru, yang masih belum dapat diselesaikan sampai
sekarang. Sebagian besar abad ini, fisika telah didominasi oleh dua teori
besar: mekanika kuantum dan relativitas. Apa yang secara umum tidak disadari
adalah bahwa kedua teori ini tidak dapat digabungkan. Nyatanya, keduanya tidak
cocok satu sama lain. Teori relativitas umum tidak memperhitungkan prinsip
ketidakpastian sama sekali. Einstein menghabiskan tahun-tahun terakhir dari
hidupnya untuk menyelesaikan kontradiksi ini, tapi ia gagal.
Teori
relativitas adalah sebuah teori yang besar dan revolusioner. Demikian pula
mekanika Newton di masa lalu. Namun merupakan takdir dari semua teori untuk
berubah menjadi ortodoks, untuk menderita sejenis penebalan pembuluh darah,
sampai mereka tidak lagi sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
oleh kemajuan sains. Untuk waktu yang lama, para fisikawan teoritik telah
berpuas diri dengan bersandar pada penemuan-penemuan Einstein, mirip dengan
generasi sebelumnya yang puas ketika dapat bersumpah atas nama Newton. Dan
mirip pula dengan nasib yang dialami teori Newton, orang-orang ini juga
bersalah karena telah mencoreng nama baik relativitas umum dengan membawanya ke
dalam pandangan-pandangan yang paling absurd dan fantastis, yang tidak pernah
dipikirkan bahkan oleh penemunya.
Singularitas, lubang hitam di mana waktu
berhenti berputar, multiverse[pandangan
bahwa ada beberapa alam semesta yang secara sejajar hadir dalam waktu
bersamaan, bahwa kita memiliki kembaran di 'dunia lain'], waktu sebelum
dimulainya waktu, hal-hal yang tidak dapat dipertanyakan sama sekali – kita
dapat membayangkan Einstein menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri! Semua ini
katanya niscaya diturunkan dari relativitas umum, dan setiap orang yang
mengajukan keberatan sekecil apapun akan segera berhadapan dengan otoritas dari
Einstein sang Maha Agung. Ini tidak sedikit pun lebih baik daripada situasi
sebelum datangnya relativitas, di mana otoritas Newton digunakan sedemikian
rupa untuk mempertahankan ortodoksi. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa
pandangan-pandangan fantastis dari Laplace masih kelihatan sangat masuk nalar
dibandingkan dengan segala abrakadabra mistis yang ditulis oleh beberapa
fisikawan modern. Dan bahkan Einstein sendiri, tidak seperti Newton, tidak
dapat dipersalahkan atas segala impian di siang bolong dari para penerusnya,
yang menciptakanreductio ad absurdum [reduksi
sampai tingkat absurd] dari teori asli yang ditulisnya.
Spekulasi
yang tak masuk nalar dan asal-asalan ini adalah bukti terbaik bahwa kerangkah
teoritik dari fisika modern membutuhkan perubahan total. Karena persoalannya di
sini terletak pada metodenya. Ini bukan mereka tidak dapat menyediakan
jawaban.Ini karena mereka bahkan tidak tahu bagaimana menanyakan pertanyaan
yang tepat. Ini lebih pada persoalan filsafati daripada persoalan ilmiah. Jika
semuanya mungkin, maka tiap teori (lebih tepatnya, tebakan) akan sama baiknya
dengan teori lainnya. Seluruh sistem ini telah terdorong hampir sampai titik
patahnya.Dan untuk menutupi fakta ini, mereka menggunakan bahasa mistis, di
mana pernyataan-pernyataan yang tidak jelas maknanya menutupi kegagalan untuk
memberi hakikat yang tegas ke dalam pernyataan itu.
Keadaan
ini sama sekali tidak dapat ditolerir, dan telah mendorong beberapa ilmuwan
untuk mempertanyakan asumsi-asumsi dasar di mana ilmu pengetahuan selama ini
beroperasi. Penyelidikan David Bohm terhadap teori mekanika kuantum,
interpretasi baru Ilya Prigogine terhadap Hukum Kedua Termodinamika, upaya
Hannes Alfén untuk mengajukan sebuah alternatif terhadap kosmologi ortodoks
yang bersandar pada Big Bang, dan terutama, kemunculan spektakuler dari teori
kompleksitas dan chaos – semua ini menunjukkan adanya gejolak di dalam sains.
Walaupun masih terlalu dini untuk meramalkan apa yang sebenarnya akan muncul
dari semua ini, kelihatannya sangat mungkin bahwa kita sedang memasuki
masa-masa yang menggairahkan dari sejarah sains, dimana sebuah pendekatan yang
benar-benar baru akan muncul.
Ada
segala macam alasan untuk menganggap bahwa pada akhirnya teori Einstein akan
digantikan oleh teori yang baru, yang lebih luas basisnya, sementaratetap
memelihara segala yang berguna dalam teori relativitas. Teori baru ini akan
mengoreksi dan memperkuatnya sekaligus. Dalam proses ini, kita pasti akan
sampai pada sebuah pemahaman yang lebih tepat dan seimbang akan masalah-masalah
yang berkaitan dengan sifat-sifat waktu, ruang dan sebab-akibat. Hal ini
tidaklah berarti kembali pada fisika mekanik yang lama, seperti halnya
berkembangnya fisika unsur tidaklah berarti kita kembali ke jaman alkimia.
Seperti yang telah kita lihat, sejarah ilmu pengetahuan sering kali melibatkan
satu pembalikan yang kelihatannya membawa kita kembali ke posisi awal kita,
tapi sebenarnya dalam tingkat kualitas yang lebih tinggi.
Satu
hal yang dapat kita ramalkan dengan sangat pasti: ketika fisika yang baru ini
benar-benar muncul dari kekacauan yang terjadi sekarang ini, tidak akan ada
tempat di dalamnya untuk perjalanan waktu, multiverse, atau singularitas yang
memeras seluruh alam semesta menjadi satu titik tunggal, yang tidak mengizinkan
kita mengajukan keberatan apapun. Ini akan membuat orang-orang semakin sulit
memenangkan penghargaan-penghargaan untuk menyediakan pembenaran 'ilmiah' bagi
mistisisme, fakta yang akan disesali beberapa orang, tapi yang, dalam jangka
panjang, pastilah bukan sesuatu yang berakibat buruk bagi ilmu pengetahuan
secara keseluruhan!
___________________
Catatan Kaki
[1] Kitab Ayub 14:1-2
[2] Aristotle, op cit., hal. 342 dan 1b.
[3] Pada 1640-1660, kaum borjuasi Inggris melakukan revolusi
borjuasi demokratis yang menumbangkan Raja Charles I, yang dieksekusi pada
1649. Periode ini dikenal juga sebagai Perang Sipil Inggris. Pemerintahan
republik parlementer didirikan pada 1649, namun pada 1660 kontra-revolusi
mengembalikan monarki di bawah Raja Charles II. Kaum borjuasi Inggris lalu
membuat persekutuan dengan William of Orange dari Belanda untuk menumbangkan
Raja Charles II, yang ditumbangkan pada 1688. Persekutuan ini melahirkan sistem
monarki konstitusional di bawah William of Orange (William III of England).
[4] Hegel, Phenomenology of Mind, hal. 151.
[5] Prigogine dan Stengers, Order Out of Chaos, Man’s New
Dialogue with Nature, hal. 89.
[6] Hegel, Phenomenology of Mind, hal. 104.
[7] Hegel, Science of Logic, Vol. 1, hal. 229.
[8] Eksperimen Michelson-Morley adalah eksperimen sains yang
dilakukan oleh Alberta A. Michelson dan Edward W. Morley yang dilakukan pada
1887 di Ohio, AS. Eksperimen ini berusaha mendeteksi gerak relatif sebuah benda
atau materi melalui angin ether yang diam. Hasil negatif dari eksperimen ini
membuktikan bahwa tidak ada ether, dan hasil negatif ini yang membuka jalan
bagi berkembangnya teori relativitas spesial.
[9] Landau dan Rumer, What is Relativity? hal. 36 dan 37.
[10] Feynman, op.
cit., Vol. 1, 1-2.
[11] Trotsky, The
Struggle Against Fascism in Germany, hal. 399.
[12] Feynman, op.
cit., bab 5, hal. 2.
[13] N. Calder,
Einstein’s Universe, hal. 22.
[14] J. D Bernal,
Science in History, hal. 527-8.
[15] N. Calder, op.
cit., hal. 13.
[16] Asimov, op.
cit., hal. 359.
[17] Hegel, The
Phenomenology of Mind, hal. 151.
[18] Lingkaran Wina
(Vienna Circle) adalah perkumpulan para filsuf di Universitas Wina, Austria,
pada 1922, yang juga dikenal sebagai Ernst Mach Society. Buku Tractatus
Logico-Philosophicus karya Ludwig Wittgenstein menjadi basis dari filsafat
kelompok ini, yakni positivisme logis. Lingkaran Wina memiliki pengaruh yang
tidak kecil pada filsafat abad ke-20.
[19] K. Popper,
Unended Quest, hal. 96-7 dan 98.
[20] Prigogine dan
Stengers, op. cit., hal. 10, 252-3 dan 277.
[21] Ramalan ini
mungkin telah dibuktikan lebih cepat dari apa yang kami harapkan. Sebelum buku
ini dikirim ke percetakan, telah muncul berita di media massa tentang sebuah
percobaan yang dilakukan para ilmuwan Amerika yang kelihatannya menunjukkan
bahwa foton dapat berjalan dengan kecepatan di atas kecepatan cahaya. Percobaan
ini adalah percobaan yang sangat rumit, berdasarkan satu gejala aneh yang
dikenal sebagai “lorong kuantum” (quantum tunnelling). Jika kelak percobaan ini
telah divalidasi, ia akan menuntut perombakan terhadap seluruh konsepsi
relativitas.
0 komentar:
Post a Comment