Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Monday, May 21, 2018

NALAR YANG MEMBERONTAK -Bab 19. Alienasi dan Masa Depan Umat Manusia


Bab 19. Alienasi dan Masa Depan Umat Manusia
Kapitalisme Telah Sampai Pada Jalan Buntu
Pada periode 1948 sampai 1973-4, kita menyaksikan ledakan-ledakan inovasi teknologi dan industri yang belum pernah kita saksikan sebelumnya. Namun, kesuksesan sistem kapitalis itu sekarang sedang menjadi kebalikannya. Ketika buku ini sedang ditulis, ada sekitar 22 juta pengangguran di negara-negara kapitalis maju di OECD, dan ratusan juta pengangguran dan setengah-pengangguran di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Lebih jauh lagi, ini bukanlah siklus pengangguran yang sementara seperti di masa lalu. Ia adalah kanker yang menggerogoti masyarakat. Seperti wabah penyakit mematikan, ia memukul bahkan lapisan masyarakat yang sebelumnya percaya bahwa mereka tidak akan terpengaruh.
Sekalipun terjadi kemajuan-kemajuan yang besar dalam ilmu dan teknologi, masyarakat menemui dirinya berada di bawah kekuatan yang tidak dapat dikendalikannya. Menjelang fajar abad ke-21, orang melihat ke masa depan dengan penuh kekhawatiran. Di mana sebelumnya ada perasaan kepastian, sekarang semuanya menjadi tidak pasti. Keresahan ini pertama-tama mempengaruhi kelas penguasa dan para ahli strateginya, yang semakin hari semakin sadar bahwa sistem mereka berada dalam kesulitan-kesulitan yang parah. Krisis dalam sistem ini menemukan cerminannya dalam krisis ideologi, yang terekspresikan dalam partai-partai politik, gereja-gereja resmi, moralitas, sains, dan bahkan apa yang di masa kini disebut filsafat.
Kepemilikan pribadi dan negara-bangsa adalah dua belenggu yang menghalangi perkembangan masyarakat. Dari sudut pandang objektif, kondisi untuk sosialisme dunia telah hadir selama puluhan tahun. Namun, faktor menentukan yang memungkinkan kapitalisme untuk secara parsial mengatasi kontradiksi-kontradiksi internalnya adalah perkembangan pasar dunia. Setelah 1945, dominasi Amerika Serikat atas seluruh dunia,yang didikte oleh kebutuhan untuk meredam revolusi di Eropa dan Jepang dan untuk memagari Blok Soviet, memberi mereka kesempatan, melalui perjanjian Bretton-Woods dan GATT, untuk memaksa negeri-negeri kapitalis lain untuk menurunkan tarif dan menyingkirkan halangan-halangan lainnya untukmelancarkan aliran pasar bebas.
Ini sangat kontras dengan kekacauan perekonomian pada periode antar perang dunia (1918-1939) ketika intensifikasi persaingan antar bangsa mengekspresikan dirinya lewat kebijakan devaluasi kompetitif dan perang-perang dagang yang menghambat perkembangan kekuatan produktif di dalam batas-batas sempit kepemilikan pribadi dan negara-bangsa. Sebagai akibatnya, periode antar perang dunia ini adalah periode krisis, revolusi dan kontra-revolusi, yang berpuncak pada pembantaian imperialis yang baru di tahun 1939-45.
Di periode pasca perang, kapitalisme secara parsial berhasil mengatasi krisis fundamental sistem mereka melalui integrasi pasar dunia, yang menghasilkan sebuah pasar dunia yang terintegrasi. Ini menyediakan premis dasar bagi pasang-naik perekonomian yang dahsyat pada periode 1948-73, yang, pada gilirannya, membawa peningkatan standar hidup, setidaknya untuk selapisan besar rakyat di negeri-negeri kapitalis maju. Demikianlah, orang yang sekarat kadang-kadang bisa mendapatkan energi yang besar tiba-tiba, yang nampaknya merupakan awal pemulihan, tapi pada kenyataannya hanyalah satu prelude untuk kejatuhan baru yang lebih fatal.
Periode seperti ini bukan hanya sesuatu yang mungkin, tapi niscaya, bahkan dalam epos kemunduran kapitalis, jika tatanan sosial yang ada tidak digulingkan. Akan tetapi, ledakan pertumbuhan ekonomi ini, yang menghasilkan puluhan triliun dolar selama empat dekade, sama sekali tidak mengubah sifat dasar kapitalisme atau menghilangkan kontradiksi-kontradiksi di dalamnya. Periode panjang pasang-naik ekonomi dari 1948 sampai 1973 kini usai sudah. Tingkat pengangguran rendah, meningkatnya standar hidup dan negara kesejahteraan adalah bagian dari masa lalu. Sekarang kita menghadapi stagnasi ekonomi, resesi dan krisis kekuatan produktif.
Para pemilik modal sudah tidak lagi tertarik untuk menanam modalnya dalam aktivitas produksi. Almarhum Akio Morita, kepala Sony Corporation, berulangkali mengingatkan di tahun 1980-an bahwa sistem kapitalis telah terjerumus ke dalam bahaya dengan kecenderungan untuk bergerak dari industri produktif ke jasa. Sejak 1950-an, Amerika Serikat telah kehilangan lebih dari separuh lapangan kerja di bidang industri manufaktur, sementara tiga perempat dari seluruh lapangan kerja berorientasi ke sektor jasa. Kecenderungan yang sama hadir pula di Inggris, yang kini mengalami degradasi ke divisi tiga dalam liga kompetisi kekuatan kapitalis dunia. Dalam sebuah artikel dalam Director (Februari 1988), Morita menyatakan:
“Apa yang ingin saya sampaikan adalah bahwa kecenderungan ini, yang sama sekali bukan kemajuan dari sebuah perekonomian yang beranjak dewasa dan bukan merupakan sesuatu yang harus didukung, adalah sesuatu yang destruktif. Karena dalam jangka panjang sebuah perekonomian yang telah kehilangan basis manufakturnya berarti telah kehilangan pusat vitalnya. Sebuah perekonomian yang berbasis jasa tidak memiliki mesin untuk menggerakkannya. Maka, pergeseran dari ekonomi manufaktur ke ekonomi jasa berteknologi tinggi, di mana para pekerja duduk di depan komputer dan saling bertukar informasi sepanjang hari, merupakan sebuah kekeliruan.
“Ini karena hanyalah manufaktur yang menghasilkan sesuatu yang baru, yang mengambil bahan mentah dan mengubahnya menjadi produk yang memiliki nilai yang lebih tinggi dari bahan mentah dari mana produk itu berasal. Sangat jelas bahwa unsur-unsur jasa dari sebuah ekonomi merupakan turunan dan bergantung pada sektor manufaktur.”
Bukannya menciptakan pekerjaan dan meningkatkan kekayaan masyarakat, perusahaan-perusahaan monopoli besar mengalihkan sumber dayanya untuk spekulasi di pasar uang, mengorganisir pencaplokan perusahaan-perusahaan, dan segala macam aktivitas parasitik lainnya. Morita menunjukkan bahwa “Para pengusaha telah menjadi sangat takjub dengan permainan pasar valuta. Mereka telah menemukan bahwa mereka dapat menciptakan keuntungan cepat tanpa perlu menanamkan uang itu dalam bisnis yang produktif. Bahkan beberapa industri telah berpaling ke bursa efek. Orang-orang yang menghabiskan hidup mereka membungkuk di depan monitor yang menunjukkan transaksi saham paling mutakhir hidup sendirian saja di dunia mereka ini. Mereka tidak punya kesetiaan. Mereka tidak membuat produk apapun. Mereka tidak menciptakan ide-ide baru. Mereka mendagangkan $200 miliar setiap hari di London, New York dan Tokyo. Ini adalah pertaruhan yang sangat besar, bahkan jauh lebih besar dari nilai barang-barang yang dijualbelikan dalam sehari. “Banyak sekali tersedia air untuk bermain ciprat-cipratan di ruang mesin,” tulis Morita.
Morita membandingkan situasi kapitalisme dunia dengan permainan poker di atas sebuah kapal yang sedang tenggelam, dan menyimpulkan:
“Ini permainan yang memabukkan, penuh dengan kegairahan, tapi kemenangan dan kekalahan di meja poker tidak menutup fakta yang mengerikan bahwa kapal itu sedang tenggelam dan tidak ada seorangpun yang menyadarinya.”
Sejak Morita menulis baris-baris ini, situasinya telah bertambah buruk. Pasar “derivatif”kini telah mencapai total nilai $25 triliun dan sama sekali di luar kendali. Ini sama saja dengan berjudi pada skala kolosal. Ini membuat rumah judi South Sea Bubble menjadi remeh-temeh saja. Ini menunjukkan kerapuhan fundamental dari kapitalisme dunia, yang dapat mengalami depresi baru seperti pada tahun 1929.[1]
Kontradiksi itu Tetap Ada
Di tahun 1848, Marx dan Engels telah meramalkan bahwa kapitalisme akan tumbuh menjadi sebuah sistem yang mendunia. Ini telah terbukti dengan sangat tepat pada abad ke-20. Dominasi besar dari pasar dunia adalah fakta terpenting dari epos ini. Kita mendapati sebuah perekonomian dunia, perpolitikan dunia, diplomasi dunia, kebudayaan dunia, perang dunia -- sudah ada dua perang dunia dalam seratus tahun terakhir, dan yang kedua hampir saja memadamkan cahaya peradaban manusia. Namun, globalisasi ekonomi tidaklah berarti kontradiksi kapitalisme akan berkurang, tapi, sebaliknya, justru kontradiksi-kontradiksi yang ada akan semakin intens.
Pada dasawarsa terakhir di abad ke-20, sekalipun terdapat berbagai keajaiban ilmu pengetahuan modern, dua pertiga umat manusia hidup dalam ambang batas barbarisme. Wabah seperti diare dan cacar membunuh tujuh juta anak dalam setahun. Ini seharusnya dapat dicegah melalui vaksinasi yang sederhana dan murah. Lebih dari 500.000 perempuan meninggal tiap tahun karena komplikasi saat melahirkan, dan mungkin sekitar 200.000 lainnya meninggal ketika aborsi. Negeri-negeri mantan jajahan menghabiskan hanya 4% dari PDB mereka untuk bidang kesehatan -- rata-rata $41 per kepala, dibandingkan $1900 per kepala di negeri-negeri kapitalis maju.
Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa, lebih dari enam miliar orang akan menghuni bumi pada akhir tahun 2000. Sekitar separuh dari mereka akan berusia kurang dari 20. Kebanyakan dari mereka akan menderita karena ketiadaan lapangan pekerjaan, kekurangan pendidikan dasar dan perawatan kesehatan, hidup di lingkungan yang terlampau padat dan berkondisi hidup sangat buruk. Diperkirakan 100 juta anak, dari 6 sampai 11 tahun tidak akan bersekolah. Dua pertiganya adalah perempuan. Bahkan di Amerika Serikat, UNICEF memperkirakan bahwa 20% anak hidup di bawah garis kemiskinan nasional. Namun situasi di negeri-negeri Dunia Ketiga telah mencapai tingkatan yang mengerikan. Sebanyak 100 juta anak hidup di jalanan. Di Brasil, masalah ini “diselesaikan” dengan kampanye polisi dan pasukan pembunuh, untuk membunuhi anak-anak jalanan karena mereka miskin. Kekejaman serupa juga dilakukan terhadap para gelandangan di Kolombia. Tidak berapa lama lalu telah ditemukan bahwa sejumlah besar laki-laki, perempuan, dan anak-anak gelandangan telah dibunuhi dan jenazah mereka dijual ke Universitas Bogota untuk dijadikan bahan percobaan bagi mahasiswa kedokteran. Kisah-kisah semacam ini mendirikan bulu kuduk mereka yang beradab. Tapi semua itu hanyalah perwujudan paling ekstrem dari moralitas sebuah masyarakat yang memperlakukan manusia sebagai komoditas belaka.
Satu juta anak tewas, empat juta luka berat, dan lima juta telah menjadi pengungsi atau yatim piatu sebagai hasil dari perang-perang di dasawarsa lalu. Di banyak negeri mantan jajahan, kita melihat fenomena perburuhan anak, yang hampir-hampir menyerupai perbudakan. Protes-protes munafik dari media Barat tidaklah mencegah hasil-hasil dari perburuhan anak ini untuk mencapai pasar Barat dan meningkatkan isi pundi-pundi dari perusahaan-perusahaan “terhormat” di Barat. Satu contoh tipikal adalah berita baru-baru ini tentang sebuah pabrik korek api di mana anak kecil, kebanyakan perempuan, bekerja enam hari, 60 jam kerja seminggu, dengan bahan kimia beracun, dengan upah tiga dolar seminggu. Sebuah surat untuk majalah The Economist tertanggal 15 September 1993 menunjukkan bahwa: “Orang tua menyadari pentingnya pendidikan bagi masa depan anak-anak mereka tapi seringkali kemiskinan mereka telah mencapai tingkat sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan dapat bertahan tanpa upah dari anak-anak mereka yang bekerja.”
Alasan utama untuk kemiskinan parah di Dunia Ketiga adalah penghisapan berganda yang dilakukan melalui perjanjian perdagangan, dan hutang puluhan triliun dolar mereka pada bank-bank besar Barat. Bahkan untuk membayar bunga saja, negeri-negeri ini harus mengekspor makanan yang seharusnya mereka gunakan untuk memberi makan rakyatnya sendiri, dan mengorbankan kesehatan dan pendidikan rakyatnya. Menurut UNICEF, pembayaran hutang telah mengurangi pendapatan rakyat di dunia ketiga sebesar 25%, pengeluaran untuk pelayanan kesehatan jatuh 50% dan pengeluaran untuk pendidikan jatuh 25%. Sekalipun ada protes munafik atas dibabatnya hutan Amazon, para ekonom Brasil telah menunjukkan bahwa motivasi utama untuk pembabatan ini adalah kebutuhan untuk meningkatkan ekspor produk pertanian, seperti daging. Pembiayaan untuk proyek ekspor ini datang dari Bank Dunia dan organisasi keuangan dunia lainnya
Dalam makna kata yang paling eksplisit, umat manusia saat ini berdiri di atas persimpangan. Di satu pihak, semua potensi untuk membangun surga di dunia ini telah kita miliki. Di pihak lain, unsur-unsur barbarisme mengancam untuk menelan seluruh planet ini. Ditambah lagi, kita tengah diancam juga oleh kerusakan lingkungan. Dalam pengejaran keuntungan mereka yang tergesa-gesa, perusahaan-perusahaan multinasional tengah menghancurkan planet ini. Hutan hujan tropis kini tengah dibabat dengan kecepatan 29.000 mil persegi per tahun [± 74.250 km persegi]. Ini adalah seluas Skotlandia. Orang boleh berspekulasi tentang apa yang menyebabkan kepunahan dinosaurus 65 juta tahun yang lalu. Tapi tidak akan ada keraguan tentang apa penyebab bencana yang sekarang ada di depan mata kita -- pengejaran keuntungan yang tak terkendali dan anarki dalam produksi kapitalis.
Bahkan para ilmuwan yang tidak menganut sosialisme telah terdorong menuju kesimpulan (sepenuhnya logis, jika seseorang mau berhenti sejenak untuk berpikir) bahwa satu-satunya jalan keluar adalah semacam perekonomian dunia yang terencana. Namun, ini tidaklah dimungkinkan bila terus berdasarkan kapitalisme. Empat puluh satu negara secara resmi mendukung “Strategi Pelestarian Dunia”. Tapi, tanpa sebuah Federasi Sosialis Dunia, ini hanya di atas kertas saja. Kepentingan dari monopoli-monopoli besar adalah yang menentukan.
Namun, tidak ada sesuatupun yang niscaya tentang hal ini. Semua ramalan buruk tentang masa depan umat manusia, yang dimulai oleh Malthus, telah terbukti keliru. Potensi perkembangan umat manusia tidaklah terbatas. Bahkan kini kita telah memiliki kemampuan untuk melenyapkan kelaparan dari muka bumi. Di Eropa Barat dan Amerika Serikat, produktivitas pertanian telah mencapai tingkat yang demikian tinggi sehingga para petani dibayar untuk tidak menghasilkan produk pertanian. Tanah yang subur tidak ditanami. Gandum dibuang ke laut atau dicampuri zat pewarna untuk membuatnya tidak dapat dimakan. Ada segunung daging, mentega dan susu bubuk. Tanaman zaitun di Spanyol dengan sengaja dicabut akarnya. Dan ada 450 juta orang di seluruh dunia yang kekurangan gizi, atau kelaparan.
Pada awal abad mendatang, negeri-negeri Lingkar Pasifik akan menghasilkan separuh dari produksi dunia. Perekonomian dunia akan tumbuh dewasa. Selama berabad-abad, orang-orang Eropa telah menganggap dirinya sebagai poros dari bola dunia. Secara objektif, ini sama konyolnya dengan ide Ptolomeus bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Bahkan sejak tahun 1920-an Trotsky telah meramalkan bahwa pusat gravitasi sejarah dunia akan bergeser dari Atlantik ke Pasifik. Tahapan berikutnya dari sejarah manusia akan menyaksikan bagaimana ratusan juta massa rakyat di Asia menyadari kekuatan mereka yang sesungguhnya, sebagai bagian dari sebuah Federasi Sosialis Dunia.
Azab Pengangguran
Kerja adalah aktivitas hidup kita yang utama. Sejak usia masih sangat muda, kita telah bersiap-siap untuk itu. Seluruh kegiatan bersekolah kita dirancang untuk itu. Kita menghabiskan seluruh kehidupan aktif kita di dalamnya. Kerja adalah basis yang melandasi seluruh masyarakat. Tanpanya, tidak akan ada makanan, pakaian, rumah, sekolah, kebudayaan, seni maupun ilmu pengetahuan. Dalam makna yang paling nyata, kerja adalah hidup itu sendiri. Merampas hak bekerja seseorang tidak hanya berarti merampas haknya untuk mendapat standar hidup minimum. Merampas hak bekerja seseorang sama saja dengan melucuti harga dirinya, memisahkannya dari masyarakat beradab, membuat hidupnya sia-sia dan tak bermakna. Ketiadaan lapangan kerja adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Penciptaan sebuah kelas bawah di kota-kota Amerika Serikat dan negeri-negeri lain adalah bukti bahwa masyarakat modern sudah bangkrut. Kutipan berikut mengungkapkan ketakutan dari seorang ahli strategi kapitalis terbesar tentang kecenderungan Barat menuju disintegrasi sosial:
“Konsentrasi populasi orang-orang yang yang dikecewakan dan termiskinkan di kota-kota, yang jumlahnya semakin bertambah, yang bergantung pada infrastruktur yang rapuh adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Ada kemungkinan besar bahwa solidaritas sosial yang mendasari negara kesejahteraan akan hancur dalam tahun-tahun mendatang. Semakin tingginya biaya untuk menyokong populasi yang bergantung ini akan menguji kesabaran dari mereka yang lebih berhasil dalam pergulatan ekonomi.... Tapi ini masalah yang akan kita hadapi di abad mendatang.
“Negara kesejahteraan telah membuat kesalahan yang akan dibayar dalam termin evolusioner. Perempuan kelas-kelas bawah melahirkan 60% lebih banyak anak daripada perempuan kelas menengah -- kulit hitam atau putih. Tapi bahkan statistik ini masih kurang memperhitungkan dampaknya atas populasi. Perempuan kelas bawah bukan hanya memiliki lebih banyak anak, mereka juga mulai melahirkan pada usia yang lebih muda, yang akan meningkatkan populasi kelas bawah secara geometrik.”
Rees-Mogg, yang menghibur dirinya dengan khayalan bahwa “Marxisme sudah mati”, mendukung politik reaksioner terbuka, yang dengan jelas mengingatkan kita pada kaum Malthusian di jaman Victoria ratusan tahun lalu:
“Mereka (orang-orang miskin) mendapat bantuan untuk menyia-nyiakan hidup mereka lewat insentif negatif dari program-program sosial, yang secara efektif membebani mereka-mereka yang bekerja dengan pajak 100% atau lebih. Dalam banyak kasus, nilai total dari bantuan makanan, subsidi sewa rumah, tunjangan pengangguran, suplemen pendapatan, penyediaan sarana kesehatan gratis dan lain-lain pelayanan melebihi pendapatan setelah pajak yang dapat diraih oleh seorang pekerja tidak terampil. Dan tunjangan kesejahteraan, karena definisinya, dapat diperoleh dengan sedikit atau tanpa usaha sama sekali. Anda tidak perlu bangun pagi-pagi sekali dan berdesak-desakan di angkutan kota untuk menjamin hidup Anda.... Penegakan hukum yang longgar juga membuat kemalasan, ketidakmampuan membaca dan kriminalitas menjadi semakin menarik. Anak-anak yang dapat memperoleh seratus dolar per jam sebagai pencuri atau pengedar narkoba kecil kemungkinannya mau belajar membaca atau mencari kerja dengan upah minimum yang mungkin akan dapat menjamin hidupnya kelak.”[2]
Di sisi lain Atlantik, perasaan gelap yang sama juga telah menyebar di kalangan ahli strategi kapitalis. Penulis dan ekonom terkenal Amerika, John Kenneth Galbraith, yang adalah seorang liberal dalam politiknya, tapi tetap saja sampai pada kesimpulan yang serupa. Dalam buku terakhirnya, The Culture of Contentment, ia mengeluarkan sebuah peringatan keras atas kemungkinan terjadinya konflik sosial yang meledak-ledak yang muncul akibat divisi kelas dalam masyarakat Amerika:
“Namun kemungkinan akan terjadinya pemberontakan kelas bawah, yang sangat terganggu kenyamanannya, ada dan semakin hari semakin besar. Telah terjadi beberapa ledakan di masa lalu, khususnya kerusuhan-kerusuhan di kota-kota besar di akhir 1960-an, dan ada beberapa faktor yang mungkin akan menyebabkan ledakan-ledakan ini lagi.
“Secara khusus, telah dijelaskan, kedamaian sangat tergantung pada perbandingan dengan ketidaknyamanan yang sebelumnya. Dengan berjalannya waktu, perbandingan itu memudar, dan juga dengan berlalunya waktu janji-janji masa lalu untuk bisa keluar dari kemiskinan relatif – atau pergerakan sosial ke atas – pudar pula. Ini khususnya dapat terjadi akibat resesi atau depresi yang berkepanjangan. Gelombang pekerja yang membanjiri pabrik-pabrik mobil di Detroit –para pengungsi dari tanah-tanah pertanian Michigan dan Ontario dan kemudian juga orang-orang kulit putih miskin dari Appalachia – semakin hari semakin banyak jumlahnya. Banyak dari mereka yang datang dari Selatan untuk menggantikan mereka kini terdampar dalam pengangguran yang endemik. Tidak ada yang boleh terkejut jika pada satu hari ini akan melahirkan satu reaksi yang penuh kekerasan. Telah selalu menjadi salah satu kepercayaan mendasar dari mereka yang mendapatkan kenyamanan bahwa mereka yang tidak mendapatkan kenyamanan itu menerima nasibnya dengan pasrah. Kepercayaan semacam itu boleh jadi satu hari akan terbukti keliru secara mendadak.”[3]
Keterasingan
“Dunia ini bukanlah sekumpulan individu yang terisolasi; semuanya terhubung satu sama lain dengan satu atau lain cara.” (Aristoteles)
"No man is an Iland, intire of itselfe; every man is a peece of the Continent, a part of the maine; if a Clod bee washed away by the sea, Europe is the lesse, as well as if a Promontorie were, as well as if a Mannor of thy friends or thine own were; any man’s death diminishes me, because I am involved in Mankind; and therefore never send to know for whom the bell tolls; it tolls for thee." (John Donne, Devotions upon Emergent Occasions, no. xvii.)
“Tiada orang yang sepenuhnya sendirian; tiap orang adalah sekeping tanah dari sebuah Benua, sebagian dari yang keseluruhan. Jika sepotong Semenanjung ditenggelamkan oleh air, Eropa akan menjadi lebih kecil, demikian pula halnya dengan Puncak Gunung, atau Rumah karib Anda atau Anda sendiri; kematian tiap orang mengurangi arti saya sendiri, karena saya terlibat dalam keseluruhan Umat Manusia; dan karenanya tidak akan pernah tahu kapan lonceng maut memanggil; ia berdentang memanggil Anda.” (John Donne, Devotion upon Emergent Occasion, no. xvii.)
Manusia menjadi manusia dengan memisahkan diri dari sifat murni kehewanan, yaitu, ketidaksadaran, naluri alamiah semata. Bahkan hewan yang paling kompleks sekalipun tidak dapat menandingi pencapaian umat manusia, yang memungkinkannya bertahan dan menjadi makmur dalam berbagai kondisi dan iklim, di laut, di udara, dan bahkan di antariksa. Umat manusia telah mengangkat dirinya demikian jauh dari keadaan “alami”-nya, keadaan kehewanannya, mereka telah menguasai lingkungan mereka sampai tingkatan yang tak tertandingi. Namun, paradoksnya, manusia masih terus dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan yang membabi-buta di luar kendali mereka. Apa yang disebut “ekonomi pasar” didasarkan pada premis bahwa manusia tidaklah mengendalikan kehidupan dan nasibnya sendiri, tapi merupakan boneka belaka di tangan kekuatan-kekuatan tak kasat mata, yang, seperti dewa-dewa yang rakus dan tak dapat diterka dari jaman dulu, mengatur segala sesuatu tanpa rima atau keteraturan sama sekali. Dewa-dewa ini memiliki pendeta-pendetanya sendiri, yang menghabiskan hidup mereka mengabdi kepadanya. Para pendeta ini mendiami bank-bank dan bursa saham, dengan upacara-upacara mereka yang rumit, dan membuat profit yang besar. Tapi, ketika dewa-dewa marah, para pendeta itu panik, seperti sekawanan hewan yang berlarian ketakutan, dan dengan insting yang sama.
Orang-orang Romawi kuno menggambarkan budak sebagai “alat yang dapat berbicara” (instrumentum vocale). Kini, banyak buruh akan merasa bahwa penggambaran ini dapat juga diterapkan pada mereka. Kita seharusnya hidup dalam sebuah dunia post-modern, post-industrial, post-Fordist. Tapi, sejauh menyangkut kondisi kehidupan rakyat pekerja, apa yang telah berubah? Di mana-mana, pencapaian-pencapaian yang telah didapat di masa lalu sedang diserang. Di Barat, standar hidup, bagi sebagian terbesar rakyat, kini sedang ditekan. Negara kesejahteraan sedang digerogoti, dan tingkat pengangguran yang rendah tinggal masa lalu.
Di semua negeri, masyarakat sedang dijangkiti oleh perasaan gelap yang dalam. Perasaan ini dimulai dari atas dan menetes ke bawah sampai tingkatan terendah. Perasaan tidak aman yang dilahirkan oleh pengangguran massal permanen telah menyebar ke lapisanpekerja yang di masa lalu beranggapan bahwa diri mereka kebal terhadapnya.Para guru, dokter, perawat, pegawai negeri, manajer pabrik sudah tidak lagi merasa aman. Tabungan dari kelas menengah, nilai rumah mereka, juga terancam oleh pergerakan pasar uang dan bursa saham yang tak terkendali. Kehidupan miliaran umat manusia berada dalam genggaman kekuatan membabi-buta yang begitu tidak rasional, sehingga membuat dewa-dewa masa lalu menjadi sangat rasional bila dibandingkan dengannya.
Beberapa dekade yang lalu, dengan yakin diramalkan bahwa derap maju ilmu pengetahuan dan teknologi akan menyelesaikan semua masalah yang dihadapi umat manusia. Di masa depan manusia tidak akan lagi risau dengan perjuangan kelas, tapi dengan masalah mengisi waktu luang. Ramalan ini sama sekali bukannya tanpa dasar. Dari sudut pandang yang murni ilmiah, tidak ada alasan mengapa hari dan jam kerja tidak dapat dikurangi, sekaligus meningkatkan hasil produksi dan standar hidup, berdasarkan produktivitas tinggi yang didapatkan dari penerapan teknologi baru. Tapi situasi yang sesungguhnya sangatlah berbeda.
Marx telah menjelaskan jauh-jauh hari bahwa di bawah kapitalisme mesin bukannya mengurangi hari kerja malah cenderung memperpanjangnya. Di semua negeri kapitalis utama, kita menyaksikan tekanan besar terhadap kaum buruh untuk bekerja lebih lama dengan upah yang semakin rendah. Dalam edisi 24 Oktober 1994, majalah Time melaporkan peningkatan tajam dari perekonomian Amerika, dengan tingkat keuntungan yang membumbung tinggi:
“Tapi kaum buruh mengeluh bahwa bagi mereka ekspansi ekonomi berarti kelelahan. Di seluruh industri Amerika, perusahaan-perusahaan menggunakan lembur untuk memeras tetes keringat terakhir dari angkatan kerja Amerika Serikat; jam kerja pabrik kini mencapai rekor 42 jam per minggu, termasuk 4,6 jam lembur. 'Orang-orang Amerika,' Audrey Freedman, seorang ekonom buruh dan anggota redaksi Time, mengamati, 'adalah pekerja paling keras di dunia.' Tiga besar produsen mobil telah mendorong kecenderungan ini ke tingkat ekstrem. Para buruh mereka rata-rata lembur 10 jam setiap seminggu dan setiap tahun rata-rata bekerja enam hari Sabtu selama 8 jam.”
Artikel itu juga mengutip sejumlah besar contoh baik dari kalangan buruh kerah biru maupun kerah putih dari berbagai industri, yang mengeluh tentang beban kerja yang kronis:
“‘Saya mengerjakan kerja dari tiga orang,’ ujar Joseph Kelterborn, 44, yang bekerja untuk perusahaan telepon Nynex di New York City. Departemennya, yang memasang dan memelihara jaringan kabel-optik, telah dipangkas dari 27 orang menjadi 20 pada tahun-tahun terakhir, sebagian dengan menggabungkan apa yang tadinya merupakan tiga posisi yang berbeda – operator saklar, operator daya dan operator pengujian – menjadi apa yang kini disebut carrier switchman. Sebagai hasilnya, kata Kelterborn, ia sering bekerja sampai empat jam ekstra seharinya dan satu hari ekstra tiap tiga minggu. ‘Pada saat saya sampai di rumah,’ keluhnya, ‘saya hanya memiliki waktu untuk mandi, makan malam dan tidur sebentar; lalu tiba waktunya bangun dan melakukan semuanya lagi.’”
Seperti yang telah ditunjukkan oleh Marx, peningkatan penggunaan mesin berarti semakin panjang hari kerja bagi mereka yang masih memiliki pekerjaan. Sejak pemulihan dari resesi pada Maret 1991, perekonomian Amerika Serikat telah menciptakan hampir enam juta lapangan kerja baru, tapi masih juga kurang dua juta pekerjaan. Jika perusahaan-perusahaan Amerika Serikat menyewa tenaga kerja dengan tingkat yang sama seperti sebelum resesi, peningkatan itu seharusnya berjumlah delapan juta atau lebih.
Artikel majalah Time itu menambahkan:
“Terdapat banyak bukti, nyatanya, bahwa Amerika Serikat sedang mengembangkan sejenis masyarakat dua tingkat. Sementara keuntungan perusahaan dan gaji para eksekutif meningkat dengan cepat, upah riil (yakni, setelah memperhitungkan inflasi) sama sekali tidak meningkat. Pemerintah telah melaporkan bahwa median penghasilan rumah tangga riil di Amerika Serikat menurun $312, sementara sekitar sejuta orang jatuh ke bawah garis kemiskinan, mereka yang didefinisikan secara resmi sebagai miskin adalah 15,1% dari populasi Amerika Serikat, bandingkan dengan 14,8% di tahun 1992. Semua itu adalah perkembangan yang mengejutkan di tengah empat tahun pemulihan ekonomi yang semakin menguat.”
Dalam Manifesto Komunis, Marx dan Engels menunjukkan:
“Karena penggunaan mesin yang luas dan pembagian kerja, kerja kaum proletariat telah kehilangan seluruh karakter individualitasnya, dan, sebagai akibatnya, kerjanya tidak lagi menarik. Ia menjadi sekedar aksesori mesin, dan hanya melakukan kerja yang paling sederhana, paling monoton, dan paling mudah dipelajari, yang dibutuhkan darinya. Maka itu, biaya untuk menghasilkan seorang pekerja dibatasi, hampir seluruhnya, oleh biaya hidup yang hanya cukup untuk memeliharanya, dan untuk ia berkembang biak. Tapi harga komoditi, dan demikian pula halnya dengan tenaga kerja, adalah sama dengan biaya produksinya. Maka, sebanding dengan semakin menjijikkannya pekerjaan itu, semakin turun pula tingkat upah. Terlebih lagi, sebanding dengan meningkatnya penggunaan mesin dan pembagian kerja, meningkat pula beban kerja, baik melalui perpanjangan jam kerja, melalui peningkatan ragam pekerjaan yang dituntut dikerjakan dalam rentang waktu tertentu atau oleh peningkatan kecepatan kerja mesin, dan lain-lain.”[4]
Dalam salah satu film Charlie Chaplin yang paling terkenal, yakniModern Times, kita dapat menyaksikan kehidupan seorang buruh di sebuah pabrik besar di tahun 1930-an. Pekerjaan monoton yang dilakukan tanpa berpikir, yang diulangi tanpa henti sungguh telah mengubah manusia menjadi aksesori mesin, “alat yang dapat berbicara”. Kendati semua pembicaraan muluk mengenai “partisipasi”, kondisi di kebanyakan pabrik tetap saja sama. Sungguh, tekanan atas buruh telah meningkat beberapa tahun terakhir ini. Hal-hal kecil yang dapat membuat hidup ini lebih tertanggungkan telah dengan perlahan tapi pasti disingkirkan. Di Inggris, di mana kekuatan serikat-serikat buruh telah memenangkan berbagai pencapaian di masa lalu, kini jam makan telah pula disingkirkan. Kanselir Kohl memberi tahu kaum buruh Jerman bahwa mereka harus mulai bekerja pada akhir minggu. Gambaran yang sama dapat kita temui di mana-mana.
Teknologi yang baru bukannya memperbaiki taraf kehidupan kaum buruh, ia malah digunakan untuk memperburuk kondisi para buruh kerah putih. Di kebanyakan bank, rumah sakit dan kantor-kantor besar, posisi para pekerja kini semakin mirip buruh di pabrik-pabrik. Rasa tidak aman yang sama, tekanan yang tanpa henti atas sistem syaraf, stres yang sama, yang membawa masalah-masalah kesehatan, depresi dan perceraian.
Di tahun-tahun terakhir para ilmuwan telah kembali pada ide “manusia-mesin”, dalam hubungannya dengan bidang robotik dan masalah kecerdasan artifisial (AI, Artificial Intelligence). Ide ini bahkan telah merasuki imajinasi populer, seperti yang ditunjukkan oleh kepopuleran film-film sejenis Terminator, di mana manusia dihadapkan melawan robot. Fenomena ini mengungkapkan cukup banyak tentang psikologi yang berkembang saat ini, yang dicirikan dengan dehumanisasi masyarakat, serta perasaan bahwa umat manusia tidaklah memegang kendali atas nasibnya sendiri, dan ketakutan akan satu kekuatan tak terkendali yang mendominasi kehidupan manusia. Padahal, upaya untuk menciptakan kecerdasan artifisial merupakan satu kemajuan dalam ilmu robotik, yang, dalam sebuah masyarakat rasional yang sejati, membuka satu kemungkinan yang gemilang bagi perkembangan umat manusia.
Menggantikan kerja manusia dengan mesin modern adalah kunci bagi revolusi kebudayaan terbesar dalam sejarah, yang berdasarkan pengurangan jam kerja manusia. Walau demikian, mustahil kita bisa mereproduksi pikiran manusia ke dalam mesin, sekalipun pekerjaan-pekerjaan yang spesifik dapat dikerjakan lebih efisien oleh mereka. Ini bukan karena alasan yang mistik, atau karena adanya sebuah “jiwa yang kekal”, yang katanya membuat kita menjadi sebuah Ciptaan yang unik, tapi karena sifat dari pemikiran itu sendiri, yang tidak dapat dipisahkan dari semua aktivitas tubuh manusia, yang dimulai dengan kerja.
Marx dan Keterasingan
Bahkan bagi mereka yang cukup beruntung untuk memiliki pekerjaan, sembilan dari sepuluh kasus, kerja adalah sebuah rutinitas yang tak bermakna. Jam kerja tidaklah dilihat sebagai bagian dari kehidupan seseorang. Kerja tidak memiliki hubungan dengan hakikat kita sebagai manusia. Hasil dari kerja kita dimiliki orang lain, di mana baginya Anda hanyalah sebuah “faktor produksi”. Hidup dimulai saat Anda keluar dari tempat kerja, dan berhenti ketika Anda memasukinya. Gejala ini dijelaskan dengan baik oleh Marx dalam bukunya Economic and Philosophic Manuscript of 1844:
“Dengan demikian, apa itu keterasingan kaum buruh?
“Pertama, fakta bahwa kerja itu adalah di luar diri buruh itu, yaitu, tidak termasuk dalam sifat intrinsiknya; bahwa dalam pekerjaannya, ia tidaklah menegaskan dirinya sendiri melainkan menyangkalnya, tidak merasa puas melainkan merasa tidak bahagia, tidak mengembangkan dengan bebas energi mental dan fisiknya melainkan merusak tubuhnya dan mengganggu otaknya. Si buruh itu, dengan demikian, hanya menjadi dirinya sendiri di luar pekerjaannya, dan di dalam pekerjaannya merasa bahwa ia bukan dirinya sendiri. Ia merasa nyaman ketika tidak bekerja, dan ketika ia bekerja ia tidak merasa nyaman. Kerjanya, dengan demikian, tidaklah dilakukan dengan sukarela, tapi karena dipaksa; kerjanya adalah kerja paksa. Kerjanya hanyalah cara untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang berada di luar kerja itu. Karakternya yang asing itu muncul jelas dalam fakta bahwa segera setelah tidak ada lagi pemaksaan fisik atau lainnya, buruh menghindari kerja seperti halnya dia menghindari wabah penyakit.”
“Kerja eksternal, yakni kerja di mana manusia mengasingkan dirinya sendiri, adalah kerja yang mengorbankan diri, kerja yang menekan hasrat diri. Karakter eksternal dari kerja bagi buruh muncul dalam fakta bahwa kerja itu bukanlah miliknya sendiri, tapi milik orang lain, bahwa kerja itu bukan miliknya, bahwa di dalam kerja dia bukanlah milik dirinya sendiri tetapi menjadi milik orang lain. Sebagaimana agama, di mana aktivitas spontan dari imajinasi manusia, dari otak dan hati manusia, bekerja pada individu yang mandiri darinya– yakni, bekerja sebagai suatu aktivitas yang asing, ilahi atau jahat – begitu juga aktivitas buruh bukanlah aktivitas spontannya. Ia adalah milik orang lain; kerja bermakna kehilangan jati diri buruh itu sendiri.”[5]
Maka, bagi sebagian terbesar orang, hidup hanya dijalani sebagai sebuah aktivitas yang memiliki sedikit saja makna bagi individu. Pada keadaan terbaik, hidup dapat tertanggungkan; pada keadaan terburuk, hidup adalah siksaan. Bahkan bagi mereka-mereka yang mengerjakan pekerjaan seperti mengajar anak-anak atau mengurus orang sakit, telah mulai merasa bahwa kepuasan mereka mulai dirampas, sejalan dengan semakin merasuknya hukum-hukum pasar ke dalam sekolah dan bangsal-bangsal rumah sakit.
Perasaan bahwa masyarakat ini telah mencapai jalan buntu tidaklah terbatas pada “kelas-kelas bawah”. Di tengah kelas penguasa juga terdapat perasaan yang semakin kuat akan kebuntuandan pesimisme tentang masa depan. Tidak dapat lagi ditemui gagasan-gagasan hebat seperti di masa lalu, ataupun rasa percaya diri dan optimisme. Omong kosong besar yang dikumandangkan terus-menerus tentang apa yang disebut keajaiban “perekonomian pasar bebas” semakin hari menjadi semakin kosong maknanya, sejalan dengan orang semakin menyadari situasi sebenarnya -- jutaan pengangguran, serangan terhadap standar hidup, kekayaan luar biasa yang dibuat melalui spekulasi, kerakusan dan korupsi.
Sangatlah ironis bahwa para pembela status quo menuduh Marxisme sebagai “materialistis”, ketika kaum borjuis itu sendiri mempraktekkan jenis materialisme yang paling vulgar dan mengerikan. Pengejaran kekayaan, diangkatnya kerakusan sebagai prinsip yang dominan, itulah pusat dariseluruh kebudayaan mereka sekarang. Inilah agama mereka yang sebenarnya. Di masa lalu, mereka bersusah-payah untuk menutupi ini, bersembunyi di balik segala moral munafik tentang kewajiban, patriotisme, kerja yang jujur, dan segala kepalsuan yang lain. Kini mereka melakukannya secara terbuka. Di setiap negeri kita melihat wabah korupsi yang belum pernah terjadi sebelumnya, penggelapan, kebohongan, penipuan, pencurian - bukan pencurian oleh kriminal kelas teri, tapi penjarahan dalam skala masif, yang dikerjakan oleh para pengusaha, politisi, para kepala polisi dan militer dan para hakim. Dan mengapa tidak? Bukankah sudah kewajiban kita untuk menjadi kaya?
Buaian monetarisme mengangkat egoisme dan kerakusan menjadi sebuah prinsip. Raup sebanyak mungkin dan dengan cara apapun. Inilah hakikat inti dari kapitalisme. Itulah hukum rimba, yang diterjemahkan ke dalam bahasa mantra-mantra ekonomi. Setidaknya prinsip ini sederhana. Ia mengatakan secara terus terang seperti apa sistem ekonomi kapitalis itu sebenarnya.
Tapi, betapa hampanya filsafat ini! Betapa menyedihkannya pandangan tentang kehidupan manusia ini! Sekalipun mereka tidak mengetahuinya, para penguasa planet ini sebenarnya hanya budak juga, budak buta dari kekuatan yang tidak dapat mereka kendalikan. Mereka tidak memiliki kendali sejati atas sistem ini, sebagaimana semut tidak dapat mengendalikan bukit rumah mereka. Namun mereka cukup puas dengan keadaan ini, yang memberi mereka posisi, kekuasaan dan kekayaan. Dan mereka dengan kejam melawan semua usaha untuk melakukan perubahan yang radikal di masyarakat.
Jika ada sebuah benang merah dalam sejarah, benang merah itu adalah upaya manusia, laki-laki dan perempuan, untuk meraih kendali atas hidup mereka, untuk menjadi bebas, dalam makna yang paling sejati dari kata itu. Segala kemajuan ilmu dan teknologi, semua yang telah dipelajari umat manusia tentang alam dan dirinya sendiri, berarti bahwa kini ada potensi untuk mengambil kendali penuh atas kondisi yang kita diami. Namun, dalam dasawarsa terakhir dari abad ke-20, dunia ini kelihatannya malah berada dalam cengkeraman satu kegilaan yang aneh. Manusia semakin merasa kehilangan kendali atas takdirnya bila dibandingkan dengan sebelumnya. Ekonomi, lingkungan hidup, udara yang kita hirup, air yang kita minum, makanan yang kita makan, semua sedang terancam. Hilang sudah perasaan aman dan tenteram. Hilang sudah perasaan bahwa sejarah merupakan satu derap maju tanpa henti menuju sesuatu yang lebih baik dari hari ini.
Di bawah keadaan seperti ini, sejumlah lapisan masyarakat mencari jalan keluar melalui obat-obatan dan alkohol. Ketika masyarakat ini tidak lagi rasional, manusia lari ke hal-hal yang tidak rasional untuk mendapatkan ketenangan. Agama, seperti yang dikatakan Marx, adalah candu, dan dampaknya tidaklah kurang berbahaya daripada obat-obatan lainnya. Kita telah melihat bagaimana ide-ide religius dan mistik telah merasuk bahkan ke dalam dunia ilmiah. Inilah refleksi dari jaman yang kini sedang kita lewati.
Moralitas
“Kuatkanlah komitmen moral dan kepercayaan agama Anda. Baca kembali Sepuluh Perintah Allah dan Kitab-kitab Kebijaksanaan. Kitab Suci bukanlah guru sejarah yang buruk dan ia adalah satu panduan untuk bertahan dalam keadaan yang sulit.” (Rees-Mogg)
“Siapapun yang tidak ingin berpaling pada Musa, Kristus atau Muhamad, siapa pun yang tidak puas dengan mantra-mantra eklektisharus mengakui bahwa moralitas hanyalah sebuah produk dari perkembangan sosial; bahwa moralitas bukanlah sesuatu yang abadi; bahwa moralitas melayani kepentingan-kepentingan sosial; bahwa kepentingan-kepentingan ini saling berkontradiksi; bahwa moralitas, lebih dari segala bentuk ideologi lainnya, memiliki karakter kelas.” (Trotsky)
“Marxisme menyangkal moralitas!” Betapa sering kita mendengar pernyataan semacam ini, yang sebetulnya hanya mengungkapkan ketidaktahuan seseorang atas ABC Marxisme. Benar, Marxisme menolak keberadaan dari moralitas yang supra-historis. Tapi tidaklah membutuhkan banyak keringat untuk menunjukkan bahwa aturan-aturan moral yang telah mengatur kelakuan manusia telah berubah cukup signifikan dari satu jaman ke jaman yang lain. Pada satu waktu, tidaklah dianggap tidak bermoral jika kita memakan para tawanan perang. Kemudian, kanibalisme dipandang dengan penuh kejijikan, tapi para tawanan perang boleh dijadikan budak. Bahkan Aristoteles yang agung itu siap membela perbudakan, berdasarkan argumen bahwa budak tidaklah memiliki jiwa, dan oleh karenanya bukanlah sepenuhnya manusia (argumen yang sama digunakan juga untuk perempuan). Kemudian, dianggap tidak bermoral jika kita memiliki orang lain sebagai properti, tapi sangat dapat diterima jika para penguasa feodal memiliki para hamba yang terikat pada tanahnya dan sepenuhnya merupakan pelayan bagi tuannya, bahkan sampai memberikan para pengantin wanita untuk diperawani oleh sang tuan.[6]
Kini, semua hal ini dianggap sebagai barbar dan tidak bermoral, tapi institusi-institusi kerja-upahan, di mana seorang manusia menjual dirinya sendiri secara borongan kepada seorang pengusaha, yang menggunakan kemampuan bekerjanya sebagaimana yang diinginkan si pengusaha itu, tidak pernah dipertanyakan. Bagaimanapun, ini katanya adalah kerja bebas. Tidak seperti hamba atau budak, buruh dan pengusaha tiba pada sebuah kesepakatan bersama atas kehendak bebas mereka sendiri. Tidak ada yang mengharuskan seorang buruh untuk bekerja pada satu majikan tertentu. Jika ia tidak menyukainya, ia boleh pergi dan mencari pekerjaan di tempat lain. Lebih jauh lagi, dalam sebuah perekonomian pasar bebas, hukum berlaku sama dan adil bagi semua orang. Penulis Prancis Anatole France menulis tentang “kesetaraan megah dalam hukum, yang melarang semua orang, tidak peduli kaya atau miskin, untuk tidur di bawah jembatan, untuk mengemis di jalanan, dan untuk mencuri roti.”
Dalam masyarakat modern, sebagai ganti bentuk penghisapan terbuka, kita mendapati sebuah penghisapan yang tersembunyi, yang munafik, di mana hubungan riil antar manusia diterjemahkan ke dalam hubungan antar benda – potongan kertas kecil yang memberi pemegangnya kekuatan atas hidup dan matinya seseorang; yang dapat membuat apa yang buruk menjadi indah, yang lemah menjadi kuat, yang bodoh menjadi cerdas; yang tua menjadi muda.
Trotsky menulis bahwa relasi uang telah tertanam dalam-dalam di kepala manusia sehingga kita mengatakan bahwa orang itu berharga sekian juta dolar. Uang adalah alat ukur tingkat keterasingan yang ada di dalam masyarakat masa kini sehingga pernyataan seperti itu biasanya dianggap jamak. Maka juga tidak ada orang yang terkejut ketika, sepanjang krisis moneter, berita-berita televisi berbicara tentang mata uang layaknya seseorang yang sedang pulih dari sakit tertentu (“Poundsterling/dolar/Deutschmark menguat sedikit hari ini....”). Manusia dianggap sebagai benda, sementara benda, khususnya uang, dipandang dengan rasa takjub yang penuh takhayul, yang mengingatkan kita pada sikap religius orang-orang liar jaman dulu terhadap tiang pemujaan dan berhala-berhala mereka. Alasan untuk pemberhalaan komoditi (“fetishism of commodities”) dijelaskan oleh Marx dalam jilid pertama Capital.
Mencari-cari moralitas mutlak telah terbukti menjadi kegiatan yang sia-sia. Di sini lagi, hukum-hukum kekal logika tidak akan membantu kita sama sekali. Logika formal mendasarkan dirinya pada satu antitesis yang kaku antara kebenaran dan kekeliruan. Sebuah ide adalah benar atau keliru. Namun kebenaran, seperti yang diungkapkan penyair Jerman Lessing, bukanlah seperti mata uang yang diedarkan siap cetak dan dapat digunakan untuk setiap keadaan. Apa yang benar untuk satu waktu dan di bawah himpunan keadaan tertentu dapat menjadi keliru di waktu dan keadaan lain. Hal yang sama berlaku juga untuk konsep “baik” dan “buruk”. Apa yang dianggap “baik” dan terpuji di dalam satu masyarakat dapat dianggap menjijikkan di masyarakat lainnya. Lebih jauh lagi, dalam masyarakat tertentu, konsep tentang apa yang baik dan buruk seringkali berubah-ubah menurut keadaannya, dan menurut kepentingan dari satu kelas tertentu.
Jika kita mengecualikan inses atau hubungan badan antara orang tua dan anak, yang kelihatannya ditabukan dalam hampir tiap masyarakat, hanya sedikit saja moralitas yang mutlak dan kekal.“Jangan mencuri” tidak terlalu masuk akal di dalam masyarakat yang tidak berdasarkan kepemilikan pribadi. “Jangan berzina” hanya memiliki makna dalam masyarakat di mana laki-laki mendominasi perempuan, di mana laki-laki ingin menjamin bahwa kepemilikan pribadi akan diwariskan melalui anak lelaki mereka. “Jangan membunuh” selalu disertai dengan berbagai persyaratan sehingga dengan segera berubah menjadi sesuatu yang sangat berbeda, bahkan bertentangan; contohnya, “jangan membunuh” kecuali untuk mempertahankan diri; atau “jangan membunuh” kecuali orang itu berasal dari suku/bangsa/agama yang lain.
Dalam tiap perang, para prajurit selalu diberkati terlebih dahulu oleh para pemuka agama sebelum mereka maju bertempur untuk membantai prajurit dari bangsa lain. Moralitas “jangan membunuh” yang absolut ini tiba-tiba berubah menjadi relatif jika dihubungkan dengan pertimbangan lain, yang pada pemeriksaan yang lebih teliti, ternyata berhubungan dengan kepentingan ekonomi, teritorial, politik atau strategis dari negara-negara yang terlibat dalam pertikaian itu. Kemunafikan dari semua ini ternyatakan dengan baik sekali dalam bait singkat karya penyair agung Skotlandia Robert Burns, On Thanksgiving For a National Victory:
“Ye hipocrites! are these your pranks?
To murder men, and give God thanks?
Desist for shame! Proceed no further:
God won't accept your thanks for Murther.”
[“Hai kamu orang-orang munafik! apakah ini leluconmu?
Kamu membunuh orang, dan berterimakasih pada Tuhan?
Hentikan demi rasa malu! Jangan lebih jauh berjalan:
Tuhan tidak akan menerima ucapan terimakasihmu untuk Pembunuhan.”]
Perang adalah sebuah fakta kehidupan (dan juga kematian). Telah terdapat banyak sekali perang sepanjang sejarah manusia. Fakta ini boleh dikutuk, tapi tidak dapat diabaikan. Lebih jauh lagi, seluruh isu terpenting di antara bangsa-bangsa selalu diselesaikan melalui perang. Pasifisme tidak pernah menjadi doktrin yang disukai oleh pemerintah-pemerintah, kecuali sebagai taktik diplomasi, yang tujuan satu-satunya adalah untuk menipu semua orang akan niat sejati dari pemerintah yang diwakili sang diplomat. Inilah mengapa kita membayar para diplomat itu. “Jangan bersaksi palsu” sama sekali tidak mereka pedulikan. Seorang komandan militer yang tidak menggunakan segala yang ada dalam kemampuannya untuk menipu musuhnya akan dianggap tolol, atau yang lebih buruk daripada tolol. Namun demikian, di sini, kebohongan menjadi sesuatu yang terpuji – sebuah kegemilangan militer. Seorang jenderal yang membuka rahasia rencananya pada musuh akan ditembak selaku seorang pengkhianat. Seorang buruh yang mengungkapkan rencana pemogokan pada pengusaha akan dianggap pengkhianat pula oleh rekan-rekan kerjanya.
Dari beberapa contoh sederhana ini, jelaslah bahwa moralitas bukanlah suatu abstraksi yang supra-historis, melainkan sesuatu yang berevolusi secara historis, dan berubah setiap waktu. Di Abad Pertengahan yang Gelap, Gereja Katolik Roma mengutuk riba (bunga pinjaman) sebagai salah satu dosa maut. Kini Vatikan memiliki banknya sendiri, dan mendapatkan banyak uang melalui bunga pinjaman. Dengan kata lain, moralitas memiliki basis kelas. Ia mencerminkan nilai, kepentingan dan cara pandang dari kelas sosial yang dominan. Tentu saja moralitas tidak akan dapat berhasil memelihara tingkat kohesi sosial tertentu jika ia tidak diterima oleh sebagian terbesar penduduk. Maka, ia harus menampakkan dirinya sebagai sesuatu yang mutlak, sebagai kebenaran yang tak terbantahkan, yang bila dilanggar akan membawa keruntuhan pada seluruh tatanan sosial.
Hanya sedikit saja pemandangan yang lebih menjijikkan dari pada melihat para tuan nyonya kaya yang terhormat memberi khotbah tentang pentingnya moralitas, agama, keluarga berencana dan cara hidup hemat. Orang-orang ini, yang kerakusannya terwujud tiap hari dalam kenaikan upah raksasa bagi para direktur, memberi khotbah kepada kaum buruh tentang pentingnya semangat berkorban. Para spekulator itu, yang tidak pernah ragu untuk menjatuhkan nilai mata uang negeri mereka sendiri ke dalam kekacauan supaya dapat menggembungkan lebih jauh pundi-pundi mereka yang telah bengkak itu, mengkhotbahi kita tentang pentingnya nilai-nilai patriotisme. Bank-bank, pemerintah-pemerintah, dan perusahaan-perusahaan multinasional itu, yang tanpa belas kasihan memeras kering rakyat di Afrika, Asia dan Amerika Latin, melemparkan caci maki ketika mereka melihat kaum buruh dan tani mengangkat senjata untuk mempertahankan hak-hak mereka. Mereka berkhotbah tentang pentingnya perdamaian di dunia. Tapi tumpukan senjata pembunuh di gudang mereka, yang mereka jual untuk mendapatkan keuntungan yang gemuk menunjukkan bahwa pasifisme mereka sangat relatif sifatnya. Kekerasan hanya dianggap kejahatan jika dilakukan oleh mereka yang miskin dan tertindas. Seluruh sejarah menunjukkan bahwa kelas penguasa selalu mempertahankan kekuasaan dan kedudukan istimewa mereka dengan jalan yang paling brutal, jika dianggap perlu.
Keluarga, Ketertiban, Kepemilikan Pribadi dan Agama selalu tertulis pada panji-panji kaum konservatif pembela status quo. Namun, dari seluruh institusi yang kelihatannya kokoh ini, hanya satu, kepemilikan pribadi, yang menjadi kepentingan sejati kelas penguasa. Agama adalah, seperti yang dikatakan Rees-Mogg dengan terus terang, adalah senjata yang diperlukan untuk menertibkan kaum miskin. Sebagian terbesar dari anggota kelas penguasa tidak percaya barang satu patah kata pun tentang agama. Mereka pergi ke Gereja seperti pergi menonton opera, untuk memamerkan pakaian mereka yang terbaru. Pemahaman mereka tentang teologi sama kaburnya dengan apresiasi mereka terhadap komposisi musik karya Richard Wagner, The Ring Cycle. Dalam kehidupan pribadi mereka, kaum borjuasi hanya menunjukkan sedikit kepedulian akan “hukum-hukum kekal moralitas”. Wabah skandal yang telah mengguncang lembaga-lembaga politik di Italia, Prancis, Spanyol, Inggris, Belgia, Jepang, dan Amerika Serikat adalah sekedar puncak gunung es. Namun mereka tetap bersikeras berkhotbah mengenai “kebenaran moral yang kekal” dan terkejut ketika mereka mendapati diri mereka ditertawakan orang.
Apakah ini berarti bahwa moralitas tidak ada? Atau bahwa kaum Marxis tidak memiliki moralitas? Salah besar. Moralitas ada dan memainkan peran dalam masyarakat. Tiap masyarakat memiliki kode etiknya sendiri, yang berfungsi sebagai ikatan yang kuat, selama kode etik inidiakui dan dihormati oleh sebagian terbesar anggota komunitas. Pada akhirnya, moralitas yang berlakudan hukum-hukumyang berusaha untuk mengimplementasikannya mendapatkan sokongan dari kekuatan negara, yang mencerminkan kepentingan dari kelas atau kasta yang berkuasa, sekalipun hal itu dilakukan dengan cara yang terselubung. Selama tatanan sosial ekonomi yang ada membawa masyarakat melangkah ke depan, maka nilai, ide dan cara pandang dari lapisan berkuasa diterima tanpa pertanyaan oleh sebagian terbesar anggota masyarakat. Basis kelas dari moralitas dijelaskan oleh Trotsky:
“Kelas penguasa memaksakan tujuan-tujuannya kepada masyarakat, dan membuat masyarakat itu menerima bahwa segala hal yang melawan tujuan-tujuan itu sebagai sesuatu tidak bermoral. Inilah fungsi utama dari moralitas resmi, yang bertujuan mewujudkan 'kebahagiaan terbesar' bukan bagi mayoritas melainkan bagi minoritas yang kecil dan terus mengecil jumlahnya. Rejim semacam itu tidak akan dapat bertahan barang seminggu sekalipun jika hanya mengandalkan kekuatan kekerasan. Ia memerlukan semen moralitas.”[7]
Segelintir individu yang berani mempertanyakan moralitas dicap sebagai kafir dan dieksekusi. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang “tidak bermoral” -- bukan karena mereka tidak memiliki sudut pandang moral tertentu, melainkan karena mereka tidak mau tunduk pada moralitas yang ada. Socrates dinyatakan sebagai orang yang berpengaruh buruk pada kaum muda Athena, sebelum dipaksa meminum racun. Orang-orang Kristen pertama didakwa melakukan segala macam tindak tak bermoral oleh negara perbudakan yang mengeksekusi mereka tanpa ampun sebelum negara itu memutuskan lebih baik mengakui agama baru ini, supaya dapat membujuk para pemimpin Gereja ke dalam korupsi. Luther dinyatakan sebagai titisan setan, ketika ia menyerang korupsi yang dilakukan oleh Gereja di abad pertengahan.
Kejahatan kaum Marxis terletak pada keberanian mereka menunjukkan bahwa masyarakat kapitalis telah memasuki pertentangan dengan kebutuhan-kebutuhan perkembangan sosial; bahwa ia telah menjadi hambatan terhadap perkembangan umat manusia yang tak dapat lagi ditolerir; bahwa ia dipenuhi dengan segala macam kontradiksi; bahwa ia telah bangkrut secara ekonomi, politik, budaya dan moral; dan bahwa semakin lama sistem ini bertahan semakin kita mempertaruhkan keselamatan dari seluruh planet ini. Dari sudut pandang mereka-mereka yang memiliki dan mengendalikan kekayaan masyarakat, ide-ide ini tentulah “buruk”. Dari sudut pandang apa yang dibutuhkan untuk menemukan jalan keluar dari jalan buntu ini, ide-ide ini tepat, perlu dan baik.
Krisis kapitalisme yang berkepanjangan ini telah berakibat paling buruk pada moralitas dan kebudayaan. Di mana-mana, gejala disintegrasi sosial nampak mencolok mata. Keluarga borjuis sedang mengalami keruntuhan, tapi, karena tidak ada yang dapat menggantikannya, hal ini kemudian malah membawa satu mimpi buruk kemiskinan dan degradasi bagi berjuta keluarga miskin. Kota-kota Amerika Serikat dan Eropa yang sedang membusuk, dengan kantung-kantung pengangguran dan kemiskinannya, adalah ladang subur untuk penyalahgunaan narkoba, kejahatan dan segala macam mimpi buruk lainnya.
Dalam masyarakat kapitalis, orang dianggap sebagai komoditi yang dapat dibuang sesudah tidak dibutuhkan lagi. Barang yang tidak dapat dijual dibiarkan di gudang sampai membusuk. Mengapa manusia harus diperlakukan berbeda? Cuma, halnya tidak demikian sederhana dengan manusia. Mereka tidak dapat dibiarkan kelaparan dan meninggal dalam jumlah besar, karena penguasa takut akan konsekuensi sosialnya. Jadi, dalam kontradiksi puncak kapitalisme, kaum borjuis terpaksa memberi makan para pengangguran, bukannya diberi makan oleh mereka. Sebuah keadaan yang benar-benar gila, di mana laki-laki dan perempuan ingin bekerja, untuk menambah kekayaan masyarakat, dan dihalangi bekerja oleh “hukum-hukum pasar”.
Ini adalah masyarakat yang sangat tidak berperikemanusiaan, di mana manusia dianggap lebih rendah daripada benda. Apakah mengherankan bahwa beberapa di antara orang-orang ini berlaku seperti bukan manusia? Tiap hari koran-koran tabloid dipenuhi dengan cerita-cerita horor tentang pelecehan yang mengerikan yang dilakukan terhadap mereka yang paling lemah, lapisan masyarakat yang paling tak berdaya --perempuan, anak-anak, orang-orang tua. Inilah barometer yang paling akurat untuk mengukur keadaan moral masyarakat. Hukum kadangkala menghukum pelanggaran-pelanggaran ini, sekalipun secara umum kejahatan terhadap properti (besar) diselidiki secara lebih bersemangat oleh polisi ketimbang kejahatan terhadap orang. Tapi, dalam semua kasus, akar sosial mendasar dari kejahatan selalu berada di luar jangkauan pengadilan dan kepolisian. Pengangguran merupakan induk dari segala jenis kejahatan. Tapi, masih ada faktor-faktor lain yang lebih halus dan tak kasat mata.
Budaya egoisme, keserakahan dan ketidakpedulian terhadap kesengsaraan sesama telah berkembang biak dengan pesat, khususnya dalam dua dasawarsa terakhir, ketika budaya ini diberi tanda tangan persetujuan oleh Reagan dan Thatcher. Inilah wajah sejati dari kapitalisme, lebih tepatnya, wajah sejati dari kapital monopoli dan finans –yang tanpa belas-kasihan, kasar, rakus, dan kejam. Inilah kapitalisme di masa uzurnya, yang terus berusaha memulihkan kebugaran masa mudanya. Inilah kapitalisme parasit, dengan kecenderungan melakukan spekulasi keuangan dan moneter, bukannya memproduksi kekayaan yang sebenarnya. Ia lebih menyukai “jasa” daripada industri. Ia menutup pabrik-pabrik seperti kotak korek api, dan dengan keji menghancurkan seluruh komunitas dan industri, dan menganjurkan agar para penambang dan pekerja logam untuk mencari kerja di restoran hamburger. Ini adalah ujaran “Biarlah mereka makan kue” pada abad ke-20.[8]
Agak terpisah dari konsekuensi sosial-ekonomi mengerikan dari doktrin ini, ia juga menyebar racun moral yang mematikan ke seluruh bangunan masyarakat. Orang yang menganggur dihadapkan dengan sebuah pertunjukkan “masyarakat konsumerisme”, di mana pencarian dan pembelanjaan uang disajikan sebagai satu-satunya aktivitas yang layak dikerjakan. Orang-orang yang dijadikan teladan dalam masyarakat ini adalah orang-orang yang gemar menyingkirkan sesamanya, orang-orang yang kaya dengan cepat, yang siap menghalalkan segala cara untuk “maju”. Inilah wajah sejati dari “pasar bebas”, seorang avonturis yang tidak punya prinsip, yang licik dan suka menipu, picik dan dungu, preman berjas mahal, yang merupakan personifikasi dari kerakusan dan keegoisan. Inilah orang-orang yang bertepuk tangan melihat penutupan sekolah dan rumah sakit, pemotongan dana pensiun dan pengeluaran-pengeluaran lainnya“yang tidak mendatangkan keuntungan”, sementara mereka menumpuk tinggi laba hanya dengan mengangkat telepon, tanpa pernah menghasilkan sesuatupun untuk kesejahteraan seluruh masyarakat.
Seringkali dinyatakan bahwa orang “secara alamiah” bertindak menurut kepentingannya sendiri. Ini kemudian diartikan dengan cara yang sempit, sebagai egoisme personal. Pengertian semacam itu jelas sesuai dengan para pembela tatanan sosial-ekonomi yang sekarang, di mana kerakusan dan pengejaran kepentingan diri sendiridiangkat tinggi sebagai prinsip moral yang mulia, yang sejajar dengan perwujudan “kebebasan pribadi”. Jika demikian halnya, masyarakat manusia tidak akan pernah berkembang. Kata “kepentingan” [interest] itu sendiri datang dari kata Latin “inter-esse” yang berarti “berpartisipasi”. Seluruh basis dari evolusi moral dan kecerdasan seorang anak adalah pergerakan menjauhi “egoisme” dan menuju rasa yang lebih peka atas kebutuhan dan keperluan orang lain. Masyarakat manusia didasarkan pada keperluan untuk produksi sosial, kerja sama dan komunikasi.
Kebuntuan kapitalisme mengancam mendorong kebudayaan manusia kembali pada tingkat kanak-kanak, dalam maknanya yang terburuk – seperti seorang uzur kembali ke mentalitas anak kecil. Sebuah masyarakat yang teratomisasi, yang mementingkan diri sendiri tanpa visi, tanpa moralitas, tanpa filsafat, tanpa jiwa, sebuah masyarakat yang “sans teeth, sans eyes, sans taste, sans everything”.[9]
Kemungkinan yang Tak Terbatas
Setiap sistem sosial membayangkan bahwa dialah yang merupakan sistem paling pamungkas dalam perkembangan sejarah. Semua sejarah yang sebelumnya dianggap hanya merupakan satu persiapan bagi metode produksi mereka, dan semua bentuk kepemilikan yang legal, sistem moral, agama dan filsafat yang menyertainya. Namun tiap sistem masyarakat hanya ada sampai tingkat di mana ia menunjukkan kemampuannyauntuk memenuhi kebutuhan populasi, dan memberikan harapan bagi masa depan. Ketika ia gagal melakukan itu, ia memasuki sebuah proses yang tak dapat dibalik, proses kemunduran, bukan hanya secara ekonomi, tapi juga moral, kebudayaan dan dalam tiap aspeknya. Masyarakat seperti itu sudah mati, sekalipun para pembelanya menolak mengakui hal itu.
Sejalan dengan semakin mendekatnya akhir abad ke-20, terdapat satu perasaan keletihan dan kehabisan tenaga yang jelas dan merasuk ke mana-mana di dalam masyarakat kapitalis. Seakan-akan cara hidup yang lama telah menjadi tua dan membusuk. Ini bukanlah apa yang oleh para penulis dirujuk sebagai mal du siecle, atau penyakit abad. Ia adalah sebuah kesadaran samar bahwa “ekonomi pasar” telah mencapai batasnya. Namun, sekalipun sebuah bentuk masyarakat tertentu telah hidup lebih lama dari seharusnya, ini tidak berarti bahwa perkembangan umat manusia juga terbatas. Sejarah bukan saja belum berakhir. Sejarah malah belum dimulai. Jika kita melihat sejarah sebagai sebuah kalender di mana 1 Januari merupakan awal terbentuknya bumi dan 31 Desember merupakan hari ini, dengan mengambil pembulatan usia bumi 5 miliar tahun, tiap detik akan merupakan 167 tahun, tiap menit 10.000 tahun. Jaman Kambrium Bawah akan dimulai tanggal 18 November. Manusia muncul sekitar pukul 11.50 malam pada tanggal 31 Desember. Seluruh sejarah manusia yang tercatat akan jatuh pada empatpuluh detik terakhir menjelang tengah malam.
Ilya Prigogine telah dengan bijak berkomentar bahwa “Pemahaman ilmiah tentang dunia di sekeliling kita baru saja dimulai.” Peradaban manusia, yang bagi kita terlihat sangat tua, sesungguhnya masih sangat muda. Pada kenyataannya, peradaban yang sejati, dalam makna sebuah masyarakat di mana manusia dengan sadar mengendalikan hidupnya sendiri, dan sanggup hidup dalam satu keberadaan yang sepenuhnya manusiawi, dan bukannya satu perjuangan saling memangsa yang hewani, belum dimulai sama sekali. Yang kita lihat sekarang adalah sebuah bentuk masyarakat tertentu yang telah menjadi tua dan lelah. Ia bertahan untuk tetap hidup, sekalipun ia tidak memiliki apapun lagi untuk ditawarkan. Pesimisme tentang masa depan, yang tercampur dengan takhayul dan harapan Penyelamatan yang utopis, merupakan ciri khusus bagi periode semacam itu.
Di tahun 1972, Club of Rome menerbitkan sebuah laporan yang suram, yang berjudul The Limits of Growth yang meramalkan bahwa pasokan bahan bakar fosil dunia akan habis dalam beberapa dasawarsa. Laporan inimenyebabkan kepanikan, melambungnya harga minyak dunia, dan pencarian sumber energi alternatif seperti orang gila. Lebih dari duapuluh tahun kemudian, tidak ada kelangkaan minyak atau gas, dan hanya sedikit saja orang yang sekarang mau repot-repot mencari energi alternatif. Rabun jauh macam ini adalah salah satu ciri kapitalisme, yang dimotivasi oleh pencarian keuntungan jangka pendek. Tiap orang tahu bahwa cepat atau lambat pasokan bahan bakar fosil akan habis. Kita membutuhkan sebuah rencana jangka panjang untuk menemukan energi alternatif yang murah dan ramah lingkungan.
Alam menyediakan sumber energi yang tak berbatas -- matahari, angin, laut, dan di atas segalanya, materi itu sendiri, yang mengandung energi raksasa yang belum termanfaatkan. Fusi nuklir (bukan seperti fisi nuklir) menyediakan satu potensi untuk energi yang murah, ramah lingkungan dan tak berbatas. Tapi perkembangan bahan bakar alternatif tidaklah sesuai dengan kepentingan perusahaan monopoli minyak. Di sini lagi, kepemilikan pribadi atas alat produksi bertindak sebagai penghalang raksasa bagi perkembangan umat manusia. Masa depan planet ini hanya nomor sekian dibandingkan kepentingan segelintir orang untuk menjadi kaya.
Solusi untuk masalah-masalah mendesak yang dihadapi dunia ini hanya dapat ditemui di dalam sebuah sistem ekonomi yang berada di bawah kendali rakyat secara sadar. Masalahnya bukanlah bahwa ada satu batas inheren bagi perkembangan. Masalahnya terletak pada sistem produksi yang kuno dan usang, yang menyia-nyiakan hidup manusia dan sumberdaya alam, yang merusak lingkungan dan mencegah potensi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk berkembang sepenuhnya. “Tidak ada satu hubungan antara ilmu pengetahuan dan kesempatan bisnis,” seorang komentator menulis baru-baru ini, “teori relativitas umum masih harus diubah menjadi sumber penghasil uang.” (The Economist, 25 Februari 1995.)
Namun, bahkan pada saat ini, kemungkinan-kemungkinan yang terkandung dalam teknologi tetaplah menakjubkan. Inovasi teknologi telah membuka pintu ke revolusi kebudayaan yang sejati. Televisi interaktif kini sudah menjadi sesuatu yang mungkin. Kemungkinan untuk berpartisipasi aktif dalam pengembangan program televisi memiliki potensi yang amat besar, jauh lebih besar dari sekedar menentukan program mana yang ingin kita tonton. Ia membuka pintu ke partisipasi demokratik dalam menjalankan masyarakat dan perekonomian, dengan cara yang sebelumnya tampak hanya seperti mimpi.
Kelahiran kapitalisme dicirikan oleh keruntuhan hubungan-hubungan parokial lama, dan kelahiran negara-bangsa. Kini pertumbuhan kekuatan produktif, ilmu dan teknologi telah membuat negara-bangsa itu sendiri menjadi suatu yang tidak lagi dibutuhkan. Seperti yang telah diramalkan Marx, negara-bangsa yang paling besar sekalipun diwajibkan untuk turut serta dalam pasar dunia. Nasionalisme lama telah menjadi sesuatu yang mustahil.
Back to the Future?
Manusia-manusia awal terikat sangat erat dengan alam. Ikatan ini secara bertahap dipatahkan oleh perkembangan kehidupan perkotaan, dan divisi antara kota dan desa, yang telah mencapai proporsi yang mengerikan di bawah kapitalisme. Perceraian antara manusia dan alam telah menciptakan dunia keterasingan yang tidak alamiah. Sebuah manifestasi lebih jauh dari keterasingan ini adalah perceraian sepenuhnya antara kerja mental dan fisik, apartheid sosial yang tidak sehat yang memisahkan kasta pendeta modern yang menguasai ilmu pengetahuan dari “mereka-mereka yang membelah kayu dan memanggul air.” Itu bukan sekedar pengasingan manusia dari alam. Ini adalah pengasingan umat manusia dari dirinya sendiri. Untuk keluar dari kondisi ketergantungan sepenuhnya atas alam, untuk mengangkat diri keluar dari kubangan keberadaan hewani, untuk meraih kesadaran -- inilah yang membuat kita menjadi manusia. Tapi pencapaian inipun telah hilang dari genggaman kita, dan semakin hilang seiring berjalannya waktu. Proses ini telah berjalan demikian jauh sehingga ia telah berubah menjadi kebalikannya. Sejalan dengan bertambah besarnya kota, semakin padat dan berpolusi, sebuah mimpi buruk sedang diciptakan. Dalam beberapa dasawarsa mendatang, Shanghai sendirian akan memiliki jumlah penduduk melebihi Inggris Raya. Perumahan yang buruk, kejahatan, narkoba dan sebuah proses dehumanisasi dihadapi oleh jutaan orang menjelang abad ke-21.
Karakter“peradaban” yang sepihak dan artifisial ini menjadi semakin menekan, bahkan bagi mereka yang tidak menderita kondisi yang terburuk. Kerinduan akan bentuk-bentuk kehidupan yang lebih bersahaja, di mana manusia dapat hidup dengan lebih alami, bebas dari segala tekanan persaingan dan konflik mewujud dalam kecenderungan di kalangan muda untuk “drop out” (keluar) dari masyarakat, dalam upaya untuk menemukan kembali surga yang hilang itu. Ada satu kesalahpahaman di sini. Pertama-tama, kehidupan orang-orang primitif tidaklah sesantai seperti yang dibayangkan. “Orang barbar yang mulia” selalu menjadi fiksi dari penulis-penulis Romantik, yang sama sekali tidak ada kemiripannya dengan kenyataan. Nenek moyang kita sangat dekat dengan alam, hanya karena mereka adalah budak dari alam.
Namun demikian, ada sisi lain dari sini. Orang-orang “primitif” ini hidup cukup bahagia tanpa harus membayar sewa, bunga dan mencari keuntungan. Perempuan tidaklah dianggap sebagai milik pribadi tapi menempati kedudukan yang terhormat dalam masyarakat. Uang tidak dikenal. Demikian pula dengan negara, dengan birokrasinya yang mengerikan itu, dan badan khusus orang-orang bersenjata, polisi, sipir dan para hakim. Dalam komunisme kesukuan primitif, tidak ada negara dalam makna sebuah alat pemaksa, aparatus penindas. Yang ada adalah para tetua yang dihormati semua orang, dan kata-kata mereka adalah hukum. Kemudian, para kepala suku berkuasa karena ia dihormati secara sukarela oleh seluruh komunitas. Pemaksaan tidaklah diperlukan, karena semua orang memiliki kepentingan yang sama. Inilah basis bagi ikatan sosial untuk kerja sama dan persatuan. Tidak satupun penguasa modern yang akan pernah mencicipi penghormatan yang dinikmati oleh para kepala suku kuno, yang dijamin oleh sebuah perasaan identitas dan kewajiban bersama, yang “dikodifikasi” dalam tradisi oral sebagai legenda kesukuan, yang dikenal oleh semua orang dan diterima secara universal. Rasa hormat ini pastilah hampir mirip dengan perasaan yang dimiliki seorang anak terhadap orang tuanya.
 Dalam jaman yang katanya jaman pencerahan ini, banyak orang, termasuk mereka yang suka berpikir bahwa dirinya terpelajar, berpikir bahwa manusia tidak mungkin bisa bekerja sama tanpa uang, polisi, penjara, tentara, pedagang, pemungut pajak, hakim dan para uskup. Dan kalaupun mereka bisa hidup tanpa semua ini, mereka dicibir sebagai“primitif” karena mereka belum menyadari manfaat-manfaat dari lembaga-lembaga ini bagi umat manusia.
Setiap orang yang pernah melihat film tentang suku-suku yang sampai sekarang masih hidup dalam peradaban jaman batu di hutan Amazon tidak mungkin tidak terkesan oleh kealamiahan dan spontanitas mereka, yang mirip anak-anak, sebelum ini dihancurkan oleh kehidupan kapitalisme yang penuh persaingan dan perlombaan. Dalam Injil Matius, Yesus mengatakan, “Sesungguhnya, jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga” (Pasal 18:3). Dalam proses pertumbuhan, sesuatu yang penting hilang, yang tidak akan pernah didapatkan lagi. Inilah runtuhnya keluguan, yang dalam kitab Kejadian digambarkan dengan kisah manusia memperoleh pengetahuan. Masyarakat modern tidak akan pernah dapat kembali ke komunisme kesukuan primitif, seperti seorang dewasa tidak akan menjadi kanak-kanak lagi.
Adalah satu hal yang dianggap tidak alami dan tidak sehat bagi seorang dewasa untuk berkeinginan kembali ke masa kanak-kanaknya. Bagaimanapun juga, ini adalah keinginan yang sia-sia, karena mustahil. Tapi seiring dengan keluguannya, seorang anak kecil juga memiliki kualitas-kualitas lain -- kegembiraan yang spontan dan kealamiahan, yang merupakan sesuatu yang asing bagi orang dewasa. Hal yang sama terjadi juga pada orang-orang “primitif”, sebelum datangnya masyarakat kelas, sebelum pembagian kerja yang sepihak dan mencekik ini memuntir watak manusia. Artis modern mana yang sanggup menghasilkan lukisan yang memiliki keakraban dan keindahan alami demikian mengagumkan seperti yang dibuat oleh para pelukis gua di Lascaux dan Altamira?
Kita tidak ingin mundur ke belakang, tapi maju ke depan. Kita tidak ingin kembali ke komunisme kesukuan yang primitif, tapi maju ke masa depan persemakmuran sosialis dunia. Negasi atas negasi membawa kita kembali ke titik awal perkembangan umat manusia, tapi hanya di kulit luarnya saja. Sosialisme di masa depan akan mendasarkan dirinya pada semua penemuan menakjubkan yang sudah dibuat di masa lalu dan kini, dan menggunakannya untuk kepentingan umat manusia. Seperti kata Hegel, “yang universal, namun dipenuhi dengan kekayaan partikular.”
Marx menulis:
“Seorang manusia dewasa tidak dapat menjadi anak kecil lagi, atau dia akan menjadi kekanak-kanakan. Tapi apakah ia tidak menemukan kegembiraan dalam kenaifan seorang anak, dan apakah ia sendiri tidak harus berusaha menghasilkan kembali kegembiraan itu pada tingkat yang lebih tinggi? Apakah ciri sejati dari tiap epos tidak hidup dalam sifat kanak-kanak yang hidup di jamannya? Mengapa masa kanak-kanak dari sejarah manusia, masa perkembangannya yang paling indah itu, sebagai satu tahap yang tidak mungkin kembali,tidak boleh menimbulkan rasa kagum yang kekal? Ada kanak-kanak yang masih liar dan ada kanak-kanak yang telah berkembang sepenuhnya. Banyak orang yang sudah berusia lanjut termasuk kategori ini. Orang-orang Yunani adalah kanak-kanak yang normal. Pesona seni mereka bagi kita tidaklah berkontradiksi dengan tahapan masyarakat mereka yang belum berkembang itu di mana seni itu tumbuh. Seni itu justru adalah hasil dari tahapan masyarakat tersebut, dan terikat erat dengan fakta bahwa kondisi-kondisi sosial yang belum matang dari mana ia tumbuh besar, dan hanya dapat tumbuh di bawah kondisi-kondisi tersebut, tidak akan pernah kembali lagi.”[10]
Sosialisme dan Estetika
Di masyarakat masa kini, arsitektur berada dalam hubungan yang buruk dengan seni. Orang terbiasa hidup dalam lingkungan yang buruk, perumahan yang buruk, dalam kota yang padat, dikepung oleh kebisingan dan polusi. Di akhir pekan, beberapa dari mereka pergi ke balai seni, di mana, untuk beberapa jam, mereka dapat mengagumi lukisan-lukisan yang tergantung di dinding -- pulau keindahan di tengah lautan kejelekan yang menyesakkan. Dengan demikian, keindahan dipisahkan dari kehidupan, sebuah mimpi yang tak mungkin terwujud, sebuah fiksi, sama jauhnya dari kenyataan dengan galaksi yang terjauh dari bumi. Demikian jauhnya ia telah terpisah dari kehidupan sehingga banyak orang menganggapnya sesuatu yang tidak relevan dan tidak berguna. Rasa benci terhadap seni, yang dilihat sebagai hak istimewa dari kelas menengah, adalah konsekuensi lebih jauh dari pembagian ekstrem antara kerja mental dan kerja fisik. Kondisi yang barbar melahirkan sikap yang barbar.
Keadaannya tidaklah selalu demikian. Dalam masyarakat manusia yang awal, musik, puisi yang epik dan perbincangan yang halus merupakan milik bersama dari semua laki-laki dan perempuan. Monopoli atas kebudayaan oleh minoritas kecil adalah produk dari masyarakat kelas, yang melucuti mayoritas rakyat, tidak hanya dari properti, tetapi juga dari hak untuk mengembangkan pikiran dan kepribadian mereka secara bebas. Namun, jika kita berhenti dan berpikir tentang apa yang ada di balik permukaan ini, kita akan menemukan keinginan yang kuat untuk belajar, untuk mengalami ide-ide baru, untuk mencari cakrawala yang lebih luas. Kehausan massa akan budaya, yang tertindas jauh di bawah kondisi “normal”, muncul ke permukaan dalam tiap revolusi.
Revolusi Rusia 1917, yang katanya merupakan tindakan yang barbar, pada kenyataannya merupakan satu titik awal bagi lompatan besar dalam kebudayaan, puisi, seni dan musik. Hal ini tidak dapat disangkal sekalipun perkembangan budaya ini kemudian diinjak-injak di bawah sepatu lars Stalinisme. Dalam Revolusi Spanyol 1931-37, juga ada pencerahan seni yang serupa -- puisi-puisi Lorca, Machado, Alberti dan di atas semuanya, Miguel Hernandez, diilhami oleh perjuangan itu, dan pada gilirannya didengarkan dengan begitu khidmat oleh jutaan orang yang sebelumnya tidak memiliki akses pada dunia seni dan budaya yang indah gilang-gemilang itu.
Dalam sebuah revolusi, rakyat jelata mulai melihat diri mereka sendiri sebagai manusia, sanggup mengendalikan takdir mereka sendiri, bukan sekedar “alat yang dapat berbicara”. Dengan kemanusiaan yang sejati muncullah harga diri; satu rasa penghormatan terhadap diri sendiri dan rekannya yang setia, penghormatan terhadap orang lain. Para pelayan menempelkan catatan di restoran-restoran Barcelona di tahun 1936, yang menyatakan: “Hanya karena seseorang harus bekerja di sini, itu tidak berarti Anda harus menghinanya dengan menawarkan tips.” Inilah kelahiran kebudayaan -- kebudayaan manusia yang sejati, yang merupakan bagian dari hidup itu sendiri. Fenomena yang sama, dalam bentuk benih, dapat terlihat dalam berbagai pemogokan, di mana para pemogok mengungkapkan kualitas-kualitas yang sebelumnya mereka kira tidak pernah mereka miliki dan tidak akan pernah dapat mereka miliki. Tentu, jika gerakan itu tidak membawa satu perubahan yang menyeluruh dalam masyarakat, beban berat dari kebiasaan dan rutinitas akan sekali lagi mendominasi. Kondisi material menentukan kesadaran. Namun, sebuah masyarakat sosialis yang berdasarkan teknologi dan budaya tinggi akan sepenuhnya mengubah cara pandang orang.
Seringkali dikatakan oleh para ahli logika dan matematika bahwa simetri sempurna yang mereka kagumi mengandung sebuah nilai estetik yang intrinsik. Beberapa orang bahkan melangkah demikian jauh dengan mengklaim bahwa hal yang paling penting dari sebuah persamaan matematika bukanlah apakah mereka menggambarkan realitas, tapi apakah mereka tampak indah. Walaupun tidak akan ada yang menyangkal bahwa simetri adalah indah, tapi ada simetri dan ada“simetri”. Bangunan-bangunan Athena klasik yang harmonis dianggap banyak orang sebagai titik tinggi dalam sejarah arsitektur. Tentu di sini terdapat sebuah simetri yang menyenangkan di sini, dan satu simetri yang mengingatkan kita pada hubungan linear geometri Euclides. Makna penting arsitektur di Athena pada jaman Pericles adalah satu ekspresi grafik dari cara pandang demokrasi Athena yang bersemangat publik (yang didasarkan, tentu saja, pada kerja kaum budak, yang sepenuhnya berada di luar demokrasi itu). Bangunan-bangunan besar di Acropolis dan Athena, tanpa kecuali, adalah bangunan umum, bukan kediaman pribadi. Di jaman kita sekarang, kemegahan semacam itu sangatlah jarang terdapat. Prioritas rendah yang diberikan pada arsitektur dibandingkan dengan seni lain bukanlah satu kebetulan.
Atas nama “nilai guna”, yang merupakan sinonim sopan untuk penghematan uang, manusia dipaksa untuk hidup dalam kotak-kotak beton yang menjulang tinggi, yang tidak memiliki nilai artistik atau kehangatan manusiawi sama sekali. Bangunan-bangunan buruk rupa ini didesain oleh para arsitek, yang diilhami oleh prinsip-prinsip geometris. Namun mereka sendiri lebih suka tinggal di vila mereka di luar kota, yang didesain ala abad ke-15, jauh dari mimpi buruk perkotaan yang mereka ciptakan sendiri. Manusia pada umumnya tidak suka hidup dalam kotak-kotak. Dan alam mengenal simetri yang sama sekali bukan berbentuk garis lurus atau lingkaran-lingkaran sempurna.
Semua itu hanyalah sisi lain darikekosongan mekanik dari jalur produksi di pabrik, di mana, mengutip Marx, manusia diperlakukan sebagai sekedar aksesori mesin. Dari logika yang sama maka manusia dijejal saja untuk hidup bersesakan di dalam kotak-kotak beton yang dibangun dengan prinsip-prinsip “industrial” yang sama, dan mengapa tidak? Reduksionisme yang sama keringnya, formalisme yang sama kosongnya, pendekatan yang sama linearnya telah menjadi watak arsitektur di abad ini. Di sini keterasingan dalam masyarakat kapitalis lanjut mewujudkan dirinya dalam perlakuan yang tidak-peka terhadap kebutuhan manusia yang paling dasar, yakni kebutuhannya untuk hidup di lingkungan yang bersih, indah dan sepenuhnya manusiawi. Ketika hidup ini telah dilucuti dari seluruh kemanusiaannya, ketika ia dibuat tidak alamiah dengan seribu satu macam cara, bagaimana mungkin kita terkejut ketika beberapa produk dari apa-yang-disebut peradaban ini mengadopsi tingkah laku yang tidak alamiah dan tidak manusiawi?
Di sini juga, kita menyaksikan pemberontakan terhadap konformisme dan kekakuan yang tidak berjiwa ini. Gedung-gedung tinggi dan pencakar langit yang menjulang itu, yang dengan tepat digambarkan oleh seorang penulis Inggris sebagai “menara kebodohan yang telanjang”, semakin hari semakin tak disukai. Dan tidak mengherankan. Itu semua adalah monumen atas keterasingan pada skala yang masif, satu kemerosotan progresif ke dalam kondisi hidup yang tidak manusiawi, yang melahirkan segala macam kengerian dari rahimnya.
Fisikawan Jerman Gert Ellenberger bertanya,
“Mengapa siluet dari sebuah pohon yang telah dirontokkan oleh badai, dengan latar belakang langit malam di musim dingin, dianggap sebagai satu keindahan, tapi siluet dari sebuah gedung universitas serba-guna tidak, bagaimanapun kerasnya para arsiteknya berusaha? Jawabannya kelihatannya bagi saya, bahkan jika kedengarannya agak spekulatif, dapat ditemukan pada pemahaman baru kita tentang sistem-sistem dinamis. Cita rasa kita diilhami oleh aransemen keteraturan dan ketidakteraturan yang harmonis seperti yang terdapat dalam objek-objek alamiah -- awan, pepohonan, pegunungan atau kristal salju, dan kombinasi tertentu dari keteraturan dan ketidakteraturan adalah sesuatu yang tipikal bagi mereka.”
Seperti yang diamati dengan tepat oleh James Gleick,
“Bentuk-bentuk yang sederhana tidaklah manusiawi. Mereka tidak akan sesuai dengan cara alam mengorganisir diri mereka, atau dengan cara manusia melihat dunia.”[11]
Jauh-jauh hari Karl Marx telah menunjukkan konsekuensi berbahaya dari pemisahan kerja yang ekstrem antara kota dan desa. Ini bukan masalah “kembali ke alam”, seperti yang dianjurkan oleh beberapa ahli ekologi, yang bermimpi melarikan diri dari keburukrupaan masa kini dengan melarikan diri ke dalam apa yang disebut pesona surga pedesaan dari sebuah masa lalu yang mistik. Kita tidak mungkin kembali ke sana. Ini bukan persoalan menyangkal teknologi, tapi perjuangan melawan penyalahgunaan teknologi demi keuntungan pribadi, yang menghancurkan lingkungan dan menciptakan neraka di dunia, di mana seharusnya sebuah surga ada di sana. Inilah tugas sentral yang dihadapi umat manusia dalam dasawarsa terakhir abad ke-20 ini.
“Pemikir” dan “Pekerja”
“Nec manus, nisi intellectus, sibi permissus, multum valent.” (Baik tangan, maupun nalar, jika dipisahkan satu sama lain, tidak akan bernilai apa-apa.)- Francis Bacon.
Perceraian total antara teori dan praktek di masyarakat hari ini telah menjadi sangat berbahaya. “Teori-teori” yang semakin hari semakin fantastis, yang diedarkan oleh beberapa ahli kosmologi dan fisikawan teoritik tertentu, jelas merupakan konsekuensi dari fakta ini. Setelah dibebaskan dari keharusan untuk melengkapi teori mereka dengan bukti-bukti konkret, dan semakin bersandar pada persamaan-persamaan yang rumit dan interpretasi-interpretasi kaku dari teori relativitas, hasil dari pemikiran yang sepenuhnya spekulatif ini semakin hari semakin aneh.
Telah tiba waktunya untuk memeriksa kembali seluruh sistem pendidikan, dan sistem masyarakat kelas yang menjadi fondasinya. Telah tiba waktunya untuk menimbang kembali kesahihan dari pembagian umat manusia menjadi “pemikir” dan “pekerja”, bukan dari sudut pandang keadilan moral yang abstrak, melainkan karena ia kini telah menjadi penghalang bagi perkembangan kebudayaan dan masyarakat. Perkembangan umat manusia di masa datang tidak dapat didasarkan pada pembagian kaku macam ini. Teknologi baru yang kompleks menuntut satu angkatan kerja yang terdidik, yang mampu melakukan pendekatan yang kreatif. Ini tidak akan pernah tercapai dalam masyarakat yang terpecah di tengah oleh apartheid kelas. Dalam sebuah kutipan yang sangat perseptif, Margaret Donaldson menunjukkan situasi yang tidak memuaskan yang ada di universitas-universitas kita saat ini:
“Lihatlah fakultas teknik di universitas kita. Mereka mengajarkan matematika dan fisika, dan mereka memang harus mengajarkan itu. Tapi mereka tidak mengajarkan orang untuk membuat sesuatu. Anda dapat lulus dari teknik mesin tanpa pernah menggunakan mesin bor. Hal-hal ini hanya dianggap cocok untuk para teknisi. Dan bagi kebanyakan dari mereka, di pihak lain, matematika dan fisika yang lebih tinggi dari level dasar biasanya jauh dari jangkauan.”
Filsuf dan ahli pendidikan Inggris Alfred North Whitehead sangat khawatir dengan situasi macam ini, dan, dalam artikelnya Technical Education and its Relation to Science and Literature, menulis bahwa “dalam mengajar, Anda akan gagal kalau Anda melupakan bahwa murid-murid Anda memiliki tubuh,” dan menambahkan: “Sudah tidak perlu lagi diperdebatkan apakah tangan manusia yang menciptakan otak, atau otak yang menciptakan tangan. Yang jelas hubungannya sangat erat dan dua arah.”
Donaldson dengan tepat menunjukkan bahwa, walaupun pemikiran abstrak (ia menyebutnya “pemikiran tanpa tubuh”) menuntut kemampuan untuk keluar dari kehidupan, ia akan membuahkan hasil terbaik jika dikaitkan dengan pekerjaan. Seluruh sejarah Pencerahan adalah bukti dari pernyataan ini. Benar, bidang-bidang ilmu pengetahuan modern telah berkembang jauh lebih luas daripada apa yang ada masa itu, tapi apakah itu berarti bahwa mustahil bagi para ilmuwan untuk belajar dari disiplin yang lain? Ketimbang disebabkan oleh semakin rumitnya subjek penelitian, situasi apartheid intelektual yang ada sekarang merupakan hasil dari bagaimana masyarakat hari ini disusun, dan sikap, prasangka, dan kepentingan material yang mengalir dari susunan itu, yang berusaha dengan segala cara untuk mempertahankan dirinya.
Kaum reaksioner berusaha membenarkan keadaan hari ini dengan determinisme genetik: jika beberapa dari “kami” pintar, dan memiliki pekerjaan yang baik dan gaji yang tinggi, itu karena kami dilahirkan di bawah bintang keberuntungan (baca: “dengan gen-gen yang tepat”). Fakta bahwa sebagian besar umat manusia tidaklah sedemikian beruntung pastilah karena ada sesuatu yang salah dengan gen-gen mereka. Menjawab sampah ini, Donaldson menulis:
“Apakah hanya beberapa dari kita yang mampu bergerak keluar dari batasan indera manusia dan berfungsi baik? Saya meragukan hal itu. Walaupun mungkin masuk nalar jika kita mempostulatkan bahwa kita masing-masing memiliki sebuah 'potensi intelektual' yang ditentukan secara genetik, di mana satu orang pasti akan berbeda dengan yang lain, tidak ada alasan untuk menganggap bahwa kebanyakan dari kita -- atau kita semua -- dapat mewujudkan apa yang sebenarnya mampu kita lakukan. Dan bahkan tidaklah pasti bahwa akan masuk nalar jika kita berpikir mengenai batasan atas. Karena, seperti yang ditunjukkan Jerome Bruner, terdapatlah alat-alat bagi otak sebagaimana alat-alat bagi tangan – dan dalam kedua kasus ini perkembangan alat-alat baru membawa satu kemungkinan untuk menyingkirkan batas-batas itu. Dengan argumen yang sama, David Olson mengatakan: 'Kecerdasan bukanlah sesuatu yang tidak dapat berubah; kecerdasan adalah sesuatu yang kita olah dengan teknologi, atau sesuatu yang kita ciptakan dengan menemukan teknologi baru.”[12]
Ahli pendidikan besar Soviet, Vygotsky, tidak percaya bahwa para guru harus menerapkan kontrol yang kaku atas apa yang harus dipelajari anak. Seperti Piaget, ia menganggap aktivitas anak sebagai titik pusat pendidikan. Bukannya merantai anak pada meja belajar, di mana mereka secara mekanik mempelajari hal-hal yang tidak memiliki makna bagi mereka, Vygotsky menekankan perkembangan intelektual yang sejati. Namun, ini tidak bisa dipertimbangkan secara terpisah dari konteks sosial yang ada. Dalam sebuah masyarakat sosialis yang sejati, pendidikan akan dihubungkan dengan aktivitas praktis yang kreatif sejak awalnya, dengan demikian meruntuhkan tembok pembodohan yang memisahkan kerja mental dan manual. Vygotsky berada jauh di depan masanya. Metode pendidikannya menunjukkan imajinasi yang luar biasa, contohnya, dalam mengizinkan anak belajar dari satu sama lain:
“Vygotsky menganjurkan menggunakan seorang anak yang lebih maju untuk membantu anak yang kurang maju. Untuk waktu yang lama, metode ini digunakan sebagai basis pendidikan egalitarian Marxis di Uni Soviet. Dasar pemikiran sosialisnya adalah bahwa semua anak bekerja bersama untuk kebaikan bersama, bukan seperti di bawah masyarakat kapitalis di mana tiap anak saling bersaing untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya dari sekolah tanpa memberi apapun kembali padanya. Anak yang lebih cerdas membantu masyarakat dengan membantu anak yang kurang cerdas, karena yang disebut belakangan ini akan (diharapkan demikian) lebih menjadi aset bagi masyarakat jika ia menjadi seorang dewasa yang berpendidikan ketimbang yang tidak berpendidikan. Vygotsky berpendapat bahwa tindakan ini tidak harus berarti pengorbanan diri dari anak yang lebih maju itu. Dengan menjelaskan dan membantu anak lain, ia bisa mendapatkan pemahaman yang lebih eksplisit akan apa yang telah ia pelajari sendiri, sejalan dengan jalur metakognitifnya. Dan, dengan mengajarkan satu topik, ia mengkonsolidasikan hasil pembelajarannya sendiri.”[13]
Sebuah masyarakat yang sosialis dan demokratik akan menghilangkan perbedaan antara kerja mental dan kerja manual melalui peningkatan umum atas tingkat kebudayaan masyarakat. Ini terkait erat dengan pengurangan hari dan jam kerja sebagai konsekuensi dari perencanaan produksi yang rasional. Pendidikan akan diubah dengan mengkombinasikan pembelajaran dengan aktivitas kreatif dan bermain. Perkembangan dari berbagai teknologibaru akan digunakan sepenuhnya. Teknologi Virtual Reality, yang baru saja dikembangkan, memiliki potensi yang amat besar, bukan hanya untuk produksi dan desain, tetapi juga bagi pendidikan. Alat ini akan membuat pelajaran menjadi hidup, merangsang imajinasi dan kreativitas anak, bukan hanya untuk mengalami sendiri sejarah dan geografi, tapi juga untuk mempelajari teknik mesin, atau bagaimana melukis dan memainkan instrumen musik. Kebebasan dari perjuangan yang memalukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, akses terhadap kebudayaan dan waktu untuk mengambangkan diri menjadi manusia sepenuhnya, ini adalah dasar di mana umat manusia dan masyarakatnya, pada akhirnya, akan dapat mewujudkan potensinya yang sejati.
Umat Manusia dan Alam Semesta Raya
“Ia mengatakan, 'Apa itu waktu? Biarkan Masa Kini untuk anjing dan kera! Manusia memiliki Keabadian.'“ (Robert Browning, A Grammarian's Funeral.)
Pencapaian-pencapaian dari program antariksa Soviet dan Amerika telah menunjukkan secuil saja dari apa yang mungkin. Tapi program antariksa dari kedua adidaya ini sesungguhnya adalah hasil dari perlombaan senjata sepanjang Perang Dingin. Sejak keruntuhan Uni Soviet, masalah perjalanan antariksa sudah tidak lagi dijadikan perhatian utama, sekalipun tetap ada kemungkinan untuk membangun satu stasiun antariksa yang mengorbit bumi, yang akan membuat perjalanan ke bulan lebih mudah. Di masa datang, di bawah persemakmuran sosialis dunia, perjalanan antariksa akan melompat keluar dari buku-buku fiksi ilmiah ke dunia nyata. Perjalanan antariksa akan menjadi seperti perjalanan udara saat ini. Penjelajahan tata surya, dan kelak mungkin penjelajahan galaksi lain, akan memberikan semacam tantangan dan rangsangan bagi umat manusia seperti yang dulu terjadi di Eropa dengan pencarian benua Amerika.
Kemungkinan perjalanan antariksa jarak jauh di luar batasan tata surya kita sendiri tidak akan selamanya terpenjara di buku-buku fiksi ilmiah. Janganlah kita lupakan bahwa hanya seratus tahun lalu gagasan tentang perjalanan yang lebih cepat daripada suara hanyalah sesuatu yang tidak dapat dipercaya, apalagi terbang ke bulan. Sejarah umat manusia secara umum, dan yang terjadi 40 tahun terakhir khususnya, menunjukkan bahwa tidak ada masalah yang terlalu besar sehingga tidak dapat diselesaikan manusia, cepat atau lambat.
Dalam waktu sekitar empat miliar tahun dari sekarang, matahari kita akan mulai membengkak, sejalan dengan menyusutnya inti helium di dalamnya. Planet-planet di dekatnya akan diterpa oleh panas yang luar biasa. Kehidupan di bumi akan mustahil, karena laut akan mendidih, dan atmosfer dihancurkan. Namun, akhir dari kehidupan di satu sudut alam semesta bukanlah akhir dari segalanya. Bahkan ketika matahari kita mati, bintang-bintang lain akan dilahirkan. Di antara miliaran galaksi di alam semesta yang teramati, terdapat sejumlah besar matahari dan planet seperti tata surya kita yang memiliki kondisi yang tepat untuk kehidupan. Tidak diragukan lagi, banyak di antaranya yang akan dihuni oleh bentuk-bentuk kehidupan yang maju, termasuk makhluk yang dapat berpikir seperti kita. Hanya sedikit ilmuwan yang meragukan hal ini sekarang, dan lebih sedikit lagi setelah ditemukan bahwa molekul-molekul rumit yang dibutuhkan untuk menciptakan organisme hidup ternyata terdapat pula di antariksa itu sendiri.
Pada bagian akhir buku Dialektika Alam, Engels menyatakan optimisme yang berkobar-kobar mengenai masa depan kehidupan:
“Kehidupan adalah sebuah siklus kekal di mana materi bergerak, sebuah siklus yang menyelesaikan orbitnya dalam rentang waktu di mana tahun kita bukan merupakan alat yang cukup untuk mengukurnya, sebuah siklus di mana waktu untuk perkembangan yang tertinggi, waktu untuk kehidupan organik dan terlebih lagi waktu untuk makhluk hidup yang dapat menyadari alam dan dirinya sendiri, adalah sama terbatasnya dengan ruang di mana kehidupan dan kesadaran-diri muncul; sebuah siklus di mana tiap cara mengada materi yang finit, apakah itu matahari atau awan nebula, seekor hewan atau sebuah genus hewan, kombinasi kimia atau penguraiannya, sama-sama bersifat sementara, dan di mana tidak ada yang kekal kecuali materi yang selamanya berubah dan selamanya bergerak dan hukum-hukum yang mengatur pergerakan dan perubahan itu.
“Namun, tidak peduli berapa kali pun, dan tidak peduli betapa sempurnanya, siklus ini selesai berputar dalam ruang dan waktu; tidak peduli berapa banyak matahari dan bumi yang lahir dan mati, tidak peduli berapa lama mereka ada sebelum kondisi-kondisi yang memungkinkan munculnya kehidupan organik berkembang di dalam sebuah tata surya dan sebuah planet tertentu,; tidak peduli berapa banyak makhluk organik yang lahir dan punah sebelum hewan dengan sebuah otak yang mampu berpikir muncul dari tengah mereka, dan untuk rentang waktu yang pendek menemukan kondisi-kondisi yang cocok untuk kehidupan, sebelum kemudian dimusnahkan tanpa ampun – kita yakin bahwa materi akan tetap kekal dalam semua transformasinya, bahwa tidak ada satu pun ciri-ciri yang dikandungnya yang akan hilang, dan oleh karenanya, juga dengan keniscayaan yang pasti bahwa ia akan menghancurkan ciptaannya yang tertinggi di muka bumi, yakni pikiran yang mampu bernalar, ia juga akan melahirkannya kembali di tempat yang lain dan di waktu yang lain.”[14]
Namun, kini kita diwajibkan untuk melangkah lebih maju daripada ini. Kemajuan ilmu pengetahuan yang menakjubkan seratus tahun setelah wafatnya Engels berarti bahwa kematian matahari tidaklah harus berarti kematian umat manusia. Perkembangan pesawat antariksa, yang mampu melakukan perjalanan dengan kecepatan yang kini masih dianggap mustahil, dapat menyiapkan landasan bagi petualangan terakhir umat manusia, termasuk emigrasi ke bagian tata surya yang lain, dan pada akhirnya, galaksi lain. Bahkan dengan kecepatan satu persen kecepatan cahaya -- satu hal yang sangat mungkin dicapai -- akan dimungkinkan untuk mencapai planet yang dapat dihuni dalam rentang beberapa ratus tahun.
Jika ini sepertinya sangat lama, kita harus ingat bahwa manusia-manusia pertama membutuhkan jutaan tahun untuk mengkolonisasi seluruh dunia, berangkat dari Afrika. Lebih jauh lagi, perjalanan ini mungkin akan berlangsung dalam beberapa tahapan, membangun koloni-koloni dan pos-pos perhentian di sepanjang jalan, seperti para pelayar Polinesia mengkolonisasi Pasifik, pulau demi pulau, selama beberapa abad. Masalah-masalah teknologi yang akan kita hadapi akan sangat besar, tapi kita memiliki setidaknya tiga miliar tahun untuk memecahkannya. Jika kita mengingat bahwa Homo sapiens baru ada sekitar 100.000 tahun, bahwa peradaban baru berumur 5.000 tahun, dan bahwa kecepatan perkembangan teknologi selalu cenderung meningkat semakin lama semakin cepat, tidak ada alasan apapun untuk menarik kesimpulan-kesimpulan pesimis tentang masa depan umat manusia -- dengan satu syarat: bahwa kekuasaan kelas, sisa barbarisme yang menjijikkan itu, digantikan oleh sistem kerja sama dan perencanaan, yang akan menyatukan seluruh sumber daya yang ada bumi untuk satu tujuan bersama.
Engels menggambarkan sosialisme sebagai lompatan umat manusia dari alam keharusan ke dalam alam kebebasan. Untuk pertama kalinya, akan dimungkinkan bagi mayoritas umat manusia untuk membebaskan diri mereka dari perjuangan yang memalukan sekedar untuk bertahan hidup, dan mengangkat pandangan mereka ke tingkat yang lebih tinggi. Menyembuhkan semua penyakit, menghapus buta huruf dan tunawisma hanyalah akan menjadi titik awal bagi umat manusia. Dengan menggabungkan seluruh sumberdaya di planet ini, yang kini tanpa tahu malu disia-siakan oleh kaum kapitalis, umat manusia sungguh-sungguh bisa menggapai bintang-bintang.
Pada akhirnya, umat manusia akan menjadi tuan atas dirinya sendiri, kehidupannya, nasibnya, bahkan susunan genetiknya. Hubungan antara laki-laki dan perempuan akan menjadi hubungan antar manusia-manusia bebas, bukan budak. Aristoteles menunjukkan bahwa manusia akan mulai berfilsafat ketika kebutuhan hidupnya telah terpenuhi. Pemikir besar itu paham bahwa perkembangan kebudayaan sangat terkait erat dengan kondisi material kehidupan. Dalam sebuah kutipan yang benar-benar luar biasa, ia menunjukkan bagaimana manusia mulai berfilsafat, mengabdikan hidup mereka untuk mengejar pengetahuan demi manfaat mereka sendiri, hanya bila mereka dibebaskan dari kebutuhan untuk berjuang memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka:
“Ini ditunjukkan oleh jalannya peristiwa yang benar terjadi: karena filsafat hanya muncul ketika keperluan dan kenyamanan mental dan fisik dari kehidupan telah terpenuhi. Jelas bahwa dengan demikian Kebijaksanaan dicari bukan untuk keuntungan yang di luar dirinya sendiri; karena sebagaimana kita dapat menyebut seseorang sebagai orang yang bebas jika ia ada untuk dirinya sendiri dan bukan untuk kepentingan orang lain, demikian juga hanya filsafatlah ilmu yang bebas karena hanya ia yang dicari untuk kepentingannya sendiri.”[15]
Selama seluruh sejarah peradaban sampai hari ini, kebudayaan telah menjadi monopoli dari minoritas kecil. Dalam sebuah masyarakat sosialis yang demokratik sepenuhnya, kita dapat mengurangi jam dan hari kerja, dan meningkatkan taraf hidup bagi tiap orang berdasarkan peningkatan produksi secara besar-besaran. Setelah dibebaskan dari tekanan kebutuhan hidup, manusia akan dapat mengabdikan dirinya untuk perkembangan kepribadian mereka secara utuh, intelektual maupun fisik. Seni, sastra, musik, ilmu pengetahuan dan filsafat akan menempati posisi yang sejajar dengan partai politik pada saat ini.
Berdasarkan perekonomian terencana yang dijalankan secara demokratik sepenuhnya, potensi raksasa dari sains dan teknologi dapat digunakan oleh manusia. Pada seratus tahun terakhir, perbaikan gizi dan pelayanan kesehatan telah menggandakan angka harapan hidup di banyak negeri industri maju. Perkembangan lebih lanjut atas cara hidup dapat memperpanjang usia aktif lebih jauh lagi. Menjalani kehidupan aktif lebih dari seratus tahun akan menjadi satu hal yang jamak. Penggunaan rekayasa genetika yang tepat bahkan dapat memungkinkan para ilmuwan untuk melawan proses penuaan itu sendiri dan memperpanjang hidup jauh di luar apa yang dianggap “rentang usia alami manusia”. Kemungkinan yang terbuka bagi masa depan manusia tidaklah terbatas.
Trotsky menulis:
“Elemen-elemenyang membabi-buta telah memancangkan dirinya paling kukuh dalam relasi-relasi ekonomi, tapi kita juga sedang mengusir elemen-elemen itu keluar dari sana, dengan perencanaan kehidupan ekonomi secara sosialis. Ini memungkinkan kita untuk merekonstruksi secara fundamental kehidupan berkeluarga yang tradisional. Pada akhirnya, sifat dasar manusia itu sendiri tersembunyi di sudut yang paling dalam dan gelap dari alam tidak-sadar, di dalam elemen yang terdalam, di bawah tanah. Jelas bahwa upaya-upaya terbesar dari nalar dan inisiatif kreatif manusia akan diarahkan ke sana. Umat manusia tidak berhenti merangkak di hadapan Tuhan, raja-raja atau kapital supaya nantinya dia tunduk pasrah di hadapan hukum-hukum hereditas yang penuh misteri dan seleksi seksual yang membabi-buta! Manusia yang terbebaskan akan menginginkan kesetimbangan yang lebih sempurna dalam fungsi organ-organ tubuhnya dan perkembangan dan keausan yang lebih proporsional dari organ-organ tubuhnya, guna mengubah rasa takut matinya menjadi reaksi rasional dari satu organisme terhadap bahaya. Tidak ada keraguan bahwa ketidakharmonisan fisiologi dan anatomi manusia yang ekstrem, yaitu ketidakseimbangan yang ekstrem antara pertumbuhan dan keausan organ-organ tubuh, membuat insting hidup kita mengambil sebuah bentuk rasa takut mati yang tertekan, gelap dan histeris, yang membutakan nalar dan mengobarkan khayalan-khayalan bodoh dan memalukan mengenai kehidupan setelah kematian.”
“Manusia akan, sebagai tujuan dari hidupnya, menjadi tuan atas perasaan-perasaannya sendiri, mengangkat naluri-nalurinya ke ketinggian kesadaran dan memahami naluri-naluri ini, untuk memperluas jangkauan dari kehendak bebasnya ke dalam celah-celah yang sebelumnya tersembunyi,dan dengan demikian mengangkat dirinya ke ketinggian yang baru, dan menciptakan sebuah makhluk sosial biologis yang baru, atau jika Anda suka, seorang Superman.”
“Sangat sulit untuk meramalkan sampai sejauh mana manusia masa depan bisa mengorganisir dirinya sendiri, atau sampai tingkatan mana dia bisa mengembangkan teknologinya. Konstruksi sosial dan edukasi-diri psiko-fisik akan menjadi dua aspek dari proses yang satu dan sama. Semua seni -- sastra, drama, melukis, musik dan arsitektur akan memberi bentuk yang indah bagi proses ini. Lebih tepatnya, kerangka yang akan membungkus konstruksi sosial dan edukasi-diri dari seorang manusia Komunis, akan mengembangkan semua unsur vital dari seni kontemporer sampai tingkatannya yang tertinggi. Manusia akan menjadi lebih harmonis, pergerakannya lebih berirama, suaranya lebih musikal. Bentuk-bentuk kehidupan akan menjadi dramatik secara dinamis. Manusia yang baru ini rata-rata akan dapat mencapai tingkatan seorang Aristotle, seorang Goethe, atau seorang Marx. Dan di atas batasan yang baru ini, puncak-puncak yang baru juga akan bermunculan.”[16]
* * *
________________
Catatan Kaki

[1] Krisis ini akhirnya meledak pada tahun 2008. Pada bulan Juni 2007, pasar derivatif dunia telah mencapai 500 triliun dolar. Di Amerika Serikat sendiri, pasar derivatif ini memiliki nilai 300 triliun dolar, yakni 20 kali lipat daripada ekonomi Amerika Serikat. (Catatan Editor)
[2] W. Rees-Mogg dan J. Davidson, op. cit., hal. 294-5, 183 dan 273.
[3] J. K. Galbraith, The Culture of Contentment, hal. 170-1.
[4] MESW, Vol. 1, hal. 114-5.
[5] MECW, Vol. 4, hal. 274.
[6] Primae noctis - secara harfiah berarti “malam pertama”, adalah satu hak dari para penguasa feodal untuk menjadi orang pertama yang tidur dengan pengantin perempuan dari seorang hambanya yang baru menikah. Apakah pengantin perempuan itu berasal dari luar tanahnya atau bukan, itu bukan masalah, karena toh, setelah ia menikah perempuan itu akan menjadi milik suaminya. Dan suaminya adalah milik sang tuan. Jika ada perempuan hamba dari tanah itu yang menikah dengan hamba dari penguasa feodal lain, hak primae noctis jatuh pada penguasa lain itu. Pemahaman atas hak ini mulai tumbuh subur di Eropa setelah dinasti Karolingia, di awal Abad Pertengahan. Mengenai asal-usul hak ini, bacalah karya Engels, The Origin of Family, Private Property dan State. [Penerjemah.]
[7] Trotsky, Their Morals dan Ours, hal. 13.
[8] Ketika Ratu Marie Antoinette, ratu dari Raja Louis XIV di Prancis, diberitahu bahwa kaum tani Prancis kelaparan dan tidak punya roti untuk dimakan, dia lalu menjawab “Qu'ils mangent de la brioche” atau “Biarlah mereka makan kue.” Anekdot ini mengungkapkan ketidakpedulian kelas penguasa terhadap kemiskinan rakyat. Raja Louis XIV dan ratunya lalu ditumbangkan oleh Revolusi Prancis 1789 dan mereka dihukum pancung. [Editor]
[9] “Sans teeth, sans eyes, sans taste, sans everything” adalah ujaran dari drama Shakespeare, As You Like It, yang merupakan bagian dari sebuah monolog, yang mengandung makna bahwa setelah seorang mati dia akan kehilangan segalanya, giginya, matanya, inderanya, dan semuanya/ [Editor]
[10] Marx, Grundrisse, hal. 111.
[11] Dikutip di Gleick, op. cit., hal. 116-7.
[12] M. Donaldson, Children’s Minds, hal. 83 dan 85.
[13] P. Sutherland, Cognitive Development Today: Piaget dan his Critics, hal. 45.
[14]Engels, Dialectics of Nature, hal. 54.
[15] Aristotle, op. cit., hal. 55.
[16] Trotsky, Literature and Revolution, hal. 255-6.


Share:

0 komentar:

Post a Comment