Bab 19. Alienasi dan Masa Depan
Umat Manusia
Kapitalisme Telah Sampai Pada Jalan Buntu
Pada periode 1948
sampai 1973-4, kita menyaksikan ledakan-ledakan inovasi teknologi dan industri
yang belum pernah kita saksikan sebelumnya. Namun, kesuksesan sistem kapitalis
itu sekarang sedang menjadi kebalikannya. Ketika buku ini sedang ditulis, ada sekitar
22 juta pengangguran di negara-negara kapitalis maju di OECD, dan ratusan juta
pengangguran dan setengah-pengangguran di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Lebih
jauh lagi, ini bukanlah siklus pengangguran yang sementara seperti di masa
lalu. Ia adalah kanker yang menggerogoti masyarakat. Seperti wabah penyakit
mematikan, ia memukul bahkan lapisan masyarakat yang sebelumnya percaya bahwa
mereka tidak akan terpengaruh.
Sekalipun terjadi
kemajuan-kemajuan yang besar dalam ilmu dan teknologi, masyarakat menemui
dirinya berada di bawah kekuatan yang tidak dapat dikendalikannya. Menjelang
fajar abad ke-21, orang melihat ke masa depan dengan penuh kekhawatiran. Di
mana sebelumnya ada perasaan kepastian, sekarang semuanya menjadi tidak pasti.
Keresahan ini pertama-tama mempengaruhi kelas penguasa dan para ahli
strateginya, yang semakin hari semakin sadar bahwa sistem mereka berada dalam
kesulitan-kesulitan yang parah. Krisis dalam sistem ini menemukan cerminannya
dalam krisis ideologi, yang terekspresikan dalam partai-partai politik,
gereja-gereja resmi, moralitas, sains, dan bahkan apa yang di masa kini disebut
filsafat.
Kepemilikan pribadi
dan negara-bangsa adalah dua belenggu yang menghalangi perkembangan masyarakat.
Dari sudut pandang objektif, kondisi untuk sosialisme dunia telah hadir selama
puluhan tahun. Namun, faktor menentukan yang memungkinkan kapitalisme untuk
secara parsial mengatasi kontradiksi-kontradiksi internalnya adalah
perkembangan pasar dunia. Setelah 1945, dominasi Amerika Serikat atas seluruh
dunia,yang didikte oleh kebutuhan untuk meredam revolusi di Eropa dan Jepang
dan untuk memagari Blok Soviet, memberi mereka kesempatan, melalui perjanjian
Bretton-Woods dan GATT, untuk memaksa negeri-negeri kapitalis lain untuk
menurunkan tarif dan menyingkirkan halangan-halangan lainnya untukmelancarkan
aliran pasar bebas.
Ini sangat kontras
dengan kekacauan perekonomian pada periode antar perang dunia (1918-1939)
ketika intensifikasi persaingan antar bangsa mengekspresikan dirinya lewat
kebijakan devaluasi kompetitif dan perang-perang dagang yang menghambat
perkembangan kekuatan produktif di dalam batas-batas sempit kepemilikan pribadi
dan negara-bangsa. Sebagai akibatnya, periode antar perang dunia ini adalah
periode krisis, revolusi dan kontra-revolusi, yang berpuncak pada pembantaian
imperialis yang baru di tahun 1939-45.
Di periode pasca
perang, kapitalisme secara parsial berhasil mengatasi krisis fundamental sistem
mereka melalui integrasi pasar dunia, yang menghasilkan sebuah pasar dunia yang
terintegrasi. Ini menyediakan premis dasar bagi pasang-naik perekonomian yang
dahsyat pada periode 1948-73, yang, pada gilirannya, membawa peningkatan
standar hidup, setidaknya untuk selapisan besar rakyat di negeri-negeri
kapitalis maju. Demikianlah, orang yang sekarat kadang-kadang bisa mendapatkan
energi yang besar tiba-tiba, yang nampaknya merupakan awal pemulihan, tapi pada
kenyataannya hanyalah satu prelude untuk kejatuhan baru yang lebih fatal.
Periode seperti ini
bukan hanya sesuatu yang mungkin, tapi niscaya, bahkan dalam epos kemunduran
kapitalis, jika tatanan sosial yang ada tidak digulingkan. Akan tetapi, ledakan
pertumbuhan ekonomi ini, yang menghasilkan puluhan triliun dolar selama empat
dekade, sama sekali tidak mengubah sifat dasar kapitalisme atau menghilangkan
kontradiksi-kontradiksi di dalamnya. Periode panjang pasang-naik ekonomi dari
1948 sampai 1973 kini usai sudah. Tingkat pengangguran rendah, meningkatnya
standar hidup dan negara kesejahteraan adalah bagian dari masa lalu. Sekarang
kita menghadapi stagnasi ekonomi, resesi dan krisis kekuatan produktif.
Para pemilik modal sudah tidak lagi tertarik untuk menanam
modalnya dalam aktivitas produksi. Almarhum Akio Morita, kepala Sony
Corporation, berulangkali mengingatkan di tahun 1980-an bahwa sistem kapitalis
telah terjerumus ke dalam bahaya dengan kecenderungan untuk bergerak dari
industri produktif ke jasa. Sejak 1950-an, Amerika Serikat telah kehilangan
lebih dari separuh lapangan kerja di bidang industri manufaktur, sementara tiga
perempat dari seluruh lapangan kerja berorientasi ke sektor jasa. Kecenderungan
yang sama hadir pula di Inggris, yang kini mengalami degradasi ke divisi tiga
dalam liga kompetisi kekuatan kapitalis dunia. Dalam sebuah artikel dalam Director (Februari
1988), Morita menyatakan:
“Apa yang ingin saya
sampaikan adalah bahwa kecenderungan ini, yang sama sekali bukan kemajuan dari
sebuah perekonomian yang beranjak dewasa dan bukan merupakan sesuatu yang harus
didukung, adalah sesuatu yang destruktif. Karena dalam jangka panjang sebuah
perekonomian yang telah kehilangan basis manufakturnya berarti telah kehilangan
pusat vitalnya. Sebuah perekonomian yang berbasis jasa tidak memiliki mesin
untuk menggerakkannya. Maka, pergeseran dari ekonomi manufaktur ke ekonomi jasa
berteknologi tinggi, di mana para pekerja duduk di depan komputer dan saling
bertukar informasi sepanjang hari, merupakan sebuah kekeliruan.
“Ini karena hanyalah
manufaktur yang menghasilkan sesuatu yang baru, yang mengambil bahan mentah dan
mengubahnya menjadi produk yang memiliki nilai yang lebih tinggi dari bahan
mentah dari mana produk itu berasal. Sangat jelas bahwa unsur-unsur jasa dari
sebuah ekonomi merupakan turunan dan bergantung pada sektor manufaktur.”
Bukannya menciptakan pekerjaan dan meningkatkan kekayaan
masyarakat, perusahaan-perusahaan monopoli besar mengalihkan sumber dayanya
untuk spekulasi di pasar uang, mengorganisir pencaplokan perusahaan-perusahaan,
dan segala macam aktivitas parasitik lainnya. Morita menunjukkan bahwa “Para
pengusaha telah menjadi sangat takjub dengan permainan pasar valuta. Mereka
telah menemukan bahwa mereka dapat menciptakan keuntungan cepat tanpa perlu
menanamkan uang itu dalam bisnis yang produktif. Bahkan beberapa industri telah
berpaling ke bursa efek. Orang-orang yang menghabiskan hidup mereka membungkuk
di depan monitor yang menunjukkan transaksi saham paling mutakhir hidup
sendirian saja di dunia mereka ini. Mereka tidak punya kesetiaan. Mereka tidak
membuat produk apapun. Mereka tidak menciptakan ide-ide baru. Mereka mendagangkan
$200 miliar setiap hari di London, New York dan Tokyo. Ini adalah pertaruhan
yang sangat besar, bahkan jauh lebih besar dari nilai barang-barang yang
dijualbelikan dalam sehari. “Banyak sekali tersedia air
untuk bermain ciprat-cipratan di ruang mesin,” tulis Morita.
Morita membandingkan
situasi kapitalisme dunia dengan permainan poker di atas sebuah kapal yang
sedang tenggelam, dan menyimpulkan:
“Ini permainan yang
memabukkan, penuh dengan kegairahan, tapi kemenangan dan kekalahan di meja
poker tidak menutup fakta yang mengerikan bahwa kapal itu sedang tenggelam dan
tidak ada seorangpun yang menyadarinya.”
Sejak Morita menulis baris-baris ini, situasinya telah bertambah
buruk. Pasar “derivatif”kini telah mencapai total nilai $25 triliun dan sama sekali
di luar kendali. Ini sama saja dengan berjudi pada skala kolosal. Ini membuat
rumah judi South Sea Bubble menjadi remeh-temeh saja. Ini menunjukkan kerapuhan
fundamental dari kapitalisme dunia, yang dapat mengalami depresi baru seperti
pada tahun 1929.[1]
Kontradiksi itu Tetap Ada
Di tahun 1848, Marx
dan Engels telah meramalkan bahwa kapitalisme akan tumbuh menjadi sebuah sistem
yang mendunia. Ini telah terbukti dengan sangat tepat pada abad ke-20. Dominasi
besar dari pasar dunia adalah fakta terpenting dari epos ini. Kita mendapati
sebuah perekonomian dunia, perpolitikan dunia, diplomasi dunia, kebudayaan
dunia, perang dunia -- sudah ada dua perang dunia dalam seratus tahun terakhir,
dan yang kedua hampir saja memadamkan cahaya peradaban manusia. Namun,
globalisasi ekonomi tidaklah berarti kontradiksi kapitalisme akan berkurang,
tapi, sebaliknya, justru kontradiksi-kontradiksi yang ada akan semakin intens.
Pada dasawarsa
terakhir di abad ke-20, sekalipun terdapat berbagai keajaiban ilmu pengetahuan
modern, dua pertiga umat manusia hidup dalam ambang batas barbarisme. Wabah
seperti diare dan cacar membunuh tujuh juta anak dalam setahun. Ini seharusnya
dapat dicegah melalui vaksinasi yang sederhana dan murah. Lebih dari 500.000
perempuan meninggal tiap tahun karena komplikasi saat melahirkan, dan mungkin
sekitar 200.000 lainnya meninggal ketika aborsi. Negeri-negeri mantan jajahan
menghabiskan hanya 4% dari PDB mereka untuk bidang kesehatan -- rata-rata $41
per kepala, dibandingkan $1900 per kepala di negeri-negeri kapitalis maju.
Menurut laporan
Perserikatan Bangsa-Bangsa, lebih dari enam miliar orang akan menghuni bumi
pada akhir tahun 2000. Sekitar separuh dari mereka akan berusia kurang dari 20.
Kebanyakan dari mereka akan menderita karena ketiadaan lapangan pekerjaan,
kekurangan pendidikan dasar dan perawatan kesehatan, hidup di lingkungan yang
terlampau padat dan berkondisi hidup sangat buruk. Diperkirakan 100 juta anak,
dari 6 sampai 11 tahun tidak akan bersekolah. Dua pertiganya adalah perempuan.
Bahkan di Amerika Serikat, UNICEF memperkirakan bahwa 20% anak hidup di bawah
garis kemiskinan nasional. Namun situasi di negeri-negeri Dunia Ketiga telah
mencapai tingkatan yang mengerikan. Sebanyak 100 juta anak hidup di jalanan. Di
Brasil, masalah ini “diselesaikan” dengan kampanye polisi dan pasukan pembunuh,
untuk membunuhi anak-anak jalanan karena mereka miskin. Kekejaman serupa juga
dilakukan terhadap para gelandangan di Kolombia. Tidak berapa lama lalu telah
ditemukan bahwa sejumlah besar laki-laki, perempuan, dan anak-anak gelandangan
telah dibunuhi dan jenazah mereka dijual ke Universitas Bogota untuk dijadikan
bahan percobaan bagi mahasiswa kedokteran. Kisah-kisah semacam ini mendirikan
bulu kuduk mereka yang beradab. Tapi semua itu hanyalah perwujudan paling
ekstrem dari moralitas sebuah masyarakat yang memperlakukan manusia sebagai
komoditas belaka.
Satu juta anak tewas, empat juta luka berat, dan lima juta telah
menjadi pengungsi atau yatim piatu sebagai hasil dari perang-perang di
dasawarsa lalu. Di banyak negeri mantan jajahan, kita melihat fenomena
perburuhan anak, yang hampir-hampir menyerupai perbudakan. Protes-protes
munafik dari media Barat tidaklah mencegah hasil-hasil dari perburuhan anak ini
untuk mencapai pasar Barat dan meningkatkan isi pundi-pundi dari
perusahaan-perusahaan “terhormat” di Barat. Satu contoh tipikal adalah berita
baru-baru ini tentang sebuah pabrik korek api di mana anak kecil, kebanyakan
perempuan, bekerja enam hari, 60 jam kerja seminggu, dengan bahan kimia
beracun, dengan upah tiga dolar seminggu. Sebuah surat untuk majalah The
Economist tertanggal 15 September 1993 menunjukkan bahwa:
“Orang tua menyadari pentingnya pendidikan bagi masa depan anak-anak mereka
tapi seringkali kemiskinan mereka telah mencapai tingkat sedemikian rupa
sehingga mereka tidak akan dapat bertahan tanpa upah dari anak-anak mereka yang
bekerja.”
Alasan utama untuk
kemiskinan parah di Dunia Ketiga adalah penghisapan berganda yang dilakukan
melalui perjanjian perdagangan, dan hutang puluhan triliun dolar mereka pada
bank-bank besar Barat. Bahkan untuk membayar bunga saja, negeri-negeri ini
harus mengekspor makanan yang seharusnya mereka gunakan untuk memberi makan
rakyatnya sendiri, dan mengorbankan kesehatan dan pendidikan rakyatnya. Menurut
UNICEF, pembayaran hutang telah mengurangi pendapatan rakyat di dunia ketiga
sebesar 25%, pengeluaran untuk pelayanan kesehatan jatuh 50% dan pengeluaran
untuk pendidikan jatuh 25%. Sekalipun ada protes munafik atas dibabatnya hutan
Amazon, para ekonom Brasil telah menunjukkan bahwa motivasi utama untuk
pembabatan ini adalah kebutuhan untuk meningkatkan ekspor produk pertanian,
seperti daging. Pembiayaan untuk proyek ekspor ini datang dari Bank Dunia dan
organisasi keuangan dunia lainnya
Dalam makna kata yang
paling eksplisit, umat manusia saat ini berdiri di atas persimpangan. Di satu
pihak, semua potensi untuk membangun surga di dunia ini telah kita miliki. Di
pihak lain, unsur-unsur barbarisme mengancam untuk menelan seluruh planet ini.
Ditambah lagi, kita tengah diancam juga oleh kerusakan lingkungan. Dalam
pengejaran keuntungan mereka yang tergesa-gesa, perusahaan-perusahaan
multinasional tengah menghancurkan planet ini. Hutan hujan tropis kini tengah
dibabat dengan kecepatan 29.000 mil persegi per tahun [± 74.250 km persegi].
Ini adalah seluas Skotlandia. Orang boleh berspekulasi tentang apa yang
menyebabkan kepunahan dinosaurus 65 juta tahun yang lalu. Tapi tidak akan ada
keraguan tentang apa penyebab bencana yang sekarang ada di depan mata kita --
pengejaran keuntungan yang tak terkendali dan anarki dalam produksi kapitalis.
Bahkan para ilmuwan
yang tidak menganut sosialisme telah terdorong menuju kesimpulan (sepenuhnya
logis, jika seseorang mau berhenti sejenak untuk berpikir) bahwa satu-satunya
jalan keluar adalah semacam perekonomian dunia yang terencana. Namun, ini tidaklah
dimungkinkan bila terus berdasarkan kapitalisme. Empat puluh satu negara secara
resmi mendukung “Strategi Pelestarian Dunia”. Tapi, tanpa sebuah Federasi
Sosialis Dunia, ini hanya di atas kertas saja. Kepentingan dari
monopoli-monopoli besar adalah yang menentukan.
Namun, tidak ada
sesuatupun yang niscaya tentang hal ini. Semua ramalan buruk tentang masa depan
umat manusia, yang dimulai oleh Malthus, telah terbukti keliru. Potensi
perkembangan umat manusia tidaklah terbatas. Bahkan kini kita telah memiliki
kemampuan untuk melenyapkan kelaparan dari muka bumi. Di Eropa Barat dan
Amerika Serikat, produktivitas pertanian telah mencapai tingkat yang demikian
tinggi sehingga para petani dibayar untuk tidak menghasilkan produk pertanian.
Tanah yang subur tidak ditanami. Gandum dibuang ke laut atau dicampuri zat
pewarna untuk membuatnya tidak dapat dimakan. Ada segunung daging, mentega dan
susu bubuk. Tanaman zaitun di Spanyol dengan sengaja dicabut akarnya. Dan ada
450 juta orang di seluruh dunia yang kekurangan gizi, atau kelaparan.
Pada awal abad
mendatang, negeri-negeri Lingkar Pasifik akan menghasilkan separuh dari
produksi dunia. Perekonomian dunia akan tumbuh dewasa. Selama berabad-abad,
orang-orang Eropa telah menganggap dirinya sebagai poros dari bola dunia.
Secara objektif, ini sama konyolnya dengan ide Ptolomeus bahwa bumi adalah
pusat alam semesta. Bahkan sejak tahun 1920-an Trotsky telah meramalkan bahwa
pusat gravitasi sejarah dunia akan bergeser dari Atlantik ke Pasifik. Tahapan
berikutnya dari sejarah manusia akan menyaksikan bagaimana ratusan juta massa
rakyat di Asia menyadari kekuatan mereka yang sesungguhnya, sebagai bagian dari
sebuah Federasi Sosialis Dunia.
Azab Pengangguran
Kerja adalah
aktivitas hidup kita yang utama. Sejak usia masih sangat muda, kita telah
bersiap-siap untuk itu. Seluruh kegiatan bersekolah kita dirancang untuk itu.
Kita menghabiskan seluruh kehidupan aktif kita di dalamnya. Kerja adalah basis
yang melandasi seluruh masyarakat. Tanpanya, tidak akan ada makanan, pakaian,
rumah, sekolah, kebudayaan, seni maupun ilmu pengetahuan. Dalam makna yang
paling nyata, kerja adalah hidup itu sendiri. Merampas hak bekerja seseorang
tidak hanya berarti merampas haknya untuk mendapat standar hidup minimum.
Merampas hak bekerja seseorang sama saja dengan melucuti harga dirinya,
memisahkannya dari masyarakat beradab, membuat hidupnya sia-sia dan tak
bermakna. Ketiadaan lapangan kerja adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Penciptaan sebuah kelas bawah di kota-kota Amerika Serikat dan negeri-negeri
lain adalah bukti bahwa masyarakat modern sudah bangkrut. Kutipan berikut
mengungkapkan ketakutan dari seorang ahli strategi kapitalis terbesar tentang
kecenderungan Barat menuju disintegrasi sosial:
“Konsentrasi populasi
orang-orang yang yang dikecewakan dan termiskinkan di kota-kota, yang jumlahnya
semakin bertambah, yang bergantung pada infrastruktur yang rapuh adalah sesuatu
yang sangat berbahaya. Ada kemungkinan besar bahwa solidaritas sosial yang
mendasari negara kesejahteraan akan hancur dalam tahun-tahun mendatang. Semakin
tingginya biaya untuk menyokong populasi yang bergantung ini akan menguji
kesabaran dari mereka yang lebih berhasil dalam pergulatan ekonomi.... Tapi ini
masalah yang akan kita hadapi di abad mendatang.
“Negara kesejahteraan
telah membuat kesalahan yang akan dibayar dalam termin evolusioner. Perempuan
kelas-kelas bawah melahirkan 60% lebih banyak anak daripada perempuan kelas
menengah -- kulit hitam atau putih. Tapi bahkan statistik ini masih kurang
memperhitungkan dampaknya atas populasi. Perempuan kelas bawah bukan hanya
memiliki lebih banyak anak, mereka juga mulai melahirkan pada usia yang lebih
muda, yang akan meningkatkan populasi kelas bawah secara geometrik.”
Rees-Mogg, yang menghibur dirinya dengan khayalan bahwa “Marxisme
sudah mati”, mendukung politik reaksioner terbuka, yang dengan
jelas mengingatkan kita pada kaum Malthusian di jaman Victoria ratusan tahun
lalu:
“Mereka (orang-orang miskin) mendapat bantuan untuk
menyia-nyiakan hidup mereka lewat insentif negatif dari program-program sosial,
yang secara efektif membebani mereka-mereka yang bekerja dengan pajak 100% atau
lebih. Dalam banyak kasus, nilai total dari bantuan makanan, subsidi sewa
rumah, tunjangan pengangguran, suplemen pendapatan, penyediaan sarana kesehatan
gratis dan lain-lain pelayanan melebihi pendapatan setelah pajak yang dapat
diraih oleh seorang pekerja tidak terampil. Dan tunjangan kesejahteraan, karena
definisinya, dapat diperoleh dengan sedikit atau tanpa usaha sama sekali. Anda
tidak perlu bangun pagi-pagi sekali dan berdesak-desakan di angkutan kota untuk
menjamin hidup Anda.... Penegakan hukum yang longgar juga membuat kemalasan,
ketidakmampuan membaca dan kriminalitas menjadi semakin menarik. Anak-anak yang
dapat memperoleh seratus dolar per jam sebagai pencuri atau pengedar narkoba
kecil kemungkinannya mau belajar membaca atau mencari kerja dengan upah minimum
yang mungkin akan dapat menjamin hidupnya kelak.”[2]
Di sisi lain Atlantik, perasaan gelap yang sama juga telah
menyebar di kalangan ahli strategi kapitalis. Penulis dan ekonom terkenal Amerika,
John Kenneth Galbraith, yang adalah seorang liberal dalam politiknya, tapi
tetap saja sampai pada kesimpulan yang serupa. Dalam buku terakhirnya, The
Culture of Contentment, ia mengeluarkan sebuah peringatan
keras atas kemungkinan terjadinya konflik sosial yang meledak-ledak yang muncul
akibat divisi kelas dalam masyarakat Amerika:
“Namun kemungkinan
akan terjadinya pemberontakan kelas bawah, yang sangat terganggu kenyamanannya,
ada dan semakin hari semakin besar. Telah terjadi beberapa ledakan di masa
lalu, khususnya kerusuhan-kerusuhan di kota-kota besar di akhir 1960-an, dan
ada beberapa faktor yang mungkin akan menyebabkan ledakan-ledakan ini lagi.
“Secara khusus, telah dijelaskan, kedamaian sangat tergantung
pada perbandingan dengan ketidaknyamanan yang sebelumnya. Dengan berjalannya
waktu, perbandingan itu memudar, dan juga dengan berlalunya waktu janji-janji
masa lalu untuk bisa keluar dari kemiskinan relatif – atau pergerakan sosial ke
atas – pudar pula. Ini khususnya dapat terjadi akibat resesi atau depresi yang
berkepanjangan. Gelombang pekerja yang membanjiri pabrik-pabrik mobil di
Detroit –para pengungsi dari tanah-tanah pertanian Michigan dan Ontario dan
kemudian juga orang-orang kulit putih miskin dari Appalachia – semakin hari
semakin banyak jumlahnya. Banyak dari mereka yang datang dari Selatan untuk
menggantikan mereka kini terdampar dalam pengangguran yang endemik. Tidak ada
yang boleh terkejut jika pada satu hari ini akan melahirkan satu reaksi yang
penuh kekerasan. Telah selalu menjadi salah satu kepercayaan mendasar dari
mereka yang mendapatkan kenyamanan bahwa mereka yang tidak mendapatkan
kenyamanan itu menerima nasibnya dengan pasrah. Kepercayaan semacam itu boleh
jadi satu hari akan terbukti keliru secara mendadak.”[3]
Keterasingan
“Dunia ini bukanlah
sekumpulan individu yang terisolasi; semuanya terhubung satu sama lain dengan
satu atau lain cara.” (Aristoteles)
"No man is an
Iland, intire of itselfe; every man is a peece of the Continent, a part of the
maine; if a Clod bee washed away by the sea, Europe is the lesse, as well as if
a Promontorie were, as well as if a Mannor of thy friends or thine own were;
any man’s death diminishes me, because I am involved in Mankind; and therefore
never send to know for whom the bell tolls; it tolls for thee." (John
Donne, Devotions upon Emergent Occasions, no. xvii.)
“Tiada orang yang
sepenuhnya sendirian; tiap orang adalah sekeping tanah dari sebuah Benua,
sebagian dari yang keseluruhan. Jika sepotong Semenanjung ditenggelamkan oleh
air, Eropa akan menjadi lebih kecil, demikian pula halnya dengan Puncak Gunung,
atau Rumah karib Anda atau Anda sendiri; kematian tiap orang mengurangi arti
saya sendiri, karena saya terlibat dalam keseluruhan Umat Manusia; dan
karenanya tidak akan pernah tahu kapan lonceng maut memanggil; ia berdentang
memanggil Anda.” (John Donne, Devotion upon Emergent Occasion, no. xvii.)
Manusia menjadi
manusia dengan memisahkan diri dari sifat murni kehewanan, yaitu,
ketidaksadaran, naluri alamiah semata. Bahkan hewan yang paling kompleks
sekalipun tidak dapat menandingi pencapaian umat manusia, yang memungkinkannya
bertahan dan menjadi makmur dalam berbagai kondisi dan iklim, di laut, di
udara, dan bahkan di antariksa. Umat manusia telah mengangkat dirinya demikian
jauh dari keadaan “alami”-nya, keadaan kehewanannya, mereka telah menguasai
lingkungan mereka sampai tingkatan yang tak tertandingi. Namun, paradoksnya,
manusia masih terus dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan yang membabi-buta di
luar kendali mereka. Apa yang disebut “ekonomi pasar” didasarkan pada premis
bahwa manusia tidaklah mengendalikan kehidupan dan nasibnya sendiri, tapi
merupakan boneka belaka di tangan kekuatan-kekuatan tak kasat mata, yang,
seperti dewa-dewa yang rakus dan tak dapat diterka dari jaman dulu, mengatur
segala sesuatu tanpa rima atau keteraturan sama sekali. Dewa-dewa ini memiliki
pendeta-pendetanya sendiri, yang menghabiskan hidup mereka mengabdi kepadanya.
Para pendeta ini mendiami bank-bank dan bursa saham, dengan upacara-upacara
mereka yang rumit, dan membuat profit yang besar. Tapi, ketika dewa-dewa marah,
para pendeta itu panik, seperti sekawanan hewan yang berlarian ketakutan, dan
dengan insting yang sama.
Orang-orang Romawi kuno menggambarkan budak sebagai “alat yang
dapat berbicara” (instrumentum vocale). Kini, banyak buruh akan merasa
bahwa penggambaran ini dapat juga diterapkan pada mereka. Kita seharusnya hidup
dalam sebuah dunia post-modern, post-industrial, post-Fordist. Tapi, sejauh
menyangkut kondisi kehidupan rakyat pekerja, apa yang telah berubah? Di
mana-mana, pencapaian-pencapaian yang telah didapat di masa lalu sedang
diserang. Di Barat, standar hidup, bagi sebagian terbesar rakyat, kini sedang
ditekan. Negara kesejahteraan sedang digerogoti, dan tingkat pengangguran yang
rendah tinggal masa lalu.
Di semua negeri,
masyarakat sedang dijangkiti oleh perasaan gelap yang dalam. Perasaan ini
dimulai dari atas dan menetes ke bawah sampai tingkatan terendah. Perasaan
tidak aman yang dilahirkan oleh pengangguran massal permanen telah menyebar ke
lapisanpekerja yang di masa lalu beranggapan bahwa diri mereka kebal
terhadapnya.Para guru, dokter, perawat, pegawai negeri, manajer pabrik sudah
tidak lagi merasa aman. Tabungan dari kelas menengah, nilai rumah mereka, juga
terancam oleh pergerakan pasar uang dan bursa saham yang tak terkendali.
Kehidupan miliaran umat manusia berada dalam genggaman kekuatan membabi-buta
yang begitu tidak rasional, sehingga membuat dewa-dewa masa lalu menjadi sangat
rasional bila dibandingkan dengannya.
Beberapa dekade yang
lalu, dengan yakin diramalkan bahwa derap maju ilmu pengetahuan dan teknologi
akan menyelesaikan semua masalah yang dihadapi umat manusia. Di masa depan
manusia tidak akan lagi risau dengan perjuangan kelas, tapi dengan masalah
mengisi waktu luang. Ramalan ini sama sekali bukannya tanpa dasar. Dari sudut pandang
yang murni ilmiah, tidak ada alasan mengapa hari dan jam kerja tidak dapat
dikurangi, sekaligus meningkatkan hasil produksi dan standar hidup, berdasarkan
produktivitas tinggi yang didapatkan dari penerapan teknologi baru. Tapi
situasi yang sesungguhnya sangatlah berbeda.
Marx telah
menjelaskan jauh-jauh hari bahwa di bawah kapitalisme mesin bukannya mengurangi
hari kerja malah cenderung memperpanjangnya. Di semua negeri kapitalis utama,
kita menyaksikan tekanan besar terhadap kaum buruh untuk bekerja lebih lama
dengan upah yang semakin rendah. Dalam edisi 24 Oktober 1994, majalah Time
melaporkan peningkatan tajam dari perekonomian Amerika, dengan tingkat
keuntungan yang membumbung tinggi:
“Tapi kaum buruh
mengeluh bahwa bagi mereka ekspansi ekonomi berarti kelelahan. Di seluruh
industri Amerika, perusahaan-perusahaan menggunakan lembur untuk memeras tetes
keringat terakhir dari angkatan kerja Amerika Serikat; jam kerja pabrik kini
mencapai rekor 42 jam per minggu, termasuk 4,6 jam lembur. 'Orang-orang Amerika,'
Audrey Freedman, seorang ekonom buruh dan anggota redaksi Time, mengamati,
'adalah pekerja paling keras di dunia.' Tiga besar produsen mobil telah
mendorong kecenderungan ini ke tingkat ekstrem. Para buruh mereka rata-rata
lembur 10 jam setiap seminggu dan setiap tahun rata-rata bekerja enam hari
Sabtu selama 8 jam.”
Artikel itu juga
mengutip sejumlah besar contoh baik dari kalangan buruh kerah biru maupun kerah
putih dari berbagai industri, yang mengeluh tentang beban kerja yang kronis:
“‘Saya mengerjakan kerja dari tiga orang,’ ujar Joseph
Kelterborn, 44, yang bekerja untuk perusahaan telepon Nynex di New York City.
Departemennya, yang memasang dan memelihara jaringan kabel-optik, telah
dipangkas dari 27 orang menjadi 20 pada tahun-tahun terakhir, sebagian dengan
menggabungkan apa yang tadinya merupakan tiga posisi yang berbeda – operator
saklar, operator daya dan operator pengujian – menjadi apa yang kini
disebut carrier switchman. Sebagai hasilnya, kata Kelterborn,
ia sering bekerja sampai empat jam ekstra seharinya dan satu hari ekstra tiap
tiga minggu. ‘Pada saat saya sampai di rumah,’ keluhnya, ‘saya hanya memiliki
waktu untuk mandi, makan malam dan tidur sebentar; lalu tiba waktunya bangun
dan melakukan semuanya lagi.’”
Seperti yang telah
ditunjukkan oleh Marx, peningkatan penggunaan mesin berarti semakin panjang
hari kerja bagi mereka yang masih memiliki pekerjaan. Sejak pemulihan dari
resesi pada Maret 1991, perekonomian Amerika Serikat telah menciptakan hampir
enam juta lapangan kerja baru, tapi masih juga kurang dua juta pekerjaan. Jika
perusahaan-perusahaan Amerika Serikat menyewa tenaga kerja dengan tingkat yang
sama seperti sebelum resesi, peningkatan itu seharusnya berjumlah delapan juta
atau lebih.
Artikel majalah Time itu
menambahkan:
“Terdapat banyak
bukti, nyatanya, bahwa Amerika Serikat sedang mengembangkan sejenis masyarakat
dua tingkat. Sementara keuntungan perusahaan dan gaji para eksekutif meningkat
dengan cepat, upah riil (yakni, setelah memperhitungkan inflasi) sama sekali tidak
meningkat. Pemerintah telah melaporkan bahwa median penghasilan rumah tangga
riil di Amerika Serikat menurun $312, sementara sekitar sejuta orang jatuh ke
bawah garis kemiskinan, mereka yang didefinisikan secara resmi sebagai miskin
adalah 15,1% dari populasi Amerika Serikat, bandingkan dengan 14,8% di tahun
1992. Semua itu adalah perkembangan yang mengejutkan di tengah empat tahun
pemulihan ekonomi yang semakin menguat.”
Dalam Manifesto
Komunis, Marx dan Engels menunjukkan:
“Karena penggunaan mesin yang luas dan pembagian kerja, kerja
kaum proletariat telah kehilangan seluruh karakter individualitasnya, dan,
sebagai akibatnya, kerjanya tidak lagi menarik. Ia menjadi sekedar aksesori
mesin, dan hanya melakukan kerja yang paling sederhana, paling monoton, dan
paling mudah dipelajari, yang dibutuhkan darinya. Maka itu, biaya untuk
menghasilkan seorang pekerja dibatasi, hampir seluruhnya, oleh biaya hidup yang
hanya cukup untuk memeliharanya, dan untuk ia berkembang biak. Tapi harga
komoditi, dan demikian pula halnya dengan tenaga kerja, adalah sama dengan
biaya produksinya. Maka, sebanding dengan semakin menjijikkannya pekerjaan itu,
semakin turun pula tingkat upah. Terlebih lagi, sebanding dengan meningkatnya
penggunaan mesin dan pembagian kerja, meningkat pula beban kerja, baik melalui
perpanjangan jam kerja, melalui peningkatan ragam pekerjaan yang dituntut
dikerjakan dalam rentang waktu tertentu atau oleh peningkatan kecepatan kerja
mesin, dan lain-lain.”[4]
Dalam salah satu film Charlie Chaplin yang paling terkenal,
yakniModern
Times, kita dapat menyaksikan kehidupan seorang buruh di sebuah
pabrik besar di tahun 1930-an. Pekerjaan monoton yang dilakukan tanpa berpikir,
yang diulangi tanpa henti sungguh telah mengubah manusia menjadi aksesori
mesin, “alat yang dapat berbicara”. Kendati semua pembicaraan muluk mengenai
“partisipasi”, kondisi di kebanyakan pabrik tetap saja sama. Sungguh, tekanan
atas buruh telah meningkat beberapa tahun terakhir ini. Hal-hal kecil yang
dapat membuat hidup ini lebih tertanggungkan telah dengan perlahan tapi pasti
disingkirkan. Di Inggris, di mana kekuatan serikat-serikat buruh telah
memenangkan berbagai pencapaian di masa lalu, kini jam makan telah pula
disingkirkan. Kanselir Kohl memberi tahu kaum buruh Jerman bahwa mereka harus
mulai bekerja pada akhir minggu. Gambaran yang sama dapat kita temui di
mana-mana.
Teknologi yang baru
bukannya memperbaiki taraf kehidupan kaum buruh, ia malah digunakan untuk
memperburuk kondisi para buruh kerah putih. Di kebanyakan bank, rumah sakit dan
kantor-kantor besar, posisi para pekerja kini semakin mirip buruh di
pabrik-pabrik. Rasa tidak aman yang sama, tekanan yang tanpa henti atas sistem
syaraf, stres yang sama, yang membawa masalah-masalah kesehatan, depresi dan
perceraian.
Di tahun-tahun terakhir para ilmuwan telah kembali pada ide
“manusia-mesin”, dalam hubungannya dengan bidang robotik dan masalah kecerdasan
artifisial (AI, Artificial Intelligence). Ide ini bahkan telah merasuki
imajinasi populer, seperti yang ditunjukkan oleh kepopuleran film-film
sejenis Terminator, di mana manusia dihadapkan melawan robot.
Fenomena ini mengungkapkan cukup banyak tentang psikologi yang berkembang saat
ini, yang dicirikan dengan dehumanisasi masyarakat, serta perasaan bahwa umat
manusia tidaklah memegang kendali atas nasibnya sendiri, dan ketakutan akan
satu kekuatan tak terkendali yang mendominasi kehidupan manusia. Padahal, upaya
untuk menciptakan kecerdasan artifisial merupakan satu kemajuan dalam ilmu
robotik, yang, dalam sebuah masyarakat rasional yang sejati, membuka satu
kemungkinan yang gemilang bagi perkembangan umat manusia.
Menggantikan kerja
manusia dengan mesin modern adalah kunci bagi revolusi kebudayaan terbesar
dalam sejarah, yang berdasarkan pengurangan jam kerja manusia. Walau demikian,
mustahil kita bisa mereproduksi pikiran manusia ke dalam mesin, sekalipun
pekerjaan-pekerjaan yang spesifik dapat dikerjakan lebih efisien oleh mereka.
Ini bukan karena alasan yang mistik, atau karena adanya sebuah “jiwa yang
kekal”, yang katanya membuat kita menjadi sebuah Ciptaan yang unik, tapi karena
sifat dari pemikiran itu sendiri, yang tidak dapat dipisahkan dari semua
aktivitas tubuh manusia, yang dimulai dengan kerja.
Marx dan Keterasingan
Bahkan bagi mereka yang cukup beruntung untuk memiliki
pekerjaan, sembilan dari sepuluh kasus, kerja adalah sebuah rutinitas yang tak
bermakna. Jam kerja tidaklah dilihat sebagai bagian dari kehidupan seseorang.
Kerja tidak memiliki hubungan dengan hakikat kita sebagai manusia. Hasil dari
kerja kita dimiliki orang lain, di mana baginya Anda hanyalah sebuah “faktor
produksi”. Hidup dimulai saat Anda keluar dari tempat kerja, dan berhenti
ketika Anda memasukinya. Gejala ini dijelaskan dengan baik oleh Marx dalam
bukunya Economic and Philosophic Manuscript of 1844:
“Dengan demikian, apa
itu keterasingan kaum buruh?
“Pertama, fakta bahwa
kerja itu adalah di luar diri buruh itu, yaitu, tidak termasuk dalam sifat
intrinsiknya; bahwa dalam pekerjaannya, ia tidaklah menegaskan dirinya sendiri
melainkan menyangkalnya, tidak merasa puas melainkan merasa tidak bahagia,
tidak mengembangkan dengan bebas energi mental dan fisiknya melainkan merusak
tubuhnya dan mengganggu otaknya. Si buruh itu, dengan demikian, hanya menjadi
dirinya sendiri di luar pekerjaannya, dan di dalam pekerjaannya merasa bahwa ia
bukan dirinya sendiri. Ia merasa nyaman ketika tidak bekerja, dan ketika ia
bekerja ia tidak merasa nyaman. Kerjanya, dengan demikian, tidaklah dilakukan
dengan sukarela, tapi karena dipaksa; kerjanya adalah kerja paksa. Kerjanya
hanyalah cara untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang berada di luar kerja itu.
Karakternya yang asing itu muncul jelas dalam fakta bahwa segera setelah tidak
ada lagi pemaksaan fisik atau lainnya, buruh menghindari kerja seperti halnya
dia menghindari wabah penyakit.”
“Kerja eksternal, yakni kerja di mana manusia mengasingkan
dirinya sendiri, adalah kerja yang mengorbankan diri, kerja yang menekan hasrat
diri. Karakter eksternal dari kerja bagi buruh muncul dalam fakta bahwa kerja
itu bukanlah miliknya sendiri, tapi milik orang lain, bahwa kerja itu bukan
miliknya, bahwa di dalam kerja dia bukanlah milik dirinya sendiri tetapi
menjadi milik orang lain. Sebagaimana agama, di mana aktivitas spontan dari
imajinasi manusia, dari otak dan hati manusia, bekerja pada individu yang
mandiri darinya– yakni, bekerja sebagai suatu aktivitas yang asing, ilahi atau
jahat – begitu juga aktivitas buruh bukanlah aktivitas spontannya. Ia adalah
milik orang lain; kerja bermakna kehilangan jati diri buruh itu sendiri.”[5]
Maka, bagi sebagian
terbesar orang, hidup hanya dijalani sebagai sebuah aktivitas yang memiliki
sedikit saja makna bagi individu. Pada keadaan terbaik, hidup dapat
tertanggungkan; pada keadaan terburuk, hidup adalah siksaan. Bahkan bagi
mereka-mereka yang mengerjakan pekerjaan seperti mengajar anak-anak atau
mengurus orang sakit, telah mulai merasa bahwa kepuasan mereka mulai dirampas,
sejalan dengan semakin merasuknya hukum-hukum pasar ke dalam sekolah dan
bangsal-bangsal rumah sakit.
Perasaan bahwa
masyarakat ini telah mencapai jalan buntu tidaklah terbatas pada “kelas-kelas
bawah”. Di tengah kelas penguasa juga terdapat perasaan yang semakin kuat akan
kebuntuandan pesimisme tentang masa depan. Tidak dapat lagi ditemui
gagasan-gagasan hebat seperti di masa lalu, ataupun rasa percaya diri dan
optimisme. Omong kosong besar yang dikumandangkan terus-menerus tentang apa
yang disebut keajaiban “perekonomian pasar bebas” semakin hari menjadi semakin
kosong maknanya, sejalan dengan orang semakin menyadari situasi sebenarnya --
jutaan pengangguran, serangan terhadap standar hidup, kekayaan luar biasa yang
dibuat melalui spekulasi, kerakusan dan korupsi.
Sangatlah ironis
bahwa para pembela status quo menuduh Marxisme sebagai “materialistis”, ketika
kaum borjuis itu sendiri mempraktekkan jenis materialisme yang paling vulgar
dan mengerikan. Pengejaran kekayaan, diangkatnya kerakusan sebagai prinsip yang
dominan, itulah pusat dariseluruh kebudayaan mereka sekarang. Inilah agama
mereka yang sebenarnya. Di masa lalu, mereka bersusah-payah untuk menutupi ini,
bersembunyi di balik segala moral munafik tentang kewajiban, patriotisme, kerja
yang jujur, dan segala kepalsuan yang lain. Kini mereka melakukannya secara
terbuka. Di setiap negeri kita melihat wabah korupsi yang belum pernah terjadi
sebelumnya, penggelapan, kebohongan, penipuan, pencurian - bukan pencurian oleh
kriminal kelas teri, tapi penjarahan dalam skala masif, yang dikerjakan oleh
para pengusaha, politisi, para kepala polisi dan militer dan para hakim. Dan
mengapa tidak? Bukankah sudah kewajiban kita untuk menjadi kaya?
Buaian monetarisme
mengangkat egoisme dan kerakusan menjadi sebuah prinsip. Raup sebanyak mungkin
dan dengan cara apapun. Inilah hakikat inti dari kapitalisme. Itulah hukum
rimba, yang diterjemahkan ke dalam bahasa mantra-mantra ekonomi. Setidaknya
prinsip ini sederhana. Ia mengatakan secara terus terang seperti apa sistem
ekonomi kapitalis itu sebenarnya.
Tapi, betapa hampanya
filsafat ini! Betapa menyedihkannya pandangan tentang kehidupan manusia ini!
Sekalipun mereka tidak mengetahuinya, para penguasa planet ini sebenarnya hanya
budak juga, budak buta dari kekuatan yang tidak dapat mereka kendalikan. Mereka
tidak memiliki kendali sejati atas sistem ini, sebagaimana semut tidak dapat
mengendalikan bukit rumah mereka. Namun mereka cukup puas dengan keadaan ini,
yang memberi mereka posisi, kekuasaan dan kekayaan. Dan mereka dengan kejam
melawan semua usaha untuk melakukan perubahan yang radikal di masyarakat.
Jika ada sebuah
benang merah dalam sejarah, benang merah itu adalah upaya manusia, laki-laki
dan perempuan, untuk meraih kendali atas hidup mereka, untuk menjadi bebas,
dalam makna yang paling sejati dari kata itu. Segala kemajuan ilmu dan
teknologi, semua yang telah dipelajari umat manusia tentang alam dan dirinya
sendiri, berarti bahwa kini ada potensi untuk mengambil kendali penuh atas
kondisi yang kita diami. Namun, dalam dasawarsa terakhir dari abad ke-20, dunia
ini kelihatannya malah berada dalam cengkeraman satu kegilaan yang aneh.
Manusia semakin merasa kehilangan kendali atas takdirnya bila dibandingkan
dengan sebelumnya. Ekonomi, lingkungan hidup, udara yang kita hirup, air yang
kita minum, makanan yang kita makan, semua sedang terancam. Hilang sudah
perasaan aman dan tenteram. Hilang sudah perasaan bahwa sejarah merupakan satu
derap maju tanpa henti menuju sesuatu yang lebih baik dari hari ini.
Di bawah keadaan
seperti ini, sejumlah lapisan masyarakat mencari jalan keluar melalui
obat-obatan dan alkohol. Ketika masyarakat ini tidak lagi rasional, manusia
lari ke hal-hal yang tidak rasional untuk mendapatkan ketenangan. Agama,
seperti yang dikatakan Marx, adalah candu, dan dampaknya tidaklah kurang
berbahaya daripada obat-obatan lainnya. Kita telah melihat bagaimana ide-ide
religius dan mistik telah merasuk bahkan ke dalam dunia ilmiah. Inilah refleksi
dari jaman yang kini sedang kita lewati.
Moralitas
“Kuatkanlah komitmen
moral dan kepercayaan agama Anda. Baca kembali Sepuluh Perintah Allah dan
Kitab-kitab Kebijaksanaan. Kitab Suci bukanlah guru sejarah yang buruk dan ia
adalah satu panduan untuk bertahan dalam keadaan yang sulit.” (Rees-Mogg)
“Siapapun yang tidak
ingin berpaling pada Musa, Kristus atau Muhamad, siapa pun yang tidak puas
dengan mantra-mantra eklektisharus mengakui bahwa moralitas hanyalah sebuah
produk dari perkembangan sosial; bahwa moralitas bukanlah sesuatu yang abadi;
bahwa moralitas melayani kepentingan-kepentingan sosial; bahwa
kepentingan-kepentingan ini saling berkontradiksi; bahwa moralitas, lebih dari
segala bentuk ideologi lainnya, memiliki karakter kelas.” (Trotsky)
“Marxisme menyangkal moralitas!” Betapa sering kita mendengar
pernyataan semacam ini, yang sebetulnya hanya mengungkapkan ketidaktahuan
seseorang atas ABC Marxisme. Benar, Marxisme menolak keberadaan dari moralitas
yang supra-historis. Tapi tidaklah membutuhkan banyak keringat untuk
menunjukkan bahwa aturan-aturan moral yang telah mengatur kelakuan manusia
telah berubah cukup signifikan dari satu jaman ke jaman yang lain. Pada satu
waktu, tidaklah dianggap tidak bermoral jika kita memakan para tawanan perang.
Kemudian, kanibalisme dipandang dengan penuh kejijikan, tapi para tawanan
perang boleh dijadikan budak. Bahkan Aristoteles yang agung itu siap membela
perbudakan, berdasarkan argumen bahwa budak tidaklah memiliki jiwa, dan oleh
karenanya bukanlah sepenuhnya manusia (argumen yang sama digunakan juga untuk
perempuan). Kemudian, dianggap tidak bermoral jika kita memiliki orang lain
sebagai properti, tapi sangat dapat diterima jika para penguasa feodal memiliki
para hamba yang terikat pada tanahnya dan sepenuhnya merupakan pelayan bagi
tuannya, bahkan sampai memberikan para pengantin wanita untuk diperawani oleh
sang tuan.[6]
Kini, semua hal ini
dianggap sebagai barbar dan tidak bermoral, tapi institusi-institusi
kerja-upahan, di mana seorang manusia menjual dirinya sendiri secara borongan
kepada seorang pengusaha, yang menggunakan kemampuan bekerjanya sebagaimana
yang diinginkan si pengusaha itu, tidak pernah dipertanyakan. Bagaimanapun, ini
katanya adalah kerja bebas. Tidak seperti hamba atau budak, buruh dan pengusaha
tiba pada sebuah kesepakatan bersama atas kehendak bebas mereka sendiri. Tidak
ada yang mengharuskan seorang buruh untuk bekerja pada satu majikan tertentu.
Jika ia tidak menyukainya, ia boleh pergi dan mencari pekerjaan di tempat lain.
Lebih jauh lagi, dalam sebuah perekonomian pasar bebas, hukum berlaku sama dan
adil bagi semua orang. Penulis Prancis Anatole France menulis tentang
“kesetaraan megah dalam hukum, yang melarang semua orang, tidak peduli kaya
atau miskin, untuk tidur di bawah jembatan, untuk mengemis di jalanan, dan
untuk mencuri roti.”
Dalam masyarakat
modern, sebagai ganti bentuk penghisapan terbuka, kita mendapati sebuah
penghisapan yang tersembunyi, yang munafik, di mana hubungan riil antar manusia
diterjemahkan ke dalam hubungan antar benda – potongan kertas kecil yang
memberi pemegangnya kekuatan atas hidup dan matinya seseorang; yang dapat
membuat apa yang buruk menjadi indah, yang lemah menjadi kuat, yang bodoh
menjadi cerdas; yang tua menjadi muda.
Trotsky menulis bahwa
relasi uang telah tertanam dalam-dalam di kepala manusia sehingga kita
mengatakan bahwa orang itu berharga sekian juta dolar. Uang adalah alat ukur
tingkat keterasingan yang ada di dalam masyarakat masa kini sehingga pernyataan
seperti itu biasanya dianggap jamak. Maka juga tidak ada orang yang terkejut
ketika, sepanjang krisis moneter, berita-berita televisi berbicara tentang mata
uang layaknya seseorang yang sedang pulih dari sakit tertentu
(“Poundsterling/dolar/Deutschmark menguat sedikit hari ini....”). Manusia
dianggap sebagai benda, sementara benda, khususnya uang, dipandang dengan rasa
takjub yang penuh takhayul, yang mengingatkan kita pada sikap religius
orang-orang liar jaman dulu terhadap tiang pemujaan dan berhala-berhala mereka.
Alasan untuk pemberhalaan komoditi (“fetishism of commodities”) dijelaskan oleh
Marx dalam jilid pertama Capital.
Mencari-cari
moralitas mutlak telah terbukti menjadi kegiatan yang sia-sia. Di sini lagi,
hukum-hukum kekal logika tidak akan membantu kita sama sekali. Logika formal
mendasarkan dirinya pada satu antitesis yang kaku antara kebenaran dan
kekeliruan. Sebuah ide adalah benar atau keliru. Namun kebenaran, seperti yang
diungkapkan penyair Jerman Lessing, bukanlah seperti mata uang yang diedarkan
siap cetak dan dapat digunakan untuk setiap keadaan. Apa yang benar untuk satu
waktu dan di bawah himpunan keadaan tertentu dapat menjadi keliru di waktu dan
keadaan lain. Hal yang sama berlaku juga untuk konsep “baik” dan “buruk”. Apa
yang dianggap “baik” dan terpuji di dalam satu masyarakat dapat dianggap
menjijikkan di masyarakat lainnya. Lebih jauh lagi, dalam masyarakat tertentu,
konsep tentang apa yang baik dan buruk seringkali berubah-ubah menurut
keadaannya, dan menurut kepentingan dari satu kelas tertentu.
Jika kita
mengecualikan inses atau hubungan badan antara orang tua dan anak, yang
kelihatannya ditabukan dalam hampir tiap masyarakat, hanya sedikit saja
moralitas yang mutlak dan kekal.“Jangan mencuri” tidak terlalu masuk akal di
dalam masyarakat yang tidak berdasarkan kepemilikan pribadi. “Jangan berzina”
hanya memiliki makna dalam masyarakat di mana laki-laki mendominasi perempuan,
di mana laki-laki ingin menjamin bahwa kepemilikan pribadi akan diwariskan
melalui anak lelaki mereka. “Jangan membunuh” selalu disertai dengan berbagai
persyaratan sehingga dengan segera berubah menjadi sesuatu yang sangat berbeda,
bahkan bertentangan; contohnya, “jangan membunuh” kecuali untuk mempertahankan
diri; atau “jangan membunuh” kecuali orang itu berasal dari suku/bangsa/agama
yang lain.
Dalam tiap perang, para prajurit selalu diberkati terlebih
dahulu oleh para pemuka agama sebelum mereka maju bertempur untuk membantai
prajurit dari bangsa lain. Moralitas “jangan membunuh” yang absolut ini
tiba-tiba berubah menjadi relatif jika dihubungkan dengan pertimbangan lain,
yang pada pemeriksaan yang lebih teliti, ternyata berhubungan dengan kepentingan
ekonomi, teritorial, politik atau strategis dari negara-negara yang terlibat
dalam pertikaian itu. Kemunafikan dari semua ini ternyatakan dengan baik sekali
dalam bait singkat karya penyair agung Skotlandia Robert Burns, On
Thanksgiving For a National Victory:
“Ye hipocrites! are
these your pranks?
To murder men, and
give God thanks?
Desist for shame!
Proceed no further:
God won't accept your
thanks for Murther.”
[“Hai kamu
orang-orang munafik! apakah ini leluconmu?
Kamu membunuh orang,
dan berterimakasih pada Tuhan?
Hentikan demi rasa
malu! Jangan lebih jauh berjalan:
Tuhan tidak akan
menerima ucapan terimakasihmu untuk Pembunuhan.”]
Perang adalah sebuah
fakta kehidupan (dan juga kematian). Telah terdapat banyak sekali perang
sepanjang sejarah manusia. Fakta ini boleh dikutuk, tapi tidak dapat diabaikan.
Lebih jauh lagi, seluruh isu terpenting di antara bangsa-bangsa selalu
diselesaikan melalui perang. Pasifisme tidak pernah menjadi doktrin yang
disukai oleh pemerintah-pemerintah, kecuali sebagai taktik diplomasi, yang
tujuan satu-satunya adalah untuk menipu semua orang akan niat sejati dari
pemerintah yang diwakili sang diplomat. Inilah mengapa kita membayar para
diplomat itu. “Jangan bersaksi palsu” sama sekali tidak mereka pedulikan.
Seorang komandan militer yang tidak menggunakan segala yang ada dalam
kemampuannya untuk menipu musuhnya akan dianggap tolol, atau yang lebih buruk
daripada tolol. Namun demikian, di sini, kebohongan menjadi sesuatu yang
terpuji – sebuah kegemilangan militer. Seorang jenderal yang membuka rahasia
rencananya pada musuh akan ditembak selaku seorang pengkhianat. Seorang buruh
yang mengungkapkan rencana pemogokan pada pengusaha akan dianggap pengkhianat
pula oleh rekan-rekan kerjanya.
Dari beberapa contoh
sederhana ini, jelaslah bahwa moralitas bukanlah suatu abstraksi yang
supra-historis, melainkan sesuatu yang berevolusi secara historis, dan berubah
setiap waktu. Di Abad Pertengahan yang Gelap, Gereja Katolik Roma mengutuk riba
(bunga pinjaman) sebagai salah satu dosa maut. Kini Vatikan memiliki banknya
sendiri, dan mendapatkan banyak uang melalui bunga pinjaman. Dengan kata lain,
moralitas memiliki basis kelas. Ia mencerminkan nilai, kepentingan dan cara
pandang dari kelas sosial yang dominan. Tentu saja moralitas tidak akan dapat
berhasil memelihara tingkat kohesi sosial tertentu jika ia tidak diterima oleh
sebagian terbesar penduduk. Maka, ia harus menampakkan dirinya sebagai sesuatu
yang mutlak, sebagai kebenaran yang tak terbantahkan, yang bila dilanggar akan
membawa keruntuhan pada seluruh tatanan sosial.
Hanya sedikit saja
pemandangan yang lebih menjijikkan dari pada melihat para tuan nyonya kaya yang
terhormat memberi khotbah tentang pentingnya moralitas, agama, keluarga
berencana dan cara hidup hemat. Orang-orang ini, yang kerakusannya terwujud
tiap hari dalam kenaikan upah raksasa bagi para direktur, memberi khotbah
kepada kaum buruh tentang pentingnya semangat berkorban. Para spekulator itu,
yang tidak pernah ragu untuk menjatuhkan nilai mata uang negeri mereka sendiri
ke dalam kekacauan supaya dapat menggembungkan lebih jauh pundi-pundi mereka
yang telah bengkak itu, mengkhotbahi kita tentang pentingnya nilai-nilai
patriotisme. Bank-bank, pemerintah-pemerintah, dan perusahaan-perusahaan
multinasional itu, yang tanpa belas kasihan memeras kering rakyat di Afrika,
Asia dan Amerika Latin, melemparkan caci maki ketika mereka melihat kaum buruh
dan tani mengangkat senjata untuk mempertahankan hak-hak mereka. Mereka
berkhotbah tentang pentingnya perdamaian di dunia. Tapi tumpukan senjata
pembunuh di gudang mereka, yang mereka jual untuk mendapatkan keuntungan yang
gemuk menunjukkan bahwa pasifisme mereka sangat relatif sifatnya. Kekerasan
hanya dianggap kejahatan jika dilakukan oleh mereka yang miskin dan tertindas.
Seluruh sejarah menunjukkan bahwa kelas penguasa selalu mempertahankan
kekuasaan dan kedudukan istimewa mereka dengan jalan yang paling brutal, jika
dianggap perlu.
Keluarga, Ketertiban,
Kepemilikan Pribadi dan Agama selalu tertulis pada panji-panji kaum konservatif
pembela status quo. Namun, dari seluruh institusi yang kelihatannya kokoh ini,
hanya satu, kepemilikan pribadi, yang menjadi kepentingan sejati kelas
penguasa. Agama adalah, seperti yang dikatakan Rees-Mogg dengan terus terang,
adalah senjata yang diperlukan untuk menertibkan kaum miskin. Sebagian terbesar
dari anggota kelas penguasa tidak percaya barang satu patah kata pun tentang
agama. Mereka pergi ke Gereja seperti pergi menonton opera, untuk memamerkan
pakaian mereka yang terbaru. Pemahaman mereka tentang teologi sama kaburnya
dengan apresiasi mereka terhadap komposisi musik karya Richard Wagner, The Ring
Cycle. Dalam kehidupan pribadi mereka, kaum borjuasi hanya menunjukkan sedikit
kepedulian akan “hukum-hukum kekal moralitas”. Wabah skandal yang telah
mengguncang lembaga-lembaga politik di Italia, Prancis, Spanyol, Inggris,
Belgia, Jepang, dan Amerika Serikat adalah sekedar puncak gunung es. Namun
mereka tetap bersikeras berkhotbah mengenai “kebenaran moral yang kekal” dan
terkejut ketika mereka mendapati diri mereka ditertawakan orang.
Apakah ini berarti
bahwa moralitas tidak ada? Atau bahwa kaum Marxis tidak memiliki moralitas?
Salah besar. Moralitas ada dan memainkan peran dalam masyarakat. Tiap
masyarakat memiliki kode etiknya sendiri, yang berfungsi sebagai ikatan yang
kuat, selama kode etik inidiakui dan dihormati oleh sebagian terbesar anggota
komunitas. Pada akhirnya, moralitas yang berlakudan hukum-hukumyang berusaha
untuk mengimplementasikannya mendapatkan sokongan dari kekuatan negara, yang mencerminkan
kepentingan dari kelas atau kasta yang berkuasa, sekalipun hal itu dilakukan
dengan cara yang terselubung. Selama tatanan sosial ekonomi yang ada membawa
masyarakat melangkah ke depan, maka nilai, ide dan cara pandang dari lapisan
berkuasa diterima tanpa pertanyaan oleh sebagian terbesar anggota masyarakat.
Basis kelas dari moralitas dijelaskan oleh Trotsky:
“Kelas penguasa memaksakan tujuan-tujuannya kepada masyarakat,
dan membuat masyarakat itu menerima bahwa segala hal yang melawan tujuan-tujuan
itu sebagai sesuatu tidak bermoral. Inilah fungsi utama dari moralitas resmi,
yang bertujuan mewujudkan 'kebahagiaan terbesar' bukan bagi mayoritas melainkan
bagi minoritas yang kecil dan terus mengecil jumlahnya. Rejim semacam itu tidak
akan dapat bertahan barang seminggu sekalipun jika hanya mengandalkan kekuatan
kekerasan. Ia memerlukan semen moralitas.”[7]
Segelintir individu
yang berani mempertanyakan moralitas dicap sebagai kafir dan dieksekusi. Mereka
dianggap sebagai orang-orang yang “tidak bermoral” -- bukan karena mereka tidak
memiliki sudut pandang moral tertentu, melainkan karena mereka tidak mau tunduk
pada moralitas yang ada. Socrates dinyatakan sebagai orang yang berpengaruh
buruk pada kaum muda Athena, sebelum dipaksa meminum racun. Orang-orang Kristen
pertama didakwa melakukan segala macam tindak tak bermoral oleh negara
perbudakan yang mengeksekusi mereka tanpa ampun sebelum negara itu memutuskan
lebih baik mengakui agama baru ini, supaya dapat membujuk para pemimpin Gereja
ke dalam korupsi. Luther dinyatakan sebagai titisan setan, ketika ia menyerang
korupsi yang dilakukan oleh Gereja di abad pertengahan.
Kejahatan kaum Marxis
terletak pada keberanian mereka menunjukkan bahwa masyarakat kapitalis telah
memasuki pertentangan dengan kebutuhan-kebutuhan perkembangan sosial; bahwa ia
telah menjadi hambatan terhadap perkembangan umat manusia yang tak dapat lagi
ditolerir; bahwa ia dipenuhi dengan segala macam kontradiksi; bahwa ia telah
bangkrut secara ekonomi, politik, budaya dan moral; dan bahwa semakin lama
sistem ini bertahan semakin kita mempertaruhkan keselamatan dari seluruh planet
ini. Dari sudut pandang mereka-mereka yang memiliki dan mengendalikan kekayaan
masyarakat, ide-ide ini tentulah “buruk”. Dari sudut pandang apa yang
dibutuhkan untuk menemukan jalan keluar dari jalan buntu ini, ide-ide ini
tepat, perlu dan baik.
Krisis kapitalisme
yang berkepanjangan ini telah berakibat paling buruk pada moralitas dan
kebudayaan. Di mana-mana, gejala disintegrasi sosial nampak mencolok mata.
Keluarga borjuis sedang mengalami keruntuhan, tapi, karena tidak ada yang dapat
menggantikannya, hal ini kemudian malah membawa satu mimpi buruk kemiskinan dan
degradasi bagi berjuta keluarga miskin. Kota-kota Amerika Serikat dan Eropa
yang sedang membusuk, dengan kantung-kantung pengangguran dan kemiskinannya,
adalah ladang subur untuk penyalahgunaan narkoba, kejahatan dan segala macam
mimpi buruk lainnya.
Dalam masyarakat
kapitalis, orang dianggap sebagai komoditi yang dapat dibuang sesudah tidak
dibutuhkan lagi. Barang yang tidak dapat dijual dibiarkan di gudang sampai
membusuk. Mengapa manusia harus diperlakukan berbeda? Cuma, halnya tidak
demikian sederhana dengan manusia. Mereka tidak dapat dibiarkan kelaparan dan
meninggal dalam jumlah besar, karena penguasa takut akan konsekuensi sosialnya.
Jadi, dalam kontradiksi puncak kapitalisme, kaum borjuis terpaksa memberi makan
para pengangguran, bukannya diberi makan oleh mereka. Sebuah keadaan yang
benar-benar gila, di mana laki-laki dan perempuan ingin bekerja, untuk menambah
kekayaan masyarakat, dan dihalangi bekerja oleh “hukum-hukum pasar”.
Ini adalah masyarakat
yang sangat tidak berperikemanusiaan, di mana manusia dianggap lebih rendah
daripada benda. Apakah mengherankan bahwa beberapa di antara orang-orang ini
berlaku seperti bukan manusia? Tiap hari koran-koran tabloid dipenuhi dengan
cerita-cerita horor tentang pelecehan yang mengerikan yang dilakukan terhadap
mereka yang paling lemah, lapisan masyarakat yang paling tak berdaya
--perempuan, anak-anak, orang-orang tua. Inilah barometer yang paling akurat
untuk mengukur keadaan moral masyarakat. Hukum kadangkala menghukum
pelanggaran-pelanggaran ini, sekalipun secara umum kejahatan terhadap properti
(besar) diselidiki secara lebih bersemangat oleh polisi ketimbang kejahatan
terhadap orang. Tapi, dalam semua kasus, akar sosial mendasar dari kejahatan
selalu berada di luar jangkauan pengadilan dan kepolisian. Pengangguran
merupakan induk dari segala jenis kejahatan. Tapi, masih ada faktor-faktor lain
yang lebih halus dan tak kasat mata.
Budaya egoisme, keserakahan dan ketidakpedulian terhadap
kesengsaraan sesama telah berkembang biak dengan pesat, khususnya dalam dua
dasawarsa terakhir, ketika budaya ini diberi tanda tangan persetujuan oleh
Reagan dan Thatcher. Inilah wajah sejati dari kapitalisme, lebih tepatnya,
wajah sejati dari kapital monopoli dan finans –yang tanpa belas-kasihan, kasar,
rakus, dan kejam. Inilah kapitalisme di masa uzurnya, yang terus berusaha
memulihkan kebugaran masa mudanya. Inilah kapitalisme parasit, dengan
kecenderungan melakukan spekulasi keuangan dan moneter, bukannya memproduksi
kekayaan yang sebenarnya. Ia lebih menyukai “jasa” daripada industri. Ia
menutup pabrik-pabrik seperti kotak korek api, dan dengan keji menghancurkan
seluruh komunitas dan industri, dan menganjurkan agar para penambang dan
pekerja logam untuk mencari kerja di restoran hamburger. Ini adalah ujaran
“Biarlah mereka makan kue” pada abad ke-20.[8]
Agak terpisah dari
konsekuensi sosial-ekonomi mengerikan dari doktrin ini, ia juga menyebar racun
moral yang mematikan ke seluruh bangunan masyarakat. Orang yang menganggur
dihadapkan dengan sebuah pertunjukkan “masyarakat konsumerisme”, di mana
pencarian dan pembelanjaan uang disajikan sebagai satu-satunya aktivitas yang
layak dikerjakan. Orang-orang yang dijadikan teladan dalam masyarakat ini
adalah orang-orang yang gemar menyingkirkan sesamanya, orang-orang yang kaya
dengan cepat, yang siap menghalalkan segala cara untuk “maju”. Inilah wajah
sejati dari “pasar bebas”, seorang avonturis yang tidak punya prinsip, yang
licik dan suka menipu, picik dan dungu, preman berjas mahal, yang merupakan personifikasi
dari kerakusan dan keegoisan. Inilah orang-orang yang bertepuk tangan melihat
penutupan sekolah dan rumah sakit, pemotongan dana pensiun dan
pengeluaran-pengeluaran lainnya“yang tidak mendatangkan keuntungan”, sementara
mereka menumpuk tinggi laba hanya dengan mengangkat telepon, tanpa pernah
menghasilkan sesuatupun untuk kesejahteraan seluruh masyarakat.
Seringkali dinyatakan
bahwa orang “secara alamiah” bertindak menurut kepentingannya sendiri. Ini
kemudian diartikan dengan cara yang sempit, sebagai egoisme personal.
Pengertian semacam itu jelas sesuai dengan para pembela tatanan sosial-ekonomi
yang sekarang, di mana kerakusan dan pengejaran kepentingan diri
sendiridiangkat tinggi sebagai prinsip moral yang mulia, yang sejajar dengan
perwujudan “kebebasan pribadi”. Jika demikian halnya, masyarakat manusia tidak
akan pernah berkembang. Kata “kepentingan” [interest] itu sendiri datang dari
kata Latin “inter-esse” yang berarti “berpartisipasi”. Seluruh basis dari
evolusi moral dan kecerdasan seorang anak adalah pergerakan menjauhi “egoisme”
dan menuju rasa yang lebih peka atas kebutuhan dan keperluan orang lain.
Masyarakat manusia didasarkan pada keperluan untuk produksi sosial, kerja sama
dan komunikasi.
Kebuntuan kapitalisme mengancam mendorong kebudayaan manusia
kembali pada tingkat kanak-kanak, dalam maknanya yang terburuk – seperti
seorang uzur kembali ke mentalitas anak kecil. Sebuah masyarakat yang
teratomisasi, yang mementingkan diri sendiri tanpa visi, tanpa moralitas, tanpa
filsafat, tanpa jiwa, sebuah masyarakat yang “sans teeth, sans eyes, sans
taste, sans everything”.[9]
Kemungkinan yang Tak Terbatas
Setiap sistem sosial
membayangkan bahwa dialah yang merupakan sistem paling pamungkas dalam
perkembangan sejarah. Semua sejarah yang sebelumnya dianggap hanya merupakan
satu persiapan bagi metode produksi mereka, dan semua bentuk kepemilikan yang
legal, sistem moral, agama dan filsafat yang menyertainya. Namun tiap sistem
masyarakat hanya ada sampai tingkat di mana ia menunjukkan kemampuannyauntuk
memenuhi kebutuhan populasi, dan memberikan harapan bagi masa depan. Ketika ia
gagal melakukan itu, ia memasuki sebuah proses yang tak dapat dibalik, proses
kemunduran, bukan hanya secara ekonomi, tapi juga moral, kebudayaan dan dalam
tiap aspeknya. Masyarakat seperti itu sudah mati, sekalipun para pembelanya
menolak mengakui hal itu.
Sejalan dengan semakin mendekatnya akhir abad ke-20, terdapat
satu perasaan keletihan dan kehabisan tenaga yang jelas dan merasuk ke
mana-mana di dalam masyarakat kapitalis. Seakan-akan cara hidup yang lama telah
menjadi tua dan membusuk. Ini bukanlah apa yang oleh para penulis dirujuk
sebagai mal du siecle, atau penyakit abad. Ia adalah sebuah
kesadaran samar bahwa “ekonomi pasar” telah mencapai batasnya. Namun, sekalipun
sebuah bentuk masyarakat tertentu telah hidup lebih lama dari seharusnya, ini
tidak berarti bahwa perkembangan umat manusia juga terbatas. Sejarah bukan saja
belum berakhir. Sejarah malah belum dimulai. Jika kita melihat sejarah sebagai
sebuah kalender di mana 1 Januari merupakan awal terbentuknya bumi dan 31
Desember merupakan hari ini, dengan mengambil pembulatan usia bumi 5 miliar
tahun, tiap detik akan merupakan 167 tahun, tiap menit 10.000 tahun. Jaman
Kambrium Bawah akan dimulai tanggal 18 November. Manusia muncul sekitar pukul
11.50 malam pada tanggal 31 Desember. Seluruh sejarah manusia yang tercatat
akan jatuh pada empatpuluh detik terakhir menjelang tengah malam.
Ilya Prigogine telah
dengan bijak berkomentar bahwa “Pemahaman ilmiah tentang dunia di sekeliling
kita baru saja dimulai.” Peradaban manusia, yang bagi kita terlihat sangat tua,
sesungguhnya masih sangat muda. Pada kenyataannya, peradaban yang sejati, dalam
makna sebuah masyarakat di mana manusia dengan sadar mengendalikan hidupnya
sendiri, dan sanggup hidup dalam satu keberadaan yang sepenuhnya manusiawi, dan
bukannya satu perjuangan saling memangsa yang hewani, belum dimulai sama
sekali. Yang kita lihat sekarang adalah sebuah bentuk masyarakat tertentu yang
telah menjadi tua dan lelah. Ia bertahan untuk tetap hidup, sekalipun ia tidak
memiliki apapun lagi untuk ditawarkan. Pesimisme tentang masa depan, yang
tercampur dengan takhayul dan harapan Penyelamatan yang utopis, merupakan ciri
khusus bagi periode semacam itu.
Di tahun 1972, Club of Rome menerbitkan sebuah laporan yang
suram, yang berjudul The Limits of Growth yang
meramalkan bahwa pasokan bahan bakar fosil dunia akan habis dalam beberapa
dasawarsa. Laporan inimenyebabkan kepanikan, melambungnya harga minyak dunia,
dan pencarian sumber energi alternatif seperti orang gila. Lebih dari duapuluh
tahun kemudian, tidak ada kelangkaan minyak atau gas, dan hanya sedikit saja
orang yang sekarang mau repot-repot mencari energi alternatif. Rabun jauh macam
ini adalah salah satu ciri kapitalisme, yang dimotivasi oleh pencarian
keuntungan jangka pendek. Tiap orang tahu bahwa cepat atau lambat pasokan bahan
bakar fosil akan habis. Kita membutuhkan sebuah rencana jangka panjang untuk
menemukan energi alternatif yang murah dan ramah lingkungan.
Alam menyediakan
sumber energi yang tak berbatas -- matahari, angin, laut, dan di atas
segalanya, materi itu sendiri, yang mengandung energi raksasa yang belum
termanfaatkan. Fusi nuklir (bukan seperti fisi nuklir) menyediakan satu potensi
untuk energi yang murah, ramah lingkungan dan tak berbatas. Tapi perkembangan
bahan bakar alternatif tidaklah sesuai dengan kepentingan perusahaan monopoli
minyak. Di sini lagi, kepemilikan pribadi atas alat produksi bertindak sebagai
penghalang raksasa bagi perkembangan umat manusia. Masa depan planet ini hanya
nomor sekian dibandingkan kepentingan segelintir orang untuk menjadi kaya.
Solusi untuk
masalah-masalah mendesak yang dihadapi dunia ini hanya dapat ditemui di dalam
sebuah sistem ekonomi yang berada di bawah kendali rakyat secara sadar.
Masalahnya bukanlah bahwa ada satu batas inheren bagi perkembangan. Masalahnya
terletak pada sistem produksi yang kuno dan usang, yang menyia-nyiakan hidup
manusia dan sumberdaya alam, yang merusak lingkungan dan mencegah potensi ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk berkembang sepenuhnya. “Tidak ada satu hubungan
antara ilmu pengetahuan dan kesempatan bisnis,” seorang komentator menulis
baru-baru ini, “teori relativitas umum masih harus diubah menjadi sumber
penghasil uang.” (The Economist, 25 Februari 1995.)
Namun, bahkan pada
saat ini, kemungkinan-kemungkinan yang terkandung dalam teknologi tetaplah menakjubkan.
Inovasi teknologi telah membuka pintu ke revolusi kebudayaan yang sejati.
Televisi interaktif kini sudah menjadi sesuatu yang mungkin. Kemungkinan untuk
berpartisipasi aktif dalam pengembangan program televisi memiliki potensi yang
amat besar, jauh lebih besar dari sekedar menentukan program mana yang ingin
kita tonton. Ia membuka pintu ke partisipasi demokratik dalam menjalankan
masyarakat dan perekonomian, dengan cara yang sebelumnya tampak hanya seperti
mimpi.
Kelahiran kapitalisme
dicirikan oleh keruntuhan hubungan-hubungan parokial lama, dan kelahiran
negara-bangsa. Kini pertumbuhan kekuatan produktif, ilmu dan teknologi telah
membuat negara-bangsa itu sendiri menjadi suatu yang tidak lagi dibutuhkan.
Seperti yang telah diramalkan Marx, negara-bangsa yang paling besar sekalipun
diwajibkan untuk turut serta dalam pasar dunia. Nasionalisme lama telah menjadi
sesuatu yang mustahil.
Back to the Future?
Manusia-manusia awal
terikat sangat erat dengan alam. Ikatan ini secara bertahap dipatahkan oleh
perkembangan kehidupan perkotaan, dan divisi antara kota dan desa, yang telah
mencapai proporsi yang mengerikan di bawah kapitalisme. Perceraian antara
manusia dan alam telah menciptakan dunia keterasingan yang tidak alamiah.
Sebuah manifestasi lebih jauh dari keterasingan ini adalah perceraian
sepenuhnya antara kerja mental dan fisik, apartheid sosial yang tidak sehat
yang memisahkan kasta pendeta modern yang menguasai ilmu pengetahuan dari
“mereka-mereka yang membelah kayu dan memanggul air.” Itu bukan sekedar
pengasingan manusia dari alam. Ini adalah pengasingan umat manusia dari dirinya
sendiri. Untuk keluar dari kondisi ketergantungan sepenuhnya atas alam, untuk
mengangkat diri keluar dari kubangan keberadaan hewani, untuk meraih kesadaran
-- inilah yang membuat kita menjadi manusia. Tapi pencapaian inipun telah
hilang dari genggaman kita, dan semakin hilang seiring berjalannya waktu.
Proses ini telah berjalan demikian jauh sehingga ia telah berubah menjadi
kebalikannya. Sejalan dengan bertambah besarnya kota, semakin padat dan
berpolusi, sebuah mimpi buruk sedang diciptakan. Dalam beberapa dasawarsa
mendatang, Shanghai sendirian akan memiliki jumlah penduduk melebihi Inggris
Raya. Perumahan yang buruk, kejahatan, narkoba dan sebuah proses dehumanisasi
dihadapi oleh jutaan orang menjelang abad ke-21.
Karakter“peradaban”
yang sepihak dan artifisial ini menjadi semakin menekan, bahkan bagi mereka
yang tidak menderita kondisi yang terburuk. Kerinduan akan bentuk-bentuk
kehidupan yang lebih bersahaja, di mana manusia dapat hidup dengan lebih alami,
bebas dari segala tekanan persaingan dan konflik mewujud dalam kecenderungan di
kalangan muda untuk “drop out” (keluar) dari masyarakat, dalam upaya untuk
menemukan kembali surga yang hilang itu. Ada satu kesalahpahaman di sini.
Pertama-tama, kehidupan orang-orang primitif tidaklah sesantai seperti yang
dibayangkan. “Orang barbar yang mulia” selalu menjadi fiksi dari
penulis-penulis Romantik, yang sama sekali tidak ada kemiripannya dengan
kenyataan. Nenek moyang kita sangat dekat dengan alam, hanya karena mereka
adalah budak dari alam.
Namun demikian, ada
sisi lain dari sini. Orang-orang “primitif” ini hidup cukup bahagia tanpa harus
membayar sewa, bunga dan mencari keuntungan. Perempuan tidaklah dianggap
sebagai milik pribadi tapi menempati kedudukan yang terhormat dalam masyarakat.
Uang tidak dikenal. Demikian pula dengan negara, dengan birokrasinya yang
mengerikan itu, dan badan khusus orang-orang bersenjata, polisi, sipir dan para
hakim. Dalam komunisme kesukuan primitif, tidak ada negara dalam makna sebuah
alat pemaksa, aparatus penindas. Yang ada adalah para tetua yang dihormati
semua orang, dan kata-kata mereka adalah hukum. Kemudian, para kepala suku
berkuasa karena ia dihormati secara sukarela oleh seluruh komunitas. Pemaksaan
tidaklah diperlukan, karena semua orang memiliki kepentingan yang sama. Inilah
basis bagi ikatan sosial untuk kerja sama dan persatuan. Tidak satupun penguasa
modern yang akan pernah mencicipi penghormatan yang dinikmati oleh para kepala
suku kuno, yang dijamin oleh sebuah perasaan identitas dan kewajiban bersama,
yang “dikodifikasi” dalam tradisi oral sebagai legenda kesukuan, yang dikenal
oleh semua orang dan diterima secara universal. Rasa hormat ini pastilah hampir
mirip dengan perasaan yang dimiliki seorang anak terhadap orang tuanya.
Dalam jaman
yang katanya jaman pencerahan ini, banyak orang, termasuk mereka yang suka
berpikir bahwa dirinya terpelajar, berpikir bahwa manusia tidak mungkin bisa
bekerja sama tanpa uang, polisi, penjara, tentara, pedagang, pemungut pajak,
hakim dan para uskup. Dan kalaupun mereka bisa hidup tanpa semua ini, mereka
dicibir sebagai“primitif” karena mereka belum menyadari manfaat-manfaat dari
lembaga-lembaga ini bagi umat manusia.
Setiap orang yang
pernah melihat film tentang suku-suku yang sampai sekarang masih hidup dalam
peradaban jaman batu di hutan Amazon tidak mungkin tidak terkesan oleh
kealamiahan dan spontanitas mereka, yang mirip anak-anak, sebelum ini
dihancurkan oleh kehidupan kapitalisme yang penuh persaingan dan perlombaan.
Dalam Injil Matius, Yesus mengatakan, “Sesungguhnya, jika kamu tidak bertobat
dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan
Surga” (Pasal 18:3). Dalam proses pertumbuhan, sesuatu yang penting hilang,
yang tidak akan pernah didapatkan lagi. Inilah runtuhnya keluguan, yang dalam
kitab Kejadian digambarkan dengan kisah manusia memperoleh pengetahuan.
Masyarakat modern tidak akan pernah dapat kembali ke komunisme kesukuan
primitif, seperti seorang dewasa tidak akan menjadi kanak-kanak lagi.
Adalah satu hal yang
dianggap tidak alami dan tidak sehat bagi seorang dewasa untuk berkeinginan
kembali ke masa kanak-kanaknya. Bagaimanapun juga, ini adalah keinginan yang
sia-sia, karena mustahil. Tapi seiring dengan keluguannya, seorang anak kecil
juga memiliki kualitas-kualitas lain -- kegembiraan yang spontan dan
kealamiahan, yang merupakan sesuatu yang asing bagi orang dewasa. Hal yang sama
terjadi juga pada orang-orang “primitif”, sebelum datangnya masyarakat kelas,
sebelum pembagian kerja yang sepihak dan mencekik ini memuntir watak manusia.
Artis modern mana yang sanggup menghasilkan lukisan yang memiliki keakraban dan
keindahan alami demikian mengagumkan seperti yang dibuat oleh para pelukis gua
di Lascaux dan Altamira?
Kita tidak ingin
mundur ke belakang, tapi maju ke depan. Kita tidak ingin kembali ke komunisme
kesukuan yang primitif, tapi maju ke masa depan persemakmuran sosialis dunia.
Negasi atas negasi membawa kita kembali ke titik awal perkembangan umat
manusia, tapi hanya di kulit luarnya saja. Sosialisme di masa depan akan
mendasarkan dirinya pada semua penemuan menakjubkan yang sudah dibuat di masa
lalu dan kini, dan menggunakannya untuk kepentingan umat manusia. Seperti kata
Hegel, “yang universal, namun dipenuhi dengan kekayaan partikular.”
Marx menulis:
“Seorang manusia dewasa tidak dapat menjadi anak kecil lagi,
atau dia akan menjadi kekanak-kanakan. Tapi apakah ia tidak menemukan
kegembiraan dalam kenaifan seorang anak, dan apakah ia sendiri tidak harus
berusaha menghasilkan kembali kegembiraan itu pada tingkat yang lebih tinggi?
Apakah ciri sejati dari tiap epos tidak hidup dalam sifat kanak-kanak yang
hidup di jamannya? Mengapa masa kanak-kanak dari sejarah manusia, masa
perkembangannya yang paling indah itu, sebagai satu tahap yang tidak mungkin
kembali,tidak boleh menimbulkan rasa kagum yang kekal? Ada kanak-kanak yang
masih liar dan ada kanak-kanak yang telah berkembang sepenuhnya. Banyak orang
yang sudah berusia lanjut termasuk kategori ini. Orang-orang Yunani adalah
kanak-kanak yang normal. Pesona seni mereka bagi kita tidaklah berkontradiksi
dengan tahapan masyarakat mereka yang belum berkembang itu di mana seni itu
tumbuh. Seni itu justru adalah hasil dari tahapan masyarakat tersebut, dan
terikat erat dengan fakta bahwa kondisi-kondisi sosial yang belum matang dari
mana ia tumbuh besar, dan hanya dapat tumbuh di bawah kondisi-kondisi tersebut,
tidak akan pernah kembali lagi.”[10]
Sosialisme dan Estetika
Di masyarakat masa
kini, arsitektur berada dalam hubungan yang buruk dengan seni. Orang terbiasa
hidup dalam lingkungan yang buruk, perumahan yang buruk, dalam kota yang padat,
dikepung oleh kebisingan dan polusi. Di akhir pekan, beberapa dari mereka pergi
ke balai seni, di mana, untuk beberapa jam, mereka dapat mengagumi
lukisan-lukisan yang tergantung di dinding -- pulau keindahan di tengah lautan
kejelekan yang menyesakkan. Dengan demikian, keindahan dipisahkan dari
kehidupan, sebuah mimpi yang tak mungkin terwujud, sebuah fiksi, sama jauhnya
dari kenyataan dengan galaksi yang terjauh dari bumi. Demikian jauhnya ia telah
terpisah dari kehidupan sehingga banyak orang menganggapnya sesuatu yang tidak
relevan dan tidak berguna. Rasa benci terhadap seni, yang dilihat sebagai hak
istimewa dari kelas menengah, adalah konsekuensi lebih jauh dari pembagian ekstrem
antara kerja mental dan kerja fisik. Kondisi yang barbar melahirkan sikap yang
barbar.
Keadaannya tidaklah
selalu demikian. Dalam masyarakat manusia yang awal, musik, puisi yang epik dan
perbincangan yang halus merupakan milik bersama dari semua laki-laki dan
perempuan. Monopoli atas kebudayaan oleh minoritas kecil adalah produk dari
masyarakat kelas, yang melucuti mayoritas rakyat, tidak hanya dari properti,
tetapi juga dari hak untuk mengembangkan pikiran dan kepribadian mereka secara
bebas. Namun, jika kita berhenti dan berpikir tentang apa yang ada di balik
permukaan ini, kita akan menemukan keinginan yang kuat untuk belajar, untuk
mengalami ide-ide baru, untuk mencari cakrawala yang lebih luas. Kehausan massa
akan budaya, yang tertindas jauh di bawah kondisi “normal”, muncul ke permukaan
dalam tiap revolusi.
Revolusi Rusia 1917,
yang katanya merupakan tindakan yang barbar, pada kenyataannya merupakan satu
titik awal bagi lompatan besar dalam kebudayaan, puisi, seni dan musik. Hal ini
tidak dapat disangkal sekalipun perkembangan budaya ini kemudian diinjak-injak
di bawah sepatu lars Stalinisme. Dalam Revolusi Spanyol 1931-37, juga ada
pencerahan seni yang serupa -- puisi-puisi Lorca, Machado, Alberti dan di atas
semuanya, Miguel Hernandez, diilhami oleh perjuangan itu, dan pada gilirannya
didengarkan dengan begitu khidmat oleh jutaan orang yang sebelumnya tidak
memiliki akses pada dunia seni dan budaya yang indah gilang-gemilang itu.
Dalam sebuah
revolusi, rakyat jelata mulai melihat diri mereka sendiri sebagai manusia,
sanggup mengendalikan takdir mereka sendiri, bukan sekedar “alat yang dapat
berbicara”. Dengan kemanusiaan yang sejati muncullah harga diri; satu rasa
penghormatan terhadap diri sendiri dan rekannya yang setia, penghormatan
terhadap orang lain. Para pelayan menempelkan catatan di restoran-restoran
Barcelona di tahun 1936, yang menyatakan: “Hanya karena seseorang harus bekerja
di sini, itu tidak berarti Anda harus menghinanya dengan menawarkan tips.”
Inilah kelahiran kebudayaan -- kebudayaan manusia yang sejati, yang merupakan
bagian dari hidup itu sendiri. Fenomena yang sama, dalam bentuk benih, dapat
terlihat dalam berbagai pemogokan, di mana para pemogok mengungkapkan
kualitas-kualitas yang sebelumnya mereka kira tidak pernah mereka miliki dan
tidak akan pernah dapat mereka miliki. Tentu, jika gerakan itu tidak membawa
satu perubahan yang menyeluruh dalam masyarakat, beban berat dari kebiasaan dan
rutinitas akan sekali lagi mendominasi. Kondisi material menentukan kesadaran.
Namun, sebuah masyarakat sosialis yang berdasarkan teknologi dan budaya tinggi
akan sepenuhnya mengubah cara pandang orang.
Seringkali dikatakan
oleh para ahli logika dan matematika bahwa simetri sempurna yang mereka kagumi
mengandung sebuah nilai estetik yang intrinsik. Beberapa orang bahkan melangkah
demikian jauh dengan mengklaim bahwa hal yang paling penting dari sebuah
persamaan matematika bukanlah apakah mereka menggambarkan realitas, tapi apakah
mereka tampak indah. Walaupun tidak akan ada yang menyangkal bahwa simetri
adalah indah, tapi ada simetri dan ada“simetri”. Bangunan-bangunan Athena
klasik yang harmonis dianggap banyak orang sebagai titik tinggi dalam sejarah
arsitektur. Tentu di sini terdapat sebuah simetri yang menyenangkan di sini,
dan satu simetri yang mengingatkan kita pada hubungan linear geometri Euclides.
Makna penting arsitektur di Athena pada jaman Pericles adalah satu ekspresi
grafik dari cara pandang demokrasi Athena yang bersemangat publik (yang
didasarkan, tentu saja, pada kerja kaum budak, yang sepenuhnya berada di luar
demokrasi itu). Bangunan-bangunan besar di Acropolis dan Athena, tanpa kecuali,
adalah bangunan umum, bukan kediaman pribadi. Di jaman kita sekarang, kemegahan
semacam itu sangatlah jarang terdapat. Prioritas rendah yang diberikan pada
arsitektur dibandingkan dengan seni lain bukanlah satu kebetulan.
Atas nama “nilai
guna”, yang merupakan sinonim sopan untuk penghematan uang, manusia dipaksa
untuk hidup dalam kotak-kotak beton yang menjulang tinggi, yang tidak memiliki
nilai artistik atau kehangatan manusiawi sama sekali. Bangunan-bangunan buruk
rupa ini didesain oleh para arsitek, yang diilhami oleh prinsip-prinsip
geometris. Namun mereka sendiri lebih suka tinggal di vila mereka di luar kota,
yang didesain ala abad ke-15, jauh dari mimpi buruk perkotaan yang mereka
ciptakan sendiri. Manusia pada umumnya tidak suka hidup dalam kotak-kotak. Dan
alam mengenal simetri yang sama sekali bukan berbentuk garis lurus atau
lingkaran-lingkaran sempurna.
Semua itu hanyalah
sisi lain darikekosongan mekanik dari jalur produksi di pabrik, di mana,
mengutip Marx, manusia diperlakukan sebagai sekedar aksesori mesin. Dari logika
yang sama maka manusia dijejal saja untuk hidup bersesakan di dalam kotak-kotak
beton yang dibangun dengan prinsip-prinsip “industrial” yang sama, dan mengapa
tidak? Reduksionisme yang sama keringnya, formalisme yang sama kosongnya,
pendekatan yang sama linearnya telah menjadi watak arsitektur di abad ini. Di
sini keterasingan dalam masyarakat kapitalis lanjut mewujudkan dirinya dalam
perlakuan yang tidak-peka terhadap kebutuhan manusia yang paling dasar, yakni
kebutuhannya untuk hidup di lingkungan yang bersih, indah dan sepenuhnya
manusiawi. Ketika hidup ini telah dilucuti dari seluruh kemanusiaannya, ketika
ia dibuat tidak alamiah dengan seribu satu macam cara, bagaimana mungkin kita
terkejut ketika beberapa produk dari apa-yang-disebut peradaban ini mengadopsi
tingkah laku yang tidak alamiah dan tidak manusiawi?
Di sini juga, kita
menyaksikan pemberontakan terhadap konformisme dan kekakuan yang tidak berjiwa
ini. Gedung-gedung tinggi dan pencakar langit yang menjulang itu, yang dengan
tepat digambarkan oleh seorang penulis Inggris sebagai “menara kebodohan yang
telanjang”, semakin hari semakin tak disukai. Dan tidak mengherankan. Itu semua
adalah monumen atas keterasingan pada skala yang masif, satu kemerosotan
progresif ke dalam kondisi hidup yang tidak manusiawi, yang melahirkan segala
macam kengerian dari rahimnya.
Fisikawan Jerman Gert
Ellenberger bertanya,
“Mengapa siluet dari
sebuah pohon yang telah dirontokkan oleh badai, dengan latar belakang langit
malam di musim dingin, dianggap sebagai satu keindahan, tapi siluet dari sebuah
gedung universitas serba-guna tidak, bagaimanapun kerasnya para arsiteknya
berusaha? Jawabannya kelihatannya bagi saya, bahkan jika kedengarannya agak
spekulatif, dapat ditemukan pada pemahaman baru kita tentang sistem-sistem
dinamis. Cita rasa kita diilhami oleh aransemen keteraturan dan
ketidakteraturan yang harmonis seperti yang terdapat dalam objek-objek alamiah
-- awan, pepohonan, pegunungan atau kristal salju, dan kombinasi tertentu dari
keteraturan dan ketidakteraturan adalah sesuatu yang tipikal bagi mereka.”
Seperti yang diamati
dengan tepat oleh James Gleick,
“Bentuk-bentuk yang sederhana tidaklah manusiawi. Mereka tidak
akan sesuai dengan cara alam mengorganisir diri mereka, atau dengan cara
manusia melihat dunia.”[11]
Jauh-jauh hari Karl
Marx telah menunjukkan konsekuensi berbahaya dari pemisahan kerja yang ekstrem
antara kota dan desa. Ini bukan masalah “kembali ke alam”, seperti yang
dianjurkan oleh beberapa ahli ekologi, yang bermimpi melarikan diri dari
keburukrupaan masa kini dengan melarikan diri ke dalam apa yang disebut pesona
surga pedesaan dari sebuah masa lalu yang mistik. Kita tidak mungkin kembali ke
sana. Ini bukan persoalan menyangkal teknologi, tapi perjuangan melawan
penyalahgunaan teknologi demi keuntungan pribadi, yang menghancurkan lingkungan
dan menciptakan neraka di dunia, di mana seharusnya sebuah surga ada di sana.
Inilah tugas sentral yang dihadapi umat manusia dalam dasawarsa terakhir abad
ke-20 ini.
“Pemikir” dan “Pekerja”
“Nec manus, nisi
intellectus, sibi permissus, multum valent.” (Baik tangan, maupun nalar, jika
dipisahkan satu sama lain, tidak akan bernilai apa-apa.)- Francis Bacon.
Perceraian total
antara teori dan praktek di masyarakat hari ini telah menjadi sangat berbahaya.
“Teori-teori” yang semakin hari semakin fantastis, yang diedarkan oleh beberapa
ahli kosmologi dan fisikawan teoritik tertentu, jelas merupakan konsekuensi
dari fakta ini. Setelah dibebaskan dari keharusan untuk melengkapi teori mereka
dengan bukti-bukti konkret, dan semakin bersandar pada persamaan-persamaan yang
rumit dan interpretasi-interpretasi kaku dari teori relativitas, hasil dari
pemikiran yang sepenuhnya spekulatif ini semakin hari semakin aneh.
Telah tiba waktunya
untuk memeriksa kembali seluruh sistem pendidikan, dan sistem masyarakat kelas
yang menjadi fondasinya. Telah tiba waktunya untuk menimbang kembali kesahihan
dari pembagian umat manusia menjadi “pemikir” dan “pekerja”, bukan dari sudut
pandang keadilan moral yang abstrak, melainkan karena ia kini telah menjadi
penghalang bagi perkembangan kebudayaan dan masyarakat. Perkembangan umat
manusia di masa datang tidak dapat didasarkan pada pembagian kaku macam ini.
Teknologi baru yang kompleks menuntut satu angkatan kerja yang terdidik, yang
mampu melakukan pendekatan yang kreatif. Ini tidak akan pernah tercapai dalam
masyarakat yang terpecah di tengah oleh apartheid kelas. Dalam sebuah kutipan
yang sangat perseptif, Margaret Donaldson menunjukkan situasi yang tidak
memuaskan yang ada di universitas-universitas kita saat ini:
“Lihatlah fakultas
teknik di universitas kita. Mereka mengajarkan matematika dan fisika, dan
mereka memang harus mengajarkan itu. Tapi mereka tidak mengajarkan orang untuk
membuat sesuatu. Anda dapat lulus dari teknik mesin tanpa pernah menggunakan
mesin bor. Hal-hal ini hanya dianggap cocok untuk para teknisi. Dan bagi
kebanyakan dari mereka, di pihak lain, matematika dan fisika yang lebih tinggi
dari level dasar biasanya jauh dari jangkauan.”
Filsuf dan ahli pendidikan Inggris Alfred North Whitehead sangat
khawatir dengan situasi macam ini, dan, dalam artikelnya Technical
Education and its Relation to Science and Literature, menulis bahwa
“dalam mengajar, Anda akan gagal kalau Anda melupakan bahwa murid-murid Anda
memiliki tubuh,” dan menambahkan: “Sudah tidak perlu lagi diperdebatkan apakah
tangan manusia yang menciptakan otak, atau otak yang menciptakan tangan. Yang
jelas hubungannya sangat erat dan dua arah.”
Donaldson dengan
tepat menunjukkan bahwa, walaupun pemikiran abstrak (ia menyebutnya “pemikiran
tanpa tubuh”) menuntut kemampuan untuk keluar dari kehidupan, ia akan
membuahkan hasil terbaik jika dikaitkan dengan pekerjaan. Seluruh sejarah
Pencerahan adalah bukti dari pernyataan ini. Benar, bidang-bidang ilmu
pengetahuan modern telah berkembang jauh lebih luas daripada apa yang ada masa
itu, tapi apakah itu berarti bahwa mustahil bagi para ilmuwan untuk belajar
dari disiplin yang lain? Ketimbang disebabkan oleh semakin rumitnya subjek
penelitian, situasi apartheid intelektual yang ada sekarang merupakan hasil
dari bagaimana masyarakat hari ini disusun, dan sikap, prasangka, dan
kepentingan material yang mengalir dari susunan itu, yang berusaha dengan
segala cara untuk mempertahankan dirinya.
Kaum reaksioner
berusaha membenarkan keadaan hari ini dengan determinisme genetik: jika
beberapa dari “kami” pintar, dan memiliki pekerjaan yang baik dan gaji yang
tinggi, itu karena kami dilahirkan di bawah bintang keberuntungan (baca:
“dengan gen-gen yang tepat”). Fakta bahwa sebagian besar umat manusia tidaklah
sedemikian beruntung pastilah karena ada sesuatu yang salah dengan gen-gen
mereka. Menjawab sampah ini, Donaldson menulis:
“Apakah hanya beberapa dari kita yang mampu bergerak keluar dari
batasan indera manusia dan berfungsi baik? Saya meragukan hal itu. Walaupun
mungkin masuk nalar jika kita mempostulatkan bahwa kita masing-masing memiliki
sebuah 'potensi intelektual' yang ditentukan secara genetik, di mana satu orang
pasti akan berbeda dengan yang lain, tidak ada alasan untuk menganggap bahwa
kebanyakan dari kita -- atau kita semua -- dapat mewujudkan apa yang sebenarnya
mampu kita lakukan. Dan bahkan tidaklah pasti bahwa akan masuk nalar jika kita
berpikir mengenai batasan atas. Karena, seperti yang ditunjukkan Jerome Bruner,
terdapatlah alat-alat bagi otak sebagaimana alat-alat bagi tangan – dan dalam
kedua kasus ini perkembangan alat-alat baru membawa satu kemungkinan untuk
menyingkirkan batas-batas itu. Dengan argumen yang sama, David Olson
mengatakan: 'Kecerdasan bukanlah sesuatu yang tidak dapat berubah; kecerdasan
adalah sesuatu yang kita olah dengan teknologi, atau sesuatu yang kita ciptakan
dengan menemukan teknologi baru.”[12]
Ahli pendidikan besar
Soviet, Vygotsky, tidak percaya bahwa para guru harus menerapkan kontrol yang
kaku atas apa yang harus dipelajari anak. Seperti Piaget, ia menganggap
aktivitas anak sebagai titik pusat pendidikan. Bukannya merantai anak pada meja
belajar, di mana mereka secara mekanik mempelajari hal-hal yang tidak memiliki
makna bagi mereka, Vygotsky menekankan perkembangan intelektual yang sejati.
Namun, ini tidak bisa dipertimbangkan secara terpisah dari konteks sosial yang
ada. Dalam sebuah masyarakat sosialis yang sejati, pendidikan akan dihubungkan
dengan aktivitas praktis yang kreatif sejak awalnya, dengan demikian
meruntuhkan tembok pembodohan yang memisahkan kerja mental dan manual. Vygotsky
berada jauh di depan masanya. Metode pendidikannya menunjukkan imajinasi yang
luar biasa, contohnya, dalam mengizinkan anak belajar dari satu sama lain:
“Vygotsky menganjurkan menggunakan seorang anak yang lebih maju
untuk membantu anak yang kurang maju. Untuk waktu yang lama, metode ini
digunakan sebagai basis pendidikan egalitarian Marxis di Uni Soviet. Dasar
pemikiran sosialisnya adalah bahwa semua anak bekerja bersama untuk kebaikan
bersama, bukan seperti di bawah masyarakat kapitalis di mana tiap anak saling
bersaing untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya dari sekolah tanpa memberi apapun
kembali padanya. Anak yang lebih cerdas membantu masyarakat dengan membantu
anak yang kurang cerdas, karena yang disebut belakangan ini akan (diharapkan
demikian) lebih menjadi aset bagi masyarakat jika ia menjadi seorang dewasa
yang berpendidikan ketimbang yang tidak berpendidikan. Vygotsky berpendapat
bahwa tindakan ini tidak harus berarti pengorbanan diri dari anak yang lebih
maju itu. Dengan menjelaskan dan membantu anak lain, ia bisa mendapatkan
pemahaman yang lebih eksplisit akan apa yang telah ia pelajari sendiri, sejalan
dengan jalur metakognitifnya. Dan, dengan mengajarkan satu topik, ia
mengkonsolidasikan hasil pembelajarannya sendiri.”[13]
Sebuah masyarakat
yang sosialis dan demokratik akan menghilangkan perbedaan antara kerja mental
dan kerja manual melalui peningkatan umum atas tingkat kebudayaan masyarakat.
Ini terkait erat dengan pengurangan hari dan jam kerja sebagai konsekuensi dari
perencanaan produksi yang rasional. Pendidikan akan diubah dengan
mengkombinasikan pembelajaran dengan aktivitas kreatif dan bermain.
Perkembangan dari berbagai teknologibaru akan digunakan sepenuhnya. Teknologi
Virtual Reality, yang baru saja dikembangkan, memiliki potensi yang amat besar,
bukan hanya untuk produksi dan desain, tetapi juga bagi pendidikan. Alat ini
akan membuat pelajaran menjadi hidup, merangsang imajinasi dan kreativitas
anak, bukan hanya untuk mengalami sendiri sejarah dan geografi, tapi juga untuk
mempelajari teknik mesin, atau bagaimana melukis dan memainkan instrumen musik.
Kebebasan dari perjuangan yang memalukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, akses
terhadap kebudayaan dan waktu untuk mengambangkan diri menjadi manusia
sepenuhnya, ini adalah dasar di mana umat manusia dan masyarakatnya, pada
akhirnya, akan dapat mewujudkan potensinya yang sejati.
Umat Manusia dan Alam Semesta Raya
“Ia mengatakan, 'Apa
itu waktu? Biarkan Masa Kini untuk anjing dan kera! Manusia memiliki
Keabadian.'“ (Robert Browning, A Grammarian's Funeral.)
Pencapaian-pencapaian
dari program antariksa Soviet dan Amerika telah menunjukkan secuil saja dari
apa yang mungkin. Tapi program antariksa dari kedua adidaya ini sesungguhnya
adalah hasil dari perlombaan senjata sepanjang Perang Dingin. Sejak keruntuhan
Uni Soviet, masalah perjalanan antariksa sudah tidak lagi dijadikan perhatian
utama, sekalipun tetap ada kemungkinan untuk membangun satu stasiun antariksa
yang mengorbit bumi, yang akan membuat perjalanan ke bulan lebih mudah. Di masa
datang, di bawah persemakmuran sosialis dunia, perjalanan antariksa akan
melompat keluar dari buku-buku fiksi ilmiah ke dunia nyata. Perjalanan
antariksa akan menjadi seperti perjalanan udara saat ini. Penjelajahan tata
surya, dan kelak mungkin penjelajahan galaksi lain, akan memberikan semacam
tantangan dan rangsangan bagi umat manusia seperti yang dulu terjadi di Eropa
dengan pencarian benua Amerika.
Kemungkinan
perjalanan antariksa jarak jauh di luar batasan tata surya kita sendiri tidak
akan selamanya terpenjara di buku-buku fiksi ilmiah. Janganlah kita lupakan
bahwa hanya seratus tahun lalu gagasan tentang perjalanan yang lebih cepat
daripada suara hanyalah sesuatu yang tidak dapat dipercaya, apalagi terbang ke
bulan. Sejarah umat manusia secara umum, dan yang terjadi 40 tahun terakhir
khususnya, menunjukkan bahwa tidak ada masalah yang terlalu besar sehingga
tidak dapat diselesaikan manusia, cepat atau lambat.
Dalam waktu sekitar
empat miliar tahun dari sekarang, matahari kita akan mulai membengkak, sejalan
dengan menyusutnya inti helium di dalamnya. Planet-planet di dekatnya akan
diterpa oleh panas yang luar biasa. Kehidupan di bumi akan mustahil, karena
laut akan mendidih, dan atmosfer dihancurkan. Namun, akhir dari kehidupan di
satu sudut alam semesta bukanlah akhir dari segalanya. Bahkan ketika matahari
kita mati, bintang-bintang lain akan dilahirkan. Di antara miliaran galaksi di
alam semesta yang teramati, terdapat sejumlah besar matahari dan planet seperti
tata surya kita yang memiliki kondisi yang tepat untuk kehidupan. Tidak diragukan
lagi, banyak di antaranya yang akan dihuni oleh bentuk-bentuk kehidupan yang
maju, termasuk makhluk yang dapat berpikir seperti kita. Hanya sedikit ilmuwan
yang meragukan hal ini sekarang, dan lebih sedikit lagi setelah ditemukan bahwa
molekul-molekul rumit yang dibutuhkan untuk menciptakan organisme hidup
ternyata terdapat pula di antariksa itu sendiri.
Pada bagian akhir buku Dialektika Alam,
Engels menyatakan optimisme yang berkobar-kobar mengenai masa depan kehidupan:
“Kehidupan adalah
sebuah siklus kekal di mana materi bergerak, sebuah siklus yang menyelesaikan
orbitnya dalam rentang waktu di mana tahun kita bukan merupakan alat yang cukup
untuk mengukurnya, sebuah siklus di mana waktu untuk perkembangan yang
tertinggi, waktu untuk kehidupan organik dan terlebih lagi waktu untuk makhluk
hidup yang dapat menyadari alam dan dirinya sendiri, adalah sama terbatasnya
dengan ruang di mana kehidupan dan kesadaran-diri muncul; sebuah siklus di mana
tiap cara mengada materi yang finit, apakah itu matahari atau awan nebula,
seekor hewan atau sebuah genus hewan, kombinasi kimia atau penguraiannya,
sama-sama bersifat sementara, dan di mana tidak ada yang kekal kecuali materi
yang selamanya berubah dan selamanya bergerak dan hukum-hukum yang mengatur
pergerakan dan perubahan itu.
“Namun, tidak peduli berapa kali pun, dan tidak peduli betapa
sempurnanya, siklus ini selesai berputar dalam ruang dan waktu; tidak peduli
berapa banyak matahari dan bumi yang lahir dan mati, tidak peduli berapa lama
mereka ada sebelum kondisi-kondisi yang memungkinkan munculnya kehidupan
organik berkembang di dalam sebuah tata surya dan sebuah planet tertentu,;
tidak peduli berapa banyak makhluk organik yang lahir dan punah sebelum hewan
dengan sebuah otak yang mampu berpikir muncul dari tengah mereka, dan untuk
rentang waktu yang pendek menemukan kondisi-kondisi yang cocok untuk kehidupan,
sebelum kemudian dimusnahkan tanpa ampun – kita yakin bahwa materi akan tetap
kekal dalam semua transformasinya, bahwa tidak ada satu pun ciri-ciri yang
dikandungnya yang akan hilang, dan oleh karenanya, juga dengan keniscayaan yang
pasti bahwa ia akan menghancurkan ciptaannya yang tertinggi di muka bumi, yakni
pikiran yang mampu bernalar, ia juga akan melahirkannya kembali di tempat yang
lain dan di waktu yang lain.”[14]
Namun, kini kita
diwajibkan untuk melangkah lebih maju daripada ini. Kemajuan ilmu pengetahuan
yang menakjubkan seratus tahun setelah wafatnya Engels berarti bahwa kematian
matahari tidaklah harus berarti kematian umat manusia. Perkembangan pesawat
antariksa, yang mampu melakukan perjalanan dengan kecepatan yang kini masih
dianggap mustahil, dapat menyiapkan landasan bagi petualangan terakhir umat
manusia, termasuk emigrasi ke bagian tata surya yang lain, dan pada akhirnya,
galaksi lain. Bahkan dengan kecepatan satu persen kecepatan cahaya -- satu hal
yang sangat mungkin dicapai -- akan dimungkinkan untuk mencapai planet yang
dapat dihuni dalam rentang beberapa ratus tahun.
Jika ini sepertinya
sangat lama, kita harus ingat bahwa manusia-manusia pertama membutuhkan jutaan
tahun untuk mengkolonisasi seluruh dunia, berangkat dari Afrika. Lebih jauh
lagi, perjalanan ini mungkin akan berlangsung dalam beberapa tahapan, membangun
koloni-koloni dan pos-pos perhentian di sepanjang jalan, seperti para pelayar
Polinesia mengkolonisasi Pasifik, pulau demi pulau, selama beberapa abad.
Masalah-masalah teknologi yang akan kita hadapi akan sangat besar, tapi kita
memiliki setidaknya tiga miliar tahun untuk memecahkannya. Jika kita mengingat
bahwa Homo sapiens baru ada sekitar 100.000 tahun, bahwa peradaban baru berumur
5.000 tahun, dan bahwa kecepatan perkembangan teknologi selalu cenderung
meningkat semakin lama semakin cepat, tidak ada alasan apapun untuk menarik
kesimpulan-kesimpulan pesimis tentang masa depan umat manusia -- dengan satu
syarat: bahwa kekuasaan kelas, sisa barbarisme yang menjijikkan itu, digantikan
oleh sistem kerja sama dan perencanaan, yang akan menyatukan seluruh sumber
daya yang ada bumi untuk satu tujuan bersama.
Engels menggambarkan
sosialisme sebagai lompatan umat manusia dari alam keharusan ke dalam alam
kebebasan. Untuk pertama kalinya, akan dimungkinkan bagi mayoritas umat manusia
untuk membebaskan diri mereka dari perjuangan yang memalukan sekedar untuk
bertahan hidup, dan mengangkat pandangan mereka ke tingkat yang lebih tinggi.
Menyembuhkan semua penyakit, menghapus buta huruf dan tunawisma hanyalah akan
menjadi titik awal bagi umat manusia. Dengan menggabungkan seluruh sumberdaya
di planet ini, yang kini tanpa tahu malu disia-siakan oleh kaum kapitalis, umat
manusia sungguh-sungguh bisa menggapai bintang-bintang.
Pada akhirnya, umat
manusia akan menjadi tuan atas dirinya sendiri, kehidupannya, nasibnya, bahkan
susunan genetiknya. Hubungan antara laki-laki dan perempuan akan menjadi
hubungan antar manusia-manusia bebas, bukan budak. Aristoteles menunjukkan
bahwa manusia akan mulai berfilsafat ketika kebutuhan hidupnya telah terpenuhi.
Pemikir besar itu paham bahwa perkembangan kebudayaan sangat terkait erat
dengan kondisi material kehidupan. Dalam sebuah kutipan yang benar-benar luar biasa,
ia menunjukkan bagaimana manusia mulai berfilsafat, mengabdikan hidup mereka
untuk mengejar pengetahuan demi manfaat mereka sendiri, hanya bila mereka
dibebaskan dari kebutuhan untuk berjuang memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka:
“Ini ditunjukkan oleh jalannya peristiwa yang benar terjadi:
karena filsafat hanya muncul ketika keperluan dan kenyamanan mental dan fisik
dari kehidupan telah terpenuhi. Jelas bahwa dengan demikian Kebijaksanaan
dicari bukan untuk keuntungan yang di luar dirinya sendiri; karena sebagaimana
kita dapat menyebut seseorang sebagai orang yang bebas jika ia ada untuk
dirinya sendiri dan bukan untuk kepentingan orang lain, demikian juga hanya
filsafatlah ilmu yang bebas karena hanya ia yang dicari untuk kepentingannya
sendiri.”[15]
Selama seluruh
sejarah peradaban sampai hari ini, kebudayaan telah menjadi monopoli dari
minoritas kecil. Dalam sebuah masyarakat sosialis yang demokratik sepenuhnya,
kita dapat mengurangi jam dan hari kerja, dan meningkatkan taraf hidup bagi
tiap orang berdasarkan peningkatan produksi secara besar-besaran. Setelah dibebaskan
dari tekanan kebutuhan hidup, manusia akan dapat mengabdikan dirinya untuk
perkembangan kepribadian mereka secara utuh, intelektual maupun fisik. Seni,
sastra, musik, ilmu pengetahuan dan filsafat akan menempati posisi yang sejajar
dengan partai politik pada saat ini.
Berdasarkan
perekonomian terencana yang dijalankan secara demokratik sepenuhnya, potensi
raksasa dari sains dan teknologi dapat digunakan oleh manusia. Pada seratus
tahun terakhir, perbaikan gizi dan pelayanan kesehatan telah menggandakan angka
harapan hidup di banyak negeri industri maju. Perkembangan lebih lanjut atas
cara hidup dapat memperpanjang usia aktif lebih jauh lagi. Menjalani kehidupan
aktif lebih dari seratus tahun akan menjadi satu hal yang jamak. Penggunaan
rekayasa genetika yang tepat bahkan dapat memungkinkan para ilmuwan untuk
melawan proses penuaan itu sendiri dan memperpanjang hidup jauh di luar apa
yang dianggap “rentang usia alami manusia”. Kemungkinan yang terbuka bagi masa
depan manusia tidaklah terbatas.
Trotsky menulis:
“Elemen-elemenyang
membabi-buta telah memancangkan dirinya paling kukuh dalam relasi-relasi
ekonomi, tapi kita juga sedang mengusir elemen-elemen itu keluar dari sana,
dengan perencanaan kehidupan ekonomi secara sosialis. Ini memungkinkan kita untuk
merekonstruksi secara fundamental kehidupan berkeluarga yang tradisional. Pada
akhirnya, sifat dasar manusia itu sendiri tersembunyi di sudut yang paling
dalam dan gelap dari alam tidak-sadar, di dalam elemen yang terdalam, di bawah
tanah. Jelas bahwa upaya-upaya terbesar dari nalar dan inisiatif kreatif
manusia akan diarahkan ke sana. Umat manusia tidak berhenti merangkak di
hadapan Tuhan, raja-raja atau kapital supaya nantinya dia tunduk pasrah di
hadapan hukum-hukum hereditas yang penuh misteri dan seleksi seksual yang
membabi-buta! Manusia yang terbebaskan akan menginginkan kesetimbangan yang
lebih sempurna dalam fungsi organ-organ tubuhnya dan perkembangan dan keausan
yang lebih proporsional dari organ-organ tubuhnya, guna mengubah rasa takut
matinya menjadi reaksi rasional dari satu organisme terhadap bahaya. Tidak ada
keraguan bahwa ketidakharmonisan fisiologi dan anatomi manusia yang ekstrem,
yaitu ketidakseimbangan yang ekstrem antara pertumbuhan dan keausan organ-organ
tubuh, membuat insting hidup kita mengambil sebuah bentuk rasa takut mati yang
tertekan, gelap dan histeris, yang membutakan nalar dan mengobarkan
khayalan-khayalan bodoh dan memalukan mengenai kehidupan setelah kematian.”
“Manusia akan,
sebagai tujuan dari hidupnya, menjadi tuan atas perasaan-perasaannya sendiri,
mengangkat naluri-nalurinya ke ketinggian kesadaran dan memahami naluri-naluri
ini, untuk memperluas jangkauan dari kehendak bebasnya ke dalam celah-celah
yang sebelumnya tersembunyi,dan dengan demikian mengangkat dirinya ke
ketinggian yang baru, dan menciptakan sebuah makhluk sosial biologis yang baru,
atau jika Anda suka, seorang Superman.”
“Sangat sulit untuk meramalkan sampai sejauh mana manusia masa
depan bisa mengorganisir dirinya sendiri, atau sampai tingkatan mana dia bisa
mengembangkan teknologinya. Konstruksi sosial dan edukasi-diri psiko-fisik akan
menjadi dua aspek dari proses yang satu dan sama. Semua seni -- sastra, drama,
melukis, musik dan arsitektur akan memberi bentuk yang indah bagi proses ini.
Lebih tepatnya, kerangka yang akan membungkus konstruksi sosial dan
edukasi-diri dari seorang manusia Komunis, akan mengembangkan semua unsur vital
dari seni kontemporer sampai tingkatannya yang tertinggi. Manusia akan menjadi
lebih harmonis, pergerakannya lebih berirama, suaranya lebih musikal.
Bentuk-bentuk kehidupan akan menjadi dramatik secara dinamis. Manusia yang baru
ini rata-rata akan dapat mencapai tingkatan seorang Aristotle, seorang Goethe,
atau seorang Marx. Dan di atas batasan yang baru ini, puncak-puncak yang baru
juga akan bermunculan.”[16]
* * *
________________
Catatan Kaki
[1] Krisis ini akhirnya meledak pada tahun 2008. Pada bulan
Juni 2007, pasar derivatif dunia telah mencapai 500 triliun dolar. Di Amerika
Serikat sendiri, pasar derivatif ini memiliki nilai 300 triliun dolar, yakni 20
kali lipat daripada ekonomi Amerika Serikat. (Catatan Editor)
[2] W. Rees-Mogg dan J. Davidson, op. cit., hal. 294-5, 183
dan 273.
[3] J. K. Galbraith, The Culture of Contentment, hal. 170-1.
[4] MESW, Vol. 1, hal. 114-5.
[5] MECW, Vol. 4, hal. 274.
[6] Primae noctis - secara harfiah berarti “malam pertama”,
adalah satu hak dari para penguasa feodal untuk menjadi orang pertama yang
tidur dengan pengantin perempuan dari seorang hambanya yang baru menikah.
Apakah pengantin perempuan itu berasal dari luar tanahnya atau bukan, itu bukan
masalah, karena toh, setelah ia menikah perempuan itu akan menjadi milik
suaminya. Dan suaminya adalah milik sang tuan. Jika ada perempuan hamba dari
tanah itu yang menikah dengan hamba dari penguasa feodal lain, hak primae
noctis jatuh pada penguasa lain itu. Pemahaman atas hak ini mulai tumbuh subur
di Eropa setelah dinasti Karolingia, di awal Abad Pertengahan. Mengenai
asal-usul hak ini, bacalah karya Engels, The Origin of Family, Private Property
dan State. [Penerjemah.]
[7] Trotsky, Their Morals dan Ours, hal. 13.
[8] Ketika Ratu Marie Antoinette, ratu dari Raja Louis XIV di Prancis,
diberitahu bahwa kaum tani Prancis kelaparan dan tidak punya roti untuk
dimakan, dia lalu menjawab “Qu'ils mangent de la brioche” atau “Biarlah mereka
makan kue.” Anekdot ini mengungkapkan ketidakpedulian kelas penguasa terhadap
kemiskinan rakyat. Raja Louis XIV dan ratunya lalu ditumbangkan oleh Revolusi
Prancis 1789 dan mereka dihukum pancung. [Editor]
[9] “Sans teeth, sans eyes, sans taste, sans everything”
adalah ujaran dari drama Shakespeare, As You Like It, yang merupakan bagian
dari sebuah monolog, yang mengandung makna bahwa setelah seorang mati dia akan
kehilangan segalanya, giginya, matanya, inderanya, dan semuanya/ [Editor]
[10] Marx,
Grundrisse, hal. 111.
[11] Dikutip di
Gleick, op. cit., hal. 116-7.
[12] M. Donaldson,
Children’s Minds, hal. 83 dan 85.
[13] P. Sutherland,
Cognitive Development Today: Piaget dan his Critics, hal. 45.
[14]Engels, Dialectics of
Nature, hal. 54.
[15] Aristotle, op.
cit., hal. 55.
[16] Trotsky,
Literature and Revolution, hal. 255-6.
0 komentar:
Post a Comment