BAB I
PENDAHULUAN
Keluarga adalah
unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan berpengaruh sangat
besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota
keluarga. Keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah
tangga sebagai tokoh penting yang memimpin keluarga disamping beberapa anggota
keluarga lainnya. Anggota keluarga terdiri dari Ayah, ibu, dan anak merupakan
sebuah satu kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat baik. Hubungan baik ini
ditandai dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik antar semua
anggota/individu dalam keluarga. Sebuah keluarga disebut harmonis apabila
seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan tidak adanya
konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental,
emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut disharmonis
apabila terjadi sebaliknya.
Ketegangan
dalam Rumah tangga itu adalah hal wajar yang memang selalu terjadi mewarnai,
namun ada batasan tersendiri dalam menyikapinya ketika memang sudah lewat batas
hingga sampai terjadi kontak fisik bahkan sudah saling melukai terhadap anggota
tubuh ini tidak bisa di tolerir lagi dan harus di tindak seusai dengan
ketentuan yang berlaku.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Sejarah Terbentuknya UU NO.23 Tahun 2004
Tentang PKDRT
KDRT adalah kekerasan yang dilakukan oleh suami-isteri atau kekerasan
olehorang tua terhadap anak. KDRT adalah suatu bentuk pelanggaran hak-hak asasi
manusiadan kejahatan terhadap kemanusiaan, juga merupakan tindakan
diskriminasi.Data dari hasil Survei Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Tahun
2006 olehBPS dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, khususnya mengenai
Tindak Kekerasan terhadap Perempuan menurut Pelaku, menunjukkan bahwa: sebanyak
51,1%(pelaku: suami); 11,7% (pelaku: orang tua/mertua, anak/cucu, dan famili);
19,6%(pelaku:tetangga); 2,5%(pelaku: atasan/majikan); 2,9 (pelaku: rekan
kerja); 0,2% (pelaku: guru);dan 8,0% (pelaku: lainnya).Dari gambaran data
tersebut sangat jelas bahwa bentu kekerasan dalam rumahtangga sangat
mendominasi, yakni, dengan pelaku adalah suami (tertinggi), kemudian pelaku
kekerasan adalah orang tua/mertua, anak/cucu dan famili, dan menyusul
pelakuadalah atasan/majikan. Hal ini tentu saja cukup memprihatinkan.Pada awalnya,
terutama sebelum diterbitkannya undang-undang bahwa seseorangkorban KDRT sangat
kesulitan mencari keadilan atau mendapatkan perlindungan ataskejadian yang
menimpa dirinya. Karena bukan saja pada saat itu belum ada payunghukumnya,
namun di sisi lain juga adanya pandangan masyarakat bahwa mengungkap halyang
terjadi dalam rumah tangga adalah suatu hal yang tabu, aib, dan sangat privat,
yangtidak perlu intervensi dari pihak luar, termasuk jika masalah rumah tangga
itu sebetulnyasudah merupakan bentuk kekerasan. Hal ini sangat diyakini oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia, sehingga hampir tidak pernah ada kejadian/
kasus KDRTdilaporkan kepada pihak yang berwajib bahkan mungkin diutarakan
kepada pihak kerabatterdekat pun hampir tidak terlakukan, karena kuatnya
keyakinan sebagai suatu aib atautabu dan akhirnya KDRT menjadi hal yang sangat
tertutup atau ditutup-tutupi. Korban punhanya diam seribu bahasa menikmati
kesedihan dan kesendiriannya dalam memendam perasaan sakit, baik secara fisik
maupun psikis atau perasaan-perasaan lain yang padadasarnya suatu hal yang
sangat tidak adil terhadap hak-hak asasi dirinya dan sangatmembutuhkan bukan
saja perlindungan sosial tetapi juga perlindungan hukum.Dalam hal ada suatu
pelaporan atau pengaduan atas KDRT, hal ini praktismengalami kebuntuan dalam
penanganan proses hukumnya, karena belum ada payunghukum. Sementara hukum yang
ada (KUHP) hanya mengenal istilah penganiayaan (kekerasan fisik), sehingga
seringkali mengalami kesulitan terutama untuk pembuktianatas kekerasan non
fisik, dalam hal ini kekerasan psikis atau bentuk lain. Demikian halnya bahwa
belum tersedianya mekanisme untuk untuk penanganan korban, karena memangtidak/
belum tersedia, sehingga korban KDRT seringkali tidak mendapatkan
perlindunganyang memadai. Hal ini sungguh merupakan bencana bagi siapa pun yang
mengalamisebagai korban KDRT, terlebih jika korban adalah perempuan atau
anak.Permasalahan bukan saja terletak pada langkanya aturan hukum, namun
pandanganmasyarakat bahwa KDRT adalah suatu aib atau hal yang sangat pribadi
juga melingkupicara pandang para penegak hukum, yang perspekifnya praktis hsama
yakni sangat patrarkhis. Kepekaan terhadap permasalahan KDRT termasuk kepekaan
gender terhadapdiri korban masih belum dihayati secara proporsional. Sehingga, harapan
besar korbanmenjadi pupus dan harus menanggung kekecewaan yang cukup berat
manakala kasusyang dilaporkannya tidak mendapatkan kepastian hukum dalam
prosesnya, hanya karenaaparat penegak hukum meyakini bahwa persoalan KDRT
adalah bukan permasalahan publik melainkan sebagai permasalahan internal
keluarga.Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengupayakan
pemenuhan hak perempuan dan anak korban kekerasan, dengan membuatKebijakan
tentang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.Lahirnya Surat
Kesepakatan Bersama antara Menteri Negara Pemberdayaan PerempuanRI, Menteri
Kesehatan RI, Menteri Sosial RI, dan Kepala Kepolisian RI, Oktober 2002tentang
Kerjasama dalam Layanan Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan,
yangdisikapi dengan Pembentukan Pusat Penanganan Terpadu di Rumah Sakit
KepolisianBhayangkara di seluruh Indonesia adalah terobosan awal kebijakan.
Berlanjut dengandisahkannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam RumahTangga (PKDRT)yang didalamnya antara lain mengatur mengenai
pencegahan, perlindungan terhadap korban, dan penindakan terhadap pelaku KDRT,
dengan tetapmenjaga keutuhan demi keharmonisan keluarga.Dua tahun kemudian
diterbitkan PeraturanPemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan
Kerja sama PemulihanKorban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pada saat yang sama,
telah lahir berbagai produk kebijakan di daerah yang mendorong pemberian
layanan bagi perempuan korbankekerasan secara terpadu dan berkelanjutan
B. Tinjauan Yuridis Mengenai Pasal 44 dalam UU
No.23 Tahun 2004
Pasal 44
1)
Setiap orang yang melakukan
perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak
Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak
Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
3)
Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp
45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
4)
Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang
tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) bulan atau denda paling bayak Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Hukum Pidana ini sifatnya delik aduan artinya
ini menjadi hukum publik siapapun bisa melaporkannnya dengan di sertai bukti
buktinya. Dalam Asas Legalitanya tidak suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada
sebelumnya ini berdasarkan KUHP Pasal 1 Ayat 1. Jadi segala perbuatan pidana
ini sudah di tetapkan apa saja yang menjadi pelanggaran pidana di sertai
hukumannya apapun itu pasti akan mengacu kepada KUHP.
Pada pasal 44 ini adalah salah satu dari
ketentuan pidana atau bisa di sebut juga dengan hukuman yang sudah di tentukan
bagi orang yang melakukan tindak pidana yakni kekerasan fisik dalam lingkungan
rumah tangga. Pasal 44 ini menjelaskan bahwa orang melakukan tindak pidana
berupa kekerasan fisik, kekerasan fisik ini adalah salah satu dari beberapa
kekersan yang di jelaskan dalam pasal 5 yaitu : (a) kekerasan fisik; (b) kekerasan psikis; (c) kekerasan seksual; atau (d)
penelantaran rumah tangga. Di kenakan sanksi pidana sebagai mana telah di
sebutkan di atas.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum
dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:
a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan
rasa aman dan bebes dari segala bentuk
kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik
Indonesia tahun 1945.
b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan
dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk deskriminasi yang harus dihapus.
c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang
kebanyakan adalah perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan dari Negara
dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman
kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat
kemanusiaan.
Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya merupakan
unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab
undang-undang hukum pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang
berbunyi:
“Barang siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri
atau anak diancam hukuman pidana”
C. Penjelasan Dalam Persfektif Fiqh Jinayah
Padahal dalam
hukum Islam ini termasuk ke dalam tindak pidana yang masuk pada ranah qisas,
yakni tindak pidana denga objek sasaran jiwa atau anggota badan yang di lakukan
dengan sengaja seperti, membunuh, melukai, menghilangkan anggota badan, nah kekerasan fisik ini dalam hukum islam
termasuk qisas melukai , artinya harus kembali di lukai sama seperti apa yg
telah dia lakukan. Dalam Alqur’an ini di jelaskan :
ٱلشَّهۡرُ
ٱلۡحَرَامُ بِٱلشَّهۡرِ ٱلۡحَرَامِ وَٱلۡحُرُمَٰتُ قِصَاصٞۚ فَمَنِ ٱعۡتَدَىٰ
عَلَيۡكُمۡ فَٱعۡتَدُواْ عَلَيۡهِ بِمِثۡلِ مَا ٱعۡتَدَىٰ عَلَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ
ٱللَّهَ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلۡمُتَّقِينَ ١٩٤
194. Bulan haram dengan bulan haram, dan
pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu
barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya
terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta
orang-orang yang bertakwa.
وَإِنۡ
عَاقَبۡتُمۡ فَعَاقِبُواْ بِمِثۡلِ مَا عُوقِبۡتُم بِهِۦۖ وَلَئِن صَبَرۡتُمۡ
لَهُوَ خَيۡرٞ لِّلصَّٰبِرِينَ ١٢٦
126. Dan jika kamu memberikan
balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan
kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik
bagi orang-orang yang sabar.
Ayat Al-qur’an
diatas menjelaskan kebolehan ketika kita di pukul dan kita memukul balik itu di
bolehkan akan tetapi tidak di wajibkan dan dalam kelanjutan ayat dalam surah
an-nahl di atas jika bersabar maka itulah yang lebih baik.
Pada Ayat 2
pasal 44 ini sedikit lebih parah lagi yakni melukai sampai terluka parah atau
sampai terjadi cacat badan dan hukumannya pun lebih berat lagi namun apakah
hukum di atas sudah di katakan adil.? Saya kira dengan hanya di penjara dan di
dalam penjara tetap saja pelaku bisa makan atau tetap utuh raganya tanpa
terluka itu tidak adil, atau hanya karena dia banyak uang dia bisa lolos tanpa
hukumanya tanpa merasakan sakitnya atas pebuatanya terhadap orang lain itu juga
tidak adil, sementara korban merasakan sakit raga apalagi sampai cacat mebuat
korban bisa trauma atau gejala psikis yang mengakibatkan minder, phobia dengan
lingkungan sekitar, sementara pelaku dengan hukumannya tetap saja tidak
mendapatkan efek jera, maka hukum islam ini lebih adil daripada hukum negara
yang di buat oleh manusia.
Pada Ayat 3
lebih parah lagi sampai Membunuh ini hanya di jatuhi hukuman yang sedemikian
tidak berbeda dari yang tadi sudah paparkan di atas dari mulai ayat satu, padahal
ini sudah tidak manusiawi, dewasa ini buka lagi zaman perang ataupun
keberlakuan hukum rimba, ini zaman moderat dan hukum islam itu sudah moderat,
jika pelaku kejahatan melakukan tindakan yang idak manusiawi harus di balas
lagi dengan tidak manusiawi yakni di bunuh kembali.
Al-qur’an juga menjelaskan dalam ayatnya :
وَلَا
تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۗ وَمَن قُتِلَ
مَظۡلُومٗا فَقَدۡ جَعَلۡنَا لِوَلِيِّهِۦ سُلۡطَٰنٗا فَلَا يُسۡرِف فِّي ٱلۡقَتۡلِۖ
إِنَّهُۥ كَانَ مَنصُورٗا ٣٣
33. Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan
barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas
dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.
Jadi harus ada alasan jelas kenapa dia harus
di bunuh jika pembunuhan itu di segaja karena hal spele atau hanya karena
percekcokan semata sampai meghilangkan nurani dengan nafsu yang berkobar ini
tidak bisa di jadikan alasan pelaku untuk terbebas dari hukuman qisas
pembunuhan ini.
Pada ayat
selanjutya yakni ayat 4 pasal 44 ini penjabaran kembali dari ayat satu tentang
tindak pidana kekerasan fisik yang menyebabkan terukanya korban yang membuatnya
sementara tidak bisa melakukan aktifitasnya seperti biasa, karena masih terasa
sakit akibat lukanya.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Dari hasil
analisa sebagaimana telah di paparkan di atas jelas sekali bahwa hukum islam
jauh lebih adil dari hukum yang di buat manusia karena yang membuat hukumya
adalah ALLAH selaku pencipta manusia jika hukumnya sudah jelas kenapa membuat
hukum baru yang keadilannya itu di ragukan. Perlu adanya penerapan terkait
hukum qisas seperti ini dan intinya perlu di berlakukan keseluruhan mengenai
jiayah dalam penerapan yang sebenarnya khususnya bagi ummat islam di negara
indonesia.
1. Hamzah, Andi. KUHP & KUHAP. 2011. PT.Rineka Cipta. Jakarta
2. Hasan, Mustofa. Fiqh Jinayah. 2013. CV. Pustaka Setia. Bandung
3. http://www.scribd.com/doc/77196281/Sejarah-Terbentuknya-Uu-No-23-Tahun-2004-Tentang-Pkdrt#scribd
0 komentar:
Post a Comment