Blog ini berisi artikel-artikel, karya tulis ilmiah, dan berita mengenai Hukum dan Sosial

Thursday, May 03, 2018

ANALISIS PASAL 44 UNDANG-UNDANG NO.23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


BAB I
PENDAHULUAN

Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yang memimpin keluarga disamping beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga terdiri dari Ayah, ibu, dan anak merupakan sebuah satu kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat baik. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik antar semua anggota/individu dalam keluarga. Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental, emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut disharmonis apabila terjadi sebaliknya.
Ketegangan dalam Rumah tangga itu adalah hal wajar yang memang selalu terjadi mewarnai, namun ada batasan tersendiri dalam menyikapinya ketika memang sudah lewat batas hingga sampai terjadi kontak fisik bahkan sudah saling melukai terhadap anggota tubuh ini tidak bisa di tolerir lagi dan harus di tindak seusai dengan ketentuan yang berlaku.
 


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Terbentuknya UU NO.23 Tahun 2004 Tentang PKDRT
KDRT adalah kekerasan yang dilakukan oleh suami-isteri atau kekerasan olehorang tua terhadap anak. KDRT adalah suatu bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusiadan kejahatan terhadap kemanusiaan, juga merupakan tindakan diskriminasi.Data dari hasil Survei Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Tahun 2006 olehBPS dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, khususnya mengenai Tindak Kekerasan terhadap Perempuan menurut Pelaku, menunjukkan bahwa: sebanyak 51,1%(pelaku: suami); 11,7% (pelaku: orang tua/mertua, anak/cucu, dan famili); 19,6%(pelaku:tetangga); 2,5%(pelaku: atasan/majikan); 2,9 (pelaku: rekan kerja); 0,2% (pelaku: guru);dan 8,0% (pelaku: lainnya).Dari gambaran data tersebut sangat jelas bahwa bentu kekerasan dalam rumahtangga sangat mendominasi, yakni, dengan pelaku adalah suami (tertinggi), kemudian pelaku kekerasan adalah orang tua/mertua, anak/cucu dan famili, dan menyusul pelakuadalah atasan/majikan. Hal ini tentu saja cukup memprihatinkan.Pada awalnya, terutama sebelum diterbitkannya undang-undang bahwa seseorangkorban KDRT sangat kesulitan mencari keadilan atau mendapatkan perlindungan ataskejadian yang menimpa dirinya. Karena bukan saja pada saat itu belum ada payunghukumnya, namun di sisi lain juga adanya pandangan masyarakat bahwa mengungkap halyang terjadi dalam rumah tangga adalah suatu hal yang tabu, aib, dan sangat privat, yangtidak perlu intervensi dari pihak luar, termasuk jika masalah rumah tangga itu sebetulnyasudah merupakan bentuk kekerasan. Hal ini sangat diyakini oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, sehingga hampir tidak pernah ada kejadian/ kasus KDRTdilaporkan kepada pihak yang berwajib bahkan mungkin diutarakan kepada pihak kerabatterdekat pun hampir tidak terlakukan, karena kuatnya keyakinan sebagai suatu aib atautabu dan akhirnya KDRT menjadi hal yang sangat tertutup atau ditutup-tutupi. Korban punhanya diam seribu bahasa menikmati kesedihan dan kesendiriannya dalam memendam perasaan sakit, baik secara fisik maupun psikis atau perasaan-perasaan lain yang padadasarnya suatu hal yang sangat tidak adil terhadap hak-hak asasi dirinya dan sangatmembutuhkan bukan saja perlindungan sosial tetapi juga perlindungan hukum.Dalam hal ada suatu pelaporan atau pengaduan atas KDRT, hal ini praktismengalami kebuntuan dalam penanganan proses hukumnya, karena belum ada payunghukum. Sementara hukum yang ada (KUHP) hanya mengenal istilah penganiayaan (kekerasan fisik), sehingga seringkali mengalami kesulitan terutama untuk pembuktianatas kekerasan non fisik, dalam hal ini kekerasan psikis atau bentuk lain. Demikian halnya bahwa belum tersedianya mekanisme untuk untuk penanganan korban, karena memangtidak/ belum tersedia, sehingga korban KDRT seringkali tidak mendapatkan perlindunganyang memadai. Hal ini sungguh merupakan bencana bagi siapa pun yang mengalamisebagai korban KDRT, terlebih jika korban adalah perempuan atau anak.Permasalahan bukan saja terletak pada langkanya aturan hukum, namun pandanganmasyarakat bahwa KDRT adalah suatu aib atau hal yang sangat pribadi juga melingkupicara pandang para penegak hukum, yang perspekifnya praktis hsama yakni sangat patrarkhis. Kepekaan terhadap permasalahan KDRT termasuk kepekaan gender terhadapdiri korban masih belum dihayati secara proporsional. Sehingga, harapan besar korbanmenjadi pupus dan harus menanggung kekecewaan yang cukup berat manakala kasusyang dilaporkannya tidak mendapatkan kepastian hukum dalam prosesnya, hanya karenaaparat penegak hukum meyakini bahwa persoalan KDRT adalah bukan permasalahan publik melainkan sebagai permasalahan internal keluarga.Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengupayakan pemenuhan hak perempuan dan anak korban kekerasan, dengan membuatKebijakan tentang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.Lahirnya Surat Kesepakatan Bersama antara Menteri Negara Pemberdayaan PerempuanRI, Menteri Kesehatan RI, Menteri Sosial RI, dan Kepala Kepolisian RI, Oktober 2002tentang Kerjasama dalam Layanan Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, yangdisikapi dengan Pembentukan Pusat Penanganan Terpadu di Rumah Sakit KepolisianBhayangkara di seluruh Indonesia adalah terobosan awal kebijakan. Berlanjut dengandisahkannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam RumahTangga (PKDRT)yang didalamnya antara lain mengatur mengenai pencegahan, perlindungan terhadap korban, dan penindakan terhadap pelaku KDRT, dengan tetapmenjaga keutuhan demi keharmonisan keluarga.Dua tahun kemudian diterbitkan PeraturanPemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja sama PemulihanKorban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pada saat yang sama, telah lahir berbagai produk kebijakan di daerah yang mendorong pemberian layanan bagi perempuan korbankekerasan secara terpadu dan berkelanjutan

B.     Tinjauan Yuridis Mengenai Pasal 44 dalam UU No.23 Tahun 2004

Pasal 44
1)      Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
2)      Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
3)      Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
4)      Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling bayak Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Hukum Pidana ini sifatnya delik aduan artinya ini menjadi hukum publik siapapun bisa melaporkannnya dengan di sertai bukti buktinya. Dalam Asas Legalitanya tidak suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya ini berdasarkan KUHP Pasal 1 Ayat 1. Jadi segala perbuatan pidana ini sudah di tetapkan apa saja yang menjadi pelanggaran pidana di sertai hukumannya apapun itu pasti akan mengacu kepada KUHP.
Pada pasal 44 ini adalah salah satu dari ketentuan pidana atau bisa di sebut juga dengan hukuman yang sudah di tentukan bagi orang yang melakukan tindak pidana yakni kekerasan fisik dalam lingkungan rumah tangga. Pasal 44 ini menjelaskan bahwa orang melakukan tindak pidana berupa kekerasan fisik, kekerasan fisik ini adalah salah satu dari beberapa kekersan yang di jelaskan dalam pasal 5 yaitu : (a) kekerasan fisik; (b) kekerasan psikis; (c) kekerasan seksual; atau (d) penelantaran rumah tangga. Di kenakan sanksi pidana sebagai mana telah di sebutkan di atas.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:
a.       Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes dari segala bentuk  kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik Indonesia tahun 1945.
b.      Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk deskriminasi yang harus dihapus.
c.       Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya merupakan unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang berbunyi:
“Barang siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri
atau anak diancam hukuman pidana”

C.    Penjelasan Dalam Persfektif Fiqh Jinayah
Padahal dalam hukum Islam ini termasuk ke dalam tindak pidana yang masuk pada ranah qisas, yakni tindak pidana denga objek sasaran jiwa atau anggota badan yang di lakukan dengan sengaja seperti, membunuh, melukai, menghilangkan anggota badan,  nah kekerasan fisik ini dalam hukum islam termasuk qisas melukai , artinya harus kembali di lukai sama seperti apa yg telah dia lakukan. Dalam Alqur’an ini di jelaskan :
ٱلشَّهۡرُ ٱلۡحَرَامُ بِٱلشَّهۡرِ ٱلۡحَرَامِ وَٱلۡحُرُمَٰتُ قِصَاصٞۚ فَمَنِ ٱعۡتَدَىٰ عَلَيۡكُمۡ فَٱعۡتَدُواْ عَلَيۡهِ بِمِثۡلِ مَا ٱعۡتَدَىٰ عَلَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلۡمُتَّقِينَ ١٩٤
194. Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.

وَإِنۡ عَاقَبۡتُمۡ فَعَاقِبُواْ بِمِثۡلِ مَا عُوقِبۡتُم بِهِۦۖ وَلَئِن صَبَرۡتُمۡ لَهُوَ خَيۡرٞ لِّلصَّٰبِرِينَ ١٢٦
126. Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.

Ayat Al-qur’an diatas menjelaskan kebolehan ketika kita di pukul dan kita memukul balik itu di bolehkan akan tetapi tidak di wajibkan dan dalam kelanjutan ayat dalam surah an-nahl di atas jika bersabar maka itulah yang lebih baik.

Pada Ayat 2 pasal 44 ini sedikit lebih parah lagi yakni melukai sampai terluka parah atau sampai terjadi cacat badan dan hukumannya pun lebih berat lagi namun apakah hukum di atas sudah di katakan adil.? Saya kira dengan hanya di penjara dan di dalam penjara tetap saja pelaku bisa makan atau tetap utuh raganya tanpa terluka itu tidak adil, atau hanya karena dia banyak uang dia bisa lolos tanpa hukumanya tanpa merasakan sakitnya atas pebuatanya terhadap orang lain itu juga tidak adil, sementara korban merasakan sakit raga apalagi sampai cacat mebuat korban bisa trauma atau gejala psikis yang mengakibatkan minder, phobia dengan lingkungan sekitar, sementara pelaku dengan hukumannya tetap saja tidak mendapatkan efek jera, maka hukum islam ini lebih adil daripada hukum negara yang di buat oleh manusia.
Pada Ayat 3 lebih parah lagi sampai Membunuh ini hanya di jatuhi hukuman yang sedemikian tidak berbeda dari yang tadi sudah paparkan di atas dari mulai ayat satu, padahal ini sudah tidak manusiawi, dewasa ini buka lagi zaman perang ataupun keberlakuan hukum rimba, ini zaman moderat dan hukum islam itu sudah moderat, jika pelaku kejahatan melakukan tindakan yang idak manusiawi harus di balas lagi dengan tidak manusiawi yakni di bunuh kembali.

Al-qur’an juga menjelaskan dalam ayatnya :
وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۗ وَمَن قُتِلَ مَظۡلُومٗا فَقَدۡ جَعَلۡنَا لِوَلِيِّهِۦ سُلۡطَٰنٗا فَلَا يُسۡرِف فِّي ٱلۡقَتۡلِۖ إِنَّهُۥ كَانَ مَنصُورٗا ٣٣
33. Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.

Jadi harus ada alasan jelas kenapa dia harus di bunuh jika pembunuhan itu di segaja karena hal spele atau hanya karena percekcokan semata sampai meghilangkan nurani dengan nafsu yang berkobar ini tidak bisa di jadikan alasan pelaku untuk terbebas dari hukuman qisas pembunuhan ini.
Pada ayat selanjutya yakni ayat 4 pasal 44 ini penjabaran kembali dari ayat satu tentang tindak pidana kekerasan fisik yang menyebabkan terukanya korban yang membuatnya sementara tidak bisa melakukan aktifitasnya seperti biasa, karena masih terasa sakit akibat lukanya.




BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN
Dari hasil analisa sebagaimana telah di paparkan di atas jelas sekali bahwa hukum islam jauh lebih adil dari hukum yang di buat manusia karena yang membuat hukumya adalah ALLAH selaku pencipta manusia jika hukumnya sudah jelas kenapa membuat hukum baru yang keadilannya itu di ragukan. Perlu adanya penerapan terkait hukum qisas seperti ini dan intinya perlu di berlakukan keseluruhan mengenai jiayah dalam penerapan yang sebenarnya khususnya bagi ummat islam di negara indonesia.
 DAFTAR PUSTAKA

1.     Hamzah, Andi. KUHP & KUHAP. 2011. PT.Rineka Cipta. Jakarta
2.     Hasan, Mustofa. Fiqh Jinayah. 2013. CV. Pustaka Setia. Bandung
3.     http://www.scribd.com/doc/77196281/Sejarah-Terbentuknya-Uu-No-23-Tahun-2004-Tentang-Pkdrt#scribd
Share:

0 komentar:

Post a Comment