Bab 6. Ketidakpastian dan
Idealisme
Prinsip
Ketidakpastian
Pukulan
maut yang menjatuhkan mekanika Newtonian dari tahtanya sebagai sebuah teori
universal dilancarkan oleh Einstein, Schrödinger, Heisenberg dan
ilmuwan-ilmuwan lainnya yang membidani kelahiran mekanika kuantum di awal abad
ke-20. Perilaku “partikel-partikel elementer”tidaklah
dapat dijelaskan oleh mekanika klasik. Matematika jenis baru harus
dikembangkan.
Dalam
matematika baru ini terdapatlah konsep-konsep semacam “ruang-fase”, di mana sebuah
sistem didefinisikan sebagai sebuah titik yang memiliki derajat kebebasan
sebagai koordinat, dan “operator”, besaran yang tidak mirip sama sekali dengan
besaran aljabar dalam makna mereka lebih mirip sebuah operasi ketimbang sebagai
sebuah besaran itu sendiri (pada kenyataannya mereka menyatakan hubungan,
bukannya sebuah nilai yang tetap), memainkan satu peran yang penting. Teori
peluang juga memainkan peranan yang penting, tapi dalam makna “peluang
intrinsik”: ini adalah salah satu dari ciri hakiki dalam mekanika kuantum. Pada
kenyataannya, mekanika kuantum harus diartikan sebagai sebuah gabungan
bertumpuk (superposisi) dari semua jalur gerak yang mungkin ditempuh oleh
sebuah sistem.
Partikel-partikel
kuantum hanya dapat didefinisikan sebagai sebuah himpunan kesalingterhubungan
internal antara keadaan “aktual” dan “virtual” mereka. Dalam makna
ini mereka murni dialektik. Pengukuran terhadap partikel-partikel itu dengan
cara tertentu hanya akan mengungkap keadaan “aktual” mereka, yang merupakan satu aspek saja
dari seluruh aspek keberadaan mereka (paradoks ini dijelaskan secara populer
dalam kisah “kucing Schrödinger”). Prinsip ini disebut “runtuhnya fungsi gelombang” (“collapse of the
wave function”), dan dinyatakan oleh Heisenberg sebagai prinsip ketidakpastian.
Cara yang sama sekali baru untuk memandang realitas fisik ini, yang dinyatakan
dalam persamaan mekanika kuantum ini, telah “dikarantina” untuk waktu yang lama
oleh sebagian besar kaum akademisi. Ia dilihat sebagai semacam pengecualian
terhadap mekanika yang selama itu ada, yang hanya berguna untuk menjelaskan
perilaku partikel-partikel elementer, pengecualian terhadap hukum-hukum
mekanika klasik, tanpa makna penting apapun selain itu.
Di tahta yang tadinya dikangkangi oleh kepastian, ketidakpastian kini meraja. Apa yang nampak sebagai pergerakan acak dari partikel-partikel sub-atomik, dengan kecepatan mereka yang tak terbayangkan, tidaklah dapat dinyatakan dalam persamaan-persamaan mekanika lama. Ketika sains mencapai satu jalan buntu, ketika ia tidak lagi dapat menjelaskan fakta-fakta yang ada, keadaan untuk sebuah revolusi dimatangkan, dan sains yang baru akan lahir. Walau demikian, sains yang baru itu, dalam bentuk awalnya, tidak akan muncul dalam keadaan sempurna. Hanya setelah melewati masa tertentu ia akan muncul dalam bentuknya yang lengkap dan pamungkas. Satu derajat improvisasi, ketidakpastian, interpretasi yang beragam dan sering kali bertentangan, niscaya terjadi pada masa-masa awal ini.
Pada
beberapa dasawarsa terakhir, satu debat tentang apa yang disebut
interpretasi “stochastic” (“acak”) tentang
alam dan determinisme telah dibuka. Masalah yang mendasar adalah keniscayaan
dan peluang yang di sini diperlakukan sebagai dua hal yang berdiri mutlak
bertentangan, sebagai dua lawan yang saling meniadakan satu sama lain. Kita
mendapatkan dua pandangan yang saling bertentangan, dan tidak ada satu pun dari
mereka yang cukup untuk menjelaskan cara kerja alam semesta yang kompleks dan
penuh kontradiksi.
Werner Heisenberg, seorang
fisikawan Jerman, mengembangkan versinya sendiri tentang mekanika kuantum. Di
tahun 1932 ia menerima Hadiah Nobel bidang fisika untuk sistem mekanika
matriksnya, yang menggambarkan tingkatan energi dari orbit elektron murni dalam
bentuk angka, tanpa mengandalkan gambar sama sekali. Dengan cara ini, ia
berharap dapat mengatasi masalah yang disebabkan oleh adanya kontradiksi antara
“partikel” dan “gelombang” dengan mengabaikan segala upaya menggambarkan gejala
tersebut, dan memperlakukan gejala tersebut murni dalam bentuk abstraksi
matematika. Mekanika gelombang Erwin Schrödinger menangani masalah yang persis
sama dengan mekanika matriks Heisenberg tanpa perlu melarikan diri ke dalam
dunia abstraksi matematika absolut. Kebanyakan fisikawan lebih menyukai
pendekatan Schrödinger karena jauh kurang abstrak ketimbang pendekatan
Heisenberg, dan mereka tidak salah. Di tahun 1944, John van Neumann, ahli
matematika Amerika keturunan Hungaria itu menunjukkan bahwa mekanika gelombang
dan mekanika matriks adalah setara secara matematika, dan dapat menghasilkan
jawaban yang persis sama untuk tiap persoalan.
Heisenberg
mencapai beberapa kemajuan penting dalam mekanika kuantum. Walau demikian,
keteguhannya untuk memasukkan filsafat idealisme yang dianutnya ke dalam ilmu
baru itu mewarnai dengan kuat seluruh pendekatan yang dipakainya. Dari sini
muncullah apa yang dikenal sebagai “interpretasi Copenhagen” atas mekanika
kuantum. Ini pada dasarnya adalah idealisme subjektif, yang dicadari dengan
tipis sebagai sebuah aliran pemikiran ilmiah. “Werner Heisenberg,” tulis Isaac
Asimov, “berupaya untuk mengangkat satu masalah mendasar yang menempatkan
partikel-partikel, bahkan fisika itu sendiri, hampir ke dalam ranah hal-hal
yang tak dapat diketahui [unknowable].”[1] Kata-kata yang tepat untuk
menggambarkan apa yang terjadi. Di sini kita tidak berurusan dengan apa yang
tidak diketahui [unknown]. Itu selalu ada di tengah ilmu pengetahuan. Seluruh
sejarah ilmu pengetahuan adalah kemajuan dari yang tidak diketahui menuju yang
diketahui, dari ketidaktahuan menuju pengetahuan. Tapi satu kesulitan yang
serius akan muncul ketika orang merancukan apa yang tidak diketahui [unknown]
dengan apa yang tidak dapat diketahui [unknowable]. Ada perbedaan mendasar
antara kata-kata “kita tidak tahu” dan “kita tidak mungkin tahu”. Ilmu
pengetahuan berangkat dari pandangan dasar bahwa dunia objektif benar-benar ada
dan dapat kita ketahui.
Walau demikian, sepanjang
sejarah filsafat telah terjadi berulang kali upaya untuk menetapkan batas bagi
pengetahuan manusia, untuk menegaskan bahwa terdapat beberapa hal yang “tidak
mungkin kita ketahui”, dengan alasan ini atau alasan itu. Demikianlah Kant
mengklaim bahwa kita hanya dapat memahami apa yang tampak, tapi bukan
Benda-Dalam-Dirinya-Sendiri [Things-in-Themselves]. Dalam pernyataan ini ia
mengikuti jejak skeptisisme Hume, idealisme subjektif George Berkeley dan para
sofis Yunani: kita tidak mungkin dapat memahami dunia.
Di tahun 1927, Werner
Heisenberg mengajukan “prinsip ketidakpastian”-nya yang terkenal itu, yang
menyatakan bahwa mustahil bagi kita untuk menentukan posisi dan kecepatan
sebuah partikel pada saat yang bersamaan. Semakin teliti kita menentukan posisi
sebuah partikel, semakin tidak pasti momentumnya, dan sebaliknya. (Hal ini juga
berlaku untuk sifat-sifat berpasangan yang lain.) Kesulitan untuk menetapkan
secara pasti posisi dan kecepatan dari sebuah partikel yang bergerak dengan
kecepatan 5.000 mil per detik ke berbagai arah yang berbeda pada saat yang
bersamaan merupakan hal yang tidak perlu dijelaskan lagi. Walau demikian,
deduksi dari sini bahwa kausalitas (sebab-akibat) secara umum tidak ada adalah
sebuah proposisi yang sama sekali keliru.
Bagaimana kita menentukan
posisi sebuah elektron? Ia bertanya. Dengan melihatnya. Tapi, jika kita
menggunakan mikroskop yang kuat, itu artinya kita akan menumburkan elektron itu
dengan sebuah partikel cahaya, sebuah foton. Karena cahaya berperilaku sebagai
sebuah partikel, ia niscaya akan mengganggu momentum dari partikel yang sedang
diamati. Dengan demikian, kita akan mengubah partikel itu persis ketika kita
menjalankan pengamatan. Gangguan ini tidak akan dapat diramalkan hasilnya dan
tidak akan dapat dikendalikan, karena (setidaknya dari teori kuantum yang ada)
tidak ada cara untuk mengetahui dan mengontrol sudut yang akan diambil kuantum
cahaya ketika dibiaskan melewati lensa. Karena pengukuran yang akurat akan
posisi elektron membutuhkan penggunaan cahaya yang panjang gelombangnya kecil,
momentum yang besar tapi tidak teramalkan dan tak terkontrol akan dipindahkan
kepada elektron. Di pihak lain, pengukuran yang akurat akan momentum
membutuhkan kuanta cahaya yang momentumnya sangat kecil (yaitu panjang
gelombang yang besar), yang berarti terjadinya satu pembiasan dengan sudut
besar, dan dengan demikian semakin tidak akurat posisinya. Semakin akurat
posisi diukur, semakin kurang akurat momentumnya terukur, dan sebaliknya.
Jadi,
apakah kita akan dapat mengatasi masalah ini jika kita mengembangkan sejenis
mikroskop elektron yang baru? Mustahil, menurut teori Heisenberg. Karena semua
energi datang dalam paket-paket (kuanta), dan semua materi memiliki sifat baik
sebagai sebuah gelombang maupun sebagai sebuah partikel, jenis alat apapun yang
kita pergunakan akan pula tunduk pada prinsip ketidakpastian ini. Sesungguhnya,
penggunaan istilah prinsip ketidakpastian tidaklah tepat, karena apa yang
ditegaskan di sini bukanlah bahwa kita tidak dapat mengukur secara akurat
karena persoalan alat ukur. Teori itu mengimplikasikan bahwa semua bentuk
materi tidak dapat diukur secara akurat justru karena hakikat materi itu
sendiri. Seperti yang dikatakan David Bohm dalam bukunya Causality and Chance in Modern Physics:
“Maka penolakan terhadap
kausalitas dalam interpretasi yang umum dari teori kuantum haruslah dianggap
bukan sebagai sekedar hasil dari ketidakmampuan kita untuk mengukur nilai
persis dari variabel-variabel yang akan dimasukkan dalam persamaan hukum
kausalitas di tingkat atomik, melainkan, ia harus dianggap sebagai cerminan
dari fakta bahwa hukum semacam itu tidak ada sama sekali.”
Bukannya melihat hal itu
sebagai sebuah aspek khusus dari teori kuantum dalam tingkat perkembangannya
yang sekarang, Heisenberg mempostulatkan ketidakpastian sebagai sebuah hukum
alam yang mendasar dan universal, dan mengasumsikan bahwa semua hukum alam yang
lain harus konsisten dengan hukum ini. Ini merupakan pendekatan yang sangat berbeda
dengan pendekatan ilmu pengetahuan di masa lalu ketika ia dihadapkan dengan
masalah yang menyangkut fluktuasi tak beraturan dan pergerakan acak. Tidak
seorang pun membayangkan bahwa mungkin bagi kita untuk menentukan pergerakan
persis dari satu molekul tunggal dalam gas, atau memprediksi seluruh rincian
dari sebuah kecelakaan mobil yang mungkin terjadi. Tapi belum pernah terjadi
sebelumnya satu upaya yang demikian serius untuk menurunkan dari fakta semacam
ini satu ketiadaan hukum kausalitas secara umum.
Tapi,
kesimpulan inilah yang diajukan dari prinsip ketidakpastian. Para ilmuwan dan
filsuf idealis telah maju terlalu jauh dengan mengajukan bahwa kausalitas
secara umum tidak ada. Yakni, bahwa bahwa tidak ada itu yang namanya sebab atau
akibat. Maka alam semesta akan nampak sebagai peristiwa yang seluruhnya tanpa
sebab dan acak. Seluruh alam semesta ini tidak dapat diramalkan. “Kita tidak dapat memastikan” segala sesuatu.
“Melainkan, diasumsikan bahwa dalam eksperimen macam apapun, hasil akurat yang
akan dicapaiakan seluruhnya acak dalam makna bahwa ia tidak memiliki hubungan
apapun dengan segala hal yang lain yang ada di dunia atau yang pernah ada.”[2]
Posisi
ini adalah negasi sempurna, bukan hanya atas sains, tapi juga atas pemikiran
rasional secara umum. Jika sebab dan akibat tidak ada, bukan hanya mustahil
bagi kita untuk meramalkan apapun; tapi juga mustahil bagi kita untuk
menjelaskan apapun. Kita hanya dapat membatasi diri kita untuk menggambarkan
apa yang ada. Nyatanya, bukan hanya itu, karena kita bahkan tidak akan pernah
bisa yakin bahwa ada sesuatu yang hadir di luar diri dan indera kita. Ini
membawa kita kembali pada filsafat idealisme subjektif. Pemikiran ini
mengingatkan kita pada argumen para filsuf sofis di jaman Yunani kuno: “Saya tidak akan dapat mengetahui sesuatu pun
tentang dunia. Jika saya dapat mengetahui sesuatu, saya tidak akan dapat
memahaminya. Jika saya dapat memahaminya, saya tidak akan dapat menyatakannya.”
Apa yang dinyatakan oleh
“prinsip ketidakpastian” adalah karakter pergerakan partikel sub-atomik yang
teramat misterius, yang tidak mungkin dapat diraba dengan persamaan dan
pengukuran mekanika klasik yang sederhana itu. Tidak ada keraguan tentang
sumbangan yang telah diberikan Heisenberg bagi dunia fisika. Apa yang kita
permasalahkan adalah kesimpulan filsafati yang ia tarik dari mekanika kuantum.
Fakta bahwa kita tidak dapat mengukur dengan tepat posisi dan momentum sebuah partikel
pada saat bersamaan sama sekali tidak membuat kita harus menarik kesimpulan
bahwa di sini tidak ada objektivitas. Cara berpikir subjektif merasuk ke dalam
aliran mekanika kuantum dari Copenhagen. Niels Bohr melangkah lebih jauh lagi
dengan menyatakan bahwa “keliru kalau kita berpikir bahwa tugas fisika adalah
untuk menemukan bagaimana keadaan alam yang sebenarnya. Fisika menyangkut
segala yang dapat kita katakan tentang alam.”
Fisikawan
John Wheeler berpendapat bahwa “tidak
ada fenomena yang merupakan fenomena nyata sampai ia menjadi fenomena yang
diamati.” Dan Max Born mengungkapkan filsafat subjektivis yang
sama dengan kejelasan mutlak: “Generasi yang mencakup Einstein, Bohr dan saya
sendiri diajari bahwa ada satu dunia fisik objektif, yang mengungkapkan dirinya
menurut hukum-hukum abadi yang tidak tergantung dari kemauan kita; kita
mengamati proses ini sebagaimana para penonton melihat sebuah pertunjukan di
teater. Einstein masih percaya bahwa seperti inilah seharusnya hubungan antara
seorang pengamat ilmiah dengan subjek yang diamatinya.”[3]
Apa yang kita lihat di sini bukanlah
sebuah evaluasi ilmiah, tapi pendapat filsafati yang mencerminkan satu cara
pandang tertentu terhadap dunia – cara pandang idealisme subjektif, yang
merasuki seluruh interpretasi Copenhagen atas teori kuantum. Untungnya,
sejumlah ilmuwan terkemuka masih berdiri menentang subjektivisme ini, yang
bertentangan dengan seluruh cara pandang dan metode ilmu pengetahuan itu
sendiri. Di antara mereka terdapatlah Einstein, Max Planck, Louis de Broglie
dan Erwin Schrödinger, yang kesemuanya memainkan peran dalam mengembangkan
fisika baru itu dengan peran yang setidaknya sama pentingnya dengan peran
Heisenberg sendiri.
Objektivitas
versus Subjektivisme
Tidak
ada keraguan sedikitpun bahwa interpretasi Heisenberg terhadap fisika kuantum
sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan filsafatnya. Bahkan ketika ia masih
menjadi mahasiswa, ia adalah seorang idealis yang bersemangat, yang mengakui
bahwa ia sangat terkesan dengan Timaeus, karya Plato (di mana idealisme Plato
tersaji dengan sangat rumit), dan pada tahun 1919 dia juga bergabung dalam
jajaran Freikorps, pasukan paramiliter reaksioner di Jerman, yang menentang
gerakan buruh. Kemudian ia menyatakan bahwa ia “jauh lebih tertarik terhadap
ide-ide filsafat yang mendasar daripada hal-hal lainnya,” dan bahwa perlulah “untuk keluar dari ide tentang proses objektif
dalam ruang dan waktu.” Dengan kata lain, interpretasi
filsafati Heisenberg atas fisika kuantum sangat jauh dari sekedar hasil sebuah
percobaan ilmiah. Jelas bahwa interpretasinya terkait erat dengan filsafat
idealis, yang dengan sadar diterapkannya dalam fisika, dan yang menentukan cara
pandangnya terhadap dunia.
Filsafat
semacam itu bukan saja bertentangan dengan sains, tapi juga dengan seluruh
pengalaman kesejarahan manusia. Bukan saja ia tidak mengandung hakikat yang
ilmiah, tapi juga sama sekali tidak ada gunanya dalam praktek. Para ilmuwan
yang, pada umumnya lebih suka tidak menyentuh spekulasi filsafat, mengangguk
dengan sopan pada Heisenberg, dan terus saja meneliti hukum-hukum alam,
menganggap sewajarnya bahwa alam bukan saja ada ada, tapi juga berjalan sesuai
dengan hukum-hukum tertentu, termasuk hukum sebab-akibat, dan dengan usaha
sedikit keras, dapat dipahami dengan sempurna, bahkan dapat diramalkan oleh
manusia. Konsekuensi yang reaksioner dari idealisme subjektif ditunjukkan oleh
perkembangan pribadi Heisenberg sendiri. Ia membenarkan keterlibatannya dengan
Nazi dengan alasan bahwa “Tidak ada pedoman umum yang dapat kita pegang. Kita
harus memutuskan bagi diri kita sendiri, dan tidak ada cara untuk meramalkan
apakah yang kita buat ini adalah benar atau salah.”[4]
Erwin
Schrödinger tidaklah menyangkal adanya gejala acak di alam secara umum atau
dalam mekanika kuantum. Ia secara khusus menyebut contoh penggabungan acak
molekul DNA pada saat pembuahan seorang anak, di mana fitur-fitur kuantum dari
ikatan kimia memainkan peranan penting. Walau demikian, ia menolak interpretasi
Copenhagen tentang implikasi dari “percobaan dua celah”; bahwa gelombang
probabilitas (waves of probability)
Max Born bermakna bahwa kita harus menyangkal semua keobjektifan dunia, yakni
pandangan bahwa keberadaan dunia ini tidak tergantung dari pengamatan kita
terhadapnya.
Schrödinger menertawakan
penegasan Heisenberg dan Bohr bahwa, ketika elektron atau foton tidak sedang
diamati, mereka “tidak memiliki posisi” dan hanya menjadi material pada titik
tertentu sebagai akibat dari pengamatan. Untuk melawan pandangan ini, ia
menciptakan satu “eksperimen pikiran” [thought experiment]. Ambillah seekor
kucing dan letakkan dalam sebuah kotak dengan satu botol kecil sianida,
katanya. Ketika alat pencacah Geiger mendeteksi peluruhan sebuah atom, botol
sianida itu akan pecah. Menurut Heisenberg, atom tidak “tahu” bahwa dirinya
telah meluruh sebelum ada orang yang mengukurnya. Maka, dalam kasus ini, sampai
seseorang membuka kotak itu dan melongok ke dalam, menurut para idealis, kucing
itu akan terus berada dalam keadaan tidak hidup dan juga tidak mati! Dengan
anekdot ini, Schrödinger bermaksud menggarisbawahi kontradiksi absurd yang akan
kita temuikalau kita menerima interpretasi idealis subjektif Heisenberg atas
fisika kuantum. Proses alam berlangsung secara objektif, tidak tergantung
apakah ada orang di sana untuk mengamatinya atau tidak.
Menurut
interpretasi Copenhagen, realitas hanya muncul ketika kita mengamatinya. Bila
tidak ada pengamatan, maka realitas hanya ada dalam sejenis limbo, dunia maya,
atau “keadaan superposisi gelombang probabilitas”, seperti kucing kita yang
berada dalam keadaan tidak-mati-tapi-juga-tidak-hidup. Interpretasi Copenhagen
mengambil garis pembatas yangtajam antara yang diamati dengan yang mengamati.
Mengikuti interpretasi Copenhagen, beberapa fisikawan berpandangan bahwa
kesadaran itu pasti ada, tapi ide realitas material tanpa kesadaran adalah
mustahil. Inilah sudut pandang idealisme subjektif yang dijawab oleh Lenin
secara komprehensif dalam bukunya Materialisme
and Empirio-kritisisme.
Materialisme dialektik
berangkat dari adanya objektivitas material dari alam semesta, yang disampaikan
pada kita melalui indera kita. “Saya menerjemahkan dunia melalui indera saya.”
Hal ini tidak perlu dibuktikan lagi. Tapi dunia ini ada, tanpa tergantung dari
indera saya. Hal ini juga tidak perlu dibuktikan lagi, seharusnya demikian,
tapi tidak untuk para filsuf borjuis! Salah satu varian utama dari filsafat
abad ke-20 adalah positivisme logis, yang menyangkal objektivitas dunia
material. Lebih tepatnya, ia melihat bahwa pertanyaan apakah dunia ini ada atau
tidak adalah sebuah pertanyaan yang tidak relevan dan “metafisikal”. Sudut
pandang idealisme subjektif telah terbukti keliru oleh penemuan-penemuan di
abad ke-20. Tindakan mengamati bermakna bahwa mata kita tengah menerima energi
dari sumber eksternal dalam bentuk gelombang cahaya (foton). Hal ini dengan
jelas diuraikan Lenin di tahun 1908-9:
“Jika
warna adalah satu sensasi yang tergantung hanya dari retina (seperti yang telah
terbukti oleh sains), maka sinar cahaya, yang jatuh ke atas retina,
menghasilkan sensasi warna. Ini berarti bahwa di luar tubuh kita, tidak
tergantung pada kita dan pikiran kita, ada pergerakan materi, katakanlah
gelombang ether yang memiliki panjang gelombang dan kecepatan tertentu, yang,
ketika beraksi pada retina, menghasilkan sensasi warna. Inilah pandangan ilmu
pengetahuan alam tentangnya. Ilmu pengetahuan menjelaskan bahwa sensasi akan
berbagai warna tergantung dari berbagai panjang gelombang cahaya yang ada di
luar retina manusia, di luar tubuh manusia, dan tidak tergantung kepada manusia
itu. Inilah materialisme: yakni materi yang bertindak atas organ-indera kita
akan menghasilkan sensasi. Sensasi tergantung pada otak, syaraf, retina, dsb.,
pada materi yang diorganisasikan dengan cara tertentu. Keberadaan materi tidak
tergantung dari sensasi kita. Materi adalah primer. Sensasi, pikiran, kesadaran
adalah produk pamungkas dari materi yang terorganisir dalam cara yang khusus. Demikianlah
pandangan dari materialisme pada umumnya, dan pandangan dari Marx dan Engels
pada khususnya.”[5]
Watak idealis-subjektif dari
metode Heisenberg nampak dengan sangat eksplisit:
“Situasi
kita yang sesungguhnya dalam kerja-kerja penelitian fisika atomik biasanya
seperti ini: kita ingin memahami fenomena tertentu, kita ingin mengenali
bagaimana fenomena ini mematuhi hukum-hukum umumalam. Dengan demikian, bagian
materi atau radiasi yang mengambil bagian dalam fenomena itu adalah 'objek'
alamiah dalam perlakuan teoritik dan harus dipisahkan dari alat-alat yang
digunakan untuk menyelidiki gejala tersebut. Hal ini lagi-lagi menekankan satu
unsur subjektif dalam menggambarkan kejadian-kejadian atomik, karena alat
pengukur itu telah dibangun oleh sang pengamat, dan kita harus ingat bahwa apa
yang kita amati bukanlah alam itu sendiri tapi alam yang ditempatkan di bawah
metode penyelidikan kita. Kerja-kerja ilmiah kita dalam fisika terdiri dari
mengedepankan pertanyaan-pertanyaan mengenai alam dalam bahasa yang kita miliki
dan berusaha untuk mendapatkan jawaban dari eksperimen melalui alat-alat yang
kita miliki.”[6]
Kant
mendirikan satu tembok kokoh antara dunia yang tampak dan realitas “dalam dirinya sendiri”. Di
sini Heisenberg melangkah lebih jauh. Ia tidak hanyaberbicara tentang “alam
dalam dirinya sendiri”, tapi bahkan menegaskan bahwa kita tidak dapat
benar-benar memahami alam yang dapat kita amati, karena kita mengubahnya ketika
kita mencoba mengamatinya. Dengan cara ini, Heisenberg berusaha menghilangkan
sama sekali kriteria objektivitas ilmiah. Sayangnya, banyak ilmuwan, yang
walaupun dengan tegas menolak tuduhan mistisisme, telah tanpa sadar menyerap
ide-ide filsafat idealis Heisenberg, hanya karena mereka enggan menerima
perlunya pendekatan filsafat materialis yang konsisten atas alam ini.
Poinnya
adalah bahwa hukum-hukum logika formal runtuh di luar batas-batas tertentu.
Terutama untuk fenomena-fenomena di tingkat dunia sub-atomik, di mana
hukum-hukum identitas, kontradiksi dan tanpa-antara tidak dapat diterapkan.
Heisenberg mempertahankan sudut pandang logika formal dan idealisme, dan dengan
demikian, niscaya sampai pada kesimpulan bahwa fenomena kontradiktif pada
tingkat sub-atomik tidak akan pernah dapat dipahami sama sekali oleh otak
manusia. Kontradiksinya, dengan demikian, bukanlah terletak pada gejala
teramati di tingkat sub-atomik, tapi dalam skema mental logika formal yang
teramat kuno dan penuh kekurangan itu. Apa yang disebut “paradoks mekanika
kuantum” adalah kontradiksi ini. Heisenberg tidak dapat menerima keberadaan
kontradiksi yang dialektis, dan dengan demikian, memilih untuk kembali ke
filsafat mistisisme - “kita
tidak akan pernah tahu”, dan segala alasan lainnya.
Ini
adalah semacam sulap filsafat yang menipu. Langkah pertama adalah dengan
mengaburkan konsep sebab-akibat dengan determinisme mekanik kuno yang disajikan
oleh orang-orang seperti Laplace. Keterbatasan dari determinisme ini sebenarnya
telah diuraikan dan dikritik oleh Engels dalam Dialectics of Nature. Penemuan mekanika kuantum
akhirnya menghancurkan sama sekali determinisme mekanik. Prediksi-prediksi yang
dibuat oleh mekanika kuantum berbeda dalam beberapa hal dari ramalan mekanika
klasik. Walau demikian, mekanika kuantum tetap saja terus sanggup membuat
prediksi-prediksi, dan menghasilkan jawaban-jawaban yang tepat sesuai dengan
apa yang diprediksinya.
Kausalitas
(Hukum Sebab-Akibat) dan Peluang
Salah satu dari masalah yang
dihadapi oleh para pelajar filsafat atau sains adalah ketika satu istilah
tertentu digunakan, yang maknanya sering kali berbeda dengan maknanya
sehari-hari. Salah satu masalah pokok dalam sejarah filsafat adalah hubungan
antara kebebasan dan keharusan (keniscayaan), satu masalah kompleks, yang
dibuat lebih rumit setelah ia muncul dalam berbagai rupa – kausalitas dan
peluang, keharusan dan kebetulan, determinisme dan indeterminisme, dsb.
Kita semua tahu dari
pengalaman sehari-hari apa yang kita maksud dengan “keharusan”. Ketika kita
“harus” melakukan sesuatu, itu berarti kita tidak memiliki pilihan lain. Kita
tidak dapat melakukan hal yang lain. Definisi keharusan dalam kamus adalah satu
himpunan keadaan lingkungan yang mendesak sesuatu untuk diadakan atau
dilakukan, khususnya menyangkut satu hukum alam semesta, yang tidak terpisah
dari, dan mengatur, kehidupan dan tindakan manusia. Ide tentang keharusan fisik
menyangkut pandangan tentang tekanan dan keterbatasan. Hal ini nampak jelas
dalam kalimat-kalimat semacam “tunduk pada keharusan”. Hal ini terdapat pula
dalam pepatah seperti “keharusan tidak mengenal aturan”.
Dalam makna filsafati,
keharusan berkerabat erat dengan kausalitas, yakni hubungan antara sebab dan
akibat – satu tindakan atau peristiwa tertentu yang mengharuskan timbulnya satu
hasil yang tertentu pula. Contohnya, jika saya berhenti bernafas selama satu
jam, saya akan mati, atau jika saya menggesek dua tongkat satu sama lain, saya
akan menghasilkan panas. Hubungan antara sebab dan akibat, yang telah
dibuktikan oleh sejumlah besar pengamatan dan eksperimen, memainkan peran
sentral dalam sains. Sebaliknya, kebetulan dianggap sebagai sebuah peristiwa
yang tidak diharapkan, yang terjadi tanpa sebab yang jelas, seperti ketika kita
tersandung ubin yang pecah, atau menjatuhkan mangkuk di dapur. Walau demikian,
dalam filsafat, kebetulan adalah sebuah ciri yang hanya merupakan atribut
ikutan, yaitu, sesuatu yang bukan merupakan bagian dari cirinya yang hakiki.
Sebuah kebetulan adalah sesuatu yang tidak harus ada, dan yang peluangnya untuk
tidak terjadi sama besarnya dengan peluangnya untuk terjadi. Mari kita lihat
satu contoh.
Jika saya menjatuhkan
selembar kertas, biasanya ia akan jatuh begitu saja ke lantai, karena
hukum-hukum gravitasi. Ini adalah contoh dari kausalitas, dari keniscayaan.
Tapi jika mendadak ada angin bertiup, kertas itu akan melayang pergi begitu
saja, hal yang akan dilihat sebagai kebetulan. Maka keharusan diatur oleh
sebuah hukum, dan dapat dinyatakan dan diramalkan secara ilmiah. Hal-hal yang
terjadi karena keharusan adalah hal-hal yang tidak bisa tidak harus terjadi. Di
pihak lain, kejadian-kejadian acak, hal-hal yang tidak diharapkan, adalah
kejadian-kejadian yang bisa atau tidak bisa terjadi; mereka tidak diatur satu
hukum tertentu yang dapat dinyatakan dengan jelas dan karena sifat hakikinya,
tidak dapat diramalkan.
Pengalaman
hidup meyakinkan kita bahwa baik keharusan maupun kebetulan benar-benar ada dan
memainkan suatu peran. Sejarah ilmu pengetahuan dan masyarakat menunjukkan hal
yang persis sama. Seluruh hakikat dari sejarah ilmu pengetahuan adalah
pencarian pola yang mendasari alam semesta. Kita telah belajar sejak masa
kanak-kanak untuk membedakan apa yang hakiki dan apa yang tidak hakiki, apa
yang menjadi keharusan dan apa yang kebetulan. Bahkan ketika kita menjumpai
satu kondisi perkecualian yang terasa “aneh” bagi
kita dalam tingkatan pengetahuan yang kita miliki, sering kali ternyata
pengalaman berikutnya mengungkap keteraturan yang berbeda jenisnya, dan
hubungan sebab-akibat yang lebih dalam, yang tidak segera nampak secara
sepintas.
Pencarian akan satu pemahaman
rasional akan dunia yang kita diami ini berhubungan sangat dekat dengan
kebutuhan untuk menemukan kausalitas. Seorang anak kecil, dalam prosesnya
belajar tentang dunia, akan selalu bertanya “mengapa?”– yang selalu dianggap
gangguan oleh orang tuanya, yang sering kali kebingungan harus menjawab apa.
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman, kita merumuskan satu hipotesis tentang
apa yang menyebabkan terjadinya sebuah fenomena tertentu. Inilah dasar dari
semua pemahaman rasional. Biasanya, hipotesis-hipotesis ini pada gilirannya
melahirkan ramalan mengenai hal-hal yang belum kita alami. Ramalan-ramalan ini
kemudian dapat diuji, baik melalui pengamatan ataupun praktek. Ini bukan hanya
penggambaran tentang sejarah ilmu pengetahuan, tapi juga satu bagian penting
dari perkembangan mental dari tiap manusia dari masa awal kanak-kanak sampai
seterusnya. Dengan demikian ia mencakup perkembangan intelektual dalam maknanya
yang terluas, dari mulai proses pembelajaran yang paling dasar dari seorang
anak sampai telaah tentang alam semesta.
Keberadaan kausalitas
ditunjukkan oleh sejumlah besar pengamatan. Semua ini memungkinkan kita membuat
prediksi-prediksi penting, bukan hanya dalam sains tapi juga dalam kehidupan
sehari-hari. Semua orang tahu bahwa jika air dididihkan sampai suhu 100 C ia
akan berubah menjadi uap. Inilah dasar, bukan hanya untuk pembuatan secangkir
teh, tapi juga untuk revolusi industri, yang telah menjadi dasar bagi seluruh
kehidupan masyarakat kita kini. Namun masih juga ada para filsufdan ilmuwan
yang menegaskan dengan serius bahwa uap tidak dapat dikatakan disebabkan oleh
pemanasan air. Fakta bahwa kita dapat membuat ramalan mengenai sejumlah besar
peristiwa itu sendiri adalah bukti bahwa kausalitas bukanlah sekedar satu cara
yang nyaman untuk menggambarkan berbagai hal tapi, seperti yang ditunjukkan
David Bohm, merupakan aspek yang inheren dan hakiki dari segala hal.
Sesungguhnya, mustahillah bahkan untuk menentukan properti-properti dari segala
hal tanpa mengandalkan kausalitas. Contohnya, ketika kita berkata bahwa sesuatu
adalah merah, kita menyatakan bahwa ia akan bereaksi dengan cara tertentu
ketika dikenai kondisi-kondisi tertentu – yaitu, satu objek berwarna merah
didefinisikan sebagai sesuatu yang jika dikenai cahaya putih akan memantulkan
cahaya merah. Begitu juta fakta bahwa air menjadi uap ketika dipanaskan, dan
menjadi es ketika didinginkan, adalah pernyataan dari sebuah hubungan
sebab-akibat kualitatif yang merupakan bagian dari properti-properti utama dari
cairan ini, tanpanya ia bukan lagi air. Hukum matematika umum tentang
pergerakan benda-benda bergerak juga merupakan sifat-sifat hakiki dari
benda-benda itu, tanpanya mereka tidak akan menjadi seperti apa mereka yang
kita kenal. Contoh itu dapat digandakan tanpa batas. Supaya dapat memahami
mengapa dan bagaimana sebab-akibat berkait erat dengan sifat-sifat hakiki
segala hal, tidaklah cukup untuk memandang hal-hal tersebut secara statis dan
saling terpisah satu sama lain.Kita harus memandang segala hal sebagaimana
adanya, sebagaimana mereka pernah ada, dan sebagaimana mereka akan harus ada –
yaitu, menelaah segala hal sebagai proses.
Untuk memahami
kejadian-kejadian tertentu, tidak perlu untuk merinci semua sebab.
Sesungguhnya, merinci semua sebab adalah hal yang mustahil. Determinisme
absolut yang diajukan oleh Laplace sebetulnya telah dijawab sebelum masalah itu
diajukan oleh Spinoza dalam kutipan cerdas berikut ini:
“Contohnya, jika sebuah batu
jatuh dari atap dan menimpa kepala seorang yang sedang lewat dan membunuhnya,
mereka akan menunjukkan melalui cara berargumen mereka bahwa batu itu dikirim
untuk jatuh dan membunuh orang itu; karena jika batu itu tidak jatuh untuk
tujuan itu, dengan kehendak Tuhan, bagaimana mungkin begitu banyak kejadian
(karena sering kali begitu banyak kejadian yang terjadi pada saat bersamaan)
mengarah ke situ secara kebetulan? Anda akan menjawab, mungkin: 'Angin sedang
bertiup dan orang itu harus melintas di situ, maka terjadilah hal itu.' Tapi
mereka akan membalas: 'Mengapa angin bertiup pada saat itu? Dan mengapa orang
itu berjalan ke arah itu pada saat itu?' Jika Anda menjawab lagi: 'Angin
bertiup karena pasang naik di laut pada hari sebelumnya, cuaca sebelumnya
tenang, dan orang itu berjalan ke situ karena sedang memenuhi undangan seorang
kawan,' mereka akan bertanya lagi, karena pertanyaan mereka tidak ada akhirnya:
'Mengapa laut pasang, dan mengapa orang itu diundang pada saat itu?'
“Dan
mereka akan terus mengejar Anda dari sebab ke sebab sampai Anda mengambil
perlindungan ke dalam kehendak Tuhan, yaitu, penampungan terhadap segala
ketidaktahuan. Demikian pula, ketika mereka melihat tubuh manusia mereka
terkagum-kagum, dan karena mereka tidak memahami sebab dari seni yang demikian
indah itu, mereka menyimpulkan bahwa itu bukanlah hasil sebuah seni mekanik,
tapi seni yang bersifat ketuhanan atau supernatural, dan yang dibangun dengan
cara tertentu sehingga satu bagian tidaklah mencederai bagian lainnya. Dari
situlah munculnya kenyataan bahwa orang yang ingin mencari tahu sebab sejati
dari segala mukjizat, dan memahami berbagai hal di alam sebagaimana halnya
pemahaman seorang terpelajar, bukannya terbengong menatap seperti seorang
dungu, akan dianggap sebagai orang murtad dan pendosa, dan dinyatakan demikian
oleh mereka-mereka yang dianggap oleh massa sebagai penerjemah kejadian alam
dan penyampai kehendak Tuhan. Karena mereka tahu bahwa bila ketidaktahuan
disingkirkan, maka keajaiban, yang selama ini menjadi satu-satunya cara berargumen
dan mempertahankankekuasaan mereka, akan pula disingkirkan.”[7]
Mekanisme
Upaya untuk menghilangkan
segala kebetulan dari alam pastilah membawa kita pada sudut pandang mekanistik.
Dalam filsafat mekanistik dari abad ke-18 – yang diwakili oleh Newton, ide
tentang keniscayaan diangkat menjadi sebuah prinsip yang mutlak. Semua dilihat
sebagai sesuatu yang mutlak sederhana, bebas dari segala kontradiksi, dan tanpa
sedikitpun kekacauan atau saling tindih antar berbagai hal.
Ide tentang keteraturan
universal di alam jelas benar secara mendasar, tapi suatu pernyataan
keteraturan yang kering tidaklah cukup. Yang dibutuhkan adalah sebuah pemahaman
konkret akan bagaimana hukum-hukum alam bekerja. Cara pandang mekanistik
pastilah muncul dari sebuah pandangan yang sepihak atas gejala-gejala alam,
yang mencerminkan tingkat perkembangan sains saat itu. Pencapaian tertinggi
dari cara pandang ini adalah mekanika klasik, yang menjelaskan proses-proses
yang relatif sederhana, sebab dan akibat, yang dipahami sebagai aksi eksternal
sederhana dari satu benda terhadap yang lain, pengungkit, kesetimbangan, massa,
inersia, mendorong, menekan, dan hal-hal lain semacam itu. Betapapun pentingnya
penemuan-penemuan ini, semuanya jelas tidak mencukupi untuk memungkinkan kita
sampai pada ide yang akurat tentang cara bekerjanya alam semesta yang kompleks
ini. Kemudian, penemuan biologi, terutama setelah revolusi Darwinian,
memungkinkan satu pendekatan yang berbeda terhadap gejala-gejala ilmiah, yang
sejalan dengan proses yang lebih fleksibel dan tak kasat mata dari
materi-materi organik.
Dalam mekanika klasik Newton,
gerak diperlakukan sebagai sesuatu yang sederhana. Jika kita tahu pada saat
tertentu apa saja gaya yang bekerja pada satu objek yang sedang bergerak, kita
akan dapat memastikan bagaimana ia akan berperilaku di masa mendatang. Hal ini
membawa kita pada determinisme mekanistik, yang salah satu pendukung utamanya
adalah Pierre Simon de Laplace, ahli matematika Prancis abad ke-18, yang
teorinya tentang alam semesta benar-benar mirip dengan gagasan takdir, yang
terkandung dalam beberapa agama, terutama Calvinisme.
Dalam
bukunya Philosophical Essays on
Probabilities, Laplace menulis:
“Suatu
intelektualitas yang pada saat tertentu mengetahui segala gaya yang
menggerakkan Alam dan segala posisi dari makhluk-makhluk yang menghuninya, jika
intelektualitas ini cukup besar sehingga sanggup menelaah seluruh data yang
dimilikinya, dapat menyarikannya ke dalam satu rumus tunggal tentang gerak baik
dari benda-benda terbesar di alam semesta maupun dari atom yang terkecil: bagi
intelektualitas ini tidak ada sesuatu punyang akan menjadi tidak pasti; dan
baik masa depan maupun masa lalu akan tersaji dengan jelas di depan mata kita.”[8]
Kesulitan
muncul dari metode mekanistik yang diwarisi oleh para fisikawan abad ke-19 dari
rekan-rekan mereka di abad ke-18. Di sini, keharusan dan kebetulan dipandang
sebagai dua hal yang saling bertentangan, yang saling meniadakan satu sama
lain. Sesuatu atau sebuah proses adalah keharusan (keniscayaan) atau kebetulan
– tidak bisa keduanya sekaligus. Metode ini diperiksa dengan ketajaman pisau
bedah oleh Engels dalam The
Dialectics of Nature, di mana ia menjelaskan bahwa
determinisme mekanistik Laplace niscaya akan membawa kita pada fatalisme
[kepasrahan pada takdir] dan konsepsi mistis tentang alam semesta ini:
“Dan kemudian dinyatakanlah
bahwa keniscayaan adalah satu-satunya hal yang harus diperhatikan secara ilmiah
dan bahwa kebetulan adalah hal yang tidak ada gunanya bagi sains. Ini sama
dengan menyatakan: apa yang dapat ditempatkan ke dalam hukum, yaitu yang kita
ketahui, adalah bermanfaat; apa yang tidak dapat ditempatkan ke dalam hukum,
yaitu yang tidak kita ketahui, tidaklah berguna dan dapat diabaikan. Kalau
demikian halnya, berakhirlah sejarah ilmu sains, karena sains justru harus
menyelidiki hal-hal yang tidak kita ketahui. Artinya: apa yang dapat
ditempatkan pada satu hukum umum adalah keharusan, dan apa yang tidak dapat
adalah kebetulan. Semua orang dapat melihat bahwa ini adalah jenis ilmu yang
menyatakan bahwa apa yang dapat dijelaskannya adalah natural, dan menyerahkan
segala yang tak dapat dijelaskannya pada sebab-sebab supernatural. Bila saya
menyebut hal yang tak dapat dijelaskan ini sebagai kebetulan atau Tuhan, ini
sama sekali tidak penting karena keduanya adalah sama. Keduanya adalah setara dengan:
saya tidak tahu, dan dengan demikian hal itu bukanlah sains. Sains berhenti
menjadi sains ketika hubungan kausalitas yang diperlukan tidak ditemukan.”
Engels menunjukkan bahwa
determinisme mekanistik semacam ini secara efektif mereduksi keniscayaan ke
tingkatan kebetulan. Jika tiap kejadian kecil berada dalam tingkat kepentingan
dan keharusan yang sama dengan hukum umum gravitasi, maka seluruh hukum dasar
alam berada dalam tingkat kedangkalan yang sama:
“Menurut pandangan ini, hanya
keniscayaan yang sederhana dan langsung yang mengendalikan alam ini. Bahwa
sebuah kacang tertentu mengandung lima butir biji kacang dan bukan empat atau
enam, bahwa satu buntut anjing tertentu panjangnya lima inci dan tidak
secuilpun lebih panjang atau lebih pendek, bahwa dalam tahun tertentu satu
kuntum bunga tertentu dibuahi oleh seekor lebah tertentu dan bukan oleh yang
lain, sesungguhnya persis oleh satu ekor lebah dan pada waktu tertentu, bahwa
satu biji rumput yang tertentu diterbangkan angin dan berbuah, sementara yang
lainnya tidak, bahwa kemarin malam saya digigit kutu pada pukul empat pagi, dan
bukan pada pukul tiga atau pukul lima, dan di bahu kiri bukannya di bahu kanan
– semua ini adalah fakta-fakta yang telah dihasilkan oleh rantai keniscayaan
sebab-akibat, oleh satu keniscayaan yang tak tergoyahkan dengan sifat yang
sedemikian rupa, sehingga sejak alam semesta ini masih berupa kumpulan gas
panas, telah dirancang sedemikian rupa sehingga kejadian-kejadian itu
berlangsung dengan cara yang seperti itu dan bukan dengan cara yang lain.
“Dengan
keniscayaan yang semacam ini kita tidak akan pernah lepas dari pandangan
teologi tentang alam semesta. Baik dengan Agustine maupun dengan Calvin kita
menyebutnya sebagai takdir Tuhan, atau Kismet seperti sebutan orang-orang Turki,
atau kita menyebutnya sebagai keniscayaan, semua itu sama maknanya bagi sains.
Mustahil bagi kita untuk merunut rantai sebab-akibat dalam tiap kasus yang kita
sajikan di atas; jadi kita tidak akan bertambah bijak karenanya, apa yang
disebut keniscayaan akan tinggal sebagai kalimat-kalimat kosong, dan bersamanya
– kebetulan juga tinggal seperti apa adanya.”[9]
Laplace berpikir bahwa jika
ia dapat merunut sebab-akibat dari segala sesuatu di alam semesta ini ia akan
dapat menghapuskan seluruh kebutuhan akan adanya kebetulan. Untuk waktu yang
lama, nampaknya mekanisme kerja seluruh alam semesta dapat direduksi menjadi
beberapa persamaan yang sederhana. Salah satu keterbatasan teori mekanistik
klasik adalah bahwa ia mengandaikan bahwa tidak ada pengaruh luar terhadap
pergerakan dari benda-benda tertentu. Pada kenyataannya, tiap benda dipengaruhi
dan ditentukan oleh benda lain. Tidak ada sesuatu pun yang hadir dalam keadaan
terisolasi.
Pada
masa sekarang ini klaim Laplace tampak berlebihan dan tidak masuk nalar.
Pemikiran yang berlebihan semacam inidapat dilihat di tiap tahapan sejarah
sains, di mana tiap generasi percaya dengan teguh bahwa mereka telah
menggenggam “kebenaran akhir”. Ini juga bukan hal yang sepenuhnya keliru. Ide
dari tiap generasi memang adalah kebenaran yang akhir, untuk masa itu. Maksud
dari pernyataan ini adalah: “Inilah
tingkatan terjauh yang dapat kita capai dalam memahami Alam Raya, dengan
kemampuan informasi dan teknologi yang kita miliki.” Dengan
demikian, bukanlah satu hal yang keliru bahwa hal-hal tersebut mutlak bagi kita
pada titik kesejarahan tertentu, karena kita hanya dapat menyandarkan diri pada
titik tersebut, bukan titik kesejarahan yang lain.
Abad
Ke-19
Pada masanya, mekanika klasik
Newton merupakan satu langkah maju yang besar bagi sains. Untuk pertama
kalinya, hukum-hukum Newton tentang gerak memungkinkan prediksi-prediksi
kuantitatif yang akurat, yang dapat diuji terhadap berbagai fenomena yang kita
amati. Walau demikian, keakuratan inilah yang membawa masalah lain ketika
Laplace dan yang lainnya mencoba menerapkan hukum-hukum ini terhadapalam semesta
secara umum. Laplace meyakini bahwa hukum-hukum Newton adalah mutlak dan sahih
secara universal. Ia melakukan kesalahan ganda. Pertama, hukum-hukum Newton
tidak dilihat sebagai satu pendekatan yang berlaku di bawah kondisi lingkup
tertentu. Kedua, Laplace tidak memperhitungkan kemungkinan bahwa di bawah
kondisi lingkup yang berbeda, di wilayah yang belum dijelajahi oleh fisika,
hukum-hukum ini mungkin perlu diperbaiki atau diperluas. Determinisme
mekanistik Laplace menganggap bahwa sekali posisi dan kecepatan diketahui untuk
satu titik waktu tertentu, seluruh perilaku alam semesta di masa depan akan
dapat ditentukan. Menurut teori ini, seluruh keragaman alam semesta ini dapat
direduksi menjadi sejumlah hukum-hukum kuantitatif yang tergantung dari beberapa
variabel saja.
Mekanika
klasik seperti yang ternyatakan dalam hukum-hukum gerak Newton berurusan dengan
sebab-akibat yang sederhana, contohnya satu aksi tunggal dari satu benda
terhadap benda lainnya. Walau demikian, dalam prakteknya, hal ini mustahil, karena
tidak ada sistem mekanik yang benar-benar terpisah dari sistem lainnya di
dunia. Pengaruh-pengaruh luar niscaya akan menghancurkan karakter hubungan
satu-dengan-satu yang terisolir dari sistem ini. Bahkan jika kita dapat
mengisolasi satu sistem, masih akan ada pengaruh yang muncul dari gerak yang
terjadi di tingkat molekular, dan pengaruh-pengaruh lain dari mekanika kuantum
di tingkat yang lebih dalam. Seperti yang dikemukakan oleh Bohm: “Maka dari itu, tidak ada situasi yang
memiliki hubungan-hubungan kausalitas satu-dengan-satu yang sempurna, yang
dapat secara prinsipil memungkinkan prediksi dengan ketepatan tak berhingga,
tanpa perlu memperhitungkan satu himpunan faktor-faktor kausal yang secara
kualitatif baru, yang hadir di luar sistem yang sedang diamati atau pada
tingkatan lain dari sistem itu.”[10]
Apakah ini berarti bahwa
prediksi adalah mustahil? Sama sekali tidak. Ketika kita membidikkan sepucuk
senapan pada titik tertentu, sebutir peluru tunggal tidak akan pernah mendarat
tepat pada titik yang diramalkan oleh hukum gerak Newton. Walau demikian, sejumlah
besar tembakan akan menghasilkan satu kumpulan titik di sekitar titik yang
diprediksikan. Maka, dengan memperhitungkan rentang kesalahan, yang pasti
terjadi, prediksi dengan ketepatan tinggi masih dimungkinkan. Jika kita ingin
mencapai satu ketepatan yang tak berhingga dalam contoh ini, kita akan
menemukan semakin banyak faktor yang akan mempengaruhi hasilnya –
ketidakteraturan dalam struktur senapan dan peluru, berbagai variasi kecil dari
suhu, tekanan, kelembaban, aliran udara, dan bahkan gerakan molekular dari
semua faktor ini.
Aproksimasi pada tingkat
tertentu diperlukan, dengan tidak mempertimbangkansejumlah faktor-faktor yang
menentukan ketepatan dari prediksi tertentu. Hal ini membutuhkan satu abstraksi
dari realitas, seperti yang dilakukan oleh mekanika Newton. Walau demikian,
ilmu pengetahuan terus melangkah maju, selangkah demi selangkah, untuk
menemukan hukum-hukum yang semakin dalam dan tepat, yang akan memungkinkan kita
untuk mendapat pemahaman yang semakin dalam tentang proses bekerjanya alam, dan
dari situ memungkinkan kita untuk membuat prediksi yang semakin tepat.
Ditinggalkannya determinisme mekanik Newton dan Laplace yang kuno itu tidaklah
berarti penghapusan sebab-akibat, tapi satu pemahaman yang lebih dalam tentang
cara bekerja yang sejati dari sebab-akibat itu sendiri.
Retakan pertama dari benteng
mazhab Newton muncul pada paruh kedua abad ke-19, khususnya dengan teori
evolusi Darwin dan karya fisikawan Austria, Ludwig Boltzmann, tentang
interpretasi statistik atas proses termodinamika. Para fisikawan berusaha
menjelaskan sistem multi-partikel semacam gas atau cairan dengan memakai metode
statistik. Walau demikian, statistik itu dilihat sebagai sebuah pembantu dalam
situasi di mana mustahil, untuk alasan-alasan praktis, untuk mengumpulkan
informasi yang rinci mengenai semua properti dari sebuah sistem (contohnya,
seluruh posisi dan kecepatan dari partikel-partikel gas pada satu titik waktu
tertentu).
Abad ke-19 menyaksikan
perkembangan ilmu statistik, pertama dalam bidang ilmu sosial, lalu dalam
fisika, contohnya dalam teori gas, di mana baik keacakan maupun kepastian dapat
dilihat dalam pergerakan molekul-molekul. Di satu pihak, molekul-molekul secara
individu nampak bergerak dalam cara yang seluruhnya acak. Di pihak lain,
sejumlah besar molekul yang menyusun gas bergerak dalam satu cara yang mematuhi
hukum-hukum dinamika yang berketepatan tinggi. Bagaimana menjelaskan
kontradiksi ini? Jika pergerakan dari molekul-molekul penyusunnya acak dan,
dengan demikian, tidak dapat diramalkan, seharusnya perilaku gas juga tidak
dapat diramalkan?
Jawaban untuk persoalan ini
disediakan oleh hukum perubahan kuantitas menjadi kualitas. Apa yang nampak
sebagai pergerakan acak dari sejumlah besar molekul ternyata menghasilkan satu
keteraturan dan pola yang dapat dinyatakan dalam hukum-hukum ilmiah. Dari
kekacauan, lahirlah keteraturan. Hubungan dialektik antara kebebasan dan
keharusan, antara kekacauan dan keteraturan, antara keacakan dan kepastian
adalah hal yang tertutup bagi para ilmuwan abad ke-19, yang menganggap
hukum-hukum yang mengatur gejala-gejala acak (statistik) sebagai hal yang sama
sekali terpisah dari persamaan-persamaan mekanika klasik yang tepat.
“Cairan
atau gas apapun,” tulis Gleick, “adalah satu kumpulan dari potongan-potongan
individual, demikian banyak sehingga jumlahnya dapat dianggap tak berhingga.
Jika tiap potongan digerakkan secara independen, maka cairan itu akan memiliki
kemungkinan yang tak berhingga, 'derajat kebebasan' tak berhingga dalam
istilahnya, dan persamaan yang menggambarkan pergerakan itu akan harus berisi
variabel-variabel yang jumlahnya juga tak berhingga. Tapi tiap partikel
tidaklah bergerak secara independen – pergerakannya sangat tergantung pada
pergerakan partikel tetangganya – dan dalam aliran yang mulus, derajat
kebebasannya menjadi sangat kecil.”[11]
Mekanika klasik bekerja sangat
baik untuk waktu yang lama,di mana ia memungkinkan kemajuan-kemajuan teknologi
yang penting. Bahkan sampai sekarang hukum-hukum itu masih terus memiliki
penerapan yang beraneka ragam. Walau demikian, akhirnya ditemukan bahwa
beberapa wilayah tertentu tidak dapat ditangani dengan baik oleh metode-metode
ini. Mereka telah mencapai batasan mereka. Dunia mekanika klasik yang teratur
dan logis menjelaskan sebagian alam ini, tapi hanya sebagian. Di alam semesta
kita melihat keteraturan, tapi juga ketidakteraturan. Berdampingan dengan
organisasi dan stabilitas terdapat pula kekuatan-kekuatan yang sama kuatnya
berjalan ke arah yang berlawanan. Di sini kita terpaksa memakai dialektika,
untuk menentukan hubungan antara keharusan dan kebetulan, untuk menentukan di titik
mana akumulasi dari perubahan-perubahan kuantitas yang kecil, yang kelihatannya
tidak penting, berubah menjadi lompatan kualitatif yang mendadak.
Bohm mengusulkan satu
perumusan ulang yang radikal atas mekanika kuantum, dan satu cara baru untuk
melihat hubungan antara yang keseluruhan dan yang sebagian.
“Dalam
telaah-telaah ini ... menjadi jelas bagi kita bahwa bahkan sistem satu-benda
memiliki ciri-ciri yang pada dasarnya non-mekanikal, dalam makna bahwa ia dan
lingkungannya haruslah dipahami sebagai satu keseluruhan yang tak terpisahkan,
di mana analisis klasik yang jamak dilakukan terhadap sistem dan lingkungan, di
mana keduanya dianggap sebagai terpisah, tidak lagi dapat diterapkan.” Hubungan
antara bagian-bagian “tergantung secara krusial pada keadaan yang keseluruhan,
dalam cara yang sedemikian sehingga ia tidak akan dapat dinyatakan hanya dalam
properti-properti dari bagian-bagian itu. Sesungguhnya, bagian-bagian itu
diorganisasikan dalam cara yang mengalir dari yang seluruhnya.”[12]
Hukum dialektika tentang
peralihan dari kuantitas ke kualitas menyatakan ide bahwa materi berperilaku
berbeda dalam tingkatan yang berbeda-beda. Maka, kita melihat tingkatan
molekular, tingkatan yang dipelajari terutama dalam kimia tapi hanya
sedikitsaja di dalam fisika; kita melihat tingkatan materi hidup, yang
dipelajari terutama dalam biologi; tingkatan sub-atomik, yang dipelajari dalam
mekanika kuantum; dan juga tingkatan yang bahkan lebih dalam daripada itu yaitu
tingkatan partikel-partikel elementer, yang kini sedang dijelajahi dalam fisika
partikel. Tiap tingkatan ini masih pula memiliki sub-tingkatannya
sendiri-sendiri.
Telah ditunjukkan bahwa
hukum-hukum yang mengatur perilaku materi di tiap tingkatan tidaklah sama. Hal
ini telah ditunjukkan di abad ke-19 oleh teori kinetika gas. Jika kita
mengambil sekotak gas yang mengandung miliaran molekul, yang bergerak dengan
jalur yang acak dan terus-menerus bertumbukan satu dengan lainnya, jelas
mustahil untuk menentukan dengan tepat pergerakan dari tiap molekul.
Pertama-tama, ini mustahil secara matematika. Bahkan jika dimungkinkan untuk memecahkan
persoalan matematika yang ada di dalamnya, akan mustahil dalam praktek untuk
mengukur posisi awal dan kecepatan dari tiap molekul yang dibutuhkan
untukmembuat prediksi yang tepat. Bahkan secuil perubahan dalam sudut awal
gerak satu molekul akan mengubah arah geraknya, yang pada gilirannya akan
membawa perubahan lebih besar pada tumbukan berikutnya, dan seterusnya, yang
akhirnya akan membawa tingkat kesalahan yang besar berkaitan dengan pergerakan
satu molekul tertentu.
Jika kita mencoba menerapkan
sistem berpikir yang sama pada perilaku gas dalam tingkatan makroskopik
(“normal”), kita akan menganggap bahwa mustahil pula untuk meramalkan
perilakunya. Tapi kenyataannya tidak demikian, perilaku gas pada skala besar
dapat diramalkan dengan sempurna. Seperti yang ditunjukkan Bohm:
“Jelaslah bahwa kita
dibenarkan untuk berbicara tentang satu tingkatan makroskopik yang memiliki
himpunan kualitas yang relatif otonom dan memenuhi satu himpunan hubungan yang
relatif otonom yang secara efektif menyusun satu himpunan hukum kausal
makroskopik. Sebagai contoh, jika kita meneliti satu massa air, kita tahu
melalui pengalaman skala-besar bahwa ia bertindak dalam ciri khasnya sendiri
sebagai suatu cairan. Yang kita maksudkan adalah bahwa ia menunjukkan semua
kualitas makroskopis yang kita kenali sebagai likuiditas. Contohnya, ia
mengalir, ia 'membasahi' segala sesuatu, ia cenderung menjaga volumenya, dsb.
Dalam pergerakannya ia memenuhi persamaan-persamaan hidrodinamika dasar yang
dinyatakan dalam properti-properti skala besar saja, seperti tekanan, suhu,
densitas lokal, kecepatan aliran lokal, dsb. Maka, jika kita ingin memahami
sifat-sifat massa air, kita tidak perlu memperlakukannya sebagai sebuah agregat
molekul-molekul, melainkan sebagai sebuah keberadaan yang hadir pada tingkat
makroskopik, yang mengikuti hukum-hukum yang sesuai untuk tingkatan tersebut.”
Hal
ini bukan berarti bahwa molekul-molekul penyusun itu tidak memiliki hubungan
apapun dengan perilaku air. Sebaliknya. Hubungan antar molekul menentukan,
contohnya, apakah ia mewujudkan diri sebagai suatu cairan, benda padat atau
uap. Tapi, sebagaimana dinyatakan Bohm, terdapatsebuah otonomi relatif, yang
berarti bahwa materi berperilaku berbeda pada tingkatan yang berbeda; di sana
ada “satu stabilitas tertentu dari mode-mode karakteristik atas perilaku
makroskopis, yang cenderung menjaga keberadaannya kurang lebih independen dari
apa yang dilakukan oleh molekul-molekul secara individu, tapi juga dari
berbagai gangguan yang dikenakan terhadap sistem tersebut dari luar dirinya.”[13]
Apakah
Ramalan Dimungkinkan?
Ketika kita melemparkan sekeping uang logam ke
udara, probabilitas bahwa ia akan mendarat “kepala atau buntut”adalah 50:50.
Itu adalah sebuah fenomena yang benar-benar acak, yang tidak dapat diramalkan.
(Ketika ia sedang berputar di udara, koin itu bukanlah “kepala” maupun “buntut”;
dialektika – dan fisika baru – akan menyatakan bahwa ia adalah keduanya, kepala
dan buntut sekaligus.) Karena terdapat hanya dua kemungkinan, probabilitas akan
mendominasi. Tapi persoalannya akan berbeda secara radikal ketika jumlah
pengulangannya dibuat demikian besar. Para pemilik rumah judi, yang tampaknya
mendasarkan diri pada permainan “probabilitas” tahu bahwa, dalam jangka
panjang, nol atau dobel-nol akan muncul sesering angka-angka lain, dan dengan
demikian mereka akan dapat membuat keuntungan yang berlimpah dan dapat
diprediksi. Hal yang sama terjadi pada perusahaan-perusahaan asuransi yang
menghasilkan banyak uang dari probabilitas-probabilitas yang diperhitungkan
secara presisi, yang, pada titik terakhirnya, akhirnya berubah menjadi keniscayaan
praktis, bahkan jikalaupun nasib individu pemegang polis tidak akan pernah
dapat diramalkan secara tepat.
Apa
yang dikenal sebagai “kejadian
acak massal”dapat diterapkan pada bidang yang sangat luas
cakupannya dalam fisika, kimia, biologi dan fenomena sosial, dari jenis kelamin
bayi sampai kekerapan terjadinya cacat dalam jalur produk sebuah pabrik.
Hukum-hukum probabilitas memiliki sejarah yang panjang dan telah digunakan di
masa lalu dalam berbagai bidang: teori kesalahan (Gauss), teori keakuratan tembakan
(Poisson, Laplace), dan di atas segalanya, dalam statistik. Contohnya, “hukum bilangan besar” menegaskan
prinsip umum bahwa gabungan efek dari sejumlah besar faktor kebetulan, untuk
kelas faktor yang sangat besar jumlahnya, membawa hasil yang hampir sama sekali
tidak tergantung pada probabilitas. Ide ini bahkan telah dikemukakan di tahun
1713 oleh Bernoulli, dan oleh Chebyshev di tahun 1867. Apa yang dilakukan
Heisenberg hanyalah menerapkan matematika kejadian acak skala-massal yang
sebelumnya telah diketahuike gerakan partikel sub-atomik, di mana, dapat diduga
sebelumnya, unsur keacakan dengan cepat diselesaikan.
“Mekanika
kuantum telah menemukan hukum-hukum yang presisi dan indah yang mengatur
probabilitas, dan dengan angka-angka seperti inilah sains mengatasi kekurangan
yang disebabkan oleh indeterminasi dasarnya. Melalui cara inilah sainsdengan
gagahnya membuat prediksi. Sekalipun ia kini dengan rendah hati mengakui bahwa
dirinya tidak berdaya untuk meramalkan perilaku persis dari elektron atau foton
secara individual atau benda-benda dasar lainnya, ia masih tetap dapat
menyatakan dengan penuh percaya diri bagaimana sejumlah besar partikel itu akan
berperilaku.”[14]
Dari apa yang nampak sebagai
keacakan, muncullah satu pola. Pencarian untuk pola semacam itulah, yakni hukum
yang mendasarinya, yang menjadi basis bagi seluruh sejarah sains. Tentu saja,
jika kita menerima bahwa segala sesuatunya sebetulnya acak, bahwa tidak ada
sebab-akibat, dan bahwa, walau bagaimanapun, kita tidak akan pernah memahami
apapun karena ada batasan-batasan objektif bagi pengetahuan kita, maka semuanya
adalah sungguh sia-sia. Untungnya, seluruh sejarah ilmu pengetahuan menunjukkan
bahwa ketakutan semacam itu tidak memiliki basis secuilpun. Dalam mayoritas
pengamatan ilmiah, tingkat indeterminasi demikian kecilnya sehingga, untuk
keperluan praktis, ia dapat diabaikan. Pada tingkat objek sehari-hari, prinsip
ketidakpastian terbukti mutlak tidak berguna. Maka, semua upaya untuk menarik
kesimpulan filsafati umum dari sana, dan menerapkannya pada pengetahuan dan
ilmu secara umum, benar-benar merupakan tipuan yang licik. Bahkan di tingkat
sub-atomik, sama sekali itu bukan berarti bahwa kita tidak akan pernah dapat
membuat prediksi yang tepat. Sebaliknya, mekanika kuantum masih membuat
prediksi-prediksi semacam itu. Mustahil untuk mencapai tingkat kepastian yang
tinggi tentang koordinat dari partikel-partikel secara individu, yang oleh
karenanya dapat kita sebut sebagai acak. Namun, pada akhirnya, dari keacakan
lahirlah keteraturan dan keseragaman.
Kebetulan, peluang,
probabilitas, dsb., adalah fenomena yang tidak dapat didefinisikan hanya dalam
lingkup properti-properti yang diketahui dari objek yang sedang diamati. Walau
demikian, ini tidaklah berarti mereka tidak dapat dipahami. Mari kita lihat
satu contoh jamak dari peristiwa yang kebetulan – tabrakan mobil. Satu
kecelakaan tunggal ditentukan oleh peristiwa-peristiwa kebetulan yang tak
berhingga banyaknya: jika sang pengemudi meninggalkan rumah semenit kemudian,
jika ia tidak memalingkan mukanya sedetikpun dari jalan, jika ia mengemudi
sepuluh mil per jam lebih lambat, jika wanita tua itu tidak menyeberang jalan,
dsb., dsb. Kita telah mendengar hal seperti ini berulang kali. Jumlah penyebab
kecelakaan di sini adalah tak berhingga. Karena itulah kejadian itu seluruhnya
tidak dapat diramalkan. Ia adalah kejadian yang murni kebetulan, bukan
keharusan, karena ia bisa terjadi dan juga bisa tidak terjadi. Kejadian semacam
ini, yang bertentangan dengan teori Laplace, ditentukan oleh demikian banyaknya
faktor yang independen sehingga ia tidak dapat ditentukan sama sekali.
Walau demikian, ketika kita
meninjau sejumlah besar kecelakaan semacam itu, gambarannyaberubah secara
radikal. Ada kecenderungan yang reguler, yang dapat dengan tepat diperhitungkan
dan diramalkan melalui apa yang kita kenal sebagai hukum-hukum statistik. Kita
tidak dapat meramalkan satu kecelakaan tertentu, tapi kita dapat meramalkan
akurasi yang sangat tinggi jumlah kecelakaan yang akan terjadi di satu kota
dalam jangka waktu tertentu. Bukan hanya itu, tapi kita dapat memperkenalkan
hukum-hukum dan peraturan yang memiliki satu dampak yang pasti terhadap jumlah
kecelakaan. Dengan demikian, ada hukum-hukum yang mengatur segala kebetulan,
yang sama pastinya dengan hukum-hukum yang mengatur sebab-akibat itu sendiri.
Hubungan
sejati antara sebab-akibat dan peluang telah dikemukakan oleh Hegel, yang
menjelaskan bahwa keharusan atau keniscayaanmengekspresikan dirinya melalui
sebuah kebetulan (necessity expresses itself
through accident). Satu contoh yang baik tentang hal ini adalah
asal mula kehidupan itu sendiri. Ilmuwan Rusia, Oparin, menjelaskan bagaimana
dalam kondisi yang kompleks di masa-masa awal sejarah bumi, pergerakan acak
dari molekul-molekul cenderung membentuk molekul yang semakin kompleks dengan
segala macam peluang kombinasi. Pada titik tertentu, jumlah peluang kombinasi
yang teramat besar ini menimbulkan satu lompatan kualitatif, munculnya materi
hidup. Pada titik ini, proses itu bukan lagi sekedar persoalan peluang murni.
Materi hidup mulai berkembang sesuai dengan hukum-hukum tertentu, mencerminkan
keadaan yang berubah. Hubungan antara keharusan dan kebetulan ini dalam ilmu
pengetahuan telah ditelusuri oleh David Bohm:
“Dengan demikian kita melihat
peran penting dari peluang. Karena, jika kita memberinya cukup waktu, ia akan
memungkinkan, bahkan secara tak-terelakkan, berbagai jenis kombinasi dari
berbagai hal. Salah satu dari kombinasi itu, yang menggerakkan proses
yang-tak-dapat-diputarbalik-lagi atau garis perkembangan yang membebaskan
sistem tersebut dari pengaruh fluktuasi peluang, pada akhirnya pasti terjadi.
Dengan demikian, salah satu dari efek peluang adalah membantu 'mengaduk
berbagai hal' dengan cara yang sedemikian rupa sehingga memungkinkan inisiasi
dari satu garis perkembangan yang baru secara kualitatif.”
Berpolemik melawan interpretasi
idealis-subjektif atas mekanika kuantum, Bohm menunjukkan secara memuaskan
hubungan dialektik antara sebab-akibat dan peluang. Kehadiran sebab-akibat
telah ditunjukkan oleh seluruh sejarah pemikiran manusia. Ini bukanlah masalah
spekulasi filsafati, tapi dari praktek dan proses tanpa henti dari pemahaman
manusia:
“Hukum-hukum
sebab-akibat untuk satu problem tertentu tidaklah dapat ditentukan apriori;
mereka harus ditemukan di alam. Walau demikian, sejalan dengan pengalaman
ilmiah dari banyak generasi dan latar belakang umum dari pengalaman bersama
umat manusia selama berabad-abad, telah dikembangkanmetode-metode yang
terformulasicukup rapi untuk menemukan hukum-hukum sebab-akibat itu. Hal
pertama yang membuktikan adanya hukum-hukum sebab-akibat itu adalah, tentu
saja, kehadiran satu hubungan reguler yang berlaku di dalam sejumlah besar
variasi kondisi. Ketika kita menemukan keteraturan semacam itu, kita tidak
menganggap bahwa mereka lahir dengan cara yang acak, sembarang, atau kebetulan,
tapi ... kita menganggap, setidaknya dengan hati-hati, bahwa mereka adalah
hasil dari sebuah hubungan sebab-akibat yang pasti. Dan bahkan, dengan
mempertimbangkan pula ketidakteraturan, yang selalu hadir bersamaan dengan
keteraturan itu, kita dibimbing, berdasarkan pengalaman ilmiah secara umum,
untuk mengharapkan bahwa gejala-gejala yang bagi kita masih kelihatan
sepenuhnya tidak teratur, dalam konteks tahapan perkembangan pemahaman tertentu
yang kita miliki, akan di kemudian hari kelihatan mengandung bentuk-bentuk keteraturan
yang lebih halus, yang pada gilirannya akan membuktikan adanya keteraturan di
tingkat yang lebih dalam.”[15]
Hegel
tentang Keniscayaan dan Kebetulan
Dalam
menelaah sifat-sifat keberadaan dalam segala perwujudannya, Hegel menangani
hubungan antara yang potensial dan yang aktual, dan juga antara keniscayaan dan
kebetulan. Dalam hubungannya dengan masalah ini, penting untuk memperjelas
kutipan Hegel yang paling terkenal: “Apa
yang rasional adalah aktual, dan yang aktual adalah rasional.”[16] Sekilas, pernyataan ini nampak mistis, dan juga
reaksioner, karena kelihatannya ia menegaskan bahwa segala hal yang ada adalah
rasional, dan dengan demikian dibenarkan untuk terus ada. Walau demikian, hal
ini sama sekali bukan apa yang dimaksudkannya, seperti yang dijelaskan oleh
Engels:
“Menurut
Hegel, realitas adalah sama sekali bukan sebuah atribut yang dapat dilekatkan
pada tiap keadaan-peristiwa, sosial atau politik, dalam segala kondisi dan pada
segala waktu. Sebaliknya, Republik Romawi adalah hal yang riil, namun demikian
juga Kekaisaran Romawi, yang menggantikannya. Di tahun 1789 monarki Prancis
telah menjadi demikian artifisial, demikian terlucuti dari segala keharusan,
demikian irasional, sehingga ia harus dihancurkan oleh Revolusi Besar itu, yang
selalu Hegel bicarakan dengan antusiasme yang berkobar-kobar. Dalam hal ini,
dengan demikian, monarki tidaklah riil dan revolusilah yang riil. Dan demikianlah,
dalam perjalanan perkembangannya, semua yang tadinya riil menjadi tidak riil,
kehilangan keharusannya, haknya untuk mengada, rasionalitasnya. Menggantikan
realitas yang sudah usang itu muncullah satu realitas yang baru dan hidup –
dengan damai jika realitas yang lama memiliki cukup otak untuk pergi ke
peraduan terakhirnya tanpa perlawanan, dengan kekerasan jika realitas lama itu
melawan keniscayaan ini. Dengan demikian, proposisi Hegelian berbalik menjadi
lawannya melalui dialektika Hegelian itu sendiri: Segala yang riil dalam
lingkup sejarah manusia menjadi irasional dalam proses waktu, menjadi irasional
justru karena tujuannya itu sendiri, tercemari terlebih dahulu dengan
irasionalitas; dan segala hal yang rasional dalam benak manusia ditakdirkan
menjadi riil, bagaimanapun kontradiktifnya itu dengan realitas yang masih
nampak hadir. Sejalan dengan segala aturan dari metode berpikir Hegelian,
proposisi tentang rasionalitas dari segala yang riil meluruhkan dirinya menjadi
proposisi lain: Segala yang ada ditakdirkan untuk musnah.”[17]
Satu bentuk masyarakat
tertentu adalah “rasional” sejauh ia mencapai tujuan-tujuannya, yaitu, bahwa ia
mengembangkan kekuatan produktif, mengangkat tingkat budaya manusia, dan dengan
demikian mendukung kemajuan umat manusia. Sekali ia gagal melalukan hal ini, ia
menjadi tidak rasional dan tidak riil, dan tidak lagi memiliki hak untuk terus
hidup. Dengan demikian, bahkan dalam pernyataannya yang nampaknya paling
reaksioner, ada sebuah ide yang revolusioner yang tersembunyi.
Segala
yang eksis hanya dapat eksis jika diharuskan hadir. Tapi tidak segala
sesuatunya dapat eksis. Keberadaan yang potensial masihlah belum menjadi
keberadaan yang aktual. Dalam The
Science of Logic, Hegel dengan hati-hati menelusuri proses di mana
sesuatu berjalan dari keadaan keberadaan yang hanya mungkin sampai titik di
mana kemungkinan berubah menjadi probabilitas, dan di mana yang disebut
terakhir itu berubah menjadi tak terelakkan (“keharusan”). Mengingat
adanyakebingungan besar dalam sains modern seputar isu tentang “probabilitas”,
satu telaah atas metode berpikir Hegel yang menyeluruh dan mendasar atas subjek
ini adalah hal yang sangat dianjurkan.
Kemungkinan dan aktualitas
menyatakan perkembangan dialektik dari dunia nyata dan berbagai tahapan dalam
kemunculan dan perkembangan berbagai objek. Satu hal yang hadir secara
potensial mengandung di dalam dirinya kecenderungan objektif untuk
perkembangan, atau setidaknya ketiadaan kondisi yang akan memustahilkan dirinya
benar-benar muncul ke permukaan. Walau demikian, terdapat satu perbedaan antara
kemungkinan abstrak dan potensi riil, dan kedua hal itu sering dicampuradukkan
satu sama lain. Kemungkinan abstrak atau formal hanya menyatakan ketiadaan
kondisi yang akan memustahilkan satu gejala tertentu, tapi tidaklah lantas
berarti adanya satu kondisi yang akan membuat kemunculannya menjadi suatu yang
niscaya.
Ini menyebabkan kebingungan
tanpa ujung, dan biasanya merupakan satu tipuan yang berguna untuk membenarkan
segala macam ide yang absurd dan acak. Contohnya, telah dikemukakan bahwa jika
seekor kera dibiarkan mengetuk-ngetuk tuts mesin tik cukup lama, akhirnya ia
akan mampu menghasilkan salah satu soneta Shakespeare. Tujuan percobaan ini
sangatlah bersahaja. Mengapa hanya satu soneta? Mengapa tidak sekalian seluruh
kumpulan karya Shakespeare? Mengapa juga tidak sekalian seluruh literatur yang
ada di dunia, dengan ditambah bonus teori relativitas dan simfoni-simfoni
Beethoven? Penegasan serta-merta bahwa hal itu “secara statistik dimungkinkan”
tidaklah membawa kita selangkahpun lebih maju. Proses alam, masyarakat dan
pemikiran manusia yang kompleks itu tidaklah dapat dijelaskan begitu saja
dengan statistik yang sederhana, bahkan juga karya-karya sastra yang besar
tidak akan pernah muncul dari kebetulan belaka, betapapun lamanya kita menunggu
kera kita menghasilkan hal itu.
Agar yang potensial dapat
menjadi aktual, dibutuhkan rangkaian kondisi tertentu. Lebih jauh lagi, ini
bukanlah satu proses yang sederhana atau linear, tapi dialektik, di mana
akumulasi perubahan-perubahan kualitatif kecil akhirnya menghasilkan lompatan kualitatif.
Kemungkinan riil, jika dibandingkan dengan yang abstrak, mengasumsikan adanya
semua faktor wajib yang akan memungkinkan potensi itu meninggalkan keadaan
menggantungnya, dan menjadi aktual. Dan, seperti yang diterangkan Hegel, ia
akan tetap aktual hanya selama kondisi-kondisi ini hadir, tidak sedetikpun
lebih lama. Hal ini dibenarkan ketika kita merujuk pada kehidupan satu
individu, satu bentuk sosial-ekonomi tertentu, satu teori ilmiah, atau
gejala-gejala alam lainnya. Titik di mana perubahan akan menjadi satu
keniscayaan dapat ditentukan melalui metode yang diciptakan oleh Hegel, yang
dikenal sebagai “garis pengukuran nodal”. Jika kita menganggap sebuah proses
sebagai sebuah garis, akan nampak bahwa terdapat titik-titik tertentu (“titik
nodal”) pada garis perkembangan, di mana proses tersebut mengalami percepatan
mendadak, atau lompatan kualitatif.
Sangatlah
mudah untuk mengenali sebab dan akibat dalam kasus yang terisolasi, seperti
ketika kita memukul sebuah bola dengan tongkat. Tapi, dalam makna yang lebih
luas, sebab-akibat menjadi jauh lebih rumit. Sebab dan akibat individual lenyap
dalam lautan interaksi, di mana sebab diubah menjadi akibat dan sebaliknya.
Cobalah menelusuri satu kejadian sederhana sampai ke “sebab paling utama”-nya
dan Anda akan melihat bahwa keabadianpun tidak akan cukup panjang untuk memberi
kita waktu yang cukup untuk melakukan tugas itu. Akan selalu ada sebab yang
baru, dan yang pada gilirannya harus pula dijelaskan, dan seterusnya ad infinitum, sampai tak
berhingga. Paradoks ini telah masuk dalam kesadaran umum dalam ujar-ujar
semacam ini:
Karena
kurang sebatang paku, ladam pun lepas;
Karena
ladam lepas, seekor kuda tidak dapat dikendalikan;
Karena
seekor kuda tidak dapat dikendalikan, penunggangnya tewas;
Karena
penunggangnya tewas, kita kalah dalam pertempuran;
Karena
kita kalah dalam pertempuran, kerajaan kita direbut musuh;
...
Semua gara-gara kurang sebatang paku.
Kemustahilan
untuk menetapkan satu “sebab
final” telah menyebabkan beberapa orang meninggalkan sama
sekali ide tentang sebab-akibat. Segala hal dilihat sebagai acak dan kebetulan.
Di abad ke-20 posisi ini telah diadopsi, setidaknya dalam teori, oleh sejumlah
besar ilmuwan berdasarkan interpretasi yang tidak tepat atas hasil-hasil fisika
kuantum, khususnya posisi filsafati Heisenberg. Hegel sebetulnya telah menjawab
argumen-argumen ini, ketika ia menjelaskan hubungan dialektik antara keharusan
dan kebetulan.
Hegel
menjelaskan bahwa tidak ada yang namanya sebab-akibat dalam makna sebab-akibat
yang terisolasi. Tiap akibat memiliki akibat-tandingan [counter-effect], dan tiap aksi
memiliki aksi-tandingan. Ide tentang sebab-akibat yang terisolasi adalah satu
abstraksi yang diambil dari fisika klasik Newton, yang sangat dikritik oleh
Hegel, sekalipun waktu itu masih sangat diakui. Di sini pula, Hegel maju
mendahului jamannya. Alih-alih aksi-reaksi yang mekanik, ia memajukan pandangan
tentang ketimbalbalikan [Reciprocity],
tentang interaksi universal. Segala hal mempengaruhi segala yang lain, dan pada
gilirannya, dipengaruhi dan ditentukan oleh segala hal lain itu juga. Hegel,
dengan demikian, mengajukan kembali konsep kebetulan yang telah dilarang dengan
bersemangat dari ilmu pengetahuan oleh filsafat mekanik dari Newton dan
Laplace.
Sepintas, kita kelihatannya
tersesat dalam lautan kebetulan. Tapi kesesatan ini hanya penampakan belaka.
Fenomena yang kebetulan, yang terus muncul dan lenyap, seperti gelombang di
permukaan laut, menyatakan proses yang lebih dalam, yang bukannya kebetulan
tapi keharusan. Pada satu titik yang menentukan, keharusan ini menyatakan
dirinya melalui kebetulan. Ide tentang kesatuan dialektik antara keharusan dan
kebetulan mungkin terasa aneh, tapi sungguh dibenarkan oleh serangkaian
pengamatan dalam berbagai bidang yang luas dalam ilmu pengetahuan dan
masyarakat. Mekanisme seleksi alam dalam teori evolusi adalah contoh yang
paling terkenal. Tapi ada banyak lagi yang lain. Dalam beberapa tahun terakhir,
telah terjadi banyak penemuan dalam bidang teori kompleksitas dan chaos yang
persis merinci bagaimana “keteraturan lahir dari kekacauan”, persis seperti
yang dikemukakan Hegel satu setengah abad yang lalu.
Kita harus ingat bahwa Hegel
menulis pada awal abad ke-19, ketika ilmu pengetahuan masih didominasi oleh
fisika mekanik klasik, dan setengah abad sebelum Darwin mengembangkan ide
tentang seleksi alam melalui mutasi acak. Ia tidak memiliki bukti ilmiah untuk
mendukung teorinya bahwa keharusan menyatakan dirinya melalui kebetulan. Tapi
itulah ide sentral yang berada di balik pemikiran-pemikiran inovatif terbaru
dalam sains
Hukum yang mendasar ini sama
fundamentalnya bagi pemahaman terhadap sejarah. Seperti apa yang ditulis Marx
pada Kugelmann di tahun 1871:
“Sejarah
dunia akan benar-benar mudah dibuat jika perjuangan di dalamnya hanya dilakukan
dalam kondisi-kondisi yang mengandung peluang-peluang yang pasti menguntungkan.
Di pihak lain ia akan memiliki watak yang sangat mistis, jika 'kebetulan' tidak
memainkan peran sama sekali. Kebetulan-kebetulan ini secara alamiah menjadi
bagian dari arah umum perkembangan dan diimbangi oleh kebetulan-kebetulan lain.
Tapi percepatan dan hambatan sangatlah tergantung pada 'kebetulan-kebetulan'
semacam ini, termasuk'kebetulan' yang menyangkut watak dari orang-orang yang
memimpin pergerakan tersebut.”[18]
Engels
membuat pernyataan yang mirip beberapa tahun sesudah itu dalam hubungannya
dengan “figur-figur besar” dalam
sejarah:
“Manusia
membuat sendiri sejarah mereka, tapi bukanlah dengan satu kehendak kolektif
menurut satu rencana kolektif, atau bahkan dalam satu masyarakat yang memiliki
batas-batas pasti. Aspirasi-aspirasi mereka saling berbenturan satu sama lain,
dan justru karena alasan itu semua masyarakat tunduk pada keharusan, yang
saling melengkapi dan mewujud dalam kebetulan-kebetulan. Keharusan, yang di
sini menyatakan dirinya berlawanan dengan semua kebetulan, adalah lagi-lagi
keharusan ekonomi. Di sinilah apa yang disebut figur-figur besar itu harus
ditempatkan. Bahwa orang-orang seperti itu, dan persis orang itu, muncul pada
satu waktu tertentu di satu negeri tertentu, adalah tentu saja hal yang murni
kebetulan. Tapi, penggallah dia, dan akan muncul tuntutan untuk penggantinya,
dan pengganti ini akan ditemukan, baik atau buruk, tapi dalam jangka panjang ia
akan ditemukan.”[19]
Determinisme
dan Chaos
Teori chaos menjelaskan
proses-proses alam yang nampaknya kacau atau acak. Kamus mendefinisikan chaos
sebagai ketidakberaturan, kekacauan, keacakan, atau kebetulan: gerakan acak
tanpa tujuan, tanpa kegunaan atau tanpa prinsip tertentu. Tapi, campur tangan
dari “kebetulan” murni dalam proses-proses material mengundang masuknya
faktor-faktor yang non-fisik, yaitu, metafisik: kehendak, campur tangan ilahi.
Karena ia berkaitan dengan kejadian-kejadian yang “kebetulan”, maka ilmu chaos
yang baru lahir itu memiliki implikasi-implikasi filsafati yang mendasar.
Proses-proses alami yang pada
awalnya dianggap sebagai acak dan kacau kini terbukti tunduk pada hukum-hukum
ilmiah, yang menunjukkan satu basis kausal yang deterministik. Lebih jauh lagi,
penemuan ini memiliki penerapan yang demikian luas, kalau tidak dapat disebut
universal, sehingga ia telah mendorong satu cabang ilmu yang sama sekali baru –
telaah tentang chaos. Ia telah menghasilkan satu cara pandang dan metodologi
baru, beberapa orang akan menyebutnya satu revolusi, yang dapat diterapkan pada
semua cabang ilmu yang ada sekarang. Ketika sekeping logam menjadi magnet, ia
berubah ke dalam “keadaan teratur”, di mana semua partikelnya mengarah ke
jurusan yang sama. Ia dapat diarahkan ke satu atau lain jurusan. Secara
teoritik, ia “bebas” untuk mengatur dirinya ke jurusan apapun. Namun pada
prakteknya tiap potongan kecil logam membuat “keputusan” yang serupa.
Seorang ilmuwan chaos telah
menemukan aturan-aturanmatematika dasar yang menjelaskan“geometri fraktal” dari
sehelai daun cemara spleenwort hitam. Ia memasukkan informasi itu ke dalam
komputernya, yang juga memiliki program untuk menghasilkan bilangan-bilangan
acak. Komputer itu diprogram untuk menghasilkan satu gambar dengan menggunakan
titik-titik yang diletakkan secara acak di layar. Sejalan dengan semakin
majunya percobaan itu, mustahillah untuk mengantisipasi di mana tiap titik akan
muncul. Meskipun demikian, gambar helai daun cemara itu muncul. Kemiripan yang
nampak di permukaan antara kedua percobaan ini sangatlah jelas. Tapi kemiripan
itu menunjukkan satu kesejajaran yang lebih dalam. Seperti halnya komputer itu
memilih titik-titik yang kelihatannya acak (dan bagi pengamat yang berada “di
luar” komputer itu, pilihan itu benar-benar acak) berdasarkan aturan matematika
yang jelas, demikian juga ia menunjukkan bahwa perilaku foton (dan juga semua
kejadian di dunia kuantum) tunduk pada aturan matematika mendasar yangmasih
berada di luar pemahaman manusia pada saat ini.
Pandangan
Marxis beranggapan bahwa seluruh alam semesta didasarkan pada kekuatan-kekuatan
dan proses-proses material. Kesadaran manusia, pada analisa terakhir, hanyalah
satu cerminan dari dunia nyata yang hadir di luar tubuhnya, satu cerminan
berdasarkan interaksi fisik antara tubuh manusia dengan dunia material. Di
dunia material tidak ada keterputusan dalam kesalingterhubungan fisik antar
berbagai kejadian dan proses. Tidak ada ruang, dengan kata lain, bagi campur
tangan kekuatan-kekuatan metafisik atau spiritual. Dialektika material, seperti
kata Engels, adalah “ilmu
tentang kesalingterhubungan universal”. Lebih jauh lagi,
kesalingterhubungan dunia fisik itu didasarkan pada prinsip sebab-akibat, dalam
makna bahwa segala proses dan kejadian, ditentukan oleh kondisi-kondisi mereka
dan ketaatan pada hukum dari kesalingterhubungan mereka:
“Hal
pertama yang kita lihat dalam mempelajari pergerakan materi adalah
kesalingterhubungan dari pergerakan-pergerakan individual dari benda-benda yang
terpisah, bahwa mereka saling menentukan satu sama lain. Tapi bukan hanya kita
temukan bahwa satu gerak tertentu akan diikuti oleh gerak yang lain, kita juga
menemukan bahwa kita dapat meniru satu gerak tertentu dengan menciptakan
kondisi-kondisi di mana gerak tersebut terjadi secara alami, bahwa kita bahkan
dapat menciptakan gerak yang sama sekali tidak terjadi secara alami (dalam
industri), setidaknya bukan dengan cara ini, dan bahwa kita dapat memberi
pergerakan-pergerakan ini satu arah dan jangkauan yang telah ditentukan
sebelumnya. Dengan cara ini, melalui aktivitas manusia, ide tentang
sebab-akibat ditegakkan, ide bahwa satu gerak adalah sebab dari gerak lainnya.”[20]
Kompleksitas dunia dapat
menyamarkan proses sebab-akibat dan membuat yang satu tidak dapat dibedakan
dari yang lain, tapi hal itu tidaklah mengubah logika yang mendasarinya.
Seperti yang dijelaskan Engels:
“Sebab
dan akibat adalah konsepsi-konsepsi yang hanya dapat diterapkan pada
kasus-kasus individual; tapi segera setelah kita menempatkan kasus-kasus
individual itu di dalam kesalingterhubungan umum mereka dengan alam semesta
sebagai keseluruhan, mereka saling bertubrukan, dan mereka menjadi kacau ketika
kita mempertimbangkan aksi-reaksi universal di mana sebab dan akibat terus
saling bertukar tempat, sehingga apa yang di sini dan kini adalah akibat akan
menjadi sebab di tempat lain pada saat mendatang, dan sebaliknya.'“[21]
Teori chaos tidak diragukan
lagi merupakan satu kemajuan besar, tapi di sini juga ada beberapa perumusan
yang dapat dipertanyakan. Efek kupu-kupu yang terkenal itu, yang menyatakan
jika seekor kupu-kupu mengepakkan sayapnya di Tokyo dan menyebabkan badai
bergolak seminggu kemudian di Chicago, memang satu contoh yang sangat
sensasional, yang ditujukan untuk memicu satu kontroversi. Tapi, pernyataan ini
tidak tepat dalam bentuknya. Perubahan kualitatif hanya dapat terjadi sebagai hasil
dari sebuah akumulasi perubahan kuantitatif. Satu kejadian acak yang kebetulan
(seekor kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya) hanya dapat menghasilkan efek yang
dramatis jika semua kondisi untuk timbulnya badai telah tersedia. Dalam kasus
ini, keharusan dapat menyatakan dirinya melalui sebuah kebetulan. Tapi hanya
dalam kasus ini.
Hubungan
dialektik antara keharusan dan kebetulan dapat dilihat dalam proses seleksi
alam. Jumlah mutasi acak di dalam satu organisme adalah besar tak berhingga.
Akan tetapi, dalam lingkungan tertentu, salah satu mutasi ini ternyata
bermanfaat bagi organisme tersebut dan dipertahankan, sementara mutasi yang
lain lenyap. Keharusan sekali lagi mewujudkan dirinya melalui perantaraan
kebetulan. Dalam makna tertentu, kemunculan hidup di bumi dapat pula dilihat
sebagai sebuah “kebetulan”. Tidaklah
ditakdirkan bahwa bumi harus berada pada jarak yang tepat dari matahari, dengan
besar gravitasi dan jenis atmosfer yang tepat, bahwa semua ini harus terjadi.
Tapi, karena serangkaian kondisi-kondisi ini, dari reaksi kimia yang jumlahnya
tak berhingga, yang terjadi dalam waktu yang sangat panjang, kehidupan niscaya
akan muncul. Hal ini tidak hanya berlaku untuk planet kita saja, tapi juga pada
sejumlah besar planet lain di mana kondisi yang sama juga ada, sekalipun tidak
di dalam tata surya kita. Walau demikian, sekali kehidupan muncul, ia berhenti
menjadi kebetulan, dan berkembang menurut hukum-hukum internalnya sendiri.
Kesadaran
itu sendiri tidaklah muncul dari sebuah rencana ilahi, tapi, dalam makna
tertentu, juga muncul dari sebuah “kebetulan”,
yaitu dalam bentuk bipedalisme (posisi berjalan tegak), yang membebaskan
tangan, dan dengan demikian memungkinkan makhluk-makhluk hominid awal untuk
ber-evolusi sebagai hewan yang dapat membuat alat. Boleh jadi bahwa kecelakaan
evolusioner ini adalah hasil dari perubahan iklim di Afrika Timur, yang
menghancurkan sebagian hutan yang menjadi habitat kera-kera purba yang menjadi
nenek moyang kita. Ini adalah satu kebetulan. Seperti yang dijelaskan Engels dalam The Part Played by Labour in the Transistion
of Ape to Man, inilah basis bagi berkembangnya kesadaran
manusia. Tapi, dalam makna yang lebih luas, kemunculan kesadaran – materi yang
sadar akan dirinya sendiri – tidaklah dapat dianggap sebagai sebuah kecelakaan,
tapi merupakan hasil yang niscaya dari evolusi materi, yang melaju dari
bentuk-bentuk yang sederhana ke yang lebih rumit, dan yang, di mana kondisinya
memungkinkan, niscaya akan melahirkan kehidupan yang memiliki intelektualitas,
dan bentuk-bentuk kesadaran yang lebih tinggi, masyarakat yang kompleks, dan
apa yang kita kenal sebagai peradaban.
Dalam
bukunya Metaphysics,
Aristoteles berbicara banyak tentang hakikat keharusan dan kebetulan. Ia
memberi kita satu contoh, yakni kata-kata yang dengan tidak sengaja akan
membawa kita pada pertengkaran. Dalam satu situasi yang tegang, contohnya
ketika perkawinan sedang mengalami krisis, bahkan komentar yang sangat tidak
bermaksud apa-apa dapat memicu pertengkaran yang panjang. Tapi jelas bahwa
kata-kata yang diucapkan itu bukanlah penyebab pertengkaran itu sendiri.
Pertengkaran itu adalah buah dari satu akumulasi stres dan ketegangan, yang
cepat atau lambat akan mencapai titik ledaknya. Ketika titik ini tercapai, hal
yang sekecil apapun akan dapat memprovokasi sebuah ledakan. Kita dapat melihat
gejala yang serupa di pabrik-pabrik. Selama bertahun-tahun, kaum buruh yang
nampaknya pasrah, yang takut akan pemecatan, siap menerima segala penindasan–
pemotongan upah, pemecatan rekan kerja mereka, kondisi kerja yang semakin
buruk, dsb. Di permukaan, tidak ada sesuatu pun yang terjadi. Tapi, pada
kenyataannya, ketidakpuasan mereka terus menumpuk, yang, pada titik tertentu,
haruslah menemukan perwujudannya. Satu hari, para buruh memutuskan: “cukuplah
sudah.” Persis pada titik ini, bahkan kejadian yang paling remeh-temeh
sekalipun dapat memicu sebuah pemogokan. Seluruh situasi telah berubah menjadi
kebalikannya.
Ada
kesamaan yang luas antara perjuangan kelas dengan konflik antar bangsa. Di
bulan Agustus 1914, Pangeran Mahkota Austro-Hungaria dibunuh di Sarajevo. Orang
mengatakan bahwa inilah penyebab Perang Dunia I. Pada kenyataannya, kecelakaan
sejarah ini boleh terjadi maupun tidak. Sebelum 1914, telah terjadi beberapa
insiden lain (insiden Maroko[22], insiden Agadir[23]) yang juga dapat memicu perang. Sebab
sebenarnya dari Perang Dunia I adalah akumulasi dari kontradiksi yang tak
tertanggungkan antara kekuatan-kekuatan imperialis utama – Inggris, Prancis,
Jerman, Austro-Hungaria dan Rusia. Hal ini mencapai tahapan yang kritis, di
mana semua ramuan peledaknya dapat dipicu oleh percikan kecil yang terjadi di
Balkan.
Akhirnya,
kita melihat gejala yang sama di dunia ekonomi. Pada saat kami sedang
menuliskan bab ini, Kota London sedang terguncang oleh bangkrutnya Barings Bank[24]. Kejadian ini segera dipersalahkan
kepada penggelapan yang dilakukan oleh salah satu pegawainya di Singapura. Tapi
bangkrutnya Barings hanyalah satu gejala dari krisis yang lebih dalam di sistem
keuangan dunia. Tajuk utama koranThe
Independentberjudul“satu kecelakaan pasti akan terjadi.” Pada skala
dunia, kini ada USD 25 triliun yang ditanamkan dalam berbagai saham derivatif.
Ini menunjukkan bahwa kapitalisme tidak lagi didasarkan pada produksi, tapi
pada kegiatan-kegiatan spekulatif yang makin hari makin luas. Fakta bahwa Mr.
Leeson kehilangan sejumlah besar uang di bursa saham Jepang boleh dikaitkan
dengan kebetulan terjadinya gempa bumi di Kobe. Tapi para analis ekonomi yang
serius akan paham bahwa ini hanyalah satu perwujudan dari ketidakstabilan dari
sistem keuangan internasional. Dengan atau tanpa Mr. Leeson, keruntuhan adalah
niscaya. Perusahaan-perusahaan dan lembaga-lembaga keuangan besar
internasional, semua yang terlibat dalam perjudian tanpa kenal hitungan ini,
sedang bermain api. Keruntuhan finansial sangatlah implisit dalam situasi ini.
Boleh jadi ada banyak
fenomena yang proses dan hubungan sebab-akibatnya tidak dipahami sepenuhnya
sehingga mereka kelihatannya bersifat acak. Untuk keperluan praktis, fenomena-fenomena
ini hanya dapat diperlakukan secara statistik, seperti roda rolet. Tapi,
mendasari semua “kebetulan” ini masih ada kekuatan-kekuatan dan proses-proses
yang menentukan hasil akhirnya. Kita hidup dalam sebuah alam semesta yang
diatur oleh determinisme dialektik.
Marxisme
dan Kebebasan
Persoalan
hubungan antara “kebebasan dan keharusan” telah dikenal oleh Aristoteles dan
didiskusikan tanpa henti oleh Orang-orang Terpelajar di abad pertengahan. Kant
menggunakannya sebagai salah satu “antinomi”-nya
yang terkenal, di mana hal itu disajikan sebagai satu kontradiksi yang tak
terpecahkan. Di abad ke-17 dan ke-18 persoalan ini muncul dalam matematika
sebagai teori peluang, yang berhubungan dengan perjudian.
Hubungan dialektik antara
kebebasan dan keharusan telah muncul kembali dalam teori chaos. Doyne Farmer,
seorang fisikawan Amerika yang menyelidiki dinamika-dinamika yang kompleks,
berkomentar:
“Pada
tingkat filsafati, terasa bagi saya sebagai satu cara yang operasional untuk
mendefinisikan kehendak bebas, dengan cara yang mengizinkan Anda mendamaikan
kehendak bebas dengan determinisme. Sistemnya adalah deterministik, tapi Anda
tidak dapat mengatakan apa yang akan terjadi kemudian. Pada saat yang sama,
saya selalu merasa bahwa persoalan-persoalan yang penting di seluruh dunia
selalu berhubungan dengan penciptaan organisasi, baik dalam kehidupan maupun
dalam intelektualitas. Tapi bagaimana Anda dapat mempelajari hal itu? Apa yang
sedang dilakukan para ahli biologi saat ini kelihatannya sangat bersifat terapan
dan spesifik; apa yang dilakukan para ahli kimia tidak bersifat demikian; yang
dilakukan para ahli matematika sama sekali tidak demikian, dan para fisikawan
sama sekali tidak melakukannya. Saya selalu merasa bahwa kemunculan spontan
pengorganisiran-diri harus menjadi bagian dari fisika. Di sini kita menemui
satu keping mata uang dengan dua sisi. Di sini ada keteraturan, dengan keacakan
yang muncul di mana-mana, dan selangkah berikutnya justru keacakan itulah yang
mendasari segala keteraturan.”[25]
Determinisme dialektik sama
sekali tidak ada kesamaan dengan pendekatan deterministik yang mekanistik,
apalagi dengan fatalisme. Seperti adanya hukum-hukum yang mengatur materi
organik dan anorganik, demikian pula ada hukum yang mengatur evolusi masyarakat
manusia. Pola yang dapat diamati di dalam sejarah sama sekali bukanlah satu
kebetulan. Marx dan Engels menjelaskan bahwa peralihan dari satu sistem sosial
ke sistem yang lain ditentukan oleh perkembangan dari kekuatan produktif, pada
analisa terakhir. Ketika sistem sosial-ekonomi tertentu tidak lagi sanggup
mengembangkan kekuatan produktif, ia akan masuk ke dalam krisis, menyiapkan
lahan bagi sebuah penumbangan revolusioner.
Kita
sama sekali tidak menyangkal peran individu dalam sejarah. Seperti yang telah
kita jelaskan, manusia menulis sendiri sejarahnya. Walau demikian, sangatlah
dungu jika kita membayangkan bahwa umat manusia adalah “agen-agen bebas” yang
dapat menentukan masa depannya murni berdasarkan kehendak mereka sendiri.
Manusia harus mendasarkan diri pada kondisi-kondisi yang telah diciptakan
secara independen dari kehendak mereka – ekonomi, sosial, politik, agama, dan
budaya. Dalam makna ini, ide tentang kehendak bebas adalah tidak masuk nalar.
Sikap sejati Marx dan Engels terhadap peran individu dalam sejarah ditunjukkan oleh
kutipan berikut dari Keluarga
Suci:
“Sejarah
tidak melakukan apa-apa, ia 'tidak memiliki kekayaan yang berlimpah', 'ia tidak
melancarkan pertempuran apapun'. Manusia-lah, manusia yang hidup, yang nyata,
yang melakukan semua itu, yang memiliki dan yang bertempur; 'sejarah' bukanlah
sesuatu yang berdiri terpisah, yang menggunakan manusia sebagai sarana untuk
mencapai tujuan-tujuannya sendiri; sejarah tidak lain adalah aktivitas manusia
dalam mencapai tujuan manusia itu sendiri.”[26]
Bohong
besar jika dikatakan bahwa manusia hanyalah sekedar boneka-boneka mati di
panggung nasib, yang tidak berdaya mengubah takdirnya sendiri. Walau demikian,
manusia nyata ini hidup dalam dunia nyata, yang seperti ditulis oleh Marx dan
Engels, tidak dapat dan tidak akan berdiri di luar masyarakat di mana mereka
hidup. Hegel pernah menulis bahwa “kepentingan
menggerakkan kehidupan manusia”. Secara sadar atau tidak, para
aktor individual dalam panggung sejarah pada akhirnya akan mencerminkan
kepentingan, pendapat, prasangka, moralitas dan aspirasi dari kelas atau
kelompok tertentu dalam masyarakat. Ini sungguh jelas terpampang dari pembacaan
sejarah yang paling remeh-temeh sekalipun.
Walau
demikian, khayalan tentang “kehendak
bebas”bertahan terus. Filsuf Jerman, Leibniz, menyatakan bahwa
sebuah jarum magnetik, jika ia dapat berpikir, tentu akan berpendapat bahwa ia
menunjuk arah utara karena ia berkehendak demikian. Di abad ke-20, Sigmund
Freud menghancurkan sama sekali prasangka bahwa manusia memegang kendali
sepenuhnya atas pikiran mereka sendiri. Fenomenasalah-bicara Freudian (Freudian slip atau parapraxis) adalah satu contoh
yang baik akan hubungan dialektik antara keharusan dan kebetulan. Freud memberi
berbagai contoh tentang kesalahan dalam berbicara, “kelupaan”, dan “kecelakaan-kecelakaan” lain,
yang dalam banyak kasus mencerminkan satu proses psikologis yang lebih dalam.
Mengutip Freud:
“Sejumlah
kekurangan tertentu dalam kapasitas kejiwaan kita ... dan sejumlah kinerja
tertentu yang tidak disengaja terbukti memiliki motivasi yang kuat ketika
dihadapkan pada penyelidikan psiko-analisa, dan ditentukan melalui kesadaran
akan motif-motif yang tidak diketahui.”[27]
Prinsip sentral dalam
pendekatan Freud adalah bahwa tidak satu pun perilaku manusia yang kebetulan.
Kesalahan-kesalahan kecil dalam kehidupan sehari-hari, mimpi, dan gejala yang
tampaknya tak terjelaskan dari orang-orang yang sakit mental bukanlah sesuatu
yang “kebetulan”. Secara definisi, pikiran manusia tidaklah menyadari
proses-proses yang terjadi di bawah sadarnya. Semakin dalam motivasi bawah
sadar itu, dari sudut pandang psiko-analisis, semakin jelas bahwa seseorang
tidak akan menyadari motivasi itu. Sejak awal Freud telah menyadari
prinsip-prinsip umum bahwa proses-proses bawah sadar ini menyatakan diri mereka
(dan dengan demikian dapat dipelajari) melalui fragmen-fragmen perilaku yang
oleh pemikiran sadar dianggap sebagai kesalahan atau kecelakaan.
Mungkinkah kita dapat
mencapai kebebasan? Jika yang dimaksudkan dengan tindakan “bebas” adalah
tindakan yang tidak ada sebabnya, atau tidak ada yang menentukannya, kita harus
dengan terus terang menyatakan bahwa tindakan semacam itu tidak pernah ada, dan
tidak akan pernah ada. “Kebebasan” khayal semacam itu adalah bagian dari
filsafat metafisik. Hegel menjelaskan bahwa kebebasan sejati adalah pengakuan
terhadap apa yang merupakan keharusan. Sampai tingkat di mana manusia memahami
hukum-hukum yang mengatur alam dan masyarakat, mereka akan berada dalam posisi
menguasai hukum-hukum ini dan dapat menggunakannya untuk keuntungan mereka
sendiri. Basis material sejati di mana umat manusia dapat menjadi bebas telah
ditegakkan oleh perkembangan industri, sains dan teknik. Dalam sistem
masyarakat yang rasional – sistem di mana alat-alat produksi direncanakan
secara harmonis dan dikendalikan dengan sadar – kita akan benar-benar dapat
berbicara tentang perkembangan umat manusia yang bebas. Mengutip Engels, inilah
“lompatan umat manusia dari dunia keharusan menuju dunia kebebasan.”
________________
Catatan
Kaki
[1] I. Asimov, New Guide to
Science, hal. 375.
[2] D. Bohm, Causality dan
Chance in Modern Physics, hal. 86 dan 87.
[3] T. Ferris, The World
Treasury of Physics, Astronomy, dan Mathematics, hal. 103 dan106.
[4] E. J. Lerner, The Big
Bang Never Happened, hal. 362-3.
[5] LCW, Vol. 14, hal. 55.
[6] T. Ferris, The World
Treasury of Physics, Astronomy, dan Mathematics, hal. 95-6.
[7] Spinoza, Ethics, hal.
8.
[8] Quoted in I. Stewart,
Does God Play Dice? hal. 10.
[9] Engels, The Dialectics
of Nature, hal. 289-90.
[10] D. Bohm, Causality dan
Chance in Modern Physics, hal. 20.
[11] J. Gleick, Chaos,
Making a New Science, hal. 124.
[12] D. Bohm, Causality dan
Chance in Modern Physics, hal. x dan xi.
[13] D. Bohm, Causality dan
Chance in Modern Physics, hal. 50-1
[14] B. Hoffmann, The
Strange Story of the Quantum, hal. 152.
[15] D. Bohm, Causality dan
Chance in Modern Physics, hal. 25 dan 4.
[16] Hegel, Philosophy of
Right, hal. 10.
[17] MESW, Vol. 3, hal.
338-9.
[18] MESC, Marx to
Kigelmann, 17 April 1871, hal. 264.
[19] MESC, Engels to
Borgius, 25 Januari 1894, hal. 467.
[20] Engels, The Dialectics
of Nature, hal. 17 dan 304.
[21] Engels, Anti-Dühring,
hal. 32.
[22] Krisis Maroko Pertama
adalah krisis internasional (Maret 1905 – Mei 1906) mengenai status Maroko.
Jerman ingin meluaskan dominasi komersialnya ke Maroko, yang saat itu adalah
koloni Prancis. Pada 5 Maret 1905, Kaiser Wilhem II Jerman tiba di kota
Tangier, Maroko, dan melakukan diplomasi dengan perwakilan Sultan Abdelaziz
dari Maroko, dan menyatakan bahwa dia mendukung kedaulatan Sultan. Ini adalah
tantangan provokatif terhadap kekuasaan Prancis atas Maroko. Kedua negeri ini, Prancis
dan Maroko, lalu saling mengancam meluncurkan peperangan.
[23] Krisis Agadir adalah
ketegangan internasional yang dipicu oleh pengerahan pasukan Prancis ke Maroko
pada April 1911. Dengan demikian Prancis melanggar Act of Algeciras dan
Kesepakatan Franco-German 1909. Jerman bereaksi dengan mengirim kapal perang Panther ke pelabuhan Agadir
pada 1 Juli 1911.
[24] Barings Bank mengalami
kebangkrutan pada 1995. Barings Bank adalah bank investasi tertua di Inggris
yang didirikan pada 1762, yang salah satu kliennya adalah Ratu Inggris sendiri.
Kebangkrutan Barings Bank ini disalahkan pada salah satu karyawannya, Nick
Leeson yang saat itu berumur 28 tahun, yang dituduh melakukan spekulasi liar
dalam bursa saham dan akhirnya menyebabkan kerugian besar yang mencapai US$ 1,4
miliar. Pada kenyataannya, kebijakan Barings Bank dan institusi-institusi
finansial lainnya adalah membuat profit lewat spekulasi bursa saham, yang
niscaya akan berakhir ke kebangkrutan. Leeson hanyalah kebetulan yang
mengekspresikan keniscayaan.
[25] Dikutip di Gleick,
Chaos, Making a New Science, hal. 251-2.
[26] Marx dan Engels,
Collected Works (MECW), Vol. 4, hal. 93,
[27] Freud, The
Psychopathology of Everyday Life, hal. 193.
0 komentar:
Post a Comment