Bab 11. Bagaimana Kehidupan
Muncul
Oparin dan Engels
“Apa yang tidak kita
ketahui hari ini akan kita ketahui esok.” Pernyataan bersahaja ini mendasari
kesimpulan dari sebuah artikel ilmiah tentang Origin of Life (Asal
Mula Kehidupan) yang ditulis oleh ahli biologi Rusia, Aleksandr Ivanovich
Oparin, di tahun 1924. Itu adalah pertama kalinya masalah asal mula kehidupan
mendapatkan apresiasi modern, dan sebuah bab baru dimulai tentang pemahaman
terhadap kehidupan. Bukan sebuah kebetulan bahwa, sebagai seorang materialis
dan seorang ahli dialektika, Oparin mendekati persoalan ini dari perspektif
yang orisinal. Ini adalah langkah awal yang berani, sebuah fajar bagi biokimia
dan biologi molekuler, yang didukung juga secara terpisah oleh sumbangsih dari
ahli biologi Inggris J. B. S. Haldane – yang juga seorang materialis – di tahun
1929. Karya ini menghasilkan hipotesis Oparin-Haldane yang menjadi dasar bagi
pemahaman asal-muasal kehidupan. “Di dalamnya,” tulis Asimov, “masalah tentang
asal-muasal kehidupan dibahas secara rinci dari sudut pandang yang murni
materialistik. Karena Uni Soviet tidak dihinggapi dengan takhayul-takhayul
keagamaan yang mengikat negeri-negeri Barat, hal ini, mungkin, bukanlah sesuatu
yang mengejutkan.”[1]
Oparin selalu mengakui hutang-budinya pada Engels, dan sama
sekali tidak mencoba menutupi posisi filsafatnya:
“Masalah (tentang asal-muasal kehidupan) ini telah selalu
menjadi fokus dari konflik yang tajam antara dua aliran filsafat yang tak
terdamaikan – konflik antara materialisme dan idealisme.”
“Sebuah prospek yang sama sekali berbeda terbentang di hadapan
kita jika kita mencoba menyelesaikan sebuah masalah secara dialektik bukannya
secara metafisik, berdasarkan sebuah telaah atas perubahan materi yang
berlangsung berunutan yang mendahului kemunculan kehidupan, dan yang membawa
pada kemunculan kehidupan. Materi tidak pernah berada dalam keadaan diam,
selalu bergerak dan berkembang dan dalam perkembangan ini ia berubah dari
bentuk gerak yang satu ke bentuk yang lain dan yang lain lagi, setiap kali
selalu bertambah rumit dan harmonis daripada yang terdahulu. Maka kehidupan
muncul sebagai bentuk gerak materi yang sangat kompleks dan unik, yang muncul
sebagai sebuah properti baru pada tahapan tertentu dalam perkembangan umum
materi.”
“Sejak akhir abad lalu Frederick Engels telah menunjukkan bahwa
telaah tentang sejarah perkembangan materi adalah pendekatan yang paling baik
untuk menyelesaikan masalah asal-muasal kehidupan. Walau demikian, ide-ide
Engels masih belum tercermin secara memadai dalam pemikiran ilmiah di jamannya.”
Engels pada dasarnya benar ketika ia menjelaskan kehidupan
sebagai mode pergerakan protein. Namun, sekarang kita dapat menambahkan bahwa
kehidupan adalah fungsi dari reaksi timbal-balik antara asam nukleat dan
protein. Seperti yang dijelaskan Oparin:
“F. Engels, seperti halnya para ahli biologi di jamannya, sering
menggunakan istilah 'protoplasma' dan 'zat-zat albumin'. Oleh karenanya
'protein' yang disebut Engels tidaklah boleh disamakan dengan unsur-unsur kimia
yang kini telah berhasil secara gradual kita isolasi dari makhluk hidup, tidak
juga dengan zat protein murni. Walau demikian gagasan Engels lebih maju di
depan jamannya ketika, dalam pembahasannya tentang protein, ia terutama
menekankan aspek kimiawi dari materi dan menekankan pentingnya protein dalam
metabolisme, bahwa bentuk pergerakan materi adalah ciri dari kehidupan.”
“Baru sekarang kita
mulai dapat mengapresiasi nilai dari pemahaman ilmiah Engels yang luar biasa.
Kemajuan dalam telaah kimia protein yang kini sedang berlangsung akan
memungkinkan kita mengidentifikasi protein sebagai senyawa-senyawa kimia
individual, sebagai polimer asam amino yang memiliki struktur yang teramat
unik.”[2]
1.
D. Bernal menawarkan satu alternatif atas definisi Engels
tentang kehidupan sebagai “satu perwujudan-diri dari potensialitas keadaan
elektron yang parsial, berkesinambungan, progresif, multi-bentuk dan
interaktif-kondisional.”[3]
Walaupun hipotesa Oparin-Haldane meletakkan basis bagi studi
tentang asal-muasal kehidupan, sebagai satu cabang ilmu jauh lebih tepat untuk
menempatkannya pada revolusi dalam bidang biologi di pertengahan abad ke-20.
Teori-teori mengenai asal-usul kehidupan sangatlah spekulatif. Tidak ada jejak
tentang ini dalam catatan fosil. Kita berurusan di sini dengan bentuk kehidupan
yang paling sederhana dan mendasar yang dapat kita bayangkan, bentuk-bentuk
peralihan yang sama sekali tidak mirip dengan ide tentang makhluk hidup yang kita
kenal sekarang tapi yang, bagaimanapun, tetap merupakan sebuah lompatan yang
menentukan dari materi anorganik ke organik. Mungkin, seperti komentar Bernal,
jauh lebih tepat untuk menyebutnya bukan sebagai asal-usul kehidupan, melainkan
asal-usul proses kehidupan.
Engels menjelaskan
bahwa revolusi Darwinian “menyurutkan jurang antara benda organik dan anorganik
sampai ke tingkat minimum, tapi juga menghilangkan salah satu kesulitan yang
paling esensial yang sebelumnya menghalangi terbentuknya teori tentang
kemunculan organisme. Konsepsi baru tentang alam ini lengkap dalam ciri-ciri
utamanya; semua kekakuan telah diluluhkan, semua kekekalan diuraikan, semua
partikularitas yang semula dianggap abadi kini menjadi sementara saja, seluruh
alam ini ditunjukkan sebagai sesuatu yang sedang bergerak dalam fluktuasi dan
gerak siklus yang abadi.”[4] Penemuan-penemuan ilmiah sejak
Engels menulis baris-baris di atas telah memperkuat doktrin revolusioner ini.
Oparin menarik kesimpulan bahwa atmosfer awal bumi berbeda
secara radikal dengan apa yang ada sekarang. Ia mengajukan bahwa atmosfer pada
masa itu tidaklah dipenuhi oksigen, dan secara kimia bersifat mereduksi bukan
mengoksidasi. Oparin mengusulkan bahwa senyawa organik yang menjadi dasar
kehidupan terbentuk secara spontan pada keadaan atmosfer yang demikian di bawah
pengaruh ultraviolet dan radiasi dari matahari. Kesimpulan yang serupa dicapai
secara terpisah oleh J. B. S. Haldane:
“Matahari mungkin
bersinar lebih terang dibanding saat ini, dan karena tidak ada oksigen di
atmosfer, sinar ultraviolet matahari yang dapat menyebabkan reaksi kimia aktif
tidaklah, seperti sekarang, dihentikan sebagian besar oleh ozon (sebuah bentuk
khusus dari oksigen) di lapisan atmosfer yang paling atas, dan oksigen itu
sendiri pada lapisan yang paling rendah. Sinar ultraviolet menembus permukaan
daratan dan lautan, atau setidaknya awan. Ketika ultraviolet bekerja pada satu
campuran air, karbon dioksida dan amonia, sejumlah besar variasi zat organik
terbentuk, termasuk gula dan nampaknya juga beberapa material yang menjadi
penyusun protein.”[5]
Dalam bentuk yang
lebih umum, Engels menunjuk ke arah yang tepat limapuluh tahun sebelumnya:
“Jika, pada akhirnya, suhunya menjadi demikian stabil sehingga pada satu
wilayah permukaan yang cukup luas suhu itu setidaknya tidak melewati batas di
mana protein dapat hidup, maka, jika semua kondisi kimia lainnya memungkinkan,
protoplasma hidup akan terbentuk.” Ia melanjutkan, “Ribuan tahun mungkin telah
berlalu sebelum lahir sebuah kondisi di mana kemajuan berikutnya dapat terjadi
dan protein tak berbentuk ini menghasilkan sel pertama dengan pembentukan inti
sel dan membran sel. Tapi sel-sel pertama ini juga menyediakan landasan bagi
perkembangan morfologis dari seluruh dunia organik; yang pertama berkembang,
jika kita boleh berasumsi berdasarkan seluruh analogi dari catatan
paleontologis, adalah sejumlah besar protista non-seluler dan seluler....”[6] Sekalipun proses ini terjadi pada
jangka waktu yang jauh lebih panjang, ini adalah prognosis yang secara umum
tepat.
Seperti halnya ide-ide Engels diabaikan pada masanya oleh
komunitas ilmiah, demikian juga ide-ide Oparin dan Haldane. Hanya baru-baru ini
saja teori-teori ini mendapatkan penghargaan yang patut mereka sandang. Richard
Dickerton menulis:
“Ide-ide Haldane
muncul dalam Rationalist Annual di tahun
1929, tapi mereka hampir tidak menarik perhatian sama sekali. Lima tahun
sebelumnya, Oparin telah menerbitkan sebuah monograf kecil yang mengajukan ide
yang serupa mengenai asal-muasal kehidupan, juga tidak mendapat perhatian. Para
ahli biokimia ortodoks terlalu yakin bahwa Louis Pasteur telah membantah teori
spontanitas selama-lamanya, sehingga tidak lagi menganggap persoalan asal-usul
kehidupan sebagai sebuah hal yang layak dibahas secara ilmiah. Mereka gagal
mengapresiasi bahwa Haldane dan Oparin mengajukan gagasan yang sangat unik;
bukan bahwa kehidupan muncul dari materi tidak-hidup yang sekarang ada (seperti
yang dinyatakan oleh teori spontanitas klasik, yang tidak lagi dapat
dipertahankan setelah jaman Pasteur) melainkan bahwa kehidupan dulu berevolusi
dari materi tidak hidup di bawah kondisi-kondisi yang ada di bumi primitif dan
dalam ketiadaan kompetisi dari organisme hidup lainnya.”[7]
Bagaimana Kehidupan Muncul?
Tidak ada subjek yang lebih penting bagi kita seperti pertanyaan
bagaimana makhluk-makhluk yang berpikir dan berperasaan dan hidup muncul dari
materi yang tidak hidup. Teka-teki ini telah memenuhi pikiran manusia sejak
menyingsingnya kesadarannya, dan telah dijawab dengan berbagai cara. Ada tiga
macam aliran secara umum:
Teori pertama – Tuhan menciptakan semua kehidupan, termasuk
manusia.
Teori kedua – kehidupan muncul dari materi anorganik, secara
spontan, seperti ulat muncul dari daging yang busuk, atau kumbang muncul dari
tumpukan kotoran hewan (Aristoteles).
Teori ketiga – kehidupan muncul dari angkasa luar melalui
meteorit, yang jatuh di bumi, kemudian berkembang.
Transformasi dari
anorganik ke organik adalah sebuah pandangan yang masih relatif baru. Sebaliknya,
teori pertumbuhan spontan – bahwa kehidupan muncul dari ketiadaan – memiliki
sejarah yang panjang. Dari Mesir kuno, China, India dan Babilonia muncul
kepercayaan akan pertumbuhan spontan. Ide ini terkandung dalam tulisan-tulisan
Yunani kuno. “Di sini ulat muncul dari kotoran hewan dan daging yang busuk, di
situ kutu membentuk diri mereka dari keringat manusia, di sana kunang-kunang
muncul dari api pembakaran jenazah, dan akhirnya, katak dan tikus berasal dari
embun dan tanah yang lembab.... Bagi mereka pertumbuhan spontan adalah fakta
yang jelas, empirik, yang basis teoritiknya merupakan hal yang sekunder,” papar
Oparin.[8] Kebanyakan ide ini diikat oleh
legenda-legenda religius dan mitos-mitos. Sebaliknya, pendekatan yang dilakukan
para filsuf Yunani awal bercirikan materialisme.
Pandangan idealis Plato-lah (yang dinyatakan juga oleh
Aristoteles) yang menulari pertumbuhan spontan dengan kualitas supernatural dan
kemudian menjadi basis dari budaya ilmiah abad pertengahan dan mendominasi
pemikiran orang selama berabad-abad. Materi tidak mengandung kehidupan tapi
kehidupan dihembuskan ke dalamnya. Melalui aliran filsafat Yunani dan Romawi,
ia dipinjam dan diperluas oleh gereja Kristen purba untuk mengembangkan paham
mistik mereka tentang asal-muasal kehidupan. Santo Agustinus melihat campur-tangan
ilahi dalam pertumbuhan spontan – pemberian hidup pada materi yang tidak hidup
oleh “ruh yang menciptakan hidup”. Seperti yang ditunjukkan Lenin, para
skolastik dan klerek mengambil apa-apa yang mati dalam filsafat Aristoteles dan
bukannya apa hidup di dalamnya. Ide ini kemudian dikembangkan oleh Thomas
Aquinas sesuai dengan ajaran gereja Katolik. Sudut pandang yang serupa dianut
pula oleh gereja-gereja Timur. Uskup Rostov, Dmitrii, di tahun 1708 menjelaskan
bahwa Nuh tidak memuat hewan-hewan yang sanggup mengadakan pertumbuhan spontan
di dalam bahteranya: “Semua hewan ini tewas di dalam Air Bah dan setelah Air
Bah berlalu mereka muncul lagi dalam awal yang baru.”Inilah kepercayaan dominan
di masyarakat Barat sampai pertengahan abad ke-19.
1.
H. Huxley, ilmuwan
besar itu, dalam kuliahnya di Edinburgh di tahun 1868 dengan jelas menguraikan
bahwa seluruh bentuk kehidupan memiliki sebuah dasar fisik yang sama:
protoplasma. Ia menegaskan bahwa protoplasma ini secara fungsional, formal dan
substansial sama di seluruh bentuk kehidupan. Dalam fungsi, semua organisme
menunjukkan pergerakan, pertumbuhan, metabolisme dan reproduksi. Dalam
bentuknya mereka terdiri dari sel-sel yang memiliki inti sel; dan dalam
substansi, mereka semua terdiri dari protein, satu senyawa kimia yang terdiri
dari karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen. Ini menunjukkan satu kesatuan yang
mendasari seluruh kehidupan.
Ilmuwan Prancis Louis Pasteur, bapak mikrobiologi, dalam
serangkaian eksperimen akhirnya menghancurkan teori pertumbuhan spontan.
“Kehidupan hanya dapat datang dari kehidupan,” katanya. Penemuan Pasteur
merupakan sebuah pukulan berat bagi paham ortodoks tentang pertumbuhan spontan.
Kemenangan lebih lanjut dari teori evolusi Darwin memaksa kaum vitalis
(penganut ide “ruh kehidupan”) untuk mencari asal-muasal kehidupan dengan cara
lain. Sejak saat itu, pembelaan mereka atas idealisme datang melalui argumen
bahwa mustahil bagi kita untuk memahami fenomena ini berdasarkan materialisme.
Sejak 1907, dalam
sebuah buku berjudul Worlds in the Making,
ahli kimia Swedia Svente Arrhenius mengajukan teori panspermia, yang
menyimpulkan bahwa jika kehidupan tidak muncul secara spontan di bumi, maka ia
harus diimpor dari planet lain. Ia berbicara mengenai spora yang mengembara di
ruang angkasa untuk “membuahi” kehidupan di planet-planet. Tapi spora hidup
yang masuk ke bumi, misalnya melalui meteorit, pastilah terbakar habis di
atmosfer. Untuk menangkis kritik ini, Arrhenius berargumen bahwa kehidupan
pastilah kekal, dan tidak memiliki asal-usul. Tapi bukti telah membantah teori
ini.Telah ditunjukkan bahwa keberadaan sinar ultraviolet di luar angkasa akan
dengan cepat menghancurkan tiap spora bakteri. Contohnya, mikroorganisme yang
kuat dimuat ke dalam kapsul antariksa Gemini 9 di tahun 1966 dan dibiarkan
diterjang oleh radiasi dari antariksa. Mereka hanya bertahan enam jam. Belum
lama ini, Fred Hoyle berpendapat bahwa kehidupan dibawa ke bumi di ekor komet.
Ide ini telah diperbaharui oleh Francis Crick dan Leslie Orgen yang mengusulkan
bahwa bumi itu sendiri mungkin telah dengan sengaja ditebari kehidupan oleh
makhluk cerdas dari angkasa luar! Tapi teori-teori ini benar-benar tidak
menyelesaikan masalah apapun. Bahkan jika kita menerima bahwa kehidupan di bumi
datang dari planet lain, jawaban itu tetap tidak menjawab bagaimana kehidupan
muncul tapi sekedar memundurkannya beberapa tahap ke belakang – ke satu planet
asal yang hipotetis.
Tidaklah perlu kita bepergian ke luar angkasa untuk mencari
penjelasan rasional tentang asal-usul kehidupan. Asal-usulnya dapat ditemukan
dalam proses-proses yang bekerja di alam di planet kita sendiri selama tiga
setengah miliar tahun, di bawah kondisi-kondisi yang sangat khusus. Proses ini
tidak dapat diulang, karena organisme yang baru akan ada di bawah belas kasihan
organisme yang telah lebih dahulu ada, dan yang akan segera menghabisi
keberadaan mereka. Kehidupan hanya dapat muncul di sebuah planet di mana tidak
ada kehidupan, dan juga ketika hanya ada sedikit oksigen, karena oksigen akan
bergabung dengan senyawa-senyawa yang diperlukan untuk membangun kehidupan, dan
oksigen akan memecah senyawa-senyawa itu dalam proses oksidasi. Atmosfer bumi
pada saat itu terutama terdiri dari metana, amonia dan uap air. Eksperimen di
laboratorium telah menunjukkan bahwa campuran dari air, amonia, metana dan
hidrogen, yang disinari radiasi ultraviolet akan menghasilkan dua macam asam
amino sederhana, dan beberapa asam amino yang lebih kompleks dalam jumlah yang
kecil. Di akhir 1960-an, molekul-molekul kompleks ditemukan terdapat dalam awan
gas di angkasa luar. Maka sangat mungkin bahwa bahkan pada tahap yang sangat
awal dari pembentukan bumi, kemunculan kehidupan, atau sesuatu yang sangat
dekat dengan kehidupan, telah hadir dalam bentuk asam amino. Eksperimen
baru-baru initelah membuktikan tanpa keraguan lagi bahwa protein dan asam
nukleat yang menjadi dasar semua kehidupan dapat muncul dari perubahan kimia
dan fisika normal yang terjadi dalam “sup” primordial.
Menurut Bernal, kesatuan kehidupan adalah bagian dari sejarah
kehidupan dan, sebagai akibatnya, terlibat pula dalam pembentukannya. Semua
gejala biologis dilahirkan, berkembang dan mati sesuai dengan hukum-hukum
fisiknya. Biokimia telah menunjukkan bahwa semua kehidupan di bumi ini
sesungguhnya sama pada tingkat kimiawinya. Sekalipun terdapat sejumlah besar
variasi antar spesies, mekanisme dasar dari enzim, ko-enzim dan asam nukleat
muncul di manapun. Pada saat yang bersamaan, ia membentuk satu himpunan
partikel-partikel identik yang menyatukan diri mereka melalui prinsip penyusunan-diri
dalam struktur-struktur yang teramat rumit.
Kelahiran Kehidupan yang
Revolusioner
Kini telah semakin jelas bahwa bumi di tahap-tahap awalnya
tidaklah bekerja dengan cara yang sama dengan apa yang nampak saat ini. Susunan
atmosfer, iklim, dan kehidupan itu sendiri, berkembang melalui proses yang
meletup-letup, melibatkan lompatan-lompatan mendadak, dan segala jenis
transformasi, termasuk kemunduran-kemunduran (retrogres). Evolusi bumi dan
kehidupan itu sendiri sangat jauh dari sebuah garis yang lurus, melainkan penuh
dengan kontradiksi. Masa-masa awal dari sejarah bumi, yang dikenal sebagai
Archaean, berlangsung sampai 1,8 miliar tahun lalu. Pada awalnya, atmosfer
terutama mengandung karbon dioksida, amonia, air dan nitrogen, tapi tidak ada
oksigen bebas. Sebelum tahap ini bumi tidak mengandung satu pun kehidupan.
Jadi, bagaimana kehidupan muncul?
Seperti yang telah kita lihat, sampai awal abad ke-20, para ahli
geologi percaya bahwa bumi memiliki sejarah yang amat pendek. Hanya secara
perlahan menjadi jelas bahwa planet ini memiliki sejarah yang jauh lebih
panjang, dan terlebih lagi, merupakan sejarah yang dicirikan oleh perubahan
yang berlangsung terus-menerus dan kadang kala penuh gejolak. Kita melihat
fenomena yang serupa dalam hubungannya dengan perkiraan usia tata surya, yang
ternyata jauh lebih tua dari apa yang sebelumnya pernah diperkirakan. Cukuplah
bagi kita untuk mengatakan bahwa kemajuan-kemajuan teknologi setelah Perang
Dunia II, khususnya penemuan jam nuklir, menyediakan dasar untuk pengukuran-pengukuran
yang jauh lebih akurat, yang melahirkan sebuah lompatan besar dalam pemahaman
kita tentang evolusi planet kita sendiri.
Kini kita dapat mengatakan bahwa bumi menjadi sebuah planet yang
padat lebih dari 4,5 miliar tahun lalu. Untuk pemikiran sehari-hari, ini
tampaknya adalah waktu yang sangat lama. Namun, ketika kita berurusan dengan
waktu geologis, kita memasuki skala waktu yang sangat berbeda. Para ahli
geologi terbiasa dengan besaran jutaan dan miliaran tahun, seperti kita
berpikir tentang jam, hari dan minggu. Kita perlu menciptakan sebuah
skala-waktu yang berbeda, yang sanggup mencakup jangka waktu yang demikian
panjang. Inilah tahap awal dari sejarah bumi, namun masa-masa yang penuh
gejolak ini adalah tidak kurang dari 88% dari seluruh sejarah yang telah
dilewati bumi. Bila dibandingkan dengan hal ini, seluruh sejarah umat manusia
sejauh ini tidaklah lebih dari sekejap mata saja. Sayangnya, terputus-putusnya
bukti dari masa-masa itu telah menghalangi kita untuk mendapatkan satu gambar
yang lebih rinci tentang proses yang terjadi.
Untuk memahami asal-usul kehidupan, kita harus mengetahui
komposisi awal lingkungan dan atmosfer bumi. Karena skenario yang paling
mungkin di mana bumi dibentuk dari awan debu bintang, komposisi awalnya seharusnya
adalah terutama hidrogen dan helium. Saat ini bumi mengandung sejumlah besar
unsur-unsur yang lebih berat seperti oksigen dan besi. Sesungguhnya, bumi
mengandung sekitar 80% nitrogen dan kira-kira 20% oksigen. Ini karena hidrogen
dan helium yang lebih ringan telah lolos dari atmosfer bumi karena tarikan
gravitasi tidak cukup kuat untuk menahan mereka. Planet-planet dengan gravitasi
yang lebih besar, seperti Yupiter dan Saturnus, telah menahan hidrogen dan
helium di dalam atmosfer mereka yang sangat rapat itu. Sebaliknya, bulan kita
yang jauh lebih kecil itu, dengan gravitasi yang malah lebih kecil lagi, telah
kehilangan seluruh atmosfernya.
Gas-gas vulkanik yang membentuk atmosfer purba pastilah
mengandung air, bersama dengan metana dan amonia. Kita menduga bahwa gas-gas
ini dilepaskan dari dalam bumi. Akhirnya gas-gas ini menjenuhkan atmosfer dan
menghasilkan hujan. Dengan mendinginnya permukaan bumi, danau-danau dan lautan
mulai terbentuk. Orang kini percaya bahwa lautan purba ini mengandung semacam “sup”
pra-biotik (pendahulu kehidupan), di mana unsur-unsur kimia yang ada, di bawah
hantaman sinar ultraviolet dari matahari, bersintesa untuk menghasilkan
senyawa-senyawa nitrogren-organik yang kompleks, seperti asam amino. Efek dari
ultraviolet ini dimungkinkan oleh ketiadaan ozon di atmosfer. Inilah basis dari
hipotesis Oparin-Haldane.
Semua kehidupan diorganisasikan ke dalam sel-sel, kecuali virus.
Bahkan sel yang paling sederhana pun adalah fenomena yang sangat kompleks.
Teori standar yang sekarang diterima adalah bahwa panas dari bumi sendiri
seharusnya cukup untuk membentuk senyawa kompleks dari senyawa-senyawa yang
sederhana. Bentuk-bentuk kehidupan awal sanggup menyimpan energi yang diambil
dari radiasi ultraviolet matahari. Namun, perubahan yang terjadi dalam
komposisi atmosfer telah memblokade pasokan ultraviolet ini. Agregat-agregat
tertentu, yang telah mengembangkan senyawa yang dikenal sebagai klorofil, mampu
menggunakan cahaya kasat mata yang menembus lapisan ozon karena lapisan ozon
memblokir cahaya ultraviolet. Ganggang-ganggang purba mengonsumsi karbon
dioksida dan mengeluarkan oksigen, yang membawa pada pembentukan atmosfer kita
yang sekarang.
Di seluruh jalannya sejarah waktu geologis, kita dapat mengamati
kesalingtergantungan dialektik dari aktivitas-aktivitas atmosfer dan biosfer.
Di satu pihak, kebanyakan dari oksigen bebas yang kini terdapat di atmosfer
adalah hasil aktivitas biologis (melalui proses fotosintesis tumbuhan). Di
pihak lain, perubahan komposisi atmosfer, khususnya peningkatan jumlah oksigen
bebas, memicu inovasi-inovasi biologis yang besar, yang memungkinkan
bentuk-bentuk kehidupan yang baru untuk muncul dan menjadi beraneka ragam.
Bagaimana sel hidup pertama muncul dari sup asam amino purba dan
molekul-molekul sederhana lainnya sekitar empat miliar tahun lalu? Teori
standar, yang dinyatakan di tahun 1953 oleh ahli kimia pemenang Hadiah Nobel,
Harold Urey dan muridnya Stanley Miller, mengatakan bahwa kehidupan muncul
secara spontan dari atmosfer purba yang terdiri dari metana, amonia dan
unsur-unsur kimia lainnya, yang diaktifkan oleh kilatan petir. Reaksi-reaksi
kimia lanjutan akan memungkinkan senyawa-senyawa kehidupan yang sederhana ini
untuk berkembang menjadi molekul-molekul yang semakin kompleks, yang akhirnya
menghasilkan struktur heliks-ganda DNA, atau pita tunggal RNA, keduanya punya
kemampuan reproduksi.
Probabilitas kalau ini adalah kebetulan atau kecelakaan
sangatlah kecil, seperti yang suka ditunjukkan oleh para Kreasionis. Jika
asal-usul kehidupan adalah kejadian yang sungguh kebetulan atau acak, maka para
Kreasionis punya argumen yang kuat. Ini sungguh sebuah mukjizat, tidak bisa
lain! Struktur-struktur dasar kehidupan dan aktivitas genetik secara umum
tergantung dari molekul-molekul yang teramat kompleks dan canggih – DNA dan
RNA. Untuk membuat satu molekul protein tunggal, kita harus menggabungkan
beberapa ratus asam amino dengan urutan yang akurat. Ini adalah tugas yang amat
berat, bahkan di laboratorium yang memiliki peralatan paling mutakhirpun.
Probabilitas kalau ini terjadi secara kebetulan dalam sebuah kolam yang panas
akan demikian kecilnya.
Permasalahan ini telah didekati akhir-akhir ini dari sudut
pandang kompleksitas, sebuah cabang dari teori chaos. Stuart Kauffman, dalam
karyanya tentang genetika dan kompleksitas, mengajukan kemungkinan bahwa
sejenis kehidupan muncul sebagai hasil dari kemunculan keteraturan secara
spontan dari kekacauan molekular, melalui bekerjanya hukum-hukum fisika dan
kimia. Jika sup purba itu cukup kaya dengan asam amino, tidaklah perlu untuk
menunggu sebuah reaksi acak. Satu jaring-jaring reaksi yang sanggup memperkuat
dirinya sendiri dapat terbentuk dari senyawa-senyawa dalam sup itu.
Dengan bantuan
katalis berbagai molekul dapat berinteraksi dan berfusi satu sama lain untuk
membentuk apa yang disebut Kauffman sebagai “himpunan yang sanggup
mengkatalisasi diri sendiri” [autocatalytic set].
Dengan cara ini, keteraturan yang muncul dari kekacauan molekular akan
mewujudkan dirinya dalam sebuah sistem yang tumbuh. Ini bukanlah kehidupan
seperti yang kita kenal hari ini. Ia tidak memiliki DNA, kode genetik, dan
membran sel. Tapi ia menunjukkan beberapa properti yang mirip dengan makhluk
hidup. Contohnya, ia dapat tumbuh. Ia akan memiliki sejenis metabolisme –
menyerap satu pasokan “pangan” yang terdiri dari molekul-molekul asam amino dan
senyawa sederhana lainnya, menambahkan senyawa-senyawa ini pada dirinya
sendiri. Ia bahkan punya bentuk reproduksi yang primitif, yang menyebar ke
daerah yang lebih luas. Ide ini, yang merupakan satu contoh dari lompatan
kualitatif, atau “fase transisi” dalam bahasa kompleksitas, akan berarti bahwa
kehidupan tidaklah muncul sebagai sebuah peristiwa acak, tapi sebagai hasil
dari kecenderungan inheren alam untuk bergerakke organisasi.
Organisme hewani yang pertama adalah sel-sel yang sanggup
menyerap energi yang disimpan dalam sel-sel tumbuhan. Atmosfer yang berubah,
lenyapnya radiasi ultraviolet, dan kehadiran bentuk-bentuk kehidupan yang sudah
lebih dulu ada menghapuskan kemungkinan munculnya bentuk kehidupan lain di
bumi, kecuali jika ia dihasilkan secara rekayasa di dalam laboratorium.
Ketiadaan pesaing atau predator di lautan purba menyebabkan senyawa-senyawa
awal ini dapat menyebar dengan cepat. Pada tahap tertentu akan terjadi satu
lompatan kualitatif dengan pembentukan molekul asam nukleat yang sanggup
mereproduksi dirinya sendiri: sebuah organisme hidup. Dengan cara ini, materi
organik muncul dari materi anorganik. Secara perlahan, selama jutaan tahun,
mutasi akan mulai muncul, yang akhirnya menghasilkan bentuk-bentuk kehidupan
yang lain.
Maka kita dapat sampai pada umur minimum kemunculan kehidupan di
bumi. Salah satu rintangan bagi evolusi kehidupan di bumi adalah ketiadaan
lapisan ozon di atmosfer pada masa Archaean. Tanpa ozon maka sinar radiasi universal,
termasuk sinar ultraviolet, dapat menembus lautan dan melumpuhkan molekul DNA.
Organisme primitif yang pertama – sel-sel prokariotik – berbentuk sel tunggal,
tapi tidak memiliki inti sel dan tidak sanggup melakukan pembelahan sel. Namun,
mereka relatif tahan terhadap radiasi ultraviolet, atau bahkan, menurut satu
teori, tergantung pada radiasi itu. Organisme ini adalah bentuk yang dominan di
bumi selama kurang lebih 2,4 miliar tahun.
Makhluk-makhluk
prokariotik bersel tunggal ini bereproduksi secara aseksual melalui metode
pertunasan (budding) dan fisi. Secara umum, reproduksi aseksual
menghasilkan salinan yang identik, kecuali jika terjadi mutasi, satu hal yang
jarang. Hal ini menjelaskan lambatnya perubahan evolusioner pada masa tersebut.
Namun, kemunculan sel-sel yang berinti (eukariota) memungkinkan kompleksitas
yang lebih tinggi. Sangat mungkin bahwa evolusi eukariota muncul dari sebuah
koloni prokariota. Contohnya, beberapa prokariota modern dapat menyerbu dan
hidup sebagai komponen di dalam sel eukariota. Beberapa organel (organ)
eukariota memiliki DNA-nya sendiri, yang tentunya adalah sisa-sisa dari jaman
ketika mereka memiliki keberadaan yang terpisah dari induk selnya. Kehidupan
itu sendiri memiliki ciri-ciri mendasar, termasuk metabolisme (total dari
perubahan-perubahan kimiawi yang terjadi dalam satu organisme) dan reproduksi.
Jika kita menerima adanya satu kesinambungan dalam proses-proses alam,
organisme yang paling sederhana yang ada saat ini harusnya telah berevolusi
dari proses yang sebelumnya lebih sederhana. Lebih jauh, basis material bagi
kehidupan adalah unsur-unsur yang paling banyak terdapat di alam semesta:
hidrogen, karbon, oksigen dan nitrogen.
Sekali kehidupan
muncul, ia sendiri menjadi rintangan yang mencegah kemunculan bentuk kehidupan
lain di masa mendatang. Oksigen molekular, sebuah produk sampingan dari
kehidupan, muncul dari proses fotosintesis (di mana cahaya diubah menjadi
energi). “Kehidupan yang kita miliki di bumi saat ini, sesungguhnya, terbagi ke
dalam dua golongan besar yang telah lama dikenal oleh umat manusia – hewan yang
bernafas dengan oksigen dan dan tumbuhan yang berfotosintesa atau hidup dari
cahaya,” papar Bernal. “Hewan dapat hidup di tempat gelap, tapi mereka
membutuhkan udara untuk bernafas, baik udara bebas maupun yang terlarut di
dalam air. Tumbuhan tidak membutuhkan oksigen – bahkan mereka menghasilkan
oksigen di siang hari – tapi mereka tidak dapat hidup dan bertumbuh lama di
tempat gelap. Yang mana, kalau demikian, yang muncul terlebih dahulu? Atau apakah
ada bentuk kehidupan lain yang mendahului mereka? Alternatif ini kini nampak
sangat pasti. Telaah yang teliti atas sejarah kehidupan, anatomi internal sel
dan metabolisme baik dari tumbuhan maupun hewan menunjukkan bahwa mereka
berkembang dari spesialisasi yang berbeda dari beberapa zoo-phyte. Zoo-phyte pastilah
mirip dengan beberapa bakteri yang ada hari ini, yang dapat sekaligus
menjalankan fungsi tumbuhan dan hewan, dan bekerja baik sebagai agen oksidasi
maupun fotosintetis.”[9]
Bentuk-bentuk Kehidupan Awal
Adalah sebuah fakta yang mengejutkan bahwa kromosom dari semua
organisme hidup, dari bakteri sampai manusia, sangatlah mirip dalam
komposisinya. Semua gen dibuat dari jenis zat yang sama secara kimia –
nukleoprotein. Hal ini juga berlaku untuk virus, makhluk hidup paling sederhana
yang diketahui, yang berada pada ambang kehidupan dan ketidakhidupan. Komposisi
kimia dari nukleoprotein mengizinkan sebuah entitas molekular untuk
mereproduksi dirinya sendiri, satu ciri dasar kehidupan, baik pada gen maupun
pada virus.
Engels menunjukkan bahwa evolusi kehidupan tidaklah dapat dipahami
tanpa semua jenis bentuk peralihan:
“Garis-garis yang
tebal dan tegas tidaklah sesuai dengan teori evolusi. Bahkan garis-batas antara
makhluk bertulang belakang dengan yang tidak bertulang belakang tidak lagi
kaku, seperti semakin tipisnya batas antara ikan dan amfibi, sementara batas
antara burung dan reptil semakin menipis dari hari ke hari. Antara Compsognathus[10] dan Archaeopteryx[11] hanya dibutuhkan beberapa rantai
perantara saja, dan paruh burung yang bergigi muncul di mana-mana di kedua
belahan dunia. 'Atau ini, ... atau itu' menjadi semakin lama semakin tidak
memadai. Di antara hewan-hewan yang tingkatannya lebih rendah konsep tentang
individu tidak dapat ditandai dengan tajam. Bukan hanya kita tidak dapat
menunjuk sebuah hewan tertentu sebagai sebuah individu atau sebuah koloni, tapi
juga di mana dalam perkembangannya sebuah individu berhenti mengada dan yang
lain muncul menggantikannya.
“Pada satu tahap
dalam cara pandang terhadap alam di mana semua perbedaan melebur dalam
langkah-langkah perantara, dan semua yang bertentangan saling bertukar melalui
rantai perantara, metode berpikir lama yang metafisik tidaklah lagi mencukupi.
Dialektika, yang sama sekali tidak mengenal garis-garis yang tebal dan tegas,
tidak mengenal 'atau ini ... atau itu' yang tanpa-kondisionaldan sahih secara
universal yang merupakan jembatan antara perbedaan-perbedaan metafisik yang
tidak mengenal perubahan itu, dan selain 'atau ini... atau itu' mengakui pula
tempat bagi 'baik ini – maupun itu' dan mendamaikan segala yang bertentangan,
adalah satu-satunya metode berpikir yang cocok secocok-cocoknya untuk tahapan
ini. Tentu saja, untuk keperluan sehari-hari, untuk perubahan ilmiah yang kecil
saja, kategori-kategori metafisik masih dapat mempertahankan kesahihannya.”[12]
Garis batas antara materi hidup dan tidak hidup, antara tumbuhan
dan hewan, antara reptil dan mamalia, tidaklah sedemikian tegas seperti yang
mungkin dikira orang. Virus, misalnya, adalah sesuatu yang tidak dapat disebut
hidup, kalau memakai pemahaman kita tentang hidup itu, tapi mereka jelas
memiliki beberapa ciri pokok kehidupan. Seperti yang dinyatakan Ralph
Buchsbaum:
“Virus adalah jenis protein terbesar yang pernah kita kenal, dan
beberapa di antaranya telah dibuat dalam bentuk kristalin murni. Bahkan setelah
kristalisasi yang berulang-ulang, satu perlakuan yang tidak memungkinkan zat
hidup untuk terus bertahan, virus kembali meneruskan aktivitasnya dan
berkembang biak setelah ditempatkan kembali pada kondisi yang menguntungkannya.
Walaupun belum ada yang berhasil membiakkan virus tanpa materi hidup, jelas
bahwa virus membantu menjembatani jurang yang tadinya dipikir ada di antara
benda hidup dan tak hidup. Kita tidak lagi dapat mengatakan bahwa ada satu
perbedaan yang tajam dan misterius antara yang hidup dan yang tidak hidup, tapi
kelihatannya ada semacam transisi gradual di dalam kompleksitas.
“Jika kita membayangkan bahwa zat-zat pertama yang sanggup
membiakkan diri sendiri adalah sesuatu yang mirip dengan virus, tidaklah sulit
untuk membayangkan bahwa satu agregasi dari protein-protein mirip virus dapat
membawa kita pada perkembangan organisme mirip bakteri yang lebih besar, yang
independen, yang menghasilkan makanan mereka sendiri dari zat-zat yang
sederhana, dan menggunakan energi dari matahari.
“Tingkatan organisasi
semacam itu dapatlah dibandingkan dengan bentuk-bentuk masa kini, seperti
bakteri independen, yang beberapa di antaranya menjalankan fotosintesis tanpa
klorofil, melainkan menggunakan berbagai pigmen hijau atau ungu. Yang lain
mendayagunakan energi yang diserap dari oksidasi nitrogen, sulfur atau besi.
Bakteri-bakteri ini, misalnya, dapat mengoksidasi amonia menjadi nitrat, atau
hidrogen sulfida menjadi sulfat, dengan pelepasan energi yang dapat mereka
gunakan untuk membentuk karbohidrat.”[13]
Interval yang relatif
singkat antara pembentukan planet dan pendinginan permukaan keraknya berarti
bahwa kemunculan kehidupan terjadi pada waktu yang sangat singkat pula. Stephen
J. Gould menjelaskan bahwa “kehidupan, sekalipun sangat rumit, boleh jadi
muncul dengan cepat, secepat yang dimungkinkan.”[14] Fosil-fosil mikro yang berasal dari
3,4 miliar tahun lalu, seperti yang diharapkan, adalah sel-sel prokariotik –
sel yang tidak mengandung inti sel (metanogen, bakteri, dan ganggang
biru-hijau). Mereka dianggap sebagai bentuk kehidupan yang paling sederhana di
bumi, sekalipun pada waktu ini pun telah terdapat keragaman. Yang berarti bahwa
antara 3,5 dan 3,8 miliar tahun lalu nenek moyang semua makhlukhidup muncul,
bersama dengan bentuk-bentuk kehidupan lain yang kini telah punah.
Kalaupun ada, jumlah molekul oksigen di atmosfer masih teramat
sedikit pada masa ini. Organisme yang ada saat itu tidak membutuhkan oksigen –
sesungguhnya oksigen justru akan membunuh mereka. Mereka tumbuh dengan
mengoksidasi hidrogen dan mereduksi karbon dioksida menjadi metana. Telah
diajukan kemungkinan bahwa organisme-organisme ini mirip dengan sel-sel eocyte
yang kini menghuni kolam-kolam lava panas di puncak gunung-gunung berapi.Mereka
mendapatkanenergi mereka bukan dari oksigen melainkan dari pengubahan sulfur
menjadi hidrogen sulfida.
Richard Dickerson menulis:
“Kita dapat membayangkanbahwa sebelum sel-sel hidup ber-evolusi,
lautan purba dipenuhi dengan droplet-droplet yang memiliki susunan kimia khusus
yang bertahan untuk waktu yang lama sebelum mereka menghilang.”
“Droplet-droplet
kecil ini yang, karena kebetulan, mengandung katalis yang sanggup menginduksi
polimerisasi yang berguna akan bertahan lebih lama dari yang lain; kemungkinan
bertahan akan ditentukan langsung oleh kompleksitas dan efektivitas dari
'metabolisme' mereka. Setelah ribuan tahunakan terjadi seleksi kimiawi, yang
memilih jenis droplet dapat menyerap molekul dan energi dari lingkungannya dan
mengubah semua itu menjadi zat-zatakan mendorong kelangsungan hiduptidak hanya
droplet induknya tapi juga droplet anaknya, yang merupakan hasil pembelahan
induk ketika induk itu telah menjadi terlampau besar. Ini belumlah kehidupan,
tapi sudah dekat sekali.”[15]
Karena kurangnya bukti-bukti fosil, kita harus memeriksa
organisasi dari sel-sel modern untuk dapat mencari asal-usul mereka. Agar
bentuk kehidupan yang paling sederhana dapat bereproduksi, satu aparatus
genetik yang mengandung asam nukleat haruslah hadir. Jika sel adalah unit dasar
kehidupan, kita dapat hampir-hampir memastikan bahwa organisme asalnya
mengandung asam nukleat atau polimer yang mirip dengannya. Bakteri, misalnya,
tersusun dari satu sel tunggal dan sangat boleh jadi merupakan prototipe dari
semua sel hidup.
Bakteri Escherichia coli (E. coli) sedemikian kecilnya
sehingga satu triliun selnya dapat dipadatkan ke dalam volume satu sentimeter
kubik saja. Bakteri ini mengandung dinding sel, membran, yang membungkus semua
molekul yang penting bagi keberadaannya; ia juga menyaring dan menarik
molekul-molekul yang berguna dari luar sel. Ia menjaga keseimbangan antara sel
dan lingkungannya. Metabolisme utama dari sel itu terjadi di membran, di mana
ratusan reaksi kimia terjadi, reaksi-reaksi yang menggunakan nutrisi dari
lingkungan untuk keperluan pertumbuhan dan perkembangannya. Bakteri ini, E.
coli, bereproduksi sekali tiap 20 menit. Transformasi yang unik di dalam sel
ini dimungkinkan oleh sekelompok molekul yang disebut enzim. Inilah katalis
yang mempercepat reaksi kimia tanpa dirinya sendiri ikut berubah di dalam
proses tersebut. Mereka bekerja berulang-ulang, secara terus-menerus mengubah
nutrisi menjadi berbagai produk.
Reproduksi adalah elemen yang hakiki dari kehidupan. Ketika pembelahan
sel terjadi, sepasang sel anak yang identik dihasilkan. Mekanisme duplikasi
ini, untuk membuat molekul protein baru yang memiliki susunan yang persis sama
dengan sel induknya, disimpan dalam asam nukleat. Molekul-molekul ini bersifat
unik dalam makna bahwa hanya mereka sendirilah, dengan bantuan dari beberapa
enzim tertentu, yang sanggup mereproduksi diri mereka secara langsung. DNA
(deoxyribonucleic acid) mengandung semua informasi yang diperlukan untuk
mengarahkan sintesa protein-protein baru. Namun, DNA tidak dapat langsung
melakukan itu, tapi bekerja sebagai sebuah “master copy” yang disalin ke m-RNA
(messenger-ribonucleic acid). m-RNA inilah yang membawa informasi urutan itu ke
sistem sintesa. Ini dikenal sebagai kode genetik. Asam nukleat tidak dapat
bereplikasi tanpa enzim, dan enzim tidak dapat dibuat tanpa asam nukleat.
Mereka pasti berkembang secara paralel. Sangat mungkin bahwa dalam “sup” purba
itu, yang terdiri dari banyak unsur, telah terdapat sejenis RNA yang juga
merupakan enzim, yang berkembang berdasarkan seleksi alam. Enzim-RNA ini
bergabung untuk membentuk sebuah heliks, dan menjadi basis bagi terbentuknya
RNA yang sanggup mereplikasi dirinya sendiri. Replikasi genetiknya bukannya
tanpa kemungkinan kesalahan. Pada bakteri E. coli, tingkat kesalahan ini adalah
satu setiap 10 juta salinan. Selama jutaan generasi, kesalahan-kesalahan
semacam ini – mutasi – mungkin hanya memiliki efek yang kecil saja, tapi dapat
juga menyebabkan perubahan yang mendasar dalam organisme tersebut, dan berdasarkan
seleksi alam, akan membawa kita pada pembentukan sebuah spesies baru.
Tahapan berikutnya
dari evolusi organik adalah perkembangan polimer-polimer lain. Sebuah struktur
diperlukan untuk membungkus molekul-molekul: sebuah membran sel yang
semipermiabel [dapat ditembus zat-zat tertentu]. Membran sel adalah struktur
yang kompleks, yang berada dalam keadaan antara padat dan cair. Perubahan kecil
dalam komposisi membran akan menghasilkan perubahan kualitatif, seperti yang
dijelaskan oleh Chris Langton: “Sentuhlah ia sedikit saja, ubahlah sedikit saja
komposisi kolesterolnya, ubahlah sedikit saja komposisi asam lemaknya, biarkan
sebuah molekul protein terikat pada satu reseptor membran, dan Anda akan
mendapati perubahan-perubahan besar, perubahan yang berguna secara biologis.”[16]
Fotosintesis dan Reproduksi
Seksual
Seperti yang dapat dilihat dari apa yang telah terjadi, evolusi
sel adalah sebuah tahap evolusi organik yang relatif maju. Sejalan dengan
semakin habisnya komponen-komponen yang terkandung dalam sup biotik, menjadi
semakin perlu untuk mengembangkan materi-materi organik yang terlarutkan dari
atmosfer. Dari fermentasi, bentuk metabolisme yang lebih sederhana tapi kurang
efisien, langkah berikutnya adalah fotosintesis. Molekul klorofil berevolusi.
Molekul ini memungkinkan organisme hidup untuk menangkap energi surya untuk
keperluan sintesis molekul organik. Organisme fotosintesis yang pertama
melemparkan dirinya jauh-jauh dari kompetisi untuk memperebutkan
molekul-molekul berenergi tinggi yang jumlahnya semakin berkurang itu, dan
menetapkan diri mereka sebagai produsen-produsen primer. Segera setelah proses
fotosintesis tercapai, masa depan kehidupan terjamin sudah. Segera setelah ia
muncul dan menghasilkan cukup oksigen, pernafasanpun menjadi mungkin. Sejalan
dengan hukum seleksi alam, sekali fotosintesis dimulai, ia meninggalkan
bekasnya pada semua makhluk hidup yang muncul sesudahnya, dan ia terbukti
demikian sukses sehingga ia kemudian sanggup menghapus keberadaan semua bentuk
kehidupan yang mendahuluinya.
Perkembangan ini merupakan satu lompatan kualitatif. Evolusi
selanjutnya yang menuju bentuk-bentuk yang lebih kompleks adalah sebuah proses
berkepanjangan yang akhirnya melahirkan satu cabang kehidupan yang baru, yakni
sel yang berinti. Pada puncak pohon evolusi eukariotik, beberapa cabang muncul
secara bersamaan, seperti tumbuhan, hewan dan jamur. Menurut ahli biologi
molekuler Amerika, Mitchell Sogin, jumlah oksigen mempengaruhi kecepatan
evolusi. Komposisi dari batu-batuan purba menunjukkan bahwa oksigen di atmosfer
bertambah secara bertahap, yang dipisahkanoleh masa-masa stabilitas yang
berlangsung untuk waktu yang lama. Beberapa ahli biologi percaya bahwa ledakan
kehidupan boleh jadi dipicu oleh oksigen ketika jumlahnya mencapai tingkatan
tertentu.
Sel berinti –
eukariota – telah dengan sempurna beradaptasi terhadap oksigen dan menunjukkan
variasi yang kecil saja di antara mereka. Kemunculan dari bentuk kehidupan baru
yang revolusioner ini mengizinkan reproduksi seksual yang maju, yang pada
gilirannya, mempercepat laju evolusi. Sementara prokariota terdiri dari hanya
dua kelompok organisme, bakteri dan ganggang biru-hijau (yang terakhir disebut
ini menghasilkan oksigen melalui fotosintesis), eukariota terdiri dari segala
tumbuhan hijau, semua hewan dan jamur. Reproduksi seksual merupakan sebuah
lompatan kualitatif besar ke depan. Hal ini menuntut dibungkusnya semua
material genetik di dalam inti sel. Reproduksi seksual juga memungkinkan
percampuran gen antara dua sel,di mana peluang variasinya menjadi jauh lebih
besar. Dalam reproduksi, kromosom-kromosom dari sel-sel eukariotik bergabung
untuk menghasilkan sel-sel baru. Seleksi alam berfungsi untuk memelihara
varian-varian genetik yang menguntungkan di dalam lungkang gen (gene pool).
Salah satu aspek kunci kehidupan adalah reproduksi. Semua hewan
dan tumbuhan memiliki struktur internal dasar yang sama. Reproduksi dan
pewarisan ciri-ciri induk (hereditas) terjadi melalui persatuan sel-sel
seksual, yakni telur dan sperma. Material genetik DNA,di manaciri-ciri makhluk
hidup diwariskan dari satu generasi ke generasi yang berikutnya, terkandung di
dalam inti dari semua sel. Struktur sel yang terbentuk dari sitoplasma juga
mengandung sejumlah organ miniatur yang disebut organel. Struktur internal dari
organel-organel adalah identik dengan berbagai tipe bakteri, yang kelihatannya
merupakan bukti bahwa komposisi dari sel hewan dan tumbuhan adalah hasil dari
penggabungan organ-organ yang tadinya independen ini, yang memiliki DNA-nya
sendiri, Mereka bergabung untuk membentuk sebuah badan kooperatif yang lebih
besar. Di tahun 1970-an mikrotubula ditemukan. Ini adalah batang-batang protein
yang mengisi setiap sel dalam tubuh seperti sebuah kerangka internal.
“Kerangka” internal ini memberi bentuk pada sel dan nampaknya memainkan peran
dalam sirkulasi protein dan produk-produk plasma. Kemajuan dari sel eukariotik
atau sel berinti merupakan sebuah revolusi biologis yang terjadi sekitar 1.500
juta tahun yang lalu.
Dari pertunasan (budding) dan fisi aseksual muncullah reproduksi
seksual. Kemajuan semacam itu berguna untuk mencampur material hereditas dari
dua individu, sehingga keturunannya akan berbeda dari induknya. Ini menyediakan
variasi di mana seleksi alam dapat bekerja. Dalam tiap sel hewan dan tumbuhan
DNA diatur dalam pasangan-pasangan kromosom dalam inti sel. Kromosom-kromosom
ini membawa gen-gen yang menentukan ciri-ciri sebuah individu. Keturunan yang
baru, sambil mengkombinasikan ciri-ciri dari kedua induknya, sangatlah berbeda
dari keduanya. Nampaknya asal-muasal reproduksi seksual ada hubungannya dengan
organisme primitif yang saling menelan satu dengan lainnya. Material genetik
dari dua individu disatukan menghasilkan sebuah organisme dengan dua set
kromosom. Organisme yang lebih besar ini lalu terbelah menjadi dua bagian
dengan jumlah kromosom yang tepat. Kromosom tunggal dan berpasangan sama-sama
hadir, tapi sejalan dengan berlalunya waktu kondisi yang berpasangan menjadi
normal bagi tumbuhan dan hewan. Ini merupakan basis bagi evolusi organisme
multiseluler.
Sekitar 700-680 juta tahun lalu, metazoa pertama muncul. Ia
adalah organisme multiseluler yang kompleks, yang membutuhkan oksigen untuk
pertumbuhannya. Selama periode itu jumlah oksigen dalam atmosferterus
bertambah, dan mencapai level yang ada hari ini sekitar 140 juta tahun yang
lalu. Proses evolusi memiliki karakter yang sangat dialektik, di mana masa-masa
perubahan kuantitatif yang bertahap disela oleh ledakan-ledakan mendadak.
Periode seperti itu terjadi sekitar 570 juta tahun lalu.
Ledakan Kambrium
Dibutuhkan imajinasi yang besar untuk mengingat bahwa bentuk-bentuk
kehidupan yang kompleks di bumi ini adalah fenomena yang belum lama.
Bayangkanlah sebuah dunia di mana bumi berisi batuan yang tandus, di mana
bentuk kehidupan yang paling kompleks adalah ganggang dan buih-buih di
kolam-kolam. Ini adalah situasi yang ada pada sebagian besar sejarah bumi.
Selama ribuan juta tahun perkembangan kehidupan berjalan dengan statis. Lalu,
mendadak, dunia yang stagnan ini tiba-tiba meledak dalam salah satu ledakan
yang paling dramatis dalam sejarah kehidupan di bumi. Catatan fosil kini
menunjukkan perkembangbiakan yang luar biasa dari berbagai bentuk kehidupan.
Kemunculan hewan-hewan bercangkang dan berkerangka telah memungkinkan
dipeliharanya catatan tentang masa-masa ini dalam batu. Ledakan bentuk-bentuk
baru kehidupan di lautan terjadi bersamaan dengan kepunahan massal dari
stromatolit yang lebih purba, yang sebelumnya merupakan bentuk kehidupan yang
dominan di masa Proterozoik. Kemunculan berbagai jenis makhluk bersel banyak
mengubah wajah bumi untuk selamanya.
1.
H. T. Rhodes menulis:
“Mungkin hal yang
paling mengagumkan (dan juga yang paling mengejutkan) tentang catatan fosil ini
adalah permulaannya. Fosil-fosilpertama muncul dalam jumlah yang cukup banyak
dalam batuan dari masa Kambrium Muda, yang didepositkan sekitar 600 juta tahun
lalu. Batuan yang dari masa lebih tua (Pra-Kambrium) hampir-hampir tidak
mengandung fosil sama sekali, sekalipun beberapa jejak organisme purba telah
dicatat darinya. Perbedaan antara kedua kelompok batuan ini sangatlah besar:
seorang paleontologis boleh menyelidiki lapisan Pra-Kambrium yang nampak
menjanjikan selama hidupnya dan tetap tidak menemukan sesuatu pun (banyak yang
telah melakukan hal ini); tapi sekali ia naik ke masa Kambrium, datanglah
fosil-fosil itu – dalam berbagai bentuknya, terawat dengan baik, terdapat di
seluruh dunia, dan sangat jamak. Inilah fitur pertama dari fosil paling tua
yang jamak terdapat, dan mereka merupakan kejutan bagi semua kaum evolusionis.
Karena, bukannya muncul secara bertahap, dengan perkembangan dan urutan yang
tampak tertata rapi – mereka justru datang seperti sebuah ledakan geologis.”[17]
Sekalipun ia sangat jenius, Darwin tidak pernah berhasil
mendamaikan dirinya dengan ledakan Kambrium. Ia berpegang teguh pada pandangan
gradualisnya, dan berasumsi bahwa lompatan mendadak ini hanyalah penampakannya
saja, dan hanya karena ketidaklengkapan catatan fosil. Di tahun-tahun terakhir,
penemuan-penemuan baru yang mengejutkan dalam paleontologi telah membawa kita
pada sebuah revisi besar-besaran atas interpretasi tentang evolusi. Ide lama
tentang proses perubahan gradual yang berlangsung mulus telah mendapat
tantangan, terutama dari Stephen Jay Gould, yang penyelidikannya terhadap
catatan fosil dari Burgess Shale (satu lokasi fosil penting di British
Columbia) telah mengubah wajah paleontologi.
Kehidupan berkembang,
bukan dalam garis yang lurus dan mulus, melainkan melalui proses yang dengan
tepat digambarkan oleh Stephen Jay Gould sebagai kesetimbangan terputus (punctuated equilibrium), di mana periode stabilitas
yang panjang disela oleh periode perubahan yang mendadak dan penuh gejolak,
yang dicirikan oleh kepunahan massal berbagai spesies. Selama 500 juta tahun,
garis batas periode-periode geologis ditandai oleh gejolak-gejolak mendadak
semacam itu, di mana hilangnya beberapa spesies menyiapkan jalan bagi munculnya
spesies yang lain. Ini adalah proses biologis yang setara dengan proses
geologis yang membentuk pegunungan dan pergeseran benua. Ia sama sekali tidak
memiliki kemiripan dengan karikatur vulgar tentang evolusi, yang menggambarkan
evolusi sebagai sebuah proses sederhana yang berisi perubahan dan adaptasi yang
gradual.
Menurut teori klasik Darwin kemunculan organisme multiseluler
kompleks pertama haruslah didahului oleh sebuah periode perubahan progresif
yang lambat dan panjang, yang berpuncak pada “ledakan Kambrium” 500 juta tahun
lalu. Namun, penemuan-penemuanterakhir menunjukkan bahwa bukan demikian halnya.
Penyelidikan Gould dan yang lainnya menunjukkan bahwa sepanjang dua-pertiga
dari sejarah kehidupan di bumi – hampir 2,5 miliar tahun – kehidupan terbatas
pada tingkatan kompleksitas terendah, yakni sel prokariotik, dan tidak pernah
bergeser dari situ.
“Periode 700 juta tahun selanjutnya diisi oleh sel-sel
eukariotik yang lebih besar dan jauh lebih rumit, tapi tidak ada agregasi
menuju bentuk kehidupan hewani yang multiseluler. Lalu, dalam 100 juta tahun,
sekejap mata saja bagi geologi, tiga fauna yang demikian berbeda – dari
Ediacara, ke Tommotian, ke Burgess. Sejak itu, lebih dari 500 juta tahun yang
berisi kisah-kisah menakjubkan, kemenangan dan tragedi, tapi tidak ada filum,
atau rancangan anatomik dasar baru yang ditambahkan pada apa yang telah ada
pada lapisan Burgess.”
Dengan kata lain, kemunculan dari organisme-organisme
multiseluler yang kompleks, basis dari segala bentuk kehidupan yang kita kenal
sekarang, tidaklah muncul dari sebuah akumulasiperubahan-perubahan adaptif yang
lambat, gradual, dan “evolusioner”, tapi dari lompatan kualitatif yang
mendadak. Ini adalah revolusi biologis yang amat mengagumkan, di mana, “dalam
waktu geologis yang sekejap,dekat dengan awal masa Kambrium, hampir semua filum
modern membuat kemunculan mereka yang pertama, bersama denganbahkan lebih
banyak lagi eksperimen-eksperimen anatomis lainnya yang tidak dapat bertahan
hidup lama sesudahnya.” Selama masa-masa Kambrium, sembilan filum (unit dasar
dari klasifikasi kerajaan hewan) dari invertebrata air muncul untuk pertama
kalinya, termasuk protozoa, coelenterata (ubur-ubur, animon laut), spon,
moluska dan trilobit. Dibutuhkan waktu 120 juta tahun untuk evolusi seluruh
filum vertebrata. Di pihak lain, kita melihat kepunahan yang cepat dari
stromatolit, yang telah menjadi bentuk kehidupan yang dominan selama 2 miliar
tahun sebelumnya.
“Hewan-hewan
multiseluler modern pertama kali membuat kemunculannya yang tanpa tanding itu
dalam catatan fosil dari sekitar 570 juta tahun yang lalu – dan dengan sebuah
ledakan, bukan dalam crescendo yang berkepanjangan. 'Ledakan Kambrium' ini
menandai lahirnya (setidaknya menurut bukti-bukti langsung) semua kelompok
besar hewan modern – semua terjadi dalam jangka waktu yang amat singkat,
menurut skala geologi, yang hanya mencakup beberapa juta tahun.”[18]
1.
J. Gould menulis:
“Kami tidak menemukan
sebuah kisah kemajuan yang bertahap, tapi sebuah dunia yang terus diganggu
dengan periode kepunahan massal dan penciptaan yang cepat di antara
rentang-rentang ketenangan relatif yang panjang.”[19]
Dan lagi:
“Sejarah kehidupan
bukanlah sebuah perkembangan yang berkesinambungan, tapi sebuah catatan yang
terputus-putus oleh episode-episode kepunahan massal yang singkat, kadang kala
seketika jika diukur dalam skala geologis, dan diversifikasi yang menyusulnya.
Skala waktu geologis telah memetakan sejarah ini, karena fosil merupakan
kriteria utama kami dalam menetapkan susunan temporal batuan. Pembagian skala
waktu ditetapkan pada patahan-patahan besar ini karena kepunahan dan
diversifikasi yang pesat meninggalkan tanda-tanda yang amat jelas pada catatan
fosil.”[20]
Tumbuhan dan Hewan
Selama masa Kambrium dan Ordovisium– 570-440 juta tahun lalu –graptolit
dan trilobit meningkat dengan besar, begitu juga keragaman dalam spesies
makhluk air di seluruh dunia, termasuk kemunculan ikan-ikan yang pertama. Ini
adalah akibat dari perluasan permukaan dasar laut, terutama Samudera Iapetus.
Selama masa Silurian (440-400 juta tahun lalu) pencairan es menaikkan
ketinggian permukaan air laut. Laut dangkal yang menutupi sebagian besar Asia,
Eropa dan Amerika Utara bukanlah satu halangan serius bagi migrasi berbagai
spesies, dan, bukan kebetulan, masa-masa ini adalah masa di mana transgresi
makhluk air mencapai tingkatan yang maksimum.
Pada masa ini, terdapat distribusi benua yang agak aneh.
Benua-benua di selatan terkumpul dengan agak longgar untuk membentuk
proto-Gondwanaland (Afrika, Amerika Selatan, Antartika, Australia, India), tapi
Amerika Utara, Eropa dan Asia saling terpisah. Ada samudra proto-Atlantik yang
kecil (Iapetus) antara Eropa dan Amerika Utara, dan Kutub Selatan terletak di
sekitar Afrika Barat Laut. Kemudian berbagai benua itu bergeser dan bersatu
untuk membentuk sebuah super-benua tunggal – Pangaea. Proses ini dimulai 380
juta tahun lalu, ketika Samudera Iapetus lenyap, dan menghasilkan sabuk
pegunungan Kaledonia-Appalasia. Peristiwa ini mengakibatkan benturan Baltik
dengan Kanada, yang menyatukan Eropa dengan Amerika Utara. Pada waktu itu,
konvergensi yang terus berlangsung menyebabkan sudut barat laut dari
Gondwanaland membentur Amerika Utara, menghasilkan massa-daratan yang
semi-kontinu, di mana semua benua disatukan.
Peningkatan area
daratan yang demikian masif itu menghasilkan lompatan revolusioner dalam
evolusi kehidupan itu sendiri. Untuk pertama kalinya, satu bentuk kehidupan
mencoba untuk bergerak dari laut ke darat, pada garis pantainya. Amfibi dan
tumbuhan darat pertama muncul. Inilah titik awal pertumbuhan eksplosif dari
kehidupan hewan dan tumbuhan. Masa ini ditandai dengan lenyapnya lingkungan
laut-laut dangkal, dan sebagai akibatnya, kepunahan massal atau penurunan tajam
dari banyak spesies air. Jelas, perubahan lingkungan memaksa beberapa spesies
untuk bergerak dari daerah pantai ke darat, atau mati. Beberapa di antaranya
berhasil, yang lain gagal. Mayoritas besar organisme air beradaptasi pada
kehidupan di zona pantai pasir dangkal (continental shelf)[21],dan terumbu karang di laut dangkal
menjadi punah. Amfibi akhirnya melahirkan reptil. Tumbuhan-tumbuhan darat yang
pertama mengalami ledakan pertumbuhan, menghasilkan hutan-hutan raksasa yang
mencapai ketinggian 30 meter. Banyak dari deposit batubara berasal dari periode
ini, sebagai hasil dari akumulasi sampah selama jutaan tahun, yang membusuk di
permukaan hutan-hutan prasejarah ini.
Logika formal mendekati dunia alam dengan sebuah ultimatum –
atau ini... atau itu. Sesuatu adalah hidup atau mati; sebuah organisme adalah
tumbuhan atau hewan, dan seterusnya. Sesungguhnya, keadaannya tidaklah
sesederhana ini. Dalam Anti-Dühring, Engels menulis:
“Untuk keperluan
sehari-hari kita tahu dan dapat dengan tegas menyatakan, misalnya, apakah
seekor hewan hidup atau mati. Tapi, setelah mengamati lebih jauh, kita akan
menemukan bahwa hal ini sering kali menjadi persoalan yang sangat rumit,
seperti yang sering dihadapi para juri di pengadilan. Mereka telah memutar
keras otak mereka dengan sia-sia untuk menentukan batasan rasional di mana kita
dapat mengatakan bahwa pengguguran terhadap janin di rahim seorang ibu adalah sebuah
pembunuhan. Sama mustahilnya untuk menentukan saat tepat kematian, karena
fisiologi membuktikan bahwa kematian bukanlah sebuah gejala yang mendadak dan
spontan, tapi merupakan sebuah proses yang berkepanjangan.”[22]
Kami telah menunjukkan kesulitan dalam menggolongkan organisme
yang paling primitif, seperti virus yang berada pada perbatasan antara materi
organik dan anorganik. Kesulitan yang sama muncul dalam membedakan antara
tumbuhan dan hewan. Tumbuhan digolongkan dalam tiga divisi besar. Yang pertama
di antaranya (Thallophyta) mencakup segala bentuk yang paling primitif, baik
organisme bersel tunggal maupun kelompok-kelompok sel yang terorganisir secara
longgar. Apakah mereka ini tumbuhan atau hewan? Kelihatannya mereka adalah
tumbuhan karena mereka memiliki klorofil. Mereka “hidup seperti tumbuhan”.
Rhodes mengatakan ini tentang hal itu:
“Tapi jawaban yang sederhana ini tidaklah memecahkan persoalan
kita dalam mengenali sebuah tumbuhan –bahkan, ia justru membuatnya menjadi
semakin membingungkan, karena bukannya menyediakan satu garis batas yang tegas
antara tumbuhan dan hewan, ia justru membawa kita kepada zona yang
tumpang-tindih dan kabur antara kedua kerajaan ini. Dan seperti virus membawa
kita pada garis batas kehidupan, demikian pula thallophyta rendah ini membawa
kita pada batasan yang kabur yang memisahkan dunia tumbuhan dari dunia hewan.
“Banyak protozoa, seperti yang telah kita lihat, adalah jelas
hewan – mereka bergerak, menyerap makanan, dan mengeluarkan limbah seperti
“jelas-jelas” hewan. Tapi terdapat pula sejumlah pengecualian yang mengejutkan.
Mari kita lihat sejenak organisme kecil bersel tunggal Euglena, yang biasanya
menghuni kolam-kolam dan saluran-saluran air. Ia memiliki tubuh yang kurang
lebih lonjong, yang bergerak melalui air dengan pergerakan flagelumnya; makhluk
ini juga dapat merayap dan melakukan pergerakan seperti cacing: dengan kata
lain ia sanggup melakukan pergerakan yang 'tipikal' hewan – tapi ia mengandung
klorofil dan mendapatkan nutrisi dengan fotosintesis.
“Euglena adalah
sungguh satu kontradiksi hidup terhadap segala gagasan kita tentang perbedaan
antara hewan dan tumbuhan, dan kontradiksi itu timbul, bukan karena kita tidak
dapat memutuskan ia masuk yang mana di antara keduanya, tapi karena ia
mengandung ciri-ciri keduanya sekaligus. Bentuk-bentuk lain yang berkerabat
dekat dengannya telah kehilangan klorofil dan berperilaku seperti hewan-hewan
lainnya. Implikasi dari hal ini sangatlah jelas. 'Tumbuhan' dan 'hewan' adalah
kategori abstrak yang kita buat sendiri – yang dibuat dan dirumuskan untuk
memudahkan keperluan kita sendiri. Karenanya, tidak harus semua organisme cocok
dengan satu kelompok atau yang lain. Mungkin Euglena adalah fosil hidup dari
kelompok organisme air purba dan primitif yang merupakan nenek moyang baik
hewan maupun tumbuhan. Tapi dapatkah kita menyelesaikan konflik ini dengan
menganggap bahwa klorofil adalah faktor pembedanya? Dapatkah kita menganggap
'jika ada klorofil ... maka tumbuhan' sebagai sebuah aturan yang baku?
Sayangnya tidak, karena beberapa dari thallophyte ini (jamur) yang dalam semua
aspek sangat mirip dengan tumbuhan, tidaklah memiliki klorofil. Sesungguhnya,
jamur-jamur ini merupakan familia yang sangat bermasalah – karena pada berbagai
anggota di dalamnya, hampir semua ciri 'khas' tanaman tidak dapat diterapkan
(kebutuhan akan sinar matahari, ketiadaan pergerakan, dan sebagainya). Namun,
setelah dipertimbangkan, anggota-anggotanya kelihatannya adalah tumbuhan.”[23]
Keragaman dalam kehidupan multiseluler mewakili sebuah lompatan
kualitatifyang lebih jauh dalam evolusi kehidupan. Perubahan dari organisme
bertubuh lunak menuju organisme yang memiliki cangkang mineral yang keras,
seperti yang tercatat dalam lapisan Burgess Shale, merupakan perkembangan dari
organisme yang lebih tinggi. Zat-zat tertentu seperti garam dan kalsium
menembus struktur sel dan jaringan dari makhluk-makhluk laut, yang kemudian
membuat makhluk-makhluk itu harus mengeluarkannya. Di dalam sel, organel yang
berurusan dengan metabolisme atau energi, yakni mitokondria, menyerap kalsium
dan fosfat dan mengeluarkannya sebagai kalsium fosfat. Mineral ini dapat
ditumpuk di dalam sel atau digunakan untuk membangun sebuah kerangka internal
atau eksternal.
Pertumbuhan dari kerangka biasanya terjadi melalui penumpukan
kristal mineral ke atas protein berpori, yang dikenal sebagai kolagen. Kolagen,
yang merupakan sepertiga dari seluruh protein dalam tubuh makhluk bertulang
belakang, hanya dapat terbentuk jika ada oksigen bebas. Langkah pertama ke arah
vertebrata tampaknya adalah Pikaia, suatu makhluk seperti ikan yang tercatat di
Burgess-Shale. Cumi-cumi laut kelihatannya juga merupakan satu rantai
evolusioner antara hewan-hewan yang tinggal di permukaan dasar laut yang
mengambil makanannya dari penyaringan bahan makanan, dan ikan yang dapat
berenang dengan bebas. Ikan-ikan ini (ostracoderma) dilingkupi dengan sisik
yang mirip cangkang, tanpa gigi atau rahang. Lompatan evolusioner dalam masa
Silurian ini menghasilkan vertebrata yang pertama.
Di dalam masa inilah (140 juta tahun lalu) rahang ber-evolusi
dari insang depan, yang memungkinkan perburuan hewan lain sebagai ganti
penyedotan makanan dari permukaan dasar laut. Gould menulis:
“Ikan-ikan pertama tidak memiliki rahang. Bagaimana alat yang
demikian rumit ini, yang terdiri dari tulang-tulang kecil yang saling berantai
ini, muncul dari ketiadaan? 'Dari ketiadaan' ini ternyata hanyalah ilusi.
Tulang-tulang itu sudah ada pada nenek moyang mereka, tapi kegunaannya sangat
berbeda – tulang-tulang itu menyokong insang yang terletak persis di belakang
mulut. Mereka dirancang dengan sangat baiknya untuk kegunaan pernafasan; mereka
terpilih oleh alam untuk keperluan ini saja dan sama sekali tidak sadar akan
kemungkinan fungsi lain di masa depan. Melihat ke depan, tulang-tulang itu
kelihatannya sungguh-sungguh diadaptasi untuk menjadi rahang. Alat yang rumit
ini telah disusun sedemikian rupa, tapi ia masih digunakan untuk bernafas,
bukannya untuk makan”
Dalam kosakata Marxisme, ini adalah elemen-elemen baru yang ada
di dalam elemen-elemen lama. Ikan berahang yang pertama, acanthodian, atau hiu
berduri, melahirkan berbagai jenis ikan bertulang lainnya. Dari ikan-ikan ini
berevolusilah vertebrata-vertebrata darat pertama, makhluk-makhluk amfibi.
Gould meneruskan:
“Mirip dengan itu, bagaimana mungkin sirip ikan dapat menjadi
tungkai untuk berjalan di darat? Kebanyakan ikan membangun sirip mereka dari
tulang-tulang paralel yang ramping, yang tidak sanggup menyangga berat hewan
itu di darat. Tapi satu kelompok ikan yang hidup di dasar air tawar – nenek
moyang kita – mengevolusikan sebuah sumbu sentral yang kuat dan hanya beberapa
tulang yang menonjol. Ia telah dipraadaptasi dengan mengagumkan untuk menjadi
kaki di darat kelak, tapi sebetulnya ia telah dievolusikan khusus untuk
keperluannya sendiri di bawah air – kelihatannya untuk dapat bergerak dengan
kelokan-kelokan tajam di permukaan dasar air.
“Pendeknya, prinsip pra-adaptasi menyatakan bahwa sebuah
struktur dapat berubah fungsi secara radikal tanpa banyak berubah bentuknya.
Kita dapat menjembatani jurang tahapan-tahapanperantara dengan mengajukan
argumen bahwa fungsi-fungsi lama dipertahankan sambil mengembangkan
fungsi-fungsi baru.”
Eusthenopteron
memiliki sirip yang berotot, dan paru-paru dan juga insang. Selama masa-masa
kering ikan-ikan ini keluar dari kolam-kolam untuk bernafas menggunakan
paru-paru mereka.[24] Banyak amfibi dari jaman
Carboniferous (sekitar 360-300 juta tahun yang lalu) menghabiskan waktunya di
darat, tapi kembali ke air untuk meletakkan telur-telur mereka. Dari sana,
lompatan evolusionernya bergerak ke arah reptilia, yang menghabiskan seluruh
waktunya di darat dan meletakkan telur dalam jumlah lebih sedikit, yang
dibungkus dalam cangkang kalsium karbonat. Engels menulis:
“Sejak saat kita
menerima teori evolusi, semua konsepsi kita tentang kehidupan organik
berkorespondensi hanya kurang lebih dengan realitas. Jika tidak demikian, maka
tidak akan ada perubahan. Pada saat konsepsi dan realitas sungguh-sungguh
bersesuaian dalam dunia organik, perkembangan akan terhenti. Konsepsi tentang
ikan mencakup makhluk yang hidup di air dan bernafas melalui insang: bagaimana
Anda dapat bergerak dari ikan menuju ke amfibi tanpa terlebih dahulu
menghancurkan konsep ini? Dan konsepsi itupun sesungguhnya telah dipatahkan,
karena kita sekarang mengenal serangkaian jenis ikan yang telah mengembangkan
kelenjar udaranya lebih jauh, menjadi paru-paru, dan dapat bernafas di darat.
Bagaimana, tanpa membawa satu atau dua konsep ke dalam konflik dengan realitas,
Anda akan dapat bergerak dari reptil yang bertelur menuju mamalia, yang
melahirkan anak-anaknya? Dan pada kenyataannya kita melihat dalam ordo
monotremata[25] satu sub-kelas mamalia yang
bertelur – di tahun 1843 saya melihat telur platipus di Manchester dan dengan
kesombongan yang picik menertawakan kebodohan itu – mana ada mamalia yang
bertelur – dan kini hal itu telah terbukti benar!”[26]
Kepunahan Massal
Garis batas Palaeozoic-Mesozoic (250 juta tahun lalu) merupakan
periode kepunahan massal terbesar dalam sejarah yang tercatat dalam catatan
fosil. Invertebrata air, khususnya, sangatlah terpengaruh. Seluruh grup besar
punah seluruhnya, termasuk trilobit yang telah mendominasi lautan selama jutaan
tahun. Kehidupan tumbuhan tidak terpengaruh terlalu serius tapi sekitar 75%
amfibi dan lebih dari 80% familia reptil lenyap. Pada saat ini, diperkirakan
bahwa empat atau lima familia lenyap setiap sejuta tahun. Tapi pada akhir jaman
Palaeozoic, kita melihat lenyapnya 75-90% dari spesies yang ada di muka bumi.
Melalui peristiwa-peristiwa penuh gejolak seperti inilah evolusi spesies bergulir.
Walau demikian, proses kepunahan massal ini bukanlah merupakan satu langkah
mundur dalam evolusi kehidupan. Sebaliknya, masa-masa inilah yang menyiapkan
satu langkah dahsyat ke muka dalam perkembangan kehidupan di bumi. Ruang kosong
yang ditinggalkan oleh lenyapnya sejumlah spesies memberikan kesempatan pada
spesies-spesies yang lain untuk bangkit, berkembang biak dan mendominasi bumi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi, keragaman dan
kepunahan bentuk-bentuk kehidupan memiliki variasi yang tak terbatas. Lebih
jauh lagi, mereka semua saling terhubung secara dialektik. Pergeseran benua itu
sendiri menyebabkan perubahan garis lintang bumi, dan dengan demikian kondisi
iklimnya. Variasi dalam iklim akan menghasilkan lingkungan yang kurang lebih
menguntungkan bagi organisme-organisme yang berbeda. Toleransi terhadap
fluktuasi suhu dan iklim adalah faktor kunci dalam proses ini, yang melahirkan
berbagai diversifikasi. Kita lihat bahwa tingkat keragaman biasanya meningkat
semakin kita dekat ke khatulistiwa.
Pecahnya benua-benua, pemisahan dan tumbukan di antara mereka,
semua faktor ini mengubah kondisi-kondisi di mana spesies-spesies berkembang,
dan mengisolasi satu kelompok dari kelompok lainnya. Isolasi fisik menghasilkan
variasi-variasi adaptif yang baru, yang mencerminkan perubahan dalam lingkungan
hidupnya. Fragmentasi benua-benua dengan demikian cenderung meningkatkan
keragaman bentuk-bentuk kehidupan. Kanguru hanya bertahan hidup di Australia
karena benua itu pagi-pagi sudah terisolasi, sebelum bangkitnya mamalia yang
menyebabkan kepunahan binatang marsupial besar di benua-benua lain. Begitu
juga, penghancuran samudra menghasilkan kepunahan massal dari banyak spesies
air, namun pada saat yang sama menghasilkan kondisi untuk perkembangan tumbuhan
dan hewan-hewan darat baru, seperti yang telah terjadi pada saat terbentuknya
massa-daratan Pangaea. Kematian dan kelahiran terhubung secara tak terpisahkan
dalam rantai perkembangan evolusioner, di mana kepunahan massal dari satu
spesies merupakan prasyarat bagi kemunculan dan perkembangan dari
spesies-spesies baru yang lebih maju dan lebih siap untuk menangani kondisi
yang telah berubah itu.
Evolusi spesies tidak dapat dianggap sebagai fakta yang
terisolasi, melainkan harus dilihat sebagai hasil dari interaksi yang kompleks
dan konstan dari berbagai unsur – bukan hanya mutasi genetik di dalam organisme
itu sendiri, yang jumlahnya tak berhingga itu, tapi juga perubahan-perubahan
dalam lingkungan hidupnya; fluktuasi ketinggian permukaan laut, kadar garam di
lautan, sirkulasi aliran air laut, pasokan nutrisi dalam air laut dan, mungkin
juga, bahkan faktor-faktor seperti peralihan posisi medan magnet bumi, atau
hantaman dari meteorit besar yang jatuh ke permukaan bumi. Hubungan saling
mempengaruhi yang dialektik dari berbagai kecenderungan ini adalah apa yang
mengondisikan seleksi alam, yang telah menghasilkan bentuk-bentuk kehidupan
yang jauh lebih kaya, sangat bervariasi, dan jauh lebih mengagumkan dari puisi
yang paling indah sekalipun.
_______________
Catatan Kaki
[1] Asimov 592.
[2] A. I. Oparin,
The Origin of Life on Earth, hal. xii dan 230-1.
[3] J. D. Bernal,
The Origin of Life, hal. xv.
[4] Engels,
Dialectics of Nature, hal. 13.
[5] J. B. S.
Haldane, The Rationalist Annual, 1929.
[6] Engels, The
Dialectics of Nature, hal. 16.
[7] Scientific
American, 239 [1978].
[8] Oparin 2.
[9] Bernal 26.
[10] Compsognathus
adalah sebuah genus dinosaurus kecil bipedal yang karnivora. Mereka hidup
sekitar 150 juta tahun yang lalu, dan merupakan kerabat dekat Archaeopteryx,
spesies transisi dari dinosaurus berbulu dan burung moderen.
[11] Archaeopteryx
adalah genus burung awal yang merupakan transisi dari dinosaurus berbulu dan
burung moderen. Dia hidup sekitar 150 juta tahun yang lalu, di daerah Jerman
Selatan.
[12] Engels,
Dialectics of Nature, hal. 282.
[13] R. Buchsbaum,
Animals Without Backbones, Vol. 1, hal. 12.
[14] S. J. Gould,
The Panda’s Thumb, hal. 181.
[15] Scientific
American, 239, [1978].
[16] Quoted in R.
Lewin, Complexity, Life at the Edge of Chaos, hal. 51.
[17] F. H. T.
Rhodes, The Evolution of Life, hal. 77-8.
[18] S. J. Gould,
Wonderful Life, hal. 60, 64 dan 23-4.
[19] S. J. Gould,
Ever Since Darwin, hal. 14.
[20] S. J. Gould,
Wonderful Life, hal. 54.
[21] Daerah pantai
pasir dangkal atau continental shelf memiliki
kedalaman kurang dari 150 meter. Biasanya cahaya matahari masih dapat
menembusnya dan oleh karenanya daerah ini kaya dengan kehidupan (terumbu
karang, ganggang, rerumputan, ikan dan udang kecil, siput laut, plankton, dll.)
[22] Engels,
Anti-Dühring 26-7.
[23] Rhodes 138-9.
[24]Penemuan-penemuan
terakhir mengenai Eusthenopteron menunjukkan bahwa spesies ini adalah hewan air
sepenuhnya. Namun anatominya menunjukkan kemiripan evolusioner dengan
spesies-spesies nenek moyang tetrapod (vertebrata berkaki empat) dan
kemungkinan adalah spesies transisi dari ikan ke reptil. [Editor]
[25] Ordo
Monotremata adalah ordo binatang mamalia yang bertelur.
[26] MESC, Engels to
Schmidt, 12 March 1895.
0 komentar:
Post a Comment